Apa kamu percaya, dengan cinta pada pandangan pertama?
Dulunya aku tidak percaya sama sekali. Bagaimana mungkin kita bisa merasa tertarik pada seseorang hanya melalui sebuah tatapan?
Namun semenjak bertemu Damar, aku mulai mempercayai hal tersebut.
Siapa Damar?
Dan bagaimana akhirnya kami bisa bertemu?
Kali ini saya akan menceritakannya disini.
Cerita yang selama ini hanya aku pendam sendiri. Cerita yang hanya menjadi rahasia dalam hidupku.
Dan beginilah ceritanya.
Namaku Abe. Begitu biasa orang-orang memanggilku.
Mungkin masih ada yang ingat tentang kisahku sebelumnya.
Kisahku yang telah jatuh cinta kepada orang yang salah berkali-kali.
Mulai dari jatuh cinta kepada seorang pemuda desa, yang merupakan sahabatku sendiri, hingga akhirnya ia pun menikah, yang membuatku harus pergi meninggalkan kampung halamanku.
Lalu kemudian aku jatuh cinta pada mandor tempat aku bekerja, yang saat itu sudah berstatus suami orang. Meski akhirnya kami bisa dekat, namun cintaku tetap bertepuk sebelah tangan, yang membuatku patah untuk yang kedua kalinya.
Sampai akhirnya aku bertemu Zai, seorang rekan kerjaku, sebagai sesama tukang panen sawit di sebuah kebun perusahaan. Aku kembali merasakan jatuh cinta pada Zai, setelah hampir setahun kami tinggal bersama.
Meski aku berhasil memiliki Zai, tapi pada akhirnya hatiku kembali hancur, karena Zai memilih untuk pergi meninggalkanku, yang sudah terlanjur bahagia bersamanya.
Dua tahun kebersamaanku dengan Zai, namun semua memang harus berakhir dengan sangat menyakitkan bagiku.
Dan setahun kemudian, disinilah aku sekarang. Di kampung halamanku.
Yah,aku memutuskan untuk kembali ke kampung, dan berencana memulai hidup baru.
Aku memang kembali bertemu, dengan pemuda kampung yang merupakan cinta pertamaku itu. Tapi semua rasa cintaku padanya, kini hanya menjadi sepenggal cerita yang telah ku kubur rapi di dalam hatiku.
Aku mulai menata hidupku lagi, menata hatiku kembali.
Aku berharap, aku bisa berubah. Aku tidak ingin jatuh cinta lagi kepada orang yang salah. Aku tidak ingin jatuh cinta lagi, kepada orang yang tidak akan pernah bisa aku miliki.
Namun yang terjadi, terkadang tidak selalu berjalan seperti yang kita rencanakan.
Aku sekarang bekerja di sebuah perusahaan kebun sawit, sebagai seorang mandor. Seorang abang iparku, yang sudah bekerja bertahun-tahun di perusahaan tersebut, merekomendasikan ku untuk bisa bekerja disana, meski hanya bermodal ijazah SMP.
Karena sudah punya pekerjaan tetap, aku juga jadi punya penghasilan yang tetap.
Sebagai seseorang yang masih hidup melajang, gaji yang aku terima sudah lebih dari pada cukup.
"jadi kapan kamu akan memutuskan untuk menikah?" kakakku kembali mempertanyakan hal itu padaku, pada suatu hari.
Keluargaku sekarang, memang sangat berharap aku segera menikah.
"kamu udah 30 tahun lebih loh, Be. Kamu mau selamanya hidup melajang?" lanjut kakakku lagi.
Aku selalu terdiam, setiap kali pihak keluargaku mempertanyakan hal tersebut.
Aku bukannya tidak mau menikah. Aku juga ingin merasakan kehidupan yang normal. Jadi seorang suami, punya keturunan. Tapi apa mungkin, aku bisa membuat istriku bahagia nantinya, jika aku tidak bisa benar-benar mencintainya.
Aku takut, pernikahanku nantinya, hanyalah sebuah kepalsuan.
Namun biar bagaimana pun, aku memang harus mulai memikirkan hal tersebut.
Sebagai orang yang tinggal di kampung, menikah adalah sesuatu yang sudah lebih dari sebuah kewajiban.
Laki-laki yang sudah berkepala tiga, namun masih melajang, akan menjadi bahan gunjingan yang empuk bagi para warga. Mungkin karena itu juga, keluargaku sangat bersikeras, untuk aku segera menikah.
Apa lagi, secara fisik, sebenarnya aku cukup menarik, menurut orang-orang terdekat ku, sih. Dan kehidupanku secara ekonomi juga sudah lumayan mapan.
Tapi ya, itu tadi, aku tidak bisa menemukan wanita, yang bisa membuatku jatuh cinta padanya.
*****
Hari-hari kembali berlalu, tanpa bisa dicegah atau pun dipacu.
Sampai suatu saat, aku pergi berjalan-jalan sendirian. Aku berniat untuk menghilangkan segala kejenuhanku setelah bekerja selama berbulan-bulan.
Kebetulan saat itu, masih dalam suasana libur lebaran. Kami para pekerja, mendapat jatah libur beberapa hari.
Aku memutuskan untuk menaiki sebuah travel, menuju sebuah daerah yang baru-baru ini cukup viral dibicarakan orang-orang. Sebuah pulau kecil di tengah lautan, yang katanya mempunyai pemandangan alam yang indah.
Meski daerah tersebut, cukup jauh dari desa tempat aku tinggal, setidaknya aku harus menempuh perjalanan hampir setengah hari naik travel untuk bisa sampai kesana.
Sesampai disana, aku harus naik sebuah kapal kecil untuk menuju pulau tersebut.
Memang sebuah pulau yang amat indah. Dan juga di kunjungi oleh banyak orang.
Pulau Andromeda, begitu masyarakat disekitar menyebut nama pulau nan eksotik tersebut.
Aku menaiki sebuah kapal kecil bersama beberapa orang pengunjung lainnya.
Sesampai di pulau tersebut, kami diturunkan di sebuah pelabuhan kecil, dan disambut oleh beberapa orang pemandu.
Para pemandu yang rata-rata laki-laki itu, mencoba menawarkan jasanya kepada setiap pengunjung yang datang. Meski terlihat banyak dari para pengunjung, untuk memilih menjelajahi pulau kecil itu tanpa pemandu.
Aku yang memang sendirian, dan baru pertama kali ke Andromeda, mencoba menerima tawaran dari seorang pemandu.
Selain memang tidak mengetahui daerah tersebut, aku juga butuh teman bercerita.
"aku Damar, bang.." begitu pemuda tersebut namanya, setelah kami melakukan tawar menawar mengenai harga yang telah ditetapkan.
"Abe..." jawabku singkat.
Damar tersenyum ramah. Senyum yang membuat degupan di jantungku menjadi tak karuan.
Damar memiliki sebuah belahan tipis di dagunya, yang membuat ia terlihat manis, terutama saat ia tersenyum.
Pemuda berbadan gelap nan eksotik itu, memiliki tubuh yang atletis dan berotot.
Perutnya terlihat ramping, ketika hembusan angin di pantai tersebut, meniup-niup baju kaos oblong hijau yang dipakainya siang itu.
Damar memakai sebuah celana jeans pendek, dengan sedikit seboken di bagian paha kirinya. Kakinya dipenuhi bulu-bulu yang hampir tak kelihatan karena hampir menyerupai warna kulitnya, meski sebenarnya bulu-bulu itu sangat lebat, hingga ke bagian pahanya.
Rambut Damar sedikit ikal, namun terlihat lembut tertiup hembusan angin. Matanya memancarkan sejuta keindahan. Bibirnya tipis, dengan hidung yang terlihat mungil.
Rahang kokohnya memperlihatkan tonjolan di lehernya, menjadi terlihat seksi.
Secara keseluruhan, Damar memang tidaklah terlalu tampan, tapi ia punya pesona tersendiri, yang membuatku menjadi tidak bosan menatapnya.
Dan aku sepertinya tiba-tiba saja, merasa sangat tertarik pada Damar.
Sehingga sebuah kalimat yang selama ini hanya mitos bagiku, kini justru terjadi padaku.
'Cinta pada pandangan pertama' desisku dalam hati.
Damar membantuku membawa beberapa barangku, menuju tempat peristirahatanku.
Di pulau ini, memang menyediakan sebuah tempat penginapan, untuk para pengunjung beristirahat atau bahkan untuk menginap beberapa malam disini.
Tempat penginapan itu, hanyalah seperti sebuah pondok kecil yang terbuat dari kayu, namun dibangun dengan karakteristik yang indah. Terlihat kokoh dan terkesan mewah,
Pondok-pondok kecil itu tersusun rapi, hampir di sepanjang pantai pulau tersebut. Ada puluhan banyaknya.
Untuk bisa menyewa tempat tersebut, kita harus memesannya dari awal, karena jika sudah menjelang sore, pondok-pondok itu, akan habis tersewa oleh para pengunjung.
Meski dengan harga yang sedikit mahal, tapi pondok itu cukup nyaman dan luas.
"pondok ini, memang dibuat untuk menampung sebuah keluarga, bang. Jadi, ya memang harus luas.." Damar mencoba menjelaskannya padaku, ketika kami telah berada di dalam salah satu pondok, yang sudah aku sewa tadi.
"jadi bang Abe sendirian?" tanya Damar lagi.
Aku hanya mengangguk kecil, karena aku tahu, pertanyaan tersebut hanyalah sebuah pertanyaan basa-basi.
Damar memang ramah dan terlihat sopan.
"sudah berapa lama kerja disini?" tanyaku, ketika akhirnya kami pun berjalan-jalan menyelusuri pantai tersebut.
"udah hampir dua tahun, bang.." jawab pemuda yang ternyata baru berusia 21 tahun tersebut.
Aku memang berencana untuk menginap satu malam di pulau tersebut. Namun karena masih sore, Damar menawarkanku untuk berkeliling sebentar, sambil kami mengobrol tentunya.
Ada banyak pengunjung disana, dan juga berbagai jenis jualan ada disana. Mulai dari berbagai jenis makanan dan minuman, berbagai aksesoris, serta beberapa cenderamata yang unik.
Sebuah pulau yang sangat menarik, namun dibalik itu semua, ada Damar yang telah mampu mengetuk hatiku, bahkan sejak pertama kali aku melihatnya.
Berjalan berdua bersama Damar, aku seperti merasakan keindahan pantai itu, menjadi dua kali bahkan tiga kali lipat lebih indah.
Damar cukup jangkung, aku terkadang harus tengadah untuk bisa menatap wajah teduhnya.
Kami ngobrol banyak hal, bahkan aku tanpa sengaja, juga menceritakan beberapa bagian dari kisah hidupku. Tapi tentu saja, bukan tentang aku yang seorang gay.
"bang Abe, mau berapa malam menginap disini?" tanya Damar, di sela-sela obrolan kami.
"hanya satu malam, Mar.." jawabku, mulai merasa akrab.
Senja pun akhirnya tiba. Orang-orang terlihat sedang asyik menikmati tenggelamnya sang mentari, sebuah momen yang menjadi pesona tersendiri di pulau itu.
Aku menatapi tenggelamnya sang mentari yang menghilang perlahan.
Terlihat indah. Terasa begitu indah. Apa lagi, dengan adanya Damar disisiku. Keindahan itu terasa lengkap.
Setelah mulai gelap, kami pun berjalan kembali ke pondok sewaanku.
Sebelum pamit, Damar menawarkan untuk menemaniku malam itu.
"kalau bang Abe masih butuh teman ngobrol, sih.." ucapnya lembut.
Aku tentu saja dengan senang hati menerima tawaran tersebut. Bukan saja, karena aku yang memang butuh teman, tapi juga rasanya terlalu berat harus berpisah dari Damar.
*******
Malam pun datang. Sehabis mandi di kamar mandi yang memang tersedia di dalam pondok berukuran kurang lebih 4x4 itu, aku pun memesan makan malam, melalui salah seorang kurir pengantar makanan.
Beberapa saat setelah aku menghabiskan makan malamku, Damar pun muncul kembali di pondok itu.
Kali ini ia memakai sebuah baju kemeja lengan pendek, bercorak garis-garis putih. Dengan celana jeans panjang, yang membuat ia terlihat lebih maskulin.
Sementara aku hanya memakai baju kaos oblong dengan celana pendek, sejenis celana olahraga, yang biasa aku pakai jika aku hendak tertidur.
Aku memang tidak berniat kemana-mana malam itu. Aku hanya ingin beristirahat di pondok itu.
"jadi kita kemana malam ini?" tanya Damar, ketika ia sudah berada di dalam pondok.
Di dalam pondok, terdapat sebuah ranjang besar dan sebuah lemari pakaian.
"aku sedang tidak ingin kemana-mana, Mar. Kita ngobrol disini aja, ya.." balasku pada Damar.
"sayang loh, bang. Udah di pulau ini, tapi bang Abe justru hanya diam di pondok. Kita bisa keliling, bang. Ada banyak kegiatan di pulau ini, kalau malam hari, salah satunya ada api unggun.." Damar berucap lagi, sambil ia duduk di sampingku di sisi ranjang.
"aku capek, Mar. Aku hanya pengen istirahat.." ucapku, sambil sedikit melirik Damar.
"jadi aku ganggu nih, bang? kalau gitu aku pamit, ya.." ucap Damar, mencoba untuk bangkit.
Aku repleks menahan Damar.
"bukan itu maksudku, Mar. Aku justru pengen kamu nemani aku disini..." ucapku cepat, takut Damar benar-benar pergi.
Damar kembali manatapku dengan senyum manisnya.
"aku pengen kamu tidur disini, bisa?" tanyaku hati-hati.
"tenang aja, nanti aku kasih doble tip-nya.." lanjutku, takut Damar salah paham.
"oke, bang." jawab Damar mantap. "selama itu bisa membuat bang Abe senang.." lanjutnya.
"sebelumnya kamu pernah menemani pengunjung tidur gak..?" tanyaku, mencoba mencari tahu, seperti apa Damar sebenarnya.
"pernah, bang. Tapi biasanya cewek, kalau ia datang sendiri, dan merasa takut tidur sendirian.." jawab Damar, terlihat terbuka.
"cowok belum pernah ya?" tanyaku meyakinkan.
Damar hanya menggeleng.
"biasanya cuma menemani tidur aja?" tanyaku lagi, benar-benar ingin tahu.
Damar menyunggingkan senyum tipis. Ia menatapku penuh tanya, mungkin ia tak menyangka aku akan mempertanyakan hal tersebut.
"yaa... tergantung sih, bang. Tergantung yang ngajak. Ada yang cuma menemani tidur, tapi jujur, ada juga yang minta dilayani.." jawab Damar akhirnya, yang membuatku punya kesimpulan tersendiri tentang Damar.
Damar bisa dibayar. Itu kesimpulanku. Ada secercah harapan, pikirku.
"itu bayarnya lebih, ya?" tanyaku terus berusaha memancing.
"biasanya iya, bang. Apa lagi kalau cewek tajir, dan sedang bermasalah. Ia pasti bayar aku mahal.." Damar semakin terbuka. Seperti peluangku yang juga terbuka untuk bisa mendapatkannya malam itu.
Damar memang mengakui kalau ia belum pernah menemani seorang cowok tidur, tapi bukan berarti dia tidak mau.
Aku yang sudah terlanjur jatuh cinta pada Damar, akan sangat bersedia membayar berapa aja, asal Damar mau melakukannya denganku. Hanya saja, aku merasa bingung harus bagaimana mengatakannya pada Damar.
Biar bagaimana pun, aku tetap merasa takut, kalau Damar akan menolak.
"kalau aku yang bayar kamu, untuk tidur denganku, kamu mau gak?" tanyaku akhirnya dengan suara yang tertahan.
Damar menatapku tajam, dahinya berkerut.
"maksud bang Abe?' tanya Damar dengan suara pelan.
"maksud ... maksud saya... kamu mau gak saya bayar untuk melayani saya.." jawabku meski dengan sedikit terbata.
"bang Abe homo?" Damar bertanya kembali, ia meluruskan duduknya.
Aku tidak segera menjawab, aku tidak harus menjawab. Aku biarkan Damar menyimpulkannya sendiri.
Damar berdiri tiba-tiba.
"maaf, aku gak bisa, bang..." ucapnya pelan.
"aku bukannya gak mau, bang. Tapi itu sesuatu yang berat. Aku belum pernah melakukannya. Membayangkannya saja, aku sudah merasa mual. Maaf, bang. Tapi begitulah kenyataannya." lanjut Damar lagi, masih dalam keadaan berdiri.
Aku segera bangkit dari rebahanku. Aku tahu, ini sulit bagi Damar. Karena itu, aku harus berusaha lebih keras lagi, untuk membujuknya.
"aku akan bayar kamu dua kali lipat dari biasanya." ucapku, kali ini aku duduk di sisi ranjang.
Damar duduk kembali, ia terlihat sedang berpikir keras.
"bang Abe serius?" tanya Damar, sambil ia melirikku.
Aku mengangguk berat.
Nafsu sudah menguasaiku saat itu. Aku bahkan tidak peduli, jika uang dalam tabunganku harus terkuras, untuk bisa menikmati Damar.
"tapi aku geli loh, bang, dipegang-pegang sama cowok.." Damar berucap lagi, ia menyilangkan kedua tangannya di dadanya.
"kamu pejam mata aja, Mar.." saranku.
Damar kembali terdiam. Aku masih terus berusaha meyakinnya. Meski Damar masih terlihat ragu-ragu.
Aku yakin, uang yang aku tawarkan, sangat banyak bagi Damar. Ia bahkan butuh waktu berbulan-bulan untuk mengumpulkan uang sebanyak itu.
Dan hal itu yang akhirnya membuat Damar akhirnya menyerah.
"tapi aku ingin semua lampu dimatikan ya, bang.." pinta Damar dalam kepasrahannya.
"aku juga ingin melakukannya, sambil nonton video dewasa.." lanjutnya lagi.
Aku memenuhi semua permintaan Damar. Apa pun caranya, yang penting aku bisa menikmatinya malam itu.
Keadaan dalam ruangan itu menjadi gelap, setelah Damar mematikan semua lampu. Ia kemudian memutar sebuah video dewasa melalui ponselnya.
Aku pun mulai beraksi. Tanganku menyentuh bagian-bagian sensitif tubuh Damar.
Aku merasakan Damar mencoba sekuat mungkin menahan rasa gelinya.
Namun aku lebih berusaha lagi, untuk membangkitkan gairahnya.
Dengan bantuan video dewasa normal yang ia tonton, akhirnya aku berhasil membuat Damar mulai menikmati hal tersebut.
Perlahan namun pasti, Damar mulai menikmati setiap permainanku. Ia bahkan tidak lagi menonton video tersebut.
Dalam kegelapan itu, aku dan Damar akhirnya memulai sebuah pelayaran.
Sebuah pelayaran yang kurasakan sangat indah. Aku sudah sangat lama tidak merasakan hal tersebut, benar-benar terlena dan terbuai dengan sebuah sensasi yang berbeda.
Biar bagaimanapun, itu adalah pengalaman pertamaku melakukan hal tersebut dengan seorang cowok normal.
Dan terlebih, aku melakukannya dengan orang yang aku cintai.
Aku berhasil merasakan tubuh kekar Damar malam itu. Meski aku tahu, Damar melakukannya bukan dari hati. Tapi karena ia berusaha menumpahkan hasratnya yang sudah terlanjur bangkit, karena menonton video dewasa tersebut.
Dan juga tentu saja, karena ia mendapatkan upah dari hal tersebut.
Sebuah pelayaran yang sangat panjang. Damar benar-benar tangguh. Ia seakan berpacu dengan lautan penuh ombak, yang membuat ia semakin berkeringat.
Aku berusaha mengikuti setiap ayunan gelombang keindahan yang Damar berikan. Aku tidak ingin melewati hal itu, walau sedetik pun.
Aku ingin menikmati, setiap hentakan dayung kemesraan yang Damar lakukan.
Aku merasakan keindahan itu. Tubuhku terguncang, dalam setiap hempasan alunan yang penuh cinta itu.
Debaran di jantungku berdetak semakin tak beraturan. Berkali-kali aku memejamkan mata. Berharap semua itu bukanlah sebuah mimpi. Berharap semua itu, tidak akan pernah berakhir.
Aku ingin sepanjang malam itu merasakan keindahan tersebut.
Suara deburan ombak di tepi pantai itu, terdengar begitu riuh dari luar. Mereka seperti mengimbangi permainan yang sedang kami lakukan.
Sampai akhirnya tubuhku pun terhempas. Aku dan Damar sama-sama berlabuh di sebuah dermaga penuh warna.
Damar ikut menghempaskan tubuh kekarnya, setelah ia sempat mengejang sesaat.
Aku tahu, Damar sangat menikmati permainan kami tadi.
Dan aku merasa sangat puas. Tak sia-sia rasanya, segala perjuanganku untuk bisa mendapatkan Damar malam itu.
Karena sama-sama merasa kelelahan, kami pun akhirnya sama-sama tertidur.
Namun menjelang subuh, aku terbangun.
Aku pun mencoba memancing Damar lagi.
Damar tak berniat untuk menolak. Ia terlihat pasrah. Aku tak ingin menghabiskan sisa malam itu, dengan sia-sia.
Aku harus bisa benar-benar menikmatinya.
Hingga untuk yang kedua kalinya malam itu, kami pun kembali berlayar bersama.
Mengayuh biduk cinta dalam lautan kemesraan. Sampai kami pun kembali berlabuh di tepian kebahagiaan.
Aku kembali memejamkan mata. Tertidur dengan perasaan penuh kelegaan.
******
Pagi itu, setelah mandi dan sarapan, aku pun pamit kepada Damar. Berat rasanya harus berpisah dari Damar. Setelah semua keindahan yang kami lalui bersama.
"kapan kesini lagi, bang?" tanya Damar melepaskan kepergianku.
Aku hanya menggeleng. Karena aku memang tidak tahu, kapan aku akan bisa kesini lagi. Butuh biaya besar untuk bisa kembali ke pulau nan indah ini.
Tapi, aku pasti kembali. Aku pasti akan menemui Damar lagi. Aku terlanjur jatuh cinta padanya.
Rasa rindu pasti akan menghantuiku sepanjang waktu. Dan aku takut, aku tak mampu menahannya.
Cinta pada pandangan pertama, memang terasa berbeda. Apa lagi kesan yang Damar berikan padaku, sangat indah.
Kutatap wajah Damar untuk yang terakhir kalinya. Aku tak tahu, entah kapan aku akan bisa menatapnya lagi.
Damar kembali memamerkan senyum manisnya dengan belahan dagunya yang terlihat indah.
Sepanjang perjalanan pulang, pikiranku kembali memutar memori kenangan indahku bersama Damar.
Meski hanya satu malam, semua itu terasa sangat berkesan dan begitu membekas dalam benakku.
Damar sebenarnya tidak menerima semua uang yang aku berikan padanya. Ia hanya mengambil sebagiannya.
"segini udah lebih dari cukup, bang.." ucap Damar, sambil mengembalikan sebagian uang lagi padaku.
Aku tersenyum sendiri, mengingat semua itu. Aku tahu, Damar pasti sangat terkesan dengan apa yang aku lakukan padanya. Ia mungkin telah menemukan sesuatu yang berbeda, yang membuat ia tidak tega menerima semua uang yang aku berikan padanya.
****
Hari-hari kembali berlalu. Aku kembali bekerja seperti biasa. Hanya saja bedanya, aku seperti menemukan sebuah semangat baru dalam hidupku.
Kenangan indah satu malam bersama Damar, benar-benar membuatku terlena.
Hingga sebulan kemudian, aku memutuskan untuk datang lagi ke pulau andomeda.
Aku ingin bertemu Damar lagi. Aku ingin mengulangnya lagi bersama Damar.
Tapi ternyata, kenyataan tak seindah yang aku harapkan.
"Damar udah pindah, mas. Ia sudah gak kerja disini lagi.." jawab salah seorang pemandu, ketika aku bertanya tentang Damar padanya.
"kenapa?" tanyaku terdengar lemah. Jauh-jauh aku datang kesini untuk menemuinya, tapi aku justru harus menelan kepahitan.
"gak tahu juga, mas. Katanya ia mau pulang kampung." jawab laki-laki itu lagi.
Aku terhempas kecewa.
Sebulan aku coba menahan rindu pada Damar. Saat aku sudah punya kesempatan untuk menemuinya, namun yang aku dapatkan hanyalah sebuah kehampaan.
Aku kecawa. Benar-benar kecewa. Pulau yang tadinya terlihat begitu indah bagiku, sekarang terlihat begitu suram.
Aku yang tadinya berencana untuk menginap di pulau itu, akhirnya memutuskan untuk kembali pulang.
Hidupku yang tadinya sangat bergairah, tiba-tiba terasa hampa. Kosong.
Aku kehilangan semangat. Aku kehilangan pegangan. Aku benar-benar tidak punya harapan lagi untuk bisa bertemu dengan Damar.
Sekali lagi, aku harus menelan pahitnya sebuah perpisahan.
Meski kisahku dengan Damar hanya terjadi satu malam. Namun luka yang ditorehkannya terasa begitu dalam.
Aku tahu, Damar tidak mencintaiku, seperti aku yang sangat mencintainya.
Tapi mengapa Damar harus pergi?
Mengapa ia harus pergi disaat aku sangat ingin bertemu dengannya?
Oh, Damar!
Meski hanya satu malam bersamamu, namun seluruh jiwaku telah mampu engkau renggut.
Tapi aku tidak mungkin menyalahkan Damar.
Jika pun harus ada yang dipersalahkan, mungkin hatiku yang terlalu cepat jatuh cinta.
Kini hatiku kembali terasa hambar dan datar. Tiada siapa-siapa yang menghuninya.
Dalam kehampaan jiwaku itu, aku akhirnya memenuhi permintaan keluargaku.
Yah, aku akhirnya menerima perjodohanku dengan seorang gadis pilihan keluargaku.
Aku memang harus menikah. Aku memang harus menjalankan kodratku sebagai seorang laki-laki.
Tak peduli aku menginginkannya atau tidak.
Tak peduli aku menyukainya atau tidak.
Namun yang pasti, semua cerita yang terjadi di sepanjang perjalanan hidupku. Akan menjadi butiran-butiran kenangan, yang akan selalu kusimpan rapi di dasar hatiku.
Semua kisah itu akan menjadi rahasia dalam perjalanan hidupku.
******
Part 5
(Sebuah cinta dari masa lalu...)
Setelah menikah dan akhirnya memiliki keturunan. Ku pikir petualanganku di dunia gay telah berakhir.
Namun ternyata, sepenggal cerita di masa lalu, yang telah aku kubur dalam-dalam, tiba-tiba mencuat kembali ke permukaan.
Masa lalu itu kembali menjelma.
Ya, setelah bertahun-tahun berpisah dan tidak pernah bertemu lagi dengan Am.
Kini tiba-tiba ia muncul.
"bertahun-tahun aku coba mencari tahu keberadaan bang Abe.." ucap Am, saat ia akhirnya aku persilahkan masuk ke dalam rumah kami.
Am tiba-tiba muncul di ambang pintu rumahku sore itu, saat aku baru saja selesai mandi sepulang kerja.
Iya, Am. Masih ingatkan?
Cowok yang memiliki senyum paling manis, yang merupakan mandor-ku, ketika aku bekerja di pabrik dulu.
Am sudah menikah waktu itu, meski belum mempunyai anak.
Aku sempat menolongnya saat sebuah kecelakaan menimpanya. Aku bahkan sempat menyumbangkan darahku padanya waktu itu.
Aku jatuh cinta padanya. Walau akhirnya kami bisa menjadi begitu dekat, dan menjalin persahabatan. Tapi pada akhirnya, aku memutuskan untuk pergi dari kehidupan Am secara diam-diam.
Aku tak sanggup menahan perasaanku padanya waktu itu. Jika aku terus bersamanya, aku takut, aku tidak kuat lagi memendam rasa cintaku padanya.
Karena itu, aku memutuskan untuk pergi, tanpa mengucapkan sepatah kata pun pada Am.
Dan setelah sekian tahun berlalu, bahkan aku sudah hampir melupakannya, tiba-tiba ia muncul.
"aku takut terjadi apa-apa sama bang Abe waktu itu, karena bang Abe pergi tanpa ada penjelasan sama sekali.." Am melanjutkan kalimatnya.
Kami duduk di kursi ruang tamu rumahku. Aku sudah meminta istriku untuk menyediakan minuman dan beberapa makanan ringan untuk kami.
"maaf, Am.." aku berucap juga akhirnya.
"aku... aku ... waktu itu, perginya juga dadakan, jadi aku gak sempat pamit sama kamu.." lanjutku terbata, karena harus sedikit berbohong.
"tapi setidaknya abang kan bisa nelpon aku." balas Am cepat.
"ini malah nomor abang gak aktif lagi. Aku kan khawatir, bang. Takutnya terjadi apa-apa.." lanjutnya lagi.
Aku terdiam sesaat. Aku mengerti kekhawatiran Am padaku waktu itu. Biar bagaimana pun, kami memang sudah sangat dekat. Jadi rasanya wajar, kalau Am mengkhawatirkanku.
Tapi waktu itu, aku hanya pergi. Itu satu-satunya cara, agar aku bisa menghapus semua rasa cintaku pada Am. Karena aku sadar cintaku pada Am tidak akan pernah berbalas.
"jadi gimana kamu bisa sampai sini?" tanyaku akhirnya, setelah untuk beberapa saat kami saling terdiam.
Setelah berpisah sekian tahun, ternyata mampu membuat keakraban kami selama ini, jadi ikut memudar.
Sudah sangat banyak peristiwa yang terjadi, selepas aku pergi dari Am.
Bahkan aku tidak ingat lagi, sudah berapa lama sebenarnya kami tak bertemu.
Mengingat jarak tempat tinggal Am dengan kampungku sangatlah jauh, aku yakin Am kesini pasti penuh perjuangan.
Meski ia kesini naik mobilnya, tapi ia menyetir sendirian.
Aku benar-benar tidak menyangka Am akan mencariku sampai kesini.
"beberapa tahun lalu, aku juga sampai kesini, bang." ucap Am, seperti mengabaikan pertanyaanku barusan.
"tapi kata orang-orang abang belum kembali kesini. Justru itu membuatku semakin merasa khawatir."
"Tapi aku yakin, abang pasti baik-baik saja, karena menurut cerita teman yang satu tempat kost dengan bang Abe waktu itu, ia melihat abang pergi dengan membawa koper, yang artinya abang memang sengaja pergi dari kota."
"Hanya saja aku tidak pernah tahu, kemana abang pergi selama ini."
"aku terus berusaha mencari tahu, kemana sebenarnya abang pergi, dan kenapa abang harus pergi?" Am terus melanjutkan penjelasannya.
Aku menatap Am berkali-kali. Perlahan rasa bersalah mulai menghantuiku.
Aku tak menyangka, Am akan sebegitu pedulinya padaku.
"sampai akhirnya aku mendapat kabar kalau abang sudah kembali ke kampung. Aku tahu, abang sudah di kampung lebih dari setahun. Dan sebenarnya sudah sejak lama aku ingin kesini."
"namun karena kesibukan kerja, aku hampir tidak punya waktu untuk datang kesini, karena kan jauh bang. Tapi setidaknya aku sudah tahu, kalau abang baik-baik saja," Am menghentikan kalimatnya, sambil menarik napas ringan.
"dan sekarang lah aku punya kesempatan untuk datang kesini.." lanjut Am lagi.
Aku kembali terdiam.
Entah penjelasan Am tersebut bisa aku mengerti atau tidak, aku mencoba mengangguk. Berpura-pura memahaminya.
"apa yang membuat kamu merasa, kalau aku bisa saja tidak baik-baik saja?" tanyaku tiba-tiba. Entah dari mana dorongan pertanyaan itu muncul.
"karena aku tahu siapa abang. Aku tahu, bagaimana perasaan abang padaku.." jawab Am lugas.
"maksud kamu?' tanyaku benar-benar penasaran.
"kita tidak bisa ngomong soal itu disini, bang.." balas Am, "bagaimana kalau abang ikut saya ke kota?" lanjutnya menawarkan.
"sekarang?' tanyaku, dengan sedikit mengerutkan dahi.
"iya.." jawab Am tegas.
"tapi aku besok kerja, Am.." timpalku kemudian.
"aku kenal dengan atasan tempat abang kerja, ia temanku. Aku bisa minta ia memberi izin untuk abang selama beberapa hari. Abang tenang aja.." balas Am, penuh percaya diri.
*******
Setelah berpamitan dengan istri dan anakku, aku akhirnya pergi bersama Am ke kota.
Aku tidak tahu, apa maksud Am membawaku ke kota bersamanya.
Namun karena penasaran, aku pun ikut bersamanya.
Sepanjang perjalanan, Am bercerita banyak padaku. Ia bercerita kejadian-kejadian yang ia alami, semenjak aku pergi dari kehidupannya.
"karena tak kunjung punya keturunan, aku akhirnya bercerai dengan istriku, sekitar tiga tahun yang lalu.." cerita Am padaku.
"sekarang aku hidup sendirian. Pernah terpikir untuk menikah lagi, tapi aku takut. Aku takut, justru sebenarnya aku ini mandul.." lanjut Am sangat terbuka.
Sepanjanga perjalanan itu, aku lebih banyak diam. Aku lebih fokus mendengarkan cerita Am perihal kepedihan hidupnya.
Meski secara ekonomi, kehidupan Am sudah sangat mapan. Namun sebenarnya ia tidak bahagia.
Perjalanan yang kami tempuh hampir enam itu, akhirnya sampai ke tujuan.
Pikiranku kembali memutar memori kenangan ku di kota tersebut. Hampir dua tahun aku tinggal di kota itu, banyak hal telah terjadi, terutama kenanganku dengan Am.
Meski hubungan kami hanya sebatas persahabatan, tapi aku merasa sangat bahagia waktu itu.
Menjadi dekat dan akrab dengan Am, adalah sebuah anugerah bagiku. Meski akhirnya aku lebih memilih untuk pergi dari semua keindahan itu.
Kini Am kembali. Ia dengan susah payah berusaha untuk bisa bertemu lagi denganku.
Aku tahu, Am masih merasa berhutang budi padaku. Mungkin karena itu juga, ia sangat ingin bertemu denganku kembali.
Am mengajakku masuk ke rumahnya yang besar dan mewah. Setelah bertahun-tahun ternyata tidak banyak perubahan di rumah itu, meski sekarang tidak ada lagi sentuhan wanita disana.
Am punya dua orang pembantu di rumah itu, sepasang suami istri, yang Am tugaskan juga sebagai penjaga rumahnya, saat Am tidak sedang di rumah.
Kedua orang itu, sudah seperti keluarga bagi Am. Mereka memang sudah bertahuh-tahun bekerja disana.
"mama papa udah meninggal beberapa tahun lalu, bang.." ucap Am, ketika ia akhirnya mengajakku masuk ke kamarnya.
Sebenarnya aku merasa canggung berada di dalam kamar itu. Namun karena Am yang terlihat santai dan begitu akrab, aku mencoba bersikap biasa saja.
Sejujurnya, aku merasa bahagia bisa bertemu Am kembali setelah sekian tahun aku tak lagi melihat senyum manis itu.
Getar-getar indah itu masih aku rasakan, saat melihat Am tersenyum.
Sejak menikah dan memiliki anak, aku sudah jarang bahkan hampir tak pernah lagi memikirkan seorang cowok. Meski aku juga sebenarnya belum benar-benar jatuh cinta pada istriku.
Tapi aku selalu mencoba menjadi suami dan ayah yang baik. Kehidupan rumah tanggaku juga sebenarnya baik-baik saja.
Istriku mampu membuatku terasa menjadi seorang laki-laki seutuhnya. Aku juga sudah bertekad, untuk melupakan semua tentang masa laluku. Aku berusaha menjalani kehidupanku, sebagai mana layaknya seorang laki-laki.
Namun kehadiran Am kembali, mampu membuatku mengais-ngais sebagian dari kisah masa laluku.
Aku berusaha sekuat mungkin untuk menepis semua pesona Am. Aku tak ingin terlena oleh sisa-sisa perasaanku pada Am. Aku harus bisa menganggap Am hanyalah seorang sahabat dari masa laluku.
Malam itu, setelah mandi dan makan malam, Am kembali mengajakku mengobrol di kamarnya.
"bang Abe tidur disini aja, ya.." ucap Am menawarkan.
Aku pun menyetujuinya.
"sebenarnya aku masih penasaran, dengan ucapan kamu ketika di rumahku kemarin, Am..." aku berucap, ketika kami sudah sama-sama berbaring diatas ranjang mewah milik Am.
"ucapan yang mana?" tanya Am, entah ia berpura-pura tidak ingat atau karena ia memang tidak ingin membahas hal tersebut.
"kamu bilang kalau kamu tahu tentang perasaanku padamu..." ucapku mencoba mengingatkan Am.
Am memutar kepalanya untuk menatapku. Kulihat ia tersenyum.
"apa yang bang Abe lakukan padaku di masa lalu, sudah cukup membuktikan, bang. Kalau bang Abe sebenarnya mencintaiku, kan?" ucap Am kemudian.
Aku terkesiap. Aku benar-benar tidak menyangka Am akan berucap demikian.
Entah bagaimana caranya, Am bisa menyimpulkan seperti itu.
Am tidak salah, ia benar tentang hal itu. Karena aku memang jatuh cinta pada Am, waktu itu.
"kenapa kamu bisa menyimpulkan seperti itu?" tanyaku akhirnya setelah untuk sesaat aku hanya terdiam.
"kita tidak saling kenal waktu itu, bang. Dan abang rela melakukan apa saja, untuk bisa menyelamatkan nyawaku. Hanya kekuatan cinta yang bisa melakukan hal itu, bang."
"dan aku juga tidak terlalu bodoh, untuk percaya, jika waktu itu abang bilang, itu semua hanyalah sebuah bentuk kemanusiaan."
"gak ada orang yang bisa melakukan itu, bang. Kecuali untuk orang yang ia cintai.." Am melontarkan kalimatnya dengan lancar, yang membuatku kembali terdiam.
"aku sudah tahu abang mencintaiku, karena itu aku berusaha menjadi sahabat yang baik buat bang Abe." Am melanjutkan.
"sebenarnya aku juga tertarik pada bang Abe waktu itu. Tapi karena status-ku yang sudah menikah, membuatku untuk memilih tetap memendam perasaanku.."
"aku ingin kita tetap dekat, bang. Sampai aku punya keberanian untuk jujur pada bang Abe. Namun tiba-tiba bang Abe menghilang." Am kembali melanjutkan kalimatnya.
Kali ini, Am memiringkan tubuhnya sambil terus menatapku.
"terus terang aku kecewa, karena harus kehilangan bang Abe waktu itu. Aku jadi sering murung dan marah-marah gak jelas." Am berucap lagi.
"dan karena perubahan itu juga akhirnya, istriku memilih untuk pergi." lanjut Am.
"aku terpuruk cukup lama. Aku merasa hidupku sia-sia, karena orang yang aku cintai telah pergi meninggalkanku tanpa penjelasan."
"sampai akhirnya kematian mama dan papa menyadarkanku, bahwa hidupku masih harus tetap berlanjut. Aku mulai menata hatiku kembali. Mencoba memulai hidupku yang baru."
"tapi bayangan bang Abe selalu menghantuiku setiap saat, yang membuatku terus berusaha untuk mencari tahu keberadaan bang Abe. "
"saat aku tahu, kalau bang Abe sudah kembali ke kampung, aku merasa senang mendengar kabar itu. Tapi kemudian aku mendapat kabar, kalau bang Abe akan menikah, yang membuatku kembali patah."
"aku yang semula berniat untuk menemui bang Abe, kembali mengurungkan niatku, karena aku pasti tidak sanggup melihat bang Abe menikah."
Am menarik napas cukup dalam.
"aku sudah mencoba untuk melupakan bang Abe, tapi hatiku justru semakin sakit karenanya." Am masih terus melanjutkan kalimatnya.
Aku berkali-kali menatap wajah Am. Aku mencoba untuk tidak percaya, tapi Am terlihat jujur.
"sampai akhirnya aku nekat, bang. Untuk menemui abang dan mengajak abang kesini.." kali ini Am mengakhiri kalimatnya dengan sebuah hembusan napas berat.
Aku duduk tiba-tiba.
Entah apa yang aku rasakan saat itu. Pikirianku tiba-tiba kacau tak menentu.
Bukan ini yang aku harapkan.
Aku memang pernah jatuh cinta pada Am. Tapi itu dulu, jauh sebelum aku bertemu Zai dan Damar. Jauh sebelum aku memutuskan untuk menikah dengan istriku saat ini.
Kalau sekarang Am mengakui semua itu, rasanya sudah sangat terlambat.
Aku tak bisa lagi sekarang.
Aku seorang suami dan juga seorang ayah. Aku tak mungkin meninggalkan keluargaku.
"jadi sekarang kamu mau nya gimana?" tanyaku kemudian.
"aku yakin bang Abe masih mencintaiku. Cinta bang Abe terlalu tulus. Apa yang telah bang Abe perbuat padaku di masa lalu, sudah membuktikan semua itu. Tidak ada cinta setulus itu, bang."
"orang yang rela mengorbankan apa saja untuk orang yang ia cintai, adalah cinta yang sangat pantas untuk diperjuangkan, bang." Am menjawab dengan penuh perasaan.
Mungkin Am benar. Aku terlalu mencintainya.
Tapi semua itu bagiku telah berlalu. Rasa itu tak lagi seindah dulu. Sudah banyak yang mengisi hatiku setelah Am.
"kenapa baru sekarang, Am?" tanyaku pelan.
"karena bang Abe pergi terlalu cepat, bang. Dan aku tak bisa mencegahnya." balas Am.
"kini semua terserah abang. Aku tahu, ini berat bagi bang Abe, karena abang sudah berkeluarga. Tapi aku tidak akan menuntut apapun dari abang. Aku hanya ingin bang Abe tahu, tentang perasaanku selama ini."
"aku hanya ingin abang tahu, kalau bukan hanya abang yang memendam rasa, tapi aku juga.." lanjut Am lagi.
Aku menarik napas panjang dan kemudian menghempaskannya perlahan.
Bingung. Itu yang aku rasakan saat itu.
Haruskah aku menjalin hubungan dengan Am?
Yang artinya, aku akan kembali terjerumus dalam dunia gay, yang telah berusaha aku hindari.
Atau ku bunuh saja rasa ini, dan biarkan semuanya tidak pernah sampai.
Yang berarti aku akan kehilangan kesempatan untuk memiliki pria yang pernah sangat aku cintai.
Aku masih mengagumi sosok Am. Aku masih menginginkannya.
Jika di masa lalu, aku tak sempat memilikinya sebagai kekasih. Namun sekarang aku punya kesempatan untuk itu.
Aku punya kesempatan untuk memiliki pria yang mempunyai senyum yang sangat manis itu.
Am perlahan mendekatiku.
"aku sangat merindukan bang Abe.." bisiknya pelan.
Tangannya merangkul tubuhku. Dan aku hanya pasrah.
Berada dalam dekapan hangat seorang Am, sungguh membuatku terlena.
Rasanya begitu indah. Sangat indah.
Aku bahkan hampir meneteskan air mata, menikmati keindahan itu.
Rasanya sungguh bahagia, bisa mendekap orang yang kita cintai.
"aku sangat menyayangi bang Abe..." Am terus berbisik tanpa berniat melepaskan dekapannya.
"izinkan aku bersamamu, bang. Kan ku buktikan, bahwa aku pasti bisa membuat bang Abe bahagia." lanjut Am lagi.
"kamu tidak perlu membuktikan apa-apa, Am. Aku juga sangat menginginkanmu.." balasku ikut berbisik.
"tapi kamu sendiri tahu, sekarang aku sudah punya istri dan anak, Am. Apa kamu mau, menjalin hubungan dengan orang yang sudah menikah?" lanjutku kemudian.
"aku gak peduli status abang saat ini. Selama abang masih punya waktu untukku, aku akan menjalaninya, bang." balas Am lembut.
"jarak diantara kita terlalu jauh, Am. Pasti kita akan sangat jarang bertemu." aku berucap lagi, berusaha menyadarkan Am, akan keadaan kami saat ini.
"itu tidaklah akan menjadi masalah, bang. Kita bisa bertemu seminggu sekali. Aku akan datang ke tempat abang setiap libur kerja.." ucap Am mencoba meyakinkanku.
"entahlah Am, aku bingung. Aku takut kamu kecewa karena-ku." aku berucap lagi.
"kita jalani aja dulu, bang. Dan biarkan waktu yang akan menjawab semuanya.." Am berucap, sambil ia mulai melepaskan dekapannya perlahan.
Am memegang dagu seketika. Tubuhku tiba-tiba bergetar.
Sudah sangat lama, aku tidak disentuh oleh seorang laki-laki.
Tapi Am seperti tak mempedulikan reaksi-ku. Ia terus saja mendekatkan wajahnya.
Malam itu, untuk pertama kalinya, setelah aku menikah, aku kembali merasakan kehangatan dari seorang laki-laki.
Am, yang dulunya hanya ada dalam khayalanku, kini menjelma menjadi sebuah kenyataan.
Aku terlarut dalam kenanagan perasaanku pada Am.
Aku terbuai dalam kerinduan Am yang memuncak.
Perlahan, kami pun akhirnya memulai sebuah pendakian.
Aku tidak tahu, entah bagian mana yang paling indah yang aku rasakan malam itu.
Entah karena aku akhirnya tahu, kalau selama ini, Am juga mencintaiku.
Atau entah karena aku akhirnya bisa merasakan kehangatan tubuh kekar Am.
Aku mencoba menikmati pria dari masa laluku itu. Memanjakannya dengan penuh perasaan.
Raga kami menyatu dalam lautan penuh keindahan.
Malam itu benar-benar luar biasa bagiku.
Kami seakan enggan untuk saling mengakhiri.
Tapi sejauh apa pun sebuah pelayaran, pada akhirnya harus tetap berlabuh.
Kami berlabuh di tepian dermaga dengan sebuah rasa yang tak terkira.
Malam itu, kami pun tertidur dengan pulas.
*****
Sejak malam itu, aku dan Am pun sepakat untuk menjalin sebuah hubungan asmara.
Jarak tidak menjadi penghalang diantara kami. Am selalu punya kesempatan untuk mendatangiku.
Aku bahagia dengan semua itu.
Meski dalam keseharianku, aku harus tetap memerankan peranku sebagai seorang suami dan juga seorang ayah.
Namun bersama Am, aku bak musafir cinta yang haus sentuhan kasih sayang.
Bersama Am akhirnya menyadarkanku, bahwa setiap pengorbanan pada akhirnya akan membuahkan sebuah hasil.
Bahwa sejauh apapun kamu berlari, pada akhirnya cinta itu akan menemukanmu.
Aku yang sudah tidak punya harapan apa-apa lagi terhadap Am, kini akhirnya bisa merasakan kebahagiaan yang utuh.
Kisahku bersama Am, akan terus terjalin. Karena aku sudah lelah berpetualang.
Am adalah pelabuhan terakhirku.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar