"besok pagi ikut pelatihan ya.." suara sangar pak Lutfi cukup mengagetkanku pagi itu.
"dimana pak?" tanyaku ringan.
Pak Lutfi menyebutkan sebuah alamat. Aku hanya mengangguk.
Ini adalah hari pertama aku mulai bekerja disini. Di sebuah sekolah dasar, tak jauh dari rumahku.
Aku bekerja sebagai seorang Operator sekolah, dan pak Lutfi adalah kepala sekolah kami.
Sebagai seorang yang baru masuk dunia pendidikan, aku masih merasa cukup canggung. Apa lagi pekerjaan yang aku terima adalah merupaka hal baru saat itu.
Tapi aku harus bisa terbiasa dengan semua itu.
Selepas mendapatkan gelar sarjana komputer, aku langsung mengajukan lamaran ke beberapa tempat, dan kebetulan sekali aku di terima di sekolah ini.
Esok, pagi-pagi sekali aku sudah mengendarai motor bututku menuju alamat yang disebutkan pak Lutfi kemarin. Ini adalah kali pertamanya aku ikut pelatihan dan tidak ada satu pun orang yang aku kenal disana.
Sesampainya ditempat pelatihan, aku melihat beberapa orang sudah hadir. Menurut cerita pak Lutfi kemarin, pelatihan diikuti oleh lebih kurang tiga puluh sekolah, yang mana setiap sekolah mengutus satu orang operator.
Pelatihan dilaksanakan di sebuah gedung serba guna milik sebuah sekolah. Aku melangkah pelan dari tempat parkir menuju ruang pelatihan, sambil sedikit memperhatikan orang-orang di sekeliling.
Aku masuk ke dalam dan duduk di salah satu bangku yang berada tidak terlalu jauh dari depan.
Beberapa orang juga sudah mulai memasuki ruangan. Karena sebentar lagi pelatihan akan segera di mulai.
Pelatihan dimulai dengan beberapa sambutan dari pihak yang berwenang. Aku memperhatikan beberapa orang yang duduk di deretan meja depan. Tiba-tiba pandanganku terpaku pada seorang pemuda.
Pemuda itu cukup menarik perhatianku, karena sepanjang acara pembukaan ia selalu menebar senyum. Dan senyumannya itu yang membuat aku terpukau, lesung pipi di kedua belah pipinya benar-benar mempesona.
Aku segera menunduk, saat mata kami saling beradu pandang. Jantungku berdegup kencang.
Pemuda dengan senyum manis itu sudah berdiri saat aku mencoba menolehnya lagi. Ternyata pemuda itu lah yang menjadi tutor kami hari itu.
"nama saya Al-Hafis!" ucapnya setelah mengucapkan salam. Ia berdiri di depan sambil memegang sebuah pengeras suara. "biasa dipanggil Afis." lanjutnya.
"bagi teman-teman operator sekolah yang baru, silahkan save nomor handphone sekaligus nomor whatsapp saya, untuk bertanya seputar pekerjaan kita sebagai operator. Atau bisa juga bergabung dengan group facebook kita. Disana kita bisa saling sharing.."
Pak Afis berbicara sambil menulis di papan tulis yang ada di depan.
Aku segera mencatat di handphone dan menyimpan nomor tersebut, sekaligus mengakses group facebook yang disebutkan pak Afis.
Selanjutnya, pak Afis menjelaskan bagaimana dan apa yang harus kami kerjakan ke depannya.
Ternyata pak Afis orang yang sangat menyenangkan.
Pak Afis adalah Operator dari Dinas Pendidikan Kabupaten, yang artinya ia lah yang menghandle dan bertanggungjawab kepada semua operator sekolah yang ada di kabupaten kami.
Berkali-kali aku menatap senyum manis pak Afis, dadaku berdegup tak karuan. Pak Afis telah menyita perhatianku.
Oh, ya. Jangan salah paham dulu! Sebenarnya pak Afis itu masih sangat muda. Kami memanggilnya pak, karena secara jabatan ia satu tingkat diatas kami. Dan juga merupakan hal yang biasa, dalam dunia pendidikan, saling memanggil pak atau pun Ibuk. Itu juga berlaku buat kami sebagai sesama operator.
Karena sebagian operator juga ada yang sudah berumur diatas 30 tahun.
"baru ya?" sebuah suara mengagetkanku.
Aku melirik ke arah samping kiri ku, seorang laki-laki yang masih cukup muda tersenyum padaku.
Aku mengangguk pelan.
"sama.." ucap laki-laki itu lagi. "saya Fhandi.." lanjutnya, sambil menyebutkan tempat tugasnya.
"oh!" aku membulatkan bibir, "saya Ayu..." balasku.
Laki-laki itu, Fhandi, memang sudah sedari tadi duduk di sampingku. Dan sepertinya sudah dari tadi berusaha menegurku.
Aku dan Fhandi mulai mengobrol tentang pekerjaan baru kami, sambil terus memperhatikan ke depan.
Pak Afis masih berbicara di depan, menjelaskan banyak hal dan meminta kami membuka laptop yang memang sengaja kami bawa. Karena sebagai seorang operator sekolah kami memang diwajibkan mempunyai laptop, dan biasanya laptop memang diberikan oleh pihak sekolah. Bukan laptop pribadi.
"bagaimana? Bisa?" suara merdu pak Afis cukup mengagetkanku, karena aku sibuk mengerjakan tugas yang diberikannya di laptop.
Aku menoleh ke arah pak Afis yang sudah berdiri di sampingku. Gugupku tiba-tiba. Jantungku berdetak lebih kencang dari biasanya.
"belum pak.." jawabku sedikit bergetar.
"gak apa-apa." ucap pak Afis sambil sedikit menunduk, membuat gugupku semakin menjadi. "masih baru, kan?" lanjutnya, kali ini ia tersenyum.
Sumpah! Senyum itu sangat manis. Aku gelagapan, salah tingkah.
"coba aja terus. Pasti bisa, kok.." ucapnya lagi.
"iya, pak.." balasku, masih dengan suara bergetar.
Pak Afis melangkah ke belakang, memperhatikan pekerjaan teman-teman operator lainnya.
Pada saat makan siang, tiba-tiba pak Afis mendekatiku. Aku duduk sendirian di ujung teras ruangan.
"sendirian aja?" tanya pak Afis padaku.
Aku hanya mengangguk. Seperti tadi, gugupku pun datang.
"sudah berapa lama jadi operator?" tanyanya lagi, sambil duduk di sampingku.
"baru dua hari, pak.." jawabku.
"oh. Pantas. Gak pernah kelihatan sebelumnya."
Selanjutnya pak Afis cerita tentang pekerjaannya dan juga memberikanku beberapa masukan agar bisa menyelesaikan pekerjaanku dengan baik.
Aku sangat senang bercerita dengan pak Afis. Aku jadi tahu, kalau ternyata pak Afis memang masih lajang, seperti dugaanku.
"jangan panggil pak lah. Udah tua kali kesannya.."
"tapi memang begitu panggilan resminya, pak.."
"gak juga ah. Siapa bilang? Kan kita bukan Bapak dan Ibu guru.."
"jadi panggil apa baiknya?"
"karena usia kita hanya beda dua tahun, cukup panggil Afis aja.."
"oke lah kalau begitu," jawabku mulai terasa akrab.
Dia mengangguk dan tersenyum.
***********
Begitulah awalnya. Awal aku mengenal sosok Afis dalam hidupku. sejak saat itu, hampir setiap malam, wajah Afis menghiasi hayalku. Senyum manisnya selalu melintas di pikiranku.
Kami sering berhubungan lewat media sosial, saling koment status dan juga sering telpon-telponan.
Meski kami jarang bertemu secara langsung, karena memang jarak tempat tinggal Afis dengan rumahku cukup jauh. Tapi itu tidak membuat kami menjadi jauh.
Hari-hari berlalu terasa indah bagiku, meski hubungan kami hanya sebatas teman. Tapi setidaknya aku merasa bahagia dengan semua itu.
Aku tak tahu apa yang Afis rasakan padaku, sampai saat itu.
Setahun pertemanan kami. Afis jadi sering datang ke rumah dan mengajakku jalan-jalan, walau hanya sekedar nonton di bioskop atau makan siang di kafe. Tapi aku merasa sangat bahagia dengan semua itu.
Aku dan Afis kian dekat dan akrab. Rasanya dunia begitu indah.
Harus kuakui kalau aku telah jatuh cinta pada sosok Afis, walau aku tidak pernah tahu perasaannya padaku. Afis tak pernah membahas soal itu sekalipun. Aku pun tak cukup berani untuk mempertanyakannya.
Aku biarkan saja, persahabatan kami mengalir apa adanya.
Sampai suatu saat....
Tiba-tiba Afis menghilang! Tanpa kabar!
Tidak ada satu pun akun media sosialnya yang aktif, bahkan nomor handphone nya selalu tidak bisa dihubungi. Aku merasa cemas. Aku coba bertanya kepada beberapa orang yang ku kenal, tapi tidak ada satu pun yang tahu.
Sampai akhirnya aku tahu, kalau Afis sudah tidak bekerja lagi di Dinas Pendidikan. Pak Lutfi yang cerita. Tapi tidak ada satu pun yang tahu, kenapa Afis tiba-tiba memutuskan untuk berhenti.
Bahkan ketika pihak Dinas mendatangi rumahnya, Afis juga tidak berada di rumah. Pihak keluarganya juga bungkam, tak ingin bercerita.
Aku benar-benar kehilangan. Aku benar-benar bingung. Kemana Afis? Dimana dia sebenarnya? Apa yang terjadi dengannya, sehingga tiba-tiba ia menghilang? Bahkan saat terakhir kami bertemu pun, Afis baik-baik saja. Seperti biasa, ia selalu tersenyum. Tidak terlihat ada masalah, apa lagi pertanda kalau ia akan menghilang.
Tubuhku terasa lemas. Hatiku menangis pilu. Aku benar-benar terpukul. Sudah hampir sebulan tak ada kabar apa pun dari Afis. Air mataku sering menetes bila mengingat itu semua. Betapa aku merindukan sosok Afis dalam hidupku. Saat ini, aku merasa benar-benar rapuh dan tak berdaya.
*********
Enam bulan. Ya, enam bulan sudah Afis menghilang tanpa kabar. Aku sudah mulai terbiasa tanpa kehadirannya, tanpa membaca statusnya. Aku sudah mulai terbiasa tanpa kabar darinya. Meski harus kuakui, kalau terkadang ada saat aku begitu merindukannya. Rindu dengan candanya, ceritanya yang blak-blakan dan juga senyum yang tak pernah lepas dari bibirnya yang manis.
"hei, melamun aja dari tadi..." suara Fhandi membuyarkan lamunanku.
Fhandi duduk di sampingku, dengan membawa dua buah es krim. Dia berikan satu es krim untukku.
Siang itu Fhandi memang sengaja mengajak ku jalan-jalan ke sebuah obyek wisata alam yang cukup terkenal di daerah kami.
Aku dan Fhandi akhir-akhir ini memang menjadi dekat. Bukan saja karena kami memiliki profesi yang sama. Tapi memang sejak awal kami kenalan waktu pertama kali aku ikut pelatihan dulu, Fhandi memang sering menghubungiku. Namun karena selama ini ada Afis, aku tidak terlalu menanggapinya.
Sejak Afis menghilang, Fhandi bahkan jadi sering datang ke rumah. Karena jarak tempat tinggal kami tidak begitu jauh.
Terus terang, aku merasa sedikit terhibur dengan kehadiran Fhandi di hidupku. Cowok tampan dan jangkung itu, mampu mengisi kekosongan hari-hariku setelah kepergian Afis.
Meski Fhandi tidak benar-benar mampu menggantikan sosok Afis dalam hidupku. Tapi setidaknya Fhandi lebih jelas dan tegas. Terutama soal perasaannya padaku.
"aku jatuh cinta padamu, Yu. Bahkan sejak pertama kita saling kenal.." ucapnya suatu hari.
Saat itu, aku hanya terdiam. Aku bingung, tidak tahu harus menjawab apa. Sebagian besar hatiku masih tersimpan rapi sosok Afis dengan senyumnya yang begitu manis. Namun sosoknya telah menghilang seperti di telan bumi.
Dan Fhandi hadir, dengan cintanya yang tulus. Dengan segala kesederhanaannya. Ia mampu membuatku tersenyum kembali. Ia mampu membuatku bangkit dari kekecewaan yang mendalam. Meski itu bukan berarti aku telah membuka hatiku untuknya.
Tapi apa mungkin aku bisa menolak kehadirannya di hatiku? Mengabaikan cintanya yang begitu tulus dan jelas?
"kamu belum jawab pertanyaanku yang kemarin, Yu.." ucap Fhandi lagi, sambil membuka bungkusan es krim yang baru ia beli.
"pertanyaan yang mana?" tanyaku, lebih berlagak pura-pura tidak tahu.
Fhandi menolehku. Ia tersenyum. "kamu tahu, pertanyaan yang aku maksud, Yu. Gak usah berlagak pikun.." balasnya.
Aku tertunduk. Merasa jengah ditatap seperti itu. Jujur harus kuakui, kalau Fhandi memang memiliki mata yang indah. Tatapannya begitu teduh, namun mampu menusuk ke relung hatiku yang rapuh.
Aku menjilati es krim dan menelannya pelan. Terasa dingin melewati tenggorokanku. Kutarik napasku perlahan.
"aku... aku tidak tahu harus jawab apa, Fhan." ucapku sedikit terbata. "aku belum bisa jawab sekarang. Aku butuh waktu, Fhan." lanjutku.
"kenapa?" tanya Fhandi. Pandangannya dialihkan kearah kerumanan orang-orang yang ramai di depan kami. Mereka sibuk berpose.
Aku hanya menggeleng lemah. Aku benar-benar tidak bisa menjawabnya.
"aku gak bisa jelaskan sekarang, Fhan. Aku harap kamu mengerti.." ucapku lemah.
Kali ini Fhandi terdiam. Aku tahu ia penasaran dan bingung. Tapi saat ini aku memang belum bisa menjelaskannya. Aku takut, kalau perasaanku pada Fhandi hanyalah sebuah pelarian atas kekecewaanku terhadap Afis.
************
"hei! Tunggu!" sebuah suara memaku langkahku. Hari ini aku tidak masuk kerja. Aku pergi ke kantor Dinas Pendidikan Kabupaten, ada beberapa hal yang aku urus disana.
Seorang laki-laki paroh baya mendekatiku.
"kamu Ayu, kan?" ucap laki-laki itu sambil mengatur napas.
Aku mengangguk. Beberapa langkah lagi aku akan sampai ke pintu masuk. Orang-orang ramai berlalu lalang. Saat ini memang jam sibuk kerja.
"bisa bicara sebentar?" tanya laki-laki itu lagi.
Aku mengernyitkan kening. Aku tak mengenali lak-laki itu.
"maaf. Aku lagi ada urusan di dalam.." balasku ringan.
"ini tentang Afis.." ujar laki-laki itu pelan.
Keningku berkerut dua kali lipat dari biasanya. "bapak siapa?" tanyaku.
"saya Sabda. Abang Afis. Ada yang harus kamu ketahui tentang Afis.." laki-laki itu menatapku lama.
"Afis sakit, Yu." bang Sabda memulai pembicaraan. Kami duduk di sebuah bangku taman yang ada di depan kantor dinas. Dulu Afis sering mengajakku duduk disini.
"Afis sakit sudah lama. Bahkan jauh sebelum ia mengenal kamu. sebuah kanker telah bersarang di otaknya sudah bertahun-tahun." bang Sabda menarik napas sejenak. Aku terdiam memperhatikannya, mencoba memahami ceritanya barusan.
"awalnya Afis mencoba mengabaikan penyakitnya, karena tidak mengganggu aktivitasnya. Namun setahun belakangan, penyakitnya makin parah. Kami sempat ke luar negeri enam bulan yang lalu, untuk menjalani operasi. Selesai operasi keadaannya mulai membaik. Kami pun pulang ke Indonesia. Namun berselang satu bulan, penyakitnya kambuh lagi." bang Sabda menarik napas lagi, "sebenarnya dokter sudah menjelaskan, kalau kanker itu akan tumbuh lagi. Tapi kami tidak menyangka akan secepat itu. Berbulan-bulan Afis terbaring di rumah sakit, menjalani perawatan. Ia tidak ingin kamu tahu. Ia tidak ingin kamu merasa khawatir..."
"dengan ia menghilang tanpa kabar, itu justru membuatku lebih khawatir.." selaku bergetar. Aku menahan air mataku agar tidak tumpah saat itu.
"iya. Aku tahu, karena itu aku mencari kamu. Tapi aku tidak tahu dimana alamatmu. Sampai tadi aku melihat kamu. Dan aku ingin menceritakan ini semua sama kamu.."
"atas permintaan Afis?" suaraku semakin bergetar.
"tidak. Ini atas inisiatifku sendiri. Aku tak tega melihat Afis. Ia sepertinya sudah menyerah melawan penyakitnya. Aku tahu, ia sangat dekat dengan kamu. Aku berharap kamu mau melihat keadaannya sekarang. Mungkin dengan kehadiran kamu di dekatnya, itu bisa memberinya semangat. Selama ini ia hanya menatapi photo kamu.." ucap bang Sabda lagi, suaranya terdengar parau.
Aku mencoba memahami setiap cerita bang Sabda. Awalnya aku ingin marah. Tapi rasa iba lebih menguasai hatiku. Membayangkan Afis yang terbaring sakit, aku menjadi tak tega.
"sekarang Afis dimana?" tanyaku akhirnya, setelah cukup lama kami terdiam.
Bang Sabda menyebutkan rumah sakit tempat Afis dirawat. "keadaannya semakin parah, ia sering tak sadarkan diri.." ucapnya.
**************
Tubuh Afis terbaring lemah di sebuah dipan rumah sakit. Tubuh itu dipenuhi oleh infus. Aku semakin tak tega melihatnya. Senyum manis cowok itu telah hilang. Tubuhnya kurus kering tak berdaya. Tanpa sadar air mataku menetes menatapnya. Cowok itu membuka mata, saat aku mencoba menyentuh tangannya. Pihak keluarga memang sengaja membiarkan aku sendiri di dalam kamar rumah sakit itu.
Mata Afis terlihat kaget melihat aku berdiri di dekatnya. Aku menggenggam jemarinya yang lemah. Air mataku terus bercucuran. Namun aku mencoba tersenyum.
"hei.." suaraku pelan.
"ngapain kamu kesini?" tanya Afis suaranya terdengar lemah. "siapa yang kasih tahu aku disini?' lanjutnya.
"itu gak penting sekarang, Fis. Yang penting kamu harus lekas sembuh, ya. Aku kangen..." ucapku sambil meremas lembut tangannya. "aku kangen melihat senyum kamu lagi. Aku kangen nonton di bioskop bareng kamu lagi, Fis. Aku kangen baca status kamu..." suaraku semakin parau.
"kamu... kamu gak marah?" Afis berucap dengan terbata.
Aku menggeleng. Aku berusaha tersenyum. Aku mengusap pipiku sendiri, menghapus sisa air mataku. Berusaha untuk terlihat tegar.
"kamu harus sembuh, Fis. Kamu gak boleh menyerah. Mulai sekarang aku akan selalu mendampingi kamu..." ucapku, sambil mengelus rambutnya yang mulai memanjang.
"maafkan aku ya, Yu..." ucapnya, bibirnya berusaha menyunggingkan senyum.
Aku mengangguk dan menggenggam tangannya erat.
Hari-hari berikutnya, aku lebih sering menjenguk Afis. Menemaninya dan memberinya semangat. Jarak yang jauh tidak membuatku menyerah. Jauh dari dasar hatiku, aku masih mencintainya. Meski aku tak bisa mengungkapkannya. Bertemu dengannya kembali memberikanku sebuah harapan. Sebuah harapan yang sempat memudar. Kini hari-hari ku terasa lebih bermakna.
Aku semakin menyadari, kalau aku benar-benar mencintai Afis. Dan sosoknya tak pernah bisa tergantikan. Aku tahu, Afis juga mencintaiku. Walau pun dia tidak pernah mengucapkannya. Namun dari semua sikapnya padaku, aku tahu, dia sangat membutuhkanku.
"keadaannya sudah semakin membaik sekarang.." ucap bang Sabda suatu hari. "terima kasih ya, Yu. Sepertinya kehadiranmu benar-benar telah membuat ia bangkit."
"aku mencintai Afis, bang." balasku jujur, "aku ingin dia sembuh. Aku ingin melihat Afis yang dulu. Afis yang selalu tersenyum..."
"yah. Kita sama-sama berdo'a ya, Yu. Semoga Afis bisa sembuh kembali. Aku yakin, Afis juga sangat mencintai kamu." bang Sabda menatapku penuh keyakinan.
"minggu depan Afis akan operasi lagi. Semoga operasi kali ini, benar-benar bisa mengangkat penyakitnya dan tidak akan kambuh lagi." ucap bang Sabda lagi.
"aamiin, bang. Semoga!" jawabku tersenyum.
************
"maafkan aku, Fhan. Aku gak bisa.." aku menatap wajah Fhandi yang memperlihatkan raut kekecewaannya.
"kenapa?" tanya Fhandi lemah.
"karena sudah ada seseorang yang mengisi hatiku, Fhan. Bahkan jauh sebelum kita saling akrab."
"lalu apa arti kedekatan kita selama ini, Yu?"
"maafkan aku, Fhan. Aku tidak bermaksud mempermainkan kamu. Selama ini aku memang menyukai kamu. Tapi perasaanku tak kian berkembang, Fhan. Aku tidak bisa membohongi diriku sendiri, kalau sebenarnya aku mencintai orang lain. Meski aku sudah berusaha menerima kehadiranmu, namun tetap saja aku tidak menemukan cinta itu ada untukmu. Sekali lagi, aku minta maaf, Fhan.."
Fhandi menghempaskan napasnya berat. Kedua tangannya mengepal.
Aku tahu Fhandi terluka. Tapi akan lebih menyakitkan lagi, jika aku harus terus berpura-pura bahagia saat dengannya. Akan sangat menyakitkan, jika aku tidak berterus terang padanya.
Aku melangkah meninggalkan Fhandi yang masih duduk termangu di kafe itu. Sekelebat rasa bersalah menghantuiku. Tapi semua memang harus terjadi. Aku memang harus memilih. Dan hatiku begitu yakin, kalau aku sangat mencintai Afis, seperti apa pun kondisinya saat ini.
Hatiku telah memilih, meski harus ada hati yang tersakiti.
Fhandi sosok cowok yang baik dan sederhana. Aku yakin, banyak cewek-cewek lain di luar sana yang mengharapkannya dan bisa membuatnya bahagia.
Sekian...