Bersama pelanggan ojek ku

Aku seorang driver ojek online. Sudah lebih dari dua tahun aku menjalani profesi tersebut. Ada begitu banyak pengalaman yang aku dapatkan selama aku menjadi seorang driver ojek online. Suka duka telah aku alami dan aku tempuh dengan penuh kesabaran dan rasa syukur.

Pengalaman-pengalaman itu aku jadikan pelajaran dalm hidupku.

Menjadi seorang driver ojek online, sebenarnya adalah pilihan terakhir yang aku punya, sejak aku di PHK dari pekerjaan lama ku, sebagai karyawan di sebuah perusahaan.

Sebagai seseorang yang sudah menikah dan sudah punya dua orang anak, aku memang harus tetap bekerja. Dan pekerjaan apa pun akan aku jalani, demi membiayai keluarga kecil ku.

Kami sekeluarga masih hidup dan tinggal di rumah kontrakan kecil, demi untuk menghemat biaya. Anak ku yang pertama sudah kelas enam SD, sedangkan anak ku yang kedua sudah kelas dua SD. Jadi aku memang harus kerja keras, untuk bisa membiayai sekolah anak-anak ku dan juga untuk biaya hidup kami sehari-hari.

Penghasilan ku sebagai ojek online memang tidak seberapa, karena itu kami sekeluarga harus bisa hidup sehemat mungkin.

Terlepas dari seberapa berat beban kehidupan yang harus aku jalani, aku selalu berusaha untuk tidak mengecewakan para pelanggan ojek ku. Aku selalu berusaha untuk memberikan pelayanan terbaik, kepada siapa pun yang memakai jasa ojek ku.

Pernah pada suatu kesempatan, aku mendapatkan sebuah orderan dari salah seorang pelanggan. Dia memesan makanan secara online, dan kebetulan aku mendapatkan orderan untuk mengantar makanan tersebut ke rumahnya.

Melalui aplikasi ojek online tersebut, aku mengetahui kalau orang yang memesan makanan tersebut adalah seorang perempuan. Namanya Tina. Sebut saja begitu.

Perempuan yang aku ketahui bernama Tina itu, ternyata tinggal di  sebuah apartemen mewah. Saat aku sampai ke sana, aku pun coba menghubunginya. Dan orang itu meminta aku mengantarnya langsung ke atas, tepatnya ke lantai tiga, di mana apartemennya berada.

Aku pun segera menuju lantai atas, saat sudah berapa tepat di depan pintu apartemennya tersebut, aku pun mengetuk pintu. Sesaat kemudian, seorang wanita paroh baya muncul dari ambang pintu.

Wanita itu sedikit berwajah masam. Ia kemudian berucap,

"kenapa lama kali, sih?" katanya cukup kasar.

"ini sudah sesuai jadwal loh, mbak." balas ku membela diri.

"tapi aku pesannya sudah satu jam yang lalu, masa' baru datang sekarang?" sela wanita itu lagi.

"berarti restorannya yang telat masaknya, mbak." ucap ku masih berusaha membela diri.

"kamu jangan banyak alasan ya. Pokoknya kalau telat ya telat. Aku gak mau bayar." suara wanita itu sedikit mengeras.

"tapi, mbak. Aku sudah capek-capek loh, mbak. Datang ke sini. Lagi pula ini kan bukan salah saya." suara ku sedikit memelas.

"ya udah, kalau kamu mau aku mengambil pesanan ini dan membayarnya. Kamu masuk dulu ke dalam." ucap wanita itu, sedikit melunak.

"baiklah, mbak. Jika itu yang mbak ingin kan, asalkan pesanannya tidak di batalkan." balasku pasrah.

Wanita itu pun membuka pintu apartemen lebih lebar, agar aku bisa masuk. Saat aku sudah berada di dalam, wanita itu pun mengunci pintu apartemennya dari dalam.

"kenapa pintunya di kunci, mbak?" tanya ku heran.

"kamu mau aku bayar kan?" wanita itu bertanya balik.

"iya." jawabku lemah.

"ya udah, kamu turuti aja semua keinginan ku, bahkan aku akan bayar kamu sepuluh kali lipat dari harga pesanan makanan yang kamu bawa itu, jika kamu bersedia memberi pelayanan lebih padaku." ucap wanita itu, suaranya mulai melunak.

"maksud mbak apa?" tanya ku polos.

"kamu pasti ngerti maksud saya apa. Jika kamu mau, kamu gak perlu capek-capek keliling cari pelanggan di luaran sana. Cukup kamu menemani saya t!dur sore ini, hanya satu jam kok paling lama. Kamu bisa dapat uang yang banyak dari saya. Bahkan melebihi penghasilan kamu selama satu hari ini." jelas wanita itu blak-blakan.

Aku pun terdiam. Aku memang sudah mengerti maksud dari wanita tersebut. Namun aku terus berpikir, jika aku menerima ajakan mbak Tina, itu artinya aku telah mengkhianati istri ku, dan juga itu artinya, aku telah kehilangan harga diri ku sebagai seorang laki-laki, karena rela menju4l dir! demi mendapatkan sejumlah uang.

"maaf, mbak. Aku gak bisa. Aku sudah punya istri dan anak." ucapku akhirnya.

"kalau kamu gak mau, aku akan cancel pesanan ini dan memberi penilaian buruk atas kinerja kamu sebagai seorang driver." balas mbak Tina tajam.

"dan lagi pula dalam hal ini, kamu gak di rugikan apa-apa loh.  Kamu justru dapat dua keuntungan sekaligus. Kamu dapat uangnya dan juga enaknya. Kamu jangan suka menolak rejeki seperti itu, dong. Apa aku ini tidak menarik di mata kamu." lanjut mbak Tina lagi, dalam upayanya untuk membujuk ku.

Sebenarnya secara fisik, mbak Tina memang cukup menarik. Meski pun tidak terlalu cantik, namun postur tubuhnya cukup seksi. Apa lagi saat itu, mbak Tina hanya memakasi baju tidur tip!s yang sedkit tr4nspar4n.

Jujur, aku pun mulai tergod4 sebenarnya, apa lagi uang yang di tawarkan mbak Tina juga cukup banyak. Seperti yang ia katakan, aku dapat dua keuntungan sekaligus.

Dengan pertimbangan yang singkat, aku pun akhirnya menerima tawaran mbak Tina sore itu. Aku tak perlu berpikir panjang lagi untuk membuat keputusan. Kapan lagi coba? Dapat kesempatan istimewa seperti ini?

"oke. Aku mau. Tapi aku harap mbak Tina menepati janji mbak, untuk membayar saya mahal." ucapku akhirnya.

"uang bukan masalah bagi saya. Dan keputusan mu itu sangat tepat." balas mbak Tina dengan senyum mengembang.

Lalu kemudian terjadi lah hal tersebut. Hal yang tidak bisa aku hindari. Dan sebenarnya memang tidak ingin aku hindari.

Mbak Tina memang cukup agres!f. Terlihat sekali kalau ia memang sudah sangat berpengalaman dalam hal tersebut. Dan sepertinya aku bukanlah korban pertamanya dalam hal tersebut.

Aku pun mencoba mengimbanginya. Sebagai laki-laki aku memang tidak mau kalah. Aku juga ingin membuktikan diri, kalau aku pantas untuk di bayar mahal.

*****

Begitulah salah satu kisah yang pernah aku alami sebagai seorang driver ojek online. Sebuah kisah yang membuat aku menjadi seorang pengkhianat. Namun kisah itu hanya aku pendam sendiri.

Aku memang mendapatkan sejumlah uang dari mbak Tina, bahkan jumlah uang yang aku terima melebihi dari yang aku harapkan.

Namun rasa bersalah selalu menghantui ku sepanjang perjalanan hidupku. Aku merasa telah mengkhianati istri dan anak-anak ku.

Sebagai seorang kepala rumah tangga, aku memang punya tanggungjawab terhadap keluarga ku. Tapi bukan berarti aku harus menghalalkan segala cara untuk mendapatkan sejumlah uang.

Namun apa pun itu, semua telah terjadi. Dan penyesalan selalu datang belakangan.

Hanya saja kejadian tersebut, akan aku jadikan pelajaran untuk ku ke depannya. Agar aku lebih berhati-hati lagi dalam melangkah.

Aku tidak ingin terjebak lagi dalam godaan h4srat sesaat, yang membuat aku hanya akan terus di hantui rasa bersalah.

Semoga saja ke depannya aku bisa menjadi lebih baik lagi.

Ya, semoga saja.

****

Kisah ku bersama sepasang suami istri

Nama ku Erwin. Dan ini adalah kisah ku.

Sebagai seorang laki-laki aku memang terlahir cukup sempurna. Selain memiliki wajah yang tampan, aku juga di karuniai postur tubuh yang kekar dan atletis. Dan aku merasa bangga memiliki itu semua.

Untuk urusan percintaan, aku juga suka tidak sembarangan memilih pacar. Gadis yang bisa menjadi pacarku, haruslah seseorang yang sebanding dengan ku. Kalau gak cantik ya tajir.

Aku juga gak sembarangan memilih teman. Yang bisa berteman dengan ku, kalau gak tajir ya harus bisa aku suruh-suruh.

Sombong kan aku? Ya, aku memang sombong, angkuh atau apalah istilahnya untuk orang seperti ku ini.

Aku punya karakter seperti itu, karena aku memang terlahir dari keluarga yang serba berkecukupan, bahkan boleh di bilang sangat mewah.

Papa ku memang seorang pejabat pemerintah yang sangat berpengaruh. Hampir semua orang di kota ini mengenalnya. Dan mama ku adalah seorang wanita yang suka pamer akan kekayaan suaminya. Tipe-tipe istri pejabat lah pokoknya.

Suka berpesta, shoping atau berhura-hura tanpa alasan. Dan seperti itu lah karakter ku di bentuk. Aku sudah di ajarkan untuk bersikap sedikit angkuh sejak kecil. Karena ya.. kehidupan kami memang sangat mewah. Apa lagi aku ini adalah anak tunggal.

Kadang aku gak habis pikir, kenapa orang kebanyakan dari orang kaya, lebih memilih untuk tidak memiliki banyak anak. Sedangkan orang-orang yang hidupnya pas-pasan, sebagian besar memiliki banyak anak.

Padahal seharusnya, orang kaya lah yang harus punya banyak anak, karena sudah pasti mereka sanggup membiayainya. Namun jika orang miskin yang punya banyak anak, mereka akan kesulitan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.

Dan itu hanya sebatas pendapat ku saja. Gak perlu diambil pusing. Karena kalau kita menilai sesuatu dari berbagai sudut pandang, maka segala kemungkinan bisa saja terjadi.

Oke, kembali ke saya. Seorang cowok angkuh yang merasa terlahir sempurna. Yang merasa hidup ini terlalu mudah.

Namun semua kenyaman dan kemewahan hidup yang aku jalani tersebut, pada akhirnya harus berakhir.

Hal itu terjadi saat aku baru saja lulus SMA. Ketika akhirnya papa ku yang seorang pejabat penting itu, terjerat kasus korupsi yang sangat besar. Mungkin demi hidup yang lebih mewah, papa melakukannya.

Akibatnya papa harus mendekam di bui untuk waktu yang sangat lama. Bertahun-tahun. Entah berapa tahun. Aku juga gak peduli. Bagiku sejak papa terlibat kasus korupsi itu, aku tak pernah menganggapnya lagi. Aku tak peduli lagi.

Mama yang terlanjur terbiasa hidup mewah, tidak bisa menerima kenyataan. Ketika semua kekayaan papa di sita. Mama memilih mengakhiri hidupnya, karena tak ingin hidup menderita dan tak sanggup menahan malu.

Mama memilih meninggalkan aku sendirian, menjalani kehidupan yang berat ini. Dan karena itu aku jadi membencinya. Aku membenci kedua orangtua ku.

Aku sendirian sekarang. Orang-orang yang dulu selalu memuja ku, kini memandang ku hina. Teman-teman yang dulu selalu ada kapan pun aku membutuhkan mereka, kini memandang ku dengan pandangan kebencian.

Entah mereka merasa jijik melihat ku yang terlahir dari keluarga seorang koruptor, entah karena mereka merasa dendam terhadapku, karena selama ini aku selalu merendahkan mereka.

Namun apa pun, yang pasti saat ini, aku benar-benar sendiri. Aku sebatang kara. Semua keangkuhan ku memudar. Tidak ada lagi yang bisa aku sombongkan.

Wajah tampan yang dulu aku bangga-banggakan, kini kusam tanpa warna. Tubuh atletis yang dulu suka aku pamerkan, kini mulai menyusut dan kurus. Harta benda yang dulu selalu aku jadikan senjata untuk melecehkan orang-orang, kini tidak aku miliki lagi.

Aku benar-benar kehilangan semuanya, orangtua, kekayaan, teman-teman dan bahkan harga diri.

Aku menjadi gelandangan. Tidur di jalanan. Makan makanan sisa. Minum air comberan. Baju yang lusuh tidak pernah terkena air. Kulit ku menghitam. Kotor. Aku tak lebih dari seonggok sampah busuk yang selalu di hindari orang-orang.

Aku menjadi hina di mata siapa saja. Setiap orang yang melihat ku, selalu memandangku rendah dan tak berharga.

****

Akhirnya aku memutuskan untuk meninggalkan kota kelahiran ku. Kota yang penuh dengan kenangan. Tapi aku memang harus pergi. Aku harus pergi ke tempat dimana tidak seorang pun yang mengenalku.

Aku harus memulai hidupku yang baru, dan meninggalkan semua kenangan yang pernah terjadi di kota ini. Aku tak mungkin terus berada disini, sementara orang-orang terus mencibirku.

Aku berjalan tanpa tujuan. Melangkah tanpa harapan. Aku hanya ingin pergi dari sini. Meski aku tidak tahu harus kemana.

Siang malam aku berjalan dengan tertatih. Tidur di pinggiran jalan saat malam tiba. Merintih menahan dinginnya angin yang menembus setiap sobekan di bajuku. Memungut apa pun yang aku temukan di jalan, untuk bisa aku makan.

Panas dan hujan tak pernah lagi aku hiraukan. Aku tak pedulikan perihnya telapak kaki ku menahan tajamnya kerikil-kerikil yang aku injak tanpa alas apa pun. Aku hanya terus melangkah.

Sampai pada suatu daerah. Aku tak tahu dimana sebenarnya aku berada. Aku hanya merasa telah berjalan sangat jauh. Berhari-hari. Bermalam-malam. Mungkin sudah hampir sebulan.

Aku sedang beristirahat duduk di pinggiran jalan, ketika seorang laki-laki menghampiri ku.

"kamu mau kemana?" tanya laki-laki itu, ia mengeluarkan kepalanya dari jendela mobil mewahnya.

Aku diam tak menjawab. Karena aku memang tidak tahu mau kemana saat ini.

"kemana tujuan mu?" laki-laki itu mengulang pertanyaannya, kepalanya masih di luar jendela mobil.

Kali ini aku menggeleng.

Laki-laki itu memasukan kepalanya kembali. Aku pikir ia akan pergi. Tapi justru ia semakin memarkir mobilnya ke pinggir jalan. Beberapa saat kemudian ia pun turun dari mobil mewah itu.

Di luar dugaan ku, laki-laki tersebut ikut duduk di samping ku.

"sebenarnya kemana tujuan mu?" tanya laki-laki itu pelan.

"aku tidak punya tujuan." balasku serak.

"apa kamu lapar?" laki-laki itu bertanya lagi, ia seakan mengabaikan jawabanku.

Sebelum aku sempat menjawab, laki-laki tiba-tiba berdiri. Ia berjalan menuju mobilnya, lalu membuka pintu. Memasukan badannya separoh, kemudian ia keluar lagi. Sepertinya ia sedang mengambil sesuatu di dalam mobil tersebut.

Sesaat kemudian, laki-laki itu sudah berjalan lagi menuju ke arah ku. Di tangannya ia membawa sesuatu di dalam kresek biru yang trasparan.

Laki-laki itu duduk lagi di dekatku.

"ini ada beberapa potong roti dan juga air mineral. Kalau kamu lapar, kamu boleh mengambilnya." ucap laki-laki itu pelan.

Aku melirik laki-laki itu sekilas, ia terlihat sangat tulus. Aku segera meraih kantong plastik biru transparan itu. Membukanya, lalu kemudian mengambil sepotong roti, lalu memakannya dengan lahap.

"kamu kelihatan sangat lapar. Sebenarnya kamu dari mana?" tanya laki-laki itu.

"aku seorang gelandangan." jawabku lemah. Aku pun mengambil sebotol air mineral dari dalam kantong itu lagi. Lalu meneguknya sampai hampir habis. Sudah lama sekali aku tidak minum air senikmat itu.

"kamu mau ikut dengan ku?" laki-laki itu bertanya lagi.

"kemana?" tanya ku sedikit heran.

"ke rumah ku. Kamu bisa tinggal di rumahku. Dan bahkan kamu juga bisa bekerja di sana. Kalau kamu mau." jelas laki-laki itu terdengar serius.

"apa abang gak takut sama saya?" tanya ku ingin tahu.

"kamu belum gila, hanya stress. Jadi aku gak perlu takut." jawab laki-laki itu lugas.

"tapi aku kotor dan kumuh." ucapku.

"kotor dan kumuh masih bisa di bersihkan, yang penting kamu mau ikut dengan ku." balas laki-laki itu.

"kenapa abang begitu baik padaku, padahal kita tidak saling kenal." ucapku lagi.

"namaku Radit. Panggil aja bang Radit. Dan kenapa aku baik sama kamu. Ya, karena menurut ku kamu terlihat seperti orang baik. Orang baik yang sedang tersesat. Atau orang baik yang sedang mencari jati dirinya."

"dan sebenarnya juga, aku sudah memperhatikan kamu sejak tadi pagi. Aku melihat kamu sudah berjalan sepanjang hari ini di daerah ini. Aku memang selalu berlalu lalang di jalan ini. Jadi aku sudah hafal betul setiap orang yang lewat disini."

"ketika aku melihat kamu tadi, awalnya aku coba mengabaikannya. Namun saat aku melihat kamu termenung sendirian di sini, aku pun berinisiatif untuk mendekati kamu. Karena belum pernah sebelumnya ada orang yang berjalan seperti kamu di daerah sini. Dan setelah aku perhatikan kamu sepertinya orang baik." jelas laki-laki itu panjang lebar.

Meski pun sebenarnya aku tidak terlalu mengerti dengan semua penjelasan laki-laki yang mengaku bernama Radit itu, tapi aku pun akhirnya menerima tawarannya untuk ikut dengannya.

Daerah itu memang cukup sunyi sebenarnya. Itu seperti daerah di jalan lintas antar kota yang berpenduduk sangat sedikit. Hanya ada beberapa rumah di daerah tersebut, selebihnya masih banyak hutan dan kebun-kebun sawit atau pun kebun karet.

Karena itu juga sebenarnya, aku memutuskan untuk menerima tawaran dari bang Radit. Lagi pula gak ada salahnya menurutku untuk ikut dengannya. Kalau pun bang Radit berniat jahat padaku. Apa sih yang ia harapkan dariku.

****

Mobil mewah itu pun memasuki sebuah pekarangang rumah yang cukup luas dan mewah. Rumah itu berada di pinggiran jalan raya sebenarnya. Hanya saja di sekeliling rumah itu terdapat kebun sawit yang sangat luas.

Sepanjang perjalanan tadi, bang Radit terus bertanya padaku. Setidaknya ia ingin tahu siapa aku sebenarnya. Aku pun sedikit mengarang cerita padanya. Aku mengatakan kalau aku adalah seorang anak yatim piatu dan sudah tidak punya keluarga lagi. Aku sudah menjadi gelandangan sejak lama.

Aku mengatakan demikian, karena menurutku aku tidak mungkin menceritakan secara keseluruhan tentang siapa aku sebenarnya. Aku juga tidak ingin bang Radit tahu, kalau aku adalah anak seorang koruptor. Karena bisa saja bang Radit justru akan mengusir ku, jika ia tahu semua itu.

Setelah memarkir mobil di garasi, bang Radit segera mengajak aku turun dari mobil tersebut. Lalu kemudian, ia mengajak aku masuk ke dalam rumah mewah itu.

Di dalam rumah kami disambut oleh seorang wanita cantik yang terlihat masih sangat muda.

"ini istri ku." ucap bang Radit.

Wanita yang di sebut istrinya oleh bang Radit itu menatapku penuh tanya. Lalu ia pun mengulurkan tangannya.

"Sinta." ucapnya lembut, sambil kami berjabat tangan.

"Erwin." balasku ringan.

"untuk sementara Erwin akan tinggal di sini bersama kita." ucap bang Radit.

Istri bang Radit, segera memanggil nama seseorang. Sesaat kemudian, seorang wanita tua muncul dari arah dapur.

"tolong bi Asih antar Erwin ke kamar belakang." kali ini bang Radir yang berucap lagi.

"baik, tuan." balas wanita tua itu sopan.

"kamu boleh mandi dulu, kemudian istirahat di kamar. Nanti kita bicara lagi." ucap bang Radit padaku.

Aku pun mengikuti langkah bi Asih menuju dapur. Di sana ada sebuah kamar yang masih kosong. Kamar itu cukup luas, ada kamar mandi juga di dalamnya.

Setelah bi Asih pergi, aku pun segera menutup pintu kamar itu. Aku pun segera mandi, untuk membersihkan tubuhku yang sudah lebih dari sebulan tidak mandi. Setelah itu aku pun beristirahat dan tidur.

*****

Malam itu aku pun terbangun, saat bi Asih mengetuk pintu kamar ku.

"kamu di tunggu tuan di ruang makan." ucap bi Asih.

Aku pun segera melangkah menuju ruang makan, yang memang berada tidak terlalu jauh dari kamar tersebut.

Di meja makan bang Radit dan istrinya telah menunggu ku.

"silahkan duduk, Erwin. Kita makan malam dulu." ucap bang Radit sopan.

Dengan perasaan sungkan aku pun menuruti ucapan bang Radit. Aku duduk berhadapan dengan mereka berdua. Lalu kemudian sekali lagi, bang Radit pun mempersilahkan aku untuk menyantap hidangan yang ada di atas meja makan tersebut.

Sambil makan bang Radit pun bercerita kalau ia dan istrinya sudah menikah hampir sepuluh tahun. Mereka juga sudah mempunyai dua orang anak. Anak pertama mereka perempuan, berusia 8 tahun. Anak kedua mereka laki-laki berusia empat tahun.

Bang Radit sendiri ternyata sudah berusia 38 tahun, meski pun tadi aku sempat menerkanya kalau ia masih berusia sekitar 30 tahun. Karena wajah bang Radit masih terlihat muda. Mungkin karena wajah bang Radit memang imut. Sementara istri bang Radit, Sinta, sudah berusia 33 tahun. Padahal ia masih kelihatan seperti baru 25 tahun.

Mbak Sinta memang terlihat cantik. Ia juga masih sangat seksi. Meski pun ia sudah melahirkan dua orang anak. Sepertinya mbak Sinta memang rajin merawat dirinya. Apa lagi melihat kemewahan yang di berikan suaminya.

Kehidupan bang Radit memang sangat mewah. Ternyata semua kebun sawit yang mengelilingi rumahnya itu, adalah miliknya. Kebun itu sangat luas. Hasilnya juga sangat banyak. Selain itu, bang Radit juga punya kebun sawit di tempat lain, yang tak kalah luasnya.

Bang Radit ternyata adalah seorang pengusaha kebun sawit yang sangat sukses. Dia juga punya banyak pekerja di setiap kebunnya.

Karena itu juga, bang Radit pun menawarkan aku untuk bekerja dengannya di kebun sawitnya.

"kebetulan kami memang sedang membutuhkan pekerja baru." ucap bang Radit.

"tapi aku gak ngerti soal sawit, bang." balas ku jujur.

"udah kamu tenang aja. Nanti kamu akan di bimbing oleh pak Sapri, dia itu orang kepercayaan saya untuk mengurus semua kebun yang ada di sekeliling rumah ini. Rumah pak Sapri ada di belakang, besok kita bisa menemuinya. Lagi pula ada banyak pekerja di sini, hanya saja mereka semuanya tinggal di belakang. Ada rumah khusus tempat mereka tinggal disana."

"begitu juga dengan kebun-kebun sawit saya di tempat lain, semua sudah ada yang mengurusnya, saya hanya menerima laporan dari mereka. Tapi kadang saya harus mengunjungi setiap kebun saya, untuk melihat perkembangannya." jelas bang Radit panjang lebar.

Aku merasa lega tiba-tiba. Setidaknya ke depannya aku sudah punya pekerjaan. Meski pun pekerjaan berat. Tapi aku tidak perlu kelaparan lagi. Aku tidak perlu tidur di jalanan lagi. Aku tidak lagi harus jadi gelandangan.

*****

Keesokan harinya, aku pun di perkenalkan oleh bang Radit kepada pak Sapri dan juga para pekerja lainnya. Ternyata ada banyak pekerja yang tinggal di perkebunan tersebut. Mereka tinggal di rumah-rumah yang sangaja di buat di dalam kebun sawit tersebut. Mereka juga berasal dari berbagai daerah.

Pak Sapri pun mulai menjelaskan beberapa hal padaku, tentang apa yang akan lakukan di perkebunan tersebut. Bang Radit memang sengaja meninggalkan aku di sana, karena ia harus pergi ke kebun sawitnya yang lain.

Hari itu aku mulai belajar banyak dari pak Sapri dan juga dari para pekerja lainnya. Mulai dari perawatan, pemupukan juga cara penen sawit tersebut.

Pak Sapri pun menempatkan ku di bagian pemupukan, karena bagian itulah yang paling mudah. Katanya sebagai anak baru, aku harus mulai dari yang termudah.

****

Hari-hari pun berlalu. Aku pun mulai memahami pekerjaan ku. Aku mulai merasa betah bekerja di sana. Karena selain saat ini aku memang tidak punya pilihan lain, juga karena semua pekerja di sana sangat baik dan ramah. Aku seakan menemukan keluarga baru di sana.

Aku juga masih tinggal di rumah bang Radit, atas permintaan bang Radit sendiri. Karena kebetulan semua rumah yang ada di dalam kebun tersebut sudah terisi.

Di rumah bang Radit, selain bi Asih ada beberapa orang pembantu lain yang tinggal di rumah tersebut. Mereka punya tugas dan peran masing-masing. Ada yang jadi pengasuh anak-anak bang Radit, ada yang memasak, mencuci pakaian atau pun membersihkan rumah. Ada juga yang bertugas merawat dan membersihkan pekarang rumah. Ada sopir pribadi dan ada juga penjaga keamanan.

Semua pembantu yang bekerja di rumah bang Radit juga sangat baik padaku. Mungkin karena yang mereka tahu aku adalah seorang yatim piatu dan hidup sebatang kara. Mungkin mereka merasa kasihan melihatku. Namun apa pun itu, aku benar-benar menemukan hidup baru di sini. Sebuah kehidupan yang tidak pernah aku bayangkan sebelumnya.

Dulu aku selalu memperlakukan pembantu di rumahku dengan sangat kasar. Aku selalu memarahi mereka, setiap kali mereka melakukan kesalahan, sekecil apa pun itu. Aku benar-benar bak seorang pangeran yang berusaha menguasai siapa pun.

Namun sekarang aku hidup dan berkumpul bersama para pembantu. Menjadi bagian dari kehidupan mereka. Hal itu membuat aku semakin menyesali segala keangkuhan ku di masa lalu. Pelan namun pasti, aku pun mulai berubah.

Aku belajar banyak dari orang-orang garis bawah tersebut. Aku belajar bagaimana caranya menghargai orang lain. Aku belajar, menjadi orang yang rendah hati. Tidak sombong dan bersikap apa adanya.

Semua kehidupan yang aku jalani saat ini, benar-benar telah memberi aku banyak pelajaran berharga. Aku menemukan makna baru dalam hidupku. Menjadi seorang manusia seutuhnya.

****

Hari-hari pun masih terus berlalu. Aku sudah terbiasa dengan semua rutinitas ku.

Sampai pada suatu malam. Saat aku hendak tertidur di kamar ku. Aku mendengar suara ketukan ringan di pintu kamarku. Aku pun segera bangkit untuk membukakan pintu.

"mbak Sinta? Ada apa?" tanya ku setengah kaget, saat melihat mbak Sinta sudah berdiri di ambang pintu kamar ku.

Mbak Sinta tidak menjawab. Dia justru mendorong pintu kamar itu agar lebih melebar. Kemudian mbak Sinta pun menyelinap masuk ke dalam kamar.

"tutup pintunya, Erwin." perintah mbak Sinta, saat ia sudah berada di dalam.

"tapi, mbak..." ucapku ragu.

"kamu tutup aja pintunya, Erwin. Gak usah banyak tanya." suara mbak Sinta tegas.

Karena merasa takut, meski pun sedikit ragu, aku pun segera menutup pintu kamar tersebut. 

"ada apa, mbak?" tanya ku, setelah pintu kamar tertutup.

"aku butuh kamu malam ini, Erwin." balas mbak Sinta.

"butuh untuk apa?" tanyaku heran.

"aku butuh kamu untuk mengisi kesepian ku malam ini." balas mbak Sinta parau.

"maksud mbak apa?" tanyaku lagi masih merasa heran.

"kamu gak usah pura-pura gak ngerti, Erwin." balas mbak Sinta lagi.

"tapi aku benar-benar gak ngerti, mbak." ucapku polos.

"aku pengen tidur sama kamu malam ini, Erwin. Aku merasa sangat kesepian. Dan kamu terlalu menarik. Aku suka sama kamu." ucap mbak Sinta ceplas-ceplos.

"tapi, mbak. Nanti bang Radit marah padaku." balasku tak karuan.

"bang Radit tidak pulang malam ini. Dia memang jarang pulang. Karena itu aku merasa kesepian. Jadi aku butuh kamu, Erwin. Aku akan bayar kamu berapa aja, asal kamu mau tidur dengan ku malam ini." ucap mbak Sinta lagi.

"tapi aku takut, mbak." balasku ringkih.

"kamu gak usah takut, bang Radit tidak akan pernah tahu. Tidak ada siapa pun yang akan tahu. Selama kamu bisa jaga rahasia, semuanya pasti baik-baik saja." ucap mbak Sinta lugas.

Ah, tiba-tiba saja aku merasa bingung. Kenapa mbak Sinta jadi seperti ini padaku? Padahal selama ini dia terlihat acuh saja padaku.

Dan bagaimana pula aku bisa menolaknya?

"kalau kamu gak mau, aku akan minta bang Radit untuk memecat kamu. Dan kamu akan kembali menjadi gelandangan." ancam mbak Sinta, melihat keterdiaman ku.

Dan dengan sangat terpaksa, aku pun akhirnya harus memenuhi keinginan mbak Sinta malam itu. Meski pun aku merasa sangat takut.

Bagaimana kalau bang Radit mengetahuinya? Pasti ia akan sangat marah padaku. Padahal selama ini, ia sangat baik padaku. Bang Radit telah menyelamatkan hidupku. Tapi apa yang aku lakukan dengan mbak Sinta, istrinya, benar-benar sebuah kesalahan yang sangat fatal.

Namun aku tak kuasa menolaknya. Mbak Sinta mengancam ku. Selain itu, ia juga menawarkan sejumlah uang padaku. Karena itu, aku pun berusaha untuk memberikan yang terbaik untuknya.

Aku yang seumur hidup baru pertama kali merasakan hal tersebut, tentu saja merasa sangat terkesan dengan semua itu. Apa lagi mbak Sinta benar-benar penuh ambisi. Ia begitu pandai membuat aku terbuai dengan semua pengalaman yang sudah ia miliki.

Pada akhirnya aku pun terlena, dan mencoba mengikuti segala permainan mbak Sinta malam itu. Aku merasa hal itu sungguh sangat luar biasa. Kesan yang mbak Sinta berikan padaku malam itu, membuat aku kian terhanyut dalam buaian keindahan penuh warna.

****

Hari-hari selanjutnya jadi terasa berbeda bagiku. Mbak Sinta jadi sering menyelinap ke kamar ku malam-malam, terutama kalau bang Radit tidak sedang di rumah.

Aku selalu tak pernah kuasa untuk menolaknya. Selain karena aku memang ketagiahan akan hal tersebut, juga karena mbak Sinta selalu memberi aku sejumlah uang, setiap kali kami selesai melakukan hal tersebut.

Meski pun sejujurnya, aku selalu merasa bersalah pada bang Radit. Aku merasa telah mengkhiantinya. Dia begitu baik padaku. Namun apa yang bisa aku lakukan? Jika mbak Sinta sendiri yang terus memaksa ku.

Sementara itu, bang Radit juga tetap baik padaku. Aku di perlakukan seperti keluarganya sendiri. Hal itu justru semakin membuat aku merasa bersalah.

Sampai pada suatu hari, bang Radit mengajak aku untuk ikut dengannya. Ia meminta aku untuk menemaninya melihat salah satu kebun sawitnya di daerah lain. Kebun sawit itu memang barada cukup jauh dari rumah bang Radit, setidaknya butuh waktu setengah hari untuk bisa sampai ke sana.

Bang Radit membawa mobilnya sendiri, meski pun di rumahnya ada sopir yang siap mengantarnya kemana saja. Namun kali ini, ia memilih untuk menyetir sendiri. Aku duduk di sampingnya dengan perasaan tak karuan.

Belum pernah sebelumnya bang Radit mengajak aku ikut dengannya seperti ini. Pikiran ku tiba-tiba saja menjadi kacau. Aku takut, kalau-kalau bang Radit sudah mengetahui tentang perbuatanku bersama istrinya. Apa lagi sepanjang perjalanan, bang Radit tidak banyak bicara. Ia lebih sering diam dan hanya fokus menyetir.

Setelah perjalanan yang cukup panjang, sambil beberapa kali kami istirahat di jalan, kami pun sampai ke tujuan. Bang Radit memarkir mobilnya di depan sebuah rumah kecil di dalam kebun sawit tersebut.

Rumah itu ternyata kosong. Tidak ada siapa pun yang tinggal di sana.

"semua pekerja yang bekerja di kebun ini semuanya tinggal di belakang. Rumah ini khusus saya buat untuk saya beristirahat, jika saya berkunjung ke kebun ini. Jadi gak ada siapa pun di sini." jelas bang Radit melihat kebingungan ku.

"rumah para pekerja gak jauh kok dari sini, jadi biasanya aku jalan kaki aja ke sana. Kalau malam aku gak pulang, ya aku tidurnya di sini, sendirian." lanjutnya lagi.

Lalu kemudian bang Radit pun mengajak aku masuk ke dalam rumah tersebut. Rumah itu hanya ada satu kamar tidur, kamar mandi di belakang dan sebuah dapur kecil. Ruangan tengah bang Radit jadikan tempat untuk ia bekerja. Ada meja kerja dan sebuah komputer di ruangan itu. Dan juga sebuah lemari tempat arsip.

"karena sudah sore, kita istirahat aja dulu di sini. Besok pagi kita baru ke sana, ke tempat para pekerja." ucap bang Radit, saat kami sudah di dalam rumah.

Selesai mandi, kami pun makan malam bersama. Bang Radit memang menyempatkan membeli makan malam tadi di jalan.

Setelah itu, bang Radit pun mengajak aku masuk ke kamarnya. Dengan sedikit sungkan aku pun ikut masuk.

"di rumah ini hanya ada satu kamar tidur, jadi kamu tidur bersama ku aja." ucap bang Radit.

"tapi.. aku gak apa-apa kok, bang. Tidur di luar." balasku terbata.

"aku meminta kamu untuk tidur bersama ku di kamar, Erwin. Jadi kamu jangan membantah lagi." tegas bang Radit membalas.

Aku pun tak bisa berbuat apa-apa lagi, selain mengikuti langkah bang Radit untuk masuk ke dalam kamar tersebut.

Di dalam kamar itu, terdapat sebuah ranjang dan juga sebuah lemari pakaian. Bang Radit pun mengajak aku untuk duduk di tepian ranjang.

"sebelum kita tidur, ada yang ingin aku sampaikan sama kamu, Erwin." ucap bang Radit, saat ia sudah duduk di sampingku.

Hatiku pun berdebar hebat. Pikiranku mulai kacau kembali. Jangan-jangan bang Radit ingin membahas tentang hubungan ku dengan istrinya. Pikirku cemas.

"kamu gak pernah bertanya kenapa aku begitu baik padamu." ucap bang Radit ringan.

"sebenarnya sudah lama ingin mempertanyakan hal itu, bang. Tapi aku takut menyinggung perasaan bang Radit." balas ku pelan.

"iya, aku ngerti. Tapi apa kamu tidak ingin tahu alasannya?" tanya bang Radit.

"kalau bang Radit gak keberatan, aku memang ingin tahu, bang." balasku.

"aku melakukan semua itu, karena ... karena aku suka sama kamu, Erwin." suara bang Radit serak.

Namun pernyataannya itu benar-benar di luar dugaan ku. Dan aku masih tak percaya kalau bang Radit akan berucap demikian.

"maksud... maksud.. bang Radit apa?" tanyaku tak yakin.

"maksud ku... aku suka sama kamu, Erwin. Aku jatuh cinta sama kamu." balas bang Radit, suaranya masih serak.

"maksudnya bang Radit ini gay?" tanyaku.

"kurang lebih seperti itu, Erwin. Tapi aku tetap suka perempuan kok. Buktinya aku sudah menikah dan bahkan sudah punya dua orang anak. Namun aku juga tidak bisa membendung keinginan ku untuk bersama seorang laki-laki."

"sebenarnya sudah sangat lama aku tidak melakukan hal tersebut denga seorang laki-laki. Setidaknya sejak anak kedua ku lahir. Namun sejak pertama kali melihat kamu, entah mengapa aku jadi tertarik sama kamu. Tiba-tiba saja keinginan itu datang kembali."

"karena itu aku nekat untuk membawa kamu ke rumah ku waktu itu. Aku hanya berharap kamu bisa mengerti, dan aku berharap dengan membantu kamu, bisa membuat kamu membuka hatimu untukku." cerita bang Radit panjang lebar.

"jadi sekarang apa yang bang Radit inginkan dari ku?" tanya ku akhirnya, setelah aku berpikir beberapa saat.

"aku... aku menginginkan kamu malam ini, Erwin. Sudah sangat lama aku tidak melakukan hal tersebut dengan seorang laki-laki. Sekarang aku tidak bisa lagi menahan diriku. Aku sudah coba memendamnya selama beberapa minggu ini, tapi selalu saja wajah tampan mu itu hadir di setiap angan liar ku." balas bang Radit.

Aku terdiam. Berpikir lagi. Jujur, aku tidak ingin kehilangan kehidupan yang aku jalani saat ini. Meski sebenarnya ini bukanlah kehidupan yang aku inginkan. Namun aku benar-benar tidak mau hidup terlunta-lunta di jalanan lagi.

Jika memang bang Radit menginginkan ku, gak ada salahnya juga bagi ku untuk memenuhi keinginannya itu. Pada dasarnya aku ini bukan laki-laki baik-baik. Sejak awal aku memang bukan laki-laki baik. Apa lagi aku juga sudah menjadi selingkuhan istri bang Radit. Dan saat ini justru bang Radit juga menginginkan ku.

Memang susah terlahir menjadi laki-laki yang berwajah tampan dan berpostur tubuh gagah. Terlalu banyak godaannya. Dan aku selalu tidak bisa menghindari setiap godaan itu.

"jika kamu mau menjalin hubungan dengan ku, aku akan memberi kamu uang yang banyak, Erwin. Kamu tidak perlu bekerja keras lagi di kebun. Kamu cukup menemani ku kapan pun aku membutuhkan kamu." ucap bang Radit menawarkan lagi.

"tapi aku ini bukan gay, bang. Tidak mudah bagiku untuk bisa menjalin hubungan dengan bang Radit, apa lagi sampai melakukan hal tersebut." ucapku berlagak jual mahal.

"iya, aku tahu. Tapi aku benar-benar menginginkan kamu, Erwin. Aku akan lakukan apa saja, untuk bisa mendapatkan kamu." tegas ucapan bang Radit.

"aku memang tidak akan bisa menolak keinginan bang Radit. Apa pun itu. Karena bang Radit sudah sangat baik padaku. Tapi aku ingin bang Radit tahu, kalau aku melakukan semua ini, bukan karena aku benar-benar menginginkannya. Tapi karena aku hanya ingin membalas setiap kebaikan bang Radit padaku selama ini." ucapku kemudian.

"aku tak peduli apa pun alasan kamu, Erwin. Yang penting aku bisa mendapatkan kamu. Aku bisa memiliki kamu, seperti yang selalu aku khayalkan akhir-akhir ini." balas bang Radit.

"baiklah, bang. Jika itu yang abang inginkan. Aku bersedia. Tapi aku harap, ini hanya menjadi rahasia kita berdua. Dan satu hal lagi, aku ingin tetap bekerja seperti biasa. Aku tidak ingin orang-orang curiga akan kedekatan kita. Terutama istri bang Radit." ucapku ringan.

"jika itu yang menjadi permintaan mu. Bagi ku tidak masalah. Selama kamu bersedia, kapan pun aku menginginkan kamu untuk bersama ku." balas bang Radit.

Dan malam itu, dengan perasaan berat, aku pun terpaksa memenuhi keinginan bang Radit. Bukan karena aku benar-benar menginginkannya, tapi terlebih karena aku ingin membalas semua kebaikan bang Radit padaku. Dan juga karena aku tidak ingin kehilangang kehidupan ku yang sekarang.

*****

Sejak saat itu, aku dan bang Radit mulai menjalin hubungan rahasia. Bang Radit semakin sering mengajak aku untuk ikut dengannya.

Sementara hubungan ku dengan mbak Sinta, istri bang Radit, masih terus berjalan. Ada malam-malam tertentu, mbak Sinta, selalu menyempatkan waktu untuk menyelinap ke kamarku.

Aku harus menjalankan dua peran dalam hidupku. Meski sulit, namun aku sangat menikmati hal tersebut. Apa lagi aku juga mendapatkan sejumlah uang, setiap kali aku selesai melakukan hal tersebut, baik bersama mbak Sinta atau pun bersama bang Radit.

Sebenarnya ini bukanlah kehidupan yang aku impikan, namun sekali lagi, aku ini bukanlah laki-laki baik-baik, yang harus mempertimbangkan banyak hal sebelum melakukan sesuatu.

Aku sadar akan resiko, atas semua yang aku lakukan saat ini. Tapi bukankah hal itu bukan keinginan ku sendiri. Mbak Sinta dan bang Radit sendiri yang menginginkan aku. Dan aku tidak bisa menghindari mereka. Terlebih aku memang tidak ingin menghindarinya.

Lagi pula hal itu terlalu indah untuk aku hindari. Terutama saat aku bersama mbak Sinta. Aku terlena dengan segala perlakuan mbak Sinta padaku. Dia begitu pandai membuat aku tidak bisa melupakannya. Dia selalu bisa membuat aku selalu menginginkannya.

Menjalani dua hubungan yang berbeda, sedikit membuat aku kesulitan, karena aku harus bisa mengatur waktu dengan baik. Aku tidak ingin salah satu dari mereka curiga. Aku harus bisa menjaga rahasia itu dengan baik. Agar kehidupan ku tetap aman.

****

Hari-hari pun terus berlalu. Aku masih tetap menjalankan kedua peran ku dengan baik. Bahkan sudah lebih dari setahun hal itu terus terjadi. Aku juga sangat menikmati hal tersebut. Aku merasa kehidupan yang aku jalani sungguh luar biasa.

Aku juga selalu menyimpan setiap uang, hasil pemberian dari mbak Sinta atau pun dari bang Radit. Uang hasil kerja ku di kebun juga aku tabung. Karena aku yakin, pada saatnya nanti semua ini pasti akan berakhir. Untuk itu aku butuh persiapan untuk hidupku ke depannya, jika aku tidak lagi di butuhkan oleh mbak Sinta mau pun oleh bang Radit.

Dan setelah lebih dari setahun, ketakutan ku pun terjadi. Bang Radit, pada akhirnya mengetahui kalau aku punya hubungan dengan istrinya. Hal itu ia saksikan sendiri, ketika suatu malam ia memergoki kami sedang bersama di kamar ku.

Bang Radit tentu saja marah besar. Ia pun mengusir ku dari rumahnya. Aku pun terpaksa pergi dari rumah itu. Sementara aku tidak tahu, apa yang dilakukan bang Radit terhadap istrinya. Dan aku juga sebenarnya juga tidak peduli lagi.

Tapi aku yakin, bang Radit tidak akan berani bertindak macam-macam padaku. Karena biar bagaimana pun, dia juga punya hubungan dengan ku. Dan itu merupakan rahasia besar dalam hidupnya. Aku yakin bang Radit tidak akan mau menanggung resiko rahasianya terbongkar, jika ia berbuat macam-macam padaku. Dan aku sudah memperhitungkan hal itu sejak lama.

Aku pun pergi dengan perasaan campur aduk. Aku benar-benar tidak tahu apa yang aku rasakan saat ini. Entah marah, kecewa, atau bahkan mungkin lega. Lega karena aku tidak lagi harus terikat dengan sepasang suami istri yang punya kelainan itu.

Aku memang sudah mempersiapkan kepergian ku. Uang yang aku simpan, rasanya sudah cukup untuk aku memulai kehidupan ku yang baru. Hanya saja aku memang harus pergi sejauh-jauhnya dari kehidupan bang Radit. Aku harus memulai hidupku di tempat yang baru dan jauh.

Aku pun menaiki sebuah bis antar provinsi, untuk pergi dari daerah tersebut. Aku ingin meninggalkan kehidupan ku bersama sepasang suami istri itu. Meski pun aku belum benar-benar tahu, kemana sebenarnya tujuan ku. Namun yang pasti aku memang harus pergi.

Dan setelah perjalanan kurang lebih tiga hari tiga malam naik bis, aku pun sampai ke sebuah kota yang belum pernah aku datangi sebelumnya. Aku berharap, di kota ini, aku bisa memulai hidupku yang baru.

Hal pertama yang aku lakukan adalah mencari tempat tinggal. Aku pun mencari tempat kost murah, untuk aku tinggal sementara waktu. Aku juga terus berpikir, usaha apa yang bisa aku lakukan di kota ini, dengan modal yang sangat terbatas.

Sampai akhirnya setelah seminggu aku tinggal di kota baru itu, aku pun memutuskan untuk membuka usaha jualan pakaian jadi. Aku menyewa sebuah ruko kecil, untuk tempat aku berjualan. Aku menguras semua uang tabungan ku, untuk modal usaha ku tersebut.

Awalnya hal itu tidak mudah bagiku. Namun aku selalu percaya, bahwa setiap usaha pasti akan membuahkan hasil. Untuk itu, aku pun tak pernah menyerah. Aku juga membuka toko ku secara online. Hal itu cukup membantu penjualan ku. Hingga pelan namun pasti, usaha ku pun mulai berkembang. Orang-orang sudah mulai mengenal toko pakaian ku, baik online mau pun offline.

Dan setelah bertahun-tahun, usaha ku pun akhirnya membuahkan hasil. Aku bahkan sudah punya beberapa orang karyawan. Aku juga sudah menyewa ruko yang lebih besar. Meski sebenarnya, aku haru mengalami jatuh bangun beberapa kali, namun aku tidak pernah menyerah. Hingga akhirnya usaha ku bisa terus berkembang.

Setelah merasa hidupku mulai mapan, aku pun memutuskan untuk menikah. Aku menikah dengan seorang gadis cantik, yang merupakan salah seorang karyawanku.

Setelah menikah, kehidupan ku semakin membaik. Aku pun telah melupakan segala kepahitan hidup yang pernah aku lalui di masa lalu. Aku telah mengubur semua masa lalu ku. Karena bagiku, masa lalu hanyalah kenangan yang telah berlalu. Dan masa depan dan hal yang layak untuk di perjuangkan.

Dan satu hal lagi, aku bukan lagi seorang yang angkuh dan sombong. Kepahitan-kepahitan hidup yang aku lalui di masa-masa sulit ku, telah mengajarkan aku banyak hal. Kejadian demi kejadian yang aku alami, telah mampu mengubah sifat ku. Aku belajar banyak dari setiap peristiwa yang aku alami.

Kini aku benar-benar telah berubah. Aku yang dulu begitu angkuh dan sombong. Kini menjadi orang selalu berusaha memperbaiki diri. Apa lagi istriku juga seorang perempuan yang baik, lembut dan penuh perhatian.

Hanya saja sampai saat ini, aku belum mendapat kabar apa pun tentang papa ku. Aku yakin ia masih menjalani masa hukumannya. Hanya saja, terkadang terpikir olehku untuk menjenguknya. Namun selain sangat jauh, aku juga tidak ingin kembali ke kota asal ku. Karena itu, aku belum berani untuk menjenguk papa.

Aku hanya berharap, papa bisa menyadari kesalahannya dan semoga beliau bisa berubah menjadi lebih baik selama di penjara. Dan semoga juga beliau selalu dalam keadaan baik-baik saja.

Mungkin suatu waktu aku akan mengunjunginya. Namun yang pasti bukan sekarang, karena aku merasa belum siap untuk bertemu dia kembali.

Dan begitulah kisah hidup yang harus aku jalani. Mungkin ada banyak kesalahan yang aku lakukan dalam hidup ini. Mungkin aku bukanlah manusia yang baik. Namun apa pun itu, sebagai manusia aku berhak untuk mendapatkan kesempatan kedua. Sebagai manusia, aku berhak mendapatkan kesempatan untuk berubah.

Mungkin kisah ini bukan lah kisah yang sarat makna. Namun aku percaya, selalu ada pelajaran berharga pada setiap kisah yang terjadi.

Terima kasih sudah menyimak kisah ini dari awal sampai akhir, semoga terhibur dan semoga ada hikmah yang bisa di petik dari kisah sederhana ini.

Salam sayang selalu buat kalian semua. Muaach.

****

Gadis desa yang lugu

Kisah ini berawal dari perkenalan ku dengan seorang gadis desa yang masih polos dan lugu. Namanya Desi. Dia gadis yang cantik dan lembut. Kecantikannya terlihat sangat alami.

Kami kenal tak sengaja, karena kebetulan Desi adalah seorang pembantu baru di rumah tetangga ku. Aku sering melihat Desi, terutama saat pagi hari ia berbelanja sayur-sayuran pada tukang yang memang setiap pagi lewat di kompleks perumahan kami.

Karena sering melihatnya, aku pun jadi penasaran. Apa lagi Desi memang sangat cantik.

Aku pun nekat mengajaknya berkenalan, saat Desi sedang berbelanja di warung depan rumah ku. Aku berpura-pura memebeli sesuatu di sana, agar aku punya alasan untuk mendekatinya dan mengajaknya berkenalan.

Kami pun akhirnya berkenalan, dan aku sengaja meminta nomor hendphone nya. Meski dengan sedikit berat Desi pun bersedia bertukar nomor handphone dengan ku.

Desi berasal dari kampung. Orangtua dan semua keluarganya tinggal di kampung. Menurut cerita Desi, dia baru pertama kali datang ke kota. Dia hanya seorang lulusan SD, karena itu ia hanya bisa menjadi seorang pembantu. Desi ternyata baru berusia 19 tahun.

Desi juga bercerita, kalau dia merupakan anak sulung dari empat bersaudara. Ketiga adik-adiknya masih kecil dan masih bersekolah. Orangtuanya yang hanya petani biasa di kampung. Penghasilan mereka juga terbilang cukup pas-pasan. Karena itu juga, Desi mau bekerja menjadi pembantu, untuk membantu keuangan orangtuanya.

Selain lewat handphone, aku dan Desi sekarang juga sering ngobrol secara langsung. Aku sengaja datang menemui Desi di rumah majikannya, saat majikannya tersebut tidak sedang berada di rumah. Kami biasanya ngobrol di teras belakang rumah tersebut.

Selain Desi, sebenarnya ada satu orang pembantu lagi di rumah tersebut. Namanya sebut saja bi Ijah. Namun kalau pagi dan siang hari, bi Ijah memang di tugaskan untuk mengantar dan menjemput anak majikan di sekolah.

Suami istri majikan Desi tersebut, keduanya memang sama-sama bekerja. Karena itu mereka berdua sangat jarang berada di rumah, terutama saat siang hari. Mereka memiliki dua orang anak, yang satu sudah kelas lima SD dan satu lagi masih kelas satu SD. Dan bi Ijah yang di percaya untuk menjaga kedua anak tersebut. Sementara Desi di tugaskan untuk memasak, mencuci dan membersihkan rumah.

Setidaknya begitulah yang Desi ceritakan padaku, tentang kegiatannya sehari-hari di rumah juragannya tersebut.

*****

Hari-hari pun berlalu, aku dan Desi pun semakin dekat dan akrab. Kata Desi dia senang bisa mengenal ku, karena ia memang tidak punya teman lain di kota ini.

Saat waktu-waktu senggangnya, aku juga sering mengajak Desi berkeliling kota. Desi tentu saja merasa bahagia dengan semua itu, karena ia memang tidak pernah ke kota sebelumnya.

Aku memang selalu berusaha untuk berbuat baik padanya. Karena aku memang sudah jatuh hati padanya, bahkan sejak pertama kali melihatnya. Namun aku tidak ingin buru-buru mengungkapkan perasaanku padanya. Aku ingin mendekatinya secara perlahan. Aku ingin Desi membuka hatinya untuk ku secara suka rela, tanpa ada paksaan.

Setelah merasa cukup yakin, aku pun kemudian berniat untuk mencurahkan isi hatiku pada Desi.

Kebetulan malam itu malam minggu, aku sengaja mengajak Desi jalan-jalan naik motor ku. Kami nonton di bioskop, lalu kemudian makan malam di sebuah kafe. Kemudian aku pun mengajak Desi untuk ngobrol di sebuah taman.

Saat itulah aku pun mengungkapkan perasaan ku padanya. Desi tidak menerimanya awalnya, karena ia merasa tidak pantas untuk ku.

"aku hanya seorang pembantu, mas." begitu alasannya.

Tapi aku terus berusaha untuk meyakinkan Desi, kalau aku benar-benar tulus mencintainya. Hingga akhirnya Desi pun luluh, dan kami pun resmi berpacaran.

****

Sejak berpacaran, kami kian dekat dan semakin terbuka dengan perasaan kami masing-masing.

Sampai suatu saat, aku nekat mengajak Desi masuk ke kamar ku. Aku memintanya diam-diam keluar dari rumah majikannya malam-malam, kemudian kami pun menyelinap ke kamarku. Saat itu orangtua ku memang sedang tidak berada di rumah.

Sesampai di kamar, kami pun mulai mengobrol. Berawal dari obrolan yang biasa, lalu kemudian menjurus kearah yang lebih sensitif. Hingga lama kelamaan, aku pun mulai berani untuk melakukan kontak fisik dengan Desi.

Desi berusaha menolak awalnya, namun aku terus membujuknya untuk mau melakukan hal tersebut dengan ku. Akhirnya Desi pun bersedia.

Desi benar-benar sangat lugu dan polos. Dia benar-benar sosok gadis desa yang belum tersentuh oleh tangan laki-laki mana pun. Bahkan menurut Desi, aku adalah pacar pertamanya. Dan aku juga laki-laki pertama yang berhasil menyentuh hatinya.

Aku pun berhasil menjadi laki-laki pertama yang bisa menciumnya. Bahkan bukan cuma sampai di situ. Aku semakin berani untuk meminta hal yang lebih pada Desi. Meski pun malu-malu dan masih terasa kaku, Desi pun mulai terbawa suasana.

Pelan namun pasti, kami pun mulai terhanyut dengan suasana romantis malam itu. Hingga akhirnya aku pun berhsil mer3nggutt k3suc!an Desi mlam itu. Desi sempat menangis beberapa saat, namun aku kembali berhasil membujuknya. Desi pun kembali bsa m3n!km4tti p3rm4!nan itu lagi. Dia bahkan beursaha untk mmblas setipa tndakanku padanya.

Hingga kmi pun sama-sma trhemp4s, dlam lautan keindhan cinta yng penuh wrna.

****

Sejak malam itu, kami pun semakin sering mlakukan hal trsebut. Kami semakin terlena dengan cinta yang hadir di antara kami. Aku semakin tak ingin melepaskan Desi. Bukan saja karena aku memang mencintainya. Tapi juga karena aku jadi merasa ket4gihan dengannya.

Aku memang pernah pacaran sebelumnya. Namun aku belum pernah sampai melewati batas dengan pacarku, seperti yang aku lakukan dengan Desi. Namun dengan Desi aku mendapatkan segalanya. Karena itu juga, aku tak ingin melepaskannya.

Desi memang bukan pacar apa lagi cinta pertamaku. Tapi dia adalah gadis pertama yang mampu memberikan aku kesan yang indah. Kesan pertama yang tak akan pernah aku lupakan.

Aku memang masih kuliah saat ini. Masih semester lima. Aku juga merupakan anak tunggal. Papa ku seorang karyawan di sebuah bank swasta, sedangkan ibu ku adalah seorang guru. Sebagai anak tunggal, aku memang hidup serba berkecukupan. Hampir semua keinginan ku selalu dipenuhi oleh orangtua ku.

Saat mengetahui, kalau aku punya hubungan istimewa dengan Desi. Orangtua ku tentu saja menolak hal tersebut. Mereka sangat marah padaku. Mereka meminta aku untuk meninggalkan Desi dan mencari gadis lain yang sepadan dengan kehidupan kami secara ekonomi maupun pendidikan.

Aku tidak menerimanya begitu saja. Aku berusaha meyakinkan orangtua ku, kalau aku dan Desi benar-benar saling mencintai. Tapi orangtua ku tetap tidak ingin aku berhubungan dengan Desi.

Hubungan ku dengan orangtua ku menjadi renggang. Aku jadi tidak mau berbicara dengan mereka. Sementara aku dan Desi terus melakukan pertemuan diam-diam. Meski pun Desi terus berusaha mengingatkan ku akan ketidaksetujuan orangtuaku.

Desi memang merasa takut akan hal tersebut. Ia jadi tidak untuk menemui ku lagi. Tapi aku terus mendesak. Aku terus berusaha untuk menemuinya. Bahkan aku pernah nekat untuk menyelinap ke kamar Desi malam-malam.

Sampai akhirnya orangtua ku pun benar-benar turun tangan untuk memisahkan aku dan Desi. Mereka diam-diam meminta majikan Desi untuk memecat Desi dan memintanya untuk bekerja di tempat lain. Tempat yang sangat jauh dari rumah kami.

Hal itu aku ketahui dari cerita bi Ijah, saat aku berusaha menemui Desi suatu pagi. Karena sudah beberapa hari ini aku tidak melihatnya.

Bi Ijah mengatakan, kalau Desi sudah tidak bekerja di rumah itu lagi, dan sudah pindah menjadi pembantu di tempat lain. Tapi bi Ijah tidak tahu, Desi di pindahkan kemana. Nomor handphone Desi pun sudah tidak aktif lagi.

Aku merasa sangat kehilangan. Aku juga membenci kedua orangtuaku. Aku masih berusaha untuk mencari tahu dimana Desi sekarang. Namun tidak satu pun info yang aku dapat tentang Desi. Dia benar-benar menghilang tanpa jejak. Dan aku merasa sangat terluka akan hal tersebut.

Aku telah kehilangan Desi. Namun kenangan yang ia tinggalkan, akan selalu tersimpan di hatiku yang paling dalam. Semoga saja, suatu saat nanti aku dan Desi akan kembali bertemu.

Ya, semoga saja.

****

Menikahi istri sahabat ku

Aku punya seorang sahabat, namanya Leonardo. Aku biasa memanggilnya Leo.

Leo memang seorang keturunan bule. Papanya asli dari Argentina, sedangkan Mamanya dari Indonesia.

Perpaduan dua orang dari negara yang berbeda itu, telah menghasilkan seorang Leonardo yang sempurna.

Dia tampan dan gagah, tubuhnya jangkung. Dada dan lengannya berotot. Sungguh sosok laki-laki yang sempurna. Tidak ada seorang wanita pun yang tidak tertarik padanya.

Aku mengenal Leo, sejak kami sama-sama kuliah. Kami kuliah di kampus, fakultas dan kelas yang sama.

Duduk bersebelahan dengannya, membuat kami tiba-tiba saja menjadi dekat dan akrab.

Selama masa kuliah, Leo memang selalu jadi idola kaum hawa. Semua orang memujanya, dan aku merasa bangga bisa menjadi sahabatnya.

Leo pun tidak menyia-nyiakan kelebihannya itu. Dia sering memacari cewek-cewek yang mengejarnya. Bahkan dia juga sering berpacaran dengan beberapa cewek sekaligus dalam waktu bersamaan. Leo memang terkenal cukup playboy ketika kuliah. Namun tetap saja para cewek-cewek itu selalu mengejarnya.

Lima tahun kami bersahabat, sampai akhirnya kami sama-sama lulus kuliah. Dan pada akhirnya kami pun bekerja di perusahaan yang sama. Hal itu membuat persahabatan kami semakin erat.

Di tempat kerja kami itu, ada seorang cewek cantik yang jadi primodana di kantor tempat kami bekerja. Namanya Luna. Cantik dan menawan.

Sejak pertama melihat Luna, aku memang sudah tertarik padanya. Aku bahkan telah jatuh cinta padanya, ketika akhirnya kami pun berkenalan. Namun sepertinya Luna hanya bersikap biasa saja padaku. Dia justru lebih sering memperhatikan Leo.

Aku coba memakluminya, karena Leo memang lebih segalanya dariku. Tapi aku sudah terlanjur jatuh cinta pada Luna. Karena itu aku pun memberanikan diri, untuk mengnungkapkan perasaan ku padanya.

Luna pun menolak ku. Dan aku merasa kecewa. Namun yang paling membuat aku semakin merasa kecewa, Luna justru akhirnya berpacaran dengan Leo.

Sebenarnya mereka pasangan yang cocok. Namun tetap saja aku merasa tidak rela. Karena aku tahu persis reputasi Leo dalam dunia percintaan. Dia sering mempermainkan perasaan cewek. Dan aku tidak rela, kalau Leo juga akan mempermainkan perasaan Luna.

Aku pun memberanikan diri menceritakan tentang siapa Leo sebenarnya kepada Luna. Namun tentu saja Luna tidak percaya.

Aku pun akhirnya menyerah dan membiarkan Luna dan Leo menari indah di atas luka ku. Meski pun Leo tidak tahu, kalau aku pernah menembak Luna, sebelum mereka jadian. Aku yakin Luna juga tidak akan menceritakannya. Karena Luna juga tahu, betapa dekatnya aku dan Leo.

Namun di luar dugaanku, Leo dan Luna akhirnya pun menikah. Selain merasa kecewa, aku juga tidak menyangka kalau Leo akan sebegitu seriusnya dengan Luna. Padahal selama ini, yang aku tahu, Leo belum pernah bertahan lebih dari setahun jika berpacaran.

Tapi kali ini, Leo justru menikahi Luna, walau pun mereka belum genap satu tahun pacaran.

Aku pernah berharap, kalau hubungan Leo dan Luna akan berakhir setelah satu tahun. Tapi nyatanya, mereka justru sepakat untuk menikah.

Sekali lagi, aku harus merelakan hal tersebut. Mungkin Luna memang bukan jodohku. Mungkin Luna dan Leo memang sudah di takdirkan untuk bersama.

Aku pun mulai belajar untuk melupakan Luna.

****

Setahun Luna dan Leo menikah. Aku masih dengan kesendirian ku. Meski pun aku sudah bisa melupakan Luna.

Apa lagi Luna, setelah menikah, ia pun berhenti kerja, atas permintaan Leo.

Aku dan Leo masih tetap bersahabat. Kami masih sering menghabiskan waktu bersama. Terutama saat di kantor.

Setahun menikah, aku belum mendengar kabar, kalau Luna hamil. Entah mereka memang sengaja menunda kehamilan Luna. Atau karena memang mereka belum di beri kesempatan untuk punya keturunan.

Aku tak tahu. Aku juga tidak berani bertanya hal itu pada Leo. Lagi pula itu bukan urusan ku lagi.

Hingga pada suatu saat, aku berkunjung ke rumah Leo. Karena Leo mengabarkan hari itu dia tidak masuk kerja. Aku pikir dia sakit, untuk itu aku datang menjenguknya.

Sesampai di rumah Leo, yang ada hanya Luna. Menurut keterangan Luna, Leo tidak masuk kerja, karena harus mengurus pasport nya, untuk pulang ke Argentina.

Ternyata papa Leo yang sudah kembali ke Argentina, setelah mamanya Leo meninggal dunia beberapa tahun yang lalu, mengalami kecelakaan parah, dan kabar terakhirnya ia pun meninggal.

Sebagai putra satu-satunya, Leo memang berniat untuk mengikuti pemakaman papanya. Karena itu ia segera mengurus pasport dan juga sekalian membeli tiket pesawat, untuk ia pulang ke Argentina.

Setelah segala urusan tetek bengek surat menyuratnya itu selesai, Leo pun terbang ke Argentina malam harinya. Dia pergi sendiri. Luna tidak bisa ikut, demi menghemat biaya.

"aku ingin kamu menjaga Luna, selama aku di Argentina." begitu pesan Leo, saat aku dan Luna mengantarnya di bandara.

"kamu tenang aja, Leo. Kamu hati-hati, ya." balasku.

Dan begitulah, selama Leo berada di Argentina, aku jadi sering datang ke rumah Luna. Meski pun sebenarnya Luna merasa keberatan akan hal itu.

Tapi Luna tidak bisa menolak kehadiran ku, karena itu merupakan amanah dari Leo, suaminya.

****

Seminggu Leo pergi, aku dan Luna jadi sering menghabiskan waktu bersama. Setiap pulang kerja, aku sempatkan untuk mampir ke rumahnya. Luna juga mulai bisa menerima kehadiran ku. Kami jadi sering ngobrol, meski pun pembicaraan kami hanya bersifat hal-hal yang umum.

Sampai akhirnya sebuah kabar pilu datang kepada kami. Pesawat yang di tumpangi Leo, ketika ia akan pulang ke Indonesia, mengalami kecelakaan.

Semua penumpang dalam pesawat tersebut, di kabarkan tidak ada yang selamat seorang pun. Termasuk Leo.

Kabar itu benar-benar membuat Luna terpukul, demikian juga aku. Biar bagaimana pun, Leo adalah sahabat terbaik ku.

Kehilangan Leo membuat Luna jadi kehilangan keseimbangan. Dia menjadi begitu rapuh.

"aku sedang hamil, Bas." ucap Luna. Dan hal itulah yang ternyata membuat ia semakin terluka akan kehilangan Leo.

"dan Leo belum tahu hal ini. Aku ingin menceritakannya ketika ia pulang ke Indonesia. Karena aku juga baru tahu, kalau aku hamil. Tapi ... sekarang Leo sudah tidak ada. Dan dia belum sempat tahu, kalau dia akan jadi seorang ayah." cerita Luna dengan terisak.

Tubuhku terasa lemas tiba-tiba mengetahui hal tersebut. Aku bisa membayangkan betapa terpukulnya Luna saat ini. Dia harus kehilangan orang yang ia cintai, di saat ia benar-benar membutuhkannya.

"kamu yang sabar ya, Lun." ucapku mencoba menghibur.

"tapi... anak ku akan lahir, tanpa seorang ayah, Bas." suara Luna masih serak.

"aku akan menjadi ayahnya, Lun." ucapku tanpa sadar.

"aku tidak ingin di kasihani, Bas. Kamu gak usah sok jadi pahlawan." balas Luna.

"aku tidak sedang mengasihi kamu, Lun. Aku juga tidak ingin jadi pahlawan dalam hidupmu. Aku hanya ingin membantu Leo dan juga calon anaknya. Biar bagaimana pun Leo adalah sahabat terbaik ku. Dan kamu masih ingat, kan? Pesan terakhir Leo padaku? Dia ingin aku menjaga kamu, Luna. Dan aku siap melakukan hal itu, untuk Leo." ucap ku yakin.

Luna pun tidak berkata apa-apa lagi. Aku yakin, dia tidak akan bisa menolak tawaran ku. Karena saat ini, hanya aku satu-satunya orang yang dekat dengannya. Dan lagi pula, dia juga sudah tahu bagaimana perasaan ku padanya.

Apa lagi, tanpa sengaja, Leo sudah berpesan agar aku menjaga Luna untuknya.

****

Beberapa bulan kemudian, aku dan Luna pun menikah. Meski pun Luna sudah dalam keadaaan hamil. Aku menikahinya, bukan lagi karena aku mencintainya. Tapi karena aku tidak ingin anaknya lahir tanpa seorang ayah. Dan lagi pula, sebagai sahabat Leo, aku merasa punya tanggungjawab akan hal itu.

Meski pun kami sudah menikah, aku tidak berusaha untuk menyentuh Luna. Aku tahu, Luna tidak mencintaiku. Aku juga tahu, kalau Luna masih butuh waktu untuk bisa menerima semua kenyataan yang terjadi.

Biar bagaimana pun, Luna baru saja kehilangan suaminya, orang yang paling ia cintai. Dan aku tidak ingin memaksanya untuk bisa melupakan Leo, atau pun untuk bisa mencintai ku.

Aku ingin semua mengalir apa adanya. Aku yakin, waktu dan keadaan akan bisa mengubah perasaan Luna padaku. Apa lagi saat ini, kami sudah berstatus suami istri yang sah.

Apa lagi mengingat saat ini, kami juga tinggal serumah. Kami setiap hari selalu bertemu. Pelan namun pasti, Luna pasti akan bisa menerima kehadiran ku dalam hidupnya.

Aku tahu, tidak mudah bagiku, menggantikan posisi Leo di hidup dan di hati Luna. Namun aku juga percaya, bahwa cinta akan tumbuh dengan seringnya kami bersama.

Dan semoga saja pernikahan kami akan bertahan selamanya.

Ya, semoga saja.

*****

Pengalaman pertama

Sejak masuk ke sekolah ini aku sudah mulai mengenal Rara. Dia cewek pertama yang aku kenal di SMA ini. Setahun sudah aku mengenalnya. Rara seorang gadis yang baik, manis dan cerdas serta penuh perhatian.

Dari awal aku sudah mulai suka padanya. Aku pun sudah pernah mengungkapkan perasaanku padanya. Waktu itu, sudah hampir satu semester kami berteman.

"Rey, untuk saat ini, mungkin lebih baik kita berteman saja." ucap Rara waktu itu, "aku belum siap menjalani hubungan percintaan dengan siapa pun, karena aku ingin fokus dengan sekolah ku saat ini." lanjutnya.

"dan aku harap kamu mau mengerti. Cobalah cari gadis lain yang mungkin juga menyukai kamu." Rara melanjutkan lagi.

Aku sempat kecewa waktu itu, mendengar penolakan Rara. Namun biar bagaimana pun, harus bisa menerima kenyataan bahwa Rara tidak menyukai ku. Meski pun entah mengapa, aku selalu merasa yakin, kalau Rara sebenarnya juga menyukai ku. Hanya saja sepertinya, ada banyak hal yang ia coba sembunyikan dari ku.

Sejak saat itu, aku tidak berharap banyak lagi kepada Rara, kecuali hanya sebagai teman.

Sampai saat ini, sudah lebih dari enam bulan berlalu, sejak Rara menolak cinta ku, aku masih belum bisa menemukan gadis lain, seperti yang di sarankan Rara. Karena sebenarnya, aku masih selalu mencintai Rara. Aku tak bisa melupakannya, apa lagi mencari gadis lain.

Selama enam bulan ini, hubungan kami biasa-biasa saja. Aku pun tak pernah mengungkit lagi tentang perasaan ku pada Rara. Meski pun sejujurnya, aku masih berharap, suatu saat nanti Rara mau membuka hatinya untukku.

Sebagai seseorang yang selalu mencintai Rara, aku sering merasa cemburu saat melihat Rara dekat dengan cowok lain. Namun aku selalu berusaha untuk menekan semua rasa cemburu ku itu. Karena aku tidak ingin kehilangan Rara, meski hanya sebagai teman.

Aku tahu, sampai saat ini Rara memang belum punya pacar. Seperti yang ia katakan dulu, kalau ia ingin fokus dengan sekolahnya.

****

Hingga pada suatu saat, aku kembali nekat untuk mengungkapkan perasaan ku pada Rara. Aku sengaja datang ke rumahnya diam-diam. Saat itu malam minggu.

Meski kaget, Rara tetap mempersilahkan aku masuk ke rumahnya.

"kamu sendirian di rumah?" tanyaku memulai pembicaraan.

"berdua sama bi Asih." jawab Rara, "mama dan papa sedang menghadiri acara pesta di kantor tempat papa kerja." lanjutnya menjelaskan.

"kamu gak ikut?" tanya ku.

"aku gak suka acara pesta seperti itu." balas Rara lemah.

"oh, ya. Kamu ada apa datang ke sini malam-malam?" tanya Rara tiba-tiba, seolah mencoba mengalihkan pembicaraan.

"aku lagi suntuk aja di rumah, Ra. Jadi aku kepikiran untuk datang ke sini. Dan... sebenarnya ada yang ingin aku sampaikan sama kamu." balas ku apa adanya.

"soal apa?" tanya Rara.

"setelah enam bulan berlalu, jujur, aku masih mencintai kamu, Ra. Aku tidak bisa melupakan kamu. Aku harap kamu mau memberikan aku kesempatan." ucapku dengan suara berat.

"maaf, Rey. Kalau soal itu, sampai saat ini jawabanku masih sama." balas Rara.

"kenapa sih. Ra? Kenapa kamu tidak mau memberikan aku kesempatan?" tanya ku penuh hiba.

"karena percuma, Rey." balas Rara.

"percuma kenapa?" tanyaku heran.

"kamu gak bakal ngerti, Rey." balas Rara lagi.

"kalau kamu gak pernah cerita gimana aku mau ngerti? Kamu jangan membuat aku semakin penasaran, Ra." ucapku sedikit tertahan.

"aku gak tahu bagaimana menjelaskannya sama kamu, Rey. Namun yang pasti, aku gak bisa. Aku harap kamu ngerti." balas Rara serak.

"terserah kamu, Ra. Mungkin aku yang salah. Aku yang terlalu berharap." suaraku lemah.

Setelah berkata demikian aku pun pamit.

"aku pulang, Ra. Semoga saja kamu bisa menemukan laki-laki yang benar-benar kamu suka." ucapku sambil mulai melangkah keluar.

*****

Seminggu kemudian Rara tiba-tiba menghilang. Dia menghilang tanpa kabar. Teman-temannya di sekolah juga tidak ada yang tahu kemana Rara. Aku kehilangan jejaknya.

Karena penasaran, aku pun mencoba mendatangi rumahnya. Namun rumah itu kosong. Menurut keterangan dari salah seorang tetangganya, Rara dan keluarga sudah pindah beberapa hari yang lalu.

Namun tidak seorang yang tahu, kenapa dan kemana Rara dan keluarganya pindah.

Aku mencoba menelan kepahitan itu. Meski pun aku merawa kecewa karena penolakan Rara, namun sebagai temannya, aku tetap merasa kehilangan. Aku tak bisa melihat wajah cantik itu lagi setiap hari di sekolah. Aku tak bisa melihat senyum manis itu lagi.

Kemana Rara sebenarnya? Dan kenapa ia pergi?

Berbagai pertanyaan terus menghantui pikiran ku.

Sampai suatu malam, sebuah pesan masuk ke email ku. Aku melihat pesan itu berasal dari email milik Rara. Dengan rasa penasaran, aku pun membuka email tersebut.

Teruntuk Rey, temanku.

Maaf, kalau aku pergi tiba-tiba. Maaf, kalau aku pergi tanpa memberitahu kamu. Seperti yang aku katakan, aku sulit menjelaskannya, Rey.

Namun setelah aku pergi, aku pikir kamu berhak tahu, karena itu aku pun nekat mengirimkan email ini.

Saat ini aku sedang berada di Singapur, Rey. Aku harus menjalani pengobatan.

Aku sakit, Rey. Leukimia stadium akhir. Kanker darah ini sudah merasuki ku sejak aku masih SMP.

Mama dan papa sudah berusaha keras untuk bisa mengobatiku. Berbagai pengobatan telah aku jalani, Rey. Namun semuanya tidak ada yang berhasil.

Sampai seorang kenalan papa, merekomendasikan sebuah rumah sakit di Singapur. Karena itu kami pun pindah, untuk pengobatan ku.

Meski pun sebenarnya harapan untuk aku sembuh sangat tipis, namun papa dan mama tidak pernah putus asa. Papa bahkan rela ikut pindah kerja ke Singapur, agar aku bisa menjalani pengobatan dengan rutin.

Maafkan aku, karena tidak jujur padamu dari awal. Tapi aku memang tidak ingin siapa pun tahu tentang penyakitku. Aku tak ingin di kasihani, Rey.

Dan aku juga minta maaf, kalau aku tidak bisa menerima cintamu. Bukan karena aku tidak suka sama kamu, Rey. Tapi karena aku tidak ingin, saat aku pergi, kamu akan semakin merasa kehilangan.

Sejujurnya aku bahagia bisa mengenal kamu. Ak bahagia bisa dekat sama kamu, Rey. Dan sebenarnya, aku juga cinta sama kamu. Namun aku tidak ingin hubungan kita semakin dalam. Karena itu pada akhirnya akan menyakiti kita berdua.

Aku harap kamu bisa melupakan aku, Rey. Dan sekali lagi, maafkan aku....

Begitulah kira-kira isi email dari Rara tersebut. Dan aku tanpa sadar pun meneteskan air mata saat membacanya. Hatiku terasa perih. Kepala ku sakit.

Rasanya jauh lebih sakit, ketika Rara menolak cintaku. Dan aku semakin merasa sakit, saat tahu, kalau Rara sebenarnya juga mencintai ku.

Kami saling mencintai, tapi Rara memilih untuk tidak menyatukan cinta kami. Karena ia tahu, dia tidak akan bisa bertahan lebih lama lagi.

Dan sebulan kemudian, aku pun mendapat kabar, kalau Rara akhirnya meninggal. Pengobatan yang ia lakukan, hanyalah sebuah usaha terakhir orangtuanya, untuk menyelematkan anak mereka.

Pada akhrinya Rara benar-benar pergi. Aku merasa sangat kehilangan. Bukan saja sebagai teman dekatnya, tapi juga sebagai orang yang mencintainya.

Biar bagaimana pun Rara adalah cinta pertama ku. Dan aku tidak akan pernah melupakannya.

Itulah pengalaman pertama ku yang jatuh cinta kepada seorang gadis. Cinta yang rumit.

****

Cari Blog Ini

Layanan

Translate