Aku seorang suami, dan juga seorang ayah.
Aku menikah 13 tahun yang lalu, saat aku masih berusia 25 tahun.
Aku bekerja di sebuah perusahaan perangkat lunak yang cukup terkenal, sudah hampir 14 tahun.
Istriku sendiri seorang wanita biasa, ia hanya seorang ibu rumah tangga.
Anakku satu-satunya, namanya Adam, sekarang sudah berusia 12 tahun, dan baru saja masuk SMP.
Secara ekonomi kehidupan rumah tanggaku baik-baik saja. Hubunganku dengan istriku, Hanna, juga tidak pernah ada masalah yang berarti.
Secara keseluruhan, kehidupan rumah tangga kami, boleh dibilang cukup bahagia.
Sampai akhirnya, aku mengetahui, kalau istriku ternyata diam-diam menjalin hubungan gelap dengan mantan kekasihnya, yang juga sudah menikah.
Hal itu aku ketahui, sejak istriku mulai sering keluar rumah, tanpa alasan yang jelas. Aku mulai mencurigainya, sampai akhirnya aku benar-benar memergoki mereka berdua.
Aku tidak ingin ada keributan, untuk itu, aku menceraikan istriku secara baik-baik.
Anakku, memilih untuk ikut tetap tinggal bersamaku, di rumah kami. Sementara istriku, dengan terpaksa pindah ke rumah orangtuanya.
Aku tidak tahu pasti, seperti apa hubungan istriku dan selingkuhannya selanjutnya, karena aku memang sudah tidak peduli lagi.
Hari-hari selanjutnya, tentu saja, semuanya berbeda. Terus terang aku merasa kehilangan, sosok seorang istri dan juga seorang ibu di rumah kami.
Tapi aku berusaha menjalani itu semua, setidaknya demi anakku.
Hari-hari berlalu, tanpa bisa dicegah atau pun dipacu.
Sampai suatu saat, aku bertemu dan berkenalan, dengan seorang pemuda tetangga baruku.
"aku Sandi, bang. Aku tinggal di sebelah rumah, bersama paman Yanto..." begitu jelas pemuda tersebut, ketika suatu sore kami tak sengaja bertemu di warung dekat rumah kami.
Yang aku tahu, pak Yanto, paman yang dimaksud Sandi barusan, adalah seorang duda tua, yang ditinggal mati oleh istrinya, beberapa tahun lalu.
Pak Yanto memang tinggal sendirian di rumah itu, karena anak-anaknya sudah berkeluarga semua.
"bukan paman kandung sih, bang. Cuma kami memang punya hubungan keluarga. Dan kebetulan tahun ini, aku baru mulai kuliah di kota ini. Jadi, paman Yanto meminta aku untuk tinggal bersamanya.." Sandi terus menjelaskan, sambil kami berjalan pulang.
Secara fisik, Sandi memiliki tubuh yang jangkung dan terlihat kekar. Aku hampir tak percaya, kalau ia baru berusia 19 tahun.
"kelihatan tua ya, bang.." ucap Sandi, suatu sore, saat aku mempertanyakan hal tersebut.
"gak, kok. Hanya saja, kamu kelihatan lebih dewasa.." balasku kemudian.
Sandi tersenyum. Beberapa hari belakangan ini, Sandi memang jadi rajin datang ke rumahku, setidaknya kami duduk di teras rumahku.
Sandi juga sudah kelihatan dekat dengan anakku, Adam.
Sandi terlihat pintar dan berwawasan luas, untuk itu aku memintanya memberi les tambahan untuk Adam.
"wah... aku ... takutnya gak bisa nih, bang.." ucap Sandi, mencoba menolak tawaranku.
"kamu pasti bisa kok, San. Nanti aku akan beri kamu upah." aku berujar dengan nada penuh harap.
Jadilah Sandi sejak saat itu, mengajar les tambahan untuk Adam. Hampir setiap malam, Sandi datang ke rumah, untuk melaksanakan tugas barunya tersebut.
Suatu saat, pak Yanto, paman Sandi tersebut, ikut bersama salah seorang anaknya, ke kota lain. Hingga Sandi harus tinggal sendirian di rumah tersebut.
"berapa lama, pak Yanto akan pergi?" tanyaku, saat Sandi datang lagi ke rumah.
"satu atau dua minggu, bang. Gak pasti juga, karena ia harus menunggu anaknya lahiran.." jawab Sandi santai.
"jadi besok, Adam ke tempat ibunya?" tanya Sandi melanjutkan.
"iya. Kasihan ibunya, sudah beberapa bulan tidak bertemu Adam.." balasku ringan.
"mumpung sekolahnya libur beberapa hari.." lanjutku lagi.
Malam itu, aku sendirian di rumah. Aku mencoba tidur lebih awal dari biasanya.
Saat tiba-tiba ponselku berdering.
"Sandi? Ada apa?" tanyaku di telpon.
"maaf bang, ganggu malam-malam. Ini kebetulan komputer saya mati gak jelas nih, bang. Kira-kira bang Ronal, bisa gak memperbaikinya?" jawab Sandi di seberang.
"matinya kenapa?" tanyaku lagi.
"gak tahu nih, bang. Tiba-tiba mati aja.." jelas Sandi.
"oke, abang ke situ ya..." ucapku akhirnya.
Beberapa menit kemudian, aku pun sampai ke rumah Sandi. Karena memang jarak rumah kami hanya beberapa langkah.
Aku mencoba memperbaiki komputer tersebut. Sementara itu, Sandi menghidangkan beberapa makanan ringan dan juga minuman dingin.
Saat komputer itu, akhirnya bisa aku perbaiki. Kami pun mengobrol di ruang tamu rumah Sandi.
"jadi bang Ronal, sudah berapa lama pisah dari istrinya?" tanya Sandi, di sela-sela obrolan kami.
"ya... sudah hampir enam bulanan..." jawabku terdengar lemah. Tiba-tiba aku teringat anakku, yang sedang bersama istriku.
"bang Ronal gak kesepian?" tanya Sandi selanjutnya.
"kesepian pasti lah, kan aku juga laki-laki normal, pasti butuh hal-hal tersebut. Apa lagi aku sudah terbiasa tidur di dampingi seorang istri.." jawabku terbuka.
Kulihat Sandi tersenyum, ia menatapku lama. Kemudian tiba-tiba ia berpindah duduk di sampingku.
Aku membiarkannya, meski Sandi duduk hampir berdempetan denganku.
Sandi saat itu, hanya memakai baju singlet berwarna hitam, yang membuat tubuh kekarnya semakin terlihat jelas. Ia juga hanya memakai celana pendek kaos.
Entah mengapa, aku tiba-tiba merasa gugup, saat Sandi berada di sampingku.
Sandi sepertinya mampu menguasai keadaan, ia mulai berbicara tentang sesuatu yang lebih sensitif dan mengarah pada konteks dewasa.
Aku mengikuti obrolannya. Dan tanpa sadar, aku mulai membayangkan hal-hal yang diucapkan Sandi, dengan bahasanya yang vulgar.
Aku yang memang sudah sangat lama merasa kesepian, tiba-tiba merasa bergairah.
Sandi begitu pandai membuatku terlena dengan cerita-ceritanya.
Ia seperti sudah sangat berpengalaman dalam melakukan hal tersebut.
Tapi kemudian, karena merasa mulai tidak nyaman, aku memutuskan untuk pamit pulang.
"kenapa buru-buru, bang?" tanya Sandi.
"udah larut, San.." jawabku, sambil mulai berdiri.
"tidur sini aja ya, bang.." ucap Sandi meminta.
Aku menatap Sandi sekilas. Ada perasaan tak karuan menghantuiku tiba-tiba, melihat perlakuan Sandi padaku malam itu.
"kamu gay?" tanyaku akhirnya, sekedar meyakinkan diriku sendiri.
Sandi tersenyum kembali.
"iya, bang. Dan sepertinya, aku suka sama bang Ronal..." balas Sandi jujur.
Aku terkesiap. Meski aku sudah bisa menduga hal tersebut, namun tetap saja, aku merasa kaget mendengar pengakuan jujur Sandi barusan.
Sandi kemudian ikut berdiri dihadapanku. Kami berdiri sangat berdekatan.
Sandi mencoba mendekatkan wajahnya. Aku mendorong tubuh Sandi, kemudian dengan terburu berjalan menuju pintu keluar rumah tersebut.
Sesampai di rumah, napasku terasa sesak. Selain karena kelelahan, juga karena ada sesuatu yang aku tahan.
Jujur, kesepianku selama ini memang sering membuatku gelisah. Hasratku yang tidak tersalurkan, membuatku sering berpikir aneh-aneh.
Dan saat bersama Sandi tadi, entah mengapa, aku merasa tubuhku bergetar.
Perlahan, bayangan tubuh kekar Sandi, merasuki pikiranku.
Aku menepisnya segera, tapi bayangan itu justru semakin jelas terlihat. Sepertinya Sandi mampu menghipnotisku dengan pesonanya.
Akhirnya aku pun tertidur, dengan perasaanku yang masih campur aduk.
*****
"aku minta maaf, bang. Soal kejadian semalam.." suara Sandi lemah, saat ia akhirnya datang ke rumah pagi itu.
"gak ada yang perlu di maafkan, San. Karena memang tidak terjadi apa-apa..." balasku datar.
"tapi aku sudah membuat bang Ronal merasa ketakutan.." ucap Sandi lagi.
Aku terdiam. Aku bukannya takut, hanya saja rasanya aku belum siap masuk ke dunia seperti itu saat ini. Ada begitu banyak hal yang harus aku pertimbangkan, terutama anakku.
Sebagai laki-laki yang kesepian, aku memang butuh belaian. Tapi selama ini, hanya Sandi yang mau mendekatiku.
Dan kehadiran Sandi, mampu memberi warna tersendiri dalam hidupku.
Perlahan hatiku pun mulai terbuka, setidaknya aku mencoba sesuatu yang baru, sesuatu yang belum pernah aku lakukan sebelumnya.
Malam berikutnya, aku pun mencoba mendatangi Sandi.
"aku mau mencobanya." ucapku pelan, yang membuat Sandi tersenyum senang.
Sandi mulai melakukan aksinya. Aku merasa geli awalnya, tapi Sandi memang sudah berpengalaman dalam hal tersebut.
Dia mampu membuaiku dengan geloranya yang membara. Segala hasratku yang terpendam selama ini, terasa menemukan tempat untuk disalurkan.
Hatiku yang mulai membeku, kini perlahan mulai mencair kembali.
Kubiarkan semua itu terjadi. Berawal dari rasa penasaranku.
Aku bak seorang pendekar, yang menunggangi kuda menuju medan perang.
Aku ingin memenangi pertarungan itu. Ternyata dibalik penampilan Sandi yang terkesan atletis, tersimpan sisi kelembutannya, yang membuatku terlena.
Ada sensasi berbeda yang aku rasakan. Sesuatu yang tidak bisa aku lukiskan dengan kata-kata. Rasanya terlalu indah. Aku terbuai dalam lautan penuh ketenangan.
Di sisi lain, kulihat Sandi tersenyum penuh kemenangan.
Hingga akhirnya, aku benar-benar merasa lega. Sangat lega. Aku seperti menemukan setetes air dalam kegersangan hatiku.
Dan aku terhempas. Tubuhku terasa lemas, setelah menyelesaikan pertarungan tersebut. Aku pun tertidur pulas, dengan perasaan penuh kelegaan.
*****
Aku terbangun di pagi itu,, dengan sebuah perasaan bersalah.
Aku buru-buru memakai pakaianku kembali, dan berniat untuk segera pulang.
Saat tiba-tiba Sandi datang.
"bang Ronal mau kemana?" tanya Sandi ringan.
"aku mau pulang, San. Maaf soal semalam ya. Seharusnya hal itu tidak terjadi.." ucapku, sambil menatap Sandi sendu.
"abang gak perlu minta maaf. Aku sangat menikmatinya, bang. Itu sesuatu yang luar biasa. Itu adalah cinta, bang..." Sandi berujar, sambil ia mulai melangkah mendekat.
Aku mundur beberapa langkah.
"tidak, San. Itu bukan cinta. Itu adalah sebuah kesalahan. Seharusnya aku lebih bisa menahan diri. Aku lebih dewasa disini, dan seharusnya aku tidak melakukannya padamu..." ucapanku mulai terbata.
"itu cinta, bang. Aku melihatnya di mata abang.." balas Sandi, ia menghentikan langkahnya, melihat aku yang melangkah mundur.
"tidak, San. Itu kesalahan. Dan itu tidak boleh terjadi lagi.." aku berucap lagi.
"jadi maksud bang Ronal, yang terjadi tadi malam adalah sebuah kesalahan? Bang Ronal tidak mencintaiku?" suara Sandi tiba-tiba meninggi.
"aku tidak mungkin mencintai kamu, San. Aku laki-laki beristri dan juga seorang ayah.." balasku sedikit tajam.
"istri yang berselingkuh?" Sandi membalas lebih tajam.
"kurasa itu bukan urusan kamu. Dan aku ingin, kita melupakan kejadian semalam.." aku berucap, sambil mulai melangkah menuju pintu untuk segera keluar dari kamar itu.
Sandi coba menahanku, namun aku dengan sedikit kasar menepis tangannya.
"aku sangat mencintai kamu, bang Ronal..." Sandi berucap dengan nada lirih, "dan aku tidak akan pernah melepaskan bang Ronal!" Sandi melanjutkan dengan sedikit berteriak, karena saat itu aku sudah berada di luar.
******
Aku menghempaskan tubuhku ke ranjang. Kejadian malam tadi bersama Sandi, kembali melintas di pikiranku. Aku tak menyangka, kalau aku akan bisa melakukan hal tersebut.
Bagaimana mungkin aku bisa menikmati hal tersebut? tanyaku membathin.
Tapi semua sudah terjadi. Aku hanya berharap, semoga saja Sandi tidak lagi berusaha menggodaku.
Siang itu, anakku kembali ke rumah, ia bersama Ibunya.
"apa kabar, mas?" tanya Hanna, berbasa-basi.
"baik.." jawabku sedikit cuek. Biar bagaimana pun, rasa sakit yang ditorehkan Hanna di hatiku, masih belum benar-benar kering.
Hanna mencoba tersenyum.
"aku kangen rumah ini.." ucap Hanna lagi, saat anakku sudah masuk ke dalam kamarnya.
Aku menoleh sesaat, menatap Hanna yang hanya berdiri di ruang tamu tersebut. Hanna memang perempuan yang cantik dan lembut, dan karena itu aku jatuh cinta padanya dulu.
Kalau boleh jujur, sampai saat ini, aku masih mencintainya. Hanya saja perbuatannya padaku, benar-benar membuatku kecewa dan sakit.
"andai saja aku masih punya kesempatan untuk kembali lagi kesini?" Hanna berucap, seolah-olah ia sedang berbicara dengan dirinya sendiri.
Aku tahu, Hanna sudah menyesali perbuatannya. Ia sudah teramat sering meminta maaf padaku. Tapi tidak mudah bagiku, untuk memberinya kesempatan kedua. Aku takut.
Tak lama berselang, Hanna pun pamit. Aku melepas kepergiannya dengan perasaan yang tak karuan.
Aku melihat Sandi menatap kami di balik jendela rumahnya. Tatapannya tajam. Aku semakin merasa tak karuan.
Hari-hari selanjutnya, Hanna jadi semakin sering datang ke rumah. Terutama saat aku libur kerja. Ia sering membawakan makanan untuk aku dan Adam.
Aku berusaha sebiasa mungkin, menyambut kedatangan Hanna. Aku tidak melarangnya, untuk datang. Biar bagaimana pun, Adam adalah darah dagingnya. Dan sepertinya Adam sudah bisa memaafkan ibunya.
Dan seiring berjalannya sang waktu jua, akhirnya menyadarkanku, kalau aku sebenarnya sangat membutuhkan kehadiran Hanna di rumah kami.
Tapi tak mudah bagiku, untuk melupakan apa yang telah dilakukan Hanna.
Sebenarnya aku dan Hanna bisa kembali kapan saja. Karena, secara hukum aku belum benar-benar menceraikan Hanna. Aku baru menjatuhkan satu talak padanya.
Tapi ...
"jadi sekarang, bang Ronal, sibuk sama istri bang Ronal yang tukang selingkuh itu?" suara Sandi mengagetkanku, ketika sore itu aku duduk di teras rumah.
Aku tidak menyadari kehadiran Sandi, karena untuk beberapa saat pikiranku melayang.
Aku menatap Sandi yang terus melangkah mendekat dan akhirnya duduk di sampingku.
"aku sekarang sudah tidak ada artinya bagi bang Ronal?!" Sandi berucap lagi, ia menatap lurus ke depan, tatapannya terlihat sendu.
Kadang aku merasa prihatin melihat Sandi. Ia mungkin memang sangat mencintaiku. Tapi aku tidak ingin terjebak dalam cinta sesama jenis.
Meski jujur, kadang ada rasa ingin mengulang kembali kejadian malam itu bersama Sandi.
"aku kan udah ngomong, San. Diantara kita tidak ada apa-apa. Kita harus bisa melupakan kejadian tersebut.." ucapku akhirnya.
"mudah bagi bang Ronal, berucap demikian. Tapi aku tidak semudah itu untuk bisa melupakan bang Ronal. Aku masih berharap, bang Ronal mau memberikanku kesempatan.." Sandi membalas ucapanku dengan nada terdengar sedikit lirih.
"kamu tahu itu salah, San. Dan kita tidak mungkin melanjutkan sesuatu yang sudah jelas salah dari awal." aku berusaha berucap selembut mungkin. Aku tidak ingin Sandi tersinggung.
Tiba-tiba Sandi berdiri, kemudian berucap.
"ini belum berakhir, bang. Aku akan tetap berjuang." suara itu terdengar tegas ditelingaku.
Setelah berucap demikian, Sandi pun melangkah pergi meninggalkanku, dengan perasaan yang masih penuh tanda tanya.
*****
Dua hari kemudian, aku menerima sebuah video di pesan whatsapp-ku. Itu dari Sandi.
Aku mencoba membuka video tersebut. Ternyata itu sebuah video rekaman kemesraanku bersama Sandi malam itu.
Aku terkaget melihatnya. Aku tak pernah menyangka, kalau Sandi akan merekam semua itu.
Selanjutnya, sebuah pesan baru muncul. Masih dari Sandi.
"aku akan sebarkan video ini, jika bang Ronal masih tidak mau memberiku kesempatan..."
Sekali lagi aku merasa kaget. Itu seperti Sandi yang aku kenal.
"kamu jangan macam-macam ya, San." aku membalas pesan itu.
"aku tidak akan macam-macam, bang. Kalau bang Ronal mau menuruti permintaanku." Sandi membalas.
"sekarang mau kamu apa?" balasku lagi.
"aku ingin kita mengulanginya lagi. Dan aku ingin kita menjalin hubungan yang lebih serius." balas Sandi.
Aku tak menanggapi lagi pesan itu. Aku mulai merasa semakin bingung.
Bagaimana jika Sandi memang benar-benar nekat menyebarkan video tersebut? tanya hatiku.
Apa yang harus aku lakukan sekarang?
*****
Sekarang yang harus aku pikirkan adalah, bagaimana caranya agar Sandi tidak menyebarkan video tersebut.
Atau setidaknya, aku harus bisa mengambil file video tersebut dari Sandi dan menghapusnya.
Tapi Sandi pasti sudah menyimpannya dengan baik.
Oh, mengapa Sandi justru jadi ancaman bagiku sekarang?
Aku tidak ingin hidupku hancur. Aku sudah mulai mencoba untuk memberi kesempatan kedua untuk Hanna. Aku ingin memulainya lagi.
Tapi sekarang itu jadi tidak mudah, karena Sandi.
Aku mencoba mendatangi rumah Sandi. Aku ingin membicarakannya dengan cara baik-baik bersama Sandi.
"pilihannya hanya dua, bang. Video itu menyebar atau bang Ronal turuti semua keinginanku." begitu ucap Sandi dengan sangat tegas, ketika aku coba memohon padanya.
Aku seolah tak mengenal Sandi lagi. Dia benar-benar tidak seperti Sandi yang ku kenal dari awal.
Atau sebenarnya, inilah watak Sandi yang sesungguhnya.
"oke. saya beri waktu bang Ronal untuk berpikir. Dua hari." Sandi melanjutkan.
"aku butuh sepuluh hari." tawarku.
"seminggu.." ucap Sandi singkat, namun sangat tegas.
Aku dengan sangat terpaksa menyetujuinya. Aku berharap, dalam waktu seminggu aku bisa menerobos masuk ke kamar Sandi diam-diam, dan menemukan file video tersebut.
Satu pertanyaan muncul dibenakku tiba-tiba.
Kemana pak Yanto? Bukankah waktu itu Sandi bilang, kalau pak Yanto hanya akan pergi paling lama dua minggu. Tapi ini sudah hampir dua bulan, pak Yanto belum juga kembali.
Aku ingin mempertanyakan hal tersebut. Namun aku mengurungkan niatku. Bisa saja pak Yanto memang sedang di rumah anaknya.
Lagi pula itu bukan fokusku saat ini. Aku hanya lebih fokus, pada video tersebut.
*****
Malam itu, diam-diam, aku mencoba memasuki rumah Sandi. Aku tahu, Sandi tidak sedang berada di rumah. Aku melihatnya tadi sore keluar, dan belum pulang sampai saat ini.
Aku melangkah pelan menuju arah dapur. Aku berharap, pintu dapur akan lebih dibuka.
Setelah dengan sedikit susah payah, akhirnya aku bisa menjebol pintu dapur tersebut.
Aku sedikit berlari, menuju kamar Sandi. Tepat seperti dugaanku, kamar itu memang terkunci.
Aku mencoba mendobraknya dengan hati-hati. Aku takut, para tetangga mendengarnya.
Setelah beberapa kali hantaman, pintu itu akhirnya terbuka.
Saat itulah, aku mendengar suara mobil parkir diluar rumah.
Aku buru-buru menghidupkan komputer, untuk mencari file video tersebut.
Namun, sebelum aku sempat menemukan video tersebut, sebuah langkah berat ku dengar dibelakangku.
Aku menoleh cepat, dan melihat sesosok pria berdiri sambil menatapku penuh tanya.
"mas Ronal? ngapain disini?" tanya laki-laki itu.
Aku gelagapan seketika. Tidak tahu harus menjelaskan apa pada laki-laki tersebut.
"aku... aku sedang mencari flashdisk-ku yang kemarin ketinggalan di kamar Sandi.." ucapku terbata, sambil mulai melangkah mendekati laki-laki tersebut.
"Sandi? Siapa Sandi?" tanya laki-laki itu lagi, keningnya berkerut.
"mas Akbar, tidak kenal Sandi?" aku balik bertanya, dengan kening yang ikut berkerut.
"aku kesini mau melihat keadaan ayahku. Sudah hampir dua bulan, ia tidak memberi kabar kepada kami. Ponselnya dan juga telepon rumah tidak bisa dihubungi." Laki-laki itu menjelaskan.
Aku tahu Akbar. Dia putra sulung dari pak Yanto, orang yang diakui oleh Sandi sebagai pamannya, dan tinggal di rumahnya.
Aku pernah beberapa kali bertemu Akbar, setiap kali ia kesini mengunjungi ayahnya.
"tapi Sandi bilang, kalau pak Yanto, bukannya ke rumah mas Akbar? Katanya istri mas Akbar melahirkan.." aku mencoba menjelaskan.
Begitu banyak pertanyaan yang muncul tiba-tiba dibenakku.
Siapa sebenarnya Sandi?
Apa yang telah ia lakukan?
Dan kemana Pak Yanto sebenarnya?
********
"pertama. Saya tidak tahu, siapa itu Sandi. Kedua ayah saya tidak pernah datang ke rumah kami, setidaknya dua bulan terakhir ini. Istri saya memang melahirkan sebulan yang lalu. Tapi saya tidak pernah meminta ayah saya untuk datang." Akbar memulai ceritanya, saat kami akhirnya duduk di ruang tamu.
"karena tidak bisa dihubungi, saya mulai khawatir dengan ayah. Saya juga sudah menghubungi adik-adik saya, tapi mereka sepertinya sama khawatirnya dengan saya." Akbar melanjutkan.
"karena khawatir, makanya saya kesini malam-malam. Kebetulan saya selalu menyimpan kunci rumah ayah. Jadi tadi saya langsung masuk, dan tiba-tiba saya melihat mas Ronal di dalam kamar.." ucap Akbar lagi, yang membuat saya kian bingung.
"jadi mas Akbar, benar-benar tidak tahu siapa Sandi? Dia bilang kalau pak Yanto adalah pamannya. Seharusnya mas Akbar pasti tahu.." ucapku kemudian, sekedar meyakinkan diriku sendiri, kalau Sandi sudah berbohong selama ini.
"tidak ada seorang pun dari keluarga kami yang bernama Sandi. Lagi pula ayah juga sudah tidak punya saudara di kampung." Akbar berucap dengan yakin.
Aku kemudian memperlihatkan poto Sandi yang ada di ponselku. Namun Akbar tetap yakin, kalau ia tidak mengenali orang tersebut.
Saat kami sedang ngobrol tersebut, tiba-tiba sebuah mobil parkir di depan rumah. Aku yakin itu Sandi. aku menoleh dari balik jendela.
Sandi keluar dari mobil, dan melihat ada mobil lain parkir di depan rumahnya, Sandi buru-buru masuk ke dalam rumah.
Sandi masuk, dan dengan sedikit kaget melihat kami berdua.
"siapa orang ini? Dan bagaimana kalian bisa masuk?" Sandi melontarkan pertanyaan, sambil ia menatapku. Seolah-olah pertanyaan itu adalah untukku.
"saya yang seharusnya bertanya, siapa kamu? Dan dimana ayahku?" Akbar balas bertanya, sambil bangkit dari duduknya, dan melangkah mendekati Sandi.
"oh, jadi anda putra dari pak Yanto yang malang itu.." diluar dugaan, Sandi justru terlihat tersenyum sinis.
"apa yang telah kamu lakukan pada ayahku?" Akbar terlihat panik, ia mencoba mencengkeram leher baju Sandi.
Saat itulah, tiba-tiba Sandi mengeluarkan sebuah pistol, dari punggungnya yang tertutup jaket tersebut.
Aku terkesiap, benar-benar tak menyangka kalau Sandi memiliki sebuah pistol.
Akbar mundur beberapa langkah melihat hal tersebut, mukanya tiba-tiba pucat.
Aku yakin, Akbar seperti itu, bukan saja karena merasa takut, tapi juga karena ia yakin, sesuatu yang buruk telah terjadi pada ayahnya. Seperti keyakinanku juga.
Melihat Sandi sekarang, aku yakin, Sandi telah berbuat sesuatu yang jahat terhadap pak Yanto.
Sandi tersenyum sinis lagi, sambil ia terus mengacungkan pistol ke arah kami.
"ayah busukmu itu, sudah ku kubur dibelakang sana." suara Sandi lantang.
Malam memang sudah mulai larut, mungkin para tetangga juga sudah mulai tertidur. Dan lagi pula, suara raungan mobil di jalan raya, cukup untuk membuat suara keributan kami tidak terdengar siapa-siapa.
"saya membunuhnya, karena ia mencoba membeberkan rahasia saya." Sandi melanjutkan, kali ini lebih sedikit pelan.
"rahasia apa?" tiba-tiba Akbar mengeluarkan suara.
"rahasia, kalau saya adalah seorang gay, dan juga seorang pembunuh. Saya sudah pernah membunuh sebelumnya, jadi membunuh ayah anda yang tua renta itu, adalah hal mudah. Dan malam ini adalah giliran anda..." diluar dugaan, Sandi menjawab.
Ia terus mengarahkan pistol tersebut kepada Akbar, yang terlihat bergidik, mendengat ucapan Sandi barusan.
Aku masih duduk terdiam. Tidak tahu harus berbuat apa saat itu. Melihat Sandi yang memegang senjata, dan mengetahui kalau ia seorang pembunuh, membuatku jadi semakin merasa takut.
"lalu sekarang apa yang kamu inginkan?" tanya Akbar dengan cukup berani.
"anda tidak sedang berada dalam kondisi tawar menawar. Pilihannya hanya satu. Anda mati!" setelah berucap demikina, Sandi pun menarik pelatuk pistol tersebut dengan telunjuknya yang sudah bersiap dari tadi.
Sebuah peluru melayang menuju Akbar.
Akbar terlihat kaget, namun ia tidak bisa berbuat apa-apa. Peluru tersebut, dengan cepat mengenai dada kirinya. Terlihat kalau Sandi memang sudah berpengalaman menggunakan pistol tersebut.
Akbar terjerembab ke lantai, darah mengalir deras dari dadanya.
Ia mengerang menahan sakit, dengan mata yang sedikit melotot.
Spontan aku bangkit dan berlari mendekati Akbar. Namun Akbar sudah sekarat. Peluru itu mungkin mengenai jantungnya.
Aku mencoba menahan aliran darah tersebut, tapi Akbar sudah tidak bernyawa lagi. Tubuhnya pun terkulai dalam pangkuanku.
Sandi masih mengacungkan pistolnya ke arah kami, tatapannya sinis.
Aku menoleh kearahnya. Tubuhku bergetar. Aku belum pernah barada dalam situasi seperti itu.
Sandi menyimpan pistolnya kembali, ia melangkah mendekatiku.
"sekarang bang Ronal bantu saya untuk menguburkan mayat ini.." ucap Sandi terdengar sangat santai.
"aku gak mau.." suaraku bergetar.
"sederhana saja, bang Ronal. Jika bang Ronal tidak mau menuruti perintah saya, pilihannya hanya dua. Pertama, saya bisa saja menyebarkan video kita, saat ini juga. Dan pilihan kedua, bang Ronal bisa saja menjadi sasaran peluru berikutnya.." Sandi berucap, sambil ia kembali memegang pistolnya.
Aku kembali bergetar. Tubuhku merinding. Rasa takut semakin menyelimutiku.
Dengan sangat terpaksa, aku pun memopong tubuh Akbar yang sudah tidak bernyawa tersebut.
Kami melangkah menuju pekarangan belakang rumah tersebut.
Rumah pak Yanto, memang memiliki pekarangan belakang yang cukup luas. Ia suka menanam beberapa tanaman bumbu dapur disana.
Sebuah gundukan tanah terlihat masih basah. Aku yakin itu kuburan pak Yanto. Aku kembali bergidik, menyadari hal tersebut.
Sandi menggali tanah disamping gundukan tersebut dengan sebuah sekop. Saat itulah aku seperti punya kesempatan untuk melarikan diri.
Namun kaki ku terasa kaku. Lututku terasa nyeri. Aku membayangkan, kalau aku lari saat itu, bisa saja Sandi menembakiku. Hingga akhirnya aku hanya berdiri terpaku, melihat Sandi mendorong mayat Akbar ke dalam lobang yang telah selesai ia gali. Kemudian menimbunnya dengan buru-buru.
*****
Malam itu, Sandi menahanku di dalam kamarnya. Beruntunglah anakku, Adam, sedang bersama Ibunya. Setidaknya ia tidak akan kehilanganku, saat terbangun di pagi harinya.
Sandi terlihat gelisah. Ia mondar mandir di dalam kamar tersebut, sambil tetap memegang pistolnya.
"kita harus segera pergi dari sini.." ucapnya tiba-tiba.
"kita harus pergi, sebelum pihak keluarga Akbar menyadari, kalau Akbar tidak pernah kembali.." lanjutnya lagi.
"Sandi. Aku mohon, kamu pergi saja dari sini, dan lepaskan aku." aku berucap penuh harap.
"aku janji, aku tidak akan menceritakan semua ini, pada siapa pun.." lanjutku lagi.
Sandi menatapku tajam.
"satu-satunya alasanku melakukan semua ini, adalah karena aku ingin memiliki bang Ronal. Jadi bagaimana mungkin aku akan melepaskan bang Ronal begitu saja.." ucap Sandi tajam.
Aku terdiam kembali. Aku mulai memikirkan bagaimana caranya, agar bisa melepaskan diri dari Sandi.
Tapi pikiranku terasa buntu. Akbar dibunuh di depanku, dan itu jelas menumbuhkan rasa takut tersendiri dalam diriku. Dan itu pertama kalinya aku melihat seseorang dibunuh di depan mataku.
Lagi pula, aku tidak mungkin melawan Sandi yang saat ini memegang kendali. Ia punya senjata, dan ia seorang pembunuh. Membayangkan itu semua aku semakin bergidik.
Tak pernah aku sangka, jika aku ternyata telah bercinta dengan seorang psikopat kejam. Padahal Sandi terlihat lembut, dan ia mempu membuatku terbuai.
Sandi tiba-tiba menarik tanganku. Ia mendorongku keluar kamar, sambil ia menodongkan pistol di pinggangku, di balik jaketnya. Sebelah tangannya memegang sebuah tas, yang berisi beberapa pakaian dan sebuah laptop, yang aku yakin, di dalam laptop itulah ia menyimpan video tersebut.
Karena saat aku memeriksanya tadi di komputernya, sesaat sebelum Akbar datang, aku tidak menemukan apa-apa.
Meski aku juga yakin, jika ia pasti juga menyimpannya di dalam ponselnya.
Sandi menggiringku masuk ke dalam mobilnya, setelah ia mengunci pintu, dan membiarkan mobil Akbar terparkir disana.
Sandi meminta aku yang menyetir mobilnya, sambil ia terus menodongkan pistolnya di pinggangku.
Jalanan mulai sepi. Sandi memintaku untuk memasuki areal sebuah hotel.
Sesampai disana, Sandi terus menggiringku untuk memasuki sebuah kamar hotel, yang mungkin sudah ia booking sebelum ia kembali ke rumah tadi.
Seolah-olah Sandi telah mempersiapkan segala sesuatunya.
"tadinya aku ingin pakai kamar ini, saat bang Ronal menyetujui permintaanku untuk ikut bersamaku." ucap Sandi, sambil melepas jaketnya.
"tapi sekarang, aku tidak perlu tunggu apa-apa lagi. Bang Ronal harus mau ikut denganku.." lanjutnya lagi, yang membuatku merinding.
*****
Sandi meraba pahaku tiba-tiba, saat aku terduduk di atas ranjang. Ia mencoba membujukku, untuk mau melakukannya lagi malam itu dengannya.
Aku berusaha menolak, tapi Sandi mengancam akan menyebarkan video tersebut, yang membuatku menjadi sedikit pasrah.
Aku berusaha mencari cara, agar bisa menghindari Sandi.
"aku mau mandi dulu, badanku terasa gerah semua.." ucapku akhirnya. Setidaknya di dalam kamar mandi, aku bisa memikirkan bagaimana caranya mengakhiri ini semua.
"kalau begitu kita mandi berdua.." ucap Sandi, yang membuatku kembali merasa lemas.
Aku tak bisa menolak, apa yang dilakukan Sandi padaku. Bukan karena aku tak mampu melawan. Tapi faktanya, Sandi punya video sebagai senjatanya mengancamku, selain pistol nya juga.
Kami mandi bersama. Sandi kembali mencoba melakukan aksinya padaku.
Aku akhirnya benar-benar pasrah. Sandi membawaku berlayar, dengan caranya. Ia yang mengendalikanku. Aku merasa merinding.
Sekali lagi, aku harus bercinta dengan seorang psikopat, seorang pembunuh.
Tubuhku terasa begitu lemas tak berdaya. Sandi terus memaksaku berlayar dengannya, yang membuatku kian terlena.
Sentuhan-sentuhan yang diberikan Sandi, membuatku kian bergejolak.
Aku lupa siapa Sandi, aku lupa tentang apa yang telah diperbuatnya. Yang aku rasakan hanyalah keindahan penuh sensasi.
Sandi terus membawaku berlayar, sampai aku akhirnya mencapai pelabuhan terakhir tersebut dengan sempurna.
Sehabis mandi dan berlayar bersama, Sandi memberiku pakaiannya. Aku juga tidak mau memakai pakaianku yang tadi, karena bercak darah Akbar masih membekas disana.
Aku mencoba memejamkan mata, melepaskan segala kelelahanku.
Tubuhku terasa begitu capek, dan pikiranku terasa begitu berat.
Sandi masih terus mengawasiku. Ia menawarkanku makan, tapi aku menolaknya.
Dan aku pun akhirnya terlelap dalam lelahku.
*****
Sebuah ketukan terdengar di pintu kamar hotel tersebut.
Aku tersentak, namun Sandi terlebih dulu bangun. Dia segera menuju pintu.
Aku bersiap-siap, aku berharap orang yang datang tersebut, bisa membantuku keluar dari situ.
Tapi yang datang hanya seorang pelayan hotel, yang menawarkan sarapan.
Aku memejamkan mata kembali, mencoba untuk tertidur lagi.
Seharian, Sandi mengurungku dalam kamar tersebut bersamanya. Aku sempat makan siang, karena perutku terasa begitu lapar. Sandi sengaja memesannya secara online.
"kita disini dulu seharian." ucap Sandi.
"nanti malam, aku akan bawa abang dari sini. Perjalanan malam, akan lebih aman." lanjutnya.
Aku tidak terlalu menyimak kata-katanya. Aku juga tidak peduli, apa pun rencananya. Aku hanya harus bisa melarikan diri secepatnya.
Seharian, aku terus berpikir, bagaimana caranya untuk mengakhiri itu semua.
Tapi aku tidak bisa melakukan apa-apa. Ponselku sengaja ditahan Sandi.
"nanti sore, istriku akan mengantarkan Adam ke rumah." ucapku pelan.
"ia pasti akan merasa aneh, karena aku tidak berada di rumah. Dan mungkin saja, ia akan melaporkan hal tersebut pada polisi.." lanjutku mencoba memberi peringatan kecil pada Sandi.
"aku sudah kirimkan pesan singkat pada mantan istri bang Ronal itu, pake ponsel bang Ronal.." balas Sandi, ia terlihat begitu cuek.
"aku sudah kirim pesan, bahwa bang Ronal untuk beberapa hari ke depan, akan keluar kota, jadi Adam untuk sementara tinggal bersamanya.." Sandi melanjutkan, yang membuatku merasa semakin tak berdaya.
Harapanku untuk terbebas dari Sandi kian menipis. Sekarang aku hanya bisa mengandalkan diriku sendiri.
"bagaimana dengan keluarga Akbar?" tanyaku tiba-tiba dalam keputusasaan.
"aku sudah kirim pesan pada istrinya, kalau Akbar akan lama di rumah ayahnya. Jadi aku masih bisa menunda, sampai kejadian ini sampai ke pihak berwajib. Dan saat polisi sudah menyadari hal tersebut, kita sudah berada di tempat yang jauh. Dimana tidak ada seorangpun yang tahu siapa kita disana." jawaban Sandi membuatku harus mengakui kejeniusannya dalam hal itu.
"kamu mengambil ponsel Akbar juga?" tanyaku dengan nada lemas.
Sandi tidak menjawab, namun aku sudah tahu pasti jawabannya.
Sandi ternyata benar-benar kejam dan licik.
Entah apa yang telah kuperbuat, sampai aku harus bertemu orang seperti Sandi.
"aku ingin buang air.." ucapku, sambil mulai bangkit berdiri dan lalu melangkah pelan ke dalam kamar mandi.
Aku sebenarnya tidak sedang ingin buang air. Aku hanya sedang berpikir, dan berharap di dalam kamar mandi tersebut, ada celah untukku bisa melarikan diri.
Sebenarnya aku sudah tidak peduli lagi tentang video tersebut. Yang aku pikirkan saat ini, hanyalah pergi dari situ secepatnya.
Sampai akhirnya aku melihat tutup kloset dalam kamar mandi itu yang seperti terlepas dari gagangnya.
Aku coba mengangkatnya, dan memang terlepas.
Aku seakan menemukan sebuah ide.
Aku memanggil Sandi dan mengajaknya masuk ke dalam kamar mandi tersebut.
Aku berpura-pura sedang merasa ingin bercinta dengannya.
"aku suka, ketika kita melakukannya di dalam ini.." ucapku dengan nada mesum.
Sandi tersenyum menatapku. Ia tanpa curiga masuk dan mengunci pintu kamar mandi tersebut.
Ia melangkah mendekat dan mulai hendak menciumiku. Tapi kali ini aku yang pegang kendali.
Aku mulai meraba-raba dada bidang Sandi. Membuka kancing baju kemeja satu persatu secara perlahan.
Aku mendorong tubuh Sandi ke dinding, sambil terus memainkan tanganku di dadanya.
Aku putar tubuh Sandi hingga membelakangiku. Aku tahu, Sandi sangat menyukai posisi seperti itu.
Aku mulai mnyentuh bagian-bagian sensitifnya, yang membuat Sandi mulai terlena.
Ia terlihat memejamkan mata menikmati setiap sentuhanku.
Saat itulah, aku dengan cekatan meraih tutup kloset tadi, yang telah sengaja aku letakkan di tempat yang mudah kugapai.
Secepat kilat aku mengayunkan benda keras tersebut, hingga mengenai bagian tengkorak belakang kepala Sandi. Dahinya pun terbentur dengan keras ke dinding.
Sandi berteriak tertahan, lalu kemudian ia tersungkur. Darah mulai mengalir deras di kepalanya.
Aku bergegas keluar dari kamar mandi tersebut.
Aku mengambil tas berisi laptop dan juga ponsel Sandi serta ponselku sendiri.
Aku berjalan santai keluar hotel, aku tidak ingin para petugas hotel curiga.
Aku tidak yakin, apa yang akan terjadi dengan Sandi. Entah ia akan selamat, atau justru akan mengalami kematian.
Tapi menurutku, jika ia tidak segera mendapat pertolongan, ia akan tewas karena kehabisan darah.
Dengan menaiki sebuah taksi, aku kembali ke rumahku. Disana aku menghapus semua file video tersebut, lalu menghancurkan laptop dan ponsel milik Sandi.
Aku mengemasi beberapa pakaian dan perlengkapan kerjaku.
Aku berniat untuk pindah sementara ke tempat istriku. Aku tidak mungkin tinggal disini, sampai keadaan benar-benar membaik.
Sandi bisa saja masih hidup, dan dia pasti akan mencariku.
Aku bahkan berniat menjual rumah tersebut, dan pindah ke tempat yang jauh dari situ.
Tapi itu semua masih berada dalam pikiranku, yang pasti saat ini, aku harus segera menemui istri dan anakku.
"ada apa, mas?" tanya istriku, saat aku sampai disana dengan membawa beberapa buah koper, seperti orang yang hendak pindah.
"aku belum bisa cerita sekarang." balasku, "yang pasti sekarang kita tidak bisa kembali ke rumah dulu. Dan aku merasa sangat capek, aku butuh istirahat.." lanjutku sambil melangkah masuk, mencoba mengabaikan tatapan penuh tanya dari kedua mertuaku.
"katanya mas keluar kota beberapa hari.." istriku berucap lagi, ketika aku sudah terbaring di kamarnya.
"tapi kok tiba-tiba pulang kesini.." lanjutnya.
"panjang ceritanya, Han. Dan tolong jangan wawancarai aku sekarang. Aku harus istirahat.." balasku dengan sedikit memohon.
Malam mulai menjelma. Tubuhku terasa remuk. Bayangan semburan darah yang keluar dari kepala Sandi terus membayangiku.
Namun karena aku yang sudah terlalu lelah, akhirnya benar-benar tertidur.
******
Pagi itu, Adam membangunkanku. Ia mempertontonkan sebuah video siaran langsung dari ponselnya.
"ini bang Sandi kan, Yah.." ucapnya sambil memperlihatkan video tersebut.
Aku terkesiap sesaat.
Dalam video tersebut, terlihat Sandi yang sudah dikabarkan tewas. Pihak polisi sudah mengidentifikasinya.
Ternyata Sandi adalah seorang residivis, yang sudah diburu sejak lama oleh pihak polisi, karena berbagai kasus pembunuhan yang dilakukannya.
Pihak polisi tidak lagi akan mengusut atas kematiannya. Karen Sandi sebenarnya memang akan dihukum mati.
Pihak polisi juga mengatakan, kalau Sandi adalah pria dewasa yang sudah berumur 27 tahun.
Pantas saja aku tidak mempercayainya, saat ia mengaku baru kuliah dan baru berusia 19 tahun.
Entah apa yang aku rasakan saat itu.
Entah merasa lega, atau justru merasa takut.
Lega, karena akhirnya aku terbebas dari ancaman pria homo tersebut.
Takut, karena bisa saja ada yang mengetahui, kalau kematian Sandi ada hubungannya denganku.
Aku tidak meceritakan tentang kejadian yang menimpa Akbar dan Ayahnya, biar kan polisi yang mengungkapnya.
Setidaknya itu salah satu cara agar aku tetap aman.
Aku akhirnya memutuskan untuk kembali kepada istriku.
Aku merasa, setidaknya jika aku hidup bersama istriku, tidak akan ada lagi laki-laki homo yang menggodaku.
Semoga.
Sekian ..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar