Kisah Si Badui yang hendak menghisab Allah Swt...

Pada zaman dahulu kala, zaman dimana baginda Rasulullah Saw masih hidup.
Terdapatlah sebuah kisah tentang seorang Badui yang baru saja memeluk agama Islam.
Si Badui ini, diceritakan dalam sejarah, adalah berasal dari keluarga yang kurang mampu. Kehidupan ekonominya sangat terbatas, dan ia tinggal sangat jauh dari Madinah.
Si Badui belum pernah bertemu secara langsung dengan Nabi Muhammad Saw.
Ia memeluk Islam dan belajar tentang Islam dari para pemuka kabilahnya yang pernah mendapat pengajaran dari baginda Rasulullah Saw.
Tetapi dengan segala keterbatasannya itu, si Badui mampu menjadi seorang mukmin yang taat, dan bahkan ia sangat mencintai Rasulullah Saw, meski ia belum pernah berjumpa.
Ia sangat mengagumi sosok Rasulullah Saw, dan ia berharap suatu saat kelak ia bisa bertemu langsung dengan baginda Rasulullah Saw.
Selama ini si Badui hanya mendengar tentang kehebatan Rasulullah dari cerita-cerita kaum muslimin lainnya.

Pada suatu ketika si Badui mengikuti rombongan kabilahnya yang melaksanakan ibadah umroh ke Mekkah. Sebagai seorang yang baru saja memeluk Islam, si Badui belum mengetahui dengan benar bagaimana cara pelaksanaan ibadah umroh sesuai ajaran Nabi Saw.
Untuk itu ia mencoba memisahkan diri dari rombongannya, dan membaca satu-satunya dzikir yang ia hafal, berulang-ulang.
"yaa Kariim, yaa Kariim, yaa Kariim...." tasbihnya terus-menerus.
Dia berdzikir sendirian, sengaja menjauh dari orang-orang lainnya.

Si Badui memang bukanlah seorang yang cerdas, sehingga ia belum mampu menghafal dengan tepat do'a atau dzikir yang seharusnya orang-orang baca ketika thawaf.
Ia hanya membaca dzikir 'ya Kariim' berulang-ulang dengan sangat khusyu'.
Saat ia sedang berdzikir sendirian itulah, tiba-tiba seorang laki-laki berjalan mengikutinya dari belakang, sambil mengucapkan juga dzikir, "yaa Kariim... yaa Kariim..." berulang-ulang seperti yang dilakukan si Badui.
Mendengar hal tersebut, si Badui pun berpindah dan menjauh dari orang tersebut, sambil terus melafadzkan dzikirnya. Si Badui mengira orang tersebut hanya memperoloknya.
Namun laki-laki tersebut terus saja mengikutinya kemana pun si Badui berjalan dan menghindar.
Laki-laki itu masih saja mengikuti si Badui sambil terus mengucapkan dzikir yang sama.

*****

Merasa terus diperolok-olok, si Badui menghentikan langkahnya dan memutar tubuhnya menghadap laki-laki tersebut. Ia melihat seorang laki-laki dengan wajah sangat cerah dan berbadan sangat tegap.
Dengan sedikit tergagap si Badui pun berucap,
"wahai orang yang berwajah cerah, apakah anda sedang memperolok saya? Demi Allah, kalau tidak karena wajahmu yang cerah dan badanmu yang indah, tentu saja saya sudah mengadukan kamu kepada kekasihku...."
Laki-laki yang berdiri di hadapan si Badui pun tersenyum sambil berkata,
"wahai saudaraku, siapakah kekasihmu itu?"
"ia adalah Nabiku, Muhammad Rasulullah Saw..." balas si Badui dengan suara lantang.

Mendengarkan ucapan si Badui barusan, laki-laki tersebut semakin melebarkan senyumannya.
"wahai saudaraku Badui, apakah engkau belum mengenal dan bertemu dengan kekasihmu itu..?" laki-laki itu bertanya lagi, suaranya begitu lembut.
"tentu saja belum..." si Badui menjawab pelan.
"bagaimana mungkin kamu bisa mencintai seseorang yang bahkan engkau belum mengenalnya dan belum bertemu dengannya? Bagaimana bisa engkau mengimaninya?" tanya laki-laki itu lagi.
Si Badui berpikir sejenak, lalu dengan tegas menjawab,
"saya beriman atas kenabiannya, meski saya belum pernah melihatnya. Saya membenarkan kerasulannya meski saya belum pernah bertemu dengannya..."

Laki-laki itu tersenyum lagi dan menatap si Badui cukup lama.
"wahai saudaraku orang badui, saya inilah orang yang engkau cintai tersebut. Saya inilah Nabimu di dunia, dan pemberi syafaat padamu di akhirat kelak..." laki-laki itu berkata dengan penuh kelembutan.
Si Badui menatap tajam laki-laki itu, ia sempat berpikir kalau laki-laki tersebut hanya memperoloknya lagi. Tapi melihat penampilan dan cara berbicara laki-laki dihadapannya, si Badui sangat yakin bahwa orang tersebut ialah baginda Rasulullah Saw yang sangat dirinduinya selama ini.
Lelaki yang berdiri dihadapan orang Badui tersebut memanglah sosok Nabi Muhammad Saw, yang juga sedang melaksanakan ibadah umroh saat itu. Baginda Rasulullah sengaja mengikuti si Badui, karena melihat tingkahnya yang unik dan polos, menyendiri, tetapi tampak begitu khusyu' melafadzkan dzikirnya.

Si Badui masih menatap Rasulullah Saw setengah tak percaya, matanya berkaca penuh keharuan. Ia tidak menyangka akan bertemu dengan sosok yang selama ini sangat ia kagumi. Sambil menahan haru si Badui pun berjalan dengan pelan mendekati Rasulullah, ia menunduk dan hendak mencium tangan Nabi Muhammad Saw. Namun Rasulullah segera memegang pundak si Badui dan beliau pun berkata,
"wahai saudaraku, jangan perlakukan saya sebagaimana orang-orang asing memperlakukan para rajanya, karena sesunggunya saya diutus oleh Allah bukanlah sebagai orang yang sombong dan sewenang-wenang. Allah mengutus saya dengan kebenaran, sebagai pemberi kabar gembira (yakni akan kenikmatan di syurga) dan pemberi peringatan (akan pedihnya siksa api neraka) ..."

Si Badui masih menatap penuh kekaguman, hatinya begitu gembira bisa bertemu dengan baginda Rasulullah Saw.
Saat itulah tiba-tiba malaikat Jibril turun kepada Nabi Muhammad Saw, menyampaikan salam dan penghormatan dari Allah Swt kepada beliau, dan Allah memerintahkan beliau untuk menyampaikan beberapa kalimat kepada orang Badui tersebut.
Rasulullah pun menyampaikan kalimat tersebut kepada si Badui,
"hai Badui, sesungguhnya Kelembutan dan Kemuliaan Allah (yakni makna asma Allah ; yaa Kariim) bisa memperdayakan. Dan Allah akan menghisab (memperhitungkan)-nya dalam segala hal, baik yang sedikit ataupun yang banyak, yang kecil maupun yang besar..."
Mendengar ucapan Rasulullah tersebut, si Badui pun bertanya...
"ya Rasulullah, apakah Allah Swt akan menghisab saya?"
"iya. Dia akan menghisabmu jika Dia menghendaki..." jawab Rasulullah.

Si Badui tiba-tiba berucap sesuatu yang tak disangka-sangka,
"demi Kebesaran dan Keagungan-Nya, jika Dia menghisabku, aku juga akan menghisab-Nya...!"
Nabi Muhammad Saw tersenyum kembali mendengar ucapan si Badui tersebut, beliau pun bersabda,
"dengan apa engkau akan menghisab Tuhanmu, wahai Badui saudaraku?"
"jika Tuhanku menghisabku atas dosaku, aku akan menghisab-Nya dengan maghfiroh-Nya, jika Dia menghsiabku atas kemaksiatanku, aku akan menghisab-Nya dengan Afwan (pemaafan)-Nya, dan jika Allah menghisabku karena kekikiranku, aku akan menghisab-Nya dengan kedermawanan-Nya..." ucap si Badui lagi.

Nabi Muhammad Saw sangat terharu mendengar jawaban si Badui, sampai beliau menangis meneteskan air mata yang membasahi jenggotnya. Jawaban yang sangat sederhana, namun mencerminkan betapa 'akrabnya' si Badui Sang Pencipta-nya, betapa tinggi tingkat ma'rifatnya kepada Allah, padahal ia belum pernah mendapatkan didikan langsung dari baginda Rasulullah Saw.
Sekali lagi malaikat Jibril turun kepada Nabi Muhammad Saw dan berkata,
"wahai Muhammad, Tuhanmu, Allah Swt mengirim salam kepadamu dan berfirman : kurangilah tangismu, karena hal itu melalaikan malaikat-malaikat pemikul Arsy dalam tasbihnya. Katakan kepada saudaramu, si Badui, ia tidak usah menghisab kami dan kami tidak akan menghisab dirinya, karena ia adalah (salah satu) pendampingmu kelak di syurga..."
Rasulullah pun dengan segera mengusap air matanya. Beliau tersenyum menatap kagum kepada sosok si Badui yang masih berdiri di depannya.

Sekian...

Kisah pilu seorang pendosa besar...

Orang-orang memanggil ku Abe, begitu lah nama sapaan ku sehari-hari.
Dan ini adalah kisah ku.
Tidak ada yang istimewa sebenarnya dari kisah ku. Semua nya biasa saja.
Aku hanya laki-laki biasa, terlahir dari keluarga biasa, di besarkan dengan cara biasa dan tumbuh menjadi orang yang biasa.
Dan sebagai manusia biasa, dalam hidup aku melakukan banyak kesalahan.
Kesalahan-kesalahan itu terjadi begitu saja, bahkan ada yang dengan sengaja aku lakukan.

Dan tentunya sebagai manusia biasa, aku tidak punya banyak keinginan. Aku hanya ingin merasakan kebahagiaan sebagai mana yang orang-orang lain rasakan. Aku hanya ingin menikmati hidupku.
Itu saja! ya, hanya itu!

Tapi hidup tak pernah berjalan seperti yang aku harapkan. Hidup terlalu berat bagiku. Hidup ku terlalu rumit dan membosankan.

Semua penderitaan ku berawal ketika Ibu ku meninggal, saat aku masih berusia enam tahun. Saat aku masih sangat kecil dan belum mengerti arti sebuah kehilangan.
Lima tahun kemudian, ayah ku pun menyusul ibuku. Jadi lah aku seorang yatim piatu pada usia ku masih sebelas tahun.
Aku dirawat dan dibesarkan oleh kakak-kakak ku.
Pada usia itu, tentu saja aku masih belum merasa kehilangan. Aku masih merasa baik-baik saja.
Hidup, ku jalani sebagai mana layak nya seorang anak-anak.

Waktu pun terus berputar, dan aku pun mulai tumbuh menjadi seorang laki-laki dewasa. Aku tumbuh menjadi dewasa jauh lebih cepat dari pada orang-orang pada umumnya.
Bagaimana tidak, setelah lulus SMP aku tidak bisa lagi melanjutkan sekolah ku, karena kakak-kakak ku tidak mampu lagi membiayai sekolah ku.
Aku putus sekolah dan mulai melakukan pekerjaan yang hanya dilakukan oleh orang dewasa pada umumnya. Semua itu aku lakukan hanya untuk bisa bertahan hidup.
Karena aku tidak bisa berharap banyak kepada kakak-kakak ku, biar bagaimana pun mereka juga punya keluarga dan anak-anak yang harus mereka biayai.
Dan aku harus berjuang sendiri untuk hidup ku.

Sejak saat itu, aku pun mulai bergaul dan berteman dengan orang-orang yang sudah dewasa.
Dan aku pun terjerumus dalam lembah hitam penuh dosa.
Aku mulai mengenal dunia kelam, aku sudah mulai mabuk-mabukan, memakai narkoba dan berbagai jenis barang haram lainnya.
Aku tak pedulikan lagi masa depan ku, keluarga ku dan bahkan aku tak peduli lagi dengan hidup ku.
Yang ingin aku lakukan hanyalah menikmati hidup dengan caraku. Meski aku tahu itu salah.
Tapi aku marah pada kehidupan.

Aku marah pada takdir. Aku marah kepada kedua orang tua ku, yang pergi begitu cepat, saat aku masih sangat membutuhkan mereka. Saat aku masih begitu rapuh dan ingin mereka selalu ada di dekat ku.
Bahkan aku marah kepada Tuhan, mengapa Ia dengan begitu tega mengambil kedua orang tua ku di saat aku belum jadi apa-apa. Di saat aku masih begitu lemah.

Aku kehilangan pegangan dalam hidup. Aku kehilangan arah dan bahkan aku kehilangan harapan!
Hingga aku tumbuh menjadi laki-laki liar.
Aku tumbuh menjadi orang yang hampir tidak punya perasaan. Aku akan begitu mudah memukuli siapa saja yang mencoba mengganggu ku.
Tiada hari yang aku lewati tanpa melakukan perbuatan dosa.
Mabuk-mabukan sudah menjadi hobi ku. Berzina sudah menjadi kebiasaan ku setiap hari.
Orang-orang menjadi takut padaku, karena bahkan aku pernah membunuh orang yang tidak bersalah.
Aku keluar masuk penjara beberapa kali. Tapi itu tidak membuat aku jera.

Aku hanya menuntut keadilan pada dunia, kepada Tuhan. Dia yang menciptakan dunia ini, dan Dia harus bertanggung jawab atas semua ketidakbahagiaanku.
Aku benar-benar marah pada kehidupan ini. Bahkan sangat marah!

Sejak kecil aku sudah terbiasa kerja keras, banting tulang, peras keringat. Namun selalu saja nasib tak pernah memihak pada ku. Cita-cita ku, keinginan ku tenggelam. Karena aku memang tidak pernah beruntung sebagai seorang Abe di dunia ini.
Tapi sebagai laki-laki dan tentu saja untuk bertahan hidup aku harus kuat menghadapi kegagalan demi kegagalan yang aku alami.
Namun sekarang aku bahkan sudah tidak yakin pada diri ku sendiri, kalau aku masih mampu meraih sedikit saja dari semua impian ku.

Aku tidak mengharapkan untuk hidup bergelimang harta.
Tidak sama sekali!
Aku hanya ingin merasakan kasih sayang, yang sejak kecil bahkan belum pernah aku rasa kan.
Tapi siapa yang mau peduli pada  ku.
Di mata orang-orang aku hanya lah sampah!

****************

Aku masih saja terus menjalani hidup ini dengan semua kebiasaan burukku. Dengan terus bergelimang dosa-dosa yang semakin hari semakin tak bisa aku hindari.
Aku tak mengenal cinta dalam hidup ku, aku bisa mendapatkan perempuan mana pun yang aku inginkan, meski dengan sedikit paksaan.
Karena memang aku terlahir cukup tampan dan memiliki tubuh yang atletis, yang terbentuk oleh penderitaan hidupku.

Aku tak mengenal cinta dan bahkan aku membencinya.
Aku pernah jatuh cinta dan mencoba menjalin hubungan yang serius, tapi aku tak pernah mendapat restu dari kedua orang tua kekasihku.
Seperti yang aku katakan, di mata orang-orang aku hanyalah sampah, tidak punya masa depan yang jelas dan tidak memiliki kehidupan yang mapan.
Orang tua mana yang akan dengan begitu mudah, mengizinkan anak gadisnya hidup bersama dengan orang sepertiku.
Tidak satu pun! Dan tak kan pernah ada.
Dan aku juga tidak peduli akan semua itu.

Hari-hari berlalu seperti biasa. Hingga suatu saat, Tuhan akhirnya menghajarku!
Aku mengalami sebuah kecelakaan yang sangat parah. Aku koma di rumah sakit, selama sepuluh hari. Aku tak sadarkan diri.
Selama masa koma itu lah, aku seakan mendapat pencerahan. Aku bermimpi bertemu kedua orangtuaku. Mereka sangat marah pada ku, mereka seperti membenciku. Dan aku menangis tersedu-sedu dalam mimpiku. Aku ingin meminta maaf kepada kedua orangtuaku, tapi sepertinya mereka tak mau lagi mendengarku. Mereka pergi menjauh dan hilang. Aku mencoba memenggil mereka sekeras-kerasnya, namun suaraku tertahan dan yang keluar hanyalah rintihan kesakitan.
Aku pun tersadar dari koma ku, tak sadar air mataku pun menetes.
Semua kakak dan keluargaku sudah berkumpul di dekatku. Wajah mereka menunjukkan kesedihan yang tampak begitu tulus di mataku.

Aku pun terhenyak, luka-luka ku akibat kecelakaan itu masih terasa sangat sakit. Namun yang paling menyakitkan dari semua itu adalah, ketika aku tahu, aku telah kehilangan sebelah kakiku. Kaki kiri ku harus di amputasi karena mengalami patah yang sangat parah. Tuhan telah mengambilnya dengan paksa dariku.
Seketika aku sadar, ini adalah salah satu bentuk teguran Tuhan pada ku. Atau bahkan ini adalah hukuman untuk semua dosa-dosa ku.
 
Aku kehilangan satu kakiku, dan kehilangan bukanlah hal yang baru bagiku. Aku sudah terlalu biasa dengan yang namanya kehilangan. Dan aku tidak ingin menangisinya atau pun menyesalinya.
Takdirku memang selalu buruk, keberuntungan tidak pernah benar-benar datang padaku.
Dan aku membenci semua itu.

**************

Waktu terus berlalu dan aku membiarkan takdir menjalankan tugasnya. Berbulan-bulan aku hidup dan berjalan dengan memakai satu tongkat. Untunglah kakakku masih mau merawatku.
Hampir setiap malam, aku selalu di hantui oleh mimpiku. Mimpi bertemu ayah dan ibuku. Mereka selalu datang dalam mimpiku dengan keadaan marah dan kecewa.
Aku menghabiskan hari-hariku merenungi semua itu. Aku pun mulai membaca beberapa buku tentang menjadi seorang muslim yang baik.
Ya, dari kecelakaan yang ku alami dan dari mimpi-mimpiku, aku mulai sadar, kalau apa yang aku lakukan selama ini adalah sebuah kesalahan.
Dan Tuhan sudah menegurku berkali-kali. Namun selama ini hatiku begitu tertutup oleh kekecewaanku terhadap hidup.

Sekarang aku mulai menghafal kembali bacaan-bacaan sholat, yang sempat aku pelajari pada waktu aku sekolah dulu. Mulai membaca Al-Qur'an kembali. Aku mulai melaksanakan sholat yang sudah sangat lama aku tinggalkan.
Aku mulai mendekatkan diriku kepada Tuhan yang selama ini aku benci.
Tengah malam aku pun bersujud, memohon ampunan kepada Allah. Berharap semoga Allah masih mau memberikan aku kesempatan, untuk memulai kembali hidupku.
Memulai hidupku yang baru. Meninggalkan semua kezholiman yang pernah aku lakukan.
Aku manangis tersedu-sedu, mengingat semua dosa-dosaku. Sadar betapa tak berharganya aku di mata Allah. Betapa rendahnya aku dan betapa hinanya apa yang lakukan selama ini.
Betapa kecewanya kedua orangtuaku atas semua perbuatanku selama ini.

Aku hanya seorang pendosa yang berusaha mendapatkan Rahmat Tuhan kembali. Hidupku bagai dipenjara sunyi, siang berlumur dosa malam pun berteman sepi, tiada tempat mengadu. Namun kenyatan tak jua aku temui.
Dosa-dosaku sudah terlalu banyak. Aku hidup dalam lumpur dosa selama ini. Mungkinkah masih ada kesempatanku untuk memperbaiki semuanya?
Ataukah tak ada tempat lagi untuk orang sepertiku ini?
Semua tanyaku tak terjawab.
Aku dirundung pilu setiap hari dan Tuhan masih belum juga menjawab do'a-do'aku.

Tak mudah memang, melepaskan diri dari semua kebiasaan buruk yang hampir sudah mendarah daging. Tapi aku harus berjuang. Aku harus bisa. Tak peduli sebesar apapun resiko yang harus aku hadapi nanti.
Aku harus meminta maaf kepada siapa pun yang pernah aku sakiti dulu.
Aku tahu, terlalu banyak waktu yang aku buang percuma selama ini. Aku telah menyia-nyia kan hidupku. Dan aku tidak akan mengulanginya. Meski aku harus melanjutkan hidupku hanya dengan satu kaki.
Aku benar-benar berharap kelak suatu saat aku akan menemukan kebahagiaan yang selama ini aku harapkan.
Atau justru sebaliknya, aku akan kembali terjerumus dalam lumpuran dosa, yang bahkan mungkin akan jauh lebih parah?!

****

Sekian ...

Misteri gadis yang hilang .....

Lila Kurnia membuka matanya pelan, cahaya lampu sedikit membuatnya silau. Lila mengusap-usap matanya beberapa kali. Pandangannya tertuju pada lampu yang berada tepat diatasnya. Untuk sesaat Lila memfokuskan pikirannya. Hal terakhir yang ia ingat, ketika seorang laki-laki berbadan tegap memukul kepalanya hingga ia terjerembab dan tak sadarkan diri.
Lila memutar kepalanya ke kiri, ia melihat seorang gadis tersenyum sinis padanya. Gadis itu duduk di atas sebuah dipan kecil dengan menyilangkan kedua kakinya. Rok mini yang dipakainya sedikit terbuka.
Dengan spontan Lila coba menggerakkan tubuhnya untuk bangkit. Sorot matanya tak henti menatap gadis yang berada tak jauh dari sampingnya.

"saya dimana?" tanya Lila akhirnya, setelah ia berhasil duduk diatas dipan tempat ia terbaring tadi. Tubuhnya ia arahkan pada gadis cantik yang masih saja tersenyum kecut menatapnya.
Gadis itu menurunkan kakinya dengan santai.
"saya dimana?" tanya Lila lagi lebih keras, "dan kamu siapa?" lanjutnya dengan napas sedikit terengah.
Gadis yang duduk di depannya menyunggingkan bibirnya sambil merangkai kedua jemarinya.
"di neraka..." jawabnya dengan nada kasar.
Lila mengernyitkan kening, ia bergidik.
"maksdu kamu?" tanya Lila bergetar.
"nanti kamu juga bakal tahu..." kali ini gadis di depannya berkata sedikit lembut.
Lila mengalihkan pandangannya menatap seisi ruangan itu. Hanya ada dua tempat tidur di situ dan dua buah lemari pakaian yang tertutup. Ruangan itu seperti sebuah kamar dengan ukuran 3 x 4 meter menurut perkiraan Lila. Tidak ada jendela, hanya sebuah pintu yang tertutup rapat.
Sebuah kamar mandi kecil berada di sudut ruangan.

"saya Atika..." suara gadis itu sedikit mengagetkan Lila, "sudah hampir empat bulan saya berada disini.." lanjutnya.
Gadis itu berdiri dan berjalan menuju lemari, ia mengambil sebuah handuk.
"kamu sebaiknya mandi sekarang, sebentar lagi makan siang kita akan datang.." ucapnya lagi, ia melemparkan handuk tersebut ke tubuh Lila yang memang terlihat dekil.
Dengan sedikit terlonjak Lila menyambut handuk tersebut. Lila menatap gadis itu beberapa saat. Tubuhnya memang terasa sangat gerah dan kotor. Rambutnya awut-awutan. Lila tidak begitu ingat entah sudah berapa lama ia tidak mandi.
Dengan tubuh yang masih terasa lemah, Lila coba berdiri dan melangkah menuju kamar mandi.
Pikirannya masih menerawang. Semua masih menjadi tanda tanya bagi Lila.
Ia benar-benar tidak tahu dimana ia berada saat ini.
Mungkin dengan mandi bisa sedikit meringankan rasa sakit di kepalanya, pikir Lila sambil mengunci pintu kamar mandi itu dari dalam.


*******

"kalian yakin akan ikut?" tanya Akmal lagi pada Piter dan Alena. Kali ini Akmal yang menyetir dan Alena berada di sampingnya, sedangkan Piter duduk di kursi belakang mobil panther itu.
Mobil itu berjalan pelan menyelusuri jalan menuju ke arah pinggiran kota.
Alena melirik sekilas, lalu mengangguk pelan.
Walau sebenarnya ia merasa takut, tapi biar bagaimana pun Lila adalah temannya, ia merasa ingin membantu menemukannya.
Sementara Piter hanya terdiam, ia merasa tak harus menjawab pertanyaan tersebut. Baginya Lila bukan hanya sekedar teman dekat, ia telah jatuh cinta pada gadis itu. Ia harus bisa menemukan Lila. Hanya itu keinginannya saat ini.
"biasanya saya bekerja sendirian. Jadi saya tidak menjamin keselamatan kalian berdua. Jika terjadi sesuatu pada kalian, itu bukan tanggungjawab saya. Kalian yang bersikeras untuk ikut..." ucap Akmal tegas.

"sebenarnya kita akan kemana?" tanya Alena, setelah cukup lama mereka terdiam.
"di daerah pinggiran sana ada sebuah rumah bordir. Saya perkirakan teman kalian telah diculik oleh orang-orang yang berada di sana. Teman kalian mungkin akan dijadikan salah seorang pelacur disana.." ucap Akmal menjelaskan.
Alena tiba-tiba merinding, perutnya terasa mual mendengar ucapan Akmal barusan.
"kenapa anda begitu yakin?" suara Piter dari belakang.
"saya pernah menangani kasus seperti ini sebelumnya." balas Akmal terdengar santai.
"kalau begitu kita bisa lapor polisi saja.." ucap Alena.
"rumah bordir itu milik seorang pengusaha kaya yang sangat berpengaruh di kota ini. Mereka kebal hukum. Tidak ada polisi atau pun pejabat yang berani menutup tempat tersebut. Jadi percuma kalau kita lapor polisi, mereka seolah tutup mata akan keberadaan tempat tersebut." jelas Akmal.

"jadi bagaimana kasus sebelumnya?" tanya Piter penasaran.
"saya belum sempat menyelesaikannya. Saat saya berhasil masuk ke dalam, gadis tersebut sudah tidak berada di sana. Ia mencoba kabur. Tapi sehari kemudian gadis tersebut ditemukan tewas terbawa arus sungai. Ada luka tusuk di perutnya. Pihak berwajib sengaja menutupi hal tersebut dan menyatakan kejadian tersebut hanya sebuah kecelakaan. Meski kedua orangtua gadis tersebut tidak bisa terima, namun pihak polisi sudah menutup kasus tersebut.." jelas Akmal lagi.
Ia memarkir mobilnya di pinggiran jalan. Hari sudah sangat gelap.
Tak jauh di depan mereka terdapat sebuah bangunan yang sangat luas. Bangunan empat tingkat tersebut seperti sebuah hotel, yang di kelilingi pagar tembok cukup tinggi.
Mobil-mobil mewah ramai terparkir di halaman depan bangunan tersebut.
Untuk memasuki gedung, ada sebuah gerbang khusus di bagian depan yang dijaga oleh dua orang laki-laki yang berbadan besar dan tegap.
Setiap mobil yang masuk akan di identifikasi oleh petugas tersebut.

"bagaimana caranya kita masuk ke dalam?" tanya Alena sambil terus memperhatikan ke arah gerbang tersebut.
"saya yang akan masuk ke dalam. Kalian berdua tunggu di mobil. Saya akan menyelinap masuk lewat belakang. Saat saya sudah temukan teman kalian, saya akan membawanya keluar. Dan kamu Piter, harus segera menghidupkan mobil untuk kabur secepatnya sebelum kita ketahuan. Saya harap kalian paham.."
Piter dan Alena hanya mengangguk-angguk.

************

Detektif Akmal menyusuri pagar tembok yang tingginya lebih kurang 2 meter tersebut ke arah belakang bangunan. Ia mencoba mencari posisi terbaik untuk bisa masuk ke dalam tanpa terlihat. Keadaan sekitar sangat gelap, namun detektif Akmal sudah terbiasa berada dalam kegelapan malam seperti itu. Matanya cukup jernih untuk dapat melihat dengan jelas setiap langkahnya. Bias cahaya lampu dari gedung tersebut cukup membantu Akmal hingga ia sampai di area belakang gedung yang memang terlihat sepi.
Ia pernah berada di sana sebelumnya. Ia tahu, di tengah tembok ada sebuah pintu masuk kecil yang terkunci dari dalam.
Akmal berhenti di depan pintu tesebut, lalu dengan hati-hati ia mendobrak pintu tersebut. Ia tahu, pada jam-jam seperti ini, para penjaga sedang sibuk di depan, jadi tidak akan ada yang mendengar suara dobrakannya.

Krak!
Pintu itu akhirnya berhasil terbuka. Akmal menyelinap ke dalam dengan langkah hati-hati. Ia melangkah menuju bagian belakang gedung dengan sedikit tertunduk, menghindari pantulan cahaya lampu.
Pohon akasia tersusun acak berdiri di halaman belakang gedung tersebut, cukup membantu Akmal untuk menyelinap dengan aman. Ia sampai di dinding tembok gedung bagian belakang. Di telusurinya dinding itu sambil terus berlindung dengan merapatkan tubuhnya ke dinding tersebut.
Sebuah pintu terdapat disana. Akmal memperhatikan sekeliling dengan dada bergemuruh.
Pelan ia menyentuh gagang pintu tersebut. Terkunci!
Ia tidak mungkin mendobrak pintu itu juga, karena suaranya pasti akan terdengar ke dalam. Dan Akmal tidak bisa memperkirakan apa yang ada di sebalik pintu tersebut.

Akmal mengambil sebuah kunci dari dalam saku jaket hitamnya. Sebuah kunci serba guna yang sengaja dibawa Akmal untuk keperluan mendesak seperti saat ini.
Dengan hati-hati Akmal memasukan kunci tersebut ke dalam lobang kecil pintu, lalu memutarnya perlahan.
Krek!
Kunci berhasil terbuka. Akmal menekan pintu ke dalam, sambil mengintip dengan cermat. Ia masuk dengan hati-hati dan memperhatikan ruangan tesebut. Gelap!
Akmal mengeluarkan lagi dari saku jaketnya sebuah senter kecil.
Ternyata itu adalah sebuah gudang. Disana terdapat banyak sekali barang-barang rongsokan.
Di bagian sudut ruangan tersebut terdapat sebuah pintu.
Akmal yakin, pintu tersebut adalah pintu menuju salah satu ruangan lainnya di gedung tersebut.
Detektif Akmal sudah mendapat info, kalau para gadis tersebut di kurung di kamar yang berada di lantai bawah.

Akmal membuka pintu tersebut dengan menggunakan kunci yang ia bawa. Bias cahaya masuk ke dalam ruangan tersebut, Akmal mematikan senternya segera.
Akmal dapat melihat dengan leluasa ke dalam. Terdapat sebuah koridor yang panjang. Disepanjang koridor ada begitu banyak kamar yang terdapat di bagian kiri kanannya.
Benar-benar seperti sebuah hotel, pikir Akmal.
Tiba-tiba diujung lorong, Akmal melihat ada tiga bayangan menuju ke arahnya. Dengan segera Akmal kembali menutup pintu gudang tersebut.
Suara langkah kaki semakin jelas terdengar. Akmal menahan napas. Dipeganginya sebuah pistol yang berada di pinggangnya, hanya untuk berjaga-jaga. Kalau-kalau ia ketahuan.
Langkah-langkah itu semakin jelas dan mendekat. Akmal menyandarkan tubuh ke dinding di dekat pintu, sedikit bersiap-siap.

"saya mau dibawa kemana?" suara serak seorang gadis terdengar diantara derap langkah tersebut.
Akmal mencoba mengintip dari lobang kunci. Samar-samar ia melihat tiga orang yang sedang berjalan. Seorang perempuan berada ditengah, diapit oleh dua orang laki-laki bertubuh tegap. Kedua tangan perempuan tersebut dipegang paksa oleh kedua laki-laki tersebut.
Perempuan itu sedikit meronta, namun jelas terlihat kalau ia sudah tidak berdaya melawan tenaga kedua laki-laki itu.
"kamu diam atau peluru ini akan menembus kepalamu.." suara kasar laki-laki yang berada disamping kanan gadis itu, sambil mengacungkan sebuah pistol.
Langkah mereka semakin mendekat. Saat mereka bertiga berada di depan pintu gudang, Akmal dapat melihat dengan jelas, kalau perempuan yang sedang berjalan tersebut sangat mirip dengan gadis yang ada di photo.
Itu dia! bathin Akmal.

Bersambung ...

Misteri gadis yang hilang ....

Laki-laki berusia sekitar 38 tahun itu, menatap kedua muda-mudi yang berdiri di hadapannya secara bergantian, lalu kemudian mengalihkan pandangannya kembali ke selembar photo yang berada di tangan kirinya.
"kalian yakin, teman kalian diculik?" tanya laki-laki itu dengan suara khas yang terdengar sedikit serak.
"sepertinya begitu, tuan." si laki-laki muda menjawab dengan suara tertekan.
Dan wanita yang disampingknya hanya mengangguk meyakinkan.
"selain karena dia sudah hampir tiga hari tidak ada kabar, apa yang mendasari kalian untuk menyimpulkan kalau gadis di dalam photo ini ternyata diculik..?" suara serak laki-laki paroh baya itu terdengar lagi. Ia meletakkan photo yang tadi ia pegang ke atas meja yang berada di sampingnya.

Piter mengeluarkan jepitan rambut yang ia dapat kemarin siang,
"ini.." ucapnya sambil menyerahkan benda tersebut kepada laki-laki itu.
Laki-laki yang bernama lengkap Akmal Hadi itu, mengambil benda tersebut. Kemudian menatapnya sejenak.
"ini apa?" tanyanya ringan.
"jepitan rambut.." kali ini si wanita yang sejak tadi hanya terdiam spontan menjawab.
Akmal menatap tajam ke arah wanita itu.
"iya saya tahu ini jepitan rambut!" ucapnya sedikit kasar, "maksud saya mengapa kalian perlihatkan benda ini sama saya.." suaranya mulai pelan.
Wanita itu, Alena, tertunduk. Tubuhnya sedikit gemetar. Rasa takut merasuki pikirannya tiba-tiba, mendengar suara kasar laki-laki yang ada di depannya.

"itu adalah jepitan rambut yang dipakai Lila pada hari terakhir ia terlihat.." Piter akhirnya bersuara lagi.
"Lila?"
"gadis yang hilang. Gadis yang di photo.." jawab Piter cepat.
Akmal membulatkan bibir.
"kamu dapat dari mana?" tanyanya.
"saya kemarin coba telusuri gang tempat Lila biasa lewat, saya menemukan itu di semak-semak pinggiran jalan." jawab Piter lagi. Suaranya bergetar.
"kalian sudah lapor polisi?"
"sudah.." itu suara Alena yang mencoba memberanikan diri lagi untuk menatap wajah laki-laki itu.
Laki-laki yang mereka temui itu terlihat menyunggingkan senyum tipis. Bekas-bekas ketampanan masih terlihat jelas di wajahnya. Tatapan matanya tajam.

"soal ini.." Akmal mengacungkan benda yang dipegangnya keatas.
Piter dan Alena hanya menggeleng ringan.
"kenapa?" tanya Akmal. Kali ini tatapannya ditujukan pada Piter.
"karena menurut saya, anda lebih membutuhkan benda tersebut..." Piter menjawab.
Laki-laki itu manggut-manggut, ia berjalan mengelilingi meja yang ada di ruangan kecil itu.
Ruangan itu berukuran sekitar 3 x 4 meter persegi, di dalamnya hanya terdapat dua buah lemari yang berisi berkas-berkas. Lalu di tengah-tengah ruangan itu terdapat sebuah meja dan sebuah kursi.
Ruangan itu adalah ruang kerja Akmal sebagai detektif bayaran. Sudah banyak kasus yang pernah ia tangani. Biasanya ia selalu bisa menyelesaikannya.
"saya akan bantu kalian," ucapnya pelan, "tapi kalian harus bayar mahal untuk kasus ini..."
"yah, kami pasti akan bayar." balas Piter.
Sementara Alena hanya terdiam, ia tidak tahu pasti berapa bayaran yang diminta oleh laki-laki itu.
Alena tahu, kalau Piter memang punya banyak uang.
Sebegitu besarkah pengorbanan Piter untuk Lila? bathin Alena.

*************

Mereka bertiga berjalan menyelusuri gang di belakang kampus itu, sebuah gang yang masih tertimbun tanah. Sehingga jika hujan terkadang jalan menjadi becek.
"ngapain kita kesini?" tanya Piter. "saya sudah kesini kemarin, selain jepitan itu, tidak ada apa-apa lagi disini.." lanjutnya.
"jika benar teman kalian diculik, itu berarti si penculik pasti menggunakan kendaraan. Karena sangat tidak mungkin si penculik memopong tubuh teman kalian untuk melewati rumah-rumah yang ada di gang ini. Jadi kita harus perhatikan jejak kendaraannya disini." jawab Akmal, sambil terus berjalan pelan.
Piter dan Alena mengangguk-angguk pelan.
"tapi disini begitu banyak jejak kendaraan.." balas Piter lagi.
"yah, untuk itu kita harus mencari jejak kendaraan yang benar-benar baru. Atau setidaknya jejak kendaraan yang berbeda dari kendaraan-kendaraan yang biasa melewati jalan ini.."

"ini pasti akan sulit.." bisik Alena pelan.
"tidak ada yang sulit." balas Akmal lagi, "jika kita memperhatikannya dengan seksama. Yang terpenting kita perhatikan adalah, yang pertama pastikan jejak kendaraan itu ialah jejak sebuah mobil, karena tidak mungkin si penculik membawa teman kalian dengan sepeda motor." lanjutnya dengan sedikit menarik napas, "kemudian pastikan jejak mobil tersebut, terlihat seperti sebuah jejak yang terkesan buru-buru, karena sudah pasti si penculik mengendarai kendaraannya dengan buru-buru setelah berhasil membawa teman kalian di dalamnya..."
Sekali lagi Piter dan Alena manggut-manggut.
Sebuah analisa yang cerdas. Pantas Piter begitu yakin dengan orang ini, pikir Alena.

"nah itu dia!" ucap Akmal menghentikan langkahnya.
Piter dan Alena yang berada di belakangnya turut berhenti dan memperhatikan arah telunjuk Akmal.
Alena mengerutkan kening, ia tidak begitu paham apa yang ditunjuk oleh Akmal barusan.
"jejak mobil itu terlihat sangat berantakan.." jelas Akmal, sambil berjalan mendekati jejak mobil tersebut.
Piter dan Alena mengikuti dari belakang.
"sekarang kita harus bertanya pada orang yang tinggal di rumah itu.." Akmal berkata lagi, kali ini ia acungkan tangannya ke arah sebuah rumah yang berada tidak jauh dari tempat mereka berdiri.
"saya sudah bertanya kemarin.." ucap Piter tiba-tiba.
"dan mereka jawab apa?" Akmal bertanya sambil terus melangkah mendekati rumah tersebut.
"mereka bilang mereka tidak tahu.." jawab Piter.
"itu karena pertanyaanmu kurang tepat.."
Piter hanya mengerutkan kening, tidak mengerti.

Akmal melangkah mendekati pagar rumah tersebut, kemudian membukanya dengan sedikit kasar.
Piter dan Alena hanya diam mengikuti langkah laki-laki itu.
Akmal mengetuk pintu rumah itu, seorang wanita tua keluar dengan wajah sedikit heran.
"permisi.." suara Akmal lembut, "bolehkah saya bertanya?" lanjutnya.
"yah, ada apa ya..?" wanita itu mengerutkan keningnya yang memang mulai terlihat mulai keriput.
"maaf, apakah anda kemarin lusa atau dua hari yang lalu berada di rumah?"
"saya selalu berada di rumah sepanjang hari. Kenapa?"
"apakah dua hari yang lalu anda melihat sebuah mobil yang menurut anda cukup asing, atau bahkan belum pernah melewati jalan ini?"
Wanita tua itu terdiam sejenak, terlihat berpikir keras.
"ini tentang gadis yang hilang itu?" tanya wanita itu.
"yah," jawab Akmal mengangguk.

"pagi tadi dua orang polisi juga datang kesini dan bertanya pada saya. Mereka bertanya apakah saya mendengar suara teriakan pada dua hari yang lalu. Saya tentu saja menjawab tidak, karena saya memeng tidak mendengar suara teriakan." wanita itu menarik napas sejenak.
"dan pertanyaan anda menurut saya sangat menarik, karena di gang ini memang jarang sekali orang yang lewat. Tidak banyak yang tahu ada gang disini yang bisa tembus ke arah kampus, kecuali bagi mereka yang sudah lama tinggal disini." wanita itu berhenti beberapa saat, sambil memperhatikan ketiga tamu yang berdiri di depannya.
"saya sudah hafal betul kendaraan apa saja yang sering lewat disini, karena saya memang sudah tinggal disini sejak saya menikah. Dan pada dua hari yang lalu saya memang melihat sebuah mobil yang belum pernah lewat disini. Sepintas saya melihat mobil tersebut berhenti disana.." wanita itu menunjuk arah tak jauh dari tempat Akmal menemukan jejak mobil yang dicurigainya tadi.
"apa anda masih ingat kira-kira mobilnya seperti apa?" tanya Akmal dengan wajah penasaran.
"saya tidak tahu pasti merk mobilnya apa. Warnanya hitam pekat, itu seperti sebuah mobil carry tua, kalau saya tidak salah lihat.."

Setelah mengucapkan terima kasih, mereka bertiga pun bergegas menuju mobil Piter yang mereka parkir di halaman kampus.
Diam-diam Piter dan Alena mulai mengagumi sosok Akmal yang memang cerdas dan berpengalaman. Mereka berdua sangat berharap kalau Lila bisa segera mereka temukan, sebelum kejadian yang paling buruk menimpa Lila.

*****
Bersambung ...

Misteri gadis yang hilang ...

Esoknya Piter dan Alena, akhirnya melaporkan ke pihak berwajib, tentang Lila yang tiba-tiba menghilang tanpa kabar.
"kami belum bisa menyimpulkan bahwa gadis ini dinyatakan hilang.." seorang polisi muda mencoba memberi penjelasan kepada mereka. "karena ini belum dua puluh empat jam. Seperti yang kalian katakan, Lila terakhir kali terlihat yakni pada saat makan siang di kampus. Namun jika sampai siang nanti belum juga ada kabar, kami akan segera mengusut dan mengumumkan kasus ini. Untuk saat ini sebaiknya kalian mencoba menghubungi orang-orang yang selama ini sering berhubungan dengan Lila. Terutama dari pihak keluarganya..." lanjut polisi yang dilabel namanya tertulis 'Martin Dirga'.
"oke. Baik, pak. Terima kasih.." balas Piter datar. Ia tidak begitu yakin, pihak berwajib akan segera mengusut akan hilangnya Lila. Meski belum sampai dua puluh empat jam, Piter sudah bisa memutuskan bahwa sudah terjadi sesuatu yang tidak baik pada Lila. Namun Piter belum bisa menyimpulkan hal seperti apa yang telah terjadi dengan Lila.

"lalu sekarang kita harus bagaimana?" tanya Alena, setelah mereka berada di luar. "apa kita harus mengabarkan orangtua Lila di kampung?"
Sesaat Piter hanya terdiam.
"Bagaimana caranya mengabari mereka, kita kan gak punya satu pun nomor dari keluarga Lila. Bahkan kita juga tidak tahu pasti dimana kampung Lila sebenarnya.." ucap Piter akhirnya.
Lila memang jarang sekali bercerita tentang orangtua dan keluarganya di kampung. Lila juga selama ini sangat jarang pulang kampung.
Yang Piter tahu, Lila berasal dari sebuah kampung yang sangat jauh dari kota ini. Menurut cerita Lila untuk sampai ke kampungnya, bisa menghabiskan waktu lebih dari dua puluh empat jam dengan menggunakan sepeda motor.

"lalu kita harus bagaimana?" tanya Alena lagi dengan nada cemas.
"yah, kita tunggu saja kabar dari pihak yang berwajib. Siapa tahu nanti, kalau sudah diumumkan tentang hilangnya Lila, akan ada kabar baik dari Lila..." jawab Piter sedikit pesimis.
Alena terdiam, ia juga tidak yakin dengan apa yang harus ia lakukan. Selama ini mereka boleh dibilang cukup dekat.  Alena sering berkunjung ke kamar Lila, hanya sekedar untuk ngobrol-ngobrol. Karena kebetulan kamar kost mereka memang bersebelahan. Menurut Alena, Lila adalah sosok cewek yang asyik untuk diajak ngobrol dan dijadikan tempat curhat.

"menurutmu apa yang sebenarnya terjadi pada Lila?" tanya Alena dengan hati-hati. Ia dan Piter duduk di sebuah kafe tak jauh dari kantor polisi yang mereka datangi tadi.
Piter hanya menghembuskan napas. Ia juga tidak tahu pasti apa yang terjadi. Ia juga tidak tahu harus menjelaskan apa pada Alena saat ini.
"apa Lila diculik?" tanya Alena lagi, setelah melihat Piter hanya terdiam.
Piter menatap Alena dengan mengernyitkan kening.
"segala kemungkinan bisa saja terjadi, Alena. Kita belum bisa menyimpulkan apa-apa. Tapi saya akan coba menyelidikinya.." ucap Piter tegas.
Kali ini giliran Alena yang mengerutkan dahinya.
"tapi kita kan sudah melaporkan ke polisi, Piter. Biarkanlah pihak polisi yang mengusutnya."
"yah. Tapi saya gak mungkin berdiam diri saja hanya menunggu kabar dari pihak polisi.."
"lalu apa yang akan kamu lakukan?" tanya Alena penasaran.


**************

Lila terbangun tiba-tiba. Sebuah suara membangunkannya. Matanya membuka, sebuah cahaya cukup menyilaukan matanya. Cahaya itu berasal dari pintu yang terbuka.
Lila segera bangkit dan mencoba untuk berdiri. Seorang laki-laki telah berdiri di ambang pintu, membuat ruangan yang pengap itu menjadi gelap kembali.
Lila menatap laki-laki itu dalam remang-remang cahaya. Tapi ia tahu persis, kalau laki-laki yang berdiri dihadapannya sekarang, bukan laki-laki kemarin yang membiusnya.
Laki-laki ini lebih tegap dan lebih muda, dengan tubuh yang jangkung dan berotot.
"kamu mau apa?" hanya itu pertanyaan yang keluar dari mulut Lila yang kering.
Laki-laki itu tidak menjawab, ia melangkah mendekati Lila.
"tolooong...!!!" tiba-tiba Lila berteriak. Suaranya terdengar serak. Ia mencoba memanfaatkan kesempatan saat pintu terbuka, berharap ada orang yang mendengar teriakannya.

Tapi laki-laki itu dengan cekatan, membekap mulut Lila dengan tangannya.
Lila coba meronta. Melepaskan diri. Namun tenaga laki-laki itu sangat kuat, ia mendekap tubuh Lila dari belakang.
Lila membuka mulutnya dan spontan menggigit tangan laki-laki itu.
Laki-laki itu menarik tangannya, namun segera melepaskan sebuah pukulan keras pada tengkuk Lila.
"aahhhhkkk...." Lila menjerit tertahan. Tengkuknya terasa sangat sakit. Namun sebelum rasa sakit itu hilang, sebuah pukulan mengenai kepala bagian belakang Lila, yang mengakibatkan ia terjerembab dan akhirnya tak sadarkan diri.
Laki-laki itu segera memopong tubuh Lila yang tak sadarkan diri itu, keluar dari ruangan. Seorang temannya telah menunggu di mobil yang parkir tak jauh dari bangunan mungil tersebut.

*************

Keesokan harinya, sebuah pengumuman sudah disiarkan. Tentang hilangnya Lila. Sebuah siaran radio mengabarkan bahwa telah hilang seorang gadis berusia kira-kira 20 tahun, dengan ciri-ciri berambut panjang lurus sebahu, berkulit putih dengan bentuk wajah sedikit oval.....
Di sebuah siaran televisi juga mengabarkan hal tersebut dengan memajang photo Lila.
Pihak polisi juga sudah mulai menyelidiki tentang hilangnya Lila.
Polisi sudah mewawancarai beberapa orang yang melihat Lila di kampus pada hari terakhir Lila terlihat.
Namun sampai siang itu, belum ada perkembangan apa pun.

Piter melangkah pelan menyelesuri gang tempat biasa Lila berjalan menuju kampus.
Gang itu cukup sepi.
Menurut Andini, kemarin Lila pulang melewati gang ini. Bathin Piter, sambil terus memperhatikan dengan seksama kearah kiri kanan jalan.
Tiba-tiba Piter melihat sebuah jepitan rambut berwarna pink tergeletak dipinggiran jalan. Piter melihat disekitar jalan tersebut terdapat semak-semak yang semrawutan, seperti habis diinjak-injak oleh beberapa orang.
Piter mengambil jepitan tersabut lalu memperhatikannya dengan cermat. Segera ia menyimpan jepitan tersebut ke dalam sakunya. Kemudian ia melangkah pelan menuju kampus.

************

"kamu tahu ini?" Piter memperlihatkan jepitan yang ia temukan siang tadi pada Alena, setelah mereka membuat janji untuk bertemu malamnya, di sebuah warung pinggiran tak jauh dari tempat kost Alena.
Alena menatap sejenak, lalu mengambil jepitan itu kemudian mengamatinya.
"kamu dapat ini dari mana?" tanya Alena penasaran.
Piter menjelaskannya secara perlahan, "kenapa?" tanya Piter, melihat Alena yang terbengong.
"saya yakin sekali, ini adalah jepitan milik Lila." ucap Alena sedikit berbisik, "dan saya yakin, Lila memakainya pada hari ia menghilang..." lanjutnya.
Piter sedikit membeliakkan mata. Meski ia sudah bisa mengira hal tersebut, namun pernyataan Alena cukup membuatnya semakin yakin, kalau Lila memang diculik.
Tapi oleh siapa? dan kenapa? pikirnya keras.

"sebaiknya kamu serahkan ini ke polisi..." ucap Alena, sambil menyerahkan jepitan tersebut ke tangan Piter.
Piter menggeleng lemah, "polisi pasti gak bakal percaya. Mereka pasti akan berpikir kalau kita mengada-ada.." ucapnya.
"lalu bagaimana?" tanya Alena.
"saya tahu orang yang bisa menyelidiki kasus ini. Saya yakin ia pasti mau bantu kita..." balas Piter.
"siapa?" tanya Alena dengan raut penasaran.
"namanya Akmal, dia seorang detektif bayaran. Beliau sudah biasa menangani kasus seperti ini. Kita harus mendatanginya.." jawab Piter pelan.

*****
Bersambung ...

Cari Blog Ini

Layanan

Translate