Duda tampan, nasabah baruku ...

Namaku Kusnaini. Biasa di panggil Kus.

Aku bekerja di sebuah bank negara. Aku bekerja sebagai seorang account officer, yang berperan sebagai sales dan marketing.

Duda tampan, nasabah baruku...

Tugas saya adalah mencari nasabah dan menawarkan produk bank kepada masyarakat. Saya juga yang menentukan kelayakan nasabah yang sesuai dengan kriteria peraturan bank. Selain itu, saya juga menilai, mengevaluasi dan mengusulkan berapa kredit yang akan di berikan kepada nasabah.

Secara umum tugas saya adalah mengelola kredit nasabah, menyurvei nasabah yang mengajukan pinjaman kredit kepada bank.

Saya yang berhubungan langsung dengan para nasabah yang mengajukan pinjaman kredit.

Dengan segala tugas tersebut, saya sudah bertemu banyak orang, dengan berbagai karakter dan kriteria yang bermacam-macam.

Ada yang menurut saya mereka layak di beri pinjaman, dan ada yang tidak layak.

Berdasarkan hasil survei saya tersebut, bank akan menyetujui pengajuan pinjaman nasabah.

Dan ini bukanlah tugas yang mudah, karena untuk menilai karakter seseorang hanya dalam beberapa jam bukanlah hal yang gampang.

Namun tentu saja, untuk menjalankan pekerjaan saya ini, saya sudah diberi bekal yang cukup.

Dan saya bukan satu-satunya, yang bertugas sebagai account afficer di bank tempat saya bekerja.

Kami ada tiga orang, dengan pembagian wilayah tertentu. Dan tentu saja tugas kami hanya meliputi wilayah di sekitar cabang bank tempat kami bertugas.

Bertemu berbagai karakter orang, membuat saya mempunyai pengalaman dan pengetahuan yang berbeda setiap hari.

Karena tugas inilah akhirnya saya bertemu mas Eri, seorang calon nasabah baru.

Dan beginilah cerita saya di mulai.

*****

Cerita berawal, katika mas Eri menghubungi saya melalui telepon genggam. Tantu saja ia mendapatkan nomor saya, melalui brosur-brosur yang sengaja kami bagikan kepada masyarakat yang membutuhkan.

Seperti pertanyaan para calon nasabah baru pada umumnya, mas Eri pun mempertanyakan tentang syarat-syarat untuk pengajuan pinjaman.

Saya pun menjelaskan secara profesional kepada mas Eri tentang prosedur dan syarat-syarat yang harus ia penuhi.

Beberapa hari kemudian, mas Eri pun datang ke kantor untuk mengantar berkas syarat-syarat tersebut.

Saat itu, saya tidak bertemu dengan mas Eri secara langsung, karena saya sedang ada tugas lapangan.

Mas Eri hanya menitipkan berkasnya kepada satpam bank, sesuai dengan pesan yang saya sampaikan padanya melalui pesan singkat.

Keesokan harinya, saya pun melihat berkas-berkas yang masuk ke meja kerja saya, salah satunya adalah berkas dari mas Eri.

Siangnya, saya pun meluncur menuju alamat rumah mas Eri, untuk melakukan survei, sesuai dengan prosedur yang ada.

Kesan pertama yang saya rasakan, ketika pertama kali bertemu mas Eri di rumahnya, adalah sebuah keramahan. Dan hal itu sudah biasa saya hadapi.

Setiap calon nasabah baru yang saya temui, pasti akan bersikap ramah, karena mereka tahu, saya datang untuk menilai karakter mereka.

Namun dibalik keramahan mas Eri siang itu, tersimpan sebuah senyum yang begitu indah.

Harus saya akui, kalau mas Eri memang memiliki wajah yang tampan, dengan postur tubuh yang atletis.

Jantung saya sempat berdegup tak karuan beberapa saat. Jarang-jarang saya bertemu nasabah seperti mas Eri.

Apa lagi kebanyakan dari nasabah saya adalah para ibu-ibu.

Namun saya memang harus tetap bersikap profesional, apa lagi saya belum begitu mengenal mas Eri.

"jadi mas Eri punya usaha kebun sawit?" tanyaku, ketika akhirnya mas Eri mempersilahkan aku masuk dan duduk di ruang tamunya.

"iya, bang.." jawab mas Eri dengan suara yang sangat maskulin.

"oke. Kalau boleh tahu, kebun sawitnya berada di mana, mas?" tanyaku lagi, berusaha setenang mungkin.

"ada di belakang kampung ini, bang. Sekitar lima kiloan dari sini.." jelas mas Eri, masih dengan suara maskulinnya.

Terus terang saya suka mendengar karakter suara mas Eri yang terkesan sangat jantan. Dan hal itu membuat saya sedikit grogi.

"bisa kita melihatnya sekarang kesana, mas?" saya melanjutkan lagi.

"bisa, bang. Kita berangkat sekarang?" balas mas Eri kemudian.

"iya, mas. Takutnya nanti kesorean.." ucapku.

"tapi masnya gak usah panggil abang, panggil Kus aja, saya masih 27 tahun." lanjutku kemudian, mencoba sedikit akrab.

"oh, oke." jawab mas Eri singkat, sambil sedikit membulatkan bibir.

"kita perginya pake satu motor aja ya, mas. Soalnya saya gak tahu jalannya.." ujarku selanjutnya menawarkan.

Entah mengapa kali ini aku punya ide seperti itu. Padahal biasanya aku selalu naik motor sendiri untuk survei ke kebun nasabah.

Mungkin karena mas Eri terlalu mempesona bagiku. Dan aku ingin selalu dekat dengannya.

Akh, kesan pertama yang begitu menggoda.

*****

Kami akhirnya berangkat menuju kebun sawit milik mas Eri, dengan menggunakan motor mas Eri. Motorku sendiri ku titipkan di rumahnya.

Mas Eri yang menyetir, dan aku berboncengan di belakangnya.

Aroma khas mas Eri tercium di hidungku, ketika motor itu mulai berjalan.

Jantungku kian berdegup tak karuan. Apa lagi sepanjang perjalanan, dadaku sering bersentuhan dengan punggung mas Eri.

"jadi sudah berapa lama istrinya meninggal, mas?" tanyaku berbasa-basi, sekedar menghilangkan rasa grogi-ku.

"sudah hampir empat bulan, Kus." jawab mas Eri, mulai terdengar akrab.

"anaknya udah berapa, mas?" tanyaku lagi.

"udah dua, Kus. Yang satu udah sembilan tahun, satunya lagi baru dua tahun." mas Eri menjawab lagi.

"wah, kasihan juga ya, mas. Masih kecil udah di tinggal ibunya." ucapku prihatin.

"yah, mau gimana lagi, Kus. Mungkin ini udah jalannya.." jawab mas Eri terdengar pasrah.

"Sekarang mas Eri usia berapa?" aku bertanya kembali, setelah beberapa saat kami terdiam.

"38 tahun." jawab mas Eri singkat.

"masih muda ya, mas. Apa lagi mas Eri masih kelihatan tampan dan gagah." ucapku jujur,

"masih ada rencana mau nikah lagi gak, mas?" tanyaku melanjutkan.

Kali ini mas Eri terdiam. Ia fokus mengendarai motornya.

Aku pun tidak berkata apa-apa lagi. Aku sadar, mungkin pertanyaanku terlalu pribadi.

Beberapa menit kemudian, kami pun sampai ke kebun sawit mas Eri.

Sebuah kebun sawit yang cukup luas, namun tidak terawat dengan baik. Semak-semak menyelimuti kebun tersebut.

"beginilah kondisi kebun tersebut, Kus. Tidak terawat. Makanya saya mengajukan pinjaman, untuk biaya perawatannya, agar hasilnya jauh lebih meningkat nantinya.." jelas mas Eri, saat kami sudah berada di dalam kebun tersebut.

"apa lagi sekarang, saya tidak bisa bekerja seperti biasa, karena juga harus mengurus anak-anak. Jadi penghasilan dari kebun inilah yang saya harapkan untuk memenuhi kebutuhan hidup kami nantinya." lanjut mas Eri.

"sebelumnya mas Eri kerja dimana?" tanyaku pelan.

"saya kerja serabutan, Kus. Kadang cari ikan di sungai, kadang ikut jadi kuli bangunan, dan kadang ya merawat kebun ini.." jawab mas Eri.

Aku hanya manggut-manggut mendengarkannya.

Menurut data dari berkas mas Eri yang aku terima, kebun ini cukup lumayan hasilnya. Apa lagi nanti kalau mas Eri merawat dan memupuknya lebih baik.

Namun masalahnya, selain kebun ini, mas Eri tidak punya penghasilan tetap lainnya. Yang membuat saya jadi ragu, untuk meloloskannya.

"jadi gimana, Kus. Kira-kira bisa lolos gak?" tanya mas Eri memecah keheningan.

Aku menatap mas Eri dengan sedikit tersenyum. Aku gak tahu harus menjelaskan apa padanya.

"tolong ya, Kus. Saya sangat membutuhkan uang tersebut.." mas Eri berucap lagi dengan suara lirih.

Oh, aku terenyuh mendengarnya, suara mas Eri benar-benar menghiba.

"saya akan lakukan apa saja, Kus. Supaya kamu mau meloloskan pinjaman saya.." mas Eri melanjutkan, masih dengan suara lirih.

Ingin rasanya aku menganggukan kepala saat itu, tapi sikap profesionalku segera mencegahnya.

"kita lihat nanti aja ya,mas." jawabku akhirnya.

"apa itu artinya, tidak ada harapan sama sekali, Kus." suara itu semakin lirih.

"saya sangat membutuhkan uang itu, Kus. Tolong saya, ya.." mas Eri melanjutkan, kali ini ia melangkah kian mendekat.

Mas Eri berdiri tepat di hadapanku, jaraknya hanya setengah meter. Wajah tampannya menatapku, dengan pandangan sendu matanya yang indah.

Oh, aku tak tahan di tatap seperti itu. Mas Eri terlalu mempesona. Hati tiba-tiba saja luluh.

Sebagai manusia biasa, aku juga punya batas keprofesionalan dalam bekerja.

"mas Eri mau saya loloskan?" tanyaku, suaraku bergetar. Dadaku berdebar hebat.

Namun pesona mas Eri benar-benar membuatku rapuh. Tak berdaya melawan diriku sendiri.

Apa lagi suasana di kebun itu sangat sepi. Apa lagi mas Eri berdiri hanya satu langkah di depanku.

"iya, Kus. Kamu mau apa dari saya? pasti akan saya penuhi, asal kamu bisa tolong untuk meloloskan saya.." kali ini mas Eri bersuara sedikir berbisik.

Repleks tanganku pun bergerak untuk menyentuh wajah tampan itu.

"mas Eri sangat tampan. Saya suka sama mas Eri.." pelan suaraku bergetar.

Mas Eri terlihat kaget, namun ia tetap membiarkanku melakukannya.

Aku tahu, kepasrahan mas Eri bukan karena ia menyukai hal tersebut, tapi karena ia sangat berharap aku mau memenuhi permintaannya untuk meloloskan pinjamannya.

Sontak aku pun menarik tanganku kembali. Bukan karena aku tidak menginginkan hal tersebut, tapi biar bagaimana pun aku harus tetap profesional dalam bekerja.

"saya suka mas Eri. Tapi saya gak mungkin memanfaatkan jabatan saya untuk mendapatkan keinginan saya. Jadi maaf, mas Eri. Saya belum bisa memutuskannya sekarang. Nanti akan saya kabari lagi. Sekarang mari kita pulang.." ucapku panjang lebar akhirnya.

Mas Eri terlihat murung tiba-tiba. Ia terlihat seperti kehilangan harapan.

"sudah empat bulan istri saya meninggal. Sebelum meninggal istri saya sempat sakit berat selama setahun. Artinya sudah lebih dari setahun, saya tidak mendapatkan kebutuhan bathin dari istri saya." tiba-tiba mas Eri membuka suara.

"jika kamu mau melakukannya dengan saya sekarang, saya bersedia, kok. Bukan karena saya berharap kamu meloloskan saya, tapi lebih karena saya sangat ingin merasakan hal tersebut lagi, setelah sekian lama saya memendamnya.." mas Eri melanjutkan kalimatnya.

Mas Eri melangkah kian mendekat lagi. Kali ini benar-benar dekat.

Jantungku semakin berdegup tak karuan.

Akh, aku tak mampu menolak pesona mas Eri. Apa lagi sepertinya ia sangat menginginkan hal tersebut.

Dan aku tidak mau menyia-nyiakan kesempatan ini. Kapan lagi bisa melakukan hal tersebut, dengan seorang duda setampan mas Eri.

Untuk itu, aku pun mulai melakukan aksiku, dan mas Eri pun mulai membuka diri untukku.

Sore itu, kami pun melakukan hal tersebut untuk pertama kalinya.

Sebuah kesan yang sangat indah bagiku, dan sepertinya mas Eri juga menikmati hal tersebut.

Setelah sama-sama melepas lelah, kami pun sepakat untuk segera pulang.

Sepanjang perjalanan aku merasa begitu lega. Tak kusangka sore ini, aku bisa merasakan sebuah keindahan bersama mas Eri.

Sang Duda tampan, nasabah baruku...

******

Beberapa hari kemudian, aku pun meminta mas Eri untuk datang ke kantor.

"pengajuan kredit mas Eri udah di terima, sekarang mas Eri bisa datang ke kantor untuk tanda tangan akad dan sekalian pencarian dana pinjaman.." jelasku di ponsel.

Setengah jam kemudian, mas Eri pun datang. Ia tersenyum manis padaku.

Aku menatap mas Eri dengan senyum termanisku.

Semenjak kejadian sore itu di kebun sawit, aku memang jadi sering mengkhayalkan mas Eri.

Dan tak kusangka juga, kalau mas Eri juga jadi sering menghubungiku.

Kami pun akhirnya menjadi kian dekat dan akrab.

Kehadiran mas Eri telah memberi warna tersendiri dalam perjalanan hidupku.

Kini hari-hariku jadi lebih bermakna. Mas Eri sekarang bukan hanya sekedar nasabah bagiku. Tapi juga jadi bagian dari hidupku.

Kami memang akhirnya menjalin hubungan asmara secara diam-diam. Mas Eri sering memintaku untuk datang ke rumahnya.

Kami sering melakukan hal tersebut, di kamar mas Eri ,terutama saat anak-anaknya ia titipkan di rumah ibunya.

Bukan hanya di rumahnya, mas Eri juga sering mengajakku untuk bertemu di kebun sawitnya.

"di sini kita pertama kali melakukannya, Kus. Dan aku ingin terus melakukannya di sini bersama kamu, selamanya.." bisik mas Eri suatu hari, ketika kami bertemu lagi di kebunnya, untuk yang kesekian kalinya.

Oh, rasanya semua itu sangat indah bagiku. Hubungan cintaku bersama mas Eri benar-benar membuatku terlena.

Aku jadi takut kehilangan mas Eri. Aku ingin selalu bersamanya. Sampai kapan pun.

Semoga saja hubungan kami, bisa terus bertahan. Tanpa jangka waktu, tanpa batas waktu.

Bukan seperti jangka waktu pinjaman para nasabah, yang hanya terbatas pada waktu tertentu.

Satu tahun, dua tahun, tiga tahu atau lima tahun.

Tapi aku ingin hubungan kami bertahan selamanya, sampai maut memisahkan kami.

Sekian...

****

Cowok penjual Tissue ...

Lampu merah lagi!

Aku mengumpat kesal dalam hati. Aku turunkan kaca mobil setengah, untuk mengurangi panas di mobil.

Aku terus menggerutu panjang - pendek di dalam hati.

Bakalan telat lagi, nih! Padahal minggu lalu aku juga terlambat untuk mata kuliah yang satu ini. Sehingga dengan amat terpaksa aku harus mengikuti kuliah kewiraan dari luar kelas.

Cowok penjual tissue

"Tissue, mas.." sebuah suara mengagetkanku tiba-tiba.

Hampir saja aku memaki cowok penjual tissue di lampu merah itu. Kalau saja aku tidak melihat tampang cowok itu.

"jeff!" desisku setengah tak percaya. Kekucelan cowok itu sedikit meragukanku.

Cowok itu menatapku sesaat, lalu tergesa meninggalkanku. Hal tersebut semakin meyakinkanku, kalau cowok itu memang Jeff.

Tapi kenapa penampilan Jeff begitu berbeda. Kurus, hitam dan tak terawat.

Dua tahun memang bukan waktu yang singkat. Rentang waktu selama itu bisa merubah penampilan seseorang, tapi tidak sedrastis itu.

"Jeff! Jeff!" aku berteriak mengeluarkan separoh badan dari mobil. Tapi Jeff menoleh pun tidak, justru langkahnya semakin lebar.

Sayang sudah lampu hijau, kalau tidak aku akan nekat mengejar Jeff.

****

Esok siangnya, aku tidak ada kuliah.

Aku putuskan untuk datang lagi ke perempatan kemarin. Agar lebih mudah, sengaja aku tidak membawa mobil.

Semalam aku tidak bisa tidur. Pertemuanku dengan Jeff kemarin telah membangkitkan kenangan lama yang telah dengan susah payah aku timpah di dasar hatiku.

Tapi pertemuan tak terduga itu telah mengobrak-abrik semuanya. Siapa sangka mereka justru bertemu di sini.

Saat Jeff menghilang, seluruh pelosok Pekanbaru sudah aku jelajahi. Pantas gak ketemu. Gak tahunya ia di Medan.

Aku berbaur diantara pedagang asongan yang banyak itu. Mataku jelalatan mencari Jeff. Matahari tepat berada di atas kepala. Tapi aku tidak peduli, asal aku dapat bertemu dengan Jeff.

Nah itu dia! Bathinku saat melihat Jeff dari kejauhan.

Langkahku lebar. Jeff berdiri di pinggir jalan dengan tumpukan tissue di tangan. Menunggu lampu merah tiba, lalu akan bergerak cepat menjajakan dagangannya dari mobil ke mobil, begitu lampu kuning berganti merah.

Sekarang Jeff ada di depanku.

Lampu merah. Aku mengurungkan niatku untuk memanggilnya.

Ku perhatikan Jeff yang menawarkan dagangannya ke beberapa mobil yang kacanya terbuka. Bukan membeli, justru kaca itu semakin menutup penuh.

Tak satu pun dagangan Jeff terjual.

Jeff mengusap peluh di wajahnya yang hitam. Tersentuh rasa hatiku melihat hal tersebut.

Aku tahu siapa Jeff, cowok pemalu yang tak biasa hidup keras dan susah.

"Jeff.." aku memanggil pelan.

Jeff menatapku. Mengernyit sesaat lalu membuang muka. Langkahnya berbalik menjauhiku.

Aku berusaha mengejar dari belakang, "Jeff!" seruku lagi.

Ku sentuh pundak Jeff dari belakang. Cowok itu berbalik menatapku lagi.

"maaf, kamu salah orang. Aku bukan Jeff!" parau suara laki-laki itu.

"kalau bukan Jeff, lalu kamu siapa?" tanyaku meyakinkan.

 "kurasa itu bukan urusan kamu," ujar Jeff tanpa menatapku. Lalu kemudian ia berbalik dan berjalan menjauh.

"kamu pengecut, Jeff! Pergi tanpa pamit. Lalu sekarang kamu pura-pura gak kenal. Apa salahku?" teriakku parau.

Di luar dugaanku, Jeff berhenti, berbalik menatapku.

******

"kamu gak salah. Aku juga gak salah. Keadaanlah yang memaksaku harus pergi..." pelan suara Jeff. Kami duduk di halte tak jauh dari lampu merah tersebut.

"berarti kamu tak mengenal aku seutuhnya. Perbuatan papamu itu tak akan mengubah hubungan kita.." balasku selembut mungkin.

"bagimu mungkin. Tapi tidak dengan keluargamu..." suara Jeff masih pelan.

"apa maksudmu?" keningku berkerut.

"lupakan saja..." balas Jeff, lebih terdengar seperti sebuah desahan.

"jangan membuatku bingung, Jeff." timpalku.

"tak ada gunanya, Jim! Jika ku katakan, tak akan merubah apapun yang sudah terjadi.." lirih suara itu.

"tapi setidaknya bisa membuatku mengerti mengapa kamu harus pergi tanpa pamit." balasku lagi.

"aku tak ingin mengingat semua itu lagi. Bagiku itu merupakan masa lalu yang sudah terkubur dalam-dalam.."

Miris hatiku mendengarnya. Tragis sekali. Bagi Jeff diriku cuma masa lalu yang sudah terkubur. Sementara aku selalu mengais-ngais masa lalu itu. Berharap suatu hari kami akan kembali bertemu.

"semudah itu kamu melupakanku?" tanyaku akhirnya, suaraku terdengar serak.

"kita sudah berbeda, Jim. Lihat saja, aku bagai gelandangan dekil. Sementara kamu bagai sang pangeran..." Jeff membalas ringan.

"semua mungkin sudah berubah. Tapi tidak dengan hatiku.." ucapku pelan.

"waktu akan mengubah segalanya, Jim..." Jeff membalas lagi.

"takkan ada yang mampu merubah perasaanku padamu Jeff.." balasku sengit.

Ku lihat Jeff menghela napas berat.

Aku menatap wajah Jeff dalam. Wajah itu masih sangat tampan, meski sekarang terbalut kulit yang menghitam.

Mencintai Jeff adalah hal yang menyenangkan, dan memiliki cinta cowok itu merupakan hal terindah dalam hidupku.

Tapi itu dulu. Sebelum semuanya berubah.

Bukan salah Jeff, jika semuanya harus berakhir seperti ini.

Bukan salah papanya Jeff, yang memanipulasi uang perusahaan, yang menyebabkan Jeff jadi hina di mata siapa saja.

Jeff tak berhak menghakimi papanya. Sudah terlalu banyak yang menghakiminya. Apa lagi papa Jeff sudah menebusnya dengan masuk bui, dan akhirnya memutuskan untuk mengakhiri hidupnya, karena tidak tahan hidup di dalam sel.

Bukan salah mamanya Jeff juga, yang memilih mengakhiri hidupnya dan meninggalkan Jeff sendirian, karena tak sanggup hidup melarat dan menanggung malu.

Bukan salah siapa-siapa sebenarnya. Dan aku juga tidak peduli dengan semua itu.

Aku tetap mencintai Jeff, seperti apa pun kondisinya.

Namun ternyata bagi Jeff, semuanya telah berbeda.

Perbedaan di antara kami, kian terasa, saat papa justru menunjukkan ketidaksukaannya akan hubunganku dengan Jeff.

Tapi kami coba mengabaikannya. Kami diam-diam terus menjalin hubungan asmara.

Namun tiba-tiba Jeff menghilang tanpa kabar. Dan di sini lah akhirnya aku bertemu Jeff kembali.

"aku sayang kamu, Jeff! Selalu dan untuk selamanya.." ucapku tegas.

"jangan katakan itu, Jim. Terlalu sakit buatku.." Jeff berucap sambil menggeleng dengan pandangan miris.

"kenapa?" tanyaku pelan.

"karena papamu sudah menegaskan padaku, Jim. Bahwa aku harus menjauhi kamu. Dan sampai kapan pun beliau tidak akan pernah rela, menerima aku sebagai bagian dari hidupmu..."

Setelah berucap demikian, Jeff berdiri, memutar langkah dengan cepat pergi meninggalkanku, yang masih kebingungan mendengar penuturannya.

Aku tahu, semenjak papa mengetahui tentang keluarga Jeff yang berantakan, papa memang tidak mengizinkanku untuk sekedar berteman dengan Jeff.

Hanya saja, aku tidak menyangka, kalau papa akan mengatakannya langsung kepada Jeff. Yang membuat Jeff akhirnya pergi.

******

Lebih dari seminggu aku tak lagi pernah melihat Jeff berjualan di lampu merah tempatnya biasa berjualan.

Pikiranku mulai tak enak. Memikirkan hal buruk yang bisa saja terjadi pada Jeff.

"kamu kenal, Jeff?" tanyaku pada seorang penjual rokok di lampu merah itu.

"yang hitam tinggi itu?" tanya remaja itu balik.

"yang agak kurusan." tambahku, "kamu ada liat dia?"

Remaja itu menggeleng.

"kamu tahu rumahnya?" tanyaku lagi.

"dia kost di Juanda baru. Dekat jembatan itu." jawab remaja itu, sambil mengarahkan telunjuknya.

"bisa antar saya. Saya temannya di Pekanbaru dulu.." pintaku.

Remaja itu membulatkan bibir.

Kami hanya berjalan kaki, karena katanya tempat kost Jeff tak jauh dari situ. Lagi pula jalannya sempit dan becek. hingga mobil takkan bisa masuk.

Kami melewati rumah-rumah kecil dan sembrawut. Tiang-tiang jemuran melintang tak teratur. Beberapa bocah bertelanjang dada penuh ingus di hidung saling berlarian.

"masih jauh?" tanyaku sambil terus melangkah pelan, menghindari jalan yang becek dan tergenang air.

"itu rumahnya. Yang cat hijau.." jawab remaja itu. Yang ditunjuknya merupakan rumah paling jelek dari rumah lainnya

"perlu saya tunggu, mas?" tanya remaja itu selanjutnya.

Aku mengangguk. Aku merasa tak nyaman berada sendirian di tempat seperti ini.

"assalamualaikum..." ucapku sedikit berteriak.

Tak ada sahutan. Aku mengetuk pintu yang terbuat dari tripleks itu pelan, sambil mengucapkan salam. Sepi.

Aku menoleh ke belakang. Ke tempat remaja pria itu berdiri. "benar ini rumahnya?" tanyaku meyakinkan.

"benar, mas! Coba panggil lebih keras." balas remaja itu lagi.

"assalamu ..."

"cari siapa?" belum usai salam ku, seorang Ibu keluar dari rumah sebelahnya.

"ada Jeff, Bu?" tanyaku dalam kekagetan.

Wanita tua itu menatapku dengan mata memicing. Membuatku berdiri kian kikuk.

"benar ini tempat kost Jeff, Bu?" ulangku memastikan.

"Jeff udah pergi seminggu yang lalu." jawab wanita itu.

Aku tercekat. "pergi kemana?" suaraku serak.

"saya kurang tahu. Tapi dia bilang ingin mencoba mengadu nasib ke Batam atau Jakarta." wanita itu menjawab lagi.

Lemas seluruh tubuhku. Untuk kedua kalinya Jeff pergi tanpa kata perpisahan. Teganya!

Padahal, asaku yang selama ini sudah berkarat, baru saja aku asah kembali. Tapi ternyata...

Setelah mengucapkan kata permisi, aku berbalik langkah. Sekuat hati, aku menahan agar tangisku tak tumpah.

"nak, tunggu dulu!" wanita tua itu menahan langkahku.

"Ibu sepertinya sering melihat kamu. Tapi entah dimana," wanita itu terlihat seperti berpikir keras, lantas mengambil sebuah kunci dari balik bajunya yang usang.

"kemari, nak!" panggilnya setelah membuka pintu kamar kost Jeff.

Aku melangkah masuk. Mataku terbelalak. Photo-photo yang aku berikan pada Jeff waktu di Pekanbaru, tertempel di segala sisi.

"ini photo-photo kamu, kan?" tanya wanita itu lagi.

Aku hanya mengangguk.

"Jeff pernah cerita, karena orang di photo inilah dia tetap semangat untuk hidup." wanita itu melanjutkan.

"tapi kenapa dia pergi lagi?" suaraku serak.

"saya juga heran. Jeff pergi begitu tiba-tiba. Ketika saya tanya kenapa dia tak membawa photo-photo ini, dia bilang; dia juga pergi untuk melupakannya. Karena dia semakin sadar, katanya bagai mengharap bintang untuk kembali memiliki orang itu."

Aku terisak. Berkelebat bayangan wajah Jeff dimataku.

Tak ada yang berubah, Jeff.

Andai saja kamu terbuka padaku. Rintihku dalam hati.

****

Sekian ...

Menunggu saat romantis tiba...

Aku pacaran dengan bang Ilham, sudah hampir setahun.

Namun jujur saja, selama setahun hubungan kami hanya berjalan biasa saja.

Tidak ada hal istimewa yang terjadi selama ini.

 

Cerpen gay (menunggu saat romantis tiba)

Kami hanya sekedar bertemu seminggu sekali, yakni setiap malam minggu. Dan itu pun kami cuma mengobrol, makan bareng, atau sekali-kali nonton bareng.

Sungguh sebuah hubungan yang sangat membosankan.

Mungkin tidak ada yang akan percaya, jika kami bahkan belum pernah berciuman sama sekali.

Bang Ilham terlalu sopan. Ia bahkan tidak berani walau hanya sekedar menyentuh tanganku.

Sebenarnya aku sangat menyayangi bang Ilham. Selain tampan dan kekar, bang Ilham juga sangat baik padaku.

Bang Ilham seorang pilot. Karena itu juga kami jadi jarang bertemu.

Namun bang Ilham selalu menyempatkan waktu untuk bertemu denganku setiap malam minggu, kecuali ketika ia sedang bertugas.

Bang Ilham tidak romantis. Ia amat jarang mengucapkan kalimat-kalimat indah tentang perasaannya padaku. Tapi aku tahu, kalau ia juga menyayangiku.

Hubungan kami yang terkesan datar dan sedikit hambar, tidak membuatku mencoba berhenti mencintainya.

Mencintai bang Ilham adalah sebuah keindahan tersendiri dalam perjalanan hidupku.

Dan memilikinya adalah sebuah anugerah.

Aku bertemu bang Ilham, melalui media sosial.

Berawal dari saling komen status, lalu kemudian chatingan dan kami pun melakukan pertemuan di sebuah kafe.

"Sandi.." ucapku pelan, ketika kami saling berjabat tangan.

Bang Ilham menyebutkan namanya dengan tegas, dengan karakter suara yang terdengar maskulin.

Pertemuan pertama itu, telah menumbuhkan rasa suka ku pada bang Ilham. Aku terkesan dengan penampilan bang Ilham yang sederhana.

Dan aku pun jatuh cinta padanya.

Gayung bersambut. Bang Ilham ternyata juga menyukaiku, bahkan sejak kami saling chating di media sosial.

Aku sendiri yang masih kuliah semester awal, mencoba menyambut kehadiran bang Ilham.

Jujur, bang Ilham adalah pacar pertamaku. Meski ia bukan cinta pertamaku.

Sebagai seseorang yang baru pertama kali berpacaran dengan sesama jenis, tentu saja aku masih sangat awam dalam menjalin hubungan tersebut.

Bang Ilham sendiri, sepertinya juga tidak ingin terburu-buru melangkah lebih jauh lagi dalam hubungan kami.

Ia seperti sengaja menjaga jarak denganku. Dan aku juga tidak berani untuk memulai apa lagi meminta bang Ilham, walau hanya sekedar untuk sebuah ciuman.

Namun sebagai laki-laki yang mulai tumbuh dewasa, aku juga ingin merasakan hal tersebut.

Aku juga ingin merasakan kehangatan cinta dari bang Ilham. Aku juga ingin memeluknya, mengecupnya dan bahkan aku juga ingin melakukan hal yang lebih dari itu.

Aku selalu menunggu bang Ilham mengajakku melakukannya. Menunggu bang Ilham, setidaknya mengajakku bertemu di hotel atau pun di tempat kost-ku.

Aku selalu menunggu untuk bisa berduaan dengan bang Ilham di tempat yang sepi.

Tapi setelah hampir setahun berjalan, penantianku seakan sia-sia.

Bang Ilham tak kunjung menyentuhku. Padahal aku sangat menginginkannya.

"apa bang Ilham gak bosan dengan hubungan kita saperti ini?" tanyaku memberanikan diri, ketika suatu malam kami bertemu lagi di sebuah bangku taman.

"bosan bagaimana maksud kamu?" bang Ilham bertanya balik.

"yaa.. bosan.." ucapku hati-hati, "kita bertemu hanya sekali seminggu, dan hanya sekedar mengobrol seperti ini.." lanjutku masih dengan nada hati-hati.

"jadi kamu maunya gimana?" tanya bang Ilham lagi.

"aku juga pengen bermesraan kayak orang-orang, bang. Berduaan di tempat sepi, dan saling berpelukan.." jawabku berusaha santai.

"kamu yakin ingin melakukan hal tersebut?" bang Ilham bertanya kembali.

"yaa... yakin gak yakin sih, bang. Tapi apa salahnya kita mencoba hal tersebut. Kita udah setahun loh bang pacaran. Masa' iya, kita bahkan belum pernah berciuman.." jawabku mulai sedikit berani.

Aku memang harus lebih berani. Aku tidak ingin hubungan kami hanya berlalu begitu saja, tanpa ada kesan yang lebih mendalam lagi.

"aku bukannya gak mau, San. Tapi aku tidak ingin kamu menyesal akhirnya nanti.." ucap bang Ilham selanjutnya.

"menyesal kenapa, bang? Kenapa aku harus menyesal?" tanyaku penasaran.

"hubungan di dunia pelangi ini, tidak ada yang bertahan lama, San. Apa lagi jika tujuannya hanya sekedar kepuasan lahir."

"apa yang kamu inginkan tersebut, semua hanyalah karena rasa penasaran. Nanti jika kamu sudah bisa merasakannya, aku takut kamu akhirnya tetap merasa bosan."

ucapan bang Ilham barusan, membuatku terpana seketika.

Tak kusangka bang Ilham punya pemikiran sejauh itu. Seakan ia sudah pernah mengalami hal tersebut.

"keinginan dan rasa penasaranmu itu, hanya akan membawa kamu pada penyesalan akhirnya. Karena bisa saja semua itu, tidak seindah yang kamu harapkan.." bang Ilham melanjutkan.

"tapi apa aku salah, bang. Jika aku hanya sekedar ingin merasakan sebuah pelukan hangat dari abang.." ucapku membalas.

"tidak. Itu tidak salah. Hanya saja, sebuah pelukan biasanya adalah awal untuk melakukan sesuatu yang lebih dari itu. Dan aku tidak ingin kamu terjerumus di dalamnya..." balas bang Ilham ringan.

"lalu, sebenarnya bang Ilham ingin hubungan kita ini seperti apa?" tanyaku.

"entahlah, San. Aku kadang juga bingung dengan semua ini. Aku sangat menyayangi kamu. Dan seperti halnya kamu, aku juga ingin merasakan hal tersebut bersama kamu." bang Ilham menarik napas sejenak.

"tapi aku tidak ingin menodai hubungan kita. Aku ingin mencoba menjalin hubungan yang bersih, tanpa ada unsur seks di dalamnya." lanjut bang Ilham pelan.

"aku ingin kita saling support, saling dukung dan tetap menjaga kesetiaan kita. Dan yang paling kita tetap bisa menjaga hubungan kita agar tetap berada di jalur yang seharusnya." kali ini bang Ilham menarik napas lagi.

"kalau boleh jujur, sebenarnya aku ingin kita bisa menikah, San. Tapi kamu sendiri tahu, kalau hal itu jelas tidak mungkin terjadi." bang melanjutkan kalimatnya lagi.

Dan aku masih terdiam. Aku terpaku, mendengar penuturan bang Ilham. Cara berpikirnya tentang hubungan kami, benar-benar di luar nalarku.

Yang aku pikirkan, tentang hubungan sejenis ialah hubungan yang menghadirkan kepuasan lahir dan bathin. Tentang bagaimana kita bisa bermesraan dengan orang yang kita cintai dan kita inginkan.

Karena jelas hubungan seperti ini, tidak akan pernah sampai kemana-mana. Jadi lebih baik kita menikmatinya, dan jika pun harus berakhir nantinya, setidaknya aku pernah merasakan hal tersebut.

Namun jelas bang Ilham tidak menginginkan hal tersebut.

Mudah bagi bang Ilham mungkin, untuk mencoba membangun hubungan yang bersih. Karena aku yakin, bang Ilham sudah pasti pernah melakukan hal tersebut dengan orang lain.

Setidaknya sebelum ia bertemu denganku.

Tapi aku? Aku bahkan belum pernah dipeluk oleh laki-laki manapun. Walau aku sangat menginginkannya.

Aku bisa saja melakukan hal tersebut dengan laki-laki lain. Tapi aku tidak cukup berani, untuk mengkhianati bang Ilham.

*****

Setahun hubunganku dengan bang Ilham yang berjalan sangat datar.

Aku mencoba untuk tetap bersabar dan menunggu sampai bang Ilham mau melakukannya denganku.

Tapi sepertinya penantianku tidak berujung. Bang Ilham masih bertahan dengan segala prinsipnya.

Dan aku akhirnya menyerah...

Suatu malam aku dengan cukup berani, mengajak bang Ilham bertemu di sebuah kamar hotel.

"kenapa kamu mengajak aku bertemu di sini?" tanya bang Ilham, ketika akhirnya kami sudah masuk ke dalam kamar hotel tersebut.

"aku ingin merasakan suasana yang berbeda, bang. Bosan juga kita selalu bertemu di taman.." jawabku santai.

Bang Ilham tak berkata apa-apa lagi. Ia kemudian duduk di sampingku di sisi ranjang.

Aku sudah bertekad, malam ini aku harus mendapatkan kehangatan dari bang Ilham. Dan jika ia menolak, aku akan meminta ia memutuskanku.

Karena itu, aku pun memberanikan diri, untuk mulai meraih tangan bang Ilham dan menggenggamnya erat.

Bang Ilham terlihat kaget, tapi ia masih membiarkannya.

"aku ingin memeluk abang. Boleh?" ucapku dengan hati-hati.

Sementara tanganku berusaha meremas jemari bang Ilham yang kekar itu.

"kalau hanya sekedar peluk, gak apa-apa, San. Tapi jangan minta lebih ya.. karena aku gak bisa.." jawab bang Ilham akhirnya, setelah untuk sesaat ia terlihat berpikir.

Aku pun segera melingkarkan tangaku di tubuh kekar nan atletis itu. Tubuh itu terasa begitu hangat dan menenangkan.

Aku semakin terbuai dengan perasaanku. Aku semakin memberanikan diri untuk mulai mendekatkan wajahku ke wajah tampan milik bang Ilham.

Melihat tindakanku tersebut, bang Ilham spontan mendorong tubuhku agar menjauh.

"kamu sudah janji untuk tidak melakukan hal lebih dari itu, San.." suara bang Ilham sedikit meninggi.

"tapi aku menginginkannya, bang..." suaraku sedikit mendesah.

"maaf, San. Aku gak bisa. Aku harus pergi sekarang, sebelum semuanya semakin parah.." suara bang Ilham masih tinggi.

"tapi kenapa bang Ilham gak mau? Apa bang Ilham tidak mencintaiku?" tanyaku berusaha pelan.

"justru karena aku sangat mencintai kamu, San. Aku tidak ingin membuat kamu semakin terluka nantinya.." kali ini suara bang Ilham mulai memelan.

"maksud bang Ilham apa?" tanyaku dengan sedikit mengerutkan kening.

"nanti juga kamu pasti mengerti. Yang jelas saat ini, aku tidak bisa melakukan hal tersebut dengan kamu, San. Aku harap kamu mengerti.." suara itu semakin pelan.

"aku benar-benar gak ngerti, bang. Aku benci bang Ilham..." suaraku bergetar.

"aku gak bisa menjelaskannya sekarang, San. Tapi aku harap, kamu jangan memaksaku melakukannya." balas bang Ilham.

Aku tak mengeluarkan suara lagi. Aku benar-benar kecewa dengan sikap bang Ilham.

"maaf, San. Tapi aku benar-benar harus pergi sekarang..."

setelah berucap demikian, bang Ilham pun melangkah untuk segera keluar dari kamar tersebut.

Aku masih terpaku. Aku pun tak berniat untuk mencegah kepergian bang Ilham.

Aku memang tidak bisa memaksa bang Ilham. Meski aku tak bisa mengerti mengapa bang Ilham begitu keras untuk menolakku malam itu.

Aku masih terpaku dalam kesendirianku, setelah kepergian bang Ilham.

Rasa lapar menyerangku tiba-tiba. Untuk itu aku pun mencoba menghubungi petugas hotel untuk mengantar makanan ke kamarku.

Setengah jam kemudian, sebuah ketukan ringan terdengar di pintu kamarku.

Dengan rasa malas aku pun membukakan pintu. Seorang laki-laki paroh baya berdiri di depan pintu.

Laki-laki itu terlihat tersenyum. Wajahnya sangat tampan, dengan postur tubuh yang sangat atletis dan gagah.

"pesanannya mas.." suara laki-laki itu sedikit parau.

"eh.. iya.. taruh aja di meja.." ucapku setengah kaget.

Laki-laki itu melangkah masuk, dan meletakkan pesanan makananku diatas meja.

"ada lagi yang bisa saya bantu, mas?" tanya laki-laki itu ramah, masih dengan senyum khas-nya.

Aku menatap laki-laki itu lama. Tidak tahu juga harus mengucapkan apa saat itu.

"jika mas butuh teman untuk sekedar mengobrol, saya bisa menemani mas.." laki-laki itu melanjutkan lagi, melihat aku yang hanya terdiam.

"biasanya banyak tamu yang meminta aku untuk menemaninya mengobrol, atau bahkan ada yang ..." lanjut laki-laki itu, seperti sengaja menggantung kalimatnya.

"ada yang apa?" tanyaku penasaran.

"ada juga yang meminta ditemani tidur, dan minta pelayanan plus.." suara parau itu terdengar tegas.

"pelayana plus maksudnya?" tanyaku masih belum begitu mengerti.

"ya. .pelayanan plus.. seperti.... seperti berhubungan intim misalnya.." jawab laki-laki itu dengan sedikit ragu.

"oh.." aku membulatkan bibir. Aku hanya tidak menyangka kalau pelayan tersebut akan menawarkan hal tersebut.

"tapi kalau mas nya gak mau, juga gak apa-apa. Kalau begitu saya permisi.." laki-laki itu berucap lagi.

"eh.. tunggu.. " cegatku cepat.

"mas... siapa namanya?" lanjutku bertanya.

"Nama saya Derry. Dan saya seorang room service di sini. Saya sudah sering melayani para tamu laki-laki yang meminta pelayanan lebih padaku. Karena itulah salah satu kelebihan hotel ini.." jelas laki-laki itu.

Aku terdiam kembali. Aku mulai mengerti maksud dari tawaran laki-laki yang bernama Derry tersebut.

Hasratku yang terlanjur terpacu bersama bang Ilham tadi, tiba-tiba menemukan tempat untuk berlabuh.

Kehadiran mas Derry benar-benar tepat pada waktunya. Jika aku tidak bisa menumpahkan segala gejolakku kepada bang Ilham, mungkin bersama mas Derry aku bisa menyalurkannya.

"oke. Aku mau mas Derry menemani saya mengobrol.." ucapku akhirnya.

"tapi untuk mendapatkan pelayanan lebih, mas harus membayar lebih juga.." balas mas Derry.

"iya, aku mengerti. Tapi panggil Sandi aja ya, gak usah panggil mas, karena aku masih muda." ucapku pelan.

Mas Derry pun mulai melangkah mendekat. Ia pun duduk di sampingku di sisi ranjang.

Sepertinya mas Derry memang sudah sangat biasa menghadapi para tamu, ia terlihat sangat rileks.

"sejujurnya aku belum pernah melakukan hal ini dengan siapa pun, jadi aku pengen mas Derry melakukannya pelan-pelan saja.." ucapku kemudian.

"oke. Saya cukup mengerti. Karena kamu bukan satu-satunya tamu, yang mengaku baru pertama kali melakukannya." balas mas Derry masih terdengar santai.

*****

Aku menahan napas. Tubuhku terasa bergetar, saat akhirnya mas Derry mulai mendekatkan wajahnya.

Selain bersama bang Ilham, aku belum pernah sedekat ini dengan laki-laki.

Tapi mas Derry seperti tak pedulikan reaksiku yang sedikit ketakutan. Ia terus saja kian mendekat, hingga akhirnya bibir itu pun mendarat di tujuannya.

Aku menahan napas sekali lagi. Kali ini aku pun memejamkan mata. Mencoba menikmati sesuatu yang memang baru pertama kali aku rasakan tersebut.

Mas Derry sangat pandai membuatku terbuai. Aku semakin terbuatnya terlena.

Kekecewaanku terhadap bang Ilham, seakan menemukan tempat untuk aku menumpahkannya.

Kekecewaanku terhadap bang Ilham, membuatku jadi semakin memasrahkan diri kepada mas Derry.

Jika aku tidak bisa merasakannya dari bang Ilham, orang yang sangat aku cintai tersebut, setidaknya aku bisa melakukannya dengan mas Derry, yang harus aku akui tidak kalah menariknya dari bang Ilham.

Mas Derry juga sangat tampan dan juga sangat kekar.

Dan yang paling penting, ia mau melakukannya denganku, meski aku harus membayarnya.

Dan yang paling penting lagi, ia memperlakukanku dengan sangat baik dan penuh perasaan.

Mas Derry mengajariku banyak hal malam itu. Hal-hal yang selama ini hanya ada dalam anganku, akhirnya bisa aku rasakan secara nyata.

Dan harus aku akui, kalau semua itu terasa begitu indah.

"pelan-pelan ya, mas.." ucapku yang lebih terdengar seperti sebuah desahan tersebut, ketika akhirnya mas Derry berusaha menembus dinding pertahananku.

Mas Derry sepertinya sangat mengerti. Seperti yang ia katakan tadi, aku bukan satu-satunya yang belum pernah melakukan hal tersebut.

Pelan namun pasti, pertahananku pun akhirnya berhasil di tembus dengan lembut oleh mas Derry.

Ada rasa perih yang aku rasakan. Rasa perih seperti sayatan luka kecil.

Namun mas Derry mampu membuatku melupakan rasa perih itu, dengan permainan indahnya.

Dan lama kelamaan, aku pun mulai bisa menikmati hal tersebut.

Aku mulai merasakan sensasi keindahan yang tiada tara. Sungguh semua itu, jauh lebih indah dari yang pernah aku khayalkan selama ini.

Aku pun mulai mengikuti gerakan demi gerakan yang di lakukan mas Derry.

Gerakan-gerakan itu, benar-benar membuatku melayang. Mas Derry benar-benar sangat berpengalaman. Dan aku menyukainya.

Setelah pelayaran yang hampir setengah jam tersebut, kami pun akhirnya sama-sama berlabuh di tepian mahligai keindahan itu.

Sebuah pelayaran yang indah, yang memberikan kesan yang sangat dalam padaku.

Seandainya saja, aku melakukannya dengan bang Ilham, pasti semua ini akan jauh lebih indah. Aku membathin, saat akhirnya mas Derry terhempas di sampingku.

Dan seperti yang di ucapkan bang Ilham, bahwa sebenarnya aku hanya penasaran. Saat akhirnya aku bisa merasakan hal tersebut, dan berhasil mencapai tujuannya, yang tersisa hanyalah sebuah penyesalan.

Aku menyesal, bukan saja karena rasa penasaranku telah terjawab, tapi juga karena aku merasa telah mengkhianati bang Ilham.

Namun semua sudah terjadi. Dan aku berusaha untuk tidak menyesalinya.

Setidaknya apa yang mas Derry berikan padaku malam itu, terasa cukup indah dan berkesan.

*****

"aku minta maaf soal semalam, San.." suara bang Ilham parau, ketika keesokan sorenya, ia datang menemuiku ditempat kost-ku.

Aku tidak tahu, entah bagian yang mana yang membuat bang Ilham harus meminta maaf. Untuk itu, aku hanya terdiam.

"sekarang aku ingin jujur sama kamu, San. Dan semoga saja kejujuranku bisa menjawab pertanyaan-pertanyaanmu selama ini, tentang mengapa aku tidak mau melakukan hal tersebut.." bang Ilham melanjutkan ucapannya, melihat aku yang hanya terdiam.

"bang Ilham mau jujur tentang apa?" aku mengeluarkan suara juga akhirnya.

"sebenarnya.... sebenarnya aku sudah ditunangkan oleh orangtuaku di kampung. Dan beberapa hari lagi aku akan segera menikah, dengan gadis pilihan orangtuaku.." pelan suara itu, namun mampu menembus relung hatiku yang terdalam.

Aku benar-benar merasa terluka mendengarnya.

"aku minta maaf, San. Karena tidak berani untuk jujur sama kamu selama ini.." bang Ilham melanjutkan lagi.

"sebenarnya saat pertama kali kita bertemu setahun yang lalu, aku sudah bertunangan. Tapi aku sengaja menutupinya dari kamu, karena sejujurnya aku masih berharap pertunanganku akan dibatalkan.." bang Ilham menarik napas berat.

"aku sejak awal tidak menginginkan pertunangan tersebut, tapi orangtuaku terus memaksaku, mengingat usiaku yang semakin dewasa."

"dan akhirnya aku tidak bisa menolak lagi. Padahal aku sudah terlanjur jatuh cinta sama kamu, San."

"karena itu juga, aku tidak ingin menodai hubungan kita. Aku takut, jika kita berhubungan terlalu dalam, dan akhirnya kamu tahu, kalau aku akan menikah, kamu pasti akan sangat berat melepaskanku."

"aku tahu kamu pasti akan terluka, tapi setidaknya jika hubungan kita tetap bersih, kamu tidak akan terluka terlalu parah.."

bang Ilham mengakhiri ceritanya dengan sebuah helaan napas yang sangat berat.

Ah... aku memang terluka. Hatiku terasa begitu perih.

Aku tidak ingin mempercayainya, tapi tak ada alasan bang Ilham untuk membohongiku.

"aku sangat mencintai kamu, San. Aku berharap bisa bersama kamu selamanya. Tapi aku juga tidak kuasa menolak keinginan orangtuaku.." bang Ilham berucap lagi, kali ini suara kian parau kudengar.

Suara parau itu membuat hatiku kian pedih.

Mengapa kisah cinta pertamaku harus berakhir sesakit ini? Bathinku meringis menahan tangis.

"aku mencintai kamu, San. Aku mencintai kamu secara sederhana. Seperti hasrat yang tak tersampaikan oleh kayu kepada api yang menjadi abu, seperti hasrat yang tak tersampaikan oleh awan kepada hujan yang menjadi butiran-butiran mutiara di dasar lautan.."

"aku mencintaimu secara sederhana. Seperti lilin yang rela hancur demi menerangi kegelapan, atau seperti mentari yang selalu setia menanti pagi."

"tapi semua itu hanya ada dalam anganku, karena aku tidak mampu mewujudkannya..."

Kalimat puitis bang Ilham barusan, membuatku akhirnya meneteskan air mata.

"cinta tak selamanya harus menyatu, San. Karena tidak semua harapan harus menjadi nyata. Mungkin hanya satu dari seribu mimpi yang bisa terwujud. Dan mimpiku tentang kamu, tidak termasuk dalam golongan yang satu tersebut.."

Dan akhirnya aku pun terisak. Aku tak sanggup lagi menahan perih di hatiku.

Bukan saja karena aku akan kehilangan orang yang paling aku cintai, tapi juga karena aku telah mengkhianati cinta tulus seorang Ilham.

Tiba-tiba saja aku merasa jahat.

Dan karena itu juga, aku harus merelakan bang Ilham untuk hidup bersama orang lain.

Bukan saja karena kami memang tidak mungkin bersatu. Tapi juga karena aku memang tidak pantas untuk orang sebaik bang Ilham.

Meski berat, aku harus bisa mengikhlaskannya.

Dan seperti yang bang Ilham katakan, bahwa aku bisa saja akan terluka lebih parah lagi, jika saja hubungan kami menjadi lebih dalam.

Setidaknya dengan tidak merasakan kehangat dari bang Ilham, rasa sakit yang aku rasakan bisa sedikit lebih terasa ringan.

"mungkin ini adalah pertemuan terakhir kita, San. Aku harap kamu tidak membenciku karena ini.." ucap bang Ilham selanjutnya, setelah cukup lama kami saling terdiam.

Setelah berucap demikian, bang Ilham pun berdiri lalu segera berlalu dari hadapanku.

Aku merasa hatiku kian perih. Aku belum sanggup kehilangan bang Ilham.

Aku terlalu mencintainya.

Namun semua memang harus terjadi. Aku harus bisa mengikhlaskannya.

Karena biar bagaimana pun, bang Ilham memang tidak ditakdirkan untukku.

Seperti yang pernah dikatakannya, bahwa hubungan percintaan di dunia pelangi, memang tidak akan pernah sampai kemana-mana.

Dan disinilah akhirnya. Akhir dari sebuah kisah cinta yang terasa datar awalnya, namun meninggalkan luka yang teramat dalam.

Setahun lebih aku menunggu saat romantis itu tiba, tapi yang aku dapatkan hanyalah segumpal rasa perih yang begitu  menyakitkan.

Semoga saja, aku bisa melanjutkan hidupku, meski tanpa bang Ilham di sisiku lagi.

Ya, semoga saja...

****

Kisah sang room service (bersama sang pilot)

Namanya Kevin.

Dan dia adalah seorang pilot.

Kevin masih cukup muda, usianya kira-kira masih 28 tahun. Lima tahun lebih muda dariku.

Malam itu, Kevin memintaku untuk menemani tidur, karena kebetulan ia menginap di hotel tempat aku bekerja sebagai seorang room service.

 

Kisah sang room service (bersama sang pilot)

"aku tahu, kalau di hotel ini ada pelayanan plus. Manager hotel ini yang cerita padaku.." ucap Kevin mengawali pembicaraan kami, setelah kami melakukan perkenalan singkat.

"awalnya aku hanya berniat untuk sekedar beristirahat malam ini di hotel ini. Namun mendengar cerita manager tentang adanya pelayanan plus di hotel ini, saya menjadi tertarik untuk mencobanya. Apa lagi menurut cerita sang manager, pelayannya juga ada yang laki-laki.." lanjut Kevin kemudian.

Secara fisik Kevin terlihat sangat atletis dan jantan. Sungguh tidak ada yang akan menduga kalau Kevin adalah seorang gay.

Tapi Kevin sudah berterus terang tentang siapa dirinya padaku.

Dan Kevin bukanlah tamu pertama yang menggunakan jasaku untuk memberi pelayanan plus.

Aku bahkan tidak ingat lagi, sudah berapa banyak sebenarnya tamu yang harus aku beri servis terbaik.

Selain karena memang kontrak kerjaku seperti itu, aku juga mendapatkan bonus uang yang sangat banyak dari para tamu yang ku beri pelayanan plus.

Aku sudah lebih setengah tahun bekerja di hotel ini, sebagai seorang room service.

Selama ini semua berjalan baik-baik saja. Istri dan anak-anakku masih mampu aku nafkahi, meski aku memperolehnya dari hasil aku jual diri.

Selama enam bulan ini, aku masih berusaha untuk mencari pekerjaan lain. Namun karena pandemi yang masih belum berakhir ini, aku juga masih belum mendapatkan pekerjaan lain.

Jadi mau tidak mau, suka tidak suka, aku meman masih harus menjalani profesi ku saat ini.

Dan beriring berjalannya waktu, aku mulai terbiasa dengan semua ini.

Rasa geli dan jijikku, karena harus melayani laki-laki, perlahan mulai tak ku rasakan lagi.

Aku mulai bisa menikmati hal tersebut.

Aku sudah melayani banyak tamu, dengan berbagai karakter dan tipe yang berbeda-beda. Dan juga dengan berbagai posisi yang berbeda.

Aku tidak punya kriteria khusus dalam melayani tamu. Yang penting bagiku, mereka mau membayarku mahal.

Dan Kevin adalah tamu ku yang kesekian, yang harus aku beri pelayanan plus.

Dan aku juga yakin, kalau Kevin juga akan membayarku mahal. Apa lagi jika aku bisa memberi kesan yang indah padanya.

Ada beberapa orang tamuku, yang kembali lagi menginap di hotel ini, hanya untuk mendapatkan kembali pelayanan terbaik dariku.

"kamu sangat hebat, Derry..." bisik salah seorang tamuku, yang sudah tiga kali menginap di hotel ini dan mendapatkan pelayanan khusus dariku.

Dia seorang laki-laki tua, yang sudah cukup berumur. Tapi ia mengaku ketagihan denganku.

"menurut cerita manager hotel ini juga, katanya mas Derry adalah pelayan favorit di hotel ini.." suara Kevin membuyarkan lamunanku barusan.

"ah, kamu bisa aja, Vin. Saya hanya mencoba melakukan tugasku dan memberikan pelayanan yang terbaik untuk para tamu.." balasku berusaha santai.

"justru karena itu, saya jadi penasaran, mas. Dan saya pun memutuskan untuk memilih menggunakan jasa mas Derry malam ini.." ucap Kevin lagi.

Kali ini aku hanya terdiam. Kalimat seperti itu bukan pertama kalinya aku dengar. Hampir semua tamu yang aku hadapi selalu mengatakan hal yang sama.

Kisahku yang sebenarnya adalah laki-laki normal yang sudah punya istri dan anak, selalu menarik perhatian para tamu, untuk menggunakan jasaku.

"sebenarnya saya punya seorang pacar di kota lain. Tapi sejujurnya, kami bahkan belum pernah walau hanya sekedar berciuman." cerita Kevin tiba-tiba, memecahkan keheningan yang tercipta sesaat tadi.

"pacar kamu cowok?" tanyaku penasaran.

"iya, mas. Kami sudah pacaran hampir setahun. Tapi saya belum berani berbuat lebih padanya." jawab Kevin ringan.

"kenapa?" tanyaku masih penasaran.

"saya juga gak tahu kenapa, mas. Menurut pengakuan pacarku, aku adalah pacar pertamanya. Yang berarti ia juga belum pernah melakukan hal tersebut dengan siapa pun. Aku jadi takut untuk memulainya, walau pun aku sangat menyayanginya.." jawab Kevin lagi.

"saya hanya mencoba menjalin hubungan yang sehat dengan pacarku. Tapi sebagai laki-laki biasa, terkadang keinginan untuk melakukan hal itu muncul begitu saja. Dan biasa nya saya lebih memilih untuk melakukannya dengan para lelaki bayaran.." Kevin melanjutkan ceritanya.

"lelaki bayaran seperti saya?" tanyaku memancing.

"boleh dibilang seperti itu, mas.." jawab Kevin lugas.

"apa kamu gak takut kena penyakit?" tanyaku lagi.

"kan selalu pakai pengaman, mas." jawab Kevin. "dan bagaimana dengan mas Derry sendiri, apa mas gak takut kena penyakit juga?" tanya Kevin melanjutkan.

"terus terang terkadang ada kecemasan akan hal itu. Tapi seperti yang kamu katakan, saya juga selalu pakai pengaman." jawabku sambil sedikit menarik napas.

"dan lagi pula sebenarnya tuntutan hidup yang membuatku harus memilih pekerjaan ini, meski aku tidak pernah menginginkan hal ini..." lanjutku kemudian.

"boleh tahu, kenapa mas Derry bisa terjebak di sini?" tanya Kevin lagi.

Aku kembali menarik napas dalam, kali ini lebih lama.

Lalu perlahan, aku pun mulai menceritakan, bagaimana akhirnya aku bisa berada di sini.

Sebuah cerita tentang perjalanan hidupku. Cerita yang sudah sering aku ceritakan pada para tamuku yang sebenarnya hanya sekedar ingin tahu. Mereka tak pernah benar-benar peduli.

Namun begitulah perjalanan hidupku. Aku tak ingin lagi menyesalinya.

Meski terkadang, aku juga lelah dengan semua ini.

*****

"oh, jadi mas Derry sudah punya istri dan anak?" tanya Kevin meyakinkan, setelah aku mengakhiri ceritaku.

Aku hanya mengagguk ringan. Aku tak terlalu berupaya untuk meyakinkan Kevin. Karena berdasarkan pengalamanku selama ini, hal itu sebenarnya tidak membuat perbedaan apa pun.

Para tamu yang mengetahui hal tersebut, tetap akan memintaku untuk memberikan pelayanan terbaik.

Untuk beberapa saat, kami terdiam kembali.

Kevin kemudian merebahkan tubuhnya di atas ranjang empuk itu, sementara aku masih duduk termangu di pinggiran ranjang.

Tiba-tiba aku merasakan tangan Kevin melingkar di pinggangku.

Aku terkaget, tapi aku tetap membiarkannya. Karena untuk itulah aku berada di sini. Untuk itulah aku akan di bayar.

"mas Derry udah siap untuk berlayar bersamaku malam ini?" bisik Kevin pelan.

Aku memutar kepalaku, lalu manatap Kevin dengan menyinggungkan senyum.

"bukankah aku di sini memang untuk itu?!" ucapku sepelan mungkin.

Kevin membalas tersenyum. Tangannya kian erat mendekapku.

Perlahan wajah kami pun saling mendekat.

Aku sudah teramat sering melakukan hal ini. Ini bukan lagi sesuatu yang asing bagiku.

Tugasku adalah membuat Kevin terkesan, hingga ia akan memberiku tip yang sangat besar.

Lagi pula harus aku akui, kalau Kevin cukup menarik secara fisik. Setidaknya itu sedikit mengurangi rasa geliku.

Karena sudah sama-sama berpengalaman, kami sudah saling mengerti posisi kami masing-masing dan apa yang harus kami lakukan selanjutnya.

Permainan itu berlangsung cukup lancar. Kevin sangat mengerti dengan apa yang harus ia lakukan.

Kelihaiannya cukup membuktikan kalau ia memang sudah memiliki jam terbang yang tinggi dalam hal tersebut.

Aku pun berusaha membuktikan diri, kalau aku juga punya jam terbang yang tinggi dalam memberi pelayanan terbaik kepada para tamu.

Keringat dingin mulai membanjiri tubuh kami, namun itu tidak mengurangi keindahan yang kami rasakan.

Pelayaran indah itu pun akhirnya di mulai. Aku mulai mengayunkan dayung di atas biduk-biduk keindahan itu.

Kevin pun berusaha mengikuti setiap gerakanku, dalam upayanya untuk menuju pelabuhan yang penuh warna tersebut.

Setelah berlayar cukup lama, kami pun sepakat untuk segera berlabuh.

Dan akhirnya kami pun menyatu dalam buaian rasa indah yang tak terhingga.

Di iringi jeritan-jeritan kecil dari bibir Kevin, aku pun akhirnya terhempas dan berlabuh pada saat yang sama, ketika Kevin juga memutuskan untuk segera berlabuh.

Sungguh sebuah pelayaran yang begitu indah.

Kevin berhasil membuktikan dirinya, kalau ia memang sudah berpengalaman.

"makasih, mas..." bisik Kevin, setelah aku terbaring letih di sampingnya.

Aku hanya tersenyum tipis, menjawab ucapan tersebut.

Sekali lagi, itu bukan pertama kalinya, seorang tamu mengucapkan hal tersebut, setiap kali kami menuntaskan pelayaran kami.

*****

"jadi kapan kamu akan mencoba hal ini dengan pacar kamu yang lugu itu?" tanyaku berbasi-basi, sesaat sebelum kami memulai lagi pertempuran kami.

"entahlah, mas. Saya juga bingung bagaimana cara memulainya. Saya hanya takut, kalau pacar saya sebenarnya tidak menginginkan hal tersebut.." jawab Kevin dengan nada ragunya.

Aku memejamkan mata. Sebenarnya aku juga hanya sekedar bertanya, aku tidak benar-benar ingin tahu.

Aku hanya sekedar mengingatkan Kevin, tentang status nya yang sudah punya pacar tersebut.

Kevin pun sepertinya mengerti hal itu, karena itu akhirnya ia bangkit dari rebahannya lalu berjalan pelan menuju kamar mandi, untuk membersihkan diri.

Aku masih saja memejamkan mata, mencoba untuk tertidur.

Pertarunganku dengan Kevin tadi, benar-benar membuatku kelelahan.

Karena kelelahan, aku akhirnya pun tertidur dengan pulas.

Saat terbangun, aku melihat Kevin masih terjaga di depan laptopnya, dengan menghisap sebatang rokok.

Sepertinya Kevin memang tidak tertidur sejak tadi.

"kamu gak tidur?" tanyaku ringan.

Kevin memutar kepala menatapku, lalu menggeleng ringan.

"aku masih belum ngantuk, mas.." ucapnya datar.

"kamu masih mau berlayar lagi gak?" tanyaku lagi.

"kenapa? mas menginginkannya lagi?" Kevin balik bertanya.

"bukan itu maksudku. Kalau kamu gak membutuhkan aku lagi, aku mau permisi pulang. Sudah hampir seminggu aku gak pernah tidur di rumah..." jawabku jujur.

Karena memang selama seminggu ini, ada saja tamu yang memakai jasaku. Dan mereka semua memintaku untuk tidur bersama mereka sampai pagi.

Kevin terlihat berpikir sejenak mendengar penjelasanku tersebut.

"tapi kalau kamu masih membutuhkanku di sini, juga gak apa-apa, kok. Aku gak apa-apa tidur di sini.." ucapku lagi, tak ingin Kevin merasa tersinggung.

Kevin kembali menatapku, lalu berucap...

"kita coba sekali lagi ya, mas. Setelah itu terserah mas Derry, kalau mau pulang juga gak apa-apa.." suara Kevin pelan.

Aku melirik jam di ponselku, masih jam sebelas malam.

Setidaknya kalau aku bertempur sekali lagi dengan Kevin, pasti nanti sampai jam dua belas tengah malam. Setidaknya aku masih punya waktu untuk pulang. Aku membathin.

"oke. gak apa-apa.." jawabku akhirnya setuju.

Kevin kembali melangkah menuju ranjang. Aku menyambutnya dengan senyum mengembang.

Rasa lelahku sudah menghilang, dan aku sudah siap untuk berlayar kembali bersama Kevin.

Untuk ke dua kali nya malam itu, kami pun melakukan pendakian bersama.

Sebuah pendakian yang masih terasa sangat indah dan begitu berkesan.

Hingga untuk yang ke duanya lagi, kami pun terhempas bersama.

*****

Seperti kesepakatanku dengan Kevin, setelah mandi dan membersihkan diri, aku pun pamit untuk pulang.

Jam memang sudah hampir jam satu malam. Aku melangkah pelan keluar kamar hotel tersebut, setelah tentu saja Kevin membayarku lebih banyak dari yang aku harapkan.

Sepanjang perjalanan pulang, aku masih terus memikirkan pertarunganku dengan Kevin barusan.

Setiap tamu yang aku temani, selalu punya kesan yang berbeda.

Mereka selalu punya cerita kehidupan yang berbeda, dan hal itu membuatku menjadi tidak jenuh menjalani proses kehidupan ini.

Melakukan rutinitas yang sama, dengan orang-orang yang berbeda, membuatku jadi sedikit menikmati pekerjaanku.

Segala lelah yang aku rasakan, terbayar dengan upah yang aku peroleh.

Pengalaman-pengalaman para lelaki gay yang aku temui, membuat aku punya kesimpulan tersendiri tentang dunia gay itu sendiri.

Tidak ada seorang pun dari mereka yang ingin terlahir sebagai laki-laki yang berbeda. Tapi mereka tidak begitu saja bisa menghindar dari semua itu.

Sebagian besar dari mereka, sebenarnya adalah laki-laki baik, yang terombang-ambing oleh kodratnya sendiri.

Mereka hanya mencoba menjalani takdir yang sudah di tentukan untuk mereka. Walau sebenarnya mereka bisa saja berhenti dari semua itu. Tapi jelas hal itu tidak semudah membalikkan telapak tangan.

Butuh kemauan yang besar untuk bisa berubah. Dan tidak semua orang punya kemauan yang besar.

Setidaknya begitulah yang aku ketahui sampai saat ini, tentang dunia gay.

Dan sekali lagi aku berharap, semoga aku bisa segera keluar dari semua ini.

Semoga kehidupan ku akan kembali normal.

Ya, semoga saja...

****

Istri Simpanan sang juragan (Kisah sang tukang pijat)

Sebagai seorang tukang pijat, aku memang punya banyak pelanggan, dengan berbagai karakter dan tipe yang berbeda-beda.

Pelangganku ada yang perempuan dan ada juga dari kaum laki-laki.

Sebagai seorang tukang pijat panggilan, aku memang terkadang di tuntut untuk memberi palayanan terbaik pada setiap pelangganku.

Istri simpanan sang juragan

Dan bahkan ada banyak dari pelangganku yang meminta dengan terang-terangan untuk memberi pelayanan plus.

Aku tidak sembarangan memberi pelayanan plus pada pelanggan. Ada beberapa kriteria pelanggan yang bisa aku beri pelayanan plus.

Kriteria pertama adalah pelanggan yang memiliki banyak uang alias orang kaya raya.

Orang kaya biasanya akan memberi bonus uang yang sangat banyak, apa lagi jika pelayananku mampu membuat mereka merasa puas.

Selain kaya, aku juga bersedia memberi pelayanan plus kepada pelangganku yang menurutku sangat menarik secara fisik, terutama yang masih muda dan terlihat bersih.

Salah seorang pelanggan yang sering aku beri kesempatan untuk mendapat pelayanan plus dariku, ialah seorang wanita bernama mbak Widya.

Mbak Widya adalah seorang wanita cantik nan seksi.

Ia tinggal di sebuah rumah mewah di kawasan perumahan elite.

Dari cerita mbak Widya, aku tahu, kalau ia adalah seorang istri simpanan.

Suaminya yang seorang juragan emas, yang memiliki banyak toko emas di kota tersebut, memang sengaja membelikan sebuah rumah untuk mbak Widya.

Sebagai istri simpanan, tentu saja mbak Widya dinikahi oleh suaminya secara diam-diam atau lebih sering di sebut nikah sirih.

Suami mbak Widya hanya mengunjunginya seminggu sekali. Dan hal itu tentu saja menjadikan mbak Widya sebagai seorang istri yang cukup kesepian.

Secara ekonomi kehidupan mbak Widya memang terbilang mewah dan serba ada.

Tapi sebagai seorang perempuan yang sudah bersuami, tentu saja mbak Widya selalu merasa kesepian.

Apa lagi ia tidak di perbolehkan hamil oleh sang suami. Sehingga setelah hampir dua tahun menikah, mbak Widya belum juga memiliki keturunan.

"suami ku takut, kalau aku punya anak, aku pasti tidak akan bisa melayaninya lagi dengan baik. Dan bisa saja ia akan mencari perempuan lain.." begitu cerita mbak Widya suatu malam padaku, saat ia memintaku untuk memijatnya lagi.

"mbak Widya sendiri pengen gak punya anak?" tanyaku berbasa-basi.

"sebagai seorang perempuan tentu saja aku menginginkannya, tapi aku juga tak ingin suamiku meninggalkanku. Karena segala biaya hidupku selama ini suamiku yang menanggungnya. Dan aku masih belum mau melepaskan kehidupan yang mewah ini.." ucap mbak Widya menjelaskan.

Mbak Widya sendiri sebenarnya masih sangat muda, masih 25 tahun.

Mbak Widya berasal dari keluarga yang kurang mampu di desa. Kehidupannya yang selalu kekurangan selama ini lah yang membuat mbak Widya memutuskan untuk menjadi istri simpanan.

"aku bukanlah wanita baik-baik. Dan aku juga ingin merasakan kehidupan yang mewah seperti orang-orang. Dan suamiku mampu memberikan itu semua, meski tentu saja aku harus kehilangan kebebasanku.." cerita mbak Widya lagi.

Sejak sering menggunakan jasaku sebagai tukang pijat, mbak Widya memang selalu terbuka padaku.

Aku juga sangat suka akan keterbukaan mbak Widya tersebut. Setidaknya aku merasa semakin akrab dengannya.

Semakin lama, kami semakin dekat, hingga pelayanan plus yang aku berikan, bukan lagi sekedar hubungan seorang tukang pijat dengan pelanggannya.

Tapi kami melakukan hal itu, berdasarkan rasa suka sama suka. Kami sama-sama menginginkannya.

Sekurangnya hampir dua kali dalam seminggu kami melakukan hal tersebut.

Segala kesepian mbak Widya, di tumpahkannya padaku. Dan aku sangat suka melakukan hal itu bersama mbak Widya.

Selain karena mbak Widya memang cantik dan seksi, ia juga sangat mahir dalam permainan tersebut.

Kami sama-sama menjadi ketagihan. Rasanya sangat puas, ketika kami sama-sama berhasil mencapai puncak keindahan itu.

"kamu sangat hebat, Riki. Aku selalu kalah dalam permainanmu yang penuh sensasi itu ..." ucap mbak Widya setelah kami melakukan pendakian untuk yang kesekian kalinya.

"aku menemukan sesuatu yang tidak ak dapatkan dari suamiku.." lanjutnya.

"mbak Widya juga hebat.." balasku jujur.

Untuk selanjutnya kami akan beristirahat sejenak, lalu kemudian akan memulai lagi permainan tersebut.

Kami memang melakukan hal tersebut, selalu lebih dari satu kali, dan bahkan aku kadang harus menginap di tempat mbak Widya, karena kelelahan.

Mbak Widya juga selalu memberiku tip yang sangat banyak, setiap kali kami selesai melakukan hal tersebut.

Yang membuatku semakin tidak bisa menolak, setiap kali mbak Widya meminta jatah padaku.

Aku semakin terlena dengan hubunganku dengan mbak Widya, demikian juga dengan mbak Widya sendiri.

Hubungan itu semakin lama semakin dalam.

*****

Hampir setahun hubungan terlarang kami berjalan.

Awalnya semua berjalan dengan indah tanpa ada kendala apa pun. Kami selalu bisa mengatur jadwal pertemuan kami, agar tidak di curigai oleh suami mbak Widya.

Tapi setelah hampir setahun, suami mbak Widya mulai curiga.

Seorang pembantu sengaja sang suami titipkan di rumah tersebut, untuk mengawasi gerak-gerik mbak Widya.

Tentu saja hal ini, membuat kami semakin sulit untuk bertemu.

Namun kami tidak kehabisan akal. Hotel adalah alternatif kami untuk bertemu.

Meski tentu saja, intensitas pertemuan kami semakin berkurang, namun tidak mengurangi kepuasan yang kami dapatkan.

Tapi tetap saja, hubungan kami sudah tidak aman lagi.

Sampai akhirnya suami mbak Widya, dengan sengaja memergoki kami yang sedang berada di dalam kamar hotel.

Suami mbak Widya telah mengutus seorang mata-mata, untuk mengawasi hubungan kami tersebut.

Dan pada suatu kesempatan, sang suami pun sengaja mendatangi kamar hotel tempat kami bertemu.

Sang suami pun memerintahkan beberapa orang anak buahnya untuk menghajarku habis-habisan, hingga aku bahkan harus masuk rumah sakit.

Mbak Widya sendiri tidak bisa berbuat banyak. Ia juga di paksa oleh sang suami untuk segera ikut pulang dengannya.

Sejak saat itu aku tidak lagi mendapat kabar dari mbak Widya.

Terakhir aku mendapat kabar, kalau mbak Widya akhirnya memutuskan untuk meninggalkan sang suami dan kembali ke kampung halamannya.

Aku sendiri kembali menjalani kehidupanku sebagai seorang tukang pijat panggilan, karean itulah profesiku.

Dan kisahku bersama mbak Widya, hanyalah sepenggal cerita yang pernah terjadi dalam perjalanan hidupku.

Semua memang harus berlalu, dan aku harus bisa menerima semuanya.

Demikianlah kisahku bersama mbak Widya, istri simpanan dari sang juragan tersebut.

Semoga kisah sederhana ini, bisa memberi pelajaran tersendiri bagi siapa pun yang mendengarkannya.

Bahwa sebuah hubungan yang terlarang, tidak akan pernah ada yang akan bertahan lama.

Karena sebenarnya itu semua bukanlah cinta, tapi hanya rasa ketertarikan secara fisik.

Dan hal itu seharusnya tidak membuat kita, terlalu tenggelam di dalamnya...

****

Cari Blog Ini

Layanan

Translate