Misteri gadis yang hilang...

"toloooong....!! toloooong...!!!" Lila berteriak sekeras-kerasnya berkali-kali, tapi suara teriakannya hanya menggema kembali ke gendang telinganya.
Hampir satu jam ia terkurung disana, di dalam sebuah ruang pengap nan gelap.
Ruangan itu persegi empat, berukuran sekitar 2 x 3 meter persegi, dengan dinding tembok yang kokoh. Di bagian atasnya terdapat plafon dari kayu yang keras. Tinggi ruangan itu tidak kurang dari 2 meter.
Tidak ada sedikitpun cahaya yang masuk ke dalam, kecuali dari sebuah lubang kecil kunci pintu.
Pintu yang terbuat dari baja itu bertaut rapi dengan tembok pada setiap sisinya.
Pintu itu sudah terkunci dari luar sejak Lila sadarkan diri tadi.
Lila tidak begitu ingat kenapa dan bagaimana ia bisa berada di dalam ruangan sempit tersebut. Yang ia ingat, ia menjalani hari ini seperti hari-hari biasanya.

Sekitar jam enam pagi, alarm Lila berbunyi dan ia pun terbangun. Segera Lila mandi, sarapan dan berangkat kuliah.
Lila tinggal di sebuah rumah kost. Ia menyewa sebuah kamar disana. Sendirian. Karena memang kamar kost tersebut dirancang hanya untuk ditempati oleh satu orang.
Ada terdapat banyak kamar kost disana, menurut Lila ada sekitar lebih dari lima puluh kamar.
Setiap kamar di huni oleh satu orang, yang berasal dari berbagai daerah dan juga berbagai profesi.
Semua penghuni kost adalah cewek, karena memang disewakan khusus untuk cewek.
Lila menuju kampus dengan hanya berjalan kaki, seperti biasa. Karena memang jarak tempat kost Lila hanya berjarak lebih kurang tiga ratus meter dari kampus tempat ia kuliah.
Sudah lebih dari dua tahun Lila berada di kota tersebut, sementara kedua orangtua dan keluarganya tinggal di sebuah desa yang berjarak sangat jauh dari kota.

Sesampai di kampus Lila langsung menuju kelasnya. Ia mengikuti pelajaran seperti biasa. Pada jam istirahat, Lila berkumpul dengan teman-temannya, lalu membaca beberapa buku di perpustakaan.
Hingga siang Lila berada di kampus, lalu memutuskan untuk pulang setelah ia makan siang di kantin kampus.
'setidaknya sesampainya di kost, saya bisa langsung tidur' pikirnya. Karena Lila memang paling malas masak di kost. Bukan karena Lila malas masak, tapi Lila paling enggan harus berebut tempat masak dengan teman-teman kost lainnya, karena rumah kost itu hanya punya dua ruang untuk tempat masak. Satu berada di lantai atas dan satu lagi berada di lantai bawah cukup jauh dari kamar Lila.
Diperjalanan pulang, Lila bertemu dengan seorang laki-laki paroh baya, yang sedang atau menurut Lila seperti kebingungan.

"maaf, pak. Bapak mau kemana?" tanya Lila sedikit hati-hati.
Gang tempat biasa Lila lewat menuju kampus memang sedikit sepi. Hanya terdapat beberapa buah rumah disana, dan jarak setiap rumah cukup berjauhan. Jalannya kecil dan berlobang-lobang. Jarang ada orang yang lewat disana, kecuali bagi mereka yang ingin jalan pintas menuju kampus.
Laki-laki itu menatap Lila cukup lama,
"saya... saya... mungkin tersesat..." suara laki-laki itu terdengar berat dan sedikit serak.
"oh.." desah Lila, sambil berjalan mendekati laki-laki itu tanpa rasa curiga.
"emangnya Bapak mau kemana?" tanya Lila lagi, setelah cukup dekat.

Laki-laki itu hanya menatap sekeliling, lalu kemudian tiba-tiba tangannya yang sedari tadi berada di dalam saku jaketnya, ia keluarkan. Sebuah sapu tangan biru berada di tangan kanannya. Kemudian dengan sangat cepat, tangan itu mengarah ke wajah Lila.
Lila spontan kaget, namun ia sudah cukup terlambat untuk menyadarinya. Tangan laki-laki itu sudah berada di mulutnya, sapu tangan itu menutup mulut dan hidungnya.
Lalu tiba-tiba Lila merasa pusing, hingga tak lama kemudian ia tak sadarkan diri.
Setelah itu Lila tidak ingat apa-apa lagi.

************

Lila memegang keningnya, kepalanya terasa sangat sakit. Tubuhnya terasa lemas. Lila benar-benar tidak tahu apa yang telah terjadi.
Ia menyentuh hampir setiap jengkal tubuhnya, ia merasa semuanya masih baik-baik saja, terlepas dari kondisi dimana ia berada sekarang. Setidaknya laki-laki itu, tidak atau belum melakukan hal-hal buruk yang ia takutkan, padanya.
Lila mencoba menarik napas panjang, sekedar menenangkan pikirannya. Mencoba berpikir lebih jarnih. Namun suasana ruangan yang sangat gelap dan juga sempit, membuat Lila tidak bisa benar-benar berpikir.
Lila mencoba menggedor-gedor lagi pintu baja itu, tangannya sudah terasa sangat sakit. Suaranya sudah hampir hilang. Sudah tidak terhitung jeritan minta tolong yang Lila teriakan, namun semuanya hanya sia-sia. Laki-laki itu benar-benar mengurungnya sendirian disana.
Tiba-tiba Lila merasa sangat takut. Ia memeriksa kembali setiap saku celananya, namun ia tidak menemukan apa-apa. Semua, tas, handphone dan juga dompetnya sudah diambil laki-laki tersebut.

Lila menghempaskan tubuhnya di lantai keramik itu, ia merasa sangat lelah. Menurutnya mungkin sudah lebih dari enam jam ia berada di sana sendirian. Lila dapat merasakan hal itu, karena perutnya sudah mulai terasa lapar. Itu artinya sekarang hari sudah mulai malam, bathin Lila meringis.
Tiba-tiba ia merasa kangen dengan kamar kost-nya. Lila ingin istirahat dan tertidur lelap.
Tapi kenyataannya ia berada disini sekarang. Berada di sebuah ruangan yang sempit dan pengap, dengan perut yang semakin lapar.

Lila menatap sekeliling dalam gelap. Tidak ada ruangan lain disitu. Lila terpaksa menahan sesak dari dalam perutnya untuk buang air kecil yang tiba-tiba ia rasakan.
Lila benar-benar merasa tidak nyaman dan sangat tesiksa.
Air matanya terasa seakan kering karena menangis dari tadi.
Tapi Lila cukup sadar, saat ini tidak ada gunanya ia menangis atau pun berteriak. Karena mungkin menurut Lila, laki-laki itu mengurungnya disebuah tempat yang sangat jauh dari keramaian.
Karena menurut Lila, laki-laki tersebut tidak mengikatnya dan juga tidak membekap mulutnya dengan lakban, seperti yang pernah Lila lihat di film-film, itu artinya laki-laki itu yakin, bahwa teriakan sekeras apa pun sudah pasti tidak ada yang akan mendengarnya, apa lagi suara teriakan Lila harus tertahan oleh dinding tembok yang menurut Lila sangat tebal dan kokoh.
Saat ini tidak ada yang bisa ia lakukan, selain menunggu kedatangan laki-laki tersebut dan menunggu apa yang akan dilakukan laki-laki tersebut selanjutnya.
Lila sudah pasrah, hingga tanpa sadar ia pun tertidur.

***********

Piter adalah seorang laki-laki yang memiliki bentuk tubuh yang kekar. Tentu saja karena ia sangat suka olahraga. Ia juga seorang pelatih dan instruktur di sebuah tempat fitnes.
Ia seorang mahasiswa tingkat akhir. Piter mengenal Lila sudah cukup lama, sejak Lila mulai kuliah.
Selama ini Piter memang diam-diam menyukai sosok Lila, meski ia belum pernah mengungkapkan hal tersebut. Hubungan mereka selama cukup baik dan sangat dekat.
"kamu yakin tidak melihat ia pulang ke kost?" Piter bertanya pada Alena, salah seorang teman kost Lila yang paling dekat. Alena bekerja di sebuah super market.
"terakhir saya melihat Lila pagi tadi, saat ia berangkat ke kampus.." balas Alena yakin.
"kamu sudah coba hubungi handphone-nya?" lanjut Alena.
"sudah beberapa kali, tapi tidak pernah aktif.." jawab Piter.
"kamu gak jumpa Lila di kampus hari ini?" tanya Alena lagi, ia juga merasa cukup khawatir, karena hari sudah menunjukkan jam sembilan malam. Biasanya Lila tak pernah pulang lewat dari jam delapan malam.
Piter menggeleng, "hari ini saya cukup sibuk di tempat latihan. Dan saat saya sudah di kampus, Lila sudah tidak berada di sana. Kupikir ia sudah pulang.." ucapnya.

"lalu sekarang gimana?" tanya Alena lagi, "apa kita harus lapor polisi?"
"tidak! jangan dulu.." balas Piter cepat, "Lila hilang belum sampai dua puluh empat jam. Lagi pula kita tidak tahu pasti apa yang terjadi. Bisa saja Lila pergi bersama teman kampusnya dan mematikan handphone-nya karena tak ingin terganggu.." lanjutnya, meski tatapannya menyiratkan ke khawatiran.
Piter dan Alena duduk di bangku depan rumah kost, tempat biasanya mereka nongkrong malam-malam.
Sampai saat itu mereka belum berani menyimpulkan kemana Lila pergi. Mereka masih berharap Lila tiba-tiba muncul dan menjelaskan semuanya.
Namun jam sudah menunjukkan hampir jam sepuluh malam, Piter dan Alena mencoba menghubungi teman-teman Lila yang mereka tahu. Tapi tidak ada satu pun dari mereka yang tahu keberadaan Lila.
"tadi Lila pulang lebih awal kayaknya deh, Ter..." suara Andini dari seberang, "emangnya Lila gak ada di kost-nya ya..?" lanjutnya bertanya.
"itu dia masalahnya, Din. Lila belum pulang ke kost sejak pagi tadi. Gak ada seorang pun yang tahu ia kemana.." balas Piter dengan nada hati-hati.
"atau apa mungkin Lila pulang kampung?" lanjut Andini lagi.
"gak mungkin Lila pulang kampung tanpa membawa apa-apa. Menurut keterangan Alena, Lila ke kampus hanya membawa tas kecil. Lagi pula kalau Lila pulang kampung ia pasti cerita sama saya atau Alena. Dan gak mungkin juga handphone-nya gak aktif..." jelas Piter lagi panjang lebar.
"kamu udah coba hubungi orangtuanya di kampung?"
"kami gak punya nomor mereka, Din..." jawab Piter sedikit lemas. Pikiran Piter mulai merasa tidak enak, Ia merasa ada yang tidak beres. Lila gak mungkin menghilang begitu saja. Pasti ada sesuatu yang terjadi. Pikir Piter berprasangka.

"kita harus segera lapor polisi, Ter.." ucapan Alena membuat Piter sedikit kaget.
Ia menoleh kearah Alena sejenak, kemudian menarik napas dalam. Kedua tangannya mendekap erat di dadanya. Pikirannya menerawang, mencoba menebak kemana Lila pergi. Tapi rasanya semua terasa buntu. Selama ini Lila selalu terbuka padanya. Lila tak pernah pergi kemana-mana tanpa mengabarinya. Tapi sekarang Lila menghilang begitu saja, tanpa kabar!
Kemana dia? Piter membathin lagi.

****

Bersambung ...

Meraih asa, menggapai senja (part 2)

"mohon perhatian semuanya!" suara pak Nardi, bos kami, menggema di ruang kerja kami, spontan kami semua mengalihkan pandangan ke arah beliau.
"hari ini saya mau memperkenalkan seorang gadis cantik nan menawan, namanya Arini. Dan mulai hari ini ia akan magang di kantor kita..." lanjutnya dengan senyum sumringah.
Seorang gadis yang memang cantik berdiri di sampingnya juga ikut tersenyum.
"dan... saya mohon kerja sama semua pihak untuk bisa membimbing Arini, terutama kamu Jhon..." kali ini ia mengarahkan telunjuk kanannya padaku.
Sesaat aku hanya terpaku. Bukan karena pak Nardi mengarahkan telunjuknya padaku. Terlebih kepada senyum Arini yang memikat. Aku terpana. Jantungku berdetak lebih kencang dari biasanya.

"oke... siap bos!" suara Doni memecah keheningan yang tercipta sejenak. "Jhon pasti akan bimbing Arini dengan sebaik-baiknya pak.." Doni melanjutkan, seperti biasa dengan nada sindirannya.
Mendengar itu, hampir semua orang yang berada dalam ruangan itu tertawa, kecuali saya tentunya.
"sudah! sudah! cukup tertawanya!" pak Nardi berkata dengan suara tinggi, "sekarang lanjutkan bekerja.. Dan kamu Arini, selamat datang di kantor kami dan semoga nyaman.." lanjutnya lagi.
Kulihat Arini mengangguk anggun dengan bibir yang masih tersenyum.
"baik pak.. terima kasih.." ucapnya lembut dengan suara yang ehm merdu.
Deg! jantungku berdetak lagi lebih kencang.

************

Hampir dua minggu Arini melaksanakan magang di kantor kami. Tentunya kami sudah sedikit akrab. Dan seperti biasa teman-teman kantor, sibuk memperhatikan dan mengomentari kami berdua. Yah, mau gimana lagi, di kantor ini, terutama di ruang ini, satu-satunya laki-laki yang lajang ya cuma saya. Jadi mau gak mau saya harus terima konsekuensi-nya.
Namun berkat itu semua juga, akhirnya Arini tahu kalau saya masih lajang. Meski awalnya ia sempat tak percaya, mengingat usia saya yang menurutnya sudah sangat matang.
Tapi saya berhasil meyakinkannya, dengan sedikit drama tentunya. Dan dengan menceritakan beberapa bagian kisah kasih masa lalu saya.
Saya mulai menyukai Arini. Bukan. Saya semakin menyukai Arini, karena dari pertama kali melihatnya saya sudah menyukainya.
Selain wajahnya yang cantik dan senyumnya yang menawan, Arini juga seorang gadis yang sopan dan ramah. Meski untuk beberapa hal ia sering terlihat ceroboh...


"maaf bang Jhon, saya gak bisa..." itu jawaban Arini, setelah lebih dari sebulan kami saling akrab. Setelah, tentu saja, dengan cukup berani aku mengungkapkan perasaanku padanya.
"kenapa?" tanyaku lesuh.
Arini hanya terdiam.
"karena saya udah tua..."
"bukan!" Arini spontan menjawab, "bukan karena itu..." lanjutnya terdengar hati-hati. Suasana kafe memang sedikit ramai saat itu. Saya memang sengaja mengajak Arini makan malam, yah untuk mengungkapkan perasaanku padanya.
"tapi karena...?"
"saya harus menyelesaikan kuliah dulu, bang. Saya ingin menjadi wanita karir yang sukses. Dan itu butuh waktu bertahun-tahun. Saya rasa bang Jhon gak harus menunggu selama itu untuk berkeluarga.." balas Arini dengan nada terkesan datar.
Yah, itu sama saja dengan 'aku masih terlalu muda untukmu, bang Jhon.' bathinku lirih.

Arini menolak saya dengan sangat sopan, menurut saya sih. Tapi tetap saja masih terasa menyakitkan bagi saya.
Tapi saya coba menerimanya dengan lapang dada. Jarak usia kami memang terlalu jauh. Arini masih 23 tahun, perjalanannya masih sangat panjang.
Tapi aku menyukainya! Aku menyukai Arini.
Setelah hampir lima tahun, pintu hati saya tertutup. Setelah bertahun-tahun hati saya membeku.
Dan kehadiran Arini telah mampu mencairkan hatiku, membukanya perlahan-lahan.
Namun apa hendak dikata, Arini tidak punya perasaan apa-apa padaku.
Untuk kesekian kalinya aku merasa terluka.....

*********

"Jhon, kamu masih ingat Gadis?" tanya Emak, saat kami makan malam.
"Gadis mana sih, mak?" tanyaku sedikit menggerutu, Mak pasti mau bahas soal jodoh lagi.
"Gadis, anak paman Akom, yang dulu kuliah dan jadi guru di Bandung. Sekarang sudah pindah lagi kesini. Pindah tugas, katanya."
Aku berpikir sejenak, mengingat Gadis, teman masa kecilku. Ketika kecil Gadis sangat dekil dan sedikit jorok. Tapi anaknya asyik, gak neko-neko. Periang dan selalu gembira. Dulu kami sering main bersama. Sungguh, masa-masa yang indah untuk di kenang.
"kamu masih ingat, gak?" suara Mak mengagetkanku.
Spontan aku mengangguk, "ingat, Mak. Emang kenapa sih, Mak? Dia sudah menikah juga? Terus kenapa saya masih belum?" gerutuku sedikit kesal.
"itu dia masalahnya, Jhon. Ternyata Gadis sama dengan kamu. Masih belum laku juga.." suara Mak terdengar sedikit riang.

"ya iyalah, Mak. Gadis kan orangnya emang sedikit jorok dekil. Mana ada yang mau.." ucapku kasar.
"lah, kamu sendiri juga belum laku toh.." balas Mak, tak kalah kasar.
"saya bukannya gak laku, Mak. Tapi memang belum ketemu jodoh aja..." timpalku cepat.
"apa bedanya, Jhon... Jhon... sama aja kamu belum laku. Itu intinya." balas Mak.
Aku terdiam kembali. Aku tahu Mak gak bermaksud meledekku. Ia hanya coba memotivasi, meski dengan cara yang tidak aku inginkan.
"nanti malam kamu jalan ke rumah paman Akom ya..." ucap Mak lagi. "ketemu sama Gadis, mana tahu kalian cocok.." lanjut Mak.
Aku menatap Mak dengan sedikit melotot.
"udah kamu tenang saja. Mak gak maksa kamu untuk menikah dengan Gadis, kok. Tapi kalau kamu nanti tertarik, Mak sangat setuju..." ujar Mak sambil ia berdiri.
Aku menghempaskan napas. Perjuangan Mak untuk membuatku segera menikah, memang tak pernah pudar.

************

Tok! tok! tok!
Aku mengetuk pintu rumah paman Akom. Seperti permintaan Mak, aku akhirnya setuju untuk sekedar bersilahturrahmi ke rumah paman Akom. Sudah cukup lama juga aku tidak datang ke sini. Rasanya kangen juga mendengar pituah dari paman Akom yang memang bijak.
Seorang perempuan tiba-tiba membukakan pintu. Perempuan itu memakai hijab yang cukup panjang terurai ke bawah. Dan ia tersenyum dengan sedikit mengernyitkan kening.
"Jhon?" ucapnya setengah ragu.
Aku mengangguk pelan, "kamu..?" ucapku sangat ragu.
"Gadis!" balas perempuan itu tegas. "kenapa? udah lupa?" tanyanya.
"hmm... iya, sih. Sedikit pangling. Kamu sekarang berhijab?" aku berucap sambil menatap Gadis lama. Aku masih tak percaya, kalau Gadis sekarang sudah sangat jauh berbeda.
Gadis udah gak kelihatan jorok dan dekil lagi. Wajahnya terlihat bersih terawat. Sangat cantik malah.

"masuk, Jhon.." tawar Gadis mengagetkanku.
Dengan sedikit canggung aku melangkah masuk ke ruang tamu rumah itu.
"paman Akom ada?" tanyaku berbasa-basi.
"Ayah dan Ibu lagi pergi ke pasar, Jhon. Dirumah hanya ada saya dan Bi Ijah.." jawab Gadis terlihat santai, "oh, ya. Kamu mau minum apa, sambil nunggu Ayah pulang? Sebentar lagi saya rasa mereka akan datang.." lanjutnya sambil melangkah menuju dapur.
"apa aja. Yang penting dingin..." balasku mengeraskan suara, karena kulihat Gadis sudah masuk ke dalam.
"oke... tunggu sebentar ya..." ku dengar suara Gadis sayup-sayup.

"kamu apa kabar sekarang?" tanyaku, Gadis duduk di hadapanku, setelah menghidangkanku segelas minuman dingin.
"Alhamdulillah baik. Kamu sendiri gimana kabarnya?"
"yah... baik juga sih.." jawabku sedikit tergagap.
"syukurlah ... " ucap Gadis pelan.
"kamu katanya pindah tugas kesini ya..?"
Gadis mengangguk, "yah, pengen deket aja sama keluarga, Jhon. Udah bertahun-tahun aku hidup di rantau. Rasanya kangen aja pengen bareng keluarga lagi.." ucapnya.
"baguslah..." suaraku pelan.
"kamu sendiri gimana, Jhon? Udah berapa anaknya?" pertanyaan Gadis membuatku terdiam beberapa saat.
"saya belum nikah, Dis..." suaraku perlahan.
"oh..." Gadis itu hanya membulatkan bibir.

*********

Bersambung lagi...

Sebuah cerpen : Cinta dua warna .... (part 2)

"kak Aris?" Mia mengerutkan dahi, menatap laki-laki yang berdiri dihadapannya.
"inikan bukan jadwal Mia les...?" ucapnya lagi.
"ya. Kak Aris tahu." jawab Aris dengan senyum yang mengembang.
"lalu ngapain kak Aris kesini?" tanya Mia dengan rasa penasaran.
"kak Aris cuma mau pamit...."
"pamit? emangnya kak Aris mau kemana?"
"kak Aris dapat tawaran kerja di kota Batam. Besok pagi kak Aris berangkat. Jadi mulai rabu depan kak Aris sudah tidak bisa mengajar les untuk Mia lagi..."


Wajah Mia tiba-tiba muram. Ia menunduk lesuh.
"berarti mulai besok Mia gak bisa ketemu kak Aris lagi?" suaranya parau.
"yap!" jawab Aris tegas, "tapi kamu jangan sedih gitu dong. Nanti kamu bakal dapat guru les yang baru, kok.." lanjutnya, mencoba menghibur.

Mia masih saja menekuk wajahnya, ia enggan menatap sekilas pun ke arah Aris.
Aris menyentuh lembut bahu Mia, "kamu belajar yang rajin ya, Mia!" ucapnya, "kak Aris pamit dulu.."
seusai berkata demikian, Aris memutar tubuhnya dan mulai melangkah pelan.
"kak Aris! Tunggu!" suara Mia, membuat Aris mengurungkan langkahnya. Aris memutar tubuhnya lagi. Ia menatap Mia yang berjalan menuju ke arahnya. Kali ini Mia menatapnya.

"Mia... Mia sayang sama kak Aris.." ucap Mia pelan, setelah ia berdiri hanya setengah meter dari Aris.
Aris tersenyum kembali. "kak Aris juga sayang sama Mia.."
Mia sedikit melebarkan senyumnya, "sebagai murid dan juga adik yang baik..." lanjut Aris cepat, yang membuat Mia membatalkan senyumnya.
"Mia pasti akan sangat merindukan kak Aris.." ucap Mia semakin pelan, matanya mulai berkaca.
Aris merasa kasihan melihat gadis itu, "iya. kak Aris juga pasti akan merindukan Mia..." ucapnya, kali ini lebih tulus.
"sebagai adik?" balas Mia.
Aris hanya mengangguk pelan.
"yah. Mia tahu kok, kak. Tapi Mia boleh minta sesuatu sama kak Aris?" Mia berucap dengan sedikit menunduk.
"apa?" tanya Aris.
"Mia... Mia boleh peluk kak Aris?"

Untuk sesaat Aris masih terdiam.
"sebagai adik.." ucap Mia mayakinkannya.
Tiba-tiba Aris tersenyum lebar. "oke! Boleh.." ucapnya.
Mia melangkah mendekat, kedua tangannya segera mendekap tubuh kokoh milik Aris.
Aris mencoba membalas pelukan itu dengan lembut. Dadanya tiba-tiba bergemuruh tak karuan.
Dengan segera ia melepaskan pelukan itu, ia lihat Mia meneteskan air matanya.
"kamu kenapa menangis?" tanya Aris.
Mia tidak menjawab. Ia hanya memutar tubuh dan segera berlari masuk ke dalam rumah.
Aris terdiam melongo. Tidak tahu harus berbuat apa saat itu. Lalu kemudian ia berjalan pelan keluar pekarangan rumah mewah itu.

************

"hei! kak Aris, kan?" sebuah suara mengagetkan Aris yang sedang menunggu antrian di sebuah pusat perbelanjaan.
Aris menoleh ke arah suara itu. Keningnya berkerut. Setengah tak percaya ia berseru, "Mia?!"
Gadis itu, Mia, mengangguk berkali-kali dengan senyum kegembiraan.
Dengan sedikit tergesa Aris melangkah mendekati gadis itu, ia meninggalkan barisan antriannya.
"hei... " ucapnya sambil menjabat tangan lembut milik Mia.
"apa kabar?" ucap mereka hampir serentak.
"hmmm.. oh, ya. Saya baik.. kamu?" Aris menjawab terlebih dulu, dengan sedikit canggung.
"baik...." jawab Mia singkat.

"ada apa dan kenapa bisa sampai ke Batam?" tanya Aris ringan, setelah mereka memesan sedikit cemilan dan minuman dingin. Mereka duduk di sebuah kafe yang berada di pusat perbelanjaan tersebut.
"ada tugas penelitian dari kampus..."
"oh.." Aris membulatkan bibir, "semester berapa sekarang?"
"lima.."
"Jurusan?"
"kedokteran. Seperti nasehat kak Aris.." jawab Mia tegas. Ia melirik sekilas.
Aris tersenyum menatapnya.
"berapa lama?" tanya Aris lagi.
"apanya?"
"penelitiannya..."
"oh. Sepuluh hari, kak.." kali ini Mia justru merasa gugup.

"gak terasa ya, udah lebih dari lima tahun kita gak ketemu.." Aris berbicara lagi, setelah pesanan mereka datang.
"iya. Tapi kak Aris gak berubah. Masih seperti dulu.." Mia sengaja menekan kalimatnya.
"masa' sih. Perasaan saya makin tua deh.."
"gak kok, masih terlihat muda.."
"kamu yang kayaknya banyak berubah, ya.."
"berubah apanya?" tanya Mia sedikit tertunduk.
"yah, makin dewasa, makin pintar dan makin .... cantik..." balas Aris canggung. Ia segera meneguk minumannya.
"ah, kak Aris bisa aja.." Mia masih menunduk, mukanya memerah.
"iya, bener. Tadi saya sempat pangling, loh.."
Mia mengambil cemilannya dan mengunyahnya perlahan. Ia berusaha bersikap wajar.

"selama lima tahun, kak Aris emang gak pernah pulang?"
Aris hanya menggeleng ringan.
"kenapa? Betah ya disini? Atau karena sudah punya seseorang disini? Atau malah sudah menikah?" tanya Mia penasaran.
Aris tersenyum simpul. Ia mengunyah cemilannya kembali.
"saya sudah tidak punya siapa-siapa lagi disana, Mia. Kamu kan tahu sendiri, kalau kedua orang tuaku sudah lama tiada. Kakak-kakakku juga sudah pindah kesini semuanya.." Aris menarik napas. "tapi saya masih belum laku, kok.." lanjutnya tegas.
"oh. Kenapa? Karena mbak Lisa?" tanya Mia lagi, kali ini lebih santai.
"kok kamu tahu?"
"tahu apa? tentang kak Aris yang belum bisa melupakan mbak Lisa...?"
"bukan!" jawab Aris cepat, "saya sudah lama melupakan tentang Lisa. Maksud saya, kok kamu tahu tentang Lisa?"

"apa sih yang Mia gak tahu tentang kak Aris dulu? Mia juga tahu, kalau mbak Lisa ninggalin kak Aris dan menikah dengan orang lain..."
Aris menatap Mia cukup lama. Aris tersadar, ternyata diam-diam dulu, Mia selalu menggali info tentang dirinya. Aris pikir, perasaan Mia padanya dulu, hanyalah sebuah rasa kagum.
Aris meneguk minumannya lagi.
"ya sudahlah. Semua itu sekarang hanyalah masa lalu. Lisa juga sudah bahagia dengan pilihannya.."
"siapa bilang.."
"maksud kamu?"
"dua tahun setelah kepergian kak Aris ke Batam ini, mbak Lisa dan mas Reyhan pun bercerai. Mia gak tahu pasti apa penyebabnya. Tapi menurut kabar yang beredar, mereka bercerai, karena mas Reyhan ketahuan berselingkuh.."
Aris membelalak. Setengah tak percaya mendengar cerita Mia barusan.

*****

Bersambung ...

Cerpen : Meraih asa, Menggapai senja ... (part 1)

"kamu sudah 36 tahun Jhon. Teman-teman sebayamu sudah momong anak semuanya. Bahkan adik-adik kamu juga sudah berkeluarga. Kamu kapan?" Emak mengomel lagi. Kali ini sambil mencuci piring kotor yang barusan kami pakai. Aku duduk termangu di lantai dapur kecil rumah kami.
Aku hanya tinggal berdua dengan Emak, karena semua adik-adik ku sudah menikah dan sudah tinggal di rumahnya masing-masing. Meski masih ngontrak.
Ayah sudah lama meninggal.
Emak sudah terlalu sering mengomel seperti itu, sudah tidak ke hitung. Tapi aku hanya selalu diam. Aku capek jika harus berdebat dengan Emak, soal jodoh.
"kamu tunggu apa lagi sih, Jhon? Kamu juga sudah kerja." lanjut Emak lagi.

Bukan cuma Emak yang sering ngomong seperti itu. Teman-teman, adik-adik dan rekan kerja ku juga sering membicarakan hal itu. Aku biasanya hanya menanggapinya dengan senyum.
"tampang oke. Gaji lumayan. Tapi masih belum laku.." celetuk Doni, salah satu teman kerja ku.
"bukan tak laku, Don. Tapi Jhon memang terlalu pemilih." balas Rika dari meja kerjanya.
"iya. Saya sudah kenalkan dengan beberapa orang teman cewekku, tak ada satu pun yang membuat Jhon tertarik.." Dila ikut menimpali.
Aku hanya pura-pura sibuk dengan pekerjaanku. Aku sudah terbiasa mendengar semua itu. Meski harus aku akui kadang aku merasa kesal juga dengan ucapan-ucapan mereka.
Tapi kenyataannya sampai saat ini, aku memang masih belum laku. Aku tak bisa menyangkalnya. Tak ingin menyangkalnya juga.
"sudah! sudah! jangan ngeledek Jhon terus. Kalian gak tahu kisah cinta masa lalu Jhon, sih." kali ini Hendra angkat bicara.
Hendra sahabatku sejak kecil. Dia tahu sedikit banyak tentang cerita kehidupanku.

Aku pernah pacaran beberapa kali, bahkan beberapa kali juga pernah mencoba menjalani hubungan yang serius. Tapi semua kisah cintaku selalu kandas. Selalu berakhir dengan menyakitkan.
Pacar pertamaku namanya Dewi. Waktu itu kami masih sangat muda, masih SMA. Hubungan kami hanya bertahan enam bulan. Hubungan kami berakhir hanya karena masalah sepele. Hanya karena aku tidak bisa mengajak Dewi nonton di bioskop. Karena memang kondisi keuanganku saat itu tidak memungkinkan.
"aku tuh cari pacar, biar ada yang ngajak aku jalan-jalan, traktir aku makan, ngajakin nonton. Kalau cuma pacaran di taman kayak gini buat apaan.." ucap Dewi waktu itu.
Setelah itu Dewi tak mau lagi aku ajak ngomong. Dia bahkan dengan terang-terangan jalan berdua di depanku dengan pacar barunya yang memang tajir.

Waktu kuliah aku juga pernah pacaran. Namanya Nani. Gadis cantik dan lembut. Tapi hubungan kami harus kandas, setelah hampir dua tahun pacaran. Aku tak sengaja memergoki Nani selingkuh dengan pria yang jauh lebih dewasa.
Aku patah hati. Kecewa. Dan jadi sedikit takut mendekati wanita.
Namun sebagai manusia normal, aku tetap bisa kembali pulih. Bisa jatuh cinta lagi.
Aku jatuh cinta lagi dengan seorang gadis, namanya Juwita. Sesuai dengan namanya, orangnya memang cantik.

Aku dan Juwita pacaran kurang lebih tiga tahun. Kisah kasih kami sangat indah. Juwita gadis yang baik dan pengertian. Dia benar-benar mampu membuat aku bahagia. Semua terasa indah bagiku.
Namun apa hendak dikata, kami ternyata tidak berjodoh. Meski pun kami saling cinta.
Juwita dipaksa menikah oleh orangtuanya dengan seorang pengusaha kaya. Juwita tak kuasa menolak. Dia terpaksa menerima perjodohan tersebut, karena ingin membahagiakan orangtuanya. Yang mengakibatkan aku patah hati berkepanjangan. Setahun lebih aku menyendiri, setelah ditinggal nikah oleh Juwita.

Aku sibukkan diriku dengan bekerja. Aku hampir tak percaya pada yang namanya cinta sejati. Aku menikmati kesendirianku, merasa damai dengan sepiku.
Yang aku pikirkan hanyalah bekerja, bekerja dan bekerja. Aku larut dengan kesibukkanku. Tanpa sadar usiaku sudah menginjak kepala tiga waktu itu.
Saat itulah aku bertemu Novi. Gadis manis nan seksi. Seorang gadis ramah yang mampu mengembalikan rasa percaya diriku yang sempat hilang.
Novi mampu membuatku bangkit dari kekecewaanku terhadap cinta. Meski usia kami terpaut cukup jauh, tapi Novi punya pemikiran yang dewasa. Hubungan kami sangat serius, apa lagi mengingat usiaku yang tidak lagi muda. Kami bahkan sudah mendapat restu dari kedua keluarga kami.

"jadi kapan nih lanjut ke jenjang berikutnya?" tanya emak suatu hari.
"maksudnya apa sih, mak?" tanyaku pura-pura tidak paham.
"kapan kamu nikahin Novi, Jhon.." balas emak, beliau memang yang paling bahagia dengan hubungan kami.
"Novi kan masih kuliah, mak. Ya, nunggu dia selesai kuliah dulu." jawabku ringan.
"udah! Nikah aja dulu, Jhon. Novi kan tetap bisa lanjut kuliah..." ucap Mak lagi.
Aku hanya terdiam. Aku memang pernah membicarakan hal tersebut dengan Novi. Tapi Novi tetap bersikeras untuk menyelesaikan kuliahnya. Aku pun setuju. Aku hanya harus sabar. Toh, kuliah Novi juga tinggal setahun lagi.

Namun semua tidak berjalan seindah yang kuharapkan. Belum sempat Novi menyelesaikan kuliahnya. Tiba-tiba Novi mengalami kecelakaan yang sangat fatal. Kecelakaan yang akhirnya merenggut nyawanya. Merenggut kebahagiaanku. Merenggut semua harapanku.
Hatiku terasa hancur berkeping-keping. Dunia seakan runtuh.
Aku sangat mencintai Novi. Tapi ternyata Tuhan lebih mencintainya. Dan aku kembali terpuruk. Meratapi bayang-bayang Novi yang tak pernah mau hilang dari benakku. Aku tenggelam dalam kesedihanku.
Bertahun-tahun aku larut dalam kesedihan yang mendalam.

*****
Bersambung ...

Sebuah cerpen : Cinta dua warna... (part 1)

Sejenak Aris menarik napas, dadanya terasa sesak. Dengan setengah tak percaya ia menoleh sekilas ke arah samping kirinya. Seorang gadis manis dengan wajah yang imut tersenyum padanya.
"kamu yakin?" tanya Aris ragu.
Gadis imut itu hanya mengangguk dengan sedikit malu.
"Mia... kamu kan tahu, kalau usia kita terpaut sangat jauh." ucap Aris lembut, "lagi pula kamu masih SMP, Mia..." lanjutnya hati-hati.
"Mia tahu, kak. Tapi apa salah, kalau Mia suka sama kak Aris..." suara lembut Mia membuat Aris sedikit tertunduk.

Sudah setahun Aris menjadi guru les private. Dan Mia adalah salah satu muridnya. Aris biasanya datang ke rumah Mia setiap sore rabu dan sore sabtu, sesuai jadwal.
Sejak lulus kuliah setahun yang lalu, Aris memang belum mendapatkan pekerjaan yang cocok, dan menjadi guru les private adalah pilihan terakhirnya.
Ada beberapa orang murid, rata-rata semuanya adalah anak-anak SMP.

Memang harus Aris akui, kalau belakangan ini, Mia memperlakukannya agak berbeda dari biasanya. Mulai dari menyediakan makanan atau minuman untuk Aris saat les. Mia sering ngajakin Aris makan di luar atau juga ngajak Aris nonton. Beberapa kali Aris coba menolak, tapi Mia terus memaksa.
Mia juga kadang berdandan secara menor, atau bahkan terkesan berlebihan.
Tapi Aris mencoba menanggapinya biasa saja. Aris hanya berpikir, mungkin Mia memang lagi puber, seperti kebanyakan remaja lainnya. Apa lagi mengingat usia Mia yang baru beranjak remaja.
Tapi tadi...
Dengan jelas Aris mendengar kalau Mia mengungkapkan perasaan sukanya secara terang-terangan.
Mereka duduk di sebuah kafe, dan Mia juga yang memaksanya untuk datang tadi.

"gimana? Kak Aris mau gak jadi pacar Mia?" ucapan Mia yang polos, membuat Aris kembali menarik napas. Ia hanya tidak tahu bagaimana cara menjawabnya.
Aris tahu betul bagaimana watak Mia. Seorang gadis manja yang selalu terpenuhi keinginannya.
Jika ia menolak dengan terang-terangan, sudah pasti Mia akan marah dan membencinya.
Tapi Aris juga tidak mungkin pacaran dengan gadis ABG itu. Ia masih terlalu kecil.
Walau harus Aris akui, kalau Mia memang imut dan cantik. Aris memang menyukai Mia. Tapi hanya sebatas seorang guru kepada muridnya, atau seorang kakak terhadap adiknya. Tak lebih!

"kamu masih terlalu kecil, Mia. Belum boleh pacaran.." ucap Aris akhirnya masih dengan hati-hati.
"siapa bilang?!" potong Mia sedikit ketus.
"ya... siapa aja... lagi pula kalau mama papa kamu tahu, mereka pasti bakal marah.." Aris sedikit tergagap. Terus terang seumur-umur, ini baru pertama kalinya bagi Aris, seorang cewek mengungkapkan perasaannya duluan. Dan lebih parahnya lagi, cewek itu justru seorang gadis yang baru tumbuh remaja. Aris benar-benar dibuat kebingungan.

"yah, jangan sampai mereka tahu lah, kak..." balas Mia datar. "lagi pula yang Mia tanyakan itu, kak Aris mau gak jadi pacar Mia?" lanjutnya lagi.
"kalau kak Aris jawab gak mau...?"
"yah, Mia harus tahu dulu, kak Aris gak maunya kenapa.."
"karena itu tadi.."
"karena Mia masih SMP?!"
Spontan Aris mengangguk.
"berarti kalau Mia sudah SMA, kak Aris mau?"
"yah, belum tentu juga, Mia.."
"berarti bukan karena Mia masih SMP dong.." Mia berkata lagi sambil sedikit melotot.

Aris menarik napas kembali, kali ini lebih dalam.
"gini loh, Mia." ucapnya pelan, "kamu masih lima belas tahun, sedangkan kak Aris sudah dua puluh lima tahun. Beda usia kita itu sangat jauh loh. Sepuluh tahun. Kalau pun nanti Mia udah SMA, mungkin saja kak Aris sudah menikah.."
"emangnya kak Aris punya pacar sekarang?" tanya Mia penasaran.
"yah... belum sih.." jawab Aris terdengar sangat pelan.
"itu artinya masih ada kesempatan untuk Mia, kak.." Mia berkata dengan suara polosnya lagi.
"kak Aris gak harus jawab sekarang, kok. Mia bakal tunggu sampai kapan pun...." lanjutnya.
Aris menatap Mia lama. Ia tidak tahu lagi harus berkata apa. Mia sepertinya memang sangat serius dengan ucapannya.
"kak Aris orangnya ganteng, baik dan juga sangat pintar. Mia jatuh cinta sama kak Aris. Cinta pertama Mia." Mia berujar lagi. "Mia bakal tunggu, sampai kapan pun. Bahkan jika harus bertahun-tahun.." lanjutnya terdengar tegas.

**************

"ooh, sekarang pacarannya sama anak ABG ya?" Sebuah suara mengganggu gendang telinga Aris yang sedang sibuk memainkan laptop-nya.
Aris menoleh ke arah suara itu, ia lihat di sampingnya sudah berdiri seorang gadis dengan rambut panjangnya yang dibiarkan tergerai.
"Lisa?" kening Aris berkerut, "maksud kamu apa?"
Lisa duduk dihadapan Aris sambil berkata, "gak usah belagak bego deh, Ris. Saya lihat kok kamu kemarin di kafe.."
"oh... dia Mia..."
"saya juga gak peduli dia siapa!" potong Lisa sedikit sinis.
"Mia itu salah seorang murid les private-ku, Lis. Emang kenapa?"
"oh, jadi les-nya di kafe, ya?!"
"gak!" jawab Aris tegas. "kebetulan aja kami ketemu disana dan ngobrol. Lagi pula apa urusannya sama kamu, Lis. Saya mau ngobrol sama siapa! Kita kan sudah tidak punya hubungan apa-apa lagi.."
"iya, sih. Tapi saya kasihan aja sama kamu. Masa' pacarannya sama anak SMP, sih. Kayak gak ada cewek yang lebih dewasa aja.." suara Lisa semakin terdengar ketus.
"kamu jangan ngarang, Lis. Saya dan Mia tidak pacaran. Lagian kamu kenapa, sih? Kamu cemburu?" balas Aris sedikit sengit.
Lisa menatap Aris dengan sedikit melotot. "ngapain aku cemburu sama anak ABG! Kayak kurang kerjaan aja.." ucapnya tak kalah ketus.
"yah udah, kalau kamu gak cemburu. Lantas ngapain kamu kesini?"

Lisa terdiam sejenak. Lalu dari dalam tasnya ia mengeluarkan sebuah undangan.
"aku hanya mau ngasih ini sama kamu.." ucapnya.
Dengan sedikit ragu Aris menerima undangan itu.
"minggu besok saya dan mas Reyhan bakal nikah..."
"oh.." Aris hanya membulatkan bibir, dan meletakkan undangan tersebut di atas meja. Ia menelan ludah, tenggorokannya terasa kering.
"ya udah, aku pamit..." ucap Lisa lagi, sambil ia berdiri.
Aris menatap Lisa yang melangkah pelan keluar dari kamar kost-nya. Lisa memang sudah sering main ke kost Aris. Terutama saat mereka masih pacaran dulu.
Lima tahun mereka pacaran. Lima tahun hubungan mereka baik-baik saja. Sampai suatu hari...

"aku ingin kita putus, Ris.." begitu ucap Lisa waktu itu, sekitar enam bulan yang lalu.
Aris terdiam sesaat. Ia masih berpikir, kalau Lisa hanya bercanda. Ia tatap wajah gadis itu cukup lama. Tapi Lisa benar-benar serius dengan ucapannya.
"kenapa?" tanya Aris akhirnya. Perasaannya merasa tidak enak.
"aku gak bisa jelaskan, Ris. Tapi yang pasti, aku gak bisa lagi meneruskan semua ini. Melanjutkan hubungan kita.."
"setelah hampir lima tahun?" suara Aris tercekat.
"saya tidak berpikir tentang itu, Ris. Tapi rasanya hubungan kita terlalu datar dan terasa hambar. Saya tidak melihat masa depan yang baik untuk kita.."
"karena saya belum bekerja?"
"mungkin. Salah satunya.."
"aku akan cari kerja, Lis..."
"sudah terlambat, Ris.'
"maksud kamu?"
"nanti kamu juga bakal tahu..."

Aris menarik napas panjang, hatinya terasa sangat perih mengingat semua itu. Begitu mudahnya Lisa mencampakkannya. Sampai akhirnya Aris tahu, kalau Lisa sudah menjalin hubungan serius dengan Reyhan, sahabatnya sendiri. Dan bahkan sekarang mereka akan menikah.
Aris hanya sedang berusaha untuk terlihat tegar. Meski hatinya sangat sakit dan begitu terluka. Tapi ia tak mungkin memaksa Lisa untuk terus bersamanya. Biar bagaimana pun, Lisa benar, ia memang tidak punya masa depan yang jelas. Dan Reyhan punya segalanya. Lisa pantas untuk bahagia. Rintih hati Aris dalam kepasrahannya.

*****
Bersambung ...

Cari Blog Ini

Layanan

Translate