Pembantu ku yang cantik (kisah nyata)

Namanya Bi Ijah, dan dia sudah berusia 45 tahun lebih. Bi Ijah juga sudah menikah dan juga sudah punya dua orang anak. Tapi suami dan anak-anaknya tinggal di kampung. Bi Ijah hanya pulang ke kampungnya, dua kali dalam setahun. Yakni saat lebaran dan juga tahun baru.

Bi Ijah sudah lebih dari sepuluh tahun bekerja menjadi pembantu di rumah kami. Saat itu, aku masih berusia sembilan tahun. Dan sekarang aku sudah berusia sembilan belas tahun, dan juga sudah kuliah.

Aku dan bi Ijah cukup dekat, karena sejak kecil, aku sudah sering tinggal bersamanya di rumah kami. Papa dan mama ku adalah dua orang yang super sibuk. Bahkan mereka hanya punya satu orang anak, yaitu aku, sebagai anak semata wayang mereka.

Secara ekonomi, kehidupan kami memang terbilang sangat mapan. Bahkan aku sendiri, juga sangat di manja. Segala keinginan ku selalu terpenuhi oelh kedua orangtua ku.

Namun begitu, sebagai seorang anak, aku selalu merasa kesepian. Karena mama dan papa jarang berada di rumah. Mereka lebih banyak menghabiskan waktu di tempat kerja. Mungkin karena itu juga, aku jadi sangat dekat dengan bi Ijah.

Aku lebih sering ngobrol bersama bi Ijah, dan menceritakan segala keluh kesah ku kepadanya. Bi Ijah juga sangat perhatian padaku. Beliau sudah menganggap ku seperti anak sendiri. Apa lagi bi Ijah juga berada jauh dari keluarganya.

Mulanya kedekatan ku dengan bi Ijah, hanya terkesan biasa saja. Hanya antara seorang pembantu dan anak majikannya. Atau hanya sekedar antara anak dan ibu nya.

Namun belakangan ini, terutama sejak aku mulai kuliah, entah mengapa, aku jadi sering memikirkan bi Ijah. Segala kasih sayang dan perhatiannya selama ini padaku, telah mampu membuat aku jadi mulai menyukainya.

Aku memang menyayangi bi Ijah, sebagai sosok seorang ibu dalam hidup ku. Namun sekarang, rasa itu tidak lagi sama. Aku mulai sering mengkhayalkan hal yang aneh-aneh tentang bi Ijah. Terutama saat malam menjelang aku tertidur.

Secara fisik, bi Ijah memang masih cantik dan juga masih terlihat seksi. Meski pun ia sudah berusia lebih 45 tahun. Tapi bi Ijah masih cukup menarik. Apa lagi bi Ijah, juga cukup pandai merawat diri.

****

Aku berusaha menepis segala rasa suka ku pada bi Ijah. Aku tidak ingin terlarut dalam perasaan tersebut. Karena aku tahu, itu adalah sebuah kesalahan. Lagi pula, bi Ijah juga gak mungkin bakal suka pada ku. Mengingat aku ini masih terlalu muda, dan juga karena aku adalah anak majikannya.

Tapi justru karena itu, aku jadi semakin penasaran dengan bi Ijah. Apa lagi, seumur hidup, aku belum pernah pacaran sama sekali. Tidak ada seorang cewek pun yang mau menjadi pacar ku, meski aku sudah sering berusaha mendekati para cewek-cewek.

Sejujurnya, meski pun aku tergolong anak orang berada, tapi aku kurang beruntung untuk urusan cinta. Karena secara fisik, aku meman kurang menarik. Aku tidak tampan, tidak gagah, dan tidak juga termasuk anak yang pintar.

Selain kehidupan yang mewah, aku tidak punya daya tarik lain, yang membuat cewek-cewek jadi menyukai ku. Bahkan aku juga tidak suka olahraga. Aku juga tidak tergolong seorang kutu buku. Aku benar-benar laki-laki biasa, yang hampir tidak punya daya tarik.

Pernah sih, ada cewek yang mau aku dekati, tapi pada akhirnya aku tahu, kalau dia hanya sekedar memanfaatkan ku saja. Hanya untuk menguras uang saku ku. Dan aku pun memilih untuk meninggalkannya.

Sadar akan segala kekurangan ku, aku pun jadi sering menutup diri. Aku lebih sering menghabiskan waktu di rumah. Aku lebih sering menghabiskan waktu, untuk sekedar mengobrol bersama bi Ijah di rumah.

Dan karena terlalu sering menghabiskan waktu bersama. Perlahan rasa suka itu pun tumbuh di hati ku untuk bi Ijah. Aku bahkan mungkin telah jatuh cinta padanya. Namun aku masih berusaha, untuk bersikap biasa saja, terutama di depan bi Ijah.

Hingga pada suatu pagi. Saat itu, mama dan papa, seperti biasa, sudah berangkat kerja. Di rumah hanya tinggal aku dan bi Ijah. Aku sengaja bangun agak telat pagi itu. Aku merasa lagi malas untuk berangkat kuliah.

Karena aku yang tak kunjung bangun dan keluar dari kamar, tiba-tiba bi Ijah mengetuk pintu kamar ku. Ia mengetuk beberapa kali, sambil terus memanggil dan membangunkan ku.

Aku yang sudah berniat untuk tidak kuliah pagi itu, terpaksa bangun dan segera membuka pintu, karena bi Ijah masih terus berusaha memanggil ku.

"ada apa sih, bik?" tanyaku dengan nada malas.

Saat itu, aku hanya memakai selimut yang aku lilitkan di pinggang ku.

"bangun, Den. Sudah siang.. nanti aden telat loh, kuliahnya.." balas bi Ijah, dengan sedikit tertunduk, karena melihat aku yang tanpa baju.

"saya lagi malas kuliah, bik. Jadi jangan ganggu ya.. saya mau tidur seharian..." ucap ku kemudian, masih dengan nada malas.

"tapi... nanti kalau mama aden nelpon dan nanya, saya harus jawab apa?" balas bi Ijah, dengan sedikit bertanya.

"bilang aja, kalau saya udah berangkat kuliah.." balas ku.

"tapi, den..." bi Ijah berusaha berucap lagi.

"sudahlah, bik... sekali-kali.. gak masuk kuliah gak apa-apa, kan.." balas ku cepat, memotong ucapan bi Ijah.

"ya udah.. terserah aden aja... kalau begtiu saya ke bawah dulu.. Permisi, den.." akhrinya bi Ijah pun segera meninggalkan kamar ku.

Sementara aku, tiba-tiba saja, mulai memikirkan bi Ijah kembali. Aku membayangkan, jika bi Ijah mau aku ajak masuk ke kamar ku, dan .....

Ah.. sudahlah... rasanya hal itu sangat tidak pantas.

Tapi... bukankah saat ini, hanya kami berdua di rumah. Jadi apa salahnya aku mencobanya? Siapa tahu, bi Ijah juga mau. Dan lagi pula, kalau ia menolak, aku kan bisa memaksanya. Aku kan anak majikannya. Mau tidak mau, bi Ijah memang harus mau menuruti keinginan ku.

*****

Akhirnya dengan hanya memakai celana pendek, aku pun segera turun ke bawah, untuk menemui bi Ijah yang sedang berada di dapur. Ia sedang mencuci piring saat itu.

Gejolak jiwa muda ku tengah bergelora saat itu. Setan telah menguasai pikiran ku. Aku tidak lagi berpikir panjang. Aku harus bisa menyalurkan keinginan ku terhadap bi Ijah.

"ada apa, den? Aden mau sarapan?" tanya bi Ijah setengah kaget akan kedatangan ku. Apa lagi aku hanya memakai celana pendek, tanpa baju.

"saya mau bi Ijah.." balasku dengan suara parau.

"maksud den Bima apa?" bi Ijah berucap, sambil menghentikan kegiatannya mencuci piring tersebut.

"bi Ijah sangat cantik sekali. Saya suka sama bi Ijah. Dan saya menginginkan bi Ijah pagi ini.." ucapku, suara ku makin parau.

"den Bima ngomong apa, sih? Saya jadi takut loh, den." balas bi Ijah, dengan sedikit melangkah mundur.

"saya jelek banget ya, bik? Sampai bi Ijah setakut itu sama saya?" tanyaku gusar.

"bukan... bukan itu maksud saya, den. Tapi... saya... saya sudah menganggap den Bima itu seperti anak bibik sendiri.. jadi aden jangan salah paham.." jelas bi Ijah, suaranya terdengar sedikit bergetar.

"saya suka sama bi Ijah. Saya ingin kita menjalin hubungan yang lebih..." ucapku mulai tak karuan.

"den Bima jangan macam-macam. Saya..." ucapan bi Ijah terputus.

"bi Ijah berani menolak saya? Bi Ijah gak mau menuruti keinginan saya?" balasku memotong ucapan bi Ijah barusan.

"tapi, den... ini.. ini gak boleh terjadi. Den Bima jangan memaksa saya.." suara bi Ijah semakin bergetar.

"kalau bi Ijah gak mau, saya akan bilang sama mama, untuk memecat bi Ijah dari sini.." ancam ku akhirnya, setelah tak tahu lagi harus berkata apa. Setan benar-benar telah menguasai ku saat itu.

Apa lagi bi Ijah juga sudah tahu perasaan ku padanya, jadi.. aku harus bisa mendapatkannya, apa pun caranya.

"kenapa harus bibik sih, den. Bibik ini sudah tua.. masih banyak gadis-gadis cantik di luar sana.." ucap bi Ijah kemudian, dalam usahanya menghindari ku.

"aku sudah terlanjur jatuh cinta sama bi Ijah.. aku gak butuh gadis-gadis lain, aku hanya menginginkan bi Ijah... jadi bi Ijah, jangan coba-coba menolak permintaan ku.." aku berucap dengan setengah berteriak. Aku benci penolakan, apapun alasannya.

"tapi.. den... bibik gak bisa... bibik sudah punya suami dan juga sudah punya anak... Saya mohon, den. Jangan paksa saya, ya..." kali ini, suara bi Ijah cukup menghiba.

Tapi aku sudah tidak peduli dengan semua itu. Aku harus mendapatkannya. Aku harus mendapatkan bi Ijah. Aku sudah tidak bisa menahan diri ku lagi.

"pokoknya bi Ijah harus mau menuruti keinginan saya. Kalau tidak, saya jamin besok bi Ijah akan di pecat, dan saya juga akan katakan, kalau bi Ijah sudah mencuri di rumah ini.. Saya yakin, mama pasti lebih percaya sama saya.." ucapku dengan nada kasar.

Kali ini bi Ijah mulai terdiam. Ia terlihat sedang berpikir keras. Aku yakin, ancarman ku cukup membuat ia merasa takut. Karena bi Ijah, pasti sangat membutuhkan pekerjaan ini. Apa lagi saat ini, anak-anaknya sedang butuh biaya banyak, untuk sekolah mereka.

"kalau bi Ijah mau, saya akan berikan uang saku saya buat bi Ijah setiap harinya.." aku berucap lagi, dalam upaya ku untuk mendapatkan apa yang aku inginkan.

"baiklah, den. Kalau den Bima memaksa. Saya juga gak mau kehilangan pekerjaan ini. Dan jika den Bima mau memberi saya uang, saya akan turuti semua keinginan den Bima.." bi Ijah berucap juga akhirnya, setelah cukup lama ia terdiam.

"ya udah... saya tunggu bi Ijah di kamar saya sekarang..." ucapku kemudian, sambil mulai melangkah untuk menuju lantai atas. Menuju kamar ku.

Dan tak lama kemudian, bi Ijah pun datang menyusul dari belakang. Aku sedikit memaksa bi Ijah untuk masuk ke kamar ku. Aku yang sudah di kuasia oleh n4fs* ku, sudah tidak bisa menahan diri lagi. Aku pun segera menarik bi Ijah ke atas r4nj**g.

****

Begitulah awalnya. Dan sejak saat itu, aku selalu memanfaatkan setiap kesempatan yang ada, untuk bisa bersama bi Ijah. Aku juga selalu memberi bi Ijah uang, setiap kali kamu selesai melakukan hal tersebut.

Semakin hari, aku justru semakin sayang sama bi Ijah. Aku semakin mencintainya. Aku semakin tidak ingin melepaskannya. Meski pun bi Ijah, selalu mengingatkan ku, agar segera mengakhiri hal tersebut.

Tapi aku sudah terlanjur terlena dengan semua itu. Aku merasa hidup ku semakin indah dan penuh warna. Aku jadi punya semangat untuk melanjutkan hidup ku lagi.

Namun.. tidak ada yang sempurna di dunia ini. Tidak ada yang abadi dalam hidup ini. Sesuatu yang indah pun, pada saatnya pasti akan berakhir. Dan demikina dengan semua keindahan yang aku rasa. Semuanya harus berakhir.

Ternyata diam-diam, setelah lebih dari enam bulan, mama dan papa sudah mengetahui hubungan terl4r*ng ku bersama bi Ijah. Mereka pun kemudian, meminta bi Ijah untuk berhenti bekerja di rumah kami. Mereka juga meminta aku untuk pindah kuliah ke luar negeri.

Karena merasa takut akan hukuman yang lebih berat, aku pun terpaksa menuruti keingian kedua orangtua ku. Aku terpaksa pindah kuliah ke luar negeri. Sementara bi Ijah, harus rela kehilangan pekerjaannya, dan kembali ke kampung halamannya.

Terus terang, aku merasa bersalah pada bi Ijah. Biar bagaimana pun, dalam hal ini, bi Ijah tidak bersalah. Aku yang memaksanya.

Aku mencoba menjelaskan hal tersebut pada mama dan papa. Tapi mereka sudah tidak peduli, dengan penjelasan apa pun dari ku. Bagi mereka, kami berdua sama-sama bersalah, dan sama-sama harus mendapatkan ganjarannya.

Aku merasa menyesal. Tapi bukan karena hubungan ku dengan bi Ijah. Aku menyesal, karena telah memaksakan kehendak ku pada bi Ijah. Karena perbuatan ku tersebut, bi Ijah jadi ikut menanggung akibatnya.

Namun semua sudah terjadi. Aku tidak mungkin bisa memutar waktu lagi. Kini aku harus menanggung akibat dari semua perbuatan ku. Meski pun hukuman yang aku terima dari mama dan papa, tidaklah terlalu berat. Tapi tetap saja, aku terus di hantui rasa bersalah pada bi Ijah.

Berada di luar negeri sendirian, tanpa siapa-siapa, merupakan hal yang cukup berat bagiku. Apa lagi, uang yang mama papa kirimkan padaku, sangat terbatas. Hingga aku merasa, kalau aku hampir tidak punya orangtua lagi.

Kini, aku hanya bisa menyesali semuanya. Kejadian tersebut, menjadi pelajaran yang sangat berharga bagi ku. Semoga saja, aku bisa memperbaiki diri. Dan semoga aku tidak lagi mengulangi kesalahan yang sama..

Yah.... semoga saja..

****

Kisah lainnya :

Bersama Kakak ipar ku

Bersama mama mertua ku

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini

Layanan

Translate