Aku jatuh cinta pada suami orang... (suara hati Nisa)

Namaku Anisa.

Aku seorang wanita karir yang sudah berusia 28 tahun.

Aku bekerja sebagai seorang programmer dan ahli IT di sebuah perusahaan besar.

Aku salah satu lulusan terbaik dari luar negeri.

Sebagai wanita karir, aku memang belum menikah sampai saat ini.

Beruntunglah aku tinggal jauh dari kedua orangtuaku, sehingga tuntutan untuk segera menikah, hanya sering aku dengar dari ponsel-ku.

Meski kedua orangtuaku sangat ngotot agar aku segera menikah, namun aku selalu mengabaikan hal itu.

"masih banyak yang ingin aku gapai, Ma.." ucapku suatu saat kepada Ibuku, melalui gawaiku.

"tapi menikah itu penting, Nis..." suaraku Ibuku parau termakan usianya yang sudah hampir kepala enam.

Sebenarnya Ibuku tidak terlalu memaksaku, mengingat aku adalah anak bungsunya. Kedua kakak perempuanku sudah menikah dan sudah memiliki anak.

Hanya saja, aku tahu kekhawatiran Ibu, karena aku tinggal di kota besar sendirian.

"aku pasti bisa jaga diri, Ma. Mama gak usah terlalu mengkhawatirkanku.." suaraku berusaha selembut mungkin.

Aku terkadang jadi jarang mengangkat telpon dari Ibu, karena aku tahu pasti, ujung-ujung pembicaraannya adalah tentang menikah.

Sebagai wanita yang masih lajang, tentu saja aku masih merasa punya banyak kebebasan. Namun aku tetap tahu batas.

Aku juga tidak terlalu suka keluyuran, atau pun berpesta dan berfoya-foya.

Aku lebih sering menghabiskan waktu untuk bekerja.

Di tempat kerja, aku punya beberapa orang teman, yang rata-rata tentu saja sudah berkeluarga.

Salah satu teman kerja ku yang paling dekat ialah Yudha.

Yudha lebih tua dua tahun dariku, ia sudah menikah dan sudah punya dua orang anak.

Aku menjadi dekat dengan Yudha, karena kebetulan kami berada di ruang yang sama. Dan kebetulan juga, kami tinggal di perumahan yang sama.

Jadi meskipun bukan di jam kerja, kami masih sering bertemu, terutama di pagi hari, saat kami joging bersama.

Yudha tidak tampan, tapi ia punya senyum yang sangat manis. Tubuhnya cukup berotot dan terlihat atletis.

Kami sering bekerja sama, terutama saat pekerjaan kami sedang menumpuk.

Aku sering menemani Yudha untuk lembur.

Hampir dua tahun, aku bekerja di perusahaan tersebut. Dua tahun pula, aku dan Yudha sering menghabiskan waktu bersama.

Pelan, aku mulai merasa ada getar-getar aneh, saat aku berada di dekat Yudha.

Entah bagaimana, tiba-tiba saja aku merasa rindu, bila sehari aku tak melihat senyum Yudha.

Aku sekuat mungkin berusaha menepis semua rasa itu. Karena aku tahu, itu jelas sebuah kesalahan.

Dulu, ketika SMA, aku pernah jatuh cinta dan berpacaran dengan kakak kelasku. Cinta monyet itu hanya bertahan beberapa bulan.

Lalu kemudian, saat kuliah, aku juga sempat berpacaran dengan teman kampus-ku yang berbeda negara denganku. Tapi menjelang akhir-akhir masa kuliah, hubungan kami pun kandas.

Sejak saat itu, aku tak pernah lagi benar-benar dekat dengan seorang laki-laki.

Ada beberapa laki-laki yang berusaha mendekatiku, namun aku selalu menjaga jarak. Aku takut, hubungan asmara hanya akan menghambat karirku.

Namun semenjak dekat dengan Yudha, aku kembali merasakan sebuah rasa yang orang-orang sebut itu cinta.

Yah, akhirnya harus aku akui kalau aku telah jatuh cinta pada Yudha. Waktu telah membuatku menyadari hal itu.

Bekerja bareng Yudha, makan siang bareng Yudha, dan bahkan di waktu-waktu tertentu Yudha juga pernah nebeng bareng mobilku.

Hampir setiap pagi, kami bertemu saat lari pagi di kompleks, membuat rasa itu kian kuat ku rasakan.

Aku berusaha sekuat mungkin memendam rasa itu. Aku tak ingin siapa pun tahu, terutama Yudha.

Meski kadang kala, ada saat dimana perasaan itu mencuat di wajahku, ketika Yudha dengan terang-terangan memuji hasil pekerjaanku.

Aku tahu, Yudha memujiku hanya sebatas rasa kagum kepada rekan kerjanya. Tapi rasanya hatiku selalu berbunga, setiap kali melihat senyum Yudha yang manis.

Berbulan-bulan aku berhasil menyimpan rapi semua rasa itu. Aku perlahan belajar untuk memupusnya. Aku tak ingin rasa itu kian berkembang, karena Yudha sudah mempunyai keluarga yang pastinya sangat ia cintai.

Namun biar bagaimana pun, aku hanyalah wanita biasa. Aku bukan malaikat. Godaan untuk bisa sekedar bersama Yudha, justru kian hari kian kuat ku rasakan.

Hingga pada suatu kesempatan, kami mendapatkan kesempatan untuk pergi ke luar kota berdua.

Sebenarnya itu adalah tugas kantor. Kebetulan perusahaan kami akan membuka cabang di kota lain. Kami berdua diutus oleh perusahaan untuk meninjau lokasi sekaligus memastikan keadaan di kota tersebut.

Kami menginap di sebuah hotel, tentu saja dengan kamar yang berbeda.

Kemungkinan kami akan menginap di hotel tersebut, selama tiga malam.

Karena kami sama-sama belum pernah sampai di kota tersebut, kami memutuskan untuk berkeliling, di malam hari, setidaknya beberapa jam sebelum kami tertidur.

Aku yang memang telah jatuh cinta pada Yudha, tentu saja merasa bahagia dengan semua itu.

"kamu cantik, Nis.." ucap Yudha tiba-tiba, saat kami duduk-duduk di sebuah bangku taman kota itu. Saat itu sudah hampir jam sepuluh malam.

Aku menatap Yudha gugup. Yudha belum pernah melontarkan kalimat itu sebelumnya.

"kamu cantik dan pintar, Nis. Pasti banyak cowok yang menginginkan kamu. Tapi kenapa kamu tetap memilih untuk hidup sendiri?" Yudha melanjutkan kalimatnya, melihat aku yang menatapnya penuh tanya.

Aku repleks menunduk, mencoba menahan debaran di jantungku yang tiba-tiba saja menjadi tak karuan, saat Yudha memujiku tadi.

"aku tidak pintar dalam memilih pasanga hidup, Yud." jawabku mencoba terdengar diplomatis.

"mungkin kamu nya yang terlalu memilih, Nis." ucap Yudha lagi, ia memainkan ponselnya.

"ah, gak juga. Justru aku gak punya kriteria apa-apa dalam memilih pasangan." balasku, sambil menyelipkan sebagian rambutku ke telinga.

Aku dapat melihat Yudha masih menatapku dengan mata teduhnya.

Tiba-tiba ia menggeser duduknya mendekatiku. Jantungku semakin berdebar tak menentu.

Aroma khas tubuh Yudha memenuhi rongga hidungku. Yudha duduk terlalu dekat. Tubuh kami hampir berdempetan.

Aku tetap diam. Aku tak berniat untuk menghindar. Aku menikmati hal tersebut.

Perasaanku yang sudah terlalu besar tumbuh di hatiku untuk Yudha, mengajakku untuk tidak menghindari hal tersebut. Meski seharusnya aku bisa menghindarinya.

Angin berhembus lembut, cahaya rembulan cukup menerangi kami malam itu.

Aku beranikan diri menatap ke arah Yudha.

Tiba-tiba saja aku melihat sosok Yudha yang begitu tampan di mataku.

Yudha yang dulunya hanya terkesan biasa saja di mataku, entah mengapa terlihat menjadi lebih tampan dari biasanya.

Mungkin itulah cinta. Ia bisa mengubah sesuatu yang biasa saja, menjadi sesuatu yang luar biasa.

Dan itu yang aku rasakan malam itu.

Ada perasaan penuh harap yang aku rasakan saat itu. Aku berharap Yudha juga punya perasaan yang sama dengan ku.

Namun di luar dugaan ku, tiba-tiba Yudha meraih tanganku, sambil ia tersenyum manis.

Aku gemetaran. Aku ingin menarik tanganku lagi, namun sebagian hatiku yang lain justru menginginkannya.

"aku sayang kamu, Nis.." pelan suara itu, namun mampu membuatku semakin merasa gugup.

Meski aku sangat bahagia mendengar kalimat tersebut, namun aku sadar, ada yang salah semua itu.

"aku tahu, ini salah, Nis. Namun aku tak sanggup lagi memendam semua ini. Kebersamaan kita selama ini, telah menumbuhkan sebuah rasa yang begitu besar di hatiku. Aku jatuh cinta padamu, Nis." Yudha berucap lagi, tangan terus menggenggam jemariku dengan lembut.

Aku menarik tanganku segera. Aku tak ingin terlarut dengan suasana romantis itu. Aku juga mencintai Yudha, tapi Yudha sudah punya istri dan anak.

Akan begitu banyak hati yang akan tersakiti, jika aku membiarkan semua itu terjadi.

"maaf, Yud. Aku gak bisa. Aku gak mungkin menghancurkan kebahagiaan orang lain, hanya untuk merebut kebahagiaanku sendiri." aku berucap sambil sedikit menunduk.

"aku hanya ingin memastikan, Nis. Apa kamu juga mencintaiku?" Yudha berucap, tanpa mengalihkan tatapannya padaku.

"apa bedanya, Yud? Apapun yang aku rasakan saat ini padamu, kita tetap tidak boleh melakukan ini.." jawabku lugas.

"apa itu artinya, sebenarnya kamu juga mencintaiku? Kalau begitu, kenapa kita tidak mencobanya, Nis. Kita coba jalani ini semua.." ucap Yudha kemudian.

"untuk apa, Yud? Untuk apa kita mencobanya, jika kita sudah tahu akhirnya seperti apa?" balasku lagi.

Kali ini Yudha terdiam mendengar kalimatku.

"aku memang mencintai kamu, Yud. Tapi aku tak ingin memiliki sesuatu yang masih berada dalam genggaman orang lain.." aku melanjutkan dengan nada pelan.

"aku akan melepaskan genggaman itu, Nis. Andai saja kamu mau memberikan aku kesempatan.." Yudha berucap juga kemudian.

"jangan menjanjikan sesuatu, yang kamu sendiri tidak yakin bisa melakukannya, Yud. Jelas semua itu tidak mudah. Dan aku tidak ingin terjebak di dalam janji yang tidak bisa kamu penuhi." ucapku lagi.

"jadi sebelum semua ini, menjadi semakin rumit. Lebih baik kita saling mundur, Yud. Agar tidak ada hati yang akan terluka.." lanjutku.

"meski itu melukai hati kita berdua?" Yudha berucap cepat.

"tapi setidaknya ini tidaklah terlalu parah, Yud. Aku memang sakit, saat menyadari kalau aku telah jatuh cinta kepada orang yang salah. Tapi akan lebih sakit lagi, jika aku tetap ngotot untuk hidup bersama orang yang bukan ditakdirkan untukku.." kalimatku tertahan, ada rasa perih yang aku rasakan, saat mengucapkan kalimat barusan.

Aku tahu, cinta itu rumit. Tapi tak pernah ku sangka akan serumit ini.

Mungkin memang sakit, jika cinta bertepuk sebelah tangan. Tapi jauh lebih sakit lagi, saat kita saling jatuh cinta, namun tak bisa untuk bersama.

Sekuat mungkin aku menahan air mataku agar tidak tumpah. Rasanya begitu berat harus melepaskan kesempatan tersebut. Tapi aku harus kuat.

Aku tak ingin menghancurkan semuanya. Karirku, keluargaku dan terutama istri dan anak Yudha.

Aku tak pernah bermimpi untuk menjadi wanita yang merusak kebahagiaan wanita lainnya.

Mungkin salahku, yang telah membiarkan hatiku terlalu lama kosong, sehingga kehadiran Yudha sangat mudah merasuki kehampaan hatiku.

*******

Hari-hari selanjutnya, terasa begitu berbeda bagiku. Hubunganku dengan Yudha tak lagi semanis dulu.

Ada jarak yang terasa begitu jauh di antara kami. Meski pekerjaan kami, tetap terus memaksa untuk kami tetap saling bertemu.

Aku berusaha bersikap biasa saja, meski hatiku terasa begitu perih menahan semua perasaan itu.

"kenapa kamu selalu mengabaikanku?" tanya Yudha suatu saat, ketika kami kembali terpaksa harus lembur berdua.

"aku rasa semuanya sudah cukup jelas, Yud. Kita harus terbiasa dengan keadaan ini." balasku pelan.

"tapi sampai kapan kamu akan menipu dirimu sendiri, Nis? Sampai kapan kamu akan berpura-pura bahwa diantara kita tidak ada perasaan apa-apa?" tanya Yudha lagi, yang membuatku terdiam.

Aku tidak tahu, sampai kapan semua ini akan terus terjadi? Aku tidak tahu, sampai kapan aku sanggup menghindari semua ini?

Aku juga tidak tahu, apa yang aku harapkan dari semua ini sebenarnya?

*****

Hari-hari selanjutnya, Yudha semakin sering merayuku.

Sebagai wanita biasa, aku tidaklah begitu kuat.

Aku akhirnya menerima ajakan Yudha untuk bertemu dengannya di sebuah hotel.

Aku benar-benar telah jatuh cinta pada Yudha. Ada keinginan yang besar untuk bisa memilikinya.

Malam itu, kami berdua sudah berada di sebuah kamar hotel.

Aku tak bisa lagi menahan keinginanku untuk bisa merasakan kehangatan Yudha.

Apa lagi Yudha begitu pandai membuatk terlena. Aku begitu terpesona melihat Yudha yang tanpa baju. Dadanya terlihat bidang dan kekar. Itu pertama kali aku melihatnya.

Kami pun mulai bergumul bak sepasang suami istri.

Aku serahkan seluruh jiwa ragaku pada Yudha malam itu. Pria yang selama ini selalu menghiasi fantasiku, kini berada dalam dekapanku.

Rasanya begitu indah. Sangat indah.

Yudha berhasil membuaiku dalam lautan keindahan penuh warna.

Hati kami menyatu, jiwa kami pun berpadu. Kami berusaha mencapai puncak bersama.

Hingga akhirnya kami pun terhempas dalam sebuah rasa yang tak terkira.

Aku merasa bahagia malam itu, meski aku tahu itu semua adalah sebuah kesalahan.

Tapi kami tidak menyesalinya. Karena kami melakukannya dengan penuh cinta.

Sejak kejadian malam itu, kami semakin sering bertemu. Kami semakin sering melakukannya.

Hubungan rahasia kami terjalin dengan indah. Yudha selalu berhasil membuatku begitu menikmati hal tersebut bersamanya.

Berbulan-bulan hal itu terjadi. Aku semakin terlena oleh keindahan cinta di antara kami.

Namun sesuatu yang busuk, sepandai apa pun kami menyimpannya, akhirnya akan tercium juga.

Istri Yudha, akhirnya mengetahui hubungan kami.

Berita tentang perselingkuhan kami pun menyebar begitu cepat, terutama di tempat kerja kami.

Kami berdua pun, mendapat skorsing dari perusahaan.

Aku merasa terpukul dengan semua itu. Tapi semua sudah terjadi.

Aku harus bisa menerima hukuman dari perbuatanku.

Aku memutuskan untuk kembali ke kampung halamanku, dan menerima perjodohanku dengan laki-laki pilihan orangtuaku.

Tidak ada seorang pun dari pihak keluargaku yang tahu, tentang kisahku dengan Yudha.

Aku juga tidak tahu lagi, bagaimana kabar Yudha selanjutnya.

Meski Yudha berkali-kali coba menghubungiku, namun aku selalu mengabaikannya. Aku tak ingin bertemu dengan Yudha lagi. Aku tak ingin jatuh lebih dalam lagi.

Aku memilih untuk mengubur semua impianku. Semua karirku.

Aku memilih untuk menjadi ibu rumah tangga bagi suamiku.

Meski aku tidak pernah mencintai suamiku, namun setidaknya aku hak penuh akan dirinya.

Aku akan belajar untuk mencintainya. Aku akan belajar jadi istri dan ibu yang baik, untuk anak-anakku kelak.

Yudha tidak tahu, keberadaanku sekarang. Karena selama berhubungan dengannya, aku memang tidak pernah cerita tentang keluargaku.

Aku hanya berharap, semoga Yudha tidak berpisah dengan istrinya. Semoga Yudha masih mampu mempertahankan rumah tangganya.

Kisahku dengan Yudha, adalah sebuah kesalahan. Dan aku tidak akan pernah mengulanginya lagi.

Akan ku hapus segala kenanganku bersama Yudha.

Biarlah semua itu, hanya menjadi sepenggal cerita di masa lalu.

****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini

Layanan

Translate