Nasib sopir ojek online

Hari sudah jam sepuluh malam, saat aku memarkir motorku di teras rumah kontrakan kami.

Rasa capek mulai menggerogoti tubuhku, setelah seharian aku berkendara, untuk mengantar para penumpang dan juga terkadang mengantar pesanan makanan orang-orang yang memakai jasaku, sebagai seorang tukang ojek online.

Sang penuai mimpi

Meski sebenarnya untuk hari ini, orderan ku cukup sepi. Dan penghasilanku hari ini juga jauh dari kata cukup.

Karena itu juga, rasa capek itu kian kuat aku rasakan.

Saat aku hendak mengetuk pintu untuk masuk ke rumah, tiba-tiba ponselku berdering ringan.

Sebuah orderan masuk ke aplikasi ojek online-ku.

Sebenarnya aku merasa malas untuk menerimanya, namun karena mengingat pendapatanku hari ini sangat minim, aku akhirnya dengan perasaan berat menerima orderan tersebut.

Sebuah orderan untuk mengantarkan makanan ke sebuah perumahan elite yang tidak terlalu jauh dari tempat aku tinggal.

Aku segera menghidupkan motorku kembali, dan menuju restoran tempat pesanan makanan itu di buat.

Sebelumnya perkenalankan namaku Radit. Aku seorang laki-laki yang sudah berusia tiga puluh tahun, saat ini.

Aku sudah menikah dan sudah punya seorang anak perempuan.

Istriku seorang guru TK yang berada tidak jauh dari tempat kami mengontrak rumah.

Secara ekonomi kehidupan rumah tangga kami, memang terbilang hanya pas-pasan.

Istriku masih seorang guru honorer, yang digaji hanya ala kadarnya.

Sementara pendapatanku sendiri, tidak menentu. Kadang-kadang cukup, dan kadang lebih sering jauh dari harapan.

Namun begitu kehidupan kami baik-baik saja, meski kami harus lebih sering menahan diri untuk tidak berbelanja sesuatu yang tidak begitu kami butuhkan.

*****

Lima belas menit kemudian, aku sampai ke restoran tersebut. Aku segera menanyakan tentang orderan dari pelangganku tersebut.

Ternyata pesanan itu masih dalam proses dimasak oleh pihak restoran. Aku masih harus menunggu beberapa saat lagi.

Aku duduk di pojok restoran tersebut, untuk sekedar menghilangkan rasa penatku.

Selang beberapa saat, pesanan itu akhirnya selesai. Aku segera membayarnya, dan segera keluar dari kafe tersebut.

Setelah menempuh perjalanan lebih kurang sepuluh menit, aku akhirnya sampai di depan sebuah rumah mewah.

Rumah mewah itu memang berada di sebuah kawasan perumahan elite.

Aku menekan bel beberapa kali, hingga seorang laki-laki muda membuka pintu untukku.

Laki-laki itu hanya memakai baju kaos lengan pendek dengan celana pendeknya.

"pesanannya mas.." ujarku, sambil menyodorkan pesanan tersebut.

Laki-laki yang aku ketahui bernama Danil itu, segera mengambil bungkusan tersebut, lalu menyerahkan sejumlah uang padaku.

"ambil aja kembaliannya.." ucap laki-laki itu serak.

"makasih, mas.." balasku, dengan menyunggingkan senyum tipis.

Aku segera memutar tubuh untuk segera berlalu dari situ.

"tunggu dulu, mas.." suara laki-laki itu mencegah langkahku.

Aku kembali memutar tubuh untuk menatap laki-laki tersebut.

"ada apa lagi ya, mas?" tanyaku pelan.

Sesaat laki-laki itu terdiam. Ia menatapku cukup lama.

"mas mau uang tambahan gak?" tanya laki-laki itu kemudian.

"uang tambahan maksudnya mas?" aku balik bertanya sambil mengerutkan kening.

Laki-laki itu terdiam kembali. Ia terlihat sedang berpikir keras.

"saya mau kasih kamu uang, kalau kamu mau memenuhi permintaan saya malam ini.." ucap laki-laki itu akhirnya.

"kalau boleh tahu, permintaan mas apa ya?" tanyaku sekedar ingin tahu.

"saya mau mas Radit tidur dengan saya.." suara laki-laki itu sedikit pelan.

"maksudnya, mas?" aku bertanya kembali, keningku sedikit mengerut.

"maksud saya, saya... saya mau mas Radit melakukan hubungan intim dengan saya.." jawab laki-laki berkulit putih itu lagi.

"mas Danil gay?!" tanyaku lagi, kali ini keningku mengerut dua kali lipat dari biasanya.

"iya. Dan kebetulan saat pertama melihat mas Radit tadi, saya jadi tertarik. Saya akan bayar mas Radit berapa aja, asal mas Radit mau melakukannya denganku.." laki-laki itu menjelaskan.

Aku terdiam. Membayangkan aku berhubungan dengan Danil, aku merasa jijik.

Tapi jika ia bersedia membayarku mahal, aku harus berpikir dua kali untuk menolaknya.

Pendapatanku hari ini, sangat sedikit. Dan lagi pula, lusa aku harus membayar kontrakan rumah.

Mungkin ini kesempatanku untuk bisa mendapatkan uang yang banyak.

Tapi membayangkannya saja aku sudah mulai merasa mual.

Oh, tiba--tiba aku merasa dilema.

Harus aku akui, kalau aku bukanlah laki-laki baik-baik.

Dulu aku adalah seorang preman pasar, yang suka memeras para pedagang untuk mendapatkan sejumlah uang.

Aku juga suka mabuk-mabukan dan main perempuan, bahkan aku juga sering berjudi.

Tapi itu dulu, sebelum menikah dengan istriku yang sekarang. Apa lagi semenjak punya anak, aku mulai belajar untuk menjadi laki-laki baik dan bertanggungjawab.

Namun nasib hingga saat ini masih belum memihak padaku.

Kehidupanku dan keluargaku masih selalu kekurangan.

Kadang aku membenci segala kemiskinan ini. Kadang aku merasa, bahwa nasib yang aku jalani saat ini adalah karena balasan dari dosa-dosaku di masa lalu.

Aku memang sering merasa menyesal, karena selalu berbuat dosa selama ini.

Aku sudah bertekad untuk berubah. Aku sudah bertekad untuk memberi makan istri dan anakku dengan cara yang halal.

Namun semakin hari, kehidupan kami bukannya semakin membaik, tapi justru semakin terpuruk.

Dan sekarang tiba-tiba saja ada orang yang menawarkanku sebuah kesempatan untuk mendapatkan uang yang banyak dengan cara yang mudah.

Aku yakin, berapa pun uang yang aku minta pada Danil malam ini, ia pasti akan bersedia untuk memberikannya.

Mengingat ia adalah seorang yang sangat kaya, dan juga sangat terlihat kalau ia sangat tertarik padaku.

Tapi....

"jika mas Danil mau membayarku mahal, saya bersedia, mas. Apa lagi saat ini saya memang lagi butuh banyak uang.." ucapku akhirnya.

Kulihat Danil tersenyum menang. Tatapannya tajam menghujam mataku.

Aku merasa jengah. Perasaan geli mulai menggelitik pikiranku.

Namun demi sejumlah uang aku rela melakukan hal tersebut.

Aku tidak berpikir panjang lagi untuk menerima tawaran dari Danil. Setidaknya dengan begitu, aku tidak perlu pusing-pusing lagi mencari uang untuk membayar kontrakan rumah kami beberapa bulan ke depan.

Danil kemudian mengajakku masuk ke dalam kamarnya.

Kamar itu cukup luas dengan perabotan yang mewah.

Dan tanpa menunggu lama, Danil pun mulai melakukan aksinya.

Aku berusaha sekuat mungkin menahan rasa geli dan rasa jijikku. Yang ada dalam pikiranku saat itu, hanyalah setumpuk uang yang akan aku terima nantinya.

Hingga akhirnya aku menyadari, bahwa hal tersebut tidak seburuk yang aku bayangkan.

Ada sensasi keindahan berbeda yang aku rasakan. Sebuah sensasi yang belum pernah aku rasakan sebelumnya.

Terlebih karena Danil terlihat sudah sangat berpengalaman dalam hal tersebut.

*****

Aku pulang dengan tubuh yang terasa lelah. Hari sudah hampir jam satu malam.

Aku mengetuk pintu rumah dengan perasaan tak menentu. Istriku segera membuka pintu dari dalam.

"kok baru pulang, mas?" suara istriku parau.

"iya. Lagi banyak orderan.." jawabku sekedarnya.

Setelah menutup dan mengunci pintu, aku langsung menuju kamar untuk segera tidur.

Tubuhku memang terasa sangat capek.

Keesokan harinya aku kembali menjalani rutinitasku seperti biasa. Kejadian tadi malam bersama Danil, terus membayangiku.

Uang yang aku terima memang cukup banyak. Tapi bukan itu yang menjadi pikiranku saat ini.

Aku merasa telah mengkhianati istriku. Aku merasa telah menodai takdirku sebagai seorang laki-laki.

Tapi sekali lagi, aku melakukan itu semua hanya demi uang.

Namun uang itu masih aku simpan, aku tak tega memberikannya pada istriku. Seperti janjiku pada diriku sendiri, bahwa aku ingin memberi nafkah istri dan anakku dengan uang yang halal, bukan dari hasil aku jual diri.

Aku berniat untuk mengembalikan semua uang itu kepada Danil. Tapi sebagian hatiku menolak.

Aku sudah terlanjur menuruti permintaan Danil. Aku sudah terlanjur kehilangan harga diriku.

Jika aku mengembalikan uang tersebut, jelas tidak akan membuat harga diri kembali.

Ah, tiba-tiba rasa penyesalan menyeruak dalam dadaku.

Kenapa juga aku harus mau memenuhi permintaan Danil?

Kenapa aku tidak menolaknya saja?

Aku sudah terlanjur terjerumus ke dalam lembah hitam penuh dosa.

Yang membuatku kian merasa bersalah.

Tapi apa yang harus aku lakukan saat ini?

Sementara aku sangat membutuhkan uang ini, untuk membayar kontrakan rumah dan juga untuk belanja keluargaku.

*****

Aku menekan bel rumah mewah itu satu kali.

Tak lama kemudian, Danil pun muncul di ambang pintu.

"ada apa, mas Radit?" suara Danil terdengar serak.

"saya... saya ingin mengembalikan.. uang yang kamu berikan semalam.." ucapku dengan sedikit terbata.

"kenapa? Bukankah mas Radit sangat membutuhkan uang tersebut?" Danil bertanya lagi.

"saya memang sedang membutuhkan uang, Nil. Tapi tidak dengan cara seperti ini.." balasku pelan.

"terserah mas Radit, sih. Tapi saya gak mungkin menerima sesuatu yang sudah terlanjur saya berikan pada mas Radit.." Danil berucap, sambil mulai menutup pintunya kembali.

Aku hanya terdiam dan membiarkan Danil menutup pintu rumahnya.

Aku memang berniat untuk mengembalikan uang tersebut. Tapi mendengar ucapan Danil barusan, tiba-tiba saja aku berubah pikiran.

Saat aku hendak memutar tubuh untuk segera berlalu dari tempat itu, tiba-tiba pintu rumah Danil terbuka kembali.

"saya ikhlas kok, mas Radit. Dan nanti jika mas Radit butuh uang, mas Radit bisa datang kapan saja kesini.." Danil berucap dengan sedikit menyunggingkan senyum tipis.

Aku tidak membalas ucapan Danil barusan. Aku terus saja melangkah meninggalkan rumah tersebut.

Sekali lagi, aku bukan laki-laki baik-baik. Mungkin belum saatnya aku berubah menjadi laki-laki baik.

Tapi aku berjanji dalam hatiku, ini adalah pertama dan terakhir kalinya aku melakukan hal tersebut.

Ini adalah pertama dan terakhir kalinya, aku menjual diriku hanya demi uang.

Semoga saja ke depannya aku bisa jadi lebih baik.

Semoga saja tidak ada lagi dari pelangganku yang menawarkan uang seperti yang dilakukan Danil padaku.

Ya, semoga saja...

*****

Sekian...

Lelaki dari Timur

Namanya Deden. Ia salah seorang rekan kerjaku. Dan ia berasal dari Timur, tepatnya dari Pulau Sulawesi.

Sejak awal mengenal Deden, aku merasa biasa saja. Deden memang baru setahun kerja di perusahaan kami.

Deden tidak tampan, namun ia memiliki postur tubuh yang atletis dan terlihat kekar.

Kulitnya gelap, namun terlihat bersih dan terawat dengan baik.

Deden seorang perantau, ia tinggal sendiri di sebuah kamar kost.

Usia Deden sudah 27 tahun, dua tahun lebih muda dariku.

Deden satu ruangan denganku dan juga beberapa orang rekan kerja lainnya.

Kami satu ruangan memang sering makan siang bareng di kantin depan kantor tempat kami bekerja.

Setahun mengenal Deden, aku merasa mulai sering memikirkannya. Sikapnya yang tenang dan cukup pendiam, membuat Deden terlihat lebih dewasa.

Aku kadang suka memperhatikannya diam-diam.

Meski tidak tampan, namun Deden punya daya tarik tersendiri, yang membuatku sering melamunkannya saat malam hari.

Aku sendiri seorang anak bungsu dari lima bersaudara. Keempat kakak-kakakku sudah menikah dan sudah punya rumah sendiri.

Aku masih tinggal bersama kedua orangtuaku yang dua-duanya sudah pensiun.

Sebagai anak bungsu aku memang tergolong sedikit manja. Tapi aku tidak feminim, aku tipe cowok yang tergolong maskulin.

Hanya saja, sejak SMP aku sudah menyadari kalau aku adalah seorang gay.

Aku pernah jatuh cinta dan pacaran dengan laki-laki beberapa kali.

Namun sudah hampir tiga tahun belakangan ini, aku sudah sangat jarang berhubungan dengan laki-laki.

Kisah cintaku yang selalu kandas, membuatku lebih hati-hati dalam mengenal laki-laki yang ingin dekat denganku.

Tapi sejak kehadiran Deden, aku mulai merasakan kembali yang namanya jatuh cinta.

Ya, Deden dengan segala kesederhanaannya telah mampu menumbuhkan benih-benih cinta di hatiku.

Namun aku selalu berusaha bersikap wajar di depan Deden. Aku bersikap seolah-olah Deden hanyalah seorang rekan kerja, sebagaimana rekan kerjaku yang lainnya.

Hingga suatu saat, kami sekantor melakukan sebuah perjalanan rekreasi bersama.

Hal tersebut memang sudah menjadi kegiatan rutin hampir setiap tahun, sebagai bentuk apresiasi atasan kami, untuk hasil kerja kami setahun.

Perjalanan dimulai dari pagi sekitar jam tujuh dengan menggunakan sebuah bus pariwisata.

Tujuan kami kali ini berjarak kurang lebih tujuh jam perjalanan dari kota tempat kami tinggal.

Dan kali ini juga, kami mendapat jatah liburan selama dua hari. Untuk itu kami juga telah disediakan tempat menginap di sebuah hotel.

Kebetulan sekali aku dan Deden duduk satu bangku di dalam bus, selama perjalanan tersebut.

"melamun aja dari tadi, bang Aqis.." suara Deden yang duduk di sampingku sedikit mengagetkanku.

"ah, gak, kok. Cuma mencoba menikmati perjalanan ini.." balasku beralasan.

"bang Aqis lagi memikirkan pacarnya ya..?" tanya Deden dengan nada sedikit menggoda.

"saya mana punya pacar, Den..." jawabku jujur.

"ah, masa' orang setampan dan segagah bang Aqis belum punya pacar?!" Deden berujar lagi, dengan nada tak percayanya.

Aku merasa sedikit tersanjung dengan kalimat pujian yang dilontarkan Deden barusan.

"kamu bisa aja, Den. Tapi aku memang gak punya pacar..." jawabku akhirnya.

"pasti karena bang Aqis orangnya terlalu pemilih. Padahal banyak loh, cewek-cewek rekan kerja kita yang suka sama bang Aqis.." ujar Deden selanjutnya.

"itu dia masalahnya, Den.." suaraku lemah.

"masalah apa?" tanya Deden dengan kening berkerut.

"jangan bilang bang Aqis tidak suka perempuan?" Deden melanjutkan dengan nada hati-hati.

Aku menatap Deden cukup tajam.

"maaf, bang. Saya hanya mencoba bercanda, kok." Deden berucap lagi, melihat saya yang menatapnya tajam.

"kamu sendiri gimana, Den? Apa kamu sudah punya pacar?" aku berucap, mencoba mengalihkan pembicaraan.

"saya mana suka perempuan, bang?" jawab Deden datar.

Aku setengah terperanjat mendengar penuturan Deden barusan. Bukan saja karena keberanian Deden untuk jujur padaku, tapi juga karena aku tak menyangka sama sekali kalau Deden ternyata juga seorang gay.

"kamu serius?" tanyaku setengah berbisik.

Para penumpang lain dalam bus memang sepertinya sedang sibuk dengan cerita mereka masing-masing. Tapi aku tetap merasa takut pembicaraan kami di dengar oleh mereka.

"saya justru suka sama abang. Sudah sejak lama malah.." Deden turut berbisik, namun kalimatnya terdengar begitu tegas.

Aku terdiam tiba-tiba. Sekali lagi aku tak menyangka, kalau Deden akan berucap demikian dengan gamblangnya.

Meski ada rasa senang dihatiku mendengar kalimat tersebut, namun aku belum cukup berani untuk jujur pada Deden tentang perasaanku padanya.

Untuk selanjutnya, kami hanya saling membisu. Aku tak tahu apa yang ada dalam pikiran Deden saat itu, setelah ia dengan mudahnya mengungkapkan siapa dirinya dan bagaimana perasaannya padaku.

Sementara aku dengan sekuat hati menahan perasaan bahagia, memikirkan kejujuran Deden tersebut.

Aku merasa bahagia, ternyata cintaku tak bertepuk sebelah tangan. Namun ini semua terlalu mudah bagiku.

Aku hanya takut, sesuatu yang mudah di dapat, akan mudah pula untuk terlepas.

Untuk itu, aku tetap memilih diam, tanpa berani berkata apa-apa lagi kepada Deden.

*****

Sesampai ditujuan, kami pun berjalan-jalan di sepanjang pantai sambil berfoto ria bersama-sama.

Untuk sesaat, cerita antara aku dan Deden tidak lagi mengganggu pikiranku.

Namun saat di hotel, perasaan itu kembali muncul di benakku.

Apa lagi, ternyata aku dan Deden tidur satu kamar.

"bang Aqis marah ya sama saya?" tanya Deden akhirnya, ketika kami sudah berada di dalam kamar hotel.

"gak. Saya gak marah kok, Den." jawabku dengan nada datar.

"tapi sejak tadi bang Aqis seperti mendiamkanku.." balas Deden lagi.

Aku kembali terdiam. Hatiku dilema.

Antara ingin jujur kepada Deden, atau tetap memilih untuk memendam perasaanku.

"bang Aqis pasti jijik ya berteman denganku sekarang?" suara Deden lemah.

"aku... aku... aku ... sebenarnya juga suka sama kamu, Den..." ucapku akhirnya dengan nada terbata.

"iya, aku tahu. Meski aku tidak begitu yakin awalnya." ucapan Deden membuatku menatapnya penuh tanya.

"aku tahu, bang Aqis selama ini diam-diam sering memperhatikanku. Karena itu juga, aku jadi cukup berani untuk jujur pada bang Aqis. Tapi melihat bang Aqis yang hanya terdiam tadi di bus, aku mulai ragu.."

"namun sekarang aku percaya, kalau sebenarnya kita saling tertarik.." Deden melanjutkan kalimatnya, ia seperti berusaha menjawab tatapan penuh tanyaku padanya.

Oh, ternyata aku tidak terlalu pintar menyembunyikan perasaanku selama ini. Atau sebenarnya Deden lebih mudah menebak pikiranku, karena kami sama-sama penyuka sesama jenis.

Namun terlepas dari itu semua, kini semuanya sudah sangat jelas.

Aku memang mencintai Deden, dan ternyata Deden juga mencintaiku.

Sejak malam itu, kami pun resmi menjalin hubungan asmara.

Cintaku dan cinta Deden akhirnya menyatu dalam sebuah ikatan asmara yang penuh dengan keindahan.

*****

Semenjak aku dan Deden pacaran, aku jadi semakin sering menginap di kost Deden. Begitu juga sebaliknya, Deden juga sering aku ajak menginap di rumahku.

Tiada hari yang kami lewati tanpa kebersamaan. Semuanya terasa indah. Bahkan teramat indah.

Cinta yang tumbuh dihati kami, benar-benar mekar dengan sempurna.

Kebahagiaan tidak bisa dibandingkan dengan apa pun.

Aku sangat mencintai Deden, demikian juga sebaliknya.

"apa yang membuat bang Aqis menyukai saya?" tanya Deden suatu malam, ketika untuk kesekian kalinya aku menginap di kost-nya.

"padahal saya orangnya jelek, hitam lagi.." lanjut Deden.

"terus terang dari dulu saya memang suka cowok yang berkulit gelap, terlihat lebih macho aja. Dan lagi pula kamu juga sangat gagah dan kekar, Den. Aku suka cowok yang berotot seperti kamu.." jawabku jujur.

"tapi saya kan tidak tampan, bang." ujar Deden lagi.

"tampang bagi saya bukanlah syarat utama. Yang penting badannya bagus dan bersih, dan yang pasti kamu orang yang baik dan juga berpikiran dewasa, Den." balasku ringan.

"padahal bang Aqis sangat tampan dan juga atletis. Saya merasa sangat beruntung bisa berpacaran dengan bang Aqis.." Deden berucap lagi, sambil ia menggenggam jemariku.

Aku membalas genggaman tangan Deden dengan erat. Tangan itu terasa hangat.

Aku memang mencintai Deden dengan apa adanya dirinya. Tubuhnya yang kekar memang selalu membuatku merindukan dekapannya.

Mencintai Deden adalah sebuah keindahan dan memiliki cintanya merupakan sebuah anugerah bagiku.

Tapi...

Ternyata semua tak berjalan seperti yang kami harapkan.

Kami memang saling mencintai, dan tak ingin terpisahkan.

Namun takdir berkata lain.

Mamaku yang sudah tua dan sering sakit-sakitan, terus memaksaku untuk segera menikah.

"mama ingin melihat kami menikah, Qis. Sebelum mama menemui ajal mama.." begitu rintih mama dalam sakitnya.

Aku tak tega melihat mama yang terus sakit-sakitan. Satu-satunya keinginan mama saat ini, ialah melihat aku menikah.

Tapi aku harus menikah dengan siapa?

Sampai saat ini yang ada dihatiku, hanyalah Deden.

Aku tak ingin menikah dengan siapapun, kecuali dengan Deden.

Tapi bagaimana mungkin hal itu bisa menjadi nyata?

Sementara sakit mama semakin parah, dan permohonannya padaku masih sama.

Sampai akhirnya mama akhirnya pun meninggal, dan aku belum juga bisa memenuhi permintaan terakhirnya.

Aku merasa sangat terpukul dengan kematian mama, namun aku merasa lebih terpukul lagi karena tidak bisa memenuhi permintaan terakhirnya.

"sabar ya, bang.." bisik Deden di telingaku, ia berusaha untuk menghiburku.

Aku memang belum menceritakan tentang permintaan terakhir mama pada Deden. Aku tak ingin Deden ikut merasakan beban yang aku tanggung.

"untuk sementara aku pengen sendirian dulu, Den. Kita gak usah ketemu dulu, ya.." pintaku kepada Deden, ketika akhirnya mama di makamkan.

Deden tidak menjawab. Namun aku yakin, kalau Deden sangat mengerti dengan keadaanku saat ini.

Meski aku juga tahu, bahwa Deden juga ingin menghiburku dan mendampingiku melewati semua ini.

Tapi saat ini, aku benar-benar ingin sendiri.

Rasa bersalahku kepada mama terus menghantuiku, bahkan mama selalu hadir dalam setiap mimpiku.

Hal itu justru semakin membuatku terus dihantui rasa bersalah, yang membuatku jadi berniat untuk segera memenuhi keinginan terakhir mama tersebut.

Karena itu aku meminta salah seorang kakakku untuk mencarikan jodoh buatku.

Kakak-kakakku tentu saja merasa senang mendengar niatku tersebut, apa lagi papa.

Mereka pun berusaha mencarikan jodoh terbaik untukku.

Sementara hubunganku dengan Deden kian terasa jauh.

Deden memang masih sering berusaha untuk menemui dan menghubungiku, namun aku selalu berusaha menghindar darinya.

Aku tidak punya banyak nyali, untuk berbicara jujur pada Deden. Tapi aku juga tidak tega meninggalkannya tanpa penjelasan apa pun.

Hal ini justru menumbuhkan dilema dihatiku.

Di satu sisi, aku ingin segera memenuhi permintaan terakhir mamaku, namun di sisi lain aku juga tidak tega membuat Deden terluka. Terlebih aku sebenarnya juga belum siap berpisah dengan Deden.

Namun aku memang harus memilih, sekalipun pilihanku akan melukai hatiku sendiri.

Dan akhirnya aku pun memutuskan untuk menceritkan semuanya pada Deden.

Deden terlihat sangat kecewa, tapi ia juga sangat mengerti dengan posisiku saat ini.

Aku dan Deden pun memutuskan untuk mengakhiri hubungan kami dengan cara baik-baik dan tanpa ada rasa dendam.

Aku pun kemudian melangsungkan pernikahan dengan gadis pilihan keluargaku, meski aku tidak mencintai gadis tersebut.

Setidaknya dengan begitu, aku telah berusaha untuk memenuhi permintaan terakhir mamaku.

Meski aku harus kehilangan orang yang paling aku cintai.

Deden, cowok gelap dari timur itu, kini hanya menjadi sepenggal cerita di masa laluku.

Aku berharap semoga Deden segera menemukan kebahagiaannya sendiri.

Ya, semoga saja...

****

Lelaki penjaga villa

Panggil aku Andi, dan ini adalah kisahku.

Aku seorang anak tunggal dari pasangan seorang pengusaha kaya dan seorang wanita karir.

Kehidupanku memang terbilang cukup mewah dan serba berkecukupan.

Tinggal di rumah gedongan dan punya mobil mewah pribadi, hadiah ulang tahun ke 20 dari papaku.

 

Lelaki penjaga villa

Mama dan papa memang cukup memanjakanku, meski sebenarnya aku tidak terlalu menyukai hal tersebut.

Sebagai seseorang yang mulai beranjak dewasa, aku butuh yang namanya kebebasan.

Dan  dibalik kehidupanku yang serba wah tersebut, aku punya suatu rahasia.

Rahasia yang selama ini hanya aku pendam sendiri.

Sampai akhirnya aku bertemu dengan Arkan.

Arkan adalah seorang laki-laki sempurna di mataku. Wajahnya tampan dengan postur tubuh yang atletis.

Sejak pertama kali bertemu dan berkenalan dengan Arkan, aku sudah jatuh hati padanya.

Gayung pun bersambut, Arkan juga ternyata seorang yang sakit sepertiku. Dan dia juga tertarik padaku.

Kami pun akhirnya menjalin hubungan asmara secara diam-diam.

Arkan adalah salah seorang karyawan di perusahaan papaku.

Usianya sudah mendekati kepala tiga.

Sejak berpacaran dengan Arkan, aku jadi punya tujuan hidup.

Aku sangat menyayangi Arkan, hingga aku rela melakukan apa saja untuknya.

Aku ingin selalu membuat Arkan merasa bahagia dan nyaman saat bersamaku.

Aku bahkan sering memberi Arkan hadiah-hadiah mewah, tentu saja dari uang jajan yang di jatahkan papa untukku.

Bahkan barang-barang mewah yang aku hadiahkan untuk Arkan, harganya bisa mencapai jutaan rupiah, bahkan melebihi dari gaji Arkan sebulan.

Segala pengorbananku itu, aku lakukan hanya untuk membuktikan bahwa betapa aku sangat mencintai Arkan.

"motorku sekarang sudah sering mogok-mogok, Ndi. Kayaknya aku butuh motor baru deh.." ucap Arkan suatu malam, saat kami bertemu di sebuah kamar hotel.

"sabar ya, bang. Nanti aku coba minta uang sama papa. Kalau dapat, aku belikan bang Arkan motor baru ya.." balasku manja.

"gak usah, Ndi. Aku cuma sekedar pengen cerita, kok. Gak ada maksud apa-apa.." Arkan berujar lagi.

"gak apa-apa, bang. Yang penting bang Arkan bahagia. Aku pasti akan rela melakukan apa pun demi abang.." balasku lagi.

"kalau memang kamu bersikeras, ya apa boleh buat, Ndi. Tapi aku gak minta loh.." ucap Arkan, sambil ia meraih jemariku lembut.

Aku tahu, Arkan tidak meminta secara langsung hal tersbebut. Tapi aku juga tahu, kalau Arkan sangat ingin aku membelikannya motor baru.

Dan aku tidak merasa keberatan, selama hal itu bisa membuat Arkan bahagia.

*****

Waktu terus berputar, dan sudah lebih dari setahun aku dan Arkan berpacaran.

Sudah sangat banyak juga pengorbanan yang aku lakukan untuk Arkan.

Namun akhirnya semua itu hanyalah sebuah pengorbanan yang sia-sia.

Aku akhirnya mengetahui, kalau ternyata diam-diam Arkan juga menjalin hubungan dengan seorang wanita.

Mereka pacaran bahkan sudah hampir setahun.

Selama ini, Arkan ternyata hanya memanfaatkanku, untuk menguras uangku.

Aku sangat kecewa mengetahui hal tersebut.

Tidak pernah aku sangka sebelumnya, kalau Arkan tega menipuku.

Ia hanya berpura-pura mencintaiku, untuk mendapatkan hadiah-hadiah mewah dariku.

Aku terhempas kecewa. Untuk pertama kalinya aku merasakan indahnya berpacaran, justru semua harus berakhir dengan luka yang sangat dalam.

Beberapa hari aku hanya mengurung diri di kamar. Aku kehilangan gairah.

Tak mudah bagiku untuk melupakan Arkan. Cintaku padanya sudah terlalu amat dalam.

"Andi pengen pergi liburan, Ma.." ujarku kepada mama, saat kami makan malam.

"liburan? bukannya sekarang belum musim liburan, Ndi?" tanya mama.

"Andi lagi suntuk dikota, Ma. Andi pengen sekedar menenangkan pikiran, kok. Boleh ya ma..?" pintaku sedikit memohon.

Aku memang berencana untuk pergi beberapa hari dari kota ini. Aku tidak ingin terus berada di sini. terlalu banyak kenangan yang terjadi disini.

Aku berharap, dengan pergi liburan beberapa hari, aku bisa belajar untuk melupakan Arkan.

"kalau kamu memang ingin menenangkan pikiran, mama cuma kasih izin sama kamu, untuk liburan di villa kita yang berada di puncak.." mama berucap juga akhirnya.

Sebenarnya aku ingin pergi liburan ke tempat yang belum pernah aku kunjungi sama sekali.

Tapi aku tahu mama, jika ia sudah berkata demikian, maka tidak akan ada yang bisa mengubah keputusannya.

Jadi lebih baik aku setuju saja dengan permintaan mama tersebut. Setidaknya itu jauh lebih baik, dari pada aku terus berasa di sini.

"mama akan telpon mas Gandhi, untuk mengabari kalau kamu akan kesana.." ucap mama lagi, setelah aku menyetujui permintaannya.

"mas Gandhi siapa, ma?" tanyaku penasaran.

"mas Gandhi yang menjaga villa kita disana, ia penjaga baru.." jawab mama, sambil mulai memainkan handphone-nya.

Aku gak tahu, kalau penjaga villa kami sudah diganti.

Dulu penjaga villa kami bernama pak Udin, seorang laki-laki tua.

Tapi memang sudah lebih dari tiga tahun, aku tidak pernah ikut mama dan papa pergi liburan ke villa kami tersebut.

*****

Aku menyetir mobilku sendiri, menuju puncak tempat villa kami berada.

Setelah menempuh perjalanan kurang lebih tujuh jam, aku akhirnya sampai ketujuan.

Lebih dari tiga tahun, aku tidak pernah lagi datang kesini.

Suasananya masih sama seperti dulu. Sepi, sejuk dan terasa nyaman.

Saat aku keluar dari mobil, seorang laki-laki paroh baya menghampiriku.

"mas Andi, ya?" tanya laki-laki tersebut.

"iya, mas. Dan mas, pasti mas Gandhi ya?" balasku ringan.

Laki-laki tersebut bertubuh sedikit jangkung. Kulitnya sawo matang.

Matanya coklat, dengan hidung yang sedikit mancung. Rahangnya terlihat kokoh.

Mas Gandhi terlihat kekar dan gagah. Ia jauh lebih muda dari yang aku bayangkan.

Meski tidak terlalu tampan, namun wajah mas Gandhi tidak membosankan untuk dilihat.

Mas Gandhi kemudian membantuku membawa barang bawaanku masuk ke dalam villa.

"mas Gandhi tinggal di sini?" tanyaku. ketika sudah berada di dalam.

"gak, mas. Tapi rumahku gak jauh kok dari sini. Nanti kalau mas Andi ada perlu apa-apa panggil aja saya.." balas mas Gandhi terdengar sangat sopan.

"mas Gandhi udah nikah?" tanyaku lagi, sekedar ingin tahu.

"udah, mas. Saya malah udah punya dua anak.." jawab mas Gandhi.

"kalau boleh tahu, mas Gandhi usia berapa sekarang?" aku bertanya kembali.

"udah 33 tahun, mas." jawab mas Gandhi.

Aku kemudian hanya manggut-manggut. Padahal menurutku mas Gandhi masih kelihatan seperti baru berusia 25 tahun.

"kalau gak ada lagi yang ditanyakan, saya permisi, mas.." ucap mas Gandhi kemudian.

Aku merenung sejenak. Awalnya aku memang pengen sendirian, dan tak ingin diganggu oleh apa pun dan oleh siapa pun.

Namun dari awal melihat mas Gandhi tadi, aku tiba-tiba berubah pikiran.

Mas Gandhi cukup menarik secara fisik. Meski aku tahu ia sudah menikah dan sudah punya anak.

Tapi gak salahnya, kalau aku meminta mas Gandhi untuk menemaniku, meski hanya sekedar untuk teman ngobrol.

"mas Gandhi sibuk gak?" tanyaku akhirnya.

"emang kenapa, mas?" mas Gandhi balik bertanya.

"saya lagi butuh teman buat ngobrol, kalau mas Gandhi mau kita ngobrol-ngobrol disini dulu ya.." ucapku meminta.

"kalau mas Andi yang minta seperti itu, saya mana berani menolak, mas. Mama mas udah pesan tadi, agar saya bisa memenuhi apa pun permintaan mas Andi selama disini.." balas mas Gandhi.

"ya udah, kita ngobrol di belakang aja ya, lebih adem kayaknya.." ujarku, sambil mulai melangkan menuju bagian belakang villa tersebut.

Di bagian belakang villa, memang terdapat semacam teras tempat duduk-duduk dengan pemandangan alam yang indah.

*****

"seperti yang mas Gandhi katakan tadi, kalau mama meminta mas untuk memenuhi apa pun permintaan saya selama disini, itu artinya saya boleh meminta beberapa hal pada mas Gandhi?" aku berujar setelah kami duduk di teras belakang villa.

"iya, mas. Selagi saya mampu, pasti saya penuhi, kok.." balas mas Gandhi.

"ada beberapa permintaan saya sama mas Gandhi.." ucapku pelan.

"permintaan apa, mas?" tanya mas Gandhi cepat.

"pertama, saya pengen mas Gandhi jangan memanggil saya pakai mas, cukup Andi saja.." ujarku sedatar mungkin.

"baik, mas. eh... Ndi.." jawab mas Gandhi terdengar kaku.

"anggap saja saya ini temannya mas Gandhi, atau anggap adik juga boleh.." ucapku mulai santai.

Bertemu dengan mas Gandhi, membuatku jadi sedikit bisa melupakan tentang Arkan.

Rasa sakit itu terasa mulai berkurang, apa lagi mas Gandhi sangat asyik untuk diajak ngobrol.

"kedua, saya ingin mas Gandhi menemani saya tidur malam ini. Karena saya merasa takut harus tidur sendirian di villa ini.." aku berucap lagi, sambil melirik mas Gandhi yang duduk tak jauh di sampingku.

"baik, Ndi. Berarti malam ini saya harus tidur di sini?" balas mas Gandhi sedikit bertanya, seperti meyakinkan dirinya sendiri.

"bukan hanya tidur disini saja, tapi juga mas Gandhi harus tidur seranjang dengan saya.." ucapku lagi.

"tapi, Ndi. Saya.. saya.. " suara mas Gandhi terbata.

"udah.. mas Gandhi ikuti saja perintah saya. Saya gak bakal gigit, kok. Paling gigit-gigit dikit aja.." ujarku dengan nada sedikit bercanda.

"ah, kamu bisa aja, Ndi. Tapi emang gak apa-apa, saya tidur seranjang sama kamu? Saya tidur di bawah aja gak apa-apa. Atau di ruang tengah juga gak apa-apa.." balas mas Gandhi terdengar mulai akrab.

"pokoknya, saya pengen mas Gandhi tidur seranjang dengan saya malam ini..." ucapku berusaha tegas.

Kali ini mas Gandhi hanya terdiam, kemudian mengangguk pelan.

*****

Malam pun datang, mas Gandhi muncul kembali ke villa, setelah ia pamit pulang sebentar untuk memberi tahu keluarganya, sekaligus membawakan makan malam untuk kami.

Setelah mandi dan makan malam, saya langsung mengajak mas Gandhi untuk masuk ke kamar.

"saya lumayan capek, mas. Jadi mau langsung istirahat aja.." ucapku ringan.

Mas Gandhi yang masih kelihatan sungkan, mengikutiku masuk ke dalam kamar tersebut.

Sesampai di dalam, aku langsung merebahkan tubuhku di atas ranjang yang empuk tersebut.

"kamu mau saya pijit gak?" tanya mas Gandhi tiba-tiba, saat ia mulai duduk di sisi ranjang.

"mas Gandhi bisa mijit?" tanyaku.

"dikit-dikit bisa lah, mas.." jawab mas Gandhi mantap.

"ya udah, saya senang malah kalau ada yang mau mijat.." aku berujar, sambil mulai bangkit untuk melepaskan sebagian pakaianku.

Dengan hanya memakai celana pendek, aku mulai tengkurap di ranjang. Sesuai dengan instruksi mas Gandhi.

Mas Gandhi pun mulai memijat bagian kakiku. Pijatannya terasa enak dengan tekanan yang pas.

Aku merasa nyaman dan rileks. Pikiranku jadi terasa lebih ringan.

Mas Gandhi benar-benar pandai memijat. Setiap pijatannya di tubuhku membuatku semakin terasa nyaman.

Sentuhan-sentuhannya benar-benar terasa, bukan seperti tukang pijat abal-abal yang banyak aku temukan di kota.

"makasih ya, mas Gandhi.." ucapku pelan, ketika mas Gandhi mengakhiri pijatannya.

"iya, Ndi. Sama-sama. Sekarang udah rileks kan?" balas mas Gandhi sedikit bertanya.

"udah, mas. Udah enakan rasanya badanku.." balasku.

Mas Gandhi kemudian berbaring di sampingku. Tubuh kami hampir berdempetan.

"saya mau cerita sesuatu sama mas Gandhi. Tapi mas Gandhi jangan kaget, ya. Dan jangan ceritakan hal ini pada siapa pun.." ucapku kemudian.

Aku memang berniat untuk bercerita tentang Arkan kepada mas Gandhi. Aku mungkin memang butuh tempat untuk berbagi cerita.

Aku berharap, dengan meluahkan semua perasaanku tentang Arkan bisa sedikit mengurangi rasa sakit dihatiku.

Setidaknya dengan begitu, bebanku akan menjadi sedikit berkurang.

"cerita aja, Ndi. Saya siap kok mendengarkannya.." balas mas Gandhi.

Aku menatap mas Gandhi beberapa saat, sekedar meyakinkan diriku sendiri, kalau mas Gandhi adalah orang yang tepat untukku berbagi cerita. Apa lagi ini sebuah cerita rahasia.

Setelah merasa cukup yakin, aku pun memulai ceritaku.

Aku melihat reaksi keterkejutan pada wajah mas Gandhi, saat aku mengatakan kalau aku adalah seorang gay.

Tapi aku coba mengabaikan hal tersebut, dan memilih untuk tetap melanjutkan ceritaku.

*****

Pada malam kedua aku di villa tersebut, aku masih meminta mas Gandhi untuk menemaniku tidur.

Meski aku tahu, mas Gandhi mulai risih untuk dekat-dekat denganku, setelah mengetahui siapa aku sebenarnya.

Namun aku tahu, mas Gandhi tidak akan bisa menolak permintaanku.

"saya suka sama mas Gandhi.." ucapku nekat.

Aku memang menyukai sosok mas Gandhi. Bukan saja karena ia sangat menarik secara fisik.

Tapi terlebih, saat ini hatiku benar-benar sedang rapuh. Kekecewaanku terhadap Arkan, membuatku lebih rentan untuk tertarik pada laki-laki lain.

Apa lagi mas Gandhi memang sosok yang menarik.

Kehampaan dan kekosongan hatiku telah membuat kehadiran mas Gandhi menjadi istimewa bagiku.

"tapi saya bukan gay, Ndi. Saya juga sudah menikah dan punya anak.." balas mas Gandhi akhirnya.

"iya, aku tahu, mas. Tapi ketertarikanku pada mas Gandhi sudah tidak bisa aku sembunyikan lagi. Aku menginginkan mas Gandhi malam ini.." ucapku membalas.

"bagaimana kalau saya gak mau, Ndi?" tanya mas Gandhi kemudian.

"itu hak mas gandhi. Saya hanya mencoba untuk jujur, mas. Meski saya tahu, saya akan menelan kepahitan untuk yang kedua kalinya.." balasku terdengar lemah.

"mungkin sudah nasib saya seperti ini, mas. Punya pacar, tapi hanya dimanfaatkan. Menyukai seseorang, tapi malah ditolak.." lanjutku masih dengan nada lemah.

Mas Gandhi menatapku beberapa saat, kemudian berujar ..

"saya... saya... saya... hanya tidak tahu.. harus ngapain, mas.." suara mas Gandhi terbata.

"mas gak harus ngapa-ngapain, kok. Dan mas juga gak harus memaksakan diri.." balasku ringan.

"saya.. saya juga penasaran sih sebenarnya, Ndi. Bagaimana rasanya melakukan hal tersebut dengan seorang laki-laki.." suara mas Gandhi sedikit parau.

"mas yakin mau mencobanya?" tanyaku, sambil menatap wajah mas Gandhi.

"kalau itu bisa membuat kamu merasa senang dan bahagia, Ndi. Saya mau mencobanya.." balas mas Gandhi.

Aku tak melepaskan tatapan dari wajah yang tiba-tiba saja terlihat sangat tampan dimataku malam itu.

Aku tahu, mas Gandhi bersedia melakukan hal tersebut denganku, bukan hanya karena rasa penasarannya, tapi juga karena rasa kasihannya melihatku.

"ya udah, mas. Kalau gitu kita coba ya.." ucapku akhirnya.

Aku tak ingin menyia-nyiakan kesempatan tersebut, terlepas dari apa pun alasan mas Gandhi untuk melakukannya.

Dan malam itu, untuk pertama kalinya dalam hidupku melakukan hal tersebut dengan seorang laki-laki normal dan sudah menikah.

Ada banyak perbedaan yang aku rasakan malam itu. Ada banyak perubahan yang aku rasakan malam itu.

Segala bayangan tentang Arkan tiba-tiba memudar. Hatiku tiba-tiba merasa lega.

Rasa sakit karena ditipu oleh Arkan, telah terganti dengan rasa indah yang diberikan mas Gandhi.

Tidak sia-sia aku datang ke villa ini. Bukan saja aku akhirnya berhasil melupakan Arkan, tapi aku juga mendapatkan sebuah sensasi keindahan yang luar biasa.

Meski aku cukup menyadari, bahwa keindahan yang aku rasakan dari mas Gandhi bisa saja hanya bersifat sementara.

Tapi paling tidak sekarang aku punya tujuan baru dalam hidupku.

Ya, mas Gandhi telah mampu merasuki jiwa dan pikiranku. Aku semakin terlena dengan buaian cintaku kepada mas Gandhi, si penjaga villa tersebut.

*****

Malam-malam selanjutnya aku dan mas Gandhi semakin sering melakukannya.

Mas Gandhi tidak lagi merasa canggung saat bersamaku. Ia sepertinya juga turut larut dalam keindahan cinta yang aku curahkan untuknya.

Sampai seminggu kemudian, mama pun memintaku untuk segera pulang.

Dengan perasaan berat harus berpisah dengan mas Gandhi aku pun kembali ke kota.

Aku kembali ke kota, dengan perasaan yang berbeda.

Aku punya semangat baru. Aku punya tujuan baru. Dan aku punya cinta baru di hatiku.

Segala hal tentang Arkan kini telah berlalu. Ia hanyalah sepenggal cerita pilu di masa laluku.

Kini aku akan memulai hidupku yang baru.

Aku sekarang juga punya rutinitas baru, yakni mengunjungi mas Gandhi di setiap sabtu sore.

Aku menginap dan tidur bersama mas Gandhi setiap malam minggu, dan sore minggu aku baru kembali ke kota.

Aku tak tahu, entah sampai kapan hubungan terlarangku dengan mas Gandhi akan terus berjalan.

Namun selama mas Gandhi bersedia untuk menerima kehadiranku, maka aku akan selalu setia mengunjunginya.

"aku mulai menyukai kamu, Ndi. Aku berharap hubungan kita tetap bertahan selamanya.." begitu ucapan mas Gandhi suatu malam padaku.

Ucapan yang membuatku kian berbunga. Yang membuatku kian mencintai sosok mas Gandhi.

Aku hanya berharap, semoga mas Gandhi tidak cuma untuk memanfaatkanku. Seperti Arkan dulu.

Semoga ia benar-benar mencintaiku, meski aku harus berbagi dengan istrinya.

Semoga hubungan kami tetap bertahan selamanya...

Ya, semoga saja...

******

Sekian ...

Pamanku yang tampan ...

Namaku Ridho. Dan aku berasal dari sebuah desa yang cukup jauh dari kota.

Aku lahir, tumbuh dan besar di desa, hingga aku lulus SMA.

Sang Penuai mimpi

Saat kuliah, atas permintaan kedua orangtuaku, aku akhirnya harus tinggal di kota.

Di kota aku tinggal bersama pamanku yang masih lajang.

Pamanku namanya Benny Saputra, tapi aku biasa memanggilnya paman Ben.

Paman Ben dan ibuku adalah saudara sepupu.

Paman Ben sudah bekerja di kota menjadi seorang dosen, sejak lima tahun yang lalu.

Paman Ben sudah berusia 33 tahun saat ini.

Namun ia belum juga menikah.

Paman Ben sudah punya rumah sendiri di kota, meski masih dalam masa kredit.

Rumah paman Ben cukup sederhana, hanya ada dua kamar tidur dan satu kamar mandi serta ada dapur kecil dan ruang tamu di bagian depannya.

Aku sendiri adalah anak sulung dari tiga bersaudara. Kedua adikku perempuan. Keduanya masih sekolah di desa. Yang satu masih SD dan yang satu lagi masih SMP.

Paman Ben sendiri adalah anak bungsu dari lima bersaudara.

Semua kakak-kakak paman Ben sudah menikah dan sudah punya rumah sendiri di desa.

Sementara kedua orangtua paman Ben sudah lama meninggal.

Paman Ben masih sering pulang ke desa, untuk menjenguk kakak-kakaknya.

Paman Ben memang sejak kuliah sudah biasa tinggal sendirian di kota.

Karena itu juga, ayah dan ibuku mempercayakan aku tinggal bersama paman Ben.

"paling tidak bisa untuk mengurangi biaya sewa kost.." begitu ucap ibu beralasan.

Ya, karena aku tinggal bersama paman Ben, ayah dan ibu tidak perlu lagi mengeluarkan uang untuk membayar kost.

Paman Ben sendiri sangat senang aku tinggal bersamanya.

"saya jadi punya teman di rumah..." ucap paman Ben, ketika ibu menawarkan aku tinggal bersamanya.

Paman Ben juga tidak meminta bayaran apapun kepada kami, bahkan paman Ben bersedia membantu biaya makan dan juga biaya kuliahku.

"mumpung saya masih lajang, sih. Tapi nanti kalau saya udah nikah, mungkin saya tidak bisa membantu terlalu banyak lagi..." ucap paman Ben terdengar santai.

"terima kasih ya, Ben. Saya titip Ridho, ya.." pesan Ibu, ketika pertama kali melepaskan kepergianku bersama paman Ben.

Paman Ben memang juga sudah punya mobil sendiri.

Kehidupan paman Ben secara ekonomi memang sudah sangat mapan. Saya gak tahu, kenapa paman Ben belum juga menikah, meski usianya sudah cukup matang.

Aku dan paman Ben sebenarnya tidak begitu dekat, namun aku mengenal beliau sudah sejak kecil.

Secara fisik paman Ben sebenarnya sangat menarik.

Wajahnya diatas rata-rata. Hidungnya mancung, bibirnya terlihat seksi dan memerah, karena setahu saya paman Ben tidak merokok.

Matanya terlihat indah, ditambah pula dengan sebuah belahan tipis ditengah-tengah dagunya, yang membuat ia sangat manis, terutama saat ia tersenyum.

Tubuhnya kekar dan berotot. Benar-benar tipe laki-laki sempurna.

Hal ini justru menimbulkan tanda tanya besar dalam benakku. Kenapa paman Ben masih betah melajang?

Bukankah seharusnya, dengan semua kelebihannya tersebut, sangat mudah baginya untuk mencari calon istri.

Dan inilah kisahku bersama paman Ben.

******

Hari pertama..

Setelah menempuh perjalanan lebih kurang lima jam naik mobil bersama paman Ben, akhirnya kami sampai ke rumah paman Ben di kota.

Rumah paman Ben berada tidak jauh dari kampus tempat aku kuliah dan juga tempat paman Ben jadi dosen.

"kalau naik mobil, paling hanya sekitar sepuluh menit kita udah sampai ke kampus.." jelas paman Ben, ketika aku mempertanyakan hal tersebut.

Aku memang belum pernah ke rumah paman Ben sebelumnya. Dan bahkan aku sebenarnya sangat jarang ke kota.

Bukan saja karena jaraknya yang jauh, tapi juga karena aku tidak punya kendaraan dan juga jarang punya uang yang banyak.

Berada di kota rasanya berbeda. Terlalu bising dan cukup panas.

Paman Ben segera mengajakku masuk ke rumahnya.

"ini kamar kamu.." ucap paman Ben, sambil membuka pintu kamar bagian belakang, yang berada di samping kamarnya.

"semua perabotannya sudah lengkap.." lanjutnya. Lalu kemudian mempersilahkan aku masuk.

Aku membawa tas ransel tempat pakaianku masuk. Kamar itu cukup luas, apa lagi jika harus di bandingkan dengan kamarku di kampung.

"kamu istirahat aja dulu, ya. Habis mandi nanti kita makan malam. Saya udah pesan makanan secara online.." paman Ben berucap lagi, sambil melangkah keluar menuju kamarnya.

Hari memang sudah mulai gelap. Kami berangkat sekitar jam dua siang tadi dari desa.

Saat aku berniat hendak mandi, aku kembali bersirobok dengan paman Ben, yang ternyata juga pengen mandi.

"sayangnya kamar mandi hanya ada satu. Jadi kita harus antri ya, kalau mau mandi." ucap paman Ben.

"atau kamu mau mandi bareng?!" paman Ben melanjutkan, dengan diakhiri sebuah tawa ringan.

Aku tersenyum kecil mendengar kelakar ringan paman Ben barusan.

Sebagai seseorang yang belum merasa begitu dekat, aku tidak bisa membalas ucapan bernada canda tersebut.

"kamu duluan aja.." suara paman Ben terdengar lagi, melihat aku hanya tersenyum tipis.

"paman aja yang duluan.." tawarku membalas.

"udah kamu aja duluan.." balas paman Ben bersikeras.

Karena merasa malas berdebat dengan paman Ben, aku pun akhirnya melangkah memasuki kamar mandi kecil tersebut.

Sebenarnya aku tidak begitu biasa mandi di dalam kamar mandi.

Di desa aku lebih suka mandi di kali. Selain karena airnya yang lebih jernih dan dingin, kami juga sebenarnya belum punya kamar mandi.

Namun sepertinya mulai sekarang, aku harus terbiasa mandi di kamar mandi.

******

Hari kedua ...

Ini adalah hari pertama aku ke kampus.

Sebenarnya paman Ben sudah mengurus semua keperluanku untuk kuliah, termasuk mendaftarkanku secara online.

"nanti kalau ada yang coba ganggu kamu di kampus, bilang aja kalau kamu ponaannya bapak Benny Saputra.." ucap paman Ben, ketika aku hendak turun dari mobil.

Aku hanya mengangguk. Aku tak berharap akan ada yang menggangguku.

Tapi jika dengan hanya menyebut nama paman Ben, bisa melepaskanku dari masalah, tak ada salahnya aku mencobanya.

Namun karena ini adalah tahun ajaran baru, tentu saja aku bukan satu-satunya mahasiswa baru di kampus ini.

Aku mulai berkenalan dengan beberapa orang mahasiswa baru tersebut. Ada beberapa orang dari mereka yang juga berasal dari kampung.

Untuk selanjutnya, kami para mahasiswa baru, mulai menghadapi beberapa orang mahasiswa senior di kampus tersebut.

Tentu saja dengan rutinitas tahunan yang biasa dilakukan oleh para senior.

Kami para mahasiswa baru harus menghadapi berbagai pertanyaan dan juga tantangan dari para senior tersebut.

Hingga jam kuliah pun berakhir. Paman Ben ternyata sudah menungguku di parkiran.

Paman Ben segera memacu mobilnya menuju rumah.

"kamu udah makan siang?" tanya paman Ben di perjalanan.

"belum sempat paman. Tadi banyak sekali kegiatannya.." balasku dengan suara lelah.

"kalau gitu kita mampir di warung makan dulu ya.." ucap paman Ben.

Tak lama kemudian, mobil kami pun berbelok menuju salah satu rumah makan yang ada di pinggiran jalan menuju arah rumah paman Ben tersebut.

Sehabis makan siang, kami pun segera pulang ke rumah.

Sesampai di rumah aku langsung menuju kamarku untuk tertidur. Aku merasa lelah dan sangat mengantuk.

Kulihat paman Ben juga melakukan hal yang sama.

*****

Hari kesepuluh ...

Masa orientasi telah usai. Kini kami mulai mengikuti mata kuliah.

Aku dan paman Ben juga semakin dekat dan akrab.

Paman Ben sangat baik padaku. Dia benar-benar menganggap aku seperti adik kandungnya sendiri.

Karena jarak usia kami yang tidak terlalu jauh, dan juga paman Ben masih kelihatan muda, membuat kami jadi lebih nyambung ketika bercerita.

"paman Ben kenapa belum nikah?" tanyaku suatu malam memberanikan diri.

Saat itu kami ngobrol sambil menonton TV di ruang tengah.

Paman menatapku sekilas, kemudian ia berucap,

"karena saya sebenarnya tidak suka sama perempuan.." suara paman Ben datar.

Namun mampu membuatku merasa begitu kaget.

Aku kaget bukan saja karena mendengar kalimatnya, tapi juga karena keberaniannya untuk jujur padaku.

"maksudnya paman Ben seorang gay?" tanyaku sekedar meyakinkan.

Paman Ben hanya mengangguk.

"kenapa? Kamu jijik ya mendengarnya?" tanyanya kemudian.

Aku terdiam sesaat, sambil memikirkan jawaban yang tepat.

"saya... saya... saya juga sebenarnya seorang gay, paman.." ucapku terbata.

Kalau paman Ben berani untuk jujur, kenapa saya harus menyembunyikan siapa saya yang sebenarnya?

Setidaknya dengan begitu, kami bisa lebih saling terbuka.

"kamu serius?" tanya paman Ben, keningnya berkerut.

"iya, paman. Tapi saya belum pernah pacaran sama sekali. Walau saya sudah beberapa kali jatuh cinta sama laki-laki. Namun selama ini, saya hanya memendamnya.." jawabku mulai berani.

"kamu suka gak sama yang tua seperti saya ini?" paman Ben bertanya lagi.

"suka, sih. Tapi paman kan paman saya. Jadi kita gak mungkin kan menjalin hubungan?" jawabku setengah bertanya.

"kenapa tidak? kalau memang kita saling tertarik, bisa saja kan? Lagi pula hubungan kekeluargaan kita sebenarnya tidak terlalu dekat kan?" balas paman Ben.

Benar sih sebenarnya apa yang diucapkan paman Ben. Paman Ben hanya saudara sepupu jauh ibuku.

Tapi....

"apa paman Ben juga sama saya?" tanyaku akhirnya.

"sebenarnya sudah sangat lama saya suka sama kamu, Dho. Makanya ketika ibu kamu ingin kamu tinggal bersama saya, saya merasa sangat senang."

"setidaknya saya merasa punya kesempatan untuk bisa dekat sama kamu.." balas paman Ben terdengar jujur.

"saya juga suka sama paman Ben.." ucapku berusaha tegas.

"kalau gitu, kita pacaran ya?!" tawar paman Ben kemudian.

Oh, aku merasa bahagia mendengar semua itu. Paman Ben yang tampan akhirnya bisa aku miliki.

Aku juga penasaran sih sebenarnya, bagaimana rasanya punya pacar seorang laki-laki.

"kalau paman Ben mau, saya juga mau, paman.." ucapku dengan nada riang.

"oke. Jadi mulai malam ini, kita tidur sekamar aja ya.." tawar paman Ben lagi.

"tapi saya belum pernah melakukan hal tersebut, paman. Saya masih merasa takut.." ujarku kemudian.

"udah.. kamu tenang aja, yang penting kita nikmati saja semuanya.." balas paman Ben ringan.

"paman Ben sudah sering ya tidur sama laki-laki?" tanyaku ingin tahu.

"sering sih gak. Tapi pernah sih beberapa kali. Saya juga pernah pacaran hingga bertahun-tahun. Tapi semua hubungan cintaku selalu kandas.." jawab paman Ben, terdengar parau.

*****

Hari berlalu, bulan berganti. Sudah lebih dari setahun aku dan paman Ben menjalin hubungan asmara.

Kami bahagia melewati hari-hari bersama.

Tiada hari yang kami lewati tanpa kebersamaan.

Semuanya terasa indah. Bahkan terlalu indah bagiku.

Namun sebagaimana kebanyakan kisah cinta para kaum gay, hubungan kami juga tidak bertahan lebih lama dari yang kami harapkan.

Kami berpisah bukan karena kami tidak lagi saling cinta.

Tapi karena paman ben akhirnya memilih untuk menikah dengan seorang perempuan rekan kerjanya.

Aku sendiri sebenarnya tidak masalah jika paman Ben menikah. Aku bersedia tetap menjalin hubungan dengannya, meski secara diam-diam.

"saya takut, saya tidak bisa membagi waktu dengan baik, Dho. Saya juga takut, kalau hubungan kita diketahui oleh istriku. Jadi lebih baik kita akhiri saja semua ini."

"lagi pula kamu masih sangat muda, Dho. Perjalanan kamu masih panjang..."

begitu alasan paman Ben, untuk mengakhiri kisah kami.

Aku kecewa sebenarnya. Tapi paman Ben benar. Apa lagi paman Ben juga sudah cukup tua. Mungkin sudah saatnya ia menjadi laki-laki yang seutuhnya.

Menikah, punya anak dan menjadi kepala rumah tangga.

Aku masih tinggal di rumah paman Ben. Tapi tentu saja, tidak lagi satu kamar dengan paman Ben.

Karena sekarang, paman Ben sudah punya istri yang menemaninya tidur.

Kisahku bersama paman Ben, adalah sebuah kisah cinta yang indah.

Paman Ben adalah pacar pertamaku, meski ia bukan cinta pertamaku.

Sakit sih sebenarnya melihat paman Ben bersama istrinya. Tapi aku harus bisa ikhlas.

Aku kadang lebih sering tidak berada di rumah.

Aku juga pernah mengajukan pindah kepada ibu. Tapi tentu saja ibu tidak setuju.

Dan aku tidak punya alasan yang kuat, untuk pindah dari rumah paman Ben.

Untuk itu, aku berusaha sekuat mungkin menahan perasaanku.

Untuk itu juga, aku mulai mencari cinta lain di luar sana.

Semoga saja, aku segera bisa menemukan pengganti paman Ben.

Ya, semoga saja...

******

Sekian...

Guru les private-ku

Namaku Andri Marto Saputra. Biasa dipanggil Aan.

Sekarang aku masih duduk di kelas 12. Aku sekolah di sebuah sekolah negeri yang cukup populer di kota tempat aku tinggal.

Sekolah tersebut termasuk salah satu sekolah favorit. Untuk bisa masuk kesitu, setidaknya kita harus punya nilai yang tinggi dan prestasi yang menonjol.

Sang penuai mimpi

 

Atau seperti saya, bisa masuk kesana, karena kebetulan kepala sekolahnya merupakan sahabat lama papaku.

Aku tidak pintar dan tidak juga punya prestasi yang menonjol. Namun papaku merupakan salah seorang yang cukup berpengaruh di kota.

Jadi aku masuk sekolah tersebut, bukan karena lulus tes. Tapi karena papaku yang berusaha keras agar aku bisa diterima disana, meski daya otakku hanya pas-pasan.

Dari tahun pertama sampai tahun kedua, aku selalu rangking terakhir di kelasku. Meski aku sudah berusaha untuk belajar melebihi kemampuanku.

Hingga pada tahun terakhir ini, papa akhirnya mendatangkan seorang guru les pribadi untukku.

"papa ingin kamu jadi anak yang pintar, An." begitu ucap papa, ketika aku coba protes.

Dan aku dengan sangat terpaksa harus menerima tambahan belajar di rumah, yang membuatku jadi hampir tidak punya waktu untuk bermain.

Aku diharuskan les private setiap tiga kali seminggu, yakni setiap sore selasa, kamis dan sabtu.

Meski dengan ogah-ogahan awalnya, aku mencoba menuruti keinginan papa dan mama.

Namun ketika hari pertama guru les private-ku datang, aku cukup terkesan.

Ya, karena ternyata guru les ku tersebut, adalah seorang laki-laki muda yang sangat tampan dan terlihat atletis.

"Asrul.." begitu guru les tersebut menyebut namanya ketika kami berkenalan.

"Andri, pak.." balasku sambil tersenyum.

"panggil bang Asrul aja, ya. Saya masih 27 tahun, kok." guru tersebut berucap lagi.

Bang Asrul memang masih kelihatan muda. Wajahnya bersih terawat. Tubuhnya tegap dan kekar.

Terus terang aku mulai menyukai bang Asrul, setidaknya secara fisik dia sangat menarik.

"bang Asrul udah nikah?" tanyaku, di sela-sela pembelajaran kami.

"baru sekitar enam bulan yang lalu saya menikah, sekarang istri saya sedang hamil muda.." jelas bang Asrul.

"jadi selain ngajar les seperti ini, bang Asrul kerja apa?" aku bertanya lagi.

"saya seorang guru di sebuah sekolah swasta.." jawab bang Asrul.

Dan aku terkesan. Sosok bang Asrul mulai memenuhi dunia khayalku.

Aku mulai berimajinasi tentang bang Asrul. Dia benar-benar telah menyita perhatianku.

Hari-hari selanjutnya aku jadi semakin semangat mengikuti les bersama bang Asrul.

Bukan karena aku menyukai pelajaran yang diberikannya, tapi karena aku merasa bahagia bisa dekat-dekat dengan bang Asrul.

Menatap wajahnya yang tampan, tubuhnya yang kekar dan mendengar suaranya yang maskulin.

Oh, aku jatuh cinta pada bang Asrul. Dan aku merasa bahagia dengan semua itu.

Namun aku menyadari, bahwa cintaku hanya bertepuk sebelah tangan.

Biar bagaimana pun, bang Asrul jelas seorang laki-laki normal. Dia sudah menikah dan akan segera punya anak.

Karena itu aku hanya bisa memendam perasaanku, setidaknya sampai aku punya kesempatan dan keberanian untuk mengungkapkannya.

******

Papa dan mama merupakan orang yang super sibuk, mereka lebih sering menghabiskan waktu di luar untuk bekerja, dari pada berada di rumah.

Papa dan mama pulang selalu hampir larut malam.

Aku di rumah hanya ditemani beberapa orang pembantu.

Ketika bang Asrul datang untuk memberi les padaku, aku sengaja mengajaknya belajar di kamar.

Setidaknya dengan begitu, aku merasa lebih leluasa menikmati indahnya pemandangan wajah tampan bang Asrul.

"kamu kanapa sering menatap saya seperti itu?" tanya bang Asrul suatu sore, ketika ia mengakhiri pembelajarannya.

"bang Asrul sangat tampan.." ucapku tanpa sadar. Aku kemudian buru-buru menunduk, karena merasa malu sudah keceplosan berbicara.

"kalau saya tampan, emang kenapa?" bang Asrul bertanya, nada suaranya seakan memancing kejujuranku.

"saya jadi suka sama bang Asrul.." jawabku cukup nekat. Aku sudah terlanjur mengungkapkan kekagumanku kepada bang Asrul, mungkin sudah saatnya aku untuk jujur tentang perasaanku.

"maksudnya?" tanya bang Asrul, keningnya berkerut.

Saya beranikan diri untuk menatap kembali wajah tampan itu.

"saya.. saya mungkin sudah jatuh cinta pada bang Asrul.." ucapku terbata.

"kamu jatuh cinta sama saya?! Kok bisa?!" suara bang Asrul sedikit meninggi.

"saya juga gak tahu kenapa saya bisa jatuh cinta pada bang Asrul. Namun yang pasti hal itulah yang saya rasakan saat ini.." jawabku semakin berani.

"kamu gay?" bang Asrul bertanya lagi.

"mungkin, bang. Dulu ketika SMP saya juga jatuh cinta sama salah seorang guru laki-laki saya. Tapi saya hanya bisa memendamnya. Dan ketika pertama kali saya melihat bang Asrul, saya kembali merasakan perasaan itu.." ceritaku.

"tapi saya belum pernah pacaran loh, bang. Apa lagi sama laki-laki. Jika jatuh cinta pada seorang laki-laki bisa disebut sebagai gay. Maka iya, saya gay, bang.." lanjutku, dengan suara sedikit bergetar.

"ini gak boleh terjadi, An. Kamu gak boleh jatuh cinta sama saya. Itu sebuah kesalahan.." ucap bang Asrul pelan.

"iya. Saya tahu, bang. Tapi ini sudah terjadi, dan saya tidak bisa menghindarinya.." balas saya lebih pelan.

Kali ini bang Asrul terdiam.

Kemudian ia segera membenahi buku-bukunya, lalu kemudian pergi tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

*****

"saya punya penawaran buat kamu, An." ucap bang Asrul, ketika akhirnya ia datang lagi untuk memberiku les, setelah dua kali pertemuan ia tak datang, sejak aku mengungkapkan perasaanku padanya.

"penawaran apa?" tanyaku tanpa semangat.

Sejujurnya sejak kepergian bang Asrul dan ketidakdatangannya selama dua kali pertemuan, membuatku kehilangan gairah.

Aku merasa patah dan kecewa.

"saya akan memberi kamu kesempatan untuk menjalin hubungan denganku, namun ada syarat yang harus kamu penuhi.." bang Asrul berucap kembali.

"syarat? syarat apa?" tanyaku penasaran.

"jika pada ujian semester ini, kamu bisa masuk lima besar, saya bersedia jadi pacar kamu.." suara bang Asrul terdengar cukup tegas.

"lima besar? ya jelas gak bisa lah, bang. Selama ini saya selalu rangking terakhir loh.." balasku cepat.

"makanya kamu belajar lebih giat lagi, An. Dan lagi pula kamu serius kan suka sama saya?" ucap bang Asrul.

"iya. Saya serius, bang. Tapi syaratnya terlalu berat, saya pasti gak bisa.." jawabku.

"terserah kamu, sih. Kalau kamu memang benar-benar menginginkan saya, kamu harus bisa membuktikannya.." bang Asrul berucap tegas lagi.

Aku merenung sejenak. Memikirkan tawaran dari bang Asrul.

Terus terang aku memang sangat mencintai bang Asrul dan sangat berharap bisa berpacaran dengannya.

Tapi untuk bisa memenuhi syarat yang di berikannya, jelas hal terasa sangat mustahil bagiku.

"gak ada yang gak mungkin, An. Asal kamu percaya dan mau berusaha lebih keras lagi, kamu pasti bisa, kok.." suara bang Asrul mengagetkanku, ia seolah-olah bisa membaca jalan pikiranku.

Aku menarik napas berat seketika. Mungkin bang Asrul, aku memang harus berusaha lebih keras lagi.

Setidaknya dengan begitu, aku sudah berusaha untuk membuktikan kepada bang Asrul, bahwa betapa aku sangat menginginkannya.

"jadi gimana? Kamu bersedia kan, menerima tawaran dari saya?" suara bang Asrul terdengar lagi.

"kalau memang itu sudah menjadi syarat dari bang Asrul, saya akan berusaha semampu saya, bang. Tapi tentu saja, saya juga ingin bang Asrul lebih rutin lagi memberi saya les." jawabku ringan.

"iya, An. Saya juga akan berusaha untuk memberikan yang terbaik buat kamu.." ucap bang Asrul.

****

Sejak perjanjian tersebut, aku jadi semakin sering menghabiskan waktu untuk belajar. Aku harus bisa membuktikan kepada bang Asrul, kalau aku benar-benar mencintainya.

Aku jadi semakin fokus pada setiap pelajaran yang diberikan oleh bang Asrul. Aku tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini.

Bang Asrul terlalu tampan, terlalu gagah. Aku terlalu mencintainya. Ia terlalu sempurna untuk tidak dimiliki.

"jika saysa nantinya bisa memenuhi syarat dari bang Asrul, bang Asrul yakin bisa menyukai saya, karena setahu saya bang Asrul kan bukan seorang gay?" tanyaku suatu sore, di sela-sela les kami.

"kamu tenang aja. Saya bukan orang yang suka ingkar janji. Kamu fokus aja belajar, dan buktikan pada saya hal tersebut." balas bang Asrul.

Hasil-hasil dari ulangan harian saya, sebenarnya sudah mulai meningkat. Tapi tentu saja, aku masih harus belajar lebih giat lagi, untuk mendapatkan hasil yang optimal.

Kadang ada rasa ingin menyerah, namun setiap kali membayangkan wajah tampan bang Asrul, segala rasa lelah dan perasaan ingin menyerah tersebut segera kutepis.

Aku harus bisa mendapatkan bang Asrul, meski aku harus mengorbankan waktu bermainku.

Papa dan mama juga mulai terlihat bangga melihat semangat belajarku.

Bang Asrul juga selalu memberikan support yang lebih padaku.

Aku tak tahu pasti, kenapa bang Asrul begitu ingin aku bisa memenuhi syarat darinya.

Jika ia tak menyukaiku, seharusnya ia justru melakukan hal sebaliknya.

Tapi untuk saat ini, aku tak perlu memikirkan hal tersebut. Aku harus fokus belajar.

*****

Berbulan-bulan berlalu, hingga akhirnya masa ujian semester pun tiba.

Tak seperti biasanya, kali ini aku menghadapi ujian semester dengan perasaan campur aduk dan hati yang berdebar-debar hebat.

Ada banyak hal yang harus aku perjuangkan disini.

Pertama, aku harus bisa membuktikan kepada papa dan mama bahwa aku juga bisa berprestasi.

Kedua, aku juga tidak ingin waktu yang telah aku habiskan hanya untuk belajar menjadi sia-sia, jika hasilnya tidak memuaskan.

Dan yang paling terpenting, ini adalah kesempatanku untuk bisa memiliki bang Asrul, guru les private-ku yang tampan tersebut.

Ujian pun berakhir, tibalah saatnya untuk pembagian hasil nilai raport semester ini.

Dadaku bergemuruh saat membuka isi raport tersebut.

Untuk peringkat satu, dua dan tiga sudah pasti bukan saya, karena sudah diumumkan di depan kelas tadi.

Sekarang hanya tersisa dua peringkat yang aku harapkan, yakni peringkat empat atau peringkat lima.

Dan aku kecewa, karena ternyata aku hanya berhasil berada diperingkat sembilan.

Meski sebenarnya itu jauh lebih baik dari hasil-hasil ujianku di tahun-tahun sebelumnya. Namun itu belum memenuhi syarat untuk aku bisa memiliki bang Asrul.

"selamat ya, nak. Mama dan papa bangga sama kamu. Gak sia-sia kamu menghabiskan waktu untuk belajar selama ini.." suara mama, dengan nada bangganya.

Tapi aku tidak memperlihatkan raut kebanggaan sedikitpun. Meski hasilnya cukup memuaskan, namun tidak cukup untuk membuktikan pada bang Asrul akan betapa besarnya cintaku padanya.

"kamu gak perlu merasa kecewa seperti itu.." ucap bang Asrul, ketika kami bertemu di sebuah kafe.

Aku memang sengaja mengundang bang Asrul untuk makan, sebagai bentuk ucapan terima kasihku padanya.

"tapi aku sudah berusaha dengan keras, bang. Dan bukan berarti juga, cintaku pada abang tidak cukup besar." ucapku terdengar lemah.

"iya, aku tahu. Kamu sudah berusaha, An. Karena itu juga, aku ingin memberi kamu kesempatan." balas bang Asrul.

"kesempatan? Kesempatan apa, bang?" tanyaku penasaran.

"jika kamu memang ingin memiliki saya, saya bersedia, kok. Tapi hanya untuk satu kali saja, ya. Setelah itu, kamu harus belajar melupakanku." ucap bang Asrul ringan.

"maksudnya, bang?" tanyaku lagi.

"kamu pasti penasaran kan sama saya? Karena itu, saya bersedia untuk tidur satu malam saja bersama kamu. Namun setelah itu, kita tidak punya hubungan apa-apa lagi."

"saya bersedia melakukan hal tersebut, bukan karena saya suka sama kamu, An. Tapi ini bentuk penghargaan saya atas perjuangan kamu selama ini." jelas bang Asrul.

Saya merenung sejenak. Memikirkan tawaran bang Asrul.

Bukan itu yang saya inginkan sebenarnya. Saya ingin bang Asrul benar-benar menjadi pacar saya selamanya, bukan hanya untuk satu malam.

Tapi, jika bang Asrul bersedia seperti itu, aku rasa tidak ada salahnya aku mencoba. Setidaknya aku bisa merasakan kehangatan dari orang yang aku cintai, meski ia tak mencintaiku.

"ok, bang. Saya setuju.." ucapku akhirnya.

Dan kami pun sepakat untuk membuat janji bertemu di sebuah hotel pada malam berikutnya.

****

"sebelum kita melakukannya, ada satu hal yang ingin aku ceritakan sama kamu, An." ucap bang Asrul, ketika keesokan malamnya, kami akhirnya bertemu di sebuah kamar hotel.

"cerita apa, bang?" tanyaku pelan.

"sebenarnya, ketika saya memberi syarat supaya kamu bisa meraih lima besar waktu itu, saya juga punya tanggungjawab besar kepada papa kamu, An."

"ketika kamu mengungkapkan perasaanmu padaku waktu itu, sebenarnya aku kemudian mengajukan pengunduran diri pada papamu, An. Meski aku tidak mengatakan alasan ku yang sebenarnya."

"karena itu aku tidak datang selama dua kali pertemuan. Namun papamu terus mendesak agar aku tetap mengajarkan les sama kamu."

"beliau juga tidak bersedia membayarku, jika aku berhenti saat itu. Karena itu, aku akhirnya kembali memberi les untuk kamu."

"lalu kemudian papa kamu, memberi tantangan untukku, yang aku sendiri tidak yakin bisa memenuhinya."

bang Asrul menarik napas cukup panjang, sambil ia menatapku tajam.

"tantangan apa, bang?" tanyaku tiba-tiba.

"jika saya berhasil membuat kamu meraih sekurang-kurangnya sepuluh besar, maka beliau akan membayarku dua kali lipat. Namun jika aku gagal, maka beliau tidak akan membayarku sepeser pun." jelas bang Asrul lagi.

Aku cukup kaget mendengar semua cerita bang Asrul barusan. Meski aku juga tidak begitu paham akan semua hal tersebut.

"jadi sebenarnya kita saling bantu, An. Saya bantu kamu untuk belajar, dan kamu bantu saya untuk membuktikan kepada papa kamu, kalau saya berhasil membuat kamu lebih baik." ucap bang Asrul kembali.

"dan karena itu juga, malam ini aku bersedia tidur sama kamu. Sebagai bentuk ucapan terima kasih sekaligus penghargaan buat keberhasilan kamu bisa masuk sepuluh besar.." lanjutnya.

"jadi bang Asrul, benar-benar tidak punya perasaan apa-apa padaku?" tanyaku penasaran.

"terus terang aku salut dengan perjuangan kamu, An. Tapi itu belum bisa membuatku jatuh cinta padamu. Apa lagi aku sudah menikah dan juga sudah punya anak."

"jadi setelah malam ini, saya harap kamu bisa belajar untuk melupakanku. Saya yakin kamu bisa, kok. Seperti kamu bisa meningkatkan hasil belajarmu, dari rangking terakhir menjadi rangking sembilan."

kalimat bang Asrul benar-benar membuatku terpuruk.

Aku bisa saja setuju dengan permintaan bang Asrul, untuk tidur dengannya malam ini, lalu kemudian belajar untuk melupakannya.

Namun sekali lagi, bukan itu yang aku inginkan.

Aku tidak ingin melakukannya, jika bang Asrul hanya terpaksa.

Aku memang mencintai bang Asrul, dan aku ingin ia juga mencintaiku.

Namun jika ia melakukan semua ini hanya karena terpaksa, aku lebih memilih untuk tidak melakukannya.

Aku memang penasaran, seperti apa rasanya semua itu. Tapi aku tidak ingin melakukannya, dengan orang yang tidak menginginkannya sepertiku. Apa lagi ini adalah pertama kalinya dalam hidupku.

Aku ingin hal pertama tersebut, aku lakukan dengan orang yang aku cintai dan juga mencintaiku.

"maaf, bang Asrul. Aku tidak bisa melakukannya sekarang. Aku ingin pengalaman pertamaku dengan orang yang juga mencintaiku. Jika bang Asrul tidak menginginkan ku, aku tidak bisa melanjutkan ini.." ucapku akhirnya.

Setelah berkata demikian, aku segera bangkit lalu melangkah untuk segera keluar dari kamar tersebut.

"bang Asrul gak usah khawatir, aku akan belajar melupakan abang.." ucapku lagi, sambil mulai melangkah keluar.

Aku sadar, mungkin keputusanku ini salah. Aku seharusnya tetap mencoba hal tersebut.

Tapi aku takut, jika aku tetap nekat melakukannya, aku justru semakin tidak bisa melupakan bang Asrul.

Jadi lebih baik, aku tidak pernah merasakannya sama sekali, dari pada harus membuatku semakin terluka parah.

Semoga saja kelak suatu saat, aku bisa bertemu dengan orang yang juga mencintaiku.

Ya, semoga saja....

****

Sekian ...

Cari Blog Ini

Layanan

Translate