Calon istriku ternyata adik kandung my boyfriend...

Aku melangkah gontai menuju tempat parkiran yang berada tepat di halaman kantor tempat aku bekerja.

Sudah dua hari ini, pikiranku tiba-tiba kacau.

Sambil mengendarai mobil menuju pulang, terngiang kembali pembicaraanku dengan mama tempo hari.

"ini merupakan amanat almarhum papa mu, Bas..." suara mama pelan.

Aku kembali menatapnya.

Cerita gay

"suka tidak suka kamu harus menjalankan amanat tersebut.." lanjut mama, masih dengan suara pelan.

"tapi aku benar-benar gak bisa, Ma.." ucapku tertatih.

"kenapa? Apa kamu sudah punya calon sendiri?" kali ini suara mama sedikit meninggi.

"aku belum ingin menikah, Ma.." balasku dengan suara sedikit parau.

"kamu udah 28 tahun, Bas. Sudah saatnya kamu berumah tangga..." ucap mama lagi.

"tapi gak harus di jodohkan juga, kan, ma?!" suaraku semakin parau.

"mama kan sudah bilang, ini amanat almarhum papa kamu. Lagi pula, Lisa itu gadis yang baik. Ia berasal dari keluarga terpandang. Asal usulnya jelas. Papa mama Lisa juga udah setuju." jelas mama lagi.

Aku kembali terdiam. Aku sudah cukup mengenal mama. Sejak papa meninggal tiga tahun lalu, mama memang jadi sedikit keras padaku.

Apa pun yang sudah menjadi keputusannya, tidak akan ada yang bisa mengubahnya.

"tapi, ma... " suaraku tertahan.

Mama tiba-tiba berdiri.

"gak ada tapi-tapian lagi, Bas. Pokoknya lusa malam kita akan ke rumah Om Tito, papanya Lisa, untuk menyampaikan lamaran kamu.." setelah berucap demikian, mama pun beranjak dari ruang keluarga itu.

Aku masih terpaku. Aku menjadi kian bingung.

Aku tidak ingin menikah dengan Lisa. Bukan saja, karena aku tidak mengenalnya. Tapi juga karena sebenarnya aku sudah punya seorang kekasih yang sangat aku cintai.

Namanya Leo.

Ya, Leo seorang cowok. Dan dia adalah pacarku.

Kami pacaran sudah hampir tiga tahun. Meski selama itu hubungan kami hanyalah sebuah rahasia.

Tidak ada yang mengetahuinya. Karena memang begitulah sebuah hubungan di dunia gay tercipta.

Tapi kami saling mencintai. Kami selalu punya jadwal untuk saling bertemu dan melepas rindu.

Hubungan terlarang kami terjalin dengan indah. Tidak pernah ada masalah yang berarti sebelumnya.

Aku sangat mencintai Leo, begitu juga sebaliknya.

Leo dua tahun lebih tua dariku. Ia bekerja di sebuah perusahaan milik keluarganya.

Secara keseluruhan aku tidak begitu mengenal Leo. Karena begitulah hubungan kami terjalin.

Kami tidak pernah saling mengenal keluarga masing-masing. Bahkan kami tidak saling tahu, dimana alamat rumah kami masing-masing.

Selama ini, kami hanya berkomunikasi melalui ponsel, dan selalu bertemu di hotel yang berbeda.

Kami punya komitmen, untuk tetap merahasiakan kehidupan pribadi kami. Karena kami sadar, bahwa hubungan kami tidak akan mendapat restu dari siapa pun.

Tapi kami saling mencintai, kami saling menyayangi.

Setiap kali kami bertemu, kami akan saling menumpahkan segala rasa rindu dan akan melakukan pendakian yang indah bersama.

Leo, laki-laki yang tampan. Tubuhnya kekar dan atletis. Menurut cerita Leo, ia memang suka fitnes.

Aku menyukai Leo dengan segala kelebihannya itu.

"kamu juga sangat tampan, Bas." ucap Leo suatu malam, saat aku untuk kesekian kalinya memuji ketampanan wajahnya.

"kamu juga sangat lembut. Kamu mampu membuatku melayang setiap kali kita melakukan pendakian bersama. Aku merasa sangat puas, bersama kamu, Bas." Leo melanjutkan, yang membuatku merasa tersanjung.

Aku memang selalu berusaha membuat Leo merasa puas. Aku tidak ingin ia berpaling dariku.

Setelah pembicaraanku dengan mama tentang perjodohanku siang itu, aku segera menghubungi Leo untuk mengajaknya bertemu. Aku berniat untuk menceritkan semuanya pada Leo.

Seperti biasa, Leo sudah menungguku di sebuah kamar hotel.

Setelah saling melepaskan rindu, dan melakukan pelayaran dalam lautan kemesraan yang penuh cinta, kami berdua akhrinya jatuh terhempas.

Aku kemudian menceritakan semuanya pada Leo.

Aku melihat ada raut kemurungan di wajah Leo tiba-tiba setelah mendengar tentang perjodohanku.

Aku yakin Leo pasti merasa kecewa.

"aku bingung, Leo. Aku tidak bisa menghindar begitu saja. Keputusan mama sudah sangat bulat. Apa lagi, itu semua adalah amanat dari almarhum papa." kalimatku tertahan.

Rasanya sangat sakit harus mengatakan itu semua.

Leo terlihat menarik napas berat. Ia mengusap wajahnya beberapa kali.

"aku tahu, suatu saat ini semua akan terjadi. Jika bukan kamu, mungkin aku akan juga dituntut untuk menikah oleh keluargaku. Karena memang begitulah seharusnya. Sebagai laki-laki, apa lagi di usia kita saat ini, kita memang harus segera menikah.." Leo berucap juga akhirnya, setelah cukup lama kami terdiam.

"tapi rasanya begitu sulit, untuk bisa mengikhlaskan orang yang kita cintai menikah dengan orang lain.." Leo melanjutkan ucapannya. Suaranya terdengar mulai serak.

Aku melihat mata itu pun mulai berkaca. Hatiku merasa terpukul melihat itu semua.

"percayalah, Leo. Jika bisa menolak, aku pasti akan menolaknya. Aku.. aku ... hanya ingin menikah dengan kamu, Leo. Andai saja itu bisa menjadi mungkin. Tapi seperti yang kamu katakan, kita tidak bisa melawan takdir.." ucapanku sedikit terbata.

"aku hanya berharap, seandainya nanti aku memang harus menikah, aku ingin kita tetap seperti ini. Aku ingin kita tetap bisa bertemu. Aku tak ingin hubungan kita berakhir.." aku melanjutkan, meski sebulir air mata jatuh di pipiku, tanpa aku sadari.

Leo manatapku. Ia perlahan menyentuh pipiku. Ia usap tetesan air mata itu, yang membuatku semakin merasa sedih.

Aku repleks memeluk tubuh kekar itu. Rasanya begitu nyaman berada di dalam dekapan tersebut.

Leo membalas dekapanku. Kami saling dekap sangat erat, seakan tak ingin terpisahkan.

*****

Aku memarkir mobilku di garasi rumah. Hari sudah hampir jam tujuh malam.

Mama sudah menungguku dengan berkacak pinggang. Sejak tadi ia sudah menghubungiku, aku sengaja tidak mengangkat telponnya.

"ini sudah jam berapa, Bas? Kita janji mau ke rumah om Tito malam ini jam tujuh!" suara tinggi mama menyambutku di depan pintu masuk.

"iya, ma. Tadi jalanan macet. Aku mau mandi dulu, ma.." balasku sambil terus melangkah masuk menuju kamarku, mengabaikan mama yang sudah siap mengeluarkan kalimat makian berikutnya.

Aku masih mendengar suara mama mengomel gak jelas. Aku bersegara mandi, tak ingin membuat amarah mama semakin meninggi.

Setelah selesai mandi dan berpakaian apa adanya, aku segera keluar kamar, dengan di saksikan tatapan mata mama yang tajam.

"kita ini mau melamar loh, Bas. Bukan mau ke pasar loak.." ketus suara mama, sambil terus melototiku.

"udahlah, ma. Kenapa sih, pakaian menjadi begitu penting saat ini?" balasku dengan nada malas.

Mama akhirnya tidak berkata apa-apa lagi. Aku tahu, karena mama merasa harus buru-buru.

Dengan bersikap masih ogah-ogahan, aku akhirnya menyetir mobil menuju rumah om Tito, papanya Lisa, gadis yang akan dijodohkan denganku.

Mama duduk di sampingku, dengan muka cemberutnya.

Setelah melewati perjalanan hampir setengah jam tanpa suara, kami akhirnya sampai ke sebuah rumah mewah.

Aku memang belum pernah ke rumah om Tito, tapi aku sudah pernah bertemu om Tito beberapa kali, saat ia berkunjung ke rumah kami, ketika papa masih hidup.

Om Tito memang sahabat papa sejak muda. Mereka menjalin persahabatan sejak lama, Karena itu juga, papa mengamanatkan untuk menjodohkanku dengan anaknya om Tito.

Tapi aku belum pernah bertemu dengan anak-anak om Tito, bahkan dengan istrinya pun aku tidak pernah bertemu.

Setiap kali ada pertemuan dengan keluarga om Tito aku selalu menghindar, apa lagi selama ini, aku kuliah di luar negeri, dan juga sebenarnya sudah bekerja di sana.

Tapi sejak papa meninggal, aku harus kembali dan bekerja di kota ini.

Dan sejak kembali ke kota inilah, aku akhirnya bertemu dengan Leo, kekasih hatiku itu.

Om Tito dan istri menyambut kedatangan kami dengan ramah.

Mereka seperti sudah menyiapkan segala sesuatunya.

Kami duduk di ruang keluarga rumah itu. Seorang gadis cantik tiba-tiba muncul dari lantai atas.

Aku yakin itu Lisa. Meski aku belum pernah bertemu dengannya.

Om Tito memperkenalkan Lisa kepada aku dan mama. Tapi aku yakin, mama pasti sudah mengenal dan pernah bertemu dengan Lisa.

Aku melirik sekilas ke arah gadis cantik itu. Gadis itu duduk di samping mamanya.

Mama tidak salah, Lisa memang cantik.

Tapi aku sadar, bukan itu persoalannya kenapa aku ingin menolak perjodohan ini.

Tidak ada yang salah dengan Lisa. Sebagai seorang perempuan, Lisa terlihat sempurna.

Tapi, aku memang tidak punya ketertarikan kepada perempuan.

Selanjutnya mama dan om Tito mulai membicarakan tentang perjodohan kami.

Aku tidak begitu menyimaknya, pikiranku tidak sedang berada di situ pada saat itu.

Saat itulah aku mendengar sebuah langkah kaki menuju ruang tempat kami duduk.

Tapi aku mengabaikan kedatangan orang tersebut, dalam pikiranku bisa saja itu salah seorang pembantu di rumah itu.

Aku terus tertunduk. Aku merasa gelisah dari awal. Saat suara om Tito menyadarkanku tiba-tiba.

"oh, ya, nak Bas. Perkenalkan juga, ini anak sulung Om. Namanya Leonardo. Ia baru tiga tahun pulang ke Indonesia."

Aku segera mendongak. Keterkejutanku tidak bisa aku sembunyikan.

Leo berdiri tepat di samping om Tito. Tatapan matanya juga penuh dengan keterkejutan.

Aku yakin, Leo juga tidak mengetahui hal ini.

"apa kalian sudah saling kenal?" suara mama Leo menyadarkan kami.

"belum.." jawab kami hampir bersamaan. Leo masih tetap berdiri terpaku.

Aku semakin terpukul menyadari itu semua.

Mengapa dunia menjadi begitu sempit bagi kami?

Bagaimana mungkin, aku bisa dijodohkan dengan adik pacarku sendiri?

Hatiku tiba-tiba terasa semakin terhiris. Dan aku yakin, itu juga yang di rasakan Leo saat itu, bahkan mungkin jauh lebih sakit dari yang aku rasakan.

Tak lama kemudian, tiba-tiba Leo pamit.

"kamu mau kemana, Leo?" mamanya Leo mencoba mencegahnya.

"Leo mau keluar, ma..." jawab Leo terdengar parau, sambil terus melangkah menuju pintu keluar.

Ingin rasanya saat itu, aku segera menyusul Leo. Tapi jelas hal itu tidak mungkin. Yang membuatku akhirnya pasrah, setidaknya sampai pembahasan tentang perjodohan kami selesai.

Setengah jam kemudian, mereka pun akhirnya memperoleh kata sepakat, tentang perjodohanku dengan Lisa. Mereka sudah mengatur semuanya, terutama tentang jadwal pertunangan kami, yang akan dilaksanakan beberapa minggu lagi.

******

Aku cukup ngebut, untuk membawa mama segera pulang ke rumah.

Aku ingin segera bertemu Leo. Banyak yang harus kami bicarakan.

Tapi saat sampai di rumah, aku mencoba menghubungi ponsel Leo. Namun nomornya tidak aktif, sepertinya Leo sengaja mematikan ponselnya.

Aku tahu, betapa sakit yang dirasakan Leo saat ini. Hal itu justru membuatku kian cemas.

Aku takut Leo bertindak bodoh. Meski aku yakin, Leo seorang laki-laki yang kuat dan berpikir dewasa.

Tapi aku tetap merasa khawatir, aku harus bertemu Leo malam itu juga.

Karena itu, aku kembali menyetir mobilku keluar dari garasi.

Aku menyetir mobil pelan, menyelusuri jalanan yang mulai sepi itu.

Aku berharap bisa melihat Leo dipingiran jalan, atau setidaknya aku bisa melihat mobilnya terparkir di suatu tempat.

Tapi setelah lebih dua jam aku berkeliling kota itu, aku tidak juga berhasil menemukan Leo.

Berkali-kali aku coba menghubunginya, namun sepertinya Leo memang sengaja mematikan ponselnya.

Aku mulai putus asa, dan memutuskan untuk kembali ke rumah, karena malam yang semakin larut.

Mungkin Leo memang butuh waktu sendiri untuk menenangkan pikirannya.

Semoga ia baik-baik saja. Do'a ku dalam hati.

*****

Pagi itu, mama menggedor-gedor pintu kamarku sangat keras. Tidak seperti biasanya. Apa lagi ini hari minggu, mama tahu aku tidak masuk kerja. Biasanya ia tak pernah membangunkanku jika hari minggu tau hari libur lainnya.

"ada apa sih, ma?" tanyaku masih menahan kantuk. Semalam aku pulang dari berkeliling mencari Leo, sudah hampir jam satu malam.

"kita harus ke rumah sakit sekarang, Bas." suara mama tegas.

"ke rumah sakit?" keningku berkerut, "siapa yang sakit?" lanjutku.

"tadi om Tito mengabarkan pada mama, kalau Leo, anak lakinya itu, tadi subuh mengalami sebuah kecelakaan parah." jawab mama menjelaskan.

Aku tentu saja terkaget mendengar kabar itu.

"kamu kenapa?" tanya mama tiba-tiba, yang melihat reaksi ku mendengar ceritanya barusan.

Mungkin tingkah ku terlihat berlebihan bagi mama. Sebagai orang yang baru mengenal Leo, setidaknya begitulah menurut mama, aku seharusnya tidak sekaget itu.

Tapi aku tidak bisa menyembunyikan kekagetanku.

Kabar tentang kecelakaan yang menimpa Leo, benar-benar membuatku terpukul.

Biar bagaimana pun, Leo pasti merasa sangat kecewa, karena perjodohanku dengan adiknya.

Aku yakin, kecelakaan yang di alami Leo, jelas ada hubungannya dengan semua itu.

Dalam kegamangan hatiku, aku kembali masuk ke kamar untuk segera mandi. Aku tak pedulikan keheranan mama melihat perubahan di raut wajahku.

*****

Setengah jam kemudian, kami sudah berada di rumah sakit, di mana Leo di rawat.

Aku yang merasa khawatir dan juga merasa sangat bersalah, buru-buru masuk ke dalam rumah sakit tersebut. Mama masih terus menatapku dengan keheranannya.

"Leo belum sadarkan diri.." suara parau om Tito menyambut kedatangan kami.

"ia mengalami kecelakaan yang sangat parah. Kepalanya terbentur benda keras. Menurut keterangan dokter tadi, Leo bisa saja mengalami amnesia parah.." om Tito melanjutkan penjelasannya, yang membuat seluruh tubuhku terasa lemas tak berdaya.

Hampir seharian aku tetap berada di rumah sakit itu. Mama bahkan aku minta pulang naik taksi.

Aku tak pedulikan keheranan keluarga om Tito, akan betapa khawatirnya aku dengan keadaan Leo saat itu.

Saat sore, akhirnya Leo tersadar dari koma-nya.

Namun seperti yang di sampaikan om Tito pagi tadi, Leo benar-benar mengalami lupa ingatan.

Semua keluarga merasa bersedih mengetahui hal itu.

Tapi andai mereka tahu, aku yang paling sedih mengetahui hal itu.

Pada suatu kesempatan, aku masuk ke kamar inap Leo sendirian.

Aku menatap wajah tampan yang bagian atasnya terbalut perban.

Leo juga menatapku, tapi tatapannya benar-benar datar.

Wajah itu benar-benar terlihat datar dan tanpa reaksi apa pun.

Aku semakin terenyuh melihat kondisi Leo seperti itu.

Tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa saat ini. Ingin rasanya aku mendekap Leo saat itu.

"kamu siapa?" suara Leo datar dan terdengar sedikit serak.

Aku merasa sakit mendengar pertanyaan itu.  Orang yang selama ini selalu menemani hari-hari indahku, tiba-tiba tak mengenaliku lagi.

Ingin rasanya aku berbicara banyak, tapi tiba-tiba lidahku terasa kelu.

Mataku mulai berkaca. Aku benar-benar tidak sanggup melihat itu semua.

Mengapa hal ini harus terjadi pada Leo?

Mengapa bukan aku saja yang mengalaminya?

Aku segera keluar dari ruangan itu. Aku tak ingin Leo melihat aku menangis.

Leo terlihat keheranan melihat tingkahku.

*****

Di sepanjang perjalanan pulang, aku menangis. Benar-benar menangis.

Aku terisak sendiri. Aku merasa sangat terpukul.

Aku sangat mencintai Leo. Aku ingin selalu berada di sampingnya.

Aku ingin menemaninya melewati masa-masa sulit ini.

Tapi apa yang bisa aku lakukan saat ini?

Sementara aku harus memenuhi permintaan mama untuk segera menikah dengan Lisa, adik kandung Leo.

Semua ini, membuatku semakin bingung.

Haruskah aku tetap memenuhi permintaan ibu?

Atau haruskah aku...?

Akh... aku benar-benar tidak tahu harus apa.

Semua yang terjadi ini, sudah di luar kendaliku sebagai manusia biasa.

Mungkin memang lebih baik aku pasrah dan membiarkan takdir menjalankan tugasnya.

*****

Sudah hampir dua minggu, keadaan Leo semakin membaik, tapi tidak dengan ingatannya.

Aku sering diam-diam menyelinap menemui Leo di rumah sakit.

"ngapain mas di sini?" tanya Lisa suatu hari, saat aku dipergokinya berada di rumah sakit tersebut.

Aku sedikit gelagapan. Tapi aku berusaha bersikap tenang.

"aku mau ketemu kamu.." suaraku datar.

Kulihat Lisa mengerutkan dahinya. Jelas kalimatku barusan membuat ia terheran.

Karena sejak perkenalan kami, pada malam lamaran itu, aku bahkan tidak pernah menghubunginya.

"ada apa mas mau ketemu saya?" tanya Lisa kemudian.

"aku... hmm... aku.. mau ngomong.." ucapku sedikit tergagap.

"mau ngomong apa?" tanya Lisa lagi, "kenapa gak ke rumah aja?" lanjutnya.

Aku semakin kebingungan harus menjawab apa.

Aku menarik napas dalam, lalu berucap.

"sebenarnya, kamu setuju gak sih dengan perjodohan kita?"

Lisa menatapku tajam.

"mas Baskoro sendiri setuju gak?" ucap Lisa balik bertanya.

Aku terdiam sejenak. Lalu menggeleng ringan.

"kalau begitu, kenapa mas Baskoro tidak menolaknya saja?" tanya Lisa lagi, melihat aku hanya menggeleng.

"karena kata mamaku, ini adalah amanat dari almarhum papaku. Jadi jelas aku tidak bisa menolak.." balasku berusaha bersikap wajar.

Lisa terlihat tersenyum kecut.

"itu juga yang menjadi alasanku, kenapa aku tetap tidak bisa berbuat apa-apa dengan perjodohan ini.." ucapnya datar.

Untuk sesaat aku terdiam. Lalu kemudian permisi, untuk segera berlalu dari hadapan Lisa.

*****

Sesuai dengan jadwal yang sudah disepakati oleh mama dan om Tito, aku dan Lisa akhirnya melaksanakan acara pertunangan kami.

Leo sudah kembali ke rumahnya, tapi ingatannya masih belum kembali.

Ia harus menjalani terapi rutin dengan dokter ahli, untuk bisa memulihkan ingatannya. Meski menurut dokter itu, butuh waktu sangat lama, bagi Leo untuk bisa memulihkan ingatannya kembali.

"dia butuh dorongan untuk bisa memulihkan ingatannya, terutama dari orang-orang yang pernah dekat dengannya.." begitu ucap Lisa padaku menjelaskan.

Aku sekarang memang jadi sering menghubungi Lisa. Niatku hanya satu, aku harus selalu tahu, keadaan Leo.

Setelah bertunangan, aku justru jadi semakin berani berkunjung ke rumah om Tito.

Aku hanya ingin bertemu Leo. Aku ingin membantunya untuk pulih.

Jika dengan dukungan penuh dari orang-orang terdekatnya, bisa membantu Leo memulihkan ingatannya, aku adalah salah satu orang terdekatnya.

Aku ingin Leo mengingat kembali kenangan-kenangan indahnya denganku.

*****

Dan beberapa minggu kemudian, aku pun menikah dengan Lisa.

Perasaanku terhadap Lisa biasa saja. Tidak ada perkembangan sama sekali. Tapi aku memang tidak bisa lagi menolak perjodohan itu.

Setelah menikah, aku pun tinggal di rumah om Tito. Itu semua atas permintaanku. Karena seharusnya aku tetap tinggal bersama mama, dan Lisa yang seharusnya pindah ke rumahku.

Tapi karena aku ingin melihat Leo setiap hari, aku meminta hal itu pada om Tito. Tentu saja dengan alasan yang berbeda, dari yang sebenarnya aku niatkan.

Meski aku dan Lisa tidak saling mencintai. Namun karena tuntutan untuk segera menimang cucu dari orangtua kami, aku dengan terpaksa harus melakukan kewajibanku sebagai seorang suami.

Hingga beberapa bulan kemudian, Lisa pun hamil.

Semua keluarga bergembira mendengar kabar itu, kecuali aku.

Aku bukannya tak senang akan segera menjadi seorang ayah. Tapi kondisi Leo yang tak kunjung ada perkembangan, membuatku merasa tak benar-benar bisa menikmati hidupku lagi.

Aku hanya ingin Leo pulih kembali. Meski pun resikonya, ia pasti akan sangat terluka mengetahui kalau aku sudah menikah dengan adiknya.

Selama aku tinggal serumah dengan Leo, aku sering mengobrol dengannya. Tapi Leo hanya mengenalku sebagai adik iparnya.

Aku bahkan sering memancing Leo, untuk mengingat-ingat kembali kenangan saat kami bersama dulu.

Meski tentu saja dengan cara yang tidak membuat ia curiga tentang siapa aku sebenarnya.

Tapi Leo tetap tak bisa mengingat apa-apa, yang membuatku semakin terluka.

Om Tito akhirnya memutuskan untuk membawa Leo berobat ke luar negeri. Ke Jerman tepatnya.

Dan itu artinya aku tidak bisa lagi bertemu dengan Leo.

Aku pun memutuskan untuk membawa Lisa pindah ke rumah mama.

Kehamilan Lisa pun semakin membesar.

*****

Sebulan kemudian, Om Tito mengabarkan bahwa Leo sudah mulai ada perkembangan. Ingatannya sudah mulai pulih, meski ia belum mampu mengingat semuanya.

Setengah hatiku sangat bahagia mendengar kabar itu, namun sebagian hatiku yang lain, justru merasa cemas. Karena jika ingatan Leo kembali pulih, ia pasti akan mengingat siapa aku, yang sudah menjadi adik iparnya.

"Leo sudah pulih. Ia sudah bisa mengingat semuanya. Tapi ia tidak mau pulang. Ia ingin tetap tinggal di Jerman.." begitu penjelasan om Tito seminggu kemudian.

Aku tidak tahu apa yang aku rasakan saat itu. Entah merasa bahagia, entah merasa sakit.

Aku yakin, Leo tak ingin kembali ke Indonesia, itu karena ia sudah tahu kalau aku akhirnya menikah dengan Lisa.

Aku ingin bertemu Leo. Banyak yang ingin aku ceritakan padanya. Tapi Leo sepertinya memang sengaja menghindar dariku.

Meski demikian, aku tidak kehabisan akal.

Aku tahu dimana Leo tinggal, tentu saja dari Lisa.

Karena itu, aku mencoba membuat alasan, agar aku bisa ke Jerman sendirian.

Setelah mempersiapkan segala sesuatunya, aku akhirnya terbang ke negara Jerman. Ke tempat Leo tinggal.

Aku meminta Lisa, untuk tidak memberi tahu Leo, akan kedatanganku.

Sesampai di sana, tentu saja Leo sangat kaget melihat kehadiranku.

"kenapa kamu ke sini?" tanya Leo dengan nada sinis.

"aku kangen kamu Leo.." suaraku bergetar.

Leo menatapku tajam. Kami sudah berada di dalam apartemen tempat ia tinggal.

"aku tidak tahu, harus mengatakan apa saat ini, Bas. Yang pasti aku kecewa sama kamu.." ucap Leo kemudian masih dengan nada sinisnya.

"aku minta maaf, Leo. Aku tahu kamu kecewa. Tapi tolong beri aku kesempatan untuk menjelaskan semuanya.." balasku lirih.

"gak ada yang harus dijelaskan lagi, Bas. Semuanya sudah cukup jelas. Lebih baik kita jalani hidup kita masing-masing. Anggap tidak pernah terjadi apa-apa di antara kita." Leo berucap tegas.

Ia menarik napas dalam.

"sebenarnya aku sangat marah sama kamu, Bas. Aku tidak masalah kalau kamu menikah. Tapi kenapa harus dengan adikku..?" lanjutnya lagi.

"kamu sendiri juga tahu alasannya apa, Leo. Kita sudah membahas ini jauh sebelum akhirnya aku menikah dengan Lisa.." balasku cepat.

"iya. Karena itu, aku berusaha untuk menahan amarahku. Karena itu juga, aku tidak ingin bertemu kamu lagi. Kamu bisa bayangkan perasaanku saat ini, Bas." Leo menarik napas lagi, kali ini lebih panjang.

"betapa sakitnya, mengetahui orang yang kita cintai menikah dengan orang lain. Dan yang paling menyakitkan dari semua itu, ialah mengetahui kalau adikku menikah dengan seorang gay.." lanjut Leo kemudian, yang membuatku merasa semakin terluka.

Aku melihat mata Leo mulai berkaca.

"kadang aku ingin tetap mengalami lupa ingatan, aku tidak ingin sembuh." lanjutnya lagi, sambil mengusap mukanya satu kali.

Aku tidak tahu lagi harus berkata apa. Aku benar-benar merasa bingung.

Aku dan Leo memang tidak mungkin bisa bersama lagi.

Aku harus bisa melupakannya. Meski hal itu sangatlah terasa berat bagiku.

Aku harus menjalani kehidupanku sebagai mana mestinya. Aku harus menjalankan hidupku sebagai mana takdirku.

****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini

Layanan

Translate