Istriku pergi saat aku sedang terpuruk.. (part 4) sahabatku menggantikannya

Semenjak anakku, aznah yang baru berusia empat tahun itu meninggal, kehidupan rumah tanggaku dan Airin benar-benar menjadi kacau.

Aku kehilangan gairah. Aku kehilangan semangat hidup. Begitu juga istriku, Airin.

Airin sekarang jadi jarang berada di rumah. Ia banyak menghabiskan waktunya untuk berkumpul bersama teman-temannya di luar.

Sang Penuai mimpi

Airin benar-benar berubah, ia tak lagi selembut dulu. Kami bahkan sangat jarang berbicara.

Kami takut setiap kata yang keluar hanya akan membangkitkan kenangan kami akan kematian anak kami yang tiba-tiba.

"sampai kapan kamu akan seperti ini, Lif?" suara Bayu sahabatku yang selalu ada menemaniku, bahkan di saat-saat terpahit dalam hidupku.

Aku hanya menatapnya dengan mata yang memerah. Hatiku memang selalu terasa perih.

"setiap orang pernah gagal, Lif. Setiap orang pernah kehilangan sesuatu yang berharga dalam hidupnya. Namun itu bukan alasan untuk mereka berhenti dan menyerah.." Bayu melanjutkan.

"aku tahu ini semua sangat berat bagimu, Lif. Tapi sudah saatnya kamu bangkit lagi, Lif. Memulai lagi semuanya dari awal. Kamu pernah melewati yang lebih menyakitkan dari ini, Lif. Dan saya yakin kamu pasti bisa bangkit.."

Aku hanya menghela napas berat. Aku tak tahu lagi apa yang harus aku lakukan saat ini. Kegagalan demi kegagalan terus menghantui sepanjang perjalanan hidupku.

Aku putus asa.

Hingga akhirnya aku dan Airin memutuskan untuk berpisah. Kami memilih untuk menjalani kehidupan kami masing-masing.

Semua itu kami lakukan, agar kami bisa melupakan tentang kematian anak kami satu-satunya.

Mungkin ini bukan yang terbaik, tapi aku sendiri tidak benar-benar tahu apa yang terbaik untuk hidupku sebenarnya.

"kamu yakin ingin berpisah dari istrimu, Lif?" serak suara Bayu menanyaiku.

"iya, Bay. Karena setiap kali aku melihat istriku hanya rasa sakit yang aku rasakan.." suaraku lirih.

"kami juga memutuskan untuk menjual rumah kami. Dan sekarang aku tidak punya tempat untuk sekedar berteduh.." lanjutku masih dengan nada lirih.

"kamu tahu, Lif. Aku akan selalu ada untuk kamu. Rumahku juga selalu terbuka buat kamu.." balas Bayu ringan.

"tapi saya gak enak sama istri kamu, Bay. Saya gak mungkin tinggal bersama kalian." jawabku.

"jadi apa rencana kamu sekarang?" Bayu bertanya kembali.

"saya gak tahu pasti, Bay. Namun saya akan mencoba mencari rumah kontrakan, untuk sementara.." jawabku lagi.

Aku memang masih bekerja bersama Bayu. Meski akhir-akhir ini aku jarang berada di tempat kerja. Dan beruntunglah Bayu sangat mengerti keadaanku.

Bayu membantuku mencarikan rumah kontrakan, yang berada tidak terlalu jauh dari tempat aku bekerja.

Bayu memang selalu ada untukku. Ia selalu bisa memberikan jalan keluar dari setiap persoalan yang aku hadapi.

Bayu selalu baik padaku. Kadang aku merasa tidak enak hati, harus selalu menerima bantuan darinya.

"itulah gunanya sahabat, Lif. Saling membantu dan saling menguatkan.." begitu selalu alasan Bayu, setiap kali aku membahas tentang segala kebaikannya.

Kadang aku merasa kebaikan Bayu padaku, sedikit berlebihan. Tapi sekali lagi, aku memang selalu membutuhkan Bayu.

Hingga suatu saat, Bayu mendapat sebuah musibah yang cukup tragis.

Istrinya mengalami sebuah kecelakaan dan akhirnya meninggal.

Sebagai sahabat tentu saja aku turut berduka dan berusaha menghibur Bayu.

"sekarang aku bisa merasakan apa yang kamu rasakan selama ini, Lif..." ratap Bayu terdengar pilu.

"sekarang aku bisa merasakan bagaimana rasanya kehilangan orang yang kita sayangi. Sakit, Lif.." lanjutnya.

Aku merasa perihatin melihat kondisi Bayu. Namun ia masih cukup beruntung, anaknya masih bersamanya dan kedua orangtuanya selalu memberi dukungan lebih padanya.

Meski demikian, terlihat sekali kalau Bayu begitu terpukul dengan kematian istrinya.

****

Hari-hari berlalu, tanpa bisa dicegah atau pun dipacu.

Aku dan Bayu sudah mulai pulih kembali. Kami sama-sama saling menguatkan agar bisa bangkit dari segala keterpurukan kami.

Hubunganku dengan Bayu juga terasa semakin erat. Kami sering menghabiskan waktu berdua.

Sebagai dua orang yang sama-sama kesepian, kami memang saling membutuhkan.

Semakin lama kedekatan kami seperti sudah melebihi kedekatan dua orang sahabat.

Aku selalu merasa nyaman saat berada di dekat Bayu. Aku merasa bahagia bisa selalu bersamanya.

Perasaan itu kian hari kian berkembang dan semakin membuatku bingung.

Aku selalu merasakan getar-getar aneh, saat dekat-dekat dengan Bayu.

Tiba-tiba saja wajah Bayu jadi begitu tampan di mataku. Tiba-tiba saja wajah itu selalu menghiasi angan dan mimpiku.

Oh, tidak. Apa yang aku rasakan ini?

Kenapa Bayu selalu jadi buah pikiranku?

Kenapa aku selalu memikirkannya?

Mungkinkah karena selama ini Bayu begitu baik padaku?

Mungkinkah karena selama ini Bayu selalu ada untukku?

Munkinkah karena aku yang telah dua kali ditinggal istriku dan selalu merasa kesepian?

Atau sebenarnya perasaan ini sudah ada sejak lama, bahkan mungkin sejak kami masih sama-sama SMA?

Ahk, aku benar-benar bingung dengan perasaanku saat ini.

*****

Suatu saat, aku dan Bayu merencanakan sebuah perjalanan ke sebuah daerah yang sama-sama belum pernah kami kunjungi.

Hanya kami berdua..

"sekedar untuk melepas penat, karena telah lelah bekerja beberapa bulan ini.." begitu alasan Bayu, dalam rangka usahanya untuk mengajakku.

Aku pun akhirnya setuju. Dan kami pun berangkat dengan menggunakan mobil Bayu.

Selama perjalanan Bayu terus bercerita tentang kisah-kisah kami di masa SMA dulu.

Kami menginap di sebuah hotel, sebelum esoknya kami merencanakan perjalanan kami di sebuah pantai.

Malam itu, sebelum tidur Bayu kembali mengajakku ngobrol, sambil berbaring di ranjang.

"dulu, aku sangat mengagumi kamu, Lif.." ucap Bayu di sela-sela ceritanya.

"hingga sekarang.." lanjutnya pelan.

Aku melirik Bayu. Aku ingat dulu Bayu pernah cerita kalau aku salah satu inspirasinya untuk belajar, hingga ia bisa lulus kuliah di luar negeri.

Aku pikir Bayu mengagumiku karena aku memang termasuk anak yang pintar ketika sekolah dulu.

"aku mengagumi kamu, Lif. Bukan saja karena kamu pintar, tapi juga karena kamu selalu terlihat keren. Kamu tampan dan terlihat macho. Kadang aku iri sama kamu, yang disukai banyak orang dan begitu mudah mendapatkan pacar."

Tiba-tiba Bayu terdengar menarik napas dalam.

"saya mau jujur sama kamu, Lif." ucapnya pelan.

"sebenarnya sudah sejak SMA aku suka sama kamu, Lif." suara Bayu masih pelan, namun mampu membuatku sedikit kaget dengan kalimatnya barusan.

"aku suka sama kamu dengan segala kelebihanmu itu, Lif. Dan diam-diam aku jatuh cinta sama kamu.." Bayu terus melanjutkan kalimatnya.

"namun kemudian aku sadar, bahwa apa yang aku rasakan padamu, adalah sebuah kesalahan. Karena itu setelah lulus SMA, aku pun memutuskan untuk menerima tawaran papa, untuk aku kuliah di luar negeri."

"aku berharap dengan tidak pernah bertemu kamu lagi, segala rasa cintaku padamu akan ikut sirna."

"namun aku salah, setiap hari yang ada dalam anganku hanyalah dirimu, Lif. Dan ketika akhirnya kita bisa bertemu lagi tanpa sengaja, perasaan itu kian kuat aku rasakan."

"namun aku selalu berusaha memendamnya sekuat mungkin. Apa lagi ketika kita bertemu kembali, saat itu aku sudah ditunangkan dan kamu sendiri juga sudah menikah dan memiliki anak."

"aku mencoba mengabaikan segala perasaanku padamu. Berusaha menganggap kamu hanyalah seorang sahabat.."

Bayu mengakhiri kalimatnya dengan sebuah helaan napas berat.

Aku terdiam. Benar-benar terdiam. Aku tidak tahu, apa yang harus yang aku katakan saat itu.

Tapi yang pasti segala kejujuran Bayu barusan, benar-benar membuatku tergugah.

"lalu mengapa saat itu, kamu malah menjodohkanku dengan Airin?" tanyaku akhirnya, setelah kami terdiam beberapa menit.

"sejujurnya setiap hari aku selalu berusaha untuk bisa memupus segala harapanku padamu, Lif. Aku tidak ingin kamu tahu, tentang bagaimana perasaanku padamu. Aku hanya ingin kamu bahagia, meski kadang aku harus menelan kepahitan karenanya.." suara Bayu terdengar serak.

Aku menarik napas berat. Aku benar-benar tidak tahu apa yang aku rasakan saat ini.

Aku memang merasa nyaman saat bersama Bayu. Aku merasa bahagia saat bersamanya.

Tapi apakah itu cinta?

"aku minta maaf, Lif. Karena telah jatuh cinta padamu. Hal ini tentu saja akan merusak persahabatan kita. Tapi aku tidak mampu lagi memendamnya. Aku tidak ingin kehilangan kesempatan untuk mengungkap ini semua padamu, Lif."

"setelah bertahun-tahun aku berusaha memendamnya. Maafkan aku untuk semuanya.." lirih suara bayu, yang membuatku merasa tersentuh.

"lalu sekarang, kamu mau aku bagaimana, Bay?" tanyaku kemudian.

"aku mengatakan ini hanya sekedar ingin kamu tahu, Lif. Aku mengatakan ini, hanya untuk membuat hatiku menjadi lega, karena sudah jujur padamu. Meski sejujurnya aku juga berharap, kamu bisa mencintaiku dan kita bisa menjalin hubungan yang lebih erat dari sekedar sebuah persahabatan.." jawab Bayu.

"maksud kamu, kamu ingin kita pacaran?" tanyaku terdengar lugu.

"begitulah tepatnya, Lif. Tapi aku tidak akan memaksa kamu. Semua terserah padamu, Lif. Namun yang pasti, aku sangat mencintamu dan berharap bisa memilikimu lebih dari sekedar sahabat..." jawab Bayu lagi.

Sekali lagi aku menarik napas dalam.

"sebenarnya.... sebenarnya... akhir-akhir ini aku memang sering memikirkan kedekatan kita, Bay. Aku memang mulai merasa nyaman saat bersama kamu. Aku juga sering berkhayal tentang kamu. Tapi aku sendiri tidak yakin, apa yang sebenarnya aku rasakan.."

"selama ini kamu begitu baik padaku, Bay. Kamu selalu ada untukku. Hal itulah yang akhirnya menyadarkanku bahwa sebenarnya aku sangat membutuhkanmu, bahkan mungkin lebih dari sekedar sahabat.." ucapku kemudian dengan nada sedikit terbata.

Bayu tiba-tiba duduk dari rebahannya, kemudian ia menatapku dengan pandangan yang sulit aku pahami.

Tapi yang pasti mata itu terlihat begitu indah. Apa lagi Bayu menatapku dengan mengembangkan senyumnya. Senyum yang tiba-tiba terlihat begitu manis di mataku.

Ahk, mengapa semua harus seperti ini?

Setelah semua yang terjadi dalam perjalanan hidupku yang panjang. Sekarang aku justru terjebak dalam cinta pada sahabatku sendiri.

Mungkin kebersamaan kami selama ini dan segala kebaikan Bayu padaku telah mampu mengubah perasaanku yang sesungguhnya.

Atau mungkin inilah aku yang sebenarnya?

Aku memejamkan mataku beberapa saat, membayangkan hari-hari yang telah aku lewati.

Tak pernah aku sangka, setelah kegagalan demi kegagalan yang aku lalui dengan para mantan istri-istriku, justru sekarang aku jadi tertarik dengan laki-laki.

Sebenarnya aku cukup dilema.

Antara menerima ajakan Bayu untuk menjalin hubungan asmara dengannya atau berusaha menghindar dari pesona Bayu yang terus saja membayangiku.

Aku tahu, aku tidak bisa begitu saja menghindar dari Bayu. Biar bagaimana pun hingga saat ini aku masih bekerja bersama Bayu.

Dan harus aku akui, kalau Bayu adalah satu-satunya orang yang paling dekat denganku saat ini.

Selain Bayu, aku memang tidak punya siapa-siapa lagi di sini.

Kecuali kak Ning, kakakku satu-satunya yang masih tinggal di kampung. Namun kehidupannya tidaklah cukup baik, aku bahkan sering mengiriminya uang untuk membantu kehidupannya.

Jika aku harus melepaskan Bayu dan memilih jalanku sendiri, itu artinya aku harus siap kehilangan segalanya.

Aku tidak ingin terpuruk lagi. Aku tidak ingin merasakan lagi pahitnya sebuah penderitaan.

Jika dengan menerima ajakan Bayu bisa menyelamatkan hidupku, tak ada salahnya aku memberi Bayu kesempatan.

Dan lagi pula sebenarnya perasaanku pada Bayu, juga sudah mulai berkembang.

Hanya saja aku takut, jika kami menjalin hubungan asmara, lalu bagaimana masa depan kami?

Mungkinkah kami akan tinggal serumah layaknya kehidupan sepasang suami istri?

Lalu bagaimana dengan anak-anak kami?

Berbagai pertanyaan terus menghantui pikiranku.

Namun pada akhirnya aku hanya bisa pasrah. Membiarkan perjalanan nasib membawaku pada sebuah kenyataan.

Kenyataan bahwa aku dan Bayu memang sudah ditakdirkan untuk tetap bersama.

Semoga saja ini adalah yang terbaik.

Dan aku sadar, bahwa ini bukanlah akhir dari perjalanan hidupku.

Akan begitu banyak peristiwa yang akan terus terjadi sepanjang perjalanan hidupku ke depannya.

Semoga saja aku selalu kuat menghadapinya.

Ya, semoga saja..

****

Sekian...

Om Johan, pacar papaku ...

Aku memanggilnya om Johan, dan dia adalah pacar papaku.

Siapa sebenarnya om Johan?

Apa yang terjadi antara aku dan om Johan?

Dan seperti apa akhir dari kisah kami bertiga?

Simak cerita ini sampai selesai ya..

Sang penuai mimpi

Namaku Syaiful Bahrianto, orang-orang biasa memanggilku Ipul.

Dan saat ini aku sudah kuliah tahun pertama.

Aku hidup bersama seorang papa dan tinggal di sebuah rumah yang boleh dibilang cukup mewah.

Sejak aku kecil papa dan mama sudah berpisah. Aku tidak tahu apa penyebabnya dan aku tidak pernah berani bertanya kepada papa.

Namun yang pasti semenjak mereka berpisah aku tidak pernah lagi bertemu dengan mama.

Aku dibesarkan oleh papa sendirian.

Papa bekerja sebagai seorang pegawai di sebuah lembaga pemerintahan. Dan secara ekonomi kehidupan kami cukup mapan.

Namun tentu saja sebagai anak korban dari perceraian kedua orangtuaku, hidupku jadi tidak teratur.

Aku selalu merasa kekurangan kasih sayang. Aku selalu merasa kurang perhatian. Terutama dari sosok seorang ibu.

Karena itu aku jadi seorang anak yang sangat pendiam dan sedikit penakut.

*****

Sejak aku kecil dan sejak papa bercerai dari mama, papa sering mengajak om Johan datang ke rumah, bahkan om Johan juga sering menginap di rumah kami.

Om Johan mengaku, kalau ia adalah salah seorang rekan kerja papa.

Awalnya aku menganggap kehadirang om Johan di rumah kami adalah hal yang biasa.

Namun lama kelamaan, aku sering melihat mereka berdua bermesraan.

Awalnya aku tidak mengerti apa yang mereka lakukan sebenarnya.

Namun beriring bertambahnya usiaku, aku mulai paham apa yang terjadi antara om Johan dan papaku.

Apa lagi mereka selalu terlihat mesra, terutama ketika om Johan menginap di rumah kami.

Aku sering memergoki mereka melakukan hubungan layaknya sepasang suami istri.

Tapi mereka terlihat santai, dan seolah-olah menganggap aku tidak pernah tahu.

Ingin rasanya aku protes kepada papa akan hal tersebut. Tapi aku tidak pernah berani.

Hingga akhirnya aku tumbuh dan besar, dalam bayang-bayang kemesraan dua orang laki-laki dewasa.

Saat aku mulai puber, aku justru sering mengkhayalkan hal tersebut.

Aku selalu membayangkan bisa melakukan hal tersebut dengan om Johan.

Aku mulai sering memikirkan om Johan. Aku juga sering memperhatikannya diam-diam.

Mengintip papa dan om Johan sudah menjadi rutinitas bagiku, setidaknya setiap malam om Johan menginap.

Hingga aku menyelesaikan masa SMA-ku dan mulai masuk dunia perkuliahan.

Aku masih saja selalu berkhayal tentang om Johan.

Aku memang telah jatuh cinta padanya. Om Johan adalah cinta pertamaku.

*****

Suatu hari, saat aku baru saja pulang kuliah. Aku menemukan om Johan sendirian di rumah kami.

"om Johan? Kenapa disini? Dan mana papa?" tanyaku dengan nada sedikit canggung.

Aku dan om Johan memang jarang mengobrol. Karena setiap kali kesini, beliau hanya ngobrol dengan papaku.

Bahkan sebenarnya aku dan papaku juga tidak begitu dekat.

"papa kamu sedang ada tugas ke luar kota. Jadi ia memintaku untuk menemani kamu malam ini.." jawab om Johan terdengar santai.

Aku terdiam beberapa saat. Biasanya kalau papa ada tugas ke luar kota, ia selalu memintaku untuk tidur di rumah temanku atau juga di rumah tetangga kami.

Tapi entah mengapa kali ini, papa justru meminta om Johan menemaniku.

Selanjutnya aku langsung menuju kamarku, tak sanggup lebih lama lagi berduaan dengan om Johan di ruang keluarga.

Aku memang selalu berdebar-debar setiap kali menatap wajah om Johan. Aku selalu marasa gugup, saat dekat-dekat dengan om Johan.

Sebenarnya om Johan tidak terlalu tampan. Wajahnya biasa saja, tapi ia punya tubuh yang atletis dan kekar.

Aku selalu membayangkan bisa berada dalam pelukan hangat tubuh atletis itu.

Saat aku selesai mandi dan berganti pakaian, aku mendengar suara ketukan di pintu kamarku.

"siapa?" tanyaku dari dalam.

"saya. Om Johan.." balas suara tersebut dari balik pintu kamarku.

"ada apa, om?" tanyaku masih dari dalam dan berusaha berucap dengan nada sewajar mungkin.

"saya boleh masuk?" tanya om Johan lagi. "ada hal penting yang ingin saya bicarakan dengan kamu, Pul.." lanjutnya.

Aku terdiam. Hal penting apa yang ingin om Johan bicarakan denganku. Padahal selama ini, kami bahkan hampir tidak pernah berbicara berdua.

Namun karena penasaran, aku akhirnya membuka pintu untuk om Johan dan mempersilahkannya masuk.

Om Johan duduk dengan santai di pinggiran ranjang tidurku. Aku dengan perasaan gugup duduk sedikit jauh di sampingnya.

"om mau ngomong apa?" tanyaku akhirnya setelah kami terdiam beberapa saat.

Om Johan menatapku dengan mata sendunya. Debaran di jantungku kian menjadi-jadi. Aku buru-buru menunduk, tak berani lebih lama menatap mata indah itu.

"om tahu, kalau sebenarnya kamu sudah tahu tentang hubungan om dengan papa kamu." suara om Johan sedikit serak.

Aku mendongak kembali mendengar kalimat tersebut, menatap kembali wajah setengah tampan milik om Johan.

"om juga tahu, kalau kamu sering mengintip kami dari lobang kunci pintu. Dan om juga tahu, kalau kamu sering diam-diam memperhatikan om.." lelaki yang berusia sekitar 46 tahun itu melanjutkan kalimatnya.

Kali ini aku menunduk kembali. Aku benar-benar tidak menyangka kalau om Johan akan berkata demikian.

"sebenarnya sudah sejak lama om ingin mengatakan ini pada kamu, Pul. Tapi om merasa tidak enak hati kepada papa kamu." om Johan terus berucap, melihat aku yang hanya tertunduk.

Hening sejenak. Tiba-tiba aku merasa om Johan bangkit dari duduknya, lalu kemudian ia berpindah duduk berdempetan denganku.

"om suka sama kamu, Pul. Kamu tampan dan begitu bersih. Om sangat menyukai kamu, bahkan sudah sejak lama.." om Johan berucap sambil meraih jemariku.

Tanganku bergetar hebat. Seumur hidup aku belum pernah sedekat ini dengan seorang laki-laki.

Apa lagi saat ini, laki-laki yang ada di dekatku adalah laki-laki yang selalu menghiasi fantasi liarku selama ini.

Aku memejamkan, berharap semua itu bukanlah sebuah mimpi.

Aku menarik napas berkali-kali, sekedar menenangkan pikiran dan hatiku.

"aku... aku.. aku.. juga suka ... sama.. om..." ucapku akhirnya dengan nada terbata.

"aku ingin selalu bersama om Johan. Aku ingin merasakan hal tersebut bersama om Johan.." aku melanjutkan dengan cukup berani.

Untuk sesaat mata kami saling tatap. Om Johan menyunggingkan sebuah senyum manis.

"kamu yakin ingin melakukannya dengan om?" tanya om Johan kemudian.

Aku mengangguk yakin. Seyakin perasaanku pada om Johan.

Dan untuk pertama kalinya dalam hidupku, malam itu aku akhirnya bisa merasakan hal tersebut dengan om Johan.

Om Johan sangat tangguh, dan aku sangat menyukainya.

Itu adalah pengalaman pertama terindah dalam hidupku.

*****

Sejak kejadian malam itu, aku dan om Johan jadi semakin sering melakukannya.

Om Johan selalu bisa mengatur waktu, agar pertemuan kami tidak diketahui oleh papaku.

Kadang aku memang merasa cemburu, setiap kali melihat om Johan dan papa.

Tapi om Johan selalu berhasil meyakinkanku setiap kali kami punya kesempatan untuk berduaan.

Om Johan bahkan berjanji akan segera mengakhiri hubungannya dengan papaku, dan akan fokus dengan hubungannya bersamaku.

Aku yang memang telah jatuh cinta dan terlanjur bahagia dengan kehadiran om Johan dalam hidupku, tentu saja percaya dengan semua janji om Johan.

Namun setelah hampir setahun hubungan segitiga itu terjalin, om Johan masih saja terus berhubungan dengan kami berdua.

"hubungan om dan papa kamu, sudah terjalin bertahun-tahun lamanya, Pul. Om belum menemukan alasan yang tepat untuk memutuskan hubungan kami saat ini.." begitu alasan om Johan setiap kali aku mempertanyakan hal tersebut.

"kamu sabar, ya.." bujuknya melanjutkan.

Seperti biasa aku hanya bisa terdiam. Setiap kali om Johan berkata demikian. Dia akan berusaha membuatku terlena dengan kemesraannya yang indah.\

Aku juga tidak terlalu memikirkan hal tersebut. Setidaknya aku masih bisa bersama om Johan, meski harus berbagi dengan papaku sendiri.

Hingga akhirnya hubunganku dengan om Johan diketahui oleh papaku.

Papa marah pastinya, tapi ia tak berani memarahiku. Segala kemarahannya justru ia tumpahkan kepada om Johan.

Mereka bertengkar hebat di depanku. Aku pun segera berlalu dari sana.

Aku memutuskan untuk pergi dari rumah. Setidaknya sampai keadaan kembali membaik.

Aku merasa sakit sebenarnya. Namun aku tak mampu berbuat apa-apa saat ini.

Aku kecewa karena hubunganku dengan om Johan akhirnya diketahui oleh papaku. Namun kekecewaanku yang paling dalam ialah menyadari bahwa hubunganku dengan om Johan pasti tidak akan bisa dilanjutkan lagi.

Aku akan kehilangan lelaki cinta pertamaku itu. Aku tidak akan bisa lagi merasakan kehangatan darinya.

Padahal cintaku pada om Johan sudah sangat dalam dan terasa begitu kuat.

*****

Aku menginap beberapa malam di rumah salah seorang teman kuliahku. Sampai akhirnya papa menemukanku.

"papa minta maaf, Pul." ujar papa, ketika kami sudah berada di rumah kembali.

Aku tak tahu, entah bagian mana sebenarnya yang membuat papa harus meminta maaf padaku.

Bukankah seharusnya aku yang meminta maaf padanya, karena telah merebut om Johan darinya.

"papa minta maaf untuk semuanya, Pul. Papa bukanlah ayah yang baik buat kamu. Seharusnya papa tidak membiarkan om Johan masuk ke dalam kehidupan kita. Seharusnya papa tidak melakukan hal tersebut, terutama di depan kamu.." papa beujar lagi, kemudian menarik napas berat.

"papa sangat menyesali semuanya, Pul. Papa tahu ini sudah terlambat. Tapi papa janji akan memperbaiki semuanya lagi.."

"papa sudah putuskan untuk tidak lagi berhubungan dengan om Johan. Papa harap kamu juga melakukannya, demi papa dan demi kehidupan kita yang lebih baik ke depannya.." suara papa mulai parau.

Aku terhenyak. Entah bagian mana dari ucapan papa barusan yang membuat hatiku terenyuh.

Entah karena papa yang telah sadar akan kesalahannya, atau mungkin karena papa memintaku untuk melepaskan om Johan, orang yang telah memberi warna dalam hidupku.

"papa harap, kamu mau memberikan papa kesempatan kedua, Pul." papa berujar lagi.

"papa akan menemui mama kamu, dan memintanya untuk kembali lagi ke rumah kita. Dan kita akan memulai hidup baru, Pul. Memulai semuanya lagi dari awal.." lanjut papa.

"sebenarnya apa yang terjadi antara papa dan mama?" tanyaku akhirnya, setelah untuk beberapa menit kami terdiam.

Papa menatapku sekilas, kemudian berujar :

"papa dan om Johan sudah pacaran, jauh sebelum papa dan mama kamu menikah. Papa menikah dengan mama kamu, bukan karena kami saling cinta. Tapi sebenarnya kami dijodohkan."

"namun setelah menikah dengan mama kamu, papa masih terus berhubungan dengan om Johan."

"hingga akhirnya, mama kamu mengetahuinya, dan memilih untuk pergi meninggalkan papa.."

Papa sekali lagi menarik napas berat.

"sebenarnya mama kamu ingin sekali membawa kamu pergi, tapi papa berhasil mencegahnya dan sedikit mengancamnya agar tidak lagi berusaha menemui kamu.."

"karena itu juga, mama kamu tidak pernah berani untuk datang menemui kamu." papa berujar dengan suara lirih.

"bagaimana kalau ternyata mama sudah menikah lagi, dan bagaimana kalau ia tidak mau kembali lagi?" ucapku bertanya.

"selama ini sebenarnya papa dan mama masih sering saling berhubungan. Papa tahu persis kalau mama kamu belum menikah dan ia pasti mau kembali lagi, jika ia tahu kalau papa sudah tidak berhubungan lagi dengan om Johan.." jawab papa terdengar yakin.

"papa tahu, ini tidak akan semudah yang papa bayangkan. Tapi setidaknya papa akan berusaha semampu papa untuk memperbaikinya.." papa melanjutkan.

"tapi papa butuh dukungan kamu, Pul. Dan papa ingin agar kamu juga bisa berubah.." lanjutnya lagi.

Aku merenung beberapa saat.

Setiap orang punya masa lalu dan setiap orang berhak untuk mendapatkan kesempatan kedua.

Meski sudah sangat terlambat, tak ada salahnya jika aku bersedia memberi papa kesempatan tersebut.

Dan tak ada salahnya juga, kalau aku mencoba untuk berubah.

Selama ini sebenarnya aku hanya kekurangan kasih sayang dan juga perhatian, sehingga kehadiran om Johan benar-benar membuatku terlena.

Jika papa dan mama bisa bersatu lagi, aku yakin aku pasti bisa berubah.

Segala kejadian dan kenangan ku bersama om Johan, akan menjadi sepenggal cerita di masa laluku.

Aku dan papa akan sama-sama berjuang untuk memulai kehidupan yang jauh lebih baik dan jauh lebih normal.

Semoga saja mama juga bersedia memaafkan papa dan mau memulai semuanya lagi dari awal.

Semoga saja aku dan papa benar-benar bisa berubah selamanya..

Ya, semoga saja..

*****

Sekian..

Nasib sopir ojek online

Hari sudah jam sepuluh malam, saat aku memarkir motorku di teras rumah kontrakan kami.

Rasa capek mulai menggerogoti tubuhku, setelah seharian aku berkendara, untuk mengantar para penumpang dan juga terkadang mengantar pesanan makanan orang-orang yang memakai jasaku, sebagai seorang tukang ojek online.

Sang penuai mimpi

Meski sebenarnya untuk hari ini, orderan ku cukup sepi. Dan penghasilanku hari ini juga jauh dari kata cukup.

Karena itu juga, rasa capek itu kian kuat aku rasakan.

Saat aku hendak mengetuk pintu untuk masuk ke rumah, tiba-tiba ponselku berdering ringan.

Sebuah orderan masuk ke aplikasi ojek online-ku.

Sebenarnya aku merasa malas untuk menerimanya, namun karena mengingat pendapatanku hari ini sangat minim, aku akhirnya dengan perasaan berat menerima orderan tersebut.

Sebuah orderan untuk mengantarkan makanan ke sebuah perumahan elite yang tidak terlalu jauh dari tempat aku tinggal.

Aku segera menghidupkan motorku kembali, dan menuju restoran tempat pesanan makanan itu di buat.

Sebelumnya perkenalankan namaku Radit. Aku seorang laki-laki yang sudah berusia tiga puluh tahun, saat ini.

Aku sudah menikah dan sudah punya seorang anak perempuan.

Istriku seorang guru TK yang berada tidak jauh dari tempat kami mengontrak rumah.

Secara ekonomi kehidupan rumah tangga kami, memang terbilang hanya pas-pasan.

Istriku masih seorang guru honorer, yang digaji hanya ala kadarnya.

Sementara pendapatanku sendiri, tidak menentu. Kadang-kadang cukup, dan kadang lebih sering jauh dari harapan.

Namun begitu kehidupan kami baik-baik saja, meski kami harus lebih sering menahan diri untuk tidak berbelanja sesuatu yang tidak begitu kami butuhkan.

*****

Lima belas menit kemudian, aku sampai ke restoran tersebut. Aku segera menanyakan tentang orderan dari pelangganku tersebut.

Ternyata pesanan itu masih dalam proses dimasak oleh pihak restoran. Aku masih harus menunggu beberapa saat lagi.

Aku duduk di pojok restoran tersebut, untuk sekedar menghilangkan rasa penatku.

Selang beberapa saat, pesanan itu akhirnya selesai. Aku segera membayarnya, dan segera keluar dari kafe tersebut.

Setelah menempuh perjalanan lebih kurang sepuluh menit, aku akhirnya sampai di depan sebuah rumah mewah.

Rumah mewah itu memang berada di sebuah kawasan perumahan elite.

Aku menekan bel beberapa kali, hingga seorang laki-laki muda membuka pintu untukku.

Laki-laki itu hanya memakai baju kaos lengan pendek dengan celana pendeknya.

"pesanannya mas.." ujarku, sambil menyodorkan pesanan tersebut.

Laki-laki yang aku ketahui bernama Danil itu, segera mengambil bungkusan tersebut, lalu menyerahkan sejumlah uang padaku.

"ambil aja kembaliannya.." ucap laki-laki itu serak.

"makasih, mas.." balasku, dengan menyunggingkan senyum tipis.

Aku segera memutar tubuh untuk segera berlalu dari situ.

"tunggu dulu, mas.." suara laki-laki itu mencegah langkahku.

Aku kembali memutar tubuh untuk menatap laki-laki tersebut.

"ada apa lagi ya, mas?" tanyaku pelan.

Sesaat laki-laki itu terdiam. Ia menatapku cukup lama.

"mas mau uang tambahan gak?" tanya laki-laki itu kemudian.

"uang tambahan maksudnya mas?" aku balik bertanya sambil mengerutkan kening.

Laki-laki itu terdiam kembali. Ia terlihat sedang berpikir keras.

"saya mau kasih kamu uang, kalau kamu mau memenuhi permintaan saya malam ini.." ucap laki-laki itu akhirnya.

"kalau boleh tahu, permintaan mas apa ya?" tanyaku sekedar ingin tahu.

"saya mau mas Radit tidur dengan saya.." suara laki-laki itu sedikit pelan.

"maksudnya, mas?" aku bertanya kembali, keningku sedikit mengerut.

"maksud saya, saya... saya mau mas Radit melakukan hubungan intim dengan saya.." jawab laki-laki berkulit putih itu lagi.

"mas Danil gay?!" tanyaku lagi, kali ini keningku mengerut dua kali lipat dari biasanya.

"iya. Dan kebetulan saat pertama melihat mas Radit tadi, saya jadi tertarik. Saya akan bayar mas Radit berapa aja, asal mas Radit mau melakukannya denganku.." laki-laki itu menjelaskan.

Aku terdiam. Membayangkan aku berhubungan dengan Danil, aku merasa jijik.

Tapi jika ia bersedia membayarku mahal, aku harus berpikir dua kali untuk menolaknya.

Pendapatanku hari ini, sangat sedikit. Dan lagi pula, lusa aku harus membayar kontrakan rumah.

Mungkin ini kesempatanku untuk bisa mendapatkan uang yang banyak.

Tapi membayangkannya saja aku sudah mulai merasa mual.

Oh, tiba--tiba aku merasa dilema.

Harus aku akui, kalau aku bukanlah laki-laki baik-baik.

Dulu aku adalah seorang preman pasar, yang suka memeras para pedagang untuk mendapatkan sejumlah uang.

Aku juga suka mabuk-mabukan dan main perempuan, bahkan aku juga sering berjudi.

Tapi itu dulu, sebelum menikah dengan istriku yang sekarang. Apa lagi semenjak punya anak, aku mulai belajar untuk menjadi laki-laki baik dan bertanggungjawab.

Namun nasib hingga saat ini masih belum memihak padaku.

Kehidupanku dan keluargaku masih selalu kekurangan.

Kadang aku membenci segala kemiskinan ini. Kadang aku merasa, bahwa nasib yang aku jalani saat ini adalah karena balasan dari dosa-dosaku di masa lalu.

Aku memang sering merasa menyesal, karena selalu berbuat dosa selama ini.

Aku sudah bertekad untuk berubah. Aku sudah bertekad untuk memberi makan istri dan anakku dengan cara yang halal.

Namun semakin hari, kehidupan kami bukannya semakin membaik, tapi justru semakin terpuruk.

Dan sekarang tiba-tiba saja ada orang yang menawarkanku sebuah kesempatan untuk mendapatkan uang yang banyak dengan cara yang mudah.

Aku yakin, berapa pun uang yang aku minta pada Danil malam ini, ia pasti akan bersedia untuk memberikannya.

Mengingat ia adalah seorang yang sangat kaya, dan juga sangat terlihat kalau ia sangat tertarik padaku.

Tapi....

"jika mas Danil mau membayarku mahal, saya bersedia, mas. Apa lagi saat ini saya memang lagi butuh banyak uang.." ucapku akhirnya.

Kulihat Danil tersenyum menang. Tatapannya tajam menghujam mataku.

Aku merasa jengah. Perasaan geli mulai menggelitik pikiranku.

Namun demi sejumlah uang aku rela melakukan hal tersebut.

Aku tidak berpikir panjang lagi untuk menerima tawaran dari Danil. Setidaknya dengan begitu, aku tidak perlu pusing-pusing lagi mencari uang untuk membayar kontrakan rumah kami beberapa bulan ke depan.

Danil kemudian mengajakku masuk ke dalam kamarnya.

Kamar itu cukup luas dengan perabotan yang mewah.

Dan tanpa menunggu lama, Danil pun mulai melakukan aksinya.

Aku berusaha sekuat mungkin menahan rasa geli dan rasa jijikku. Yang ada dalam pikiranku saat itu, hanyalah setumpuk uang yang akan aku terima nantinya.

Hingga akhirnya aku menyadari, bahwa hal tersebut tidak seburuk yang aku bayangkan.

Ada sensasi keindahan berbeda yang aku rasakan. Sebuah sensasi yang belum pernah aku rasakan sebelumnya.

Terlebih karena Danil terlihat sudah sangat berpengalaman dalam hal tersebut.

*****

Aku pulang dengan tubuh yang terasa lelah. Hari sudah hampir jam satu malam.

Aku mengetuk pintu rumah dengan perasaan tak menentu. Istriku segera membuka pintu dari dalam.

"kok baru pulang, mas?" suara istriku parau.

"iya. Lagi banyak orderan.." jawabku sekedarnya.

Setelah menutup dan mengunci pintu, aku langsung menuju kamar untuk segera tidur.

Tubuhku memang terasa sangat capek.

Keesokan harinya aku kembali menjalani rutinitasku seperti biasa. Kejadian tadi malam bersama Danil, terus membayangiku.

Uang yang aku terima memang cukup banyak. Tapi bukan itu yang menjadi pikiranku saat ini.

Aku merasa telah mengkhianati istriku. Aku merasa telah menodai takdirku sebagai seorang laki-laki.

Tapi sekali lagi, aku melakukan itu semua hanya demi uang.

Namun uang itu masih aku simpan, aku tak tega memberikannya pada istriku. Seperti janjiku pada diriku sendiri, bahwa aku ingin memberi nafkah istri dan anakku dengan uang yang halal, bukan dari hasil aku jual diri.

Aku berniat untuk mengembalikan semua uang itu kepada Danil. Tapi sebagian hatiku menolak.

Aku sudah terlanjur menuruti permintaan Danil. Aku sudah terlanjur kehilangan harga diriku.

Jika aku mengembalikan uang tersebut, jelas tidak akan membuat harga diri kembali.

Ah, tiba-tiba rasa penyesalan menyeruak dalam dadaku.

Kenapa juga aku harus mau memenuhi permintaan Danil?

Kenapa aku tidak menolaknya saja?

Aku sudah terlanjur terjerumus ke dalam lembah hitam penuh dosa.

Yang membuatku kian merasa bersalah.

Tapi apa yang harus aku lakukan saat ini?

Sementara aku sangat membutuhkan uang ini, untuk membayar kontrakan rumah dan juga untuk belanja keluargaku.

*****

Aku menekan bel rumah mewah itu satu kali.

Tak lama kemudian, Danil pun muncul di ambang pintu.

"ada apa, mas Radit?" suara Danil terdengar serak.

"saya... saya ingin mengembalikan.. uang yang kamu berikan semalam.." ucapku dengan sedikit terbata.

"kenapa? Bukankah mas Radit sangat membutuhkan uang tersebut?" Danil bertanya lagi.

"saya memang sedang membutuhkan uang, Nil. Tapi tidak dengan cara seperti ini.." balasku pelan.

"terserah mas Radit, sih. Tapi saya gak mungkin menerima sesuatu yang sudah terlanjur saya berikan pada mas Radit.." Danil berucap, sambil mulai menutup pintunya kembali.

Aku hanya terdiam dan membiarkan Danil menutup pintu rumahnya.

Aku memang berniat untuk mengembalikan uang tersebut. Tapi mendengar ucapan Danil barusan, tiba-tiba saja aku berubah pikiran.

Saat aku hendak memutar tubuh untuk segera berlalu dari tempat itu, tiba-tiba pintu rumah Danil terbuka kembali.

"saya ikhlas kok, mas Radit. Dan nanti jika mas Radit butuh uang, mas Radit bisa datang kapan saja kesini.." Danil berucap dengan sedikit menyunggingkan senyum tipis.

Aku tidak membalas ucapan Danil barusan. Aku terus saja melangkah meninggalkan rumah tersebut.

Sekali lagi, aku bukan laki-laki baik-baik. Mungkin belum saatnya aku berubah menjadi laki-laki baik.

Tapi aku berjanji dalam hatiku, ini adalah pertama dan terakhir kalinya aku melakukan hal tersebut.

Ini adalah pertama dan terakhir kalinya, aku menjual diriku hanya demi uang.

Semoga saja ke depannya aku bisa jadi lebih baik.

Semoga saja tidak ada lagi dari pelangganku yang menawarkan uang seperti yang dilakukan Danil padaku.

Ya, semoga saja...

*****

Sekian...

Lelaki dari Timur

Namanya Deden. Ia salah seorang rekan kerjaku. Dan ia berasal dari Timur, tepatnya dari Pulau Sulawesi.

Sejak awal mengenal Deden, aku merasa biasa saja. Deden memang baru setahun kerja di perusahaan kami.

Deden tidak tampan, namun ia memiliki postur tubuh yang atletis dan terlihat kekar.

Kulitnya gelap, namun terlihat bersih dan terawat dengan baik.

Deden seorang perantau, ia tinggal sendiri di sebuah kamar kost.

Usia Deden sudah 27 tahun, dua tahun lebih muda dariku.

Deden satu ruangan denganku dan juga beberapa orang rekan kerja lainnya.

Kami satu ruangan memang sering makan siang bareng di kantin depan kantor tempat kami bekerja.

Setahun mengenal Deden, aku merasa mulai sering memikirkannya. Sikapnya yang tenang dan cukup pendiam, membuat Deden terlihat lebih dewasa.

Aku kadang suka memperhatikannya diam-diam.

Meski tidak tampan, namun Deden punya daya tarik tersendiri, yang membuatku sering melamunkannya saat malam hari.

Aku sendiri seorang anak bungsu dari lima bersaudara. Keempat kakak-kakakku sudah menikah dan sudah punya rumah sendiri.

Aku masih tinggal bersama kedua orangtuaku yang dua-duanya sudah pensiun.

Sebagai anak bungsu aku memang tergolong sedikit manja. Tapi aku tidak feminim, aku tipe cowok yang tergolong maskulin.

Hanya saja, sejak SMP aku sudah menyadari kalau aku adalah seorang gay.

Aku pernah jatuh cinta dan pacaran dengan laki-laki beberapa kali.

Namun sudah hampir tiga tahun belakangan ini, aku sudah sangat jarang berhubungan dengan laki-laki.

Kisah cintaku yang selalu kandas, membuatku lebih hati-hati dalam mengenal laki-laki yang ingin dekat denganku.

Tapi sejak kehadiran Deden, aku mulai merasakan kembali yang namanya jatuh cinta.

Ya, Deden dengan segala kesederhanaannya telah mampu menumbuhkan benih-benih cinta di hatiku.

Namun aku selalu berusaha bersikap wajar di depan Deden. Aku bersikap seolah-olah Deden hanyalah seorang rekan kerja, sebagaimana rekan kerjaku yang lainnya.

Hingga suatu saat, kami sekantor melakukan sebuah perjalanan rekreasi bersama.

Hal tersebut memang sudah menjadi kegiatan rutin hampir setiap tahun, sebagai bentuk apresiasi atasan kami, untuk hasil kerja kami setahun.

Perjalanan dimulai dari pagi sekitar jam tujuh dengan menggunakan sebuah bus pariwisata.

Tujuan kami kali ini berjarak kurang lebih tujuh jam perjalanan dari kota tempat kami tinggal.

Dan kali ini juga, kami mendapat jatah liburan selama dua hari. Untuk itu kami juga telah disediakan tempat menginap di sebuah hotel.

Kebetulan sekali aku dan Deden duduk satu bangku di dalam bus, selama perjalanan tersebut.

"melamun aja dari tadi, bang Aqis.." suara Deden yang duduk di sampingku sedikit mengagetkanku.

"ah, gak, kok. Cuma mencoba menikmati perjalanan ini.." balasku beralasan.

"bang Aqis lagi memikirkan pacarnya ya..?" tanya Deden dengan nada sedikit menggoda.

"saya mana punya pacar, Den..." jawabku jujur.

"ah, masa' orang setampan dan segagah bang Aqis belum punya pacar?!" Deden berujar lagi, dengan nada tak percayanya.

Aku merasa sedikit tersanjung dengan kalimat pujian yang dilontarkan Deden barusan.

"kamu bisa aja, Den. Tapi aku memang gak punya pacar..." jawabku akhirnya.

"pasti karena bang Aqis orangnya terlalu pemilih. Padahal banyak loh, cewek-cewek rekan kerja kita yang suka sama bang Aqis.." ujar Deden selanjutnya.

"itu dia masalahnya, Den.." suaraku lemah.

"masalah apa?" tanya Deden dengan kening berkerut.

"jangan bilang bang Aqis tidak suka perempuan?" Deden melanjutkan dengan nada hati-hati.

Aku menatap Deden cukup tajam.

"maaf, bang. Saya hanya mencoba bercanda, kok." Deden berucap lagi, melihat saya yang menatapnya tajam.

"kamu sendiri gimana, Den? Apa kamu sudah punya pacar?" aku berucap, mencoba mengalihkan pembicaraan.

"saya mana suka perempuan, bang?" jawab Deden datar.

Aku setengah terperanjat mendengar penuturan Deden barusan. Bukan saja karena keberanian Deden untuk jujur padaku, tapi juga karena aku tak menyangka sama sekali kalau Deden ternyata juga seorang gay.

"kamu serius?" tanyaku setengah berbisik.

Para penumpang lain dalam bus memang sepertinya sedang sibuk dengan cerita mereka masing-masing. Tapi aku tetap merasa takut pembicaraan kami di dengar oleh mereka.

"saya justru suka sama abang. Sudah sejak lama malah.." Deden turut berbisik, namun kalimatnya terdengar begitu tegas.

Aku terdiam tiba-tiba. Sekali lagi aku tak menyangka, kalau Deden akan berucap demikian dengan gamblangnya.

Meski ada rasa senang dihatiku mendengar kalimat tersebut, namun aku belum cukup berani untuk jujur pada Deden tentang perasaanku padanya.

Untuk selanjutnya, kami hanya saling membisu. Aku tak tahu apa yang ada dalam pikiran Deden saat itu, setelah ia dengan mudahnya mengungkapkan siapa dirinya dan bagaimana perasaannya padaku.

Sementara aku dengan sekuat hati menahan perasaan bahagia, memikirkan kejujuran Deden tersebut.

Aku merasa bahagia, ternyata cintaku tak bertepuk sebelah tangan. Namun ini semua terlalu mudah bagiku.

Aku hanya takut, sesuatu yang mudah di dapat, akan mudah pula untuk terlepas.

Untuk itu, aku tetap memilih diam, tanpa berani berkata apa-apa lagi kepada Deden.

*****

Sesampai ditujuan, kami pun berjalan-jalan di sepanjang pantai sambil berfoto ria bersama-sama.

Untuk sesaat, cerita antara aku dan Deden tidak lagi mengganggu pikiranku.

Namun saat di hotel, perasaan itu kembali muncul di benakku.

Apa lagi, ternyata aku dan Deden tidur satu kamar.

"bang Aqis marah ya sama saya?" tanya Deden akhirnya, ketika kami sudah berada di dalam kamar hotel.

"gak. Saya gak marah kok, Den." jawabku dengan nada datar.

"tapi sejak tadi bang Aqis seperti mendiamkanku.." balas Deden lagi.

Aku kembali terdiam. Hatiku dilema.

Antara ingin jujur kepada Deden, atau tetap memilih untuk memendam perasaanku.

"bang Aqis pasti jijik ya berteman denganku sekarang?" suara Deden lemah.

"aku... aku... aku ... sebenarnya juga suka sama kamu, Den..." ucapku akhirnya dengan nada terbata.

"iya, aku tahu. Meski aku tidak begitu yakin awalnya." ucapan Deden membuatku menatapnya penuh tanya.

"aku tahu, bang Aqis selama ini diam-diam sering memperhatikanku. Karena itu juga, aku jadi cukup berani untuk jujur pada bang Aqis. Tapi melihat bang Aqis yang hanya terdiam tadi di bus, aku mulai ragu.."

"namun sekarang aku percaya, kalau sebenarnya kita saling tertarik.." Deden melanjutkan kalimatnya, ia seperti berusaha menjawab tatapan penuh tanyaku padanya.

Oh, ternyata aku tidak terlalu pintar menyembunyikan perasaanku selama ini. Atau sebenarnya Deden lebih mudah menebak pikiranku, karena kami sama-sama penyuka sesama jenis.

Namun terlepas dari itu semua, kini semuanya sudah sangat jelas.

Aku memang mencintai Deden, dan ternyata Deden juga mencintaiku.

Sejak malam itu, kami pun resmi menjalin hubungan asmara.

Cintaku dan cinta Deden akhirnya menyatu dalam sebuah ikatan asmara yang penuh dengan keindahan.

*****

Semenjak aku dan Deden pacaran, aku jadi semakin sering menginap di kost Deden. Begitu juga sebaliknya, Deden juga sering aku ajak menginap di rumahku.

Tiada hari yang kami lewati tanpa kebersamaan. Semuanya terasa indah. Bahkan teramat indah.

Cinta yang tumbuh dihati kami, benar-benar mekar dengan sempurna.

Kebahagiaan tidak bisa dibandingkan dengan apa pun.

Aku sangat mencintai Deden, demikian juga sebaliknya.

"apa yang membuat bang Aqis menyukai saya?" tanya Deden suatu malam, ketika untuk kesekian kalinya aku menginap di kost-nya.

"padahal saya orangnya jelek, hitam lagi.." lanjut Deden.

"terus terang dari dulu saya memang suka cowok yang berkulit gelap, terlihat lebih macho aja. Dan lagi pula kamu juga sangat gagah dan kekar, Den. Aku suka cowok yang berotot seperti kamu.." jawabku jujur.

"tapi saya kan tidak tampan, bang." ujar Deden lagi.

"tampang bagi saya bukanlah syarat utama. Yang penting badannya bagus dan bersih, dan yang pasti kamu orang yang baik dan juga berpikiran dewasa, Den." balasku ringan.

"padahal bang Aqis sangat tampan dan juga atletis. Saya merasa sangat beruntung bisa berpacaran dengan bang Aqis.." Deden berucap lagi, sambil ia menggenggam jemariku.

Aku membalas genggaman tangan Deden dengan erat. Tangan itu terasa hangat.

Aku memang mencintai Deden dengan apa adanya dirinya. Tubuhnya yang kekar memang selalu membuatku merindukan dekapannya.

Mencintai Deden adalah sebuah keindahan dan memiliki cintanya merupakan sebuah anugerah bagiku.

Tapi...

Ternyata semua tak berjalan seperti yang kami harapkan.

Kami memang saling mencintai, dan tak ingin terpisahkan.

Namun takdir berkata lain.

Mamaku yang sudah tua dan sering sakit-sakitan, terus memaksaku untuk segera menikah.

"mama ingin melihat kami menikah, Qis. Sebelum mama menemui ajal mama.." begitu rintih mama dalam sakitnya.

Aku tak tega melihat mama yang terus sakit-sakitan. Satu-satunya keinginan mama saat ini, ialah melihat aku menikah.

Tapi aku harus menikah dengan siapa?

Sampai saat ini yang ada dihatiku, hanyalah Deden.

Aku tak ingin menikah dengan siapapun, kecuali dengan Deden.

Tapi bagaimana mungkin hal itu bisa menjadi nyata?

Sementara sakit mama semakin parah, dan permohonannya padaku masih sama.

Sampai akhirnya mama akhirnya pun meninggal, dan aku belum juga bisa memenuhi permintaan terakhirnya.

Aku merasa sangat terpukul dengan kematian mama, namun aku merasa lebih terpukul lagi karena tidak bisa memenuhi permintaan terakhirnya.

"sabar ya, bang.." bisik Deden di telingaku, ia berusaha untuk menghiburku.

Aku memang belum menceritakan tentang permintaan terakhir mama pada Deden. Aku tak ingin Deden ikut merasakan beban yang aku tanggung.

"untuk sementara aku pengen sendirian dulu, Den. Kita gak usah ketemu dulu, ya.." pintaku kepada Deden, ketika akhirnya mama di makamkan.

Deden tidak menjawab. Namun aku yakin, kalau Deden sangat mengerti dengan keadaanku saat ini.

Meski aku juga tahu, bahwa Deden juga ingin menghiburku dan mendampingiku melewati semua ini.

Tapi saat ini, aku benar-benar ingin sendiri.

Rasa bersalahku kepada mama terus menghantuiku, bahkan mama selalu hadir dalam setiap mimpiku.

Hal itu justru semakin membuatku terus dihantui rasa bersalah, yang membuatku jadi berniat untuk segera memenuhi keinginan terakhir mama tersebut.

Karena itu aku meminta salah seorang kakakku untuk mencarikan jodoh buatku.

Kakak-kakakku tentu saja merasa senang mendengar niatku tersebut, apa lagi papa.

Mereka pun berusaha mencarikan jodoh terbaik untukku.

Sementara hubunganku dengan Deden kian terasa jauh.

Deden memang masih sering berusaha untuk menemui dan menghubungiku, namun aku selalu berusaha menghindar darinya.

Aku tidak punya banyak nyali, untuk berbicara jujur pada Deden. Tapi aku juga tidak tega meninggalkannya tanpa penjelasan apa pun.

Hal ini justru menumbuhkan dilema dihatiku.

Di satu sisi, aku ingin segera memenuhi permintaan terakhir mamaku, namun di sisi lain aku juga tidak tega membuat Deden terluka. Terlebih aku sebenarnya juga belum siap berpisah dengan Deden.

Namun aku memang harus memilih, sekalipun pilihanku akan melukai hatiku sendiri.

Dan akhirnya aku pun memutuskan untuk menceritkan semuanya pada Deden.

Deden terlihat sangat kecewa, tapi ia juga sangat mengerti dengan posisiku saat ini.

Aku dan Deden pun memutuskan untuk mengakhiri hubungan kami dengan cara baik-baik dan tanpa ada rasa dendam.

Aku pun kemudian melangsungkan pernikahan dengan gadis pilihan keluargaku, meski aku tidak mencintai gadis tersebut.

Setidaknya dengan begitu, aku telah berusaha untuk memenuhi permintaan terakhir mamaku.

Meski aku harus kehilangan orang yang paling aku cintai.

Deden, cowok gelap dari timur itu, kini hanya menjadi sepenggal cerita di masa laluku.

Aku berharap semoga Deden segera menemukan kebahagiaannya sendiri.

Ya, semoga saja...

****

Lelaki penjaga villa

Panggil aku Andi, dan ini adalah kisahku.

Aku seorang anak tunggal dari pasangan seorang pengusaha kaya dan seorang wanita karir.

Kehidupanku memang terbilang cukup mewah dan serba berkecukupan.

Tinggal di rumah gedongan dan punya mobil mewah pribadi, hadiah ulang tahun ke 20 dari papaku.

 

Lelaki penjaga villa

Mama dan papa memang cukup memanjakanku, meski sebenarnya aku tidak terlalu menyukai hal tersebut.

Sebagai seseorang yang mulai beranjak dewasa, aku butuh yang namanya kebebasan.

Dan  dibalik kehidupanku yang serba wah tersebut, aku punya suatu rahasia.

Rahasia yang selama ini hanya aku pendam sendiri.

Sampai akhirnya aku bertemu dengan Arkan.

Arkan adalah seorang laki-laki sempurna di mataku. Wajahnya tampan dengan postur tubuh yang atletis.

Sejak pertama kali bertemu dan berkenalan dengan Arkan, aku sudah jatuh hati padanya.

Gayung pun bersambut, Arkan juga ternyata seorang yang sakit sepertiku. Dan dia juga tertarik padaku.

Kami pun akhirnya menjalin hubungan asmara secara diam-diam.

Arkan adalah salah seorang karyawan di perusahaan papaku.

Usianya sudah mendekati kepala tiga.

Sejak berpacaran dengan Arkan, aku jadi punya tujuan hidup.

Aku sangat menyayangi Arkan, hingga aku rela melakukan apa saja untuknya.

Aku ingin selalu membuat Arkan merasa bahagia dan nyaman saat bersamaku.

Aku bahkan sering memberi Arkan hadiah-hadiah mewah, tentu saja dari uang jajan yang di jatahkan papa untukku.

Bahkan barang-barang mewah yang aku hadiahkan untuk Arkan, harganya bisa mencapai jutaan rupiah, bahkan melebihi dari gaji Arkan sebulan.

Segala pengorbananku itu, aku lakukan hanya untuk membuktikan bahwa betapa aku sangat mencintai Arkan.

"motorku sekarang sudah sering mogok-mogok, Ndi. Kayaknya aku butuh motor baru deh.." ucap Arkan suatu malam, saat kami bertemu di sebuah kamar hotel.

"sabar ya, bang. Nanti aku coba minta uang sama papa. Kalau dapat, aku belikan bang Arkan motor baru ya.." balasku manja.

"gak usah, Ndi. Aku cuma sekedar pengen cerita, kok. Gak ada maksud apa-apa.." Arkan berujar lagi.

"gak apa-apa, bang. Yang penting bang Arkan bahagia. Aku pasti akan rela melakukan apa pun demi abang.." balasku lagi.

"kalau memang kamu bersikeras, ya apa boleh buat, Ndi. Tapi aku gak minta loh.." ucap Arkan, sambil ia meraih jemariku lembut.

Aku tahu, Arkan tidak meminta secara langsung hal tersbebut. Tapi aku juga tahu, kalau Arkan sangat ingin aku membelikannya motor baru.

Dan aku tidak merasa keberatan, selama hal itu bisa membuat Arkan bahagia.

*****

Waktu terus berputar, dan sudah lebih dari setahun aku dan Arkan berpacaran.

Sudah sangat banyak juga pengorbanan yang aku lakukan untuk Arkan.

Namun akhirnya semua itu hanyalah sebuah pengorbanan yang sia-sia.

Aku akhirnya mengetahui, kalau ternyata diam-diam Arkan juga menjalin hubungan dengan seorang wanita.

Mereka pacaran bahkan sudah hampir setahun.

Selama ini, Arkan ternyata hanya memanfaatkanku, untuk menguras uangku.

Aku sangat kecewa mengetahui hal tersebut.

Tidak pernah aku sangka sebelumnya, kalau Arkan tega menipuku.

Ia hanya berpura-pura mencintaiku, untuk mendapatkan hadiah-hadiah mewah dariku.

Aku terhempas kecewa. Untuk pertama kalinya aku merasakan indahnya berpacaran, justru semua harus berakhir dengan luka yang sangat dalam.

Beberapa hari aku hanya mengurung diri di kamar. Aku kehilangan gairah.

Tak mudah bagiku untuk melupakan Arkan. Cintaku padanya sudah terlalu amat dalam.

"Andi pengen pergi liburan, Ma.." ujarku kepada mama, saat kami makan malam.

"liburan? bukannya sekarang belum musim liburan, Ndi?" tanya mama.

"Andi lagi suntuk dikota, Ma. Andi pengen sekedar menenangkan pikiran, kok. Boleh ya ma..?" pintaku sedikit memohon.

Aku memang berencana untuk pergi beberapa hari dari kota ini. Aku tidak ingin terus berada di sini. terlalu banyak kenangan yang terjadi disini.

Aku berharap, dengan pergi liburan beberapa hari, aku bisa belajar untuk melupakan Arkan.

"kalau kamu memang ingin menenangkan pikiran, mama cuma kasih izin sama kamu, untuk liburan di villa kita yang berada di puncak.." mama berucap juga akhirnya.

Sebenarnya aku ingin pergi liburan ke tempat yang belum pernah aku kunjungi sama sekali.

Tapi aku tahu mama, jika ia sudah berkata demikian, maka tidak akan ada yang bisa mengubah keputusannya.

Jadi lebih baik aku setuju saja dengan permintaan mama tersebut. Setidaknya itu jauh lebih baik, dari pada aku terus berasa di sini.

"mama akan telpon mas Gandhi, untuk mengabari kalau kamu akan kesana.." ucap mama lagi, setelah aku menyetujui permintaannya.

"mas Gandhi siapa, ma?" tanyaku penasaran.

"mas Gandhi yang menjaga villa kita disana, ia penjaga baru.." jawab mama, sambil mulai memainkan handphone-nya.

Aku gak tahu, kalau penjaga villa kami sudah diganti.

Dulu penjaga villa kami bernama pak Udin, seorang laki-laki tua.

Tapi memang sudah lebih dari tiga tahun, aku tidak pernah ikut mama dan papa pergi liburan ke villa kami tersebut.

*****

Aku menyetir mobilku sendiri, menuju puncak tempat villa kami berada.

Setelah menempuh perjalanan kurang lebih tujuh jam, aku akhirnya sampai ketujuan.

Lebih dari tiga tahun, aku tidak pernah lagi datang kesini.

Suasananya masih sama seperti dulu. Sepi, sejuk dan terasa nyaman.

Saat aku keluar dari mobil, seorang laki-laki paroh baya menghampiriku.

"mas Andi, ya?" tanya laki-laki tersebut.

"iya, mas. Dan mas, pasti mas Gandhi ya?" balasku ringan.

Laki-laki tersebut bertubuh sedikit jangkung. Kulitnya sawo matang.

Matanya coklat, dengan hidung yang sedikit mancung. Rahangnya terlihat kokoh.

Mas Gandhi terlihat kekar dan gagah. Ia jauh lebih muda dari yang aku bayangkan.

Meski tidak terlalu tampan, namun wajah mas Gandhi tidak membosankan untuk dilihat.

Mas Gandhi kemudian membantuku membawa barang bawaanku masuk ke dalam villa.

"mas Gandhi tinggal di sini?" tanyaku. ketika sudah berada di dalam.

"gak, mas. Tapi rumahku gak jauh kok dari sini. Nanti kalau mas Andi ada perlu apa-apa panggil aja saya.." balas mas Gandhi terdengar sangat sopan.

"mas Gandhi udah nikah?" tanyaku lagi, sekedar ingin tahu.

"udah, mas. Saya malah udah punya dua anak.." jawab mas Gandhi.

"kalau boleh tahu, mas Gandhi usia berapa sekarang?" aku bertanya kembali.

"udah 33 tahun, mas." jawab mas Gandhi.

Aku kemudian hanya manggut-manggut. Padahal menurutku mas Gandhi masih kelihatan seperti baru berusia 25 tahun.

"kalau gak ada lagi yang ditanyakan, saya permisi, mas.." ucap mas Gandhi kemudian.

Aku merenung sejenak. Awalnya aku memang pengen sendirian, dan tak ingin diganggu oleh apa pun dan oleh siapa pun.

Namun dari awal melihat mas Gandhi tadi, aku tiba-tiba berubah pikiran.

Mas Gandhi cukup menarik secara fisik. Meski aku tahu ia sudah menikah dan sudah punya anak.

Tapi gak salahnya, kalau aku meminta mas Gandhi untuk menemaniku, meski hanya sekedar untuk teman ngobrol.

"mas Gandhi sibuk gak?" tanyaku akhirnya.

"emang kenapa, mas?" mas Gandhi balik bertanya.

"saya lagi butuh teman buat ngobrol, kalau mas Gandhi mau kita ngobrol-ngobrol disini dulu ya.." ucapku meminta.

"kalau mas Andi yang minta seperti itu, saya mana berani menolak, mas. Mama mas udah pesan tadi, agar saya bisa memenuhi apa pun permintaan mas Andi selama disini.." balas mas Gandhi.

"ya udah, kita ngobrol di belakang aja ya, lebih adem kayaknya.." ujarku, sambil mulai melangkan menuju bagian belakang villa tersebut.

Di bagian belakang villa, memang terdapat semacam teras tempat duduk-duduk dengan pemandangan alam yang indah.

*****

"seperti yang mas Gandhi katakan tadi, kalau mama meminta mas untuk memenuhi apa pun permintaan saya selama disini, itu artinya saya boleh meminta beberapa hal pada mas Gandhi?" aku berujar setelah kami duduk di teras belakang villa.

"iya, mas. Selagi saya mampu, pasti saya penuhi, kok.." balas mas Gandhi.

"ada beberapa permintaan saya sama mas Gandhi.." ucapku pelan.

"permintaan apa, mas?" tanya mas Gandhi cepat.

"pertama, saya pengen mas Gandhi jangan memanggil saya pakai mas, cukup Andi saja.." ujarku sedatar mungkin.

"baik, mas. eh... Ndi.." jawab mas Gandhi terdengar kaku.

"anggap saja saya ini temannya mas Gandhi, atau anggap adik juga boleh.." ucapku mulai santai.

Bertemu dengan mas Gandhi, membuatku jadi sedikit bisa melupakan tentang Arkan.

Rasa sakit itu terasa mulai berkurang, apa lagi mas Gandhi sangat asyik untuk diajak ngobrol.

"kedua, saya ingin mas Gandhi menemani saya tidur malam ini. Karena saya merasa takut harus tidur sendirian di villa ini.." aku berucap lagi, sambil melirik mas Gandhi yang duduk tak jauh di sampingku.

"baik, Ndi. Berarti malam ini saya harus tidur di sini?" balas mas Gandhi sedikit bertanya, seperti meyakinkan dirinya sendiri.

"bukan hanya tidur disini saja, tapi juga mas Gandhi harus tidur seranjang dengan saya.." ucapku lagi.

"tapi, Ndi. Saya.. saya.. " suara mas Gandhi terbata.

"udah.. mas Gandhi ikuti saja perintah saya. Saya gak bakal gigit, kok. Paling gigit-gigit dikit aja.." ujarku dengan nada sedikit bercanda.

"ah, kamu bisa aja, Ndi. Tapi emang gak apa-apa, saya tidur seranjang sama kamu? Saya tidur di bawah aja gak apa-apa. Atau di ruang tengah juga gak apa-apa.." balas mas Gandhi terdengar mulai akrab.

"pokoknya, saya pengen mas Gandhi tidur seranjang dengan saya malam ini..." ucapku berusaha tegas.

Kali ini mas Gandhi hanya terdiam, kemudian mengangguk pelan.

*****

Malam pun datang, mas Gandhi muncul kembali ke villa, setelah ia pamit pulang sebentar untuk memberi tahu keluarganya, sekaligus membawakan makan malam untuk kami.

Setelah mandi dan makan malam, saya langsung mengajak mas Gandhi untuk masuk ke kamar.

"saya lumayan capek, mas. Jadi mau langsung istirahat aja.." ucapku ringan.

Mas Gandhi yang masih kelihatan sungkan, mengikutiku masuk ke dalam kamar tersebut.

Sesampai di dalam, aku langsung merebahkan tubuhku di atas ranjang yang empuk tersebut.

"kamu mau saya pijit gak?" tanya mas Gandhi tiba-tiba, saat ia mulai duduk di sisi ranjang.

"mas Gandhi bisa mijit?" tanyaku.

"dikit-dikit bisa lah, mas.." jawab mas Gandhi mantap.

"ya udah, saya senang malah kalau ada yang mau mijat.." aku berujar, sambil mulai bangkit untuk melepaskan sebagian pakaianku.

Dengan hanya memakai celana pendek, aku mulai tengkurap di ranjang. Sesuai dengan instruksi mas Gandhi.

Mas Gandhi pun mulai memijat bagian kakiku. Pijatannya terasa enak dengan tekanan yang pas.

Aku merasa nyaman dan rileks. Pikiranku jadi terasa lebih ringan.

Mas Gandhi benar-benar pandai memijat. Setiap pijatannya di tubuhku membuatku semakin terasa nyaman.

Sentuhan-sentuhannya benar-benar terasa, bukan seperti tukang pijat abal-abal yang banyak aku temukan di kota.

"makasih ya, mas Gandhi.." ucapku pelan, ketika mas Gandhi mengakhiri pijatannya.

"iya, Ndi. Sama-sama. Sekarang udah rileks kan?" balas mas Gandhi sedikit bertanya.

"udah, mas. Udah enakan rasanya badanku.." balasku.

Mas Gandhi kemudian berbaring di sampingku. Tubuh kami hampir berdempetan.

"saya mau cerita sesuatu sama mas Gandhi. Tapi mas Gandhi jangan kaget, ya. Dan jangan ceritakan hal ini pada siapa pun.." ucapku kemudian.

Aku memang berniat untuk bercerita tentang Arkan kepada mas Gandhi. Aku mungkin memang butuh tempat untuk berbagi cerita.

Aku berharap, dengan meluahkan semua perasaanku tentang Arkan bisa sedikit mengurangi rasa sakit dihatiku.

Setidaknya dengan begitu, bebanku akan menjadi sedikit berkurang.

"cerita aja, Ndi. Saya siap kok mendengarkannya.." balas mas Gandhi.

Aku menatap mas Gandhi beberapa saat, sekedar meyakinkan diriku sendiri, kalau mas Gandhi adalah orang yang tepat untukku berbagi cerita. Apa lagi ini sebuah cerita rahasia.

Setelah merasa cukup yakin, aku pun memulai ceritaku.

Aku melihat reaksi keterkejutan pada wajah mas Gandhi, saat aku mengatakan kalau aku adalah seorang gay.

Tapi aku coba mengabaikan hal tersebut, dan memilih untuk tetap melanjutkan ceritaku.

*****

Pada malam kedua aku di villa tersebut, aku masih meminta mas Gandhi untuk menemaniku tidur.

Meski aku tahu, mas Gandhi mulai risih untuk dekat-dekat denganku, setelah mengetahui siapa aku sebenarnya.

Namun aku tahu, mas Gandhi tidak akan bisa menolak permintaanku.

"saya suka sama mas Gandhi.." ucapku nekat.

Aku memang menyukai sosok mas Gandhi. Bukan saja karena ia sangat menarik secara fisik.

Tapi terlebih, saat ini hatiku benar-benar sedang rapuh. Kekecewaanku terhadap Arkan, membuatku lebih rentan untuk tertarik pada laki-laki lain.

Apa lagi mas Gandhi memang sosok yang menarik.

Kehampaan dan kekosongan hatiku telah membuat kehadiran mas Gandhi menjadi istimewa bagiku.

"tapi saya bukan gay, Ndi. Saya juga sudah menikah dan punya anak.." balas mas Gandhi akhirnya.

"iya, aku tahu, mas. Tapi ketertarikanku pada mas Gandhi sudah tidak bisa aku sembunyikan lagi. Aku menginginkan mas Gandhi malam ini.." ucapku membalas.

"bagaimana kalau saya gak mau, Ndi?" tanya mas Gandhi kemudian.

"itu hak mas gandhi. Saya hanya mencoba untuk jujur, mas. Meski saya tahu, saya akan menelan kepahitan untuk yang kedua kalinya.." balasku terdengar lemah.

"mungkin sudah nasib saya seperti ini, mas. Punya pacar, tapi hanya dimanfaatkan. Menyukai seseorang, tapi malah ditolak.." lanjutku masih dengan nada lemah.

Mas Gandhi menatapku beberapa saat, kemudian berujar ..

"saya... saya... saya... hanya tidak tahu.. harus ngapain, mas.." suara mas Gandhi terbata.

"mas gak harus ngapa-ngapain, kok. Dan mas juga gak harus memaksakan diri.." balasku ringan.

"saya.. saya juga penasaran sih sebenarnya, Ndi. Bagaimana rasanya melakukan hal tersebut dengan seorang laki-laki.." suara mas Gandhi sedikit parau.

"mas yakin mau mencobanya?" tanyaku, sambil menatap wajah mas Gandhi.

"kalau itu bisa membuat kamu merasa senang dan bahagia, Ndi. Saya mau mencobanya.." balas mas Gandhi.

Aku tak melepaskan tatapan dari wajah yang tiba-tiba saja terlihat sangat tampan dimataku malam itu.

Aku tahu, mas Gandhi bersedia melakukan hal tersebut denganku, bukan hanya karena rasa penasarannya, tapi juga karena rasa kasihannya melihatku.

"ya udah, mas. Kalau gitu kita coba ya.." ucapku akhirnya.

Aku tak ingin menyia-nyiakan kesempatan tersebut, terlepas dari apa pun alasan mas Gandhi untuk melakukannya.

Dan malam itu, untuk pertama kalinya dalam hidupku melakukan hal tersebut dengan seorang laki-laki normal dan sudah menikah.

Ada banyak perbedaan yang aku rasakan malam itu. Ada banyak perubahan yang aku rasakan malam itu.

Segala bayangan tentang Arkan tiba-tiba memudar. Hatiku tiba-tiba merasa lega.

Rasa sakit karena ditipu oleh Arkan, telah terganti dengan rasa indah yang diberikan mas Gandhi.

Tidak sia-sia aku datang ke villa ini. Bukan saja aku akhirnya berhasil melupakan Arkan, tapi aku juga mendapatkan sebuah sensasi keindahan yang luar biasa.

Meski aku cukup menyadari, bahwa keindahan yang aku rasakan dari mas Gandhi bisa saja hanya bersifat sementara.

Tapi paling tidak sekarang aku punya tujuan baru dalam hidupku.

Ya, mas Gandhi telah mampu merasuki jiwa dan pikiranku. Aku semakin terlena dengan buaian cintaku kepada mas Gandhi, si penjaga villa tersebut.

*****

Malam-malam selanjutnya aku dan mas Gandhi semakin sering melakukannya.

Mas Gandhi tidak lagi merasa canggung saat bersamaku. Ia sepertinya juga turut larut dalam keindahan cinta yang aku curahkan untuknya.

Sampai seminggu kemudian, mama pun memintaku untuk segera pulang.

Dengan perasaan berat harus berpisah dengan mas Gandhi aku pun kembali ke kota.

Aku kembali ke kota, dengan perasaan yang berbeda.

Aku punya semangat baru. Aku punya tujuan baru. Dan aku punya cinta baru di hatiku.

Segala hal tentang Arkan kini telah berlalu. Ia hanyalah sepenggal cerita pilu di masa laluku.

Kini aku akan memulai hidupku yang baru.

Aku sekarang juga punya rutinitas baru, yakni mengunjungi mas Gandhi di setiap sabtu sore.

Aku menginap dan tidur bersama mas Gandhi setiap malam minggu, dan sore minggu aku baru kembali ke kota.

Aku tak tahu, entah sampai kapan hubungan terlarangku dengan mas Gandhi akan terus berjalan.

Namun selama mas Gandhi bersedia untuk menerima kehadiranku, maka aku akan selalu setia mengunjunginya.

"aku mulai menyukai kamu, Ndi. Aku berharap hubungan kita tetap bertahan selamanya.." begitu ucapan mas Gandhi suatu malam padaku.

Ucapan yang membuatku kian berbunga. Yang membuatku kian mencintai sosok mas Gandhi.

Aku hanya berharap, semoga mas Gandhi tidak cuma untuk memanfaatkanku. Seperti Arkan dulu.

Semoga ia benar-benar mencintaiku, meski aku harus berbagi dengan istrinya.

Semoga hubungan kami tetap bertahan selamanya...

Ya, semoga saja...

******

Sekian ...

Cari Blog Ini

Layanan

Translate