Sebuah cerpen : Tentang sebuah hati

"kita baru kenal satu bulan, Rul.." ucap gadis itu, sambil menatap Arul, cowok yang berada di sampingnya.
"yah, aku tahu." timpal cowok itu, "tapi hati itu sesuatu yang unik, Mita. Kita tidak bisa menebak kapan kita akan jatuh cinta." lanjutnya pelan.
Gadis itu, Mita, memalingkan pandangannya. Menatap jauh ke tengah lautan yang membentang luas di hadapan mereka. Mereka duduk di atas pasir pantai yang memutih. Sore itu mereka bertemu lagi seperti biasa.
Sudah sebulan mereka rutin bertemu di pantai itu, sejak mereka saling kenal. Mereka bertemu pertama kali, pada hari pertama Arul memulai kegiatan KKN di desa tempat Mita tinggal. Mita yang bekerja di kantor desa hari itu mengantarkan Arul dan teman-temannya, ke tempat Arul dan teman-temannya tinggal selama mereka melakukan kegiatan KKN.

Perkenalan singkat itu telah menumbuhkan kesan yang mendalam bagi mereka berdua, sehingga membuat mereka jadi sering bertemu dan saling mengenal lebih dekat.
Mita yang bekerja di kantor desa dan juga aktif di kegiatan pemuda, sering membantu Arul dan teman-temannya, selama mereka berada di sana.

Cerpen sang penuai mimpi



Desa Mita memang terletak di tepi laut, mereka sering bertemu dan ngobrol di pantai yang terletak tidak jauh dari desa. Pertemuan-pertemuan itu, membuat Arul yakin akan perasaannya kepada Mita, hingga ia dengan cukup berani mengungkapkan perasaannya sore itu. Setelah sebulan lebih mereka saling kenal.
Tapi Mita sendiri belum yakin dengan perasaannya. Ia memang menyukai Arul yang sederhana dan juga pintar. Arul yang ia tahu, juga seorang laki-laki yang baik.
"tapi tetap saja bagi saya, ini terlalu cepat, Rul." Mita berujar lagi, setelah sejenak mereka tenggelam dengan perasaan mereka masing-masing.
"kamu gak harus jawab sekarang kok, Mit." balas Arul. "tapi setidaknya kamu sekarang sudah tahu, bagaimana perasaanku padamu." lanjutnya tegas.
Mita memainkan pasir putih itu dengan jemari lembutnya. Perasaannya tak karuan. Campur aduk!
Bagi Mita, ia dan Arul belum benar-benar saling kenal. Jika pun akhirnya, setelah satu bulan mereka saling kenal, telah menumbuhkan perasaan yang lebih dari sekedar teman biasa. Tapi tetap saja bagi Mita, itu tidak mudah.

Ada bagian dari dalam hatinya yang masih menyimpan keraguan. Bahkan bagi Mita, bukan hanya sekedar keraguan, tapi juga rasa takut.
Ya. Harus Mita akui, kalau kisah cintanya di masa lalu masih terus membayanginya sampai saat ini. Kisah cinta yang meninggalkan rasa sakit yang mendalam. Tidak mudah bagi Mita, menerima kehadiran laki-laki lain di hatinya. Mita masih sangat trauma dan sakit.

Tiba-tiba pikiran Mita menerawang jauh ke masa lalunya. Kisah cinta di masa lalunya terpapar jelas di ingatannya. Mita memejamkan mata, mencoba menenangkan hatinya. Tapi bayangan itu semakin jelas. Sesosok wajah tampan dengan senyuman manis itu kembali melintas di benaknya.
Namanya Hafis, seakan tak mau hilang nama itu di hati Mita. Laki-laki yang periang itu, telah menghiasi hari-hari indah Mita lebih dari empat tahun, sebelum akhirnya ia pergi dan meninggalkan Mita sendirian. Yang membuat Mita harus menelan pahitnya sebuah perpisahan.
"maaf, Mit. Tapi aku harus pergi..." begitu ucap laki-laki itu waktu itu. Saat Mita menatapnya dengan mata berkaca.
"kamu jangan berkata begitu, Fis. Kamu pasti bisa sembuh.." suara Mita parau, ia berusaha menahan air matanya. Tangannya mengelus lembut rambut Hafis yang mulai memanjang. Sudah tiga bulan Hafis terbaring di kamar rumah sakit itu. Mita bahkan tidak tega melihatnya. Tubuh laki-laki itu semakin kurus dan lemah.

"sakitku semakin parah, Mit. Bahkan dokter saja sudah menyerah.." suara Hafis yang terbata itu, masih terdengar jelas di telinga Mita, yang membuatnya menelan ludah pahit.
"tapi kamu gak boleh menyerah, Fis. Kamu harus kuat. Demi aku. Demi cinta kita..." hibur Mita, berusaha menguatkan hatinya sendiri.

Tapi ternyata Hafis akhirnya benar-benar pergi. Penyakit kanker hati dan komplikasi yang di deritanya, telah merenggut nyawa Hafis lebih cepat. Jauh lebih cepat dari yang Mita takutkan. Mita menangis histeris, ketika ia melihat dengan jelas, tubuh laki-laki itu yang telah di kafani, masuk ke liang lahat. Beberapa orang berusaha menenangkannya dan membawanya pulang. Tapi Mita benar-benar tidak kuat, ia akhinya tidak sadarkan diri. Lebih dari seminggu, Mita tidak melakukan apa pun. Ia hanya mengurung diri di kamar.
"Mita! Kamu harus makan, nak. Kamu tidak boleh terus begini! Hafis juga tidak ingin kamu jadi seperti ini..." suara Ibunya yang setiap hari memanggilnya dari luar kamar pun tak pernah ia hiraukan.
Sampai akhirnya ia jatuh sakit dan Ibunya dengan cemas membawanya ke rumah sakit.
"ia tidak apa-apa, hanya kelelahan dan kurang makan saja.." ucap dokter, yang membuat Ibunya sedikit tenang.

"kamu harus ikhlas, Mita. Hafis sudah tenang disana. Tuhan lebih menyayanginya, Mit." ucap Ayu, sahabat Mita, mencoba menghibur Mita.
Mita perlahan mulai bangkit. Ia berusaha sekuat mungkin untuk bisa ikhlas dan merelakan kepergian Hafis. Tapi itu tidak mudah bagi Mita. Berbulan-bulan ia hidup dalam bayangan kisah cintanya dengan Hafis. Berharap semua itu hanyalah sebuah mimpi. Berharap ia bisa bertemu Hafis kembali, walau hanya dalam mimpi. Tapi hafis tak kunjung mendatanginya. Hafis benar-benar pergi!
Mita mencoba menyibukkan diri, agar ia tidak dihantui oleh bayangan wajah Hafis lagi. Ia menerima tawaran untuk bekerja di kantor desa. Sebagai pengisi kesibukannya.
Sudah lebih dari setahun Mita bekerja disana. Pelan-pelan ia sudah bisa merelakan kepergian Hafis dari hidupnya.
"gitu, dong. Senyum. Ceria gitu kan enak liatnya.." celoteh Gian, teman kerja Mita suatu hari.
Mita hanya tersenyum.

"kata pak Kades, hari ini anak-anak KKN itu akan datang.." suara Dhea dari meja kerjanya.
"baguslah! nanti kita kenalin Mita sama mereka. Siapa tahu ada yang cocok...." timpal Gian, dengan nada menggoda.
Mita sekali lagi hanya tersenyum. Terus terang, kekonyolan rekan-rekan kerjanya memang membuat Mita sering terhibur. Mita senang berada disana. Rekan-rekan kerjanya selalu bisa membuat ia tersenyum.

************

"besok kami pulang." Arul berkata dengan nada lembut, ia manatap gadis di depannya.
Sudah hampir dua bulan, Arul dan teman-temannya melaksanakan KKN disana. Tugas KKN nya sudah selesai.
"tapi aku belum mendapatkan jawaban dari kamu, Mit." lanjutnya.
Mita hanya menghela napas berat.
"kamu belum benar-benar tahu siapa aku, Rul." ucapnya ringan.
Arul mengalihkan pandangan. "secara keseluruhan mungkin tidak, Mit. Tapi Ayu sudah cerita banyak padaku." ujar Arul.

Sekilas Mita melirik ke arah laki-laki itu. Ia cukup kaget, tapi mencoba memaklumi. Ayu pasti sudah cerita banyak pada Arul tentang masa laluku. Mengingat Arul dan teman-temannya memang tinggal di rumah Ayu. Mita menarik napas lagi. Mungkin memang lebih baik Arul tahu. Pikirnya.
"aku mungkin tidak sesempurna Hafis.." Arul berujar lagi, melihat Mita hanya terdiam. "aku juga mungkin tidak mampu, menyembuhkan rasa sakit di hatimu. Apalagi menghapus kisah cinta di masa lalumu..." Arul menarik napas sejenak, "yang aku tahu, aku mencintai kamu dengan apa adanya dirimu! Aku tak peduli dengan apa yang terjadi di masa lalumu, Mit. Aku hanya telah jatuh cinta padamu! Itu saja!" lanjut Arul dengan suara bergetar.
Mita meremas jemarinya sendiri. "tapi tetap saja, ini tidak mudah bagiku, Rul.." ucapnya.

"setiap orang punya masa lalu, Mit. Tak terkecuali saya. Tapi kita hidup untuk masa depan, Mit. Karena masa lalu itu telah kita lewati." Arul berbicara sambil ia berdiri dan menatap kearah ombak-ombak kecil air laut yang membasahi pinggiran pantai. "tidak mudah memang, melupakan sesuatu yang pernah terjadi di masa lalu. Tapi biar bagaimanapun, itu semua tetaplah hanya sebuah masa lalu. Tidak mungkin terulang atau pun kembali. Apa pun itu, kita hanya harus ikhlas..." lanjut Arul lagi, ia memunggungi Mita, yang masih saja terduduk di bangku pantai.
Mita memejamkan mata sejenak. Sedikitpun ia tidak memungkiri apa yang barusan Arul ucapkan. Arul benar, Hafis hanyalah cerita di masa lalunya.
"tapi aku takut, Rul. Aku takut, kamu hanya akan menjadi tempat pelarian dari semua kesepianku selama ini.."

"aku hanya ingin tahu, Mit. Bagaimana perasaan kamu sebenarnya padaku saat ini?" Arul memutar tubuh, ia kembali menatap Mita.
"terus terang, aku bingung  dengan perasaanku sendiri, Rul. Harus kuakui, kalau aku memang menyukaimu. Aku menyukai segala kesederhanaanmu. Aku suka, saat kamu bilang kalau kamu menyukaiku. Tapi itu belum membuat aku yakin, kalau aku telah membuka hatiku.."
"setidaknya beri aku kesempatan, Mit. Untuk aku bisa menyembuhkan rasa sakitmu."
Mita hanya terdiam. Hatinya meragu.
"kesempatan seperti apa yang kamu harapkan dari orang yang pernah patah hati seperti saya, Rul?" tanya Mita akhirnya, setelah ia terdiam cukup lama.
"aku tidak bisa menjanjikan kamu apa-apa, Mit. Aku juga tidak bisa meramal masa depan. Tapi aku yakin, dengan cinta yang aku punya saat ini. Aku bisa membuatmu selalu tersenyum dan menemukan kembali kebahagiaanmu yang sempat hilang." Arul berujar, sambil sedikit menunduk. Menatap lebih lekat wajah cantik gadis yang ada di hadapannya.

"aku hanya butuh waktu, Rul. Aku butuh waktu, untuk meyakinkan diriku sendiri, bahwa aku memang mencintai kamu." Mita menatap mata teduh milik Arul cukup lama, sekedar meyakinkan dirinya sendiri, kalau Arul akan mampu membuatnya bangkit.
Arul mengangguk pelan. "yah, aku tahu. Aku akan kembali lagi nanti. Saat kamu sudah benar-benar yakin dan siap untuk memulai masa depan yang jauh lebih baik.." ucapnya. Arul berdiri kembali. Ditariknya napasnya perlahan. Menikmati angin sore yang semilir. Deburan suara ombak bergemuruh riang. Tapi bagi Arul, itu semua hanyalah nyanyian akan sebuah harapan yang tidak pernah bisa ia tebak. Mita mungkin akan mencintainya, tapi ia yakin butuh waktu lebih lama lagi, untuk Mita bisa menghapus nama Hafis di hatinya.
Arul menarik napas lagi dan memejamkan matanya, udara sore itu benar-benar membuatnya penuh harapan. Meski hatinya meragu...

Sekian..

Sebuah cerpen : Dilema hari esok...

"kamu yakin, Nur..?" laki-laki itu bertanya dengan lembut.
Nur hanya menatap laki-laki itu sekilas. Kemudian kembali menatap jauh ke arah jalan yang semakin ramai. Sudah hampir jam empat sore, kendaraan berlalu lalang kian memadati jalan raya tersebut.
"kamu sendiri sudah siap atau belum?" Nur malah balik bertanya pada laki-laki itu.
"entahlah, Nur. Andai saja ada pilihan yang lebih mudah dari ini.." suara laki-laki itu terdengar lemah.
"tapi kenyataannya kita memang harus memilih jalan ini, Jo.." Nur berucap lagi, kali ini ia tatap laki-laki itu cukup lama.
Laki-laki yang dipanggil Jo, oleh Nur itu, hanya tersenyum sekilas. Hatinya tiba-tiba merasa berat. Ia menyadari sekali, bahwa pilihan yang akan mereka ambil penuh dengan resiko.

"saya hanya merasa, kalau kita tak lebih dari dua orang jahat, yang akan menghancurkan begitu banyak harapan." Jo menghempaskan napasnya.
"cinta terkadang memang harus egois, Jo." balas Nur.
"tapi tidak dengan mengorbankan begitu banyak perasaan.."
"lalu apa kamu punya pilihan lain?"
Jo kembali menghempaskan napasnya berat. Sebenarnya begitu banyak pilihan bagi mereka, namun pilihan apa pun yang akan mereka ambil, semua mengandung resiko yang hampir sama beratnya.

"aku tahu sedikit banyak bagaimana keluarga kamu, Nur." ucap Jo akhirnya, setelah cukup lama mereka terlarut dalam lamunan mereka masing-masing. "terutama Ayah kamu. Beliau seorang yang terpandang dan sangat taat pada ajaran agamanya." lanjutnya.
"ya, aku tahu." desah Nur.
"aku tak bisa membayangkan, bagaimana reaksi beliau, jika akhirnya ia tahu..."
"Ayah pasti akan tahu, Jo. Cepat atau lambat..." potong Nur. "demikian juga keluargamu, papa mama kamu. Mereka pasti akan tahu dan tentunya akan sangat marah besar.."
"tapi saat mereka tahu, kita seharusnya sudah berada di tempat yang sangat jauh.." Jo meneguk minumannya. Suasana kafe itu masih sunyi, hanya ada beberapa orang pengunjung. Biasanya kafe ini hanya ramai pada malam hari, terutama malam minggu.

"kalau semuanya berjalan sesuai dengan rencana kita, Jo.."
"apakah ada kemungkinan kalau rencana kita akan gagal?" Jo mengerutkan kening.
"aku hanya sedang memikirkan alasan yang paling tepat kepada Ayah, agar aku bisa pergi dengan aman..." Suara Nur pelan, hatinya merasa berat.
"bukankah tadi kamu mengatakan, kalau kamu akan beralasan untuk pergi ke tempat Yani di Batam?!"
"iya. Tapi tidak mudah meyakinkan Ayah, kecuali ia mendengarnya langsung dari Yani..."
"kamu bisa telpon Yani dan minta tolong sama dia, agar bisa menyakinkan Ayahmu.."
Nur hanya mengangguk. Bukan itu persoalan terberatnya bagi Nur. Keputusan mereka untuk pergi, Nur sadar betul, itu adalah sebuah kesalahan. Tapi Nur terlalu mencintai Jo.

Hampir empat tahun mereka pacaran. Nur tak lagi ragu dengan perasaannya terhadap Jo. Nur benar-benar mencintai Jo. Hubungan mereka selama empat tahun ini juga baik-baik saja. Meski mereka harus menjalin hubungan secara diam-diam.
Nur masih ingat, ia bertemu Jo empat tahun lalu, di kantin kampus. Pertemuan yang tak sengaja yang menghadirkan benih-benih cinta diantara mereka berdua. Mereka sering jalan bareng, ngampus bareng, hingga akhirnya mereka memutuskan untuk menjalin hubungan yang lebih serius.

"kamu yakin, Nur?" tanya Yani, sahabat Nur, ketika Nur cerita tentang hubungannya dengan Jo.
Nur mengangguk mantap waktu itu.
"tapi kalian kan..."
"iya, aku tahu." Nur memotong cepat. "tapi kami saling mencintai, Yan. Meski kami tahu, ada perbedaan diantara kami. Tapi kami yakin, itu tidak akan menjadi penghalang hubungan kami."
"saran saya sih, Nur. Lebih baik kamu pikir-pikir dulu, dari pada nanti hubungan kalian semakin serius. Dan kamu tahu, konsekuensinya apa? Pada akhirnya kamu harus memilih antara keluargamu atau Jo." Nur tersenyum kecut, ia harus akui kalau yang diucapkan Yani ada benarnya. Tapi ia dan Jo baru saja memulainya.

************

"Ayah tidak setuju!" ucap Ayah Nur, dengan muka memerah. Ketika dengan cukup berani akhirnya Nur dan Jo datang kerumahnya dan meminta restu, setelah hubungan mereka berjalan lebih dari tiga tahun.
"tapi, yah.."
"cukup, Nur!" laki-laki itu berdiri menatap tajam kearah Nur. Dia sudah menahan amarahnya dari tadi, sebelum Jo pamit pulang. "apa pun alasannya, Ayah tidak akan pernah sudi punya menantu yang tidak se aqidah dengan kita. Kamu jangan mempermalukan keluarga, Nur. Kita ini dari keluarga muslim yang taat. Kamu harusnya bisa berpikir, sebelum memutuskan untuk berhubungan dengan laki-laki itu. Laki-laki yang jelas bukan seorang muslim. Laki-laki yang tidak seagama dengan kita!" suara Ayah masih terdengar kasar. Nur hanya bisa tertunduk. Ia tahu Ayahnya akan marah, tapi Jo yang bersikeras untuk datang.
Sekarang Ayah dan keluarganya sudah tahu tentang hubungan mereka.
"pokoknya Ayah tidak mau tahu, kamu harus segera mengakhiri hubunganmu dengan laki-laki itu. Dan jangan pernah bermimpi untuk mendapat restu dari Ayah!"

Nur menangis semalaman. Hatinya hancur. Tapi cintanya pada Jo sangat besar. Ia tak mungkin memutuskan Jo. Ia tak mungkin membunuh cintanya untuk Jo. Meski ia tahu resiko yang akan ia dapat.
"Ayah sangat marah, Jo. Beliau meminta kita untuk mengakhiri hubungan ini.." cerita Nur esoknya.
Jo terdiam sesaat. Hatinya pilu.
"aku udah cerita sama mama papa tentang hubungan kita. Mereka juga memarahiku, dan meminta kita untuk putus.." Jo berkata pelan.

Tapi mereka saling mencintai. Meski tidak mendapat restu dari keluarga. Mereka tetap berhubungan. Mencuri-curi waktu agar bisa bersama. Mereka bahagia dengan semua itu. Sampai akhirnya...

"kita kawin lari aja, Nur!" ucap Jo sore itu, mengawali pembicaraan. Mereka duduk di sebuah kafe, tempat biasa mereka bertemu.
Lama Nur menatap Jo tanpa kedip. Mencoba memahami apa yang dipikirkan Jo, sampai ia bisa berkata demikian.
"sampai kapan pun mereka tidak akan pernah merestui hubungan kita, Nur. Dan aku terlalu mencintai kamu. Aku tak ingin kehilangan kamu. Aku ingin kita tetap bersama selamanya..."
"aku juga sangat mencintai kamu, Jo. Tapi apa dengan lari, itu bisa menyelesaikan masalah?"
"lalu apa kamu punya cara lain?" tanya Jo.
Nur terdiam. Jo benar. Bathinnya.
"kita bisa pergi ke Bali. Disana aku punya seorang teman. Aku yakin beliau tidak akan mempermasalahkan tentang status kita. Aku juga bisa dapat pekerjaan disana.." ujar Jo lagi.

Begitulah akhirnya. Setelah Jo berhasil meyakinkan Nur. Mereka memutuskan untuk pergi dari rumah. Mengatur rencana agar kepergian mereka tidak terlalu mencurigakan. Nur berencana meminta izin Ayahnya untuk jalan-jalan ke Batam, ke tempat sahabatnya, Yani. Dan Jo berusaha pergi secara diam-diam.

************

Nur meneguk minumannya. Ia menarik napas sangat panjang. Pikirannya menerawang. Memikirkan semua rencana mereka untuk pergi. Nur membayangkan bagaimana reaksi Ayahnya, ketika tahu kalau Nur pergi bersama Jo. Nur membayangkan betapa malunya Ibu, ketika orang-orang tahu Nur melarikan diri bersama laki-laki non Muslim. Ibunya yang sering ikut pengajian. Dan Ayahnya yang seorang Imam Mesjid. Nur akan sangat mencoreng muka keluarganya sendiri.
Nur tertunduk, matanya tiba-tiba berkaca. Tak pernah ia bayangkan sebelumnya, jika semua akan menjadi serumit ini. Yani benar, pada akhirnya ia harus memilih antara Jo atau keluarganya. Antara mempertahankan cintanya dengan Jo, atau menjaga nama baik keluarganya. Hati Nur merintih pilu.

"aku rasanya gak sanggup, Jo.." suara Nur serak.
"kalau begitu, kamu gak benar-benar mencintaiku.." balas Jo ringan.
"aku mencintai kamu, Jo. Aku bahkan sangat mencintai kamu. Tapi apa artinya semua itu, kalau kita harus kehilangan keluarga kita."
"suatu saat mereka juga akan sadar, dan memaafkan kita.." ujar Jo lagi.
"gak semudah itu, Jo..."

"kamu pikir, aku gak merasa berat berpisah dengan keluargaku?" tanya Jo, suaranya sedikit meninggi. "berat, Nur. Tidak mudah bagiku untuk membuat keputusan ini. Tapi ini semua demi kita. Demi cinta kita. Kamu sendiri yang meyakinkanku, bahwa kamu akan rela melakukan apa pun, asal kita tetap bersama. Kamu akan melakukan apa pun, untuk mempertahankan cinta kita.." lanjut Jo, suaranya justru terdengar parau.
Nur merintih lagi dalam hati. Sedikitpun ia tidak memungkiri apa yang Jo ucapkan barusan. Tapi seegois itukah cinta? tanyanya membathin. Bukankah cinta diciptakan untuk menyatukan perbedaan? Tapi mengapa cinta tak bisa berbuat apa-apa, ketika perbedaan menjadi alasan untuk tidak bisa bersatu?

"aku rasa, keputusan kita terlalu cepat, Jo." Nur akhirnya berbicara pelan, "alangkah lebih baiknya, kita selesaikan saja dulu kuliah kita. Lalu kemudian, kita bisa pikirkan apa yang harus kita lakukan ke depannya." lanjutnya.
Jo mendongak. Menatap mata Nur tajam. "lalu bagaimana dengan hubungan kita?" tanyanya.
"kita jalani seperti biasa, Jo. Kalau memang kita berjodoh, takdir pasti akan menyatukan kita." jawab Nur merasa sedikit bijak.
Jo memalingkan muka, menatap lalu lalang kendaraan. Sore sudah mulai gelap. Pengunjung kafe semakin ramai.
"cinta seharusnya mampu menciptakan keindahan, Jo. Kita bukan dua orang jahat, yang harus menghancurkan begitu banyak harapan. Kalau pun harus ada yang hancur, itu bukan harapan, Jo. Tapi mungkin hati kita.."
Setelah berucap demikian, Nur berdiri. "kita pulang, Jo. Begitu banyak cinta di rumah kita, dan cinta kita bukanlah apa-apa, dibandingkan itu semua..."

Nur melangkah pergi keluar dari kafe. Jo hanya terdiam. Terbayang olehnya senyuman tulus mamanya. "hidup ini pilihan, nak. Namun selalu ada konsekuensi dari sebuah pilihan, apa pun itu." terngiang kata-kata mamanya tiba-tiba. Jo menarik napas perlahan dan menghembuskannya berat. Mungkin memang lebih baik begini. Pikirnya, sambil melangkah pergi.
Sekian...

Cerita kehidupan : Seorang laki-laki muda dan gadis kecil penjual kue...

Gadis kecil itu melirik dagangannya sekilas. Tak satupun dagangannya laku hari ini. Meski ia sudah berkeliling sekian jauh, bahkan lebih jauh dari hari biasanya.
Matahari sudah mulai meninggi, biasanya dagangannya sudah laku lebih dari separoh. Sampai siang dagangannya akan habis.
Tapi hari ini tak ada satupun orang-orang yang mau melirik dagangannya, bahkan pelanggan yang biasanya setiap hari membeli kue nya, hari ini tidak ada yang membeli.
"maaf, dek. Tadi Ibu udah beli kue di warung.." salah seorang Ibu langganannya beralasan. Gadis kecil itu hanya menghela napas, dia melanjutkan langkahnya.

Tapi gadis kecil itu belum berputus asa. Dia terus menangkah sambil menjajakan dagangannya.
"kue, kue..." serunya disepanjang gang yang ia lewati. Namun tetap saja tidak ada satu pun yang memanggilnya untuk membeli.
Gadis kecil itu merasa lelah, kemudian ia istirahat sejenak di ujung gang, tak jauh dari jalan besar. Hiruk pikuk kendaraan terdengar sangat ramai di telinganya.
Kue-kue nya sudah mulai dingin.

Tiba-tiba seseorang menyentuh pundaknya. "adek jualan kue?" tanya orang itu pelan.
Gadis kecil itu menatap kearah orang itu, seorang laki-laki muda dengan pakaian rapi, duduk disampingnya.
Gadis itu menggangguk. "boleh saya coba?" tanya laki-laki itu lagi.
"boleh om.." balas gadis itu, sambil membuka tutup keranjang tempat kuenya.
Laki-laki itu mengambil sebuah kue tersebut dan mulai memakannya.
"hhmm.. enak kuenya.." ujar laki-laki itu, "kamu jual berapa satu bijinya?"
"seribu, om.." jawab Gadis itu tersenyum senang.
"oh.. siapa yang bikin?" tanya laki-laki itu lagi, sambil terus mengunyah.
"Ibu, om.."
"kamu gak sekolah?"
"gak, om. Kata Ibu, biar adik-adik saja yang sekolah.."
"adik kamu ada berapa?"
"dua, om. Yang kecil belum sekolah. Yang satu udah kelas dua SD."
"kamu usianya berapa?"
"sepuluh tahun.."
"selain buat kue, Ibu kamu kerja apa?"
"Ibu gak kerja. Ibu hanya bisa bikin kue."
"kenapa?"
"Ibu mengalami kecelakaan dua tahun yang lalu. Kakinya harus di amputasi. Sekarang Ibu gak bisa jalan. Ibu hanya bisa bikin kue dirumah, sambil saya bantu."
"Ayah kamu?"
"udah meninggal, om. Waktu kecelakaan sama Ibu.."
Laki-laki itu menatap gadis itu dengan rasa iba.

"kamu gak malu, jualan seperti ini?" tanya laki-laki itu lagi.
"gak, om. Kata Ibu, yang penting kita gak mengemis.."
"tadi saya lihat kamu murung. Kenapa?"
"hari ini kue saya belum ada yang beli. Padahal Ibu lagi butuh tambahan uang, buat bayar kontrakan."
Laki-laki itu manggut-manggut kecil. Rasa iba nya semakin menjadi. Ia membayangkan anak sekecil itu sudah harus bersusah payah untuk mencari uang, dengan berjualan kue keliling. Semua itu ia lakukan untuk membantu Ibunya yang cacat.
Laki-laki itu berpikir keras sejenak.

"kamu lihat toko diseberang sana?" tanya laki-laki itu kemudian.
Gadis kecil itu hanya mengangguk. Ia melihat dis seberang ada sebuah toko roti yang sedang ramai.
"itu toko om.." ujar laki-laki itu lagi.
Gadis kecil itu tertunduk, ia tatap kue-kuenya. Tentu saja, dibandingkan roti-roti yang ada di dalam toko tersebut, kuenya tidak ada apa-apanya.
"roti-roti disana pasti mahal-mahal, om. Tapi masih banyak yang beli. Saya hanya jual kue ini seribu, tetap saja tidak ada yang mau beli.." ucap gadis itu lemas.

Laki-laki muda itu menyentuh pundak gadis kecil itu. "berdagang itu, bukan hanya soal harga. Tapi juga kualitas.."
"tapi kue buatan Ibu ku enak kok, om. Banyak yang bilang begitu.." balas gadis itu sedikit sengit.
"iya. Om tahu. Kue kamu memang enak. Tapi pembeli juga melihat kemasannya. Kamu jualan kue hanya memakai keranjang begini. Orang-orang jadi ragu, kue kamu itu bersih atau tidak."
"bersih kok, om.."
"iya. Itu menurut kamu. Tapi tidak semua orang menilainya begitu.."
"selama ini orang-orang banyak yang beli kue saya, hari ini saja yang belum laku.."
"itu karena orang-orang banyak yang kasihan melihat kamu. Masih kecil begini sudah jualan kue. Lagian yang beli pasti kebanyakan orang-orang yang sudah tahu kondisi keluarga kamu.." ucap laki-laki itu pelan.

Gadis kecil itu hanya termangu. Mencoba memahami ucapan laki-laki itu barusan. Harus ia akui, kalau selama ini yang beli kuenya memang orang-orang yang tinggal di komplek perumahannya, dan sebagian besar memang orang-orang yang sudah ia kenal.
"itu namanya strategi pemasaran. Ibu kamu memanfaatkan kamu untuk menjajakan kue, agar orang merasa kasihan dan akhirnya membeli kue kamu.."
"tapi, om.."
"iya. Om tahu. Ibu kamu memang tidak bermaksud begitu. Tapi itu adalah fakta yang terjadi." potong laki-laki itu cepat. "Ibumu gak salah. Kamu juga gak salah. Keadaanlah yang memaksa kalian untuk melakukan semua itu. Om ngerti.." lanjutnya.

Gadis kecil itu terdiam kembali. Otak kecilnya mencoba memahami maksud dari semua perkataan laki-laki muda tersebut. Ada perasaan tersinggung di hati kecilnya. Tapi ia hanya tetap diam.
"lalu sampai kapan kalian akan bertahan dengan kondisi seperti itu?" tanya laki-laki itu.
Gadsi kecil itu hanya menggeleng. Ia tidak mengerti. Yang ia tahu, ia harus berjualan setiap hari, agar bisa menghasilkan uang untuk membeli keperluan hidup mereka sehari-hari. Walau hasil dagangannya hanya bisa untuk membeli bahan-bahan untuk membuat kue, dan sisanya akan habis menjelang malam. Selalu begitu setiap hari. Sementara kebutuhan mereka semakin hari semakin banyak. Tapi gadis itu tidak berpikir sampai sejauh itu. Dia hanya seorang gadis kecil yang berusaha membantu Ibu dan adik-adiknya agar tetap bisa menghasilkan uang.

"kita sama-sama menjual kue. Cuma bedanya, saya memasarkannya dengan cara yang modern. Dan kamu memasarkannya dengan cara tradisional. Tentu saja hasilnya akan jauh berbeda.." laki-laki itu berucap lagi, sambil menatap gadis itu lama.
"maafkan om, ya. Om tidak bermaksud apa-apa. Om hanya mengajarkan kamu beberapa hal dalam hidup. Selain bekerja keras, hidup juga harus cerdas.."

"dulu waktu masih sekolah, saya juga cerdas, om. Saya selalu rangking satu di kelas.." ucap gadis itu, dengan sedikit bangga.
Laki-laki itu tersenyum. "tapi nyatanya sekarang kamu hanya jualan kue, kan?"
Gadis kecil itu tertunduk lesu. "itu artinya kamu belum benar-benar cerdas.." laki-laki itu melanjutkan ucapannya.

"kamu tahu, bagaimana caranya agar kamu semakin cerdas?"
Gadis itu menggeleng lemah.
"kamu harus sekolah!" jawab laki-laki itu.
"saya pengen banget sekolah, om. Tapi kalau saya sekolah, siapa yang bantu Ibu buat jualkan kue-kue nya. Lagi pula Ibu juga tidak mampu bayar sekolah saya.." gadis kecil itu berkata lagi dengan wajah murung.
"kamu mau sekolah lagi?" tanya laki-laki itu.
Gadis itu hanya mengangguk lemah. Ia sadar betul, impiannya untuk bisa sekolah lagi tidak mungkin bisa terwujud. Meski sudah hampir dua tahun ini ia selalu berharap bisa sekolah lagi.
"kamu mau, om kasih tahu caranya, agar bisa sekolah lagi, tapi tetap bisa bantu Ibu kamu berjualan kue?" tanya laki-laki itu dengan mimik serius.
Gadis itu mengangkat kepalanya dan menatap laki-laki itu cukup lama.
"gimana caranya, om?" tanya gadis itu.

"setiap pagi kamu bawa kue jualan yang dibuat Ibu kamu ke toko seberang sana. Kamu titip kue kamu di toko itu, nanti saya suruh karyawan saya membungkus kue kamu dengan rapi, agar lebih menarik. Kue kamu saya beli seribu perbijinya. Saya jual lagi seribu lima ratus, untuk upah bungkusnya. Dan sepulang sekolah kamu bisa mampir lagi ke toko, untuk mengambil uang hasil penjualan kue kamu hari itu. Semakin banyak kue yang kamu jual, semakin besar keuntungan yang kamu dapat."
Gadis itu mengangguk kecil, mencoba memahami lagi setiap kalimat yang diucapkan laki-laki muda tersebut. Meski sedikit bingung, tapi gadis itu paham apa yang dimaksud laki-laki itu.

"lalu sekolah saya, om?" tanyanya.
"kamu gak usah kuatir. Gak usah memikirkan soal biaya sekolah kamu juga. Om yang akan urus semuanya. Om akan membiayai sekolah kamu, sampai kamu bisa mandiri. Dan tolong sampaikan sama Ibu kamu, agar membuat kue lebih banyak dari biasanya serta buatlah kue dengan berbagai jenis.." ucap laki-laki itu sambil mengusap lembut kepala gadis kecil itu.

Setelah berpikir sejenak. Gadis itu akhirnya tersenyum lebar. "ini benaran kan, om?" tanyanya, "saya bisa sekolah lagi..?" lanjutnya sedikit girang.
Laki-laki itu tersenyum lembut dan mengangguk.
"terima kasih, om.." ucap gadis kecil itu, sambil berusaha memeluk laki-laki itu.
Laki-laki muda itu merangkul gadis kecil itu, matanya berkaca. Ia terharu melihat betapa gembiranya gadis kecil itu bisa sekolah lagi.
"dan hari ini, kue kamu om borong semua, biar Ibumu bisa bayar kontrakan." ucap laki-laki itu sambil melepaskan dekapannya. "tapi kamu harus janji sama om. Kalau kamu harus belajar dengan rajin. Dan kamu harus jadi anak yang cerdas.."
"iya, om. Saya akan belajar yang rajin, agar menjadi anak yang cerdas.." Gadis itu berkata penuh semangat.

**************

Gadis kecil penjual kue itu, berlari-lari kecil menuju komplek perumahannya, sambil sedikit bersenandung riang. Hatinya begitu bahagia. Akhirnya ia bisa sekolah lagi, sambil tetap bisa bantu Ibunya berjualan. Ia ingin cepat pulang, ia ingin cepat sampai di rumah. Ia ingin segera menceritakan semua kabar gembira yang ia dapat hari ini, kepada sang Ibu.
Ibunya pasti sangat senang. Pikir gadis kecil itu, sambil terus melangkah.

Sementara itu, dari kejauhan laki-laki muda tersebut menatap kepergian sang gadis dengan perasaan  campur aduk. Air mata yang tadinya ia tahan, akhirnya menetes perlahan membasahi pipinya. Pikirannya menerawang. Ia teringat kembali peristiwa dua tahun silam. Peristiwa yang terus membebaninya selama dua tahun ini.

Peristiwa itu terjadi begitu cepat. Ketika waktu itu laki-laki muda tersebut harus buru-buru pulang kembali, walau ia baru saja sampai ke tokonya. Karena ia baru saja dapat kabar dari Ibunya, kalau Ayahnya tiba-tiba terkena serangan jantung dan harus segera di bawa ke rumah sakit.
Laki-laki muda tersebut menyetir mobilnya dengan kecepatan penuh dan dengan perasaan cemas, takut ia terlambat sampai ke rumah. Sehingga tanpa ia sadari, sebuah sepeda motor, tiba-tiba muncul dari sebuah gang yang membuat laki-laki muda itu kaget dan segera membanting stir mobilnya. Namun ternyata ia sudah terlambat, sepeda motor itu mengenai ban belakang mobilnya, sehingga mengakibatkan sepeda motor tersebut terlempar ke trotoar jalan.
Laki-laki itu semakin kaget, ia termangu beberapa saat. Namun kembali ia teringat akan Ibunya yang sedang menunggunya di rumah, untuk membawa Ayahnya ke rumah sakit.

Segera laki-laki menginjak pedal gas mobilnya lagi, tak pedulikan keadaan pengendara sepede motor yang menabrak mobilnya. Sekilas laki-laki itu melihat melalui spion mobilnya, orang-orang mulai berkerumunan mendekati pengendara sepeda motor yang mengalami kecelakaan tersebut. Laki-laki muda tersebut juga masih sempat melihat, kalau pengendara sepeda motor tersebut ialah seorang laki-laki yang membonceng seorang perempuan. Namun laki-laki itu, terus saja melaju menuju rumahnya, meski dengan perasaan penuh rasa bersalah.

Berbulan-bulan laki-laki muda itu berusaha mencari tahu, tentang korban kecelakaan pada hari itu. Akhirnya setelah dengan sangat susah payah, ia mendapatkan info tentang pengendara sepede motor tersebut, yang dikabarkan meninggal, sedangkan wanita yang diboncenginya mengalami cedera pada kakinya. Laki-laki itu tidak pernah menceritakan kejadian tersebut kepada siapa pun. Peristiwa hari itu, benar-benar membuat ia terguncang. Meski ia berhasil membawa Ayahnya ke rumah sakit, namun selang beberapa hari, Ayahnya pun akhirnya meninggal karena serangan jantung.

Perasaan sedih karena kehilangan Ayahnya, sekaligus perasaan bersalah karena telah mengakibatkan sebuah kecelakaan yang merenggut nyawa seseorang yang tidak bersalah, selalu menghantuinya sepanjang malam.
Diam-diam laki-laki muda itu, mencari tentang keberadaan wanita yang cedera tersebut. Sampai akhirnya ia tahu, kalau wanita itu ternyata mengalami cacat pada kakinya yang mengakibatkan ia tidak bisa berjalan.  Sementara wanita itu masih punya tiga anak yang harus ia besarkan tanpa suaminya yang telah meninggal.
Perasaan bersalahnya kian besar dari hari ke hari, namun ia tidak pernah tahu bagaimana caranya untuk menembus rasa bersalah tersebut.
Saat laki-laki muda itu tahu, kalau gadis kecil penjual kue tersebut adalah anak dari korban kecelakaan tersebut, ia berusaha mencari cara agar bisa membantu keluarga tersebut.

"gadis kecil penjual kue tersebut tidak boleh tahu. Mereka tidak boleh tahu, kalau aku adalah yang telah mengakibatkan gadis kecil itu kehilangan Ayahnya.." laki-laki itu membathin penuh penyesalan. "biarlah semua tetap seperti ini. Tidak ada yang perlu tahu, karena itu tidak akan merubah apa pun yang telah terjadi.." bathinnya lagi, sambil melangkah meninggalkan gang tersebut menuju tokonya.

Sekian...

Sebuah cerpen : Ketika hati harus memilih


Kutatap wajah cowok itu lekat-lekat, mencari setitik kejujuran dari setiap kalimat yang barusan diucapkan dengan jelas ditelingaku.
Cowok itu menundukkan pandangannya.
Kutarik napasku perlahan, hanya untuk menenangkan hatiku. Tiba-tiba saja aku merasa jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya. Kumainkan sapu tangan merah jambu yang kupegang sejak tadi. Aku memang selalu membawa sapu tangan itu, kemana pun aku pergi. Bukan apa-apa, sakit flu ku sudah hampir dua bulan ini belum sembuh-sembuh.

Melihat cowok itu tertunduk, aku segera mengalihkan pandanganku ke depan. Menatap hilir mudik para nelayan ikan yang mengayuh sampan mereka dengan sedikit terlihat lelah. Kami duduk dipinggiran sungai, di ujung kampung. Sebuah tempat yang indah dan menenangkan. Dari sini kami bisa melihat para nelayan yang sedang menjaring ikan disungai, dan juga melihat rumah-rumah penduduk, yang tersusun acak sepanjang pinggiran sungai, dari kejauhan. Aku dan beberapa orang teman memang sering nongkrong disini, hanya sekedar menghindari kesibukan kami dirumah.



Cowok itu masih tertunduk.
"sekarang terserah kamu, Mar." suara berat cowok itu terdengar lagi, "yang penting aku sudah ungkapkan semuanya.."
"aku bingung, Am..." hanya itu yang keluar dari mulut keringku. Matahari memang cukup menyengat sore itu.
Am, cowok itu, sedikit mengangkat kepalanya keatas dan menatapku lembut. Tatapan yang begitu mempesona bagiku. Mata sendu cowok itu, mampu memikat cewek mana pun yang ia inginkan. Aku mengagumi mata itu.
"kenapa?" tanyanya.
"kemarin aku bertemu Izul." balasku ringan, kulihat Am mengerutkan kening.
"lalu?" tanyanya lagi, seperti penasaran, "bukannya kalian sudah lama putus?" lanjutnya.
"dia ingin kami balikan lagi.."
"kamu masih mencintainya?"
"entahlah, Am. Aku bingung dengan perasaanku sekarang..." balasku, sambil membersit hidungku yang berair. Kusapu hidungku dengan sapu tangan.

"apa itu artinya aku tidak punya kesempatan sama sekali?" Am berujar lagi, suaranya terdengar serak.
"kalian bersahabat sudah sejak lama, Am. Bahkan jauh sebelum aku dan Izul jadian dulu." balasku.
Aku ingat waktu pertama kali dulu Izul mengungkapkan cintanya padaku, Am bahkan ketika itu ikut membantu meyakinkanku, kalau Izul benar-benar serius.
Aku memang menyukai Izul waktu itu, cowok itu memiliki wajah yang tampan. Banyak cewek lain yang mendambakannya, tapi ia memilihku untuk jadi pacarnya.
Namun ternyata hubungan kami tidak bertahan lebih dari setahun. Izul memutuskanku tanpa alasan. Aku sempat patah hati dan kecewa. Tapi aku mencoba menerima keputusan itu, walau dengan hati sakit.

Beberapa hari yang lalu, Izul meminta aku untuk balikan lagi sama dia. Aku belum memberi jawaban apa-apa. Enam bulan kami putus, rasanya hatiku masih sakit. Luka itu belum benar-benar kering. Aku mulai berpikir, kalau Izul hanya sekedar mempermainkanku.

Dan sekarang, Am, sahabat baik Izul, dengan jelas tadi mengatakan kalau ia juga menyukaiku. Bahkan sudah sejak lama. Namun karena ia tahu aku dan Izul berpacaran, ia hanya memendamnya selama ini.
Terus terang, aku memang mengagumi sosok Am. Cowok itu sangat baik dan perhatian. Kalau soal tampang, keduanya punya kelebihannya masing-masing. Izul dengan lesung pipinya yang manis dan Am dengan tatapan matanya yang sendu.
Namun ini bukan lagi tentang fisik, tapi juga tentang hati.
Izul yang sempat menghiasi hidupku dengan cintanya yang indah hampir setahun, telah membuatku hampir mengenalinya secara utuh. Meski pada akhirnya aku harus menelan kekecewaan, karena keputusannya yang tiba-tiba. Tanpa sebab. Tanpa alasan yang jelas.

Sedangkan Am, dengan segala kesederhanaannya datang dalam kehidupanku, pada saat aku justru butuh tempat untuk berbagi. Dia yang selalu menemaniku selama ini. Selama masa-masa kekecewaanku. Hampir enam bulan aku dan Am berteman dekat, sedikit banyaknya aku tahu bagaimana sifat Am. Dia juga yang telah membuatku bangkit dari kekecewaanku.
"kamu itu cantik, Mar. Banyak cowok yang menginginkan kamu. Kenapa Kamu harus hidup dalam kekecewaan terus menerus, hanya karena cowok seperti Izul.." begitu ucap Am selalu, setiap kali melihat aku bersedih.
Aku tahu, sejak Izul memutuskanku, hubungan persahabatan Izul dan Am kian renggang. Aku juga tahu, kalau Am sebenarnya sangat marah pada Izul, karena telah membuatku kecewa. Biar bagaimanapun ia merasa ikut bertanggungjawab, karena dulu ia yang bersikeras agar aku mau menerima cinta Izul.

"kalau kamu bingung, kamu tak harus jawab sekarang." suara Am membuyarkan lamunanku.
Aku tatap lagi cowok itu, ada segurat kekecewaan kulihat dimatanya yang sendu.
"aku tahu, aku datang pada saat yang kurang tepat." lanjut Am, "tapi aku tak ingin terlambat lagi, seperti dulu..."
"terlambat lagi..?" desahku.
"iya. Seperti dulu, waktu Izul bilang suka sama kamu. Sebenarnya aku juga ingin mengungkapkan perasaanku waktu itu, tapi karena Izul sudah berterus terang kalau ia suka sama kamu. Aku mundur. Dan mencoba ikut bahagia dengan hubungan kalian, walau hati kecilku tetap tidak rela.."
Aku mendengar ketulusan dari suara itu. Hatiku semakin bimbang.

****************

"aku hanya mau tahu, mengapa kamu memutuskanku tiba-tiba waktu itu?" tanyaku pada Izul yang duduk tenang di sampingku. Setelah seminggu, Izul akhirnya mengajakku bertemu lagi, hanya untuk memastikan jawabanku. Kami bertemu di tempat biasa. Di ujung kampung.
Ku dengar Izul menarik napas, cukup panjang. Kemudian ia hempaskan napas itu perlahan.
"haruskah aku jawab?" ia justru balik bertanya.
"iya!" ucapku tegas. "karena sekarang kamu ingin kita balikan lagi, Zul. Dan aku harus tahu alasan kamu. Aku hanya tak ingin jadi permainan kamu, Zul.." lanjutku lebih lembut.

Izul kembali menarik napas berat. "karena aku tidak ingin bahagia diatas penderitaan sahabatku sendiri.." ucapnya kemudian.
Aku menatapnya tajam, "maksud kamu?"
"aku tahu Am juga mencintai kamu, Mar. Sejak dulu malah. Tapi ia sengaja mengalah untukku." jawab Izul, suaranya datar. "awalnya aku mencoba untuk tidak memperdulikan hal itu, karena aku memang benar-benar mencintai kamu, Mar. Tapi kemudian aku sadar, kalau kebahagiaanku denganmu, telah menghancurkan hati sahabatku sendiri. Untuk itu aku memilih untuk mengakhiri hubungan kita." Izul melempar sebongkah batu kecil ke tengah sungai. "aku tahu kamu sakit dengan keputusanku, dan Am juga sangat marah padaku. Tapi menurutku itu mungkin jauh lebih baik. Aku sengaja menghindar dari Am, hanya agar dia punya waktu lebih untuk menghibur kamu.."

Aku tercenung beberapa saat, mencoba memahami semuanya. Tapi aku tetap belum bisa menerima semua itu. "lalu mengapa sekarang, kamu ingin kita kembali lagi?" tanyaku pada akhirnya, dalam ketidakrelaan hatiku.
"karena aku telah sadar, bahwa jauh darimu adalah sebuah penyiksaan bagiku. Penyiksaan yang teramat sakit! Aku tak mampu menghapus bayangan wajahmu dari benakku. Aku tersadar, kalau sebenarnya aku tak mampu melanjutkan hidupku, tanpa ada kamu di sisiku.." ucapan itu benar-benar membuatku tertunduk. Tak kusangka begitu besar cinta Izul untukku. Tak kusangka juga, kalau ia rela mengorbankan cintanya demi menjaga persahabatannya.
Tiba-tiba aku merasa terharu.

"lalu bagaimana dengan Am sekarang?" tanyaku dengan suara parau.
"aku tahu, Am sangat mencintai kamu, Mar. Aku juga tahu, kalau Am sudah mengungkapkan itu semua padamu. Tapi aku benar-benar tidak bisa ikhlas, kalau kamu harus bersama Am."
"aku tak ingin merusak persahabatan kalian, Zul."
"tidak ada yang merusak persahabatan kami, Mar. Tidak juga kamu. Tapi waktu dan keadaan lah yang telah mengubah segalanya. Kalau pun ada yang telah merusaknya, itu adalah perasaan kami sendiri."

Aku tercenung lagi. Senja sudah mulai datang, aku menatap ke arah matahari yang mulai tenggelam. Kepalaku terasa berdenyut. Aku tidak tahu, harus mengatakan apa saat ini.
"siapa pun yang kamu pilih pada akhirnya, Mar. Tidak akan mengubah apapun yang telah terjadi! Tidak juga akan memperbaiki persahabatan kami..." suara Izul menggema di gendang telingaku.
Pelan aku bangkit dan berdiri, aku melangkah meninggalkan Izul sendirian, tanpa sepatah kata pun.

************

"Marisa! Tunggu!" Sebuah suara menghentikan langkahku. Aku memutar tubuh. Dewi, teman dekatku, berlari kecil mendekatiku. Sudah hampir seminggu, aku tidak pernah bertemu Izul atau pun Am lagi. Aku masih terlalu takut untuk memutuskannya. Disatu sisi aku memang mengagumi sosok Am yang sederhana dan santun. Namun di sisi lain hatiku, aku juga belum bisa melupakan Izul seutuhnya. Dan terlebih lagi, aku benar-benar tak ingin merusak hubungan persahabatan mereka.
"ada apa?" tanyaku, ketika Dewi sudah berdiri di depanku dengan napas terengah.
"nih!" secarik kertas diberikannya padaku.
"apa ini?" tanyaku lagi.
"kamu buka aja.." jawab Dewi, sambil mengatur napasnya.
Kubuka lipatan kertas itu, sebait tulisan tertulis disana.

"maafkan aku. Aku harus pergi. Aku hanya ingin kamu bahagia, meski bukan denganku. Tapi aku harus pergi, karena hatiku belum siap untuk terluka. Hatiku belum siap melihat kamu bahagia dengan orang lain, sekalipun itu sahabatku sendiri. Aku tahu kalian saling mencintai, dan aku tak ingin jadi penghalang untuk cinta kalian berdua."

Kenapa kamu harus pergi, Am. Padahal aku belum memutuskan apa-apa. Bathinku merintih.
"kenapa?" tanya Dewi, melihat mataku yang tiba-tiba berkaca.
Aku hanya menggeleng. Kulipat lagi kertas itu.
"Izul tulis apa sih, Mar? Sampai kamu harus sesedih itu.." ucap Dewi lagi, yang membuatku menatapnya tak mengerti.
"Izul?" tanyaku.
"Iya. Izul, Mar. Izul yang memberikan kertas itu padaku. Dia pesan, agar aku segera memberikannya padamu." jawaban Dewi justru membuatku semakin berkaca. Sekuat mungkin aku menahan hatiku, aku tak ingin tangisku tumpah saat itu.
"sekarang dimana dia?" tanyaku dengan suara serak, menahan gejolak dihatiku.
Dewi hanya mengangkat kedua bahunya, sambil menggeleng. Keningnya berkerut, penuh tanya. Direbutnya kertas itu dari tanganku. Lalu membacanya.
"pantas.." ucap Dewi pelan, setelah selesai membaca kalimat itu.
"pantas kenapa?" tanyaku penasaran.
"tadi waktu Izul memberikan kertas ini, ia sepertinya buru-buru dan berpakaian cukup rapi. Dan ia juga membawa tas besar.." jelas Dewi, yang membuatku semakin nelangsa. Tanpa sadar air mataku pun menetes perlahan...

Sekian...

Sedih banget, “Aku gak sekolah lagi, Ayah. Tapi gak apa-apa, kok…”

Selesai melaksanakan sholat ied, Al, anak laki-laki yang berusia sekitar sembilan tahun itu, melangkahkan kakinya dengan cepat menuju ujung gang yang berada tak jauh dari masjid tempat ia sholat tadi. Kaki kecil itu melangkah tertatih.

Hati Al bergemuruh, menahan rindu. Ditatapinya sandal jepit yang dipakainya, ada lobang kecil dihampir setiap ujung jarinya. Al hanya tersenyum kecil melihat itu, ia merasa lucu.

Kemudian tatapannya dialihkan kearah sarung bermotif kotak-kotak warna jingga bercampur abu-abu yang dipakainya. Senyumnya mengembang lagi, sarung itu ia temukan di dekat jembatan. Ada yang sengaja membuangnya disana. Al memungutnya, karena sarungnya masih bisa dipakai, meski ada sobekan panjang dibagian atasnya. Tapi kan gak kelihatan, pikirnya.

Baju yang dipakainya warna biru muda, sebuah baju kemeja. Itu baju baru yang dibelikan Ayahnya, untuk lebaran tahun lalu. Mengingat hal itu, Al semakin melebarkan langkahnya, tujuannya semakin dekat.

Sesampai di gerbang, Al berhenti sejanak sambil membaca do’a yang pernah ia pelajari untuk memasuki sebuah pemakaman. Yah, yang dituju Al adalah sebuah pemakaman.

Al semakin memacu langkahnya, hingga ia sampai disebuah kuburan yang masih baru. Di samping kuburan baru itu terdapat, sebuah kuburan yang sudah cukup lama. Al segera duduk diantara dua kuburan tersebut. Tak pedulikan kain sarung yang dipakainya, kotor oleh tanah lumpur kuburan tersebut. Al mengusap kedua batu nisan yang terbuat dari papan tersebut. Yang satu masih kelihatan baru, yang satu lagi, sudah tidak utuh lagi karena lapuk dan dimakan rayap.

“Al ada kabar gembira, buat Mak. Buat Ayah juga.” Katanya pelan, “Al tahun ini puasanya lancar, gak ada bolong-bolongnya, Mak. Sama kayak tahun kemaren, Yah.” Al melanjutkan lagi sambil menatap bergantian kedua kuburan tersebut.

“Al senang, bisa menamatkan puasa lagi tahun ini. Meski Al gak dapat hadiah apa-apa. Gak ada baju baru buat lebaran juga gak apa-apa. Yang penting Mak dan Ayah, bisa bangga melihat Al yang puasanya lancar. Iyakan, Yah? Ayah kan dulu pernah ngomong gitu sama Al.”

“gak seperti Dian, tetangga kita dulu, yang katanya akan dikasih hadiah Hp baru kalau puasanya lancar. Juga seperti Alim yang dapat dua baju baru tahun ini. Dita juga, Yah. Dia dapat sepeda baru lagi tahun ini. Senang deh melihat mereka. Atau si Adit, Yah. Katanya tahun ini dia mau liburan ke Batam, karena puasanya lancar. Batam! Yah. Itu salah satu kota impian yang ingin Al kunjungi. Do’a kan Al ya Mak, Yah. Moga suatu saat nanti bisa ke Batam…”

“Al gak sedih kok, Yah. Al gak nangis juga. Al kan kuat. Seperti kata Ayah, Al gak boleh cengeng. Al harus tetap tegar.” Al mencoba membersihkan beberapa helai daun yang berada diatas kedua pusara tersebut.

“tahun ini Al berbukaya sendirian aja, Yah. Sahurnya juga. Gak seperti tahun kemarin. Tahun kemarin kan masih ada Ayah. Sekarang Ayah lebih memilih untuk ikut Bersama Emak. Al gak apa-apa, Yah. Ditinggal sendiri. Kan kasihan Mak, udah lima tahun, kata Ayah, Emak tidur sendirian disini. Sekarang Mak sudah ada temannya disini bersama Ayah…”

“Yah, sekarang Al udah empat bulan gak sekolah. Kata Ibu guru, Al udah empat bulan gak bayar uang sekolah, jadi gak boleh sekolah lagi. Gak apa-apa, Yah. Al gak sekolah lagi. Al kan udah kelas lima, Yah. Udah bisa baca juga. Kata Ayah, yang penting bisa baca, biar gak ditipu orang.”

“Al gak apa-apa gak sekolah lagi, Yah. Kan sepatu yang Ayah beli dua tahun lalu udah bolong-bolong, baju sekolah Al juga udah pada sempit semua. Kan gak mungkin Al sekolah pakai sandal dan pakai baju ini..” Al menunjuk baju yang ia pakai.

“Al gak apa-apa gak sekolah lagi, Yah. Jadi sekarang Al berangkat kerjanya bisa dari habis subuh. Al bisa kerja seharian. Gak harus mikirkan pelajaran lagi. Gak harus mikirin PR lagi. Oh, yah, Mak. Ayah. Sekarang Al kerja jadi tukang semir sepatu. Al kerja di depan Gedung tinggi yang megah itu. Dulu Ayah kan pernah bilang, kalau suatu saat nanti Al bakalan bekerja di Gedung itu. Sekarang Al udah kerja disana, Yah. Tapi Al hanya berada diluar pagarnya saja, Yah. Sambil nunggu orang-orang buat semir sepatu.”

“Al hebat ya, Yah. Bisa mendiri. Bisa kerja sendiri. Kata pak Somat gitu, Yah. Pak Somat itu yang jadi satpam di Gedung itu, Yah. Pak Somat sangat baik sama Al. Beliau sering traktir Al makan siang, sehabis sholat Dzuhur.”

“Al sekarang sholatnya udah gak bolong-bolong lagi. Al juga setiap malam baca Qur’an dan kirim do’a buat Mak dan Ayah. Kata pak Ustadz kalau Al selalu do’a kan Mak dan Ayah, Mak dan Ayah bakal selalu tersenyum. Al hanya ingin Mak dan Ayah selalu tersenyum…”

“Al udah tiga hari ini tinggal dibawah jembatan yang ada dipinggiran kota itu, Yah. Karena Al udah sebulan gak bisa bayar sewa rumah kontrakan kecil kita lagi. Semua barang dirumah kita, sudah Al jual. Buat bayar kontrakan, sekarang gak ada lagi barang yang bisa Al jual.”

“Buk Ros, menyuruh Al pergi, karena ada yang mau nyewa katanya. Al gak apa-apa tinggal dibawah jembatan, Yah. Yang penting Al gak kehujanan. Al ada teman juga disana. Sama-sama tinggal disana. Mereka baik kok, Yah. Sering bantu Al juga.”

“Al pengen deh, Yah. Silahturrahmi sama keluarga kita. Tapi Al kan gak ada yang kenal, Yah. Kata Ayah, semua keluarga Ayah ada dikampung, keluarga Mak juga. Sejak Al lahir, kita kan gak pernah pulang kampung. Jadi Al gak tahu, mau silahturrahmi ke rumah siapa. Paling juga ke rumah pak Somat, tapi Al juga gak tahu rumahnya.”

“kata pak Somat, dulu Ayah sering main ke rumahnya. Waktu masih sama-sama kerja di pabrik. Al pernah diajak ke rumahnya. Tapi Al gak mau, Yah. Kata Ayah dulu, kita gak boleh ngerepotin orang lain. Kita harus mandiri.”

“Al gak sedih kok, Yah. Al gak pernah nangis lagi sekarang. Al kan kuat, seperti Ayah. Al pernah digangguin preman, Yah. Dimintain uang, tapi Al bilang kalau Al anak Ayah. Orang itu gak jadi minta uang, ia bilang Ayah dulu pernah bantu dia. Ayah orang baik, karena itu lah Al jadi gak cengeng sekarang..”

“Al ingin seperti Ayah. Al sayang Ayah. Sayang Mak juga. Tapi Al gak bisa setiap hari jengukin Mak dan Ayah disini. Karena Al harus kerja. Al mau ngumpulin uang yang banyak. Biar nanti bisa bikin batu nisan yang bagus buat Mak dan Ayah, kayak kuburan yang lain.”

“Al gak sedih kok, Mak. Gak nangis juga. Al harus kuat. Al ingat, waktu Mak pergi dulu, Ayah gak nangis. Karena Ayah kuat. Al juga gak nangis, waktu Mak pergi. Waktu Ayah pergi juga, Al gak nangis. Al kan masih bisa ngobrol sama Mak, sama Ayah. Tapi Al gak bisa sering datang kesini untuk ngobrol, karena sekarang Al tinggalnya jauh…”

“terkadang Al merasa capek juga, Yah. Pengen juga Al istirahat, kayak Mak dan Ayah sekarang. Al pengen tidur bareng Mak dan Ayah disini. Al lelah sendirian, Mak. Al cuma mau ngobrol, Mak. Al mau ngobrol sama Ayah, sama Mak setiap hari…”

“udah dulu ya, Mak. Ya, Ayah. Al mau pamit dulu. Al mau mulai kerja lagi hari ini. Mumpung orang-orang lagi ramai sekarang. Mak dan Ayah kan juga mau istirahat. Al pasti datang lagi nanti. Selamat lebaran Mak, Ayah. Mohon maaf lahir bathin…”

Selesai berucap begitu, Al bangkit berdiri. Ditatapnya kedua pusara itu sekali lagi. Lalu melangkah ringan meninggalkan perkuburan tersebut. Hatinya lega, bisa berbagi dengan Mak dan Ayahnya. Walau tetes demi tetes air matanya mulai berjatuhan.

“maafkan Al, Mak. Ayah. Sebenarnya Al masih cengeng, masih sering nangis juga. Tapi Al gak ingin Mak dan Ayah jadi sedih, kalau liat Al nangis. Al harus tetap terlihat kuat di depan Mak dan Ayah….” Rintihnya tak kuasa menahan tangisnya.

Air matanya tumpah sepanjang perjalanan. Tangisnya sudah tak bisa ia tahan. Langkahnya kian gontai. Ia merasa begitu rapuh. Tapi Mak dan Ayah tak perlu tahu, rintihnya dalam hati. Dia harus kuat, demi Mak dan Ayah….

******

Sekian ...

Cari Blog Ini

Layanan

Translate