Kisah nyata : Ketika cinta tumbuh di tempat yang salah (part 2)

Bi Endah menghela napas panjang, kemudian berucap, "aku h4mil.." suaranya bergetar.
Aku kaget dan untuk sesaat hanya terdiam.
Tapi kupikir, tak ada yang salah dengan hamilnya bi Endah. Toh, ia punya suami, jadi wajar kalau ia hamil. Orang-orang juga gak bakal berpikir macam-macam. Bahkan seharusnya menurut saya, ini merupakan kabar yang menggembirakan bagi bi Endah maupun paman Jo, mengingat sampai saat ini mereka belum punya anak.
Apa lagi, menurut ku, mereka mungkin sudah sangat lama ingin memiliki anak.
Tapi justru bi Endah sangat ketakutan dan menangis ketika bercerita kepada ku tentang kehamilannya.

"mengapa Bibi sedih? Harusnya ini merupakan sebuah kabar yang gembira?" aku berkata dengan kening berkerut.
"ada satu hal yang kamu tidak tahu tentang pamanmu.." ucap bi Endah sedikit tenang.
"apa?" tanyaku penasaran.

Akhirnya bi Endah bercerita padaku, kalau ternyata paman Jo itu sudah di vonis mandul oleh dokter.
Paman Jo mandul! Ya, pada saat enam tahun pernikahan mereka, karena mereka belum juga memiliki anak, meski sudah menjalani berbagai terapi, pengobatan tradisional maupun modern.
Mereka pun sepakat untuk mendatangi dokter ahli dan menjalani pemeriksaan kesehatan mereka. Yang hasilnya membuktikan bahwa paman Jo mandul. Paman Jo sudah di vonis mandul.
Jadi kalau ia tahu bi Endah hamil, jelas akan menjadi sebuah tanda tanya besar baginya.

Menurut cerita bi Endah, dulu ketika di vonis mandul, paman Jo sempat frustasi dan tak punya gairah hidup. Paman Jo memberi pilihan kepada bi Endah waktu itu, untuk tetap mempertahankan rumah tangganya meski tanpa anak atau pergi memilih kehidupan bi Endah sendiri.
Tentu saja bi Endah memilih untuk tetap bersama paman Jo waktu itu, karena bi Endah mencintai paman Jo tulus, sekalipun paman Jo sudah di vonis tidak bisa memiliki keturunan.
Mereka sempat sepakat untuk mengangkat anak, tapi bi Endah pikir, itu jelas akan semakin melukai perasaan paman Jo.
Itulah ternyata mengapa selama ini, paman Jo selalu menyibukkan dirinya dengan bekerja. Karena ia tidak ingin merasa frustasi dengan kondisinya. Ia juga sangat memberi kebebasan kepada bi Endah.
Paman Jo sadar, kalau ia tidak bisa memberikan keturunan kepada bi Endah. Ia sadar kehidupan rumah tangga mereka akan terasa hambar. Namun bi Endah selalu setia mendampinginya selama ini.

Tapi sebagai wanita normal, bi Endah juga kadang menginginkan punya anak dari rahimnya sendiri. Namun bi Endah tak mungkin meninggalkan paman Jo yang sudah begitu baik padanya.
Hingga segala kesepiannya, ia tumpahkan dengan tangis.
Dan sekarang, bi Endah hamil. bi Endah h4mil olehku. Bi Endah h4mil oleh ponaan paman Jo yang tidak tahu terima kasih. Padahal paman Jo selama ini sudah sangat baik padaku.
Justru sekarang aku yang semakin terpukul.
Aku benar-benar tidak tahu, apa yang harus aku lakukan saat ini...
Sementara bi Endah masih menangis tersedu-sedu di sampingku.
Segala penyesalan menyeruak masuk ke dalam hatiku. Dadaku terasa sesak.
Tak ku sangka, semua akan berakhir seperti ini. Hubungan cinta terlarang kami telah membuat semuanya berantakan.

Biar bagaimanapun, kami harus jujur! Kami harus mengatakan semua ini kepada paman Jo!
Tapi bagaimana caranya? bathinku. Aku meringis. Dadaku semakin sesak dan terasa teriris.
Terpikir untuk menggugurkan saja kandungan bi Endah, tapi bi Endah tegas menolak, selain rasa takut, ia juga sangat menginginkan anak itu.

*********
Akhirnya dengan sangat berat dan penuh air mata, kami menceritakan semuanya kepada paman Jo. Mendengar semua cerita kami, paman Jo hanya diam tanpa suara. Tapi raut muka nya jelas memperlihatkan amarah yang begitu besar. Wajahnya merah padam, tubuhnya gemetaran menahan marah. Tangannya menggenggam erat, tatapan matanya begitu tajam. Aku tak sanggup menatapnya lama, aku hanya tertunduk. Sementara bi Endah menangis sambil menutup wajahnya dengan kedua tangannya.
Tiba-tiba paman Jo, mengangkat pinggiran meja keluarga itu, lalu menghempaskannya keras. Suara pecahan kaca berserakan terdengar sangat keras. Paman Jo kemudian berdiri dan masih tanpa suara pergi keluar dari rumah itu dan mengendarai mobilnya melaju menuju jalan. Aku hanya berdiri memperhatikan kepergian paman Jo, dan bi Endah yang masih saja menangis tersedu di ruang keluarga itu. Pikiran ku benar-benar kacau!

Beberapa hari kemudian paman Jo pulang dengan wajah sangat kusut. Beberapa hari ini, bi Endah hanya mengurung diri di kamar, aku sendiri hanya seperti orang gila di rumah itu, mondar-mandir tak jelas, masuk keluar kamar dan kadang ke dapur.
Sesampainya di dalam rumah paman Jo langsung menuju kamarnya. Tak lama kemudian, ia keluar dengan bi Endah. Ia menyuruhku duduk di ruang tamu. Hatiku tak karuan, aku tak tahu hukuman apa yang akan diberikan paman Jo kepada kami.
Tapi ternyata paman Jo, hanya meminta kami untuk tidak menceritakan semua kejadian tersebut kepada siapa pun. Menurutnya, yang tahu ia mandul, hanya bi Endah, untuk itu orang-orang hanya akan tahu kalau anak yang ada dalam kandungan bi Endah adalah anaknya.

Tapi tentu saja dengan syarat, aku harus segera pergi dari rumah itu. Aku harus pindah kuliah dan pindah tempat tinggal ke kota lain. Dan paman Jo yang akan mengurus semua itu, termasuk memberi alasan kepada orang tua ku di kampung.
Kami tidak boleh bertemu lagi dimana pun dan dengan alasan apa pun.
Setengah hatiku merasa sedikit lega, setidaknya paman Jo memberikan hukuman yang masih bisa aku terima. Namun setengah hatiku yang lain sangat tidak rela, karena biar bagaimana pun, anak yang bi Endah kandung adalah anakku. Aku punya hak atasnya, setidaknya kelak ia harus tahu siapa ayah kandungnya.
Tapi hati kecilku mencoba menerima semuanya, semoga, ini adalah jalan yang terbaik! 
 
*****
Sekian ...

Kisah nyata : Ketika cinta tumbuh di tempat yang salah (part 1)

Setamat SMA, aku kuliah di sebuah Universitas di kota. Sebuah universitas yang tak begitu populer.
Ya, karena hanya disitu lah batas kemampuan otakku.
Waktu sekolah, aku terkenal sebagai anak yang bandel dan nakal. Waktu SD sempat dua kali tinggal kelas. Waktu SMP, orang tua ku sering mendapat surat panggilan, karena ulahku. Begitu juga ketika aku SMA. Orang tua ku sering memarahi ku karena kelakuanku. Tapi tetap saja tidak membuatku jera. Meski telah berbagai hukuman diberlakukan padaku.

Tapi sebagai orang tua, mereka tetap berusaha keras agar aku bisa menyelesaikan sekolah. Dan mereka yang bersikeras agar aku bisa kuliah, meski hasil ujianku pas-pasan.
Sebagai anak tunggal dari keluarga yang cukup berada, aku memang sangat nakal. Aku terbiasa di manja sejak kecil. Semua keinginanku selalu dipenuhi oleh orang tua ku. Semua kebutuhan ku selalu terpenuhi.
Aku tamat SMA sudah berusia 20 tahun, karena sering tinggal kelas. Pada usia itu, aku mulai berpikir sedikit dewasa. Apalagi sekarang, Ibu ku sering sakit-sakitan. Untuk itu, aku bersedia ketika mereka memintaku untuk kuliah. Meski sebenarnya, aku tak pernah menginginkannya.

Aku tinggal di kota, dirumah pamanku. Paman Jo, begitu aku menyebutnya.
Paman Jo, adik sepupu Ibu ku. Sekarang tinggal di kota dan menjadi seorang dokter. Usianya kira-kira 36 tahun. Punya seorang istri yang berusia 34 tahun.
Istri paman Jo, Bi Endah, begitu biasa aku memanggilnya, hanyalah seorang Ibu rumah tangga biasa. Sejujurnya, bi Endah memang terlihat cantik dan seksi. Apalagi kehidupan mereka yang serba berkecukupan, membuat kecantikan bi Endah tetap terjaga dan terawat dengan baik.
Hidup mereka memang terbilang mewah, mereka hampir punya segalanya, rumah gedong, mobil mewah, dan harta benda yang banyak. Karena selain sebagai dokter, paman Jo juga memiliki usaha kuliner yang cukup maju.

Satu hal yang mereka belum miliki saat ini, ialah seorang anak. Ya, hampir 12 tahun pernikahan mereka, mereka belum mempunyai keturunan. Aku tidak tahu penyebabnya, dan aku pun tidak berani mempertanyakan hal itu.
Aku tinggal disana atas permintaan Ibuku. Paman Jo juga bi Endah, sangat senang aku tinggal disana. Aku diberi sebuah kamar yang cukup luas dengan perabotan yang lengkap dan mewah. Aku tinggal dirumah itu, benar-benar layaknya rumahku sendiri.

Paman Jo adalah orang yang cukup sibuk. Jadwal tugasnya cukup padat, kadang paman Jo tidak pulang sampai pagi, apalagi kalau di rumah sakit, tempat ia bekerja, sedang banyak pasien.
Dan bi Endah sendiri, sering menyibukkan dirinya dengan membuat kue-kue yang ia jual secara online.
Aku tahu, bi Endah sering merasa kesepian. Aku sering memergoki bi Endah menangis sendirian.
Dirumah itu memang ada pembantu yang mengerjakan pekerjaan rumah, tapi mereka hanya berada di rumah itu saat siang hari, karena kalau malam mereka berada di belakang. Ada rumah khusus tempat tinggal pembantu disana.

Kadang aku merasa kasihan melihat bi Endah, karena paman Jo jarang dirumah, apa lagi beliau tidak memiliki anak.
Tapi aku mencoba bersikap biasa saja. Kadang aku berusaha mengajak bi Endah ngobrol dan membantunya membuat kue.
Lama kelamaan kami menjadi kian dekat. Saya sering mendiskusikan pelajaran kuliah dengan bi endah, ternyata beliau cukup pintar meski hanya lulusan SMA.
Bi Endah dulunya hanya seorang gadis desa, ia pacaran dengan paman Jo sejak paman Jo mulai kuliah.
Beberapa tahun setelah lulus kuliah dan menjadi dokter, paman Jo menikahi bi Endah dan membawanya pindah ke kota. Saat itu bi Endah merasa sangat senang dan bahagia, dan menjalani kehidupan rumah tangganya dengan baik.

Bi Endah menceritakan pengalamannya kepada ku. Aku selalu mendengarkannya dengan penuh perhatian.
Bi Endah sendiri, sangat perhatian padaku. Dia sering membantuku mengerjakan tugas kuliah dan menyiapkan sarapan atau pun makan malam.
Entah karena sering bersama, tiba-tiba kami menjadi begitu dekat. Aku merasa nyaman bersama bi Endah. Begitu juga sebaliknya.
Kedekatan kami telah menumbuhkan rasa yang tidak bisa kami hindari. Hari-hari kebersamaan kami terasa begitu indah.
Bahkan bi Endah terang-terangan mengungkapkan perasaannya padaku. Aku dengan senang hati menyambutnya. Kami pun akhirnya resmi menjalin hubungan asmara secara diam-diam.
Kami saling cinta dan saling menyayangi, meski kami tahu itu adalah sebuah kesalahan.

Hubungan kami teramat dekat. Kesempatan kami untuk bertemu sangat besar, karena paman Jo memang jarang berada di rumah. Hingga akhirnya hubungan kami sudah melampaui batas.
 
****
 
Bersambung ...

Maafkan aku Ibu, aku terpaksa melakukannya!... (part 2)

Tubuhku terasa lemas tak berdaya. Mataku bengkak. Air mataku terus mengalir. Aku tak berdaya. Rasanya semua terjadi begitu cepat.
Yah, malam itu akhirnya aku menerima tawaran dari tante Lina. Biar bagaimana pun, kesehatan Ibuku jauh lebih penting dari apapun saat ini. Ini bukanlah pilihan yang mudah bagiku. Tapi semua memang harus aku lakukan.
Meski aku harus menelan semua kepahitan itu. Meski aku harus kehilangan harga diriku dan juga masa depanku.
Ibu mungkin akan mengutukku, seandainya ia tahu. Tapi Ibu tak boleh tahu, tak ada seorang pun yang boleh tahu.

Pagi itu aku bergegas menuju rumah sakit tempat Ibu dirawat. Aku segera melakukan pembayaran, agar Ibu bisa segera di operasi. Tante Lina memberikan uang lebih dari cukup kepadaku. Setelah aku selesai melaksanakan tugasku. Dengan sangat berat aku menerimanya. Ini semua demi Ibu! bathinku merintih.
Aku berusaha tetap tegar. Aku berusaha tetap terlihat baik-baik saja. Aku berusaha untuk terlihat kuat. Meski sebenarnya aku rapuh, tapi aku benar-benar tidak punya pilihan. Tidak banyak pilihan untuk orang-orang sepertiku.

"dari mana kamu dapatkan uang itu?" suara Reyhan mengagetkanku.
Ibu masih berada di ruang operasi. Aku berjalan mondar mandir di ruang tunggu rumah sakit itu. Aku menghentikan langkahku, kutatap Reyhan sejenak. Aku tidak tahu harus jawab apa. Selama ini aku dan Reyhan memang sangat dekat. Selama ini aku selalu terbuka padanya. Hampir tak ada rahasia diantara kami. Tapi kali ini, Reyhan tidak boleh tahu. Aku tak mungkin menceritakan ini semua pada Reyhan.
"uang apa?" tanyaku pura-pura tidak paham.
"kamu tahu persis apa yang aku tanyakan, El.." suara Reyhan.
Aku terdiam sesaat. Melangkah mendekati Reyhan. Aku duduk di sampingnya. Ku hembuskan napasku perlahan.
"kamu gak harus tahu, Rey.." desahku.
Reyhan menatapku, "kenapa?" tanyanya.
Aku hanya menggeleng.

"jangan bilang, kamu minjam uang sama rentenir, El.." ujar Reyhan lagi, ia masih menatapku.
Sekali lagi aku menggelengkan kepala. Aku tertunduk.
"jawab aku, El.." suara Reyhan mengeras.
Aku mendongak. Kutatap tajam mata Reyhan.
"harus ya itu di bahas sekarang?" tanyaku lantang, "Ibuku masih berjuang di ruang operasi, Rey. Kamu justru mempertanyakan hal itu sekarang.." suaraku semakin meninggi.
Reyhan terdiam. Ia sudah hafal watakku. Ia tahu betul, jika aku sedang marah. Ia menundukkan kepala.
Tiba-tiba perasaan bersalah menyeruak di hatiku. Tak tega melihatnya seperti itu. Selama ini Reyhan sangat baik padaku. Dia selalu ada untukku. Tapi kali ini ia memang tidak harus tahu!
"maaf, Rey.." ucapku pelan, "tapi aku belum bisa cerita sekarang..."
"yah.." desah Reyhan ringan.

*************

Ibu sudah mulai membaik. Operasinya berjalan lancar. Hari ini Ibu sudah diperbolehkan pulang.
"yuk!" ucap Ibu. Senyumnya mengembang. Ia menggandeng tanganku untuk masuk ke rumah, "Ibu rindu suasana rumah ini.." ujarnya lagi, setelah kami berada di dalam.
Aku hanya tersenyum menanggapinya, "sekarang Ibu istirahat ya.." ucapku ringan.
Ibu melangkah menuju kamar, dan segera ia berbaring di ranjang. Aku bergegas ke dapur, menyiapkan makan siang untuk kami.

"kamu gak kerja?" suara Ibu sedikit mengagetkanku yang sedang sibuk mengiris bawang.
"kenapa Ibu ke dapur? Ibu harusnya istirahat.." balasku, tak pedulikan pertanyaannya.
"Ibu gak apa-apa, El. Kamu kenapa gak kerja..?" tanyanya lagi.
"El libur hari ini, Bu.." jawabku ringan.
Ibu tersenyum  tipis. Ia duduk di sampingku. "Ibu boleh tanya?" ucapnya pelan.
Aku menangguk. Ku dengar Ibu menghela napas.
"kamu pinjam uang sama siapa, El?" tanya Ibu lagi, yang membuatku tertunduk. Aku tahu, Ibu pasti akan mempertanyakan hal itu. Tapi tetap saja aku belum siap untuk membohongi Ibu. Aku tidak mungkin mengatakan yang sejujurnya pada Ibu.
"Ibu masih ingat tante Lina..?" tanyaku tertahan.
Kulihat Ibu mengerutkan kening. Kemudian ia mengangguk.
"tante Lina yang meminjamkan El uang, Bu. El cerita tentang Ibu, makanya ia bersedia mencarikan pinjaman..."
"kamu dipinjamkan uang sebanyak itu oleh tante Lina?" Ibu menatapku tajam. Sorot matanya tak percaya.
Aku berusaha mengangguk. Aku tak punya alasan yang lebih baik dari itu. Aku yakin, Ibu tahu, kalau aku berbohong.

"kamu gak usah bohong sama Ibu, El.." ucap Ibu lagi, matanya masih menatapku.
"El gak bohong, Bu." belaku.
"tante Lina gak mungkin punya uang sebanyak itu, El. Ibu tahu persis hal itu.."
"bukan tante Lina, Bu. Tapi temannya. El gak tahu siapa. Tapi tante Lina bilang, itu uang ia pinjam dari temannya..." suaraku sedikit bergetar.
"siapa yang mau meminjamkan uang sebanyak itu di jaman sekarang, El. Kecuali ada apa-apa dibalik itu semua...." balas Ibu sedikit sengit.
Aku terdiam. Kepalaku tiba-tiba sakit. Mataku mulai berkaca.

"terserah Ibu mau percaya atau tidak! Tapi yang pasti apapun itu, uang itu sudah menyelamatkan nyawa Ibu..." ucapku akhirnya.
Aku berdiri tiba-tiba, lalu berjalan tergesa ke dalam kamar. Aku hempaskan tubuhku ke ranjang. Pikiranku benar-benar kacau. Semua penyesalan menjalar di benakku.
Aku tak tahu harus berbuat apa lagi. Cepat atau lambat Ibu pasti akan tahu. Aku tak punya alasan yang tepat, yang benar-benar bisa Ibu percaya. Ibu akan selalu tahu, kalau aku berbohong.

*************

"ada apa tante?" tanyaku. Kutatap wajah tante Lina penuh tanya. Ia memang sengaja mengajak aku bertemu di sebuah kafe. Tante Lina menghubungiku pagi tadi, aku berjanji akan menemuinya setelah pulang kerja.
Tante Lina menghirup minumannya. Ia balas menatapku.
"kamu cerita apa sama Ibumu?" ia bertanya, sambil memainkan sedotannya.
"seperti yang telah kita sepakati kemarin, tan.." jawabku.
"Ibumu percaya?"
Aku menggeleng berat.
"sudah kuduga.." ucap tante Lina lagi, kali ini dengan nada yang sedikit sinis.
"maksud tante?" tanyaku heran.
"harusnya kamu punya alasan yang lebih baik dari itu, El. Tante dan Ibumu sudah berteman sejak lama. Ia tahu persis bagaimana kehidupan tante. Sudah pasti ia gak akan percaya.." tante Lina menghirup minumannya lagi, ia kelihatan gelisah.

"kemarin Ibumu menemui tante.." ucap tante Lina hampir berbisik.
Aku memicingkan mata, "tante cerita?" tanyaku curiga.
Tante Lina menggeleng. Aku menarik napas lega.
"tante bilang kalau itu uang teman tante. Tapi Ibumu ingin tahu, siapa teman tante tersebut. Tante bilang kalau ia gak kenal."
"dan.."
"dan sepertinya Ibumu memang tidak percaya. Tapi tante berusaha meyakinkannya."
"lalu Ibu percaya?" aku penasaran.
"tante tidak tahu. Yang pasti setelah itu Ibumu langsung pergi, tanpa berkata apa-apa lagi..."
Aku terhenyak.
Bagaimana kalau akhirnya Ibu benar-benar tahu? Apa yang akan Ibu lakukan padaku?
Tiba-tiba aku merasa semakin kotor.

*****
Bersambung lagi...

Maafkan aku Ibu, Aku terpaksa melakukannya! (part 1)

Aku berjalan gontai, menelusuri trotoar. Hiruk pikuk suara kendaraan berlalu lalang mengiringi langkahku. Sudah hampir jam 8 malam, suara kendaraan semakin ramai, apalagi ini malam minggu.
Pikiranku melayang, menerawang tak tentu arah. Terngiang-ngiang kembali ucapan dokter di rumah sakit sore tadi.

"Ibumu harus segera di operasi..." kata dokter laki-laki itu, "kalau tidak, kami tidak bisa menjamin beliau akan bertahan lebih dari 3 hari." lanjutnya. Aku menangis lagi, mendengar penjelasan itu.
Entah sudah berapa banyak air mata yang aku habiskan, sejak Ibu masuk rumah sakit dan di vonis memiliki kanker serviks. Aku tak tahu, harus mengadu kepada siapa.

Ayahku sudah lama meninggal. Ibu membesarkanku sendiri, sejak kecil. Bekerja sebagai buruh cuci, Ibu hanya mampu membiayai aku sekolah hingga SMA.
Tamat dari SMA, aku mencoba mencari kerja untuk membantu Ibu. Dengan modal ijazah SMA, aku hanya mendapatkan pekerjaan sebagai seorang penjaga toko di sebuah mall, yang gaji nya tak seberapa.
Dari keterangan dokter, sebenarnya Ibu sudah lama menderita penyakit itu, namun Ibu sepertinya memang sengaja menyembunyikannnya dariku. Aku tahu, Ibu tak ingin merepotkan dan membebaniku. Tapi sekarang penyakit Ibu semakin parah dan harus segera di operasi.

"Jika sampai besok pagi, Ibumu tak segera di operasi, kami khawatir beliau tidak bisa bertahan lagi.." dokter itu berujar lagi, ia menatapku tajam.

Aku hanya terdiam, menahan tangisku. Rasanya beban ini terlalu berat untuk kupikul sendiri.

"diperkirakan biaya operasinya sekitar tujuh puluh juta, dan besok uang itu sudah harus ada, paling tidak separohnya. Agar operasi segera bisa kami laksanakan.." ucap dokter itu lagi.
Aku hanya terhenyak, tujuh puluh juta bukanlah uang yang sedikit. Jangankan memilikinya, melihat uang sebanyak itu saja aku belum pernah seumur hidup.

Apa yang mesti aku lakukan sekarang? Kami tidak punya apa-apa. Bahkan rumah saja kami masih ngontrak. Tapi aku harus menolong Ibuku. Tak peduli bagaimana pun caranya, Ibu harus segera di operasi.
Aku tak mau kehilangan Ibu. Aku harus mendapatkan uang itu. Bathinku meringis.

"apa gak bisa pakai BPJS saja, El..." bisik Reyhan, yang duduk di sampingku. Reyhan adalah sahabatku sejak kecil. Selama ini ia cukup banyak membantu aku dan Ibu. Tapi Reyhan bukanlah dari keluarga berada. Ayahnya hanya seorang buruh bangunan. Reyhan sendiri juga tidak bisa kuliah, karena tidak ada biaya. Ia terpaksa ikut Ayahnya jadi kuli bangunan.
"kamu tahu, kami gak punya itu, Rey..."
"tapi kan bisa kita urus..."
"Ibuku harus dioperasi besok pagi, Rey. Bukan tahun depan! Kamu tahu sendiri, bagaimana susahnya mengurus hal-hal seperti itu. Apa lagi untuk orang-orang seperti kita.." suaraku sedikit meninggi.
Reyhan kembali bungkam.
Aku tahu Reyhan berniat baik. Tapi pikiran benar-benar kacau.

**********
Aku duduk sendiri, di sebuah bangku halte. Pikiran ku masih sangat kacau, membuatku jadi enggan untuk pulang. Tiba-tiba seseorang memegang pundak ku dari samping. Spontan aku menoleh dan mengerutkan kening. Orang itu, seorang wanita paroh baya, aku mencoba mengenalinya. Tapi pikiran ku terlalu berat. Aku tak mampu mengingatnya.
"kamu Elsa, kan..?" ucap wanita itu. Aku hanya diam, sambil terus menatapnya.
"anaknya Bu Rita?" lanjutnya bertanya lagi.
Kali ini repleks aku mengangguk.
"Saya tante Lina. Masih ingat?" ia melanjutkan.
Pikiranku meleyang sejenak, mengingat-ingat tante yang sekarang ada di sampingku. Ia duduk dengan santai di sampingku. Dengan pakaian yang sedikit seksi dan setengah terbuka.

"waktu kamu kecil. Tante sering main kerumah kamu. Tante teman Ibu kamu dulu.." katanya lagi. Wajah itu memang tidak begitu asing bagiku. Dan tiba-tiba aku mengingatnya. Ya, tante Lina yang dulu sering membawakan aku permen, jika ia main kerumah. Tante Lina memang dulu sangat dekat dengan Ibu. Tapi sudah bertahun-tahun, tante Lina tak pernah lagi datang ke rumah.
"Iya, tante. Elsa ingat.." jawabku akhirnya. Kulihat tante Lina tersenyum.

"gimana kabar Ibu..?" tanya tante Lina selanjutnya. Yang membuatku kembali murung, pikiran ku kembali mengingat Ibu yang sedang terbaring di rumah sakit. Tak berdaya.
"kamu kenapa?" lanjut tante Lina bertanya, melihat aku yang tertunduk lesuh.



Aku gak tahu, apa aku harus cerita sama tante Lina atau tetap diam saja. Nmaun mengingat tante Lina dulu pernah begitu dekat dengan Ibu, aku berpikir apa salahnya menceritakan semua ini sama tante Lina. Aku memang tak punya siapa-siapa lagi, kecuali Ibu. Dan juga Reyhan, sahabatku.


Tante Lina menatapku lama. Setelah aku selesai menceritakan hal yang menimpa Ibu saat ini.
"dari mana aku bisa mendapatkan uang sebanyak itu, hanya dalam satu malam..?" ucapku kepada tante Lina, mengakhiri cerita ku. Suaraku parau.
Tante Lina meneguk minumannya lagi. Kami duduk di dalam sebuah kafe, tante Lina sengaja mengajakku kesini. Biar lebih nyaman, katanya.

Tante Lina menghela nafas. "sebenarnya tante ingin sekali membantu, tapi tante juga tak punya uang sebanyak itu.." ucapnya setelah cukup lama kami terdiam.
"namun jika kamu mau, tante tahu, bagaimana kamu bisa mendapatkan uang sebanyak itu dalam satu malam.." lanjutnya. Aku menatap tante Lina lama. Seakan tak percaya dengan yang barusan diucapkannya. "Bagaimana caranya tante?" tanyaku akhirnya, antara penasaran dan tak percaya.

"jujur, tante adalah seorang germo." ucapnya, yang membuatku terdiam, dari cara nya berpakaian sekarang, aku bisa percaya. "dan jika kamu mau, tante bisa mencarikan pelanggan tante yang punya banyak uang dan mau membeli kesucian kamu.." lanjutnya santai, seakan hal itu sudah biasa ia lakukan.

Aku terperangah. Mulutku menganga setangah tak percaya, kalau tante Lina akan menawarkan hal itu padaku.
"kamu harus pikirkan Ibumu, Elsa." ucapan tegas tante Lina membuatku tersadar. Ya, Ibu sangat membutuhkan ku saat ini. Ibu membutuhkan uang yang sangat besar untuk biaya operasi. Tapi apa harus dengan menjual diriku? aku membathin.
"ingat, Elsa. waktumu hanya satu malam untuk menyelamatkan Ibumu. Jadi saran tante, kamu gak usah terlalu banyak pikir, jika kamu memang sayang Ibumu." lanjutnya lagi. "aku...aku.. takut, tante.." ucapku tergagap. Mataku mulai berair lagi.
"kamu gak usah takut, rahasia kamu aman. Dan tante akan mencarikan pelanggan tante yang bisa memperlakukanmu dengan lembut." jawabnya.
Sejujurnya, aku sering mendengar cerita tentang orang-orang yang menjual diri demi mendapatkan uang. Tapi selama ini, aku menganggap orang-orang itu bodoh dan tak punya harga diri.
Tapi sekarang?
Aku bingung. Benar-benar bingung. Jika aku menolak tawaran tante Lina, aku tak punya cara lagi untuk mendapatkan uang tujuh puluh juta dalam waktu tidak sampai 12 jam lagi. Namun jika aku menerimanya, itu berarti aku harus menyerahkan kesucianku pada orang yang tak ku kenal. Dan itu juga berarti aku sudah kehilangan harga diriku. Bagaimana jika Ibu tahu? tanyaku membathin.

"kamu tenang saja. Ibu mu gak bakalan tahu." ucap tante Lina, seperti bisa menebak apa yang aku pikirkan. "Dan lagi pula setelah kamu selesai nanti, kamu bisa terima uangnya. Kamu bisa pergi dan tak perlu melakukannya lagi. Kamu bebas. Kamu tidak terikat apa pun...." lanjut tante Lina menjelaskan.
Aku terdiam. Kepalaku terasa sangat sakit. Mengapa hal ini harus menimpaku?

*********

Bersambung...

Part 3 : Istriku memilih untuk pergi saat aku sedang terpuruk (Cinta tanpa warna)

Aku menatap wanita tua yang ada di hadapanku. Ia tersenyum tipis.
"ada apa, Ma?" tanyaku lembut.
Wanita itu, mamanya Airin, menarik napas ringan. Ia memang sengaja datang ke kafe tempat aku bekerja. Sudah lebih dari seminggu Airin pergi dari rumah. Selama seminggu aku dan Airin tidak berkomunikasi apa lagi bertemu.
"ada hal penting tentang Airin yang harus kamu ketahui, Lif." ucap Mama pelan. "mama tahu, tak seharusnya mama ikut campur urusan rumah tangga kalian. Tapi mengingat kondisi Airin saat ini, rasanya mama memang harus turun tangan.." lanjutnya, sekali lagi ia menarik napas.
Aku sedikit mengerutkan kening, "Airin kenapa, Ma? Apa Airin sakit?" tanyaku.
"lebih dari itu, Lif." desah mama.
"maksud mama?" tanyaku lagi, benar-benar tidak paham.

"sebenarnya Airin tak ingin kamu tahu, Lif. Dan ia juga meminta mama untuk tidak menceritakan semua ini sama kamu." mama tertunduk lesu.
"menceritakan tentang apa?" ucapku, semakin tidak paham.
"Airin penasaran, kenapa setelah lebih dari dua tahun kalian menikah, kalian belum juga dikaruniai anak. Untuk itu ia memeriksakan diri ke dokter keluarga kami." Mama menghempaskan napasnya berat, "dan ternyata.....  Airin memang tidak bisa hamil, Lif. Dia di vonis mandul oleh dokter." lanjut mama dengan suara bergetar.
Aku bagai mendengar suara petir di siang itu. Dengan rasa tak percaya, aku menatap mama cukup lama. Matanya berkaca. Aku tahu, mama tak mungkin berbohong. Dan itu membuat tubuhku terasa lemas. Sakit kepalaku kambuh lagi.

"tapi apa hubungan itu semua dengan sikap Airin akhir-akhir ini padaku?" tanyaku akhirnya, setelah cukup lama kami terdiam.
Mama meneguk minumannya, kemudian berucap "Airin sangat mencintai kamu, Lif. Ia hanya ingin yang terbaik buat kamu..."
"dengan menyakitiku?" keningku berkerut dua kali lipat dari biasanya, aku benar-benar tidak mengerti.
"yah, Airin memang sengaja membuatmu sakit hati dan marah. Ia berharap, dengan begitu, kamu akan membencinya. Lalu kemudian kamu akan menceraikannya. Ia hanya ingin kamu bahagia, Lif. Dan dengan terus bersamanya, kamu tidak akan pernah bahagia. Karena Airin sadar, ia tidak bisa memberikanmu keturunan." mama menghempaskan napasnya lagi, matanya masih berkaca.
Aku terenyuh mendengar itu semua. Bagaimana mungkin Airin bisa berpikir sepicik itu?

"sekarang kamu sudah tahu semuanya, Lif. Mama berharap kamu bisa melakukan yang terbaik.." mama berucap lagi.
"aku sangat mencintai Airin, ma. Dan aku tak mungkin meninggalkannya." jawabku tegas.
Mama berdiri tiba-tiba. Ia melangkah pelan mendekatiku.
"mama percaya sama kamu, Lif." ucap mama, sambil menyentuh bahuku pelan. "semoga kalian bisa menemukan jalan yang terbaik..." lanjutnya pelan. kemudian ia melangkah pergi. Meninggalkanku yang masih terpaku. Hatiku terasa miris. Bayangan wajah cantik Airin melintas seketika.
Sekarang aku paham, mengapa Airin tiba-tiba berubah. Meski tetap saja, hati kecilku belum bisa menerima perlakuan Airin padaku.

*********

Sudah lebih dari dua bulan aku tidak menjenguk anakku, Azzam. Makanya akhir pekan ini aku sempatkan untuk berkunjung. Tapi kali ini aku pergi bersama Bayu. Kebetulan sekali Bayu memang ingin pergi melihat salah satu cabang kafenya, yang berada tidak jauh dari kampung tempat mantan istriku, Dewi dan anakku tinggal.
Aku sengaja memaksa Bayu untuk memakai mobilnya, meski harus menempuh perjalanan kurang lebih dua hari. Aku hanya ingin sedikit menenangkan pikiranku. Pembicaraanku dengan mama Airin kemarin, benar-benar membuatku tidak bisa tidur. Aku masih bingung harus melakukan apa saat ini. Airin juga tidak bisa dihubungi.

"ada apa, Lif?" tanya Bayu diperjalanan, sambil menyetir.
Aku menoleh sekilas, "gak ada apa-apa. Aku hanya ingin mengunjungi anakku.." jawabku datar.
"kita sudah kenal sejak lama, Lif. Aku sudah hafal sifat kamu. Kalau tidak ada apa-apa, ngapain kamu maksa aku harus naik mobil. Kenapa kita gak naik pesawat saja, biar cepat sampai..."
"aku pengen jalan-jalan. Aku kangen jalan-jalan bareng kamu.." ucapku lagi dengan nada masih datar.
"bullshit! Hentikan omong kosong kamu, Lif! Jika kamu gak mau cerita, kita balik!" ancam Bayu, dengan sedikit mengurangi laju mobil.
Aku terdiam sesaat. Niatku memang dari awal ingin cerita sama Bayu, tentang Airin. Tapi mengingat betapa begitu banyaknya kebaikan Bayu selama ini padaku, tiba-tiba aku merasa enggan. Bayu selalu ada setiap kali aku dalam masalah. Dia memang benar-benar sahabat yang baik. Tapi kalau bukan kepada Bayu, kepada siapa lagi aku harus bercerita. Biasanya Bayu memang selalu punya solusi dari setiap persoalanku.

Aku menarik napas panjang, dan menghempaskannya perlahan. Hatiku benar-benar bingung.
Dengan sedikit berat, aku ceritakan semuanya pada Bayu. Semuanya tentang Airin. Tentang apa yang terjadi dengan kami saat ini. Biar bagaimana pun, Bayu lah yang memperkenalkan aku dengan Airin.
Bayu menelan ludah mendengar semua ceritaku.
"kamu mencintai Airin?" tanya Bayu.
Aku mengangguk yakin.
"kalau begitu, kamu harus memperbaiki semuanya, Lif."
"tapi Airin tak bisa aku hubungi, Bay.." suaraku lemah.
"kamu sudah coba datang ke rumah mamanya?" tanya Bayu lagi, yang membuatku terdiam.
Bayu menoleh sejenak. Aku hanya menggeleng ringan.
"saran saya, Lif. Kamu harus menemui Airin. Kalian harus bicara. Jangan sampai masalah ini semakin berlarut-larut..." ucap Bayu pelan.
Aku manarik napas lagi, kali ini lebih pelan. Ada sedikit kelegaan yang kurasakan setelah menceritakan semuanya pada Bayu. Meski aku belum benar-benar tahu, tindakan apa yang harus aku ambil.
Tapi rasanya Bayu memang benar, kami memang harus bicara.

*************

Kami duduk di ruang tamu rumah mama, setelah dengan sangat susah payah mama membujuk Airin untuk keluar dari kamarnya. Airin terlihat pucat dan sedikit berantakan. Aku tahu apa yang Airin rasakan saat ini.
"kenapa kamu kesini?" Airin berbicara, setelah mama meninggalkan kami berdua.
Aku menatap Airin lama, tak tahu harus memulainya dari mana.
Airin meneguk minumannya, ia masih menunggu jawabanku. Aku menelan ludah pahit.
"aku sudah tahu..." ucapku pelan, Airin mendongak. "mama sudah cerita semuanya.." lanjutku.
"lantas?"
"aku mencintai kamu, Airin. Aku ingin kamu kembali lagi ke rumah kita..."
"aku gak bisa, Lif..."
"kenapa?"
"kamu sudah tahu jawabannya, Lif." Airin menunduk, ia sengaja menghindari tatapanku.

"kamu salah, Airin. Apa pun kondisimu saat ini, itu tidak akan merubah perasaanku padamu..." aku berujar, tanpa mengalihkan pandanganku.
"aku hanya ingin yang terbaik buat kamu, Lif."
"yang terbaik buat aku ialah tetap bersama kamu.." ucapku tegas.
"tapi aku tidak bisa memberikan kamu keturunan, Lif. Kamu sudah tahu itu.."
"kita pasti bisa bahagia....."
"tanpa anak? tanpa keturunan? omong kosong, Lif." potong Airin cepat. "apa arti sebuah rumah tangga, tanpa ada anak di dalamnya, Lif. Pasti semuanya akan terasa hampa..."
"siapa bilang? banyak kok, pasangan yang tetap bahagia sampai tua, meski mereka tidak punya keturunan.." balasku.
"kamu terlalu banyak nonton sinetron, Lif..'
"kamu yang terlalu pesimis, Rin!" suaraku sedikit meninggi.

"aku tidak pesimis! Aku hanya mencoba realistis, Lif. Aku mencoba menerima kenyataan, kalau aku tidak bisa hamil. Dan itu jelas akan membuat rumah tangga kita tidak akan sempurna.."
"tidak ada manusia yang sempurna, Rin. Tidak ada juga rumah tangga yang sempurna. Tapi yang terpenting, kita bisa saling melengkapi. Kita bisa saling menerima kekurangan masing-masing.."
Kali ini Airin terdiam. Ia  meneguk minumannya kembali. Menatapku sekilas, lalu memalingkan muka.
"aku hanya ingin, kamu mendapatkan wanita yang pantas buat kamu, Lif. Dan wanita itu bukanlah aku..."
"kamu sudah jauh lebih pantas buatku, Airin! Kamu sempurna di mataku. Aku mencintai kamu dengan apa adanya dirimu. Apa itu masih belum cukup?!"
Kulihat Airin menarik napas panjang, matanya mulai berkaca, "atau sebenarnya kamu tidak mencintaiku lagi?" lanjutku pelan.
"aku mencintai kamu, Lif. Dan kamu juga tahu itu.."
"kalau begitu mari kita pulang, Rin. Kita mulai lagi semuanya dari awal.."

"aku takut, Lif.." Airin berujar dengan suara bergetar, setelah cukup lama ia terdiam.
"kita hadapi semuanya bersama-sama, Rin. Masih banyak cara agar kita bisa punya anak. Kita hanya harus percaya. Kita harus berusaha, Rin."
"itu mustahil, Lif..." suara Airin semakin parau.
"apanya yang mustahil?! Di jaman yang serba canggih sekarang ini, tidak ada yang tidak mungkin, Rin. Kita akan mencobanya..."
"apa yang harus kita coba, Lif?"
"banyak, Rin." balasku cepat. "bayi tabung, misalnya..."
"bagaimana kalau tetap tidak berhasil...?"
"yah, kita coba terus, Rin. Atau kita bisa angkat anak. Apa bedanya? Yang penting kita tetap bersama..."
"kamu yakin, Lif?" kali ini Airin berkata sambil menatapku lembut.
"aku yakin, Airin." aku menangguk mantap, ada secercah harapan, kalau Airin akan bersedia untuk kembali. "kamu jangan menyerah, Airin! kamu jangan berputus asa seperti ini.." lanjutku.

**********

Hari ini, aku pulang lebih awal. Aku sudah berjanji pada anakku untuk mengajaknya jalan-jalan. Hari ini ia genap berusia empat tahun. Namanya Aznah. Dia memang tidak terlahir dari rahim istriku, Airin.
Aznah kami ambil dari sebuah panti asuhan, waktu itu usianya masih tiga bulan. Meski demikian, Aznah mampu membuat rumah tangga kami semakin bahagia. Kehadirannya mampu memberi warna-warna indah dalam hidup kami. Airin bahkan sangat menyayanginya.

Diperjalanan pulang, tiba-tiba handphone-ku berdering. Nama istriku terpajang di sana. Aku buru-buru mengangkatnya.
"ada apa, ma?" tanyaku.
"Aznah, pa..." suara istriku terbata.
"Aznah? Aznah kenapa, ma?"
"gak tahu, pa. Ia tiba-tiba kejang-kejang tadi, mukanya pucat. Aku sedang dalam perjalanan menuju rumah sakit sekarang. Papa langsung menyusul kesini ya.."
Aku memacu mobilku menuju rumah sakit yang disebutkan istriku. Perasaanku menjadi tak karuan. Aku mencemaskan putriku. Selama ini ia jarang sekali sakit. Kecuali hanya demam biasa.
Pikiranku terasa tidak enak.

Aku memarkir mobilku dengan terburu. Aku masuk ke rumah sakit dengan tergesa. Tak lama kemudian, aku melihat istriku sedang berbicara dengan seorang dokter. Wajah istriku begitu pucat, air matanya mengalir deras. Ia langsung memelukku. Tangisnya semakin menjadi.
"maaf!" ucap dokter itu, "kami sudah berusaha semaksimal mungkin.." lanjutnya, yang membuatku terhenyak. Meski aku tidak tahu pasti, tapi aku sangat mengerti apa maksud dari perkataan dokter tersebut.
Istriku semakin erat memelukku. Tubuhku lunglai tak berdaya. Istriku akhirnya tak sadarkan diri. Air mataku akhirnya pun tumpah.
Semua terjadi begitu cepat. Aku tak berdaya menerima semuanya. Terlalu sakit bagiku. Aku bahkan rasanya sudah tidak sanggup berdiri. Kaki ku terasa lemas. Sampai kemudian aku benar-benar tak sadarkan diri.............................................

Bersambung ....

Cari Blog Ini

Layanan

Translate