1 jam 30 menit di toilet pesawat

Aku menaiki pesawat itu dengan perasaan yang berdebar-debar. Ini adalah kali pertamanya aku menaiki pesawat. Perasaanku merasa tidak tenang, apa lagi aku pergi sendirian.

Menurut keterangan yang aku dapat, pesawat akan terbang selama lebih kurang satu jam 30 menit, untuk sampai ke kota tujuan ku. Dan hal itu semakin membuatku merasa cemas.

cerpen gay sang penuai mimpi

Aku belum pernah naik pesawat sebelumnya. Aku tidak kenal siapa pun di dalam pesawat ini.

Tapi aku harus bisa. Aku sudah bertekad untuk pergi kali ini naik pesawat.

Aku memang suka travelling. Berjalan-jalan keliling Indonesia sendirian. Tapi selama ini aku belum pernah naik pesawat. Aku lebih suka perjalanan darat.

Perjalanan darat lebih menakjubkan, karena bisa sekalian melihat-lihat pemandangan sepanjang perjalanan, dan juga bisa mampir ke tempat-tempat yang aku lalui.

Tapi kali ini aku ingin mencoba naik pesawat, selain karena kota yang aku tuju cukup jauh, aku juga ingin merasakan bagaimana rasanya naik pesawat.

Aku sebenarnya tidak terlalu takut naik pesawat, hanya saja berita-berita tentang pesawt yang jatuh dan hilang, kadang membuat aku berpikir dua kali untuk mencobanya.

Dan kali ini aku memberanikan diri untuk mencobanya.

Dan aku tidak menyangka, bahwa pengalaman pertama ku berjalan-jalan naik pesawat, akan menjadi pengalaman paling indah sepanjang perjalanan hidupku.

Aku tidak menyangka, kalau aku akan bertemu seorang pemuda tampan nan gagah, yang memberi aku kesan yang begitu indah.

Bagaimanakah kisah cinta satu jam ku bersama seorang pemuda tampan itu terukir?

Simak kisah ini sampai tuntas ya..

Namun sebelumnya ... bla... bla...

*****

Aku celingukan mencari nomor tempat duduk sesuai dengan nomor yang tertera di tiketku. Karena baru pertama naik pesawat, aku jadi sedikit bingung. Beruntunglah seorang pramugari segera membantuku untuk menemukan tempat dudukku.

Aku menghempaskan tubuhku di tempat duduk empuk itu, setelah aku menaruh tas ransel ku di atas kabin.

Aku memejamkan mata dan merafalkan beberapa doa yang aku hafal, saat seorang pramugari menyampaikan bahwa pesawat akan segera lepas landas.

"baru pertama naik pesawat ya?" suara seorang pemuda mengagetkanku. Pemuda yang duduk di samping ku itu, ternyata sudah sejak tadi memperhatikanku, tapi aku tidak menyadarinya, karena terlalu sibuk menenangkan diriku sendiri.

"kelihatan ya?" ucapku balik bertanya.

Pemuda itu tersenyum simpul, sambil mengangguk ringan.

"selalu ada yang pertama dalam hidup ini kan? Jadi santai aja..." ucap pemuda itu kemudian.

Aku melirik pemuda itu sedikit lama. Ku perhatikan wajahnya dengan seksama.

Wajah pemuda itu cukup tampan dengan pipinya yang tirus. Hidungnya mancung, bibirnya terlihat sensual, dengan belahan dagunya yang tipis.

"mungkin kamu butuh teman ngobrol, agar tidak terlalu larut dalam rasa takutmu sendiri.." ucap pemuda itu lagi, melihat aku yang hanya terdiam.

Aku menunduk dan memejamkan mata, saat aku merasakan sebuah getaran hebat, saat pesawat itu akhirnya lepas landas.

"selalu ada yang pertama untuk segala hal. Seharusnya kamu menikmatinya, bukan malah memejamkan mata.." pemuda itu berucap lagi, sepertinya dia memang pemuda yang tidak bisa diam.

Padahal dia belum mengenalku, tapi dia berbicara seolah-olah kami sudah saling kenal.

Namun aku menyukainya. Setidaknya satu jam ke depan aku jadi punya teman bicara.

"setiap orang punya caranya sendiri-sendiri untuk menikmati sebuah moment bukan?" ucapku akhirnya setelah merasa cukup tenang.

"oh, jadi kamu memilih untuk menikmatinya dengan memejamkan mata?" balas pemuda itu.

"terkadang membayangkan sesuatu itu jauh lebih indah dari pada melihatnya secara langsung.." timpalku sedikit puitis.

"sebuah kalimat yang bagus, aku menyukainya.." ucap pemuda itu lagi, "oh, ya.. nama ku Gunawan, panggil Igun aja.." lanjutnya lagi, sambil mengulurkan tangannya ramah.

Aku menjabat tangan itu dengan sedikit ragu,

"aku Wira.." ucapku pelan.

"ngapain ke Jakarta?" tanya pemuda yang mengaku bernama Gunawan itu.

"liburan.." jawabku singkat.

"sendirian?" tanya Igun dengan kening mengerut.

"iya.. aku memang suka bepergian sendirian.." jawabku.

"suka bepergian tapi kok takut naik pesawat?" tanya Igun lagi.

"aku memang baru pertama naik pesawat.." ucapku lemah.

"jadi selama ini?" igun bertanya kembali.

"aku lebih suka naik kendaraan darat, lebih seru aja. Bukankah menikmati sebuah perjalanan jauh lebih indah dari pada sampai ke tujuannya?" balasku berpuitis lagi.

"aku setuju. Tapi bukan sebuah perjalanan tidak akan terjadi jika kita tidak punya tujuan yang jelas.." balas Igun.

"aku tidak selalu punya tujuan yang jelas, terutama bila tentang berliburan. Aku lebih suka bepergian tanpa tujuan yang jelas. Hal itu selalu lebih menantang..." aku membalas.

"kamu suka berpetualang?" tanya Igun.

"kadang-kadang. Terutama saat aku merasa bosan dengan rutinitas harianku.." jawabku jujur.

"emangnya rutinitas harian kamu seperti apa?" Igun bertanya lagi, sepertinya dia memang seorang yang tidak bisa berdiam diri.

"aku seorang pekerja kantoran, aku bekerja di perusahaan papa ku.." jelasku.

"oh, anak papa rupanya.." cibir Igun.

"gak juga. Aku bisa bekerja di sana, murni hasil usaha ku sendiri, bukan karena aku anak pemilik perusahaan tersebut.." ucapku membela diri.

"yah... mungkin sebagian orang akan percaya, tapi sebagian besarnya tetap akan berpikir seperti itu.." balas Igun.

"yah, terserah sih, saya juga tidak pernah peduli dengan hal itu. Saya juga tidak berharap orang percaya atau tidak, itu tidak penting, yang penting aku punya prestasi.." ucapku datar.

"lalu kamu sendiri ngapain ke Jakarta?" tanyaku kemudian, mencoba mengalihkan pembicaraan.

"aku kuliah disana.." jawab Igun santai.

"oh, masih anak kuliah rupanya.." ucapku mencibir.

"anak kuliahan yang tidak takut naik pesawat.." balas Igun sedikit sengit, sepertinya dia tersinggung dengan ucapanku barusan.

Untuk beberapa saat kami pun saling terdiam.

"aku mau ke toilet, kamu mau ikut gak?" ucap Igun tiba-tiba, setelah keterdiaman kami beberapa saat tadi.

Aku tidak mengubris pernyataannya, karena aku tahu ia hanya ingin mencela ku.

"aku serius. Siapa tahu kamu lagi kebelet, tapi karena takut kamu memilih untuk memendamnya.." lanjut Igun berucap.

"aku tidak setakut itu, Igun.." balasku sedikit sengit.

"atau kita bisa melakukan hal lain berdua di toilet.." ucap Igun lagi.

"maksud kamu?" tanyaku heran.

"tidak apa-apa. Lupakan saja.." balas Igun, sambil mulai berdiri dan melangkah menuju bagian belakang pesawat.

Aku masih menatapi laki-laki itu dari belakang. Ternyata Igun cukup jangkung, dengan perawakan tubuhnya yang kekar.

Tiba-tiba aku memikirkan kembali maksud dari kalimat Igun barusan.

Ngapain Igun mengajakku ke toilet berduaan? Bathinku penasaran.

*****

Sepuluh menit kemudian Igun pun kembali. 

"kenapa kamu gak datang?" tanya Igun.

"datang kemana?" tanyaku balik, aku benar-benar tidak mengerti maksudnya.

"ke toilet lah.." jawab Igun.

"ngapain aku harus datang kesana?" tanyaku lagi.

"katanya kamu suka berpetualang? Aku ingin menunjukkan kamu sebuah petualangan yang hebat di atas pesawat ini.." balas Igun terlihat santai.

"petualangan seperti apa?" tanyaku penasaran.

"makanya ayok ikut saya." balas Igun, "atau apa kamu takut?" lanjutnya menantang.

"kamu serius?" tanyaku setengah tak yakin, dengan maksud Igun yang sebenarnya.

"aku serius, Wira. Ayok.." balas Igun, sambil sedikit menarik tanganku.

Aku dengan sedikit penasaran pun mengikuti langkah Igun menuju belakang pesawat.

Di depan sebuah toilet Igun berhenti.

"ayok kita masuk berdua.." ajak Igun, sambil membuka pintu toilet itu.

"ngapain di dalam berdua. Nanti orang-orang melihatnya.." pungkas cepat.

"gak ada yang memperhatikan kita. Orang-orang sibuk dengan urusan mereka masing-masing.." balas Igun, sambil sedikit menarik tanganku.

Aku masuk juga akhirnya. Igun mengunci pintu dengan cekatan.

"kita ngapain disini?" tanyaku dengan suara pelan.

"kita akan melakukan ini.." ucap Igun, sambil ia merapatkan tubuhnya padaku.

"melakukan apa?" tanyaku dengan nada khawatir.

"udah kamu gak usah pura-pura. Aku tahu kamu seorang gay.." balas Igun, yang membuatku terkesima.

"dari mana kamu tahu?" tanyaku tidak yakin.

"dari pertanyaan kamu barusan." jawab Igun yang membuat aku semakin tidak mengerti.

"kalau kamu bukan seorang gay, kamu pasti tidak akan bertanya seperti itu. Kalau kamu bukan gay, kamu pasti sudah memukulku sekarang.." jelas Igun, yang membuat ku merasa bodoh dengan pertanyaanku barusan.

Tentu saja pertanyaanku tersebut, sama hal nya aku mengakui kalau aku memang benar-benar seorang gay.

"lalu kamu mau apa?" tanyaku tak berdaya.

"aku menginginkan kamu Wira. Aku ingin kita melakukan sebuah pergelaran disini." ucap Igun tegas.

"apa itu artinya kamu juga seorang gay?" tanyaku merasa bodoh.

"kalau aku bukan gay, ngapain aku ngajak kamu melakukannya.." balas Igun.

Aku terdiam.

Sejujurnya, aku memang sudah tertarik dengan Igun, sejak pertama melihatnya tadi. Secara fisik Igun memang cukup menarik. Tapi aku tidak berharap apa pun darinya. Aku hanya mengagumi bentuk fisiknya yang gagah dan juga sifatnya yang ceplos-ceplos.

****

Igun mulai melancarkan aksinya. Aku tak kuasa menolak. Selain karena aku sudah sangat lama tidak merasakan hal tersebut, Igun juga sangat menarik secara fisik.

Igun juga terlihat sangat berpengalaman. Aku jadi sedikit kewalahan. Apa lagi kami tidak bisa bergerak terlalu bebas. Selain karena takut terdengar keluar, ruangan itu juga agak sempit.

Tapi justru disitulah tantangannya. Petualangan yang Igun janjikan, sungguh diluar dugaanku.

Tak kusangkan petualangan itu ternyata begitu indah. Aku sampai jadi lupa diri.

Igun sangat mahir, sepertinya Igun sudah sering melakukan hal tersebut, yang membuatku terhanyut dengan segala perlakuannya.

Hembusan angin menyentuh kulit kami. Dingin namun terasa membakar.

Yang aku herankan, padahal dari awal Igun tidak pernah membicarakan hal yang berhubungan dengan hal yang kami lakukan saat ini.

Igun tidak pernah menunjukkan sedikit pun, kalau dia tertarik padaku. Tapi entah mengapa dia tiba-tiba saja mengajakku melakukannya.

Mungkinkah Igun sudah biasa melakukan hal tersebut, dengan penumpang-penumpang yang ia temui di setiap perjalanannya?

Ataukah dia hanya untung-untungan, dengan memancing orang yang akan dia jadikan korban hasratnya? Seperti yang dia katakan tadi?

Aku tidak berani mempertanyakan hal tersebut.

Dan bagiku saat ini itu juga sudah tidak penting. Yang penting saat ini ialah menikmati setiap langkah perjalanan kami menuju sebuah tempat terindah.

Sebuah tempat yang menjadi tujuan setiap insan yang sedang di landa asmara. Tak peduli asmara seperti apa pun itu. Asmara sesama jenis kah? Asmara dengan lawan jenis kah? Asmara dengan perasaan cinta kah? Atau pun asmara sesaat, seperti yang kami alami saat ini.

Semua itu pada akhirnya akan berlabuh pada satu tujuan. Akan bermuara pada suatu tempat terindah.

Sebelum semuanya kemudian harus berakhir.

Sebuah akhir yang indah. Akhirnya yang kamu lakukan bersama.

Berusaha untuk saling memberi yang terbaik.

Sehingga segala keindahan itu terasa sangat sempurna bagiku.

Igun memang benar-benar luar biasa. Kesan yang ia berikan, benar-benar mampu membuatku terlena.

Tak terlukis bahagia ku saat itu. Tak terungkapkan indahnya rasaku saat itu.

Aku memang pernah melakukan hal tersebut dengan laki-laki lain sebelumnya.

Namun bersama Igun sungguh teramat sangat indah.

Selain karena Igun memang gagah dan tampan, kami juga melakukannya di dalam sebuah toilet pesawat. Itu merupakan sebuah petualangan yang indah dan penuh kesan. Hal yang tidak akan pernah aku lupakan.

Dan yang paling membuatku terkesan, padahal kami baru saja saling kenal. Namun naluri kami sebagai sesama gay, mampu menarik kami untuk bersama, walau dengan kebersamaan yang singkat.

****

Setelah selesai melakukan ritual pergelaran kami tersebut dan sedikit membersihkan diri, kami pun kembali ke tempat duduk kami masing-masing.

Kami kembali duduk, tapi tidak terlalu banyak bicara lagi.

Igun yang tadinya selalu berceloteh, tiba-tiba saja menjadi pendiam.

"aku masih penasaran.." ucapku memecah keheningan diantara kami, sambil sedikit melirik kearah Igun yang hanya tersandar.

Igun melirikku sekilas. Tapi tidak mengucapkan apa-apa.

"aku masih penasaran, kenapa kamu begitu yakin untuk mengajakku ke toilet? Kenapa kamu bisa senekat itu? Dan kenapa kamu bisa tahu, kalau aku seorang gay?" ucapku dengan suara berbisik.

Igun menarik napas berat, kemudian berucap.

"maaf, Wir. Tadi sebenarnya aku tak sengaja melihat sebuah aplikasi di handphone kamu. Sebuah aplikasi yang hanya di unduh oleh laki-laki gay. Karena itu aku yakin, kalau kamu pasti mau. Apa lagi aku melihat kamu sering menatapku diam-diam." jelas Igun.

"dan jujur saja, dari awal melihat kamu, aku memang sudah tertarik sama kamu, Wir. Dan setelah aku tahu, kalau kamu punya aplikasi itu, aku jadi punya keinginan untuk bisa menikmati hal tersebut bersama kamu." lanjut Igun lagi.

Aku terdiam. Setengah masuk akal penjelasa Igun barusan bagiku. Walau aku akui, kalau aku memang punya aplikasi yang Igun maksud, dan tadi aku juga sempat membuka aplikasi tersebut beberapa kali, saat sedang bercerita bersama Igun.

"tapi aku harap itu adalah yang pertama dan yang terakhir bagi kita, Wir.." ucap Igun lagi.

"kenapa?" tanyaku seperti tidak rela. Biar bagaimana pun, aku sangat terkesan dengan Igun. Dia benar-benar luar biasa. Jarang-jarang ada laki-laki gay seperti dia. Tampan, gagah dan memuaskan.

"karena sebenarnya aku sudah punya pacar di Jakarta, Wir. Tapi tadi aku hanya penasaran sama kamu. Walau harus aku akui, kalau permainan kamu tadi sungguh luar biasa. Aku merasa sangat terkesan. Namun sekali lagi, aku sudah punya pacar, dan kami sudah berpacaran selama bertahun-tahun.." jelas Igun panjang lebar, yang membuatku sedikit terhempas.

Jujur saja, aku memang punya harapan lebih terhadap Igun. Aku berharap bisa bertemu dengannya lagi, di tempat yang lebih baik tentunya, bukan di sebuah toilet pesawat.

Tapi aku juga harus bisa merelakan hal tersebut. Hubunganku dengan Igun, hanyalah hubungan sesaat. Hanya hubungan satu jam tiga puluh menit perjalanan.

"bukankah selalu ada yang pertama untuk segala hal?" ucapku tiba-tiba mengulang pernyataan Igun.

"maksud kamu?" tanya Igun.

"ya, ini adalah pertama kalinya aku naik pesawat. Ini adalah pertama kalinya kita bertemu. Ini adalah pertama kalinya, kita melakukan hal tersebut. Ini adalah pertama kalinya, kita melakukannya di atas pesawat." ucapku menjelaskan.

"dan ini adalah pertama kalinya aku selingkuh dari pacarku, setelah tiga tahun hubungan kami.." timpal Igun memotong ucapanku dengan suara lirih.

Sepertinya dia mulai merasa bersalah.

Untuk selanjutnya kami lebih sering diam, hingga pesawat pun akhirnya mendarat dengan selamat.

Kami turun dan melangkah menuju jalan kami masing-masing. Tanpa ada kata perpisahan, dan tanpa meninggalkan identitas apa pun.

Kami, terutama Igun, sepertinya tidak berharap bisa bertemu lagi.

Yang kami alami bukanlah cinta satu malam, tapi cinta satu jam tiga puluh menit.

Satu jam tiga puluh menit yang begitu indah, yang begitu berkesan bagiku, dan yang tak akan pernah aku lupakan.

Dan begitulah kisah cinta 1 jam 30 menit yang aku alami di dalam toilet pesawat.

Sungguh sebuah kisah yang indah bagiku.

Semoga kisah ini, bisa memberi hiburan tersendiri bagi siapa pun yang mendengarkannya.

Terima kasih sudah menyimak kisah ini sampai selesai..

Sampai jumpa lagi di video-video berikutnya..

Sala, sayang untuk kalian semua.. muaach..

****

Sekian...

Aku jatuh cinta kepada adik laki-laki ku yang gagah

Namaku Christian.

Aku punya seorang adik laki-laki yang bernama Arkhan, yang lebih suka dipanggil Khan.

Kami dua bersaudara.

Keluarga kami adalah orang yang terpandang. Kami keturunan bangsawan, yang mewarisi banyak perusahaan.

Kedua orangtua kami sangat otoriter dalam mengatur kehidupan kami.

Kami harus mengikuti semua aturan yang telah di tetapkan untuk kami sejak kami kecil.

Arkhan, adikku itu, adalah seorang yang suka memberontak.

Sejak kecil dia selalu suka melanggar setiap aturan dari kedua orangtua kami.

Wataknya itu sangat bertentangan dengan sifatku. Aku adalah anak yang penurut. Tidak pernah sekalipun aku berani melanggar aturan dari orangtua kami.

Karena aku itu aku tumbuh menjadi seorang yang hampir tidak punya prinsip, karena setiap tindakanku sudah ditentukan oleh orangtua kami.

Sementara Arkhan selalu berani memberontak, jika aturan itu tidak sesuai seperti yang dia inginkan.

Orangtua kami sudah sangat sering memberi hukuman kepada Arkhan, namun hal itu tidak membuat Arkhan jera. Justru tindakannya semakin menjadi-jadi. Arkhan tidak terkontrol.

Di usianya yang masih remaja dia sudah sering berurusan dengan polisi. Dan orangtua kami selalu membantu Arkhan, setiap kali dia mendapatkan masalah.

Hingga akhirnya kedua orangtua kami sudah tidak tahan dengan sikap dan perlawanan Arkhan, yang membuat mereka akhirnya mengusir Arkhan dari rumah.

Arkhan justru terlihat senang mendengar hal tersebut. Sepertinya dia sangat menginginkan kebebasan. Dan pergi dari rumah adalah jalan baginya untuk mendapatkan kebebasan.

Setelah Arkhan pergi, orangtua kami sengaja untuk tidak berusaha mencari Arkhan. Mereka ingin memberi pelajaran kepada Arkhan.

Namun mereka selalu memantau keberadaan Arkhan. Dimana Arkhan tinggal, apa yang dilakukannya, dan dengan siapa dia bergaul. Semua itu selalu menjadi perhatian orangtua ku secara diam-diam.

Aku juga sebenarnya selalu memantau keadaan Arkhan diam-diam. Biar bagaimana pun, Arkhan adalah adikku satu-satunya.

Aku tidak ingin kehilangan dia. Aku menyayanginya, dan bahkan mungkin lebih dari itu.

Aku mengagumi sosok Arkhan. Dia tumbuh menjadi remaja yang berani mengungkapkan pendapatnya.

Arkhan juga tumbuh menjadi seseorang yang memiliki wajah yang tampan, postur tubuhnya juga sangat atletis. Aku menyukainya.

Hingga setelah beberapa bulan Arkhan pergi dari rumah, aku pun coba menemuinya.

Aku berusaha membujuk Arkhan untuk pulang, tapi dia bersikeras untuk tetap berada di jalanan, untuk menikmati kebebasan hidupnya.

Dan aku tidak bisa berbuat apa-apa lagi, selain tetap memantau keberadaannya.

****

Beberapa tahun berlalu, Arkhan tetap tidak pernah kembali. Aku sempat kehilangan jejaknya, karena sepertinya Arkhan memang sengaja menghindariku.

Namun aku tetap berusaha untuk bisa menemukannya kembali.

Hingga suatu saat, orangtuaku pun menceritakan sebuah kisah yang membuatku cukup terhenyak.

Yah, akhirnya aku tahu kalau aku hanyalah anak angkat dari orangtua kami.

Aku diangkat jadi anak oleh mereka, ketika aku masih berusia tiga tahun. Saat itu, mereka sudah menikah lima tahun lebih, namun belum juga dikaruniai anak.

Karena itu mereka memutuskan untuk mengadopsiku, dari sebuah rumah panti asuhan.

Dan setelah aku hidup bersama mereka kurang lebih lima tahun, saat itu usiaku sudah delapan tahun, tiba-tiba mama angkatku pun hamil, dan kemudian melahirkan seorang Arkhan.

Meski pun telah mendapatkan anak kandung mereka sendiri, kasih sayang mereka kepada ku tidak berubah sama sekali. Mereka tetap menyayangiku, sebagaimana sebelum Arkhan lahir.

Mereka tidak pernah membedakan antara aku dan Arkhan. Dan bahkan setelah mereka melihat perkembangan Arkhan, mereka justru semakin menaruh harapan padaku.

Mereka sangat berharap, aku bisa menjadi pewaris dari perusahaan-perusahaan keluarga yang memang diwariskan secara turun temurun.

Karena bagi mereka, aku lebih layak untuk mendapatkan semua itu. Apa lagi aku memang tumbuh sebagai seorang anak yang pintar. Aku selalu juara kelas sejak kecil.

Semua hal itu diceritakan oleh kedua orangtuaku padaku.

Dan mereka sangat berharap, agar aku bisa membawa Arkhan kembali ke rumah.

Untuk itulah, aku pun akhirnya menemui Arkhan.

"dari mana kamu tahu, kalau aku disini?" tanya Arkhan memulai pembicaraan.

"aku selalu tahu, dimana kamu berada Arkhan. Aku selalu memperhatikanmu dari kejauhan. Selain karena itu adalah permintaan orangtua kita, aku juga ingin melakukannya." balasku tegas.

"kenapa?" tanya Arkhan lagi.

"karena kamu adalah bagian dari keluarga kita Arkhan. Orangtua kita sangat menyayangimu." jawabku ringan.

Arkhan sekarang sudah tumbuh menjadi seorang pemuda yang tampan dan gagah. Dia juga sudah terlihat mulai dewasa. Usia Arkhan sekarang sudah 18 tahun.

Sementara aku sendiri sudah berusia 26 tahun, dan aku sudah menyelesaikan kuliah S1 ku. Sekarang aku sedang belajar untuk mengelola perusahaan dari papa.

"mereka tak benar-benar menyayangiku, Chris. Mereka hanya menyayangi kamu. Kamu adalah anak kebanggan mereka. Kamu anak yang baik dan penurut, sementara aku hanyalah seorang pecundang.." suara Arkhan bergetar.

"kamu salah Arkhan. Orangtua kita sangat menyayangimu, karena.... karena sebenarnya kamu adalah anak mereka satu-satunya..." ucapku sedikit terbata.

"maksud kamu?" tanya Arkhan dengan kening mengerut.

"banyak hal yang tidak kamu ketahui, Arkhan. Dan semua jawabannya ada di rumah kita. Karena itu, kamu harus pulang.." ucapku, sambil mulai memutar tubuh untuk segera pergi dari hadapan Arkhan.

"tunggu.." Arkhan mencoba menghentikan langkahku.

Tapi aku hanya mengabaikannya. Aku memang sengaja melakukan hal itu, agar Arkhan bersedia untuk kembali ke rumah, setidaknya demi untuk mendapatkan sebuah jawaban.

*****

Seminggu kemudian, Arkhan akhirnya pulang. Kedua orangtua kami sangat bahagia menyambut kepulangan Arkhan.

Namun Arkhan terlihat tidak begitu bahagia. Dia masih terlihat penuh pemberontakan.

"aku tidak ingin berlama-lama disini. Aku hanya butuh jawaban.." ucap Arkhan terdengar sinis.

"jawaban apa?" mama yang bertanya.

"jawaban atas pernyataan Christian tempo hari. Tentang aku adalah anak satu-satunya kalian berdua. Apa maksudnya?" suara Arkhan masih sinis.

Papa dan mama pun akhirnya menjelaskan semuanya. Tentang siapa aku sebenarnya, tentang betapa sayang mereka kepada Arkhan, dan tentang mengapa selama ini mereka membiarkan Arkhan hidup di jalanan.

"kami hanya ingin memberikan yang terbaik buat kamu Arkhan. Dan kamu sangat menyukai kebebasan. Karena itu, kami pun memberi kebebasan penuh padamu. Kami tidak ingin mengganggu kehidupan yang kamu inginkan, tapi kami selalu memperhatikanmu dari kejauhan.." jelas mama mengakhiri ceritanya.

Arkhan terdiam sangat lama mendengar kisah itu. Hatinya mungkin sudah mulai melunak. Apa lagi saat ini Arkhan sudah tumbuh dewasa. Dia pasti tahu yang terbaik untuk hidupnya.

"kami hanya ingin kamu kembali lagi ke rumah ini, Arkhan. Kami tidak akan mengikatmu lagi dengan segala peraturan turun temurun keluarga kita. Kamu bebas memilih jalan hidupmu sendiri. Tapi mama mohon, kamu jangan pergi lagi ya..." suara mama memelas.

Arkhan semakin terdiam. Matanya mulai berkaca.

"Arkhan minta maaf, ma pa..." ucapnya akhirnya.

"kamu tidak perlu minta maaf Arkhan. Kami yang harusnya minta maaf sama kamu.." kali ini papa yang berbicara.

Suasana haru pun terjadi sore itu. Pertemuan kembali antara seorang anak dengan kedua orangtuanya, memang selalu menyentuh hati. Apa lagi mereka sudah terpisah bertahun-tahun.

****

Arkhan kembali tinggal bersama kami. Dia juga mulai kuliah, dengan modal ijazah paket yang papa dapatkan entah dari mana.

Namun apa pun itu, aku merasa sangat bahagia, bisa tinggal bersama Arkhan kembali. Menatap wajah tampannya setiap hari.

Aku memang telah jatuh cinta kepada Arkhan. Aku jatuh cinta dengan sikap pemberaninya. Wataknya yang jauh berbeda dariku, justru membuat aku mengaguminya.

Perasaan itu sebenarnya sudah sangat lama bersarang di hatiku. Namun selama ini aku menganggapnya hanyalah perasaan sayang seorang kakak terhadap adiknya.

Tapi semenjak aku mengetahui kalau aku hanyalah kakak angkatnya, aku mulai menyadari, kalau apa yang aku rasakan terhadap Arkhan adalah sebuah perasaan cinta. Sebuah perasaan ingin memiliki.

Karena itu pada suatu kesempatan aku pun dengan cukup nekat memberanikan diri untuk mengungkapkan perasaanku yang sebenarnya kepada Arkhan.

Arkhan terlihat kecewa mengetahui hal itu. Dia seperti tidak bisa menerima semuanya.

Arkhan pergi meninggalkanku tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

Aku merasakan perih dihatiku.

Tapi aku memang sudah tidak bisa lagi memendam perasaanku terhadap Arkhan. Aku terlalu mencintainya.

*****

Beberapa hari kemudian, tiba-tiba Arkhan menemuiku di kamarku.

"aku minta maaf.." ucapnya pilu.

"kenapa kamu harus minta maaf, Arkha. Aku yang harusnya minta maaf.." balasku lemah.

"aku minta maaf, karena telah berusaha membohongi kamu selama ini.." ucap Arkhan lagi.

"maksud kamu?" tanyaku penasaran.

"aku... aku sebenarnya juga mencintai kamu, Chris. Aku mencintai kamu sudah sejak lama. Kamu adalah laki-laki cinta pertamaku. Aku selalu mengagumi kamu. Kamu yang penurut, kamu yang baik, kamu yang pintar dan... kamu... kamu yang tampan dan juga gagah." suara Arkhan terbata.

Aku menatapnya tanpa kedip. Aku tak percaya.

"sejak aku tumbuh remaja, aku mulai mengkhayalkan hal-hal yang aneh-aneh tentang kamu, Chris. Aku selalu membayangkan bisa berada dalam dekapan kamu setiap malam. Aku merasa tersiksa dengan semua itu. Dan karena itu juga, aku akhirnya pergi. Karena itu juga, aku dengan begitu mudah menerima pengusiran orangtua kita waktu itu."

"aku hanya bisa memendam perasaanku padamu. Dan itu adalah rahasia terkelamku. Aku berusaha untuk membunuh semua rasa itu, karena aku tahu kita bersaudara. Tapi semenjak aku tahu, kalau kita hanya bersaudara angkat, aku jadi punya kekuatan untuk bisa mendapatkan kamu..." cerita Arkhan panjang lebar, yang membuatku kias terkesima.

Sungguh semua ini di luar dugaanku.

"lalu mengapa kamu diam, saat aku mengungkapkan perasaanku padamu waktu itu?" tanyaku akhirnya, setelah lama kami saling terdiam.

"aku merasa sangat terkejut mendengar hal itu, Chris. Aku tak menyangka sama sekali. Aku memang berharap bisa memiliki kamu. Tapi aku tidak ingin kamu tahu, tentang rahasia hatiku yang sebenarnya." jelas Arkhan.

"lalu aku mulai sadar, jika memang kamu mencintaiku, dan kamu juga dengan begitu beraninya mengungkapkan itu semua, mengapa aku masih harus merahasiakan perasaanku padamu. Karena itu, aku datang menemuimu malam ini, Chris. Aku juga ingin kamu tahu, kalau aku juga mencintaimu.." lanjut Arkhan lagi.

Perlahan Arkhan pun melangkah mendekat.

"sudah sangat lama aku ingin mendekapmu, Chris. Izinkan malam ini aku melakukannya.." suara Arkhan lirih.

"kamu bukan saja aku izinkan untuk mendekapku, Arkhan. Kamu boleh melakukan apa saja padaku malam ini. Karena aku juga sangat menginginkannya.." balasku, sambil mulai menarik tubuh kekar Arkhan ke dalam pelukanku.

Aku merasakan tubuh kami bergetar. Dekapan itu terasa hangat. Sehangat mentari menyinari pagi.

Perlahan aku menyentuh pipi Arkhan, lalu membelainya lembut.

"kamu sangat tampan, Akhan. Aku menginginkan kamu malam ini..." bisikku dengan suara berat.

"aku adalah milik kamu malam ini, Chris. Malam ini dan untuk selama-lamanya.." balas Arkhan dengan napas tersengal.

Perlahan kami pun memulai semua itu.

Memulai sesuatu yang selama ini hanya ada dalam khayalan kami.

Sesuatu yang selama ini, hanya kami pendam.

Sesuatu yang sudah lama ingin kami lakukan.

Membelah hutan belantara, mengarungi lautan lepas, terjun ke lembah penuh keindahan.

Menuju tempat terindah, yang menjadi dambaan setiap insan yang sedang dilanda cinta.

Kami berjalan beriringan, melangkah bersama menuju tempat terindah itu.

Tempat dimana hanya ada kami berdua.

Perjalanan itu sungguh indah. Tak terukir kan bahagia ku malam itu, dan aku dapat merasakan kalau Arkhan juga merasakan kebahagiaan yang sama.

Hembusan angin menerpa tubuh kami berdua. Dingin, namun terasa membakar.

Kami saling terikat, tak ingin saling melepaskan.

Hingga akhirnya kami pun sampai pada tempat terindah itu. Dan kami merasa lega. Sangat lega.

Ternyata hal itu jauh lebih indah dari yang pernah kami bayangkan.

Dan kami pun terhempas, sama-sama terhempas..

Dan begitulah kisah cintaku bersama adik laki-laki ku yang gagah itu terjalin.

Sejak saat itu, kami pun saling berjanji untuk saling mencintai, walau akan banyak rintangan yang akan kami hadapi ke depannya.

Namun selagi kami masih punya waktu untuk bersama, menikmati indahnya cinta kami, kami tidak akan pernah menyia-nyiakannya.

*****

Selesai....

Rahasia terkelam dua laki-laki bersaudara

Nama saya Khan. Dan saya bukan orang India, juga bukan keturunan India.

Saya hanya suka dipanggil Khan. Itu aja.

Khan dalam bahasa India berarti seseorang yang mulia atau seseorang dari tingkat atas.

Saya tidak mulia, tapi saya berasal dari keluarga konglomerat.

Saya lahir dari keluarga yang punya garis keturunan para bangsawan.

Orantua saya sangat kaya, mereka punya banyak perusahaan yang merupakan warisan turun temurun keluarga kami.

Saya anak kedua dari dua bersaudara. Kami dua bersaudara keduanya laki-laki. 

Meski pun saya lahir dari keluarga yang serba berkecukupan dan merupakan anak bungsu, tapi saya tidak manja. Saya biasa melakukan semuanya sendiri.

Saya menjalani hidup sebagaimana mestinya, seperti orang-orang pada umumnya.

Namun kedua orangtua saya sangat otoriter terhadap saya dan juga kakak saya.

Kakak saya, namanya Christian, adalah seorang yang penurut. Dia selalu mengikuti setiap aturan yang telah dibuat oleh orangtua kami secara jelas.

Karena itu Christian tumbuh sebagai seorang laki-laki yang hampir tidak punya prinsip. Dia hanya hidup mengikuti kemauan orangtua kami.

Christian adalah seorang laki-laki yang tampan, kulitnya putih dan bersih. Dia juga seorang yang pendiam.

Saat ini Christian sudah memasuki tahun terakhir kuliah. Dia juga seorang anak yang cerdas, sejak SD selalu juara kelas.

Rutinitas nya setiap hari tidak begitu banyak namun terkesan monoton. Dia melakukan hal yang sama hampir setiap hari.

Kuliah, pulang, belajar bisnis dari papa kami dan membaca buku hampir sepanjang harinya.

Bertolak belakang dari sifat kakakku, aku adalah seorang pemberontak. Aku selalu melanggar setiap peraturan dari orangtuaku. Aku suka bolos sekolah, jarang belajar dan sering membuat kegaduhan di sekolah.

Orangtuaku sudah sering menghukumku, tapi aku tidak jera.

Aku bosan hidup dalam keterkurungan. Aku ingin bebas. Aku ingin bebas menjadi diriku sendiri.

Aku sering lari dari kejenuhanku. Berkumpul dengan para preman dan menikmati hariku bersama mereka.

Aku pernah beberapa kali harus berurusan dengan polisi, dan orangtuaku selalu membantuku untuk bebas dari jeratan hukum.

Sampai akhirnya orangtuaku benar-benar bosan mengurusi kehidupanku. Aku diberi kebebasan penuh. Aku diusir dari rumah, tanpa diberi bekal apapun.

Aku tinggal di jalanan. Menjadi seorang gelandangan.

Aku menikmati hidupku, aku menikmati kebebasanku.

Untuk bertahan hidup, aku bekerja serabutan. Mulai jadi kuli bangunan, kuli angkut bahkan jadi pengamen.

Aku bukan lagi seorang anak bangsawan. Aku adalah diriku yang sebenarnya, dengan semua kebebasan yang aku dambakan selama ini.

*****

Sampai suatu saat, aku bertemu Christian. Bukan. Christian yang menemukanku. Dia sengaja mencariku, setelah aku tidak pulang selama berbulan-bulan.

"aku merindukanmu..." suara Christian sendu.

"kita tidak begitu dekat, lalu mengapa kamu merindukanku?" tanyaku sinis.

"kita terlahir dari rahim yang sama, dari darah yang sama. Itu yang mengikat kita. Itu yang membuat kita dekat, meski kamu tak pernah setuju dengan apa yang aku lakukan dalam hidup." ringkih suara Christian membalas.

"kamu juga tidak setuju dengan apa yang aku lakukan dalam hidup.." balasku mulai melunak.

"siapa bilang? Aku setuju. Akhirnya ada orang yang berani mengubah tradisi keluarga kita." balas Christian antusias.

"tapi orangtua kita tidak setuju.." ucapku ikut pilu.

"tidak ada orangtua yang ingin anaknya sengsara. Mereka hanya ingin yang terbaik kita." balas Christian.

"yang terbaik bagi kita adalah kebebasan. Kebebasan untuk memilih jalan hidup kita sendiri. Bukan jalan hidup yang telah mereka atur." ucapku sinis lagi.

Aku memang selalu sinis, bila berbicara tentang orangtuaku.

Bagiku, mereka telah merenggut masa kecil dan masa remajaku. Aku tak pernah menikmati masa-masa itu. Aku membenci diriku yang itu.

"aku ngerti. Aku juga tidak ingin hidup seperti itu. Sebelum kamu lahir, aku adalah anak satu-satunya harapan orangtua kita untuk mewarisi semua perusahaan keluarga kita. Jadi aku tidak punya pilihan selain mengikuti semua aturan yang ada."

Christian menarik napas beratnya. Dua kali.

"setelah kamu lahir, aku jadi punya harapan untuk menjadi diriku sendiri. Tapi ternyata aku salah. Melihat kamu yang tumbuh menjadi anak yang suka memberontak, aku kembali mengubur harapanku. Aku masih satu-satunya harapan orangtua kita."

"aku bisa melihat, kalau kamu pasti akan menjadi anak yang selalu melanggar setiap aturan yang ada. Dan jika aku juga melakukan hal tersebut, maka orangtua kita akan kehilangan harapan. Aku hanya ingin membuat mereka merasa berguna menjadi orangtua. Karena itu, aku memutuskan menjadi anak yang penurut.." cerita Christian panjang lebar.

Aku memang lahir, saat Christian sudah berusia delapan tahun. Tentunya sebagai anak yang pintar, di usia itu, Christian sudah memikirkan banyak hal.

Dan semua cerita Christian bagi ku cukup masuk akal. Christian memilih untuk mengalah, demi kebebasanku.

****

"kamu tidak ingin pulang?" tanya Christian, saat akhirnya kami duduk di sebuah bangku taman.

Aku dan Christian memang tidak terlalu dekat. Selain karena sifat kami yang berbeda, Christian selama ini juga jarang menegurku.

Usia kami juga terpaut sangat jauh, mungkin hal itu juga yang membuat kami jarang saling mengobrol.

"kamu tidak pulang?" Christian mengulangi pertanyaannya.

Aku hanya menggeleng. Aku memang tidak punya rencana untuk pulang.

"sampai kapan?" tanya Christian ringan.

"apanya?" tanyaku balik, keningku mengerut.

"sampai kapan kamu tidak akan pulang? Sampai kapan kamu akan hidup seperti ini? Sampai kapan kamu akan berjalan tanpa tujuan?" tanya Christian lagi lebih jelas.

"sampai aku menemukan apa yang aku cari.." balasku sendu.

"emangnya apa yang kamu cari?" Christian bertanya lagi.

Kali ini aku terdiam. Aku tidak benar-benar tahu, apa yang aku cari selama ini. Jika aku memang mencari kebebasan, aku sudah menemukannya.

Tapi entah mengapa hatiku masih merasa kosong.

"entahlah. Aku akan mengetahuinya, saat aku sudah menemukannya." balasku akhirnya, suaraku lirih.

"kamu tidak akan menemukan apa-apa, jika kamu tidak punya tujuan. Kamu tidak akan menemukan apa-apa, jika kamu sendiri tidak tahu apa yang ingin kamu temukan." balas Christian.

"lalu apa kamu sudah menemukan apa yang kamu cari?" tanyaku mengalihkan pembicaraan.

"sudah. Tapi aku tidak dapat menggapainya." jawab Christian terdengar pilu.

"kenapa?" tanyaku penasaran.

"karena... karena aku tidak berhak memilikinya.." balas Christian sedikit terbata.

"apa yang kau maksud itu adalah seseorang? Seseorang yang kamu cintai?" tanyaku lagi.

"yah, mungkin seperti itu. Tapi aku tidak tahu pasti, apa itu sebenarnya yang aku inginkan." balas Christian lagi.

"kalau kamu mencintai seseorang, kenapa kamu tidak berani mencapainya? Bukankah kamu punya segalanya, wajah tampan, anak orang terpandang. Wanita mana yang akan mampu menolakmu?" ucapku kemudian.

"mungkin belum saatnya, dia masih terlalu muda untuk mengerti. Mungkin suatu saat...." balas Christian getir.

****

Part 2

Empat tahun berlalu. Sekarang aku sudah berusia delapan belas tahun.

Aku tumbuh dan besar dijalanan.

Aku sudah sangat terbiasa dengan semua itu. Aku sudah terbiasa dengan kehidupanku.

Orangtuaku tak pernah mencariku. Mungkin mereka sudah merasa cukup dengan Christian. Mungkin juga mereka menyesal telah melahirkanku.

Christian juga tak pernah lagi menemukanku. Aku sengaja menghindar.

Aku berpindah dari satu kota ke kota lainnya. Aku mencari sesuatu. Aku ingin menemukan sesuatu.

Tapi apa? bathinku pilu.

Aku mulai merasakan kehampaan. Aku mulai merasakan kejenuhan.

Kerja keras telah membuatku jera. Aku lelah. Tapi aku enggan pulang.

"seseorang mencarimu.." ucap salah seorang rekan kerjaku.

Aku bekerja di sebuah rumah makan kecil sekarang.

"siapa?" tanyaku penasaran.

Laki-laki rekan kerjaku itu hanya mengangkat bahu, lalu segera berlalu.

Aku melangkah keluar rumah makan itu. Seorang laki-laki parlente berdiri menatapku.

"kamu sudah besar sekarang.." suara laki-laki itu dengan senyum tipis.

"Christian?" ucapku berpura-pura tidak terkejut dengan kedatangannya.

"dari mana kamu tahu, aku disini?" tanyaku melanjutkan.

"aku selalu tahu dimana kamu berada, Khan. Aku selalu memperhatikanmu dari kejauhan. Selain karena orangtua kita yang memintanya, aku juga memang ingin melakukannya." jelas Christian.

"lalu kenapa kamu tidak pernah menegurku?" tanyaku lagi.

"untuk apa? Kamu juga tidak menginginkan hal itu bukan? Kamu butuh kebebasanmu, dan aku tidak ingin mengganggunya." balas Christian.

"lalu mengapa sekarang kamu datang?" aku bertanya lagi.

Ada banyak pertanyaan sebenarnya di benakku. Tapi aku mengabaikannya.

"karena sudah saatnya kamu pulang, Khan. Kamu sudah belajar banyak di jalanan." balas Christian mantap.

"aku tidak ingin pulang." tegasku.

"lalu apa yang kamu inginkan?" tanya Christian.

"entahlah. Aku juga tidak tahu. Karena itu aku ingin mencari tahunya." suaraku pelan, lebih kepada diriku sendiri.

"mungkin yang kamu inginkan adalah pulang, Khan. Kamu boleh mencobanya. Dan jika kamu rasa itu bukan yang kamu inginkan, kamu boleh untuk pergi lagi.." Christian berucap, sambil ia memutar tubuh untuk segera berlalu.

"tunggu.." pintaku menahan langkah Christian.

"apa orangtua kita masih marah padaku?" tanyaku akhirnya, sebuah pertanyaan yang sudah lama aku simpan.

"mereka tidak pernah marah padamu, Khan. Mereka hanya tidak setuju dengan pilihan hidupmu. Tapi mereka tetap membiarkan kamu hidup dengan pilihanmu. Mereka sangat menyayangimu, Khan. Karena kamu adalah anak mereka satu-satunya." jelas Christian, yang membuatku mengerutkan kening.

"maksud kamu?" tanyaku dengan nada heran.

"banyak yang belum kamu ketahui, Khan. Dan semua jawabannya ada di rumah kita." ucap Christian, sambil mulai melangkah lagi.

Aku terpaku. Aku tidak mengerti maksud Christian. Aku ingin bertanya lebih lanjut. Tapi Christian sudah melangkah terlalu jauh, menaiki mobilnya dan berlalu dengan cepat.

****

 Mamaku memelukku, papaku juga. Mereka memelukku erat.

"akhirnya kamu pulang, nak." suara mamaku ringkih.

"aku tidak pulang. Aku hanya ingin jawaban.." suaraku sinis, berusaha untuk tidak merasa terharu dengan pertemuan itu.

Aku memang selalu sinis, jika mengenai orangtuaku.

Lima tahun, aku tidak bertemu mereka, aku masih saja merasa sinis.

Aku memang memutuskan untuk kembali ke rumah. Bukan karena aku kangen, tapi aku ingin tahu apa maksud ucapan Christian tempo hari.

"kamu anak mereka satu-satunya, Khan." terngiang kembali ucapan Christian.

Aku selalu bertanya-tanya, jika aku anak satu-satunya orangtuaku, lalu siapa Christian?

"jawaban apa yang kamu inginkan, Khan?" papaku membuka suara juga akhirnya, setelah ia terhanyut dengan keharuannya.

"tentang ucapan Christian tempo hari yang mengatakan kalau aku adalah anak satu-satunya mama dan papa. Apa maksud dari semua itu?" ucapku, sambil menatap Christian yang juga ikut duduk bersama kami di ruang keluarga.

"kamu memang satu-satunya anak kandung kami, Khan. Tapi kami sangat menyayangi kalian berdua. Christian kami angkat sebagai anak, saat ia baru berusia tiga tahun. Kami mengadopsi Christian, karena kami sudah menikah lebih dari lima tahun, namun belum juga memiliki anak. Dan lima tahun kemudian, mamamu akhirnya hamil.." papa menjelaskan dengan suara seraknya.

Aku terhenyak.

"setelah kamu pergi dari rumah. Kami selalu memantau perkembangan kamu, Khan. Kami tidak membiarkanmu. Tapi kami tahu, kamu tidak ingin diganggu. Kami hanya ingin kamu mendapatkan kebebasan yang kamu inginkan." kali ini mama yang berbicara.

"kami tahu, kalau kamu merasa terkekang dengan segala peraturan kami. Tapi itu semua kami lakukan, karena kami sangat menyayangimu, Khan. Kami hanya ingin yang terbaik buat kamu." lanjut mama lagi.

"dan ketika kami menyadari, kalau kamu adalah anak yang butuh kebebasan, kami pun memberikan kamu kesempatan untuk kamu hidup dengan kebebasanmu. Tapi kami selalu memperhatikanmu, Khan. Kami ingin kamu belajar dari kehidupan ini. Kami ingin kamu tahu, bahwa hidup di jalanan itu, bukanlah pilihan yang baik. Kami ingin kamu sadar, bahwa betapa pentingnya sebuah keluarga." mama berucap lagi.

Aku masih terdiam.

Terlepas dari apapun penjelasan mama, terlepas dari apapun alasan dari semua itu. Aku tidak begitu memikirkannya.

Aku memang telah belajar banyak dari kehidupan. Aku memang telah belajar banyak dari jalanan.

Terus terang, memang ada kerinduan yang aku rasakan, saat aku berada di jalanan. Tapi aku tidak ingin memikirkannya, aku hanya ingin bebas.

Aku selalu membayangkan, jika aku berada di rumah, maka aku akan hidup dengan tersiksa, karena harus mengikuti semua aturan yang ada.

Itu satu-satunya alasan, mengapa aku tidak ingin pulang selama hampir lima tahun hidup di jalanan.

Dan sekarang...

Sekarang aku merasakan kerinduanku yang ku pendam selama ini, telah terlepaskan.

Aku siap kembali disini. Di rumah ini.

"mama harap kamu tidak pergi lagi, Khan. Kami tidak akan memberi peraturan apa-apa lagi buat kamu. Kamu tetap mendapatkan kebebasan kamu disini. Kamu bebas mengejar mimpi kamu sendiri. Kamu tidak harus menjadi pewaris perusahaan keluarga, karena sudah ada Christian." ucap mama kemudian.

Ya, mungkin memang sudah saatnya, aku kembali berada di rumah. Dan aku pun mengangguk setuju.

****

Aku kembali tinggal di rumahku. Bersama mama, papa dan juga Christian.

Aku mulai kuliah, dengan mengandalkan ijazah paket C, yang di dapatkan papaku entah dari mana.

Aku mulai mengatur ulang hidupku. Membuka hatiku kembali untuk kehadiran mama, papa dan juga Christian.

Aku dan Christian juga mulai dekat. Kami jadi sering ngobrol sekarang.

Meski pun Christian hanya kakak angkatku, tapi aku tetap merasa kalau Christian adalah saudara kandungku.

"aku jadi ingat cerita kamu lima tahun yang lalu." ujarku pada suatu kesempatan, kami ngobrol di kamar ku untuk kesekian kalinya.

"cerita yang mana?" tanya Christian.

"apa kamu sudah berhasil menggapai apa yang kamu inginkan?" tanyaku, mengingatkan Christian tentang pernyataannya lima tahun lalu.

"belum." jawabnya singkat.

"kenapa belum? Apa masih belum saatnya? Bukankah seharusnya sekarang dia sudah dewasa?" tanyaku bertubi-tubi.

"dia memang sudah dewasa sekarang, bahkan aku juga sudah sangat dekat dengannya. Tapi aku masih belum berani untuk menggapainya." jawab Christian.

"kenapa?" tanyaku penasaran.

"karena.... karena aku takut, dia tidak menyukaiku. Jika aku nekat menggapainya, aku takut dia akan menjauh dan membenciku." balas Christian.

"bagaimana kamu tahu, kalau dia menyukai kamu atau tidak, kalau kamu tidak pernah berani untuk mengungkapkannya?" ucapku lagi.

"entahlah, Khan. Aku juga bingung, bagaimana cara memulainya..." keluh Christian sendu.

"emangnya siapa orang yang telah membuat kamu mencintainya begitu dalam, bahkan hingga bertahun-tahun?" aku bertanya kembali.

"kamu yakin ingin tahu, Khan?" Christian balik bertanya.

Aku mengangguk yakin.

"tapi kamu harus janji, Khan. Bahwa kamu tidak akan marah." lanjut Christian melihat anggukanku.

"marah? kenapa aku harus marah?" tanyaku dengan kening berkerut.

"aku tidak tahu, tapi aku hanya ingin kamu tidak marah, jika aku mengatakan yang sebenarnya." balas Christian.

"katakanlah, Chris. Dan aku tidak akan marah." ucapku yakin, karena aku merasa tidak ada yang akan membuat aku marah pada Christian.

"orangnya adalah kamu, Khan..." bergetar suara Christian berucap.

"maksud kamu?" tanyaku membelalakkan mata.

"yah, aku mencintai kamu, Khan. Aku mengagumimu sejak kamu kecil. Khan yang lincah, pemberani, Khan yang penuh pemberontakan, Khan yang selalu ceria, hal yang tidak pernah bisa aku lakukan selama hidupku. Aku mengagumi kamu, Khan. Dan perlahan rasa kagum itu pun tumbuh menjadi sebuah perasaan suka, lalu kemudian aku menyadari kalau aku telah jatuh cinta padamu. Cinta pertamaku." jelas Christian, yang membuatku merasa sangat syok.

"sebenarnya aku ingin mengatakan ini sejak lima tahun lalu, Khan. Tapi saat itu kamu masih sangat muda, kamu pasti akan membenciku seumur hidup, kalau aku mengungkapkannya saat itu. Tapi sekarang, aku yakin kamu sudah cukup dewasa untuk memahaminya.." lanjut Christian lagi, yang membuatku kian syok.

Aku tertegun. Menatap Christian lama. Lalu segera bangkit dan melangkah keluar dari kamar itu. Aku sedikit membanting pintu. Entah apa yang ingin aku hempaskan.

Hatiku bingung. Ragu. Marah, dan berbagai perasaan berkecamuk di dalam benakku.

Christian mencintaiku? Tanyaku membathin.

Lalu apa yang salah dengan semua itu?

Hatiku atau cinta Christian?

Akh... aku benar-benar bingung.

*****

Part 3

Perlahan aku menghempaskan tubuhku di atas ranjang tempat tidurku. Berkali-kali aku menghempaskan napas berat.

Pernyataan Christian tentang perasaan cintanya padaku terus menghantui pikiranku.

Tak ku sangka Christian ternyata diam-diam mencintaiku selama ini.

Ku pikir perasaan itu hanya aku yang merasakannya.

Tapi ternyata Christian juga, yang membuatku jadi membencinya saat ini.

Ya, aku memang mengagumi sosok Christian selama ini.

Christian yang baik, sopan, penurut, wataknya yang berbanding terbalik denganku telah membuatku sangat mengaguminya.

Christian yang tampan, gagah, putih dan terlihat indah dimataku, telah membuatku sering memikirkannya.

Sebenarnya salah satu alasanku pergi dari rumah saat itu, adalah untuk menghindari pesona Christian yang kian hari kian menyiksaku.

Dan itu adalah rahasia terkelam ku selama ini.

Aku mencintai Christian, kakakku sendiri. Meski akhirnya aku tahu, kalau Christian hanyalah kakak angkatku. Tapi tetap saja, rasanya mustahin bisa memilikinya sebagai kekasih.

Aku berusaha memendam semua rasaku itu. Aku menyimpannya rapi di dalam lubuk hatiku yang terdalam. Aku tak ingin mengungkapkannya, aku tak ingin seorang pun mengetahuinya.

Aku tetap mencintai Christian selama bertahun-tahun, meski pun kami sempat terpisah.

Tapi aku tidak pernah berniat sekali pun untuk menyatakan pada Christian.

Rasa itu hanya untuk aku nikmati sendiri.

Tapi sekarang...

Sekarang, tiba-tiba Christian dengan terang-terangan mengungkapkan perasaan cintanya padaku.

Sungguh hal itu tidak bisa aku terima.

Rahasia hatiku yang selama ini hanya aku pendam, seakan terbongkar oleh pernyataan cinta Christian tersebut.

Dan karena itu aku membencinya.

Seharusnya Christian tidak mencintaiku. Seharusnya dia hanya menganggapku sebagai adik.

Karena dengan begitu, aku akan tetap mampu menyimpan perasaanku padanya.

Aku akan tetap menjaga rahasia hatiku selamanya.

Namun karena aku akhirnya tahu kalau Christian juga mencintaiku, aku jadi berpikir untuk tidak lagi merahasiakan hal tersebut.

Aku juga ingin mengungkapkannya pada Christian. Aku juga ingin Christian tahu, kalau aku juga sangat mencintainya.

Tapi mungkinkah aku mampu untuk berkata jujur pada Christian?

Mungkinkah aku bisa berterus terang padanya?

Tapi untuk apa?

Sekali pun kami saling cinta, hubungan kami jelas bukan sesuatu yang bisa dengan mudah dijalin.

Akan banyak halangan yang akan kami hadapi.

Akh.... aku semakin bingung.

*****

"aku minta maaf, Christian..." suara ku pelan. Ketika akhirnya aku nekat menjumpai Christian di kamarnya.

"kamu tidak salah apa-apa, Khan. Kamu tidak harus minta maaf. Aku yang harusnya minta maaf sama kamu. Aku minta maaf, karena terlanjur mencintai kamu..." balas Christian datar.

"aku minta maaf, karena aku tidak jujur padamu waktu itu. Aku justru memilih untuk pergi, karena aku takut akan sebuah penolakan.." ucapku lagi, seakan mengabaikan pernyataan Christian barusan.

"maksus kamu apa, Khan?" tanya Christian.

"aku... aku juga mencintai kamu Christian. Aku sudah jatuh cinta padamu, sudah sejak lama. Kamu adalah cinta pertamaku. Aku mencintai kamu sejak aku remaja. Dan itu adalah salah satu alasanku mengapa aku harus pergi waktu itu. Aku takut, aku tidak bisa menahan perasaanku padamu. Namun aku juga takut untuk jujur, aku takut justru kamu akan membenciku..." jelasku panjang lebar.

Christian menatapku. Ia menatapku sangat lama. Dia seperti mencoba mencerna setiap kalimatku. Dia sepertinya tidak percaya.

"lalu sekarang, apa kamu masih takut?" tanya Christian akhirnya, setelah sangat lama ia berpikir.

"entahlah, Chris. Seandainya saja kita tidak sejenis, mungkin ceritanya akan berbeda.." suaraku lirih.

"cinta itu buta, Khan. Ia tidak memandang jenis kelamin. Ia tidak memandang apa pun. Cinta adalah sesuatu yang unik, kita tidak pernah tahu, kapan ia akan datang dan kepada siapa ia akan berlabuh." balas Christian puitis.

"tapi kita juga bersaudara, Chris. Itu juga merupakan hal yang harus kita pertimbangkan, sebalum kita melangkah lebih jauh.." ucapku lagi.

"kita hanya saudara angkat, Khan. Kita tidak sedarah dan tidak serahim. Dan itu bukan alasan untuk kita menyiksa diri kita, dengan berusaha membunuh perasaan kita yang sebenarnya. Jika memang kita saling mencintai, kita berhak untuk bahagia.." balas Christian.

"tapi kebahagiaan yang ingin kita gapai, bukanlah sesuatu yang wajar, Chris. Hubungan kita tidak akan diterima. Kebahagiaan kita tidak akan pernah utuh.." ucapku membalas.

"tidak ada kebahagiaan yang utuh. Khan. Bahkan hubungan yang berbeda jenis kelamin pun, juga tidak sempurna. Kita hanya harus mencobanya, dan resiko apa pun yang akan terjadi setelah kita mencobanya, kita harus kuat menghadapinya.." suara Christian tegar.

"aku sangat mencintai kamu, Chris. Tapi aku takut kita tidak akan mampu menghadapinya. Terlalu berat, Chris..." suara ku lemah.

"bukankah kamu adalah seorang anak yang suka memberontak, Khan? Kamu selalu suka melanggar aturan. Tapi mengapa sekarang kamu lemah? Mengapa kamu takut melanggar aturan dalam dunia percintaan?" ucap Christian lagi.

"bukan aku yang aku takutkan, Chris. Tapi kamu.. Kamu adalah kebanggaan orangtua kita. Kamu adalah masa depan keluarga ini. Apa jadinya jika mama papa tahu tentang semua ini? Kamu akan kehilangan semuanya. Mereka juga akan kehilangan semuanya.." suaraku masih lemah.

"jika kehilangan semuanya, adalah harga yang harus aku bayar, untuk bisa bersama kamu, Khan. Aku rela. Karena kebahagiaanku adalah kamu, bukan semua kemewahan ini.." ucap Christian lugas.

"tapi tetap saja semua ini tidak mudah, Chris..." suaraku semakin lemah.

"perdebatan kita terlalu panjang, Khan. Dan kita tidak juga menemukan titik temu dari semuanya. Yang aku inginkan adalah kita mencobanya, tak peduli apa pun resikonya.." ucap Christian lugas lagi.

"maukah engaku berjanji, Chris. Tidak akan pernah meninggalkanku? Karena jika kita tetap nekat melanjutkan hubungan ini, kita harus bisa saling mengandalkan." ucapku, sambil mulai melangkah mendekat.

"aku akan berjanji apa pun untuk mu, Khan. Aku sangat mencintai kamu. Aku tidak akan pernah meninggalkan kamu. Kita akan saling menjaga. Kita akan selalu bersama.." balas Christian.

****

Aku berdiri tepat dihadapan Christian dengan perasaan penuh debaran di jantungku.

Aku tidak pernah sedekat ini dengan Christian. Wajahnya sungguh sangat mempesona. Dia sangat tampan.

Perlahan aku mengangkat tangan dan menyentuh pipi Christian dengan lembut. Aku mengelus wajah mulus tanpa jerawat itu.

Christian begitu indah. Sangat indah.

Christian menarik tanganku dan menenggelamkan tubuhnya ke dalam dekapanku.

"aku sayang kamu, Khan." bisiknya lembut.

Kepala Christian terbenam di dadaku. Aku memeluknya erat, seakan tak ingin melepaskannya.

Perlahan kembali mata kami saling bertemu. Wajah kami kian mendekat.

Aroma napas Christian begitu wangi tercium di hidungku. Aku menahan napas dan memejamkan mata.

Sesaat aku tersengal, tubuhku bergetar. Sebuah getaran yang indah.

Aku tidak ingin melewatkan malam itu.

Kami bersama mengarungi lautan lepas, menerobos hutan belantara. Terjun ke lembah penuh warna.

Tubuh kami diterpa angin pegunungan. Dingin namun terasa membakar.

Kami berjalan bersama, menuju puncak gunung tertinggi.

Sebuah tempat terindah yang di impikan semua orang.

Tempat dimana hanya ada aku dan Christian.

Kami tidak ingin saling mendahului. Kami ingin mencapai keindahan itu bersama-sama.

Kami berjalan beriringan, berusaha untuk saling menguatkan. Kami tak ingin terlepas.

Semuanya terasa indah. Sangat indah. Dan kami terbuai dengan keindahan itu.

Hingga kami pun sama-sama terhempas dalam guyuran air yang penuh keindahan.

Kami sama-sama tersenyum penuh kelegaan.

*****

Bersambung...

Mahasiswa ku yang tampan..

Aku pikir dengan menikah, petualanganku di dunia gay akan berakhir.

Aku pikir, aku akan bisa menjalani kehidupan sebagaimana layaknya seorang laki-laki.

Menjadi seorang suami dan juga menjadi seorang ayah.

Tapi ternyata aku salah.

Meski pun telah menikah, aku masih sering memikirkan sosok seorang laki-laki dalam hidupku.

Aku masih sering merasakan keinginan itu muncul dalam pikiranku.

Hingga akhirnya aku bertemu Lukas. Seorang laki-laki muda, yang memiliki wajah yang sangat tampan di mataku.

Aku jatuh cinta pada Lukas, sejak pertama kali melihatnya.

Aku bertemu dan kenal dengan Lukas, karena dia adalah salah seorang mahasiswa ku di kampus.

Bagaimanakah kisahku dengan Lukas terjalin?

Mungkinkah aku mampu menolak pesonanya?

Atau aku akan kembali terjerumus dalam dunia gay?

Simak kisah ini sampai selesai ya..

Namun sebelumnya bla..bla..

*****

Namaku Bastian, dan aku adalah seorang dosen di sebuah kampus yang cukup besar di kotaku.

Sebagai seorang dosen, aku memang punya banyak kenalan mahasiswa-mahasiswa muda.

Selama ini, aku menganggap mereka semua hanyalah sebagai muridku.

Aku memang punya masa lalu yang suram.

Dulu aku sering berpacaran dengan banyak pria, dan aku juga sering mengalami kisah cinta satu malam bersama beberapa pria.

Kesukaan ku terhadap pria, tumbuh sejak aku remaja.

Dan ha itu terus berlanjut hingga aku dewasa dan menjadi seorang dosen.

Demi menjaga nama baik dan juga untuk mempertahankan status ku sebagai seorang laki-laki, aku pun memutuskan untuk menikah, pada saat usiaku sudah mencapai 33 tahun.

Harapanku dengan menikah aku bisa terlepas dari semua perasaan suka ku terhadap kaum yang sejenis denganku.

Aku memang merasakan perubahan itu awalnya. Aku mulai belajar mencintai istriku, hingga kami sudah memiliki dua orang anak.

Pernikahanku yang sudah berjalan hampir lima tahun, cukup bahagia.

Istriku yang hanya ibu rumah tangga biasa, juga sangat menyayangiku dan anak-anak kami.

Kebutuhan bathinnya juga terpenuhi dengan baik olehku selama pernikahan kami.

Meski jujur saja, aku masih sering memikirkan seorang pria dalam hatiku.

Terutama saat aku melihat sosok pria yang tampan dan gagah. Jiwaku gay ku selalu meronta, meminta untuk di lepaskan.

Namun selama ini, aku selalu berusaha melawan semua rasa itu.

Aku berhasil awalnya, tapi sejak aku pertama kali melihat sosok Lukas, yang merupakan mahasiswa baru di kampus tempat aku mengajar.

Lukas adalah seorang mahasiswa pindahan, dia sudah semester empat sekarang.

Harus aku akui, kalau Lukas memang memiliki wajah yang sangat tampan, dengan postur tubuh yang terlihat sangat gagah.

Sekilas Lukas terlihat seperti seorang aktor tampan Indonesia, yang merupakan aktor favoritku.

Intinya, aku memang telah jatuh cinta kepada Lukas. Dan itu cukup menyiksa bathinku.

Sudah sangat lama aku tidak merasakan perasaan tersebut, setidaknya sejak aku memutuskan untuk menikah.

Dan sekarang, aku kembali merasakan indahnya jatuh cinta kepada seorang pria. Namun sayangnya, pria itu adalah salah seorang mahasiswaku.

****

Sejak aku jatuh cinta kepada Lukas, kehidupanku secara pribadi juga ikut berubah.

Aku jadi lebih memperhatikan penampilanku, aku semakin menjaga penampilanku.

Aku yang sudah lama tidak berolahraga, sekarang jadi kembali rajin berolahraga.

Aku bahkan mengikuti sebuah kelas fitnes di dekat rumahku.

Meski pun saat ini aku sudah berusia 38 tahun.

Jiwa mudaku kembali bergejolak. Aku selalu ingin tampil prima, terutama saat aku mengajar di kelas Lukas.

Aku ingin menarik perhatian Lukas.

Meski tentu saja, hingga saat ini, Lukas hanya menganggapku sebagai salah seorang dosennya.

Tapi aku tidak ingin menyerah. Dulu aku pernah berhasil merebut hati seorang pria, dengan perjuangan yang berat.

Dan aku berharap, kali ini aku juga akan berhasil mendapatkan hati seorang Lukas.

Aku sebenarnya tidak begitu mengenal Lukas. Aku hanya mengetahui namanya, dan juga umurnya, yang masih 20 tahun.

Namun demi mendapatkan cinta Lukas, aku pun mulai mencari-cari tentang kehidupan Lukas sehari-hari.

Mulai dari mencari tahu di mana dia tinggal, siapa keluarganya dan apa hobinya.

Dari informasi yang saya dapat, ternyata Lukas adalah anak seorang narapidana.

Ayahnya di penjara karena kasus korupsi, dan ibunya memilih untuk mengakhiri hidupnya karena malu.

Lukas sekarang hanya tinggal bersama salah seorang pamannya.

Karena itu juga ternyata Lukas pindah kuliah.

Lukas tidak berasal dari kota ini, dia berasal dari kota tetangga.

Sejak ayahnya ditahan, karena kasus korupsi dan ibunya yang akhirnya bunuh diri, Lukas diajak pamannya untuk pindah ke kota ini. Apa lagi ternyata Lukas adalah anak tunggal.

Paman Lukas sendiri, yang bernama Paman Deden, hanyalah seorang guru di sebuah sekolah swasta. Kehidupannya juga tidak terlalu baik, di tambah pula dia punya tiga orang anak yang harus dibiayainya.

Rumah paman Deden juga masih rumah kontrakan, yang cukup kecil.

Dan untuk biaya kuliahnya sendiri, serta untuk membantu keuangan pamannya, Lukas nyambi kerja sebagai seorang guru les.

Begitulah kehidupan Lukas yang aku ketahui dari sumber yang terpercaya.

****

Jarum jam terus berputar, hari-hari terus berjalan. Perasaanku kepada Lukas masih tetap sama.

Hingga hampir enam bulan, aku memendam perasaanku terhadap Lukas.

Sekarang aku sudah mulai dekat dengan Lukas. Aku yang berinisiatif untuk mendekatinya.

Berawal dari aku yang berpura-pura meminta bantuannya, untuk menjadi asistenku.

"tapi saya kan masih semester lima pak Bas. Masih banyak mahasiswa senior lainnya yang lebih baik dari saya.." begitu ucap Lukas, ketika aku menawarkan hal tersebut.

"saya tahu kamu anak yang pintar Lukas, dan saya juga tahu, kalau kamu juga seorang guru les. Jadi saya memilih kamu untuk jadi asisten saya, itu murni keinginan saya sendiri..." jelasku.

"kamu boleh memilih kok, mau tetap jadi guru les atau jadi asisten saya?" lanjutku lagi.

"saya bukannya mau menolak pak Bas. Tapi saya takut kalau saya tidak mampu, dan pak Bas pasti kecewa. Saya juga masih baru disini, pak." ucap Lukas lagi.

"saya sudah memilih kamu, itu artinya saya sudah yakin dengan kemampuan kamu.." balasku ringan.

Dan sejak itulah Lukas pun menjadi asisten ku.

Sejak itu pulalah aku dan Lukas jadi sering bertemu. Berbagai alasan yang aku buat, untuk bisa terus dekat dan bertemu dengan Lukas.

"terima kasih banyak, pak. Telah memberi saya kesempatan ini. Hal ini sangat membantu keuangan saya pak.." ucap Lukas suatu hari.

"kamu memang pantas mendapatkan ini, Lukas. Kamu anak yang pintar dan juga rajin. Saya suka cara kerja kamu.." balasku jujur.

Kian hari aku dan Lukas pun kian dekat. Kami tidak hanya berbicara soal pekerjaan, tapi juga berbicara tentang kehidupan pribadi kami.

"kamu masih sering mengunjungi ayah kamu di penjara?" tanyaku suatu saat.

Lukas menggeleng ringan.

"sampai saat ini, saya belum bisa memaafkan ayah saya pak Bas. Perbuatan ayah saya sudah mengubah segalanya. Dan saya merasa sakit bila mengingat itu semua.." ucap Lukas terdengar lirih.

Lukas memang sudah menceritakan semuanya padaku. Kami benar-benar sudah akrab.

****

"makasih ya pak Bas, untuk semuanya.." ucap Lukas pada suatu malam.

Malam itu aku memang meminta Lukas untuk datang ke rumahku. Aku memintanya untuk datang, untuk membantuku menyelesaikan perencanaan sebuah proyek.

Kami kerja dan ngobrol di ruang kerjaku. Ruang kerja itu memang sengaja aku buat di lantai dasar rumahku. Sementara kamar tidur utama kami ada di lantai atas.

"kamu gak perlu berterima kasih seperti itu, Lukas. Kamu juga sangat banyak membantu pekerjaanku.." ucapku akhirnya.

"tapi pak Bas sudah sangat baik padaku selama ini. Aku yang baru saja kehilangan sosok seorang ayah, sekarang seakan menemukan penggantinya. Selain keluarga pamanku, aku sudah tidak siapa-siapa lagi.." ucap Lukas selanjutnya.

"kamu anak yang hebat, Lukas. Kamu bisa kuat menghadapi itu semua." timpalku jujur.

"sebenarnya aku tidak sekuat itu, pak. Aku lemah. Aku lelah sebenarnya dengan hidup ini. Disaat yang hampir bersamaan, aku harus kehilangan kedua orangtuaku. Dan yang paling menyakitkan dari semua itu, aku kehilangan kedua orangtuaku dengan cara yang sangat memalukan."

"mungkin aku bisa kuat menerima semua kenyataan pahit itu, tapi aku tidak bisa kuat menanggung rasa malu ku. Aku malu punya ayah seorang koruptor, aku malu punya ibu yang berpikiran pendek. Aku malu, pak..." suara Lukas terdengar serak.

Terus terang aku memang sangat merasa perihatin mendengar semua keluhan Lukas, akan semua hal yang telah menimpa hidupnya.

"setiap orang pernah berbuat salah, Lukas. Tidak ada seorang pun yang suci di dunia ini. Aku mengerti bagaimana perasaan kamu. Tapi tidak seharusnya kamu menyimpan dendam terhadap ayahmu. Beliau berhak mendapatkan kesempatan untuk memperbaiki diri. Aku yakin, saat ini, beliau pasti sangat menyesali perbuatannya. Dan aku juga yakin, saat ini dia pasti ingin kamu datang mengunjunginya. Dia butuh dukungan kamu, Lukas.." ucapku panjang lebar.

"aku mungkin bisa memaafkan perbuatan ayahku yang memanipulasi uang perusahaan. Yang tidak bisa aku terima, akibat perbuatannya itu, aku juga harus kehilangan seorang ibu. Dan aku juga tidak bisa menerima tindakan bodoh ibuku yang memilih untuk mengakhiri hidupnya. Mereka berdua tak pernah benar-benar memikirkan perasaanku.." keluh Lukas lagi.

"aku butuh waktu, pak. Aku butuh waktu untuk bisa memaafkan semuanya. Semua itu terlalu berat bagiku.." lanjut Lukas terdengar semakin lirih.

Aku melangkah mendekat, aku duduk di samping Lukas, kemudian merangkul bahunya.

Lukas menyandarkan kepalanya di dadaku. Air matanya pun tumpah.

"selama ini aku selalu berusaha kuat, pak. Aku ingin tetap terlihat baik-baik saja. Meski aku merasa sangat rapuh.." Lukas berujar lagi di tengah isak tangisnya.

"kamu harus tetap kuat Lukas. Masa depan mu masih panjang. Kamu boleh membenci semua yang terjadi dalam hidupmu. Tapi kamu jangan membenci dirimu sendiri. Kamu manusia pilihan Lukas. Hanya manusia pilihanlah yang akan sanggup menghadapi itu semua.." ucapku mencoba meghibur.

Lukas semakin membenamkan wajahnya di dadaku. Tangannya pun turut melingkar di tubuhku.

Aku tergugah. Aku tahu, Lukas melakukan itu, karena dia menganggapku sebagai seorang ayah. Dia ingin menumpahkan segala kesedihannya yang dia pendam selama ini.

Aku pun membelai rambut Lukas dengan lembut. Aku ingin Lukas merasa nyaman bersamaku.

"aku akan selalu ada buat kamu, Lukas. Kamu tak perlu merasa bersedih lagi. Hidupmu harus tetap berjalan...." ucapku menghibur.

"terima kasih untuk semuanya, pak Bas. Aku tak tahu bagaimana membalas semua kebaikan bapak padaku selama ini.." ujar Lukas sambil melepaskan dekapannya. suaranya sudah mulai tenang kembali.

"kamu tidak perlu melakukan apapun untuk membalasnya, Lukas. Aku tulus membantu kamu..." balasku ringan.

Lukas mengusap air matanya sendiri, menarik napas beberapa kali, kemudian berusaha untuk tersenyum.

"maafkan aku, pak Bas. Tidak seharusnya aku seperti ini. Tapi selama ini aku hanya memendam semua kesedihanku sendiri. Sejak peristiwa tragis yang menimpa hidupku, semua orang menjauhiku. Aku kehilangan pegangan, aku tidak punya tempat mengadu. Dan sekarang pak Bas hadir dalam hidupku, yang membuatku jadi punya tempat untuk mencurahkan semuanya.." ucapnya kemudian.

"kamu tidak perlu merasa sungkan, Lukas. Sekarang tidak ada lagi jarak diantara kita. Jika kamu membutuhkan apapun, kamu tidak perlu merasa sungkan untuk menyampaikannya padaku.." balasku.

"aku ingin menyampaikan sesuatu pada pak Bas. Tapi aku takut pak Bas marah dan akan membenciku.." ucap Lukas tiba-tiba, setelah dia terdiam beberapa saat.

"kamu sampaikan saja, Lukas. Aku pasti tidak akan marah.." balasku cepat.

"aku... aku.. sayang sama pak Bas." ucap Lukas terbata.

"sejak peristiwa tragis yang menimpaku, aku merasa rapuh. Namun kehadiran pak Bas dalam hidupku, mampu membuatku merasa pulih kembali. Aku merasa nyaman. Aku seperti menemukan sosok yang aku butuhkan dalam diri pak Bas."

"kerapuhanku selama ini telah membuatku kehilangan semangat dan tidak punya tujuan. Tapi semenjak mengenal pak Bas, aku jadi punya semangat lagi, aku jadi merasa tujuan baru dalam hidupku. Aku sayang sama pak Bas. Aku... aku.. aku mungkin telah jatuh cinta pada pak Bas.." Lukas berkata sambil tertunduk.

"maafkan aku pak Bas. Tapi itulah yang aku rasakan saat ini. Aku membutuhkan pak Bas dalam hidupku, lebih dari seorang teman, lebih dari seorang ayah. Aku ingin menjadi bagian dari hidup pak Bas. Aku ingin dicintai. Aku butuh kasih sayang dari pak Bas. Bukan sekedar kasih sayang seorang ayah kepada anaknya. Tapi lebih kepada kasih sayang seorang kekasih..." Lukas melanjutkan kalimatnya, yang membuatku tertegun.

Sungguh tidak pernah aku sangka sama sekali, kalau Lukas akan berkata seperti itu.

"sekali lagi maafkan aku pak Bas. Dan tolong jangan membenci ku karena itu.." lanjut Lukas lagi.

Aku menarik napas sejenak, kemudian kutarik lagi tubuh Lukas ke dalam pelukanku.

"kamu tidak perlu minta maaf, Lukas. Kalau memang kamu ingin aku menjadi kekasihmu, aku siap. Aku siap menjalin apapun denganmu, Lukas. Aku juga sangat menyangi kamu. Aku... aku juga mencintai kamu, Lukas.." bisikku pelan.

Lukas tiba-tiba tengadah. Ia menatapku tajam.

"pak Bas serius?" tanyanya.

Aku hanya mengangguk ringan, sambil tersenyum.

Perlahan aku kecuk kening Lukas dengan lembut.

"aku sangat mencintai kamu, Lukas.." ucapku lagi.

Lukas semakin memelukku erat.

"aku juga sangat mencintai pak Bas..." ucapnya penuh perasaan.

****

Sejak malam itu, aku dan Lukas pun resmi menjalin hubungan asmara. Kami selalu bertemu secara diam-diam.

Cintaku kepada Lukas sangat besar. Aku tidak ingin melepaskannya.

Berbulan-bulan aku memendam perasaan cinta padanya. Dan saat ini dia sudah menjadi kekasihku.

Hubungan kami terjalin dengan indah. Lukas sangat penuh pengertian.

Dia tidak pernah menuntut apa pun padaku. Dia hanya ingin aku selalu ada untuknya, kapanpun dia membutuhkanku.

Agar pertemuan kami lebih leluasa, aku sengaja menyewakan sebuah apartemen untuk tempat Lukas tinggal, sekaligus untuk tempat kami memadu kasih.

Aku juga selalu berusaha membujuk Lukas, agar mau menjenguk ayahnya di penjara.

Namun Lukas masih bersikeras untuk tidak menjenguknya. Sepertinya Lukas masih membenci ayahnya.

"pak Bas adalah segalanya bagiku saat ini. Sebagai ayah, sahabat dan juga kekasih hatiku. Aku tidak butuh siapa-siapa lagi. Biarlah ayahku menanggung penderitaannya sendiri. Jika dia memang menyayangiku, dia pasti akan menemukanku nanti, jika dia masih punya kesempatan untuk keluar dari penjara." ucap Lukas, setiap kali aku berbicara tentang ayahnya.

"aku hanya berharap, pak Bas tidak akan pernah meninggalkanku, walau apapun yang akan terjadi.." ucap Lukas kemudian.

"aku tidak akan pernah meninggalkan kamu, Lukas. Aku sangat mencintai kamu. Tapi kamu sendiri juga tahu kalau status ku saat ini adalah seorang suami dan juga seorang ayah.." balasku pelan.

"aku tak peduli dengan status pak Bas. Selama pak Bas masih punya waktu untukku, aku sudah merasa bahagia.." ucap Lukas lagi.

Dan begitulah kisah cintaku bersama mahasiswaku yang tampan.

Semoga kisah sederhana ini, bisa memberi hiburan tersendiri bagi kalian semua.

Terima kasih..

****

Suami tetanggaku yang gagah

Namamya mas Toni, dan dia adalah tetanggaku di kampung.

Mas Toni sudah menikah dan sudah punya dua orang anak.

Cerpen sang penuai mimpi

Aku sebenarnya tidak begitu mengenal mas Toni, meski pun kami sudah bertetangga selama bertahun-tahun.

Aku sebenarnya kuliah di kota, dan hanya pulang bila musim liburan tiba.

Karena itu aku jadi tidak begitu mengenal mas Toni.

Pada suatu musim liburan, seperti biasa aku pulang ke kampung.

Suasana kampung ku memang selalu sunyi, siang hari orang-orang sibuk bekerja di kebunnya masing-masing yang berjarak cukup jauh dari perumahan penduduk.

Sementara kalau malam hari, orang-orang lebih memilih untuk berdiam diri di rumah karena merasa capek sehabis kerja seharian.

Pada suatu pagi, saat itu aku hanya sendirian di rumah. Ibu dan ayahku seperti biasa pergi ke kebun untuk bekerja. Sedangkan kedua adik-adikku sedang menikmati liburan mereka di rumah pamanku yang berada di kampung tetangga.

Saat itu tiba-tiba mas Toni datang ke rumahku. Dia hanya memakai celana pendek dan tidak memakai baju.

"saya hanya mau ngantar pompa sepeda, yang kemarin saya pinjam sama ayah kamu.." begitu alasan mas Toni, saat aku membuka pintu untuknya.

"maaf ya, saya pikir tadi hanya ayah kamu yang di rumah. Jadi saya berpakaian sedikit tidak sopan." lanjut mas Toni, melihat aku yang menatapnya.

"gak apa-apa mas Toni. Biasa aja kok." timpalku berusaha sesantai mungkin.

"kamu lagi libur kuliah ya?" tanya mas Toni berbasa-basi.

"iya nih mas. Jadi suntuk juga kalau lagi di kampung. Sepi." balasku ramah.

"emang orangtua kamu kemana?" tanya mas Toni lagi.

"biasalah mas Toni, rutinitas mereka kan memang ke kebun setiap hari, sedang adik-adikku sedang di rumah paman kami." jelasku.

"oh, jadi kamu sendirian aja nih di rumah?" ucap mas Toni lagi.

"iya nih bang. Karena itu aku jadi semakin suntuk." balasku ringan.

"mas Toni sendiri gak ke kebun?" tanyaku melanjutkan.

"saya lagi kurang enak badan. Jadi istri saya aja yang ke kebun. Sementara anak-anak sedang di rumah bibinya. Jadi saya juga sendirian di rumah." jawab mas Toni menjelaskan.

Selanjutnya mas Toni juga bercerita beberapa hal padaku, terutama tentang kejadian-kejadian yang terjadi di kampung kami.

Awalnya kami hanya ngobrol di teras rumahku, namun karena merasa tidak enak di lihat orang yang lewat, aku kemudian mengajak mas Toni ngobrol di ruang tamu kecil rumah kami.

Karena merasa suntuk, ngobrol dengan mas Toni, jadi cukup membuatku sedikit terhibur.

Saat berada di ruang tamu, mas Toni duduk di hadapanku. Aku dapat melihat dengan jelas, dada bidang mas Toni.

Mas Toni memang berkulit sedikit gelap, namun tubuhnya sangat kekar.

Wajah mas Toni juga lumayan tampan, meski sudah kelihatan sedikit tua.

Mas Toni mungkin sudah berusia kurang lebih 35 tahun.

"kamu kok melihat saya seperti itu?" tanya mas Toni, saat akhirnya dia menyadari kalau aku memperhatikannya diam-diam.

"mas Toni terlihat gagah." ucapku jujur dan terdengar polos.

Mas Toni terlihat tersenyum aneh, aku tidak mengerti arti dari senyumannya. Mungkin dia merasa bangga mendengar pujianku barusan.

Sejenak kemudian, tiba-tiba mas Toni berpindah duduk di sampingku.

"kamu suka gak?" tanyanya dengan suara menggoda.

"suka apa?" tanyaku balik, mulai merasa salah tingkah.

"katanya saya terlihat gagah. Suka gak sama saya?" mas Toni mengulang pertanyaannya.

"kalau suka benaran jelas gak lah mas. Mas Toni kan udah punya istri dan anak. Tapi kalau hanya buat senang-senang aja ayok. Aku mau." jawabku jujur.

Mas Toni pun tersenyum kembali mendengar ucapanku.

Sesaat kemudian aku pun mengajak mas Toni untuk msuk ke kmar ku.

Suasana pagi itu memang cukup dingin dan sepi. Hal itu justru membuatku jadi mudah terbawa suasana.

Apa lagi mas Toni memang cukup menarik secara fisik.

Pagi itu kami pun birsmbah kerngat melkukan sebuah pendkian.

Sebuah pendkian yyg indah.

Tak ku sangka ternyata mas Toni memiliki psang yang sngat jumbo.

Belum pernah aku melihat psang sebesar itu.

Dan aku menyukainya.

Segala rasa sepi dan rasa suntuk ku pagi itu, akhirnya terlepas dengan kehadiran mas Toni.

*****

"kamu sudah biasa ya melkukan hal tersebut?" tanya mas Toni, setelah kami selesai melaksanakan ronde pertama pagi itu.

"biasa sih gak. Tapi pernah beberapa kali dulu dengan pacarku. Setelah itu pacarku malah pergi meninggalkanku. Setelah dia dapat segalanya dariku. Karena itu aku jadi kecewa pada laki-laki. Jadi aku selalu melampiaskan kekecewaanku, dengan mengajak laki-laki yang aku suka untuk tdur bersmaku." jelasku jujur.

"jadi kita melakukannya atas dasar suka sama suka kan? Dan tidak ada ikatan apapun diantara kita?" tanya mas Toni lagi.

"Iya mas. Mas Toni tenang aja. Aku cukup tahu diri kok. Mas Toni kan udah punya istri dan anak. Jadi kita melakukannya hanya untuk bersenang-senang saja." jawabku yakin.

"jadi kapan-kapan bisa lagi dong?" mas Toni bertanya lagi.

"sekarang juga bisa lagi kok mas. Kan masih pagi. Masih panjang waktu kita." jawabku manja.

"kamu maniak juga ya." balas mas Toni.

"kalau psang mas Toni segede itu, ya aku bisa jadi maniak mas." ucapku dengan nada menggoda.

Aku memang masih menginginkan hal tersebut dari mas Toni. Selain karena karena bsar, mas Toni juga sangat berpengalaman.

Jarang-jarang aku bertemu laki-laki yang komplit seperti mas Toni.

Gagah, lumayan tampan dan gede.

Karena itu aku mulai memncing mas Toni kembali. Dan mas Toni juga tidak menolaknya.

Kami pun memlai pendkian kembli pagi itu, untuk yang kedua kalinya.

Dan begitulah kisah singkat ku bersama mas Toni sang tetanggaku yang gagah tersebut.

Hal itu masih sering kami lakukan, terutama saat aku pulang ke kampung.

Mas Toni mampu membuatku ketgihan. Dia berbeda dari kebanyakan laki-laki yang aku temui di kota.

****

Selesai..

Cari Blog Ini

Layanan

Translate