Air Mata Dara

Lelaki itu menatap mata gadis yang duduk dihadapannya. Ia menatap mata itu, seakan mencari setitik kejujuran dari kalimat yang baru saja dilontarkan oleh gadis tersebut.

"aku ingin kita putus, Jo..." gadis itu mengulang kalimatnya.

Kali ini lebih tegas. Gadis itu mengulang kalimatnya, seakan berusaha meyakinkan lelaki dihadapannya tersebut.

Gadis itu tahu, kalau kalimat tersebut sudah melukai hati lelaki yang masih menatapnya itu. Bahkan ia juga tahu, kalau kalimat tersebut juga melukai hatinya sendiri.

"kenapa?" lelaki itu mengeluarkan suara juga akhirnya.

"aku lelah, Jo. Sangat lelah...." balas gadis tersebut.

"lelah?" lelaki yang dipanggil Jo tersebut, sedikit mengerutkan dahinya, pertanda ia belum mengerti sepenuhnya.

"iya, Jo. Aku lelah mengejar bayang-bayang mu... Aku lelah berpura-pura kalau semuanya baik-baik saja. Aku lelah untuk selalu berusaha, untuk tetap terlihat sepadan dengan mu..."

"maksud kamu apa sih, Dar?" lelaki itu, Jo, semakin mengerutkan dahinya.

Wanita itu, Dara, berusaha membalas tatapan penuh tanya milik Jo.

"kamu pasti ngerti maksud ku apa, Jo." ucapnya.

"karena kamu dari keluarga miskin? yatim piatu?" Jo berucap, sambil mengalihkan pandangannya menatapi jalanan yang mulai sepi.

"bukankah kita sudah sepakat untuk tidak lagi membahas hal tersebut? Bukankah kita sudah sepakat untuk tidak lagi mempermasalahkannya?" Jo menyambung kalimatnya.

"iya... aku tahu, tapi.... aku sudah tidak sanggup lagi, Jo. Kita terlalu jauh berbeda. Kamu adalah keturunan ningrat yang punya segalanya, sedangkan aku ...." Dara sengaja menggantung kalimatnya. Karena ia tahu, kalimat selanjutnya hanya akan membuat ia semakin sakit.

"aku tidak pernah mempermasalahkan hal tersebut, Dar. Bahkan sejak awal. Tapi kamu yang selalu mengungkitnya..."

"aku percaya hal itu, Jo. Tapi bagaimana dengan keluarga kamu?"

"mereka bisa menerima kamu apa adanya, kok. Buktinya, beberapa kali kamu aku ajak ke rumah, mereka semua menyambut kamu dengan baik.."

"iya... tapi dengan kalimat-kalimat sindiran yang mereka lontarkan, setiap kali aku berkumpul bersama keluarga mu, benar-benar membuat aku terluka, Jo. Belum lagi, kalau mereka semua, terutama kakak-kakak ipar mu, selalu membahas tentang kehidupan mereka yang mewah. Dan aku merasa bukan siapa-siapa diantara mereka.."

Kali ini, Dara menghempaskan napas berat.

Ingatannya kembali memutar semua memory yang terjadi dalam hidupnya tiga tahun belakangan ini.

Jo, lelaki tampan yang ia kenal di kampus, yang mampu merebut hatinya, adalah seorang lelaki kaya, dari keluarga terpandang.

Jo, memiliki dua orang kakak laki-laki yang sudah menikah. Jo merupakan anak bungsu, dari tiga bersaudara, yang semuanya laki-laki.

Sementara Dara hanyalah seorang gadis miskin dan yatim piatu. Selama ini, Dara dibesarkan oleh pamannya yang hanya seorang pedagang keliling. Karena tidak memiliki anak, paman Dara cukup mampu untuk membiayai kuliah Dara. Meski kehidupan mereka sangat pas-pasan.

Setelah sama-sama salin jatuh cinta, Jo dan Dara, memutuskan untuk menjalin hubungan yang serius.

Dara sangat mencintai Jo, begitu juga sebaliknya.

Bahkan bagi Jo, Dara sangatlah istimewa.

Setahun pacaran, Jo mulai berani memeperkenalkan Dara kepada keluarganya. Meski pun ia tahu, tidak akan mudah bagi keluarganya untuk menerima kehadiran Dara yang hanya gadis biasa.

Tapi Jo tetap bertekad untuk meyakinkan keluarganya, terutama orangtuanya, bahwa Dara adalah gadis yang terbaik untuknya.

Tapi bagi Dara, apa yang dilakukan Jo tersebut, justru membuatnya merasa terluka.

Dara merasa, ia tidak bisa berbaur dengan keluarga Jo yang mewah.

Namun selama tiga tahun Dara berusaha untuk tetap bertahan.

Dara berusaha untuk menjaga perasaan Jo dan juga perasaannya sendiri.

Selama tiga tahun, ia berusaha untuk tetap terlihat baik-baik saja. Meskipun ia sadar, keluarga Jo tidak benar-benar menerimanya. Bahkan mereka sering dengan sengaja melontarkan kalimat-kalimat sindiran atas kemiskinannya.

Awalnya Dara mencoba untuk tidak peduli. Dia coba mengabaikannya. Demi Jo. Demi cinta mereka..

Tapi....

"kamu seharusnya sadar diri, Dara. Jo itu gak sebanding sama kamu. Apalagi Jo adalah anak bungsu kami. Kedua kakaknya sudah menikah dengan gadis yang tepat. Dan kami berharap, Jo juga akan mendapatkan gadis yang sepadan dengannya, terutama dari taraf kehidupanya secara ekonomi. Jadi tante harap kamu bisa mengerti, dan bisa meninggalkan Jo secepatnya..."

Begitu kalimat pahit yang diucapkan mama Jo kepada Dara, saat dengan sedikit memaksa, mama Jo meminta Dara untuk menemuinya di sebuah kafe mewah.

Sejak saat itu, Dara selalu berusaha untuk mencari cara agar bisa melepaskan Jo tanpa harus melukainya.

****

"kamu jangan mendramatisir keadaan ini dong, Dar..." kalimat Jo membuat Dara tersentak dari lamunannya.

"aku tidak mendramatisir, Jo. Aku berbicara fakta. Dan fakta itu tidak bisa kita pungkiri..."

"tapi aku sangat mencintai kamu, Dara..."

"aku juga sangat mencintai kamu, Jo. Tapi kita berdua juga tahu, kalau persoalannya bukan disitu. Bukan di cinta kita..."

"lalu apa?" pertanyaan itu terlontar begitu saja dari mulut Jo.

"haruskah aku mengulanginya lagi?" Dara balas bertanya.

Kali ini Jo terdiam. Ia sangat mengerti apa yang Dara maksud.

Tapi mengapa Dara harus menyerah?

Mengapa ia harus memilih untuk putus?

"aku pamit, Jo. Mulai hari ini kita sudah tidak punya hubungan apa-apa lagi. Dan aku harap, kamu jangan lagi menemui ku..."

Setelah berucap demikian, Dara bangkit dari duduknya. Lalu melangkah pergi. Meninggalkan Jo yang masih berusaha mencari jawaban dari semua pertanyaan yang ada dibenaknya saat itu.

****

Dara meraih ponselnya, yang sudah berdering sejak tadi. Ia menatap layar ponsel tersebut, dan melihat sebuah nomor baru sedang melakukan panggilan padanya.

Dengan malas Dara mengangkatnya...

"hallo.." sapa Dara lembut.

"Dara... ini tante, mama Jo, tante harap kami bisa datang sekarang ke rumah sakit, Jo mengalami kecelakaan..." suara itu terdengar serak.

Dara terdiam sejenak. Ia benar-benar shock mendengar kabar tersebut. Hatinya merintih.

"rumah... rumah sakit.... mana...?" ucapnya akhirnya.

"nanti tante serlok, ya..." balas mama Jo pelan.

"iya... tante..." suara Dara sendiri mulai parau.

Dan setengah jam kemudian, Dara tiba di sebuah rumah sakit mewah. Ia disambut mama Jo dengan isak tangis.

"tadi malam Jo mengalami kecelakaan, sempat koma selama beberapa jam, dan pagi tadi ia sadar, tapi yang keluar dari mulutnya hanyalah nama kamu, Dara. Karena itu tante menghubungi mu. Tante berharap, kamu mau membantu Jo untuk sembuh. Setidaknya begitulah yang disarankan oleh dokter..." jelas mama Jo dalam isak tangisnya.

Dara masih tercenung. Terngiang kembali ucapan-ucapan pahit mama Jo yang dilontarkannya pada Dara. Jika mengingat semua itu, enggan rasanya Dara untuk menemui Jo. Karena Dara sudah bertekad untuk pergi selama-lamanya dari hidup Jo.

Tapi mengingat kondisi Jo saat ini, Dara harus menekan kuat-kuat ego-nya sendiri. Biar bagaimana pun, Jo adalah laki-laki baik. Jo adalah lakia-laki yang ia cintai.

Setidaknya, Dara akan berusaha untuk membantu Jo sembuh. Setelah itu, ia akan kembali pada keputusannya dari awal, yaitu pergi meninggalkan Jo untuk selamanya.

****

Seminggu di rumah sakit, keadaan Jo sudah membaik. Tentu saja, Dara selalu hadir disitu, menemani Jo melewati masa kritisnya.

Namun keadaan Jo yang membaik, tidak berlangsung lama. Benturan keras di kepala Jo akibat kecelakaan tersebut, ternyata belum sembuh sepenuhnya.

Di hari ke tujuh Jo dirawat, terjadi pendarahan di otaknya, yang membuat Jo kembali tidak sadarkan diri.

Dokter dan perawat berusaha memberikan pertolongan yang terbaik. Tapi takdir berkata lain, Jo justru menghembuskan napas terakhirnya saat itu.

Isak tangis nan histeris, bergema di ruang rumah sakit tersebut. Semua keluarga berduka. Semuanya. Tak terkecuali Dara.

"aku mohon padamu, Dar. Kamu jangan pergi dari hidupku. Aku sangat membutuhkan mu, aku.... aku tidak bisa hidup tanpa kamu, Dara..."

Terngiang kembali ucapan Jo di ingatan Dara.

Beberapa hari menemani Jo di rumah sakit, mereka memang punya banyak kesempatan untuk menghabiskan waktu berdua.

Dara selalu berusaha untuk menghibur Jo, agar ia bisa lekas sembuh.

Tapi kenyataannya, Jo justru pergi untuk selama-lamanya.

Dan kali ini Dara benar-benar terluka.

Meski pun Dara sudah ikhlas, untuk berpisah dengan Jo, dan tidak berharap untuk bisa memilikinya lagi.

Tapi tidak dengan cara seperti itu. Dara tidak bisa menerimanya. Dara belum siap kehilangan Jo dengan cara seperti itu. Tidak dengan cara seperti itu.

Cara yang membuat Dara terluka jauh lebih dalam, dari cara apa pun, yang ingin ia coba selama ini.

Lalu air mata Dara pun, tak kunjung berhenti menetes, meratapi kepergian Jo.

Ia merasa tidak sanggup lagi menjalani hari-hari selanjutnya, tanpa Jo...

****

Sekian...

Bapak kost

Namaku Nirmala, dan aku seorang mahasiswi tingkat awal. Aku baru berusia 18 tahun saat ini. Aku berasal dari kampung. Selulus dari SMA, aku mendapat beasiswa untuk kuliah di sebuah kampus ternama di kota.

Karena kota tempat aku kuliah berada sangat jauh dari kampung tempat aku tinggal selama ini, aku terpaksa mengambil sebuah kamar kost, untuk tempat aku tinggal selama aku kuliah.

Orangtua ku hanyalah petani biasa di kampung. Penghasilan mereka jauh dari cukup untuk biaya hidup kami sehari-hari. Apa lagi aku masih punya dua orang adik yang saat ini masih bersekolah.

Sebenarnya aku enggan untuk melanjutkan kuliah, namun karena dorongan dari kedua orangtua ku dan juga karena aku mendapatkan beasiswa, aku pun memutuskan untuk tetap kuliah, meski ekonomi keluarga ku sangat kekurangan.

Orangtua ku berusaha keras, untuk dapat mengirimkan uang padaku setiap bulannya, untuk membayar kost dan juga untuk biaya hidup ku sehari-hari. Meski pun untuk biaya kuliah ku sendiri, aku tidak perlu lagi mengeluarkan biaya apa-apa.

Tapi, untuk bisa hidup di kota besar ini, aku tetap saja masih membutuhkan biaya, terutama untuk membayar kost dan untuk makan ku sehari-hari.

Lima bulan pertama, semuanya berjalan dengan lancar, meski aku harus sangat berhemat karena uang yang dikirimkan orangtua ku tidaklah pernah cukup. Biaya hidup di kota besar ini sangat tinggi.

Aku juga sudah berusaha untuk mencari pekerjaan paroh waktu, agar aku bisa meringankan beban orangtua ku. Namun sampai saat ini, tidak ada satu pun pekerjaan yang bisa aku dapatkan.

Memasuki bulan keenam, orangtua ku tidak bisa lagi mengirimkan uang untuk ku, karena pendapatan mereka menurun, dan juga  kedua adik-adik ku sedang butuh biaya banyak untuk sekolah mereka.

Dengan sangat terpaksa, aku benar-benar harus berhemat. Aku hanya bisa makan sekali sehari, itu pun dengan lauk seadanya. Dan sudah dua bulan pula aku menunggak uang kost.

Buk Ros, pemilik kost, sudah beberapa kali mendatangi ku, dan meminta uang kost. Aku berusaha untuk meminta pengertiannya. Meski pun buk Ros, masih memberi aku waktu untuk bisa melunasi uang kost ku tersebut, namun tetap saja, aku harus segera mendapatkan uang untuk bisa melunasinya.

Aku masih tetap berusaha untuk mencari pekerjaan setiap harinya. Namun, sangat sulit untuk mendapatkan pekerjaan paroh waktu di kota besar ini.

Sampai pada suatu waktu, pak Dadang, suami buk Ros, pemilik kost ini, datang menemui ku.

"aku dengar kamu sudah dua bulan belum bayar uang kost.." ucap pak Dadang terdengar santai.

Aku tahu, buk Ros pasti udah cerita pada suaminya, tentang hal tersebut.

Buk Ros dan pak Dadang memang sepasang suami istri yang memiliki usaha kost ini, dan juga sebuah toko harian di depan rumah mereka. Setahu ku, mereka berdua sudah lama menikah, tapi belum mempunyai anak.

Kalau aku perkirakan, pak Dadang mungkin sudah berusia 45 tahun lebih, sedangkan buk Ros sendiri sudah lebih dari 42 tahun usianya. Dan rasanya sudah tidak mungkin lagi bagi mereka untuk bisa memiliki anak.

"iya, pak. Dan saya sudah minta waktu pada buk Ros, mungkin minggu depan akan saya bayar, pak.." ucapku akhirnya, membalas ucapan pak Dadang barusan.

"kamu yakin, bisa melunasi sampai minggu depan?" tanya pak Dadang kemudian.

Kali ini aku terdiam. Karena sebenarnya aku tidak yakin, akan bisa melunasinya hanya dalam waktu seminggu. Apa lagi, orangtua ku sudah memastikan kalau untuk bulan depan, mereka masih belum bisa mengirimkan uang untuk ku.

"pasti saya usahakan, pak.." balasku setengah ragu.

Pak Dadang terdiam sesaat, tatapannya tajam menatapku.

Pak Dadang memang sering menggantikan buk Ros untuk meminta uang kost kepada kami para anak kost, apa bila buk Ros sibuk dengan kegiatan lainnya.

"kalau ternyata kamu tidak bisa melunasinya sampai minggu depan, bagaimana? Apa kamu udah siap untuk di usir dari sini?" ucap pak Dadang selanjutnya.

"tolong jangan usir saya, pak. Orangtua saya lagi banyak kebutuhan lain di kampung, jadi saya mohon pengertiannya.." balasku sedikit menghiba.

"saya bisa mengerti kesulitan kamu. Dan saya juga bisa bantu kamu, kalau kamu mau.. Tapi ada syaratnya.." suara pak Dadang sedikit bergetar.

"maksudnya, pak?" tanyaku heran.

"saya bisa melunasi semua tunggakan kost kamu selama dua bulan ini, tapi kamu harus mau memenuhi keinginan saya.." balas pak Dadang terdengar blak-blakan.

"keinginan bapak?" tanyaku, kening ku sedikit berkerut.

"iya... kamu pasti ngerti maksud saya apa.." balas pak Dadang.

"saya benar-benar tidak mengerti, pak. Apa yang bapak inginkan dari saya?" suara ku sedikit tercekat, aku mulai memahami kemana arah pembicaraan pak Dadang.

"kamu hanya perlu melay4.ni saya satu kali saja, dan semua tunggakan kost kamu saya anggap lunas.." ucap pak Dadang tegas.

Dan aku benar-benar tercekat mendengar semua itu. Sungguh aku tidak pernah menyangka, kalau pak Dadang akan menawarkan hal tersebut padaku.

"maaf, pak. Saya bukan perempuan mur4han seperti itu. Saya masih punya harga diri. Saya belum pernah melakukan hal tersebut seumur hidup saya.." suara ku sedikit parau berucap demikian.

"yah... terserah kamu sih. Saya hanya coba membantu. Lagi pula, kalau mau hidup di kota besar ini, kamu harus mau sedikit berkorban.." balas pak Dadang.

"itu bukan pengerbonan yang sedikit, pak. Itu pengorbanan yang sangat besar. Saya masih suci. Dan saya hanya akan memberikannya pada suami saya kelak..." ucapku lagi.

"lagi pula, apa bapak gak takut, kalau buk Ros tahu, dia pasti akan sangat marah.." lanjutku.

"buk Ros tidak perlu tahu, selama kamu tidak buka mulut. Dan kalau pun kamu coba-coba cerita pada buk Ros, kamu bakal tahu akibatnya. Lagi pula, dia pasti tidak akan percaya akan hal tersebut.." balas pak Dadang lagi.

Kali ini aku hanya bisa terdiam. Aku tidak tahu lagi harus berkata apa. Kalau pun aku cerita pada buk Ros tentang kelakuan pak Dadang tersebut, aku pasti akan dianggap mengada-ngada, demi untuk bisa membayar tunggakan kost.

"oke... saya akan kasih kamu waktu seminggu lagi, untuk memikirkan hal tersebut. Dan jika dalam waktu seminggu, kamu tidak bisa melunasinya, kamu mestinya tahu apa yang harus kamu lakukan.." ucap pak Dadang lagi.

Dan setelah berkata demikian, pak Dadang pun pergi meninggalkan aku sendirian.

Sementara aku sendiri hanya bisa menangis mengingat semua itu.

Mengapa aku harus mengalami semua ini?

Mengapa pilihan hidupku begitu sulit?

Haruskah aku mengorbankan segalanya, hanya untuk bisa bertahan hidup di kota besar ini?

Ah.. aku benar-benar dilema.

****

Seminggu ini, aku mencoba bertahan dengan keadaan uang seadanya. Aku masih berusah untuk mencari pekerjaan. Bahkan aku juga berusaha untuk meminjam uang kepada teman-teman kuliah ku. Tapi mereka tidak bisa membantu banyak.

Aku tidak tahu lagi harus bagaimana. Sepertinya perjalanan hidupku memang harus seperti ini.

Ingin rasanya kau berhenti kuliah, tapi aku takut orangtua kecewa. Aku juga tidak ingin, beasiswa yang diberikan padaku jadi sia-sia.

Dan seminggu pun berlalu, tanpa aku bisa berbuat apa-apa untuk hidupku.

Malam itu, aku termangu sendiri di kamar ku. Meratapi perjalanan hidupku yang malang.

Hingga ku dengar suara ketukan di pintu. Aku mencoba melangkah untuk membuka pintu kamar kost tersebut. Di depan pintu telah berdiri pak Dadang, dengan senyum seringainya.

"udah seminggu, kamu udah punya uangnya?" suara pak Dadang tegas.

"maaf, pak. Saya bisa minta waktu beberapa hari lagi?" aku membalas dengan sedikit memelas.

"sesuai perjanjian kita dari awal, waktu kamu hanya seminggu. Sekarang kamu hanya punya dua pilihan, pergi dari kost ini malam ini juga, atau... kamu bisa terima tawaran saya..." ucap pak Dadang masih dengan suara tegas.

"saya gak mungkin pergi dari kost ini, pak. Saya tidak punya tempat lain di kota ini.." suaraku mulai serak.

"kalau begitu, kamu bisa pilih pilihan kedua.. gampang kan.." balas pak Dadang.

"saya... saya... gak mungkin melakukan hal itu sama pak Dadang, bagaimana kalau buk Ros tahu?" ucapku kemudian.

"udah... kamu tenang aja, buk Ros lagi ke pasar malam, dan dia gak bakal tahu.." balas pak Dadang lagi.

"tapi.. pak...." suara ku terputus.

"kalau kamu gak mau juga gak apa-apa, saya gak bakal maksa, kok. Tapi kamu harus pergi malam ini juga dari sini..." pak Dadang kembali berucap tegas.

Aku terdiam. Hening.

Tiba-tiba pak Dadang masuk dan langsung menutup pintu kamar.

"bapak mau apa?" tanyaku bergetar.

"kamu udah gak punya pilihan lain, Nirmala. Kamu harus menerima tawaran saya. Jika kamu tidak ingin di usir dari kost ini. Dan saya yakin, kamu juga tidak ingin berhenti kuliah, hanya karena tidak bisa membayar kost.." pak Dadang berucap, sambil terus mendekat.

"oke..." jawabku akhirnya, "saya mau, tapi... semua tunggakan kost saya harus lunas. Dan bapak harus memberi saya uang tambahan. Karena saya sangat butuh uang saat ini.." lanjutku.

"uang tidak masalah bagi saya, Nirmala. Kamu tenang aja, kalau kamu mau, kamu bebas kost disini selama apa pun yang kamu mau, dan saya akan beri kamu uang tambahan setiap kali kamu bisa memenuhi keinginan saya tersebut.." balas pak Dadang penuh semangat.

"tapi... saya hanya mau melakukan semua itu, selama saya belum dapat pekerjaan. Jika saya sudah dapat pekerjaan, saya tidak sudi lagi melakukannya. Dan saya akan pindah kost dari sini.." ucapku lagi.

"itu semua terserah kamu, tapi selama kamu belum punya uang untuk bayar kost, kamu harus mau memenuhi keinginan saya, kapan saya menginginkannya. Dan jangan coba-coba ceritakan hal tersebut kepada siapa pun, terutama kepada istri saya..." balas pak Dadang kemudian, dengan nada sedikit mengancam.

Dan setelah berkata demikian, pak Dadang pun mulai melakukan aksinya. Sementara aku hanya bisa terdiam. Terpaku. Dan pasrah.

Aku biarkan semuanya terjadi begitu saja. Meski rasa perih begitu tajam menggores hatiku. Aku menangis. Tapi pak Dadang tak pedulikan hal itu. Ia tetap saja melakukan aksinya.

Hingga akhirnya malam itu, pak Dadang pun berhasil mendapatkan sesuatu yang sangat berharga dalam hidupku. Sesuatu yang berusaha aku pertahankan selama ini.

****

Keesokan harinya, aku terbangun dengan perasaan penuh kesedihan dan rasa penyesalan. Aku menangis lagi, untuk kesekian kalinya. Aku benar-benar tidak berdaya menghadapi semua kenyataan ini.

Pagi itu, aku bertemu buk Ros, dan dia dengan penuh senyum menyapa ku.

"terima kasih ya, Nirmala..." ucapnya pelan.

"terima kasih... untuk apa, buk?" tanyaku ragu.

"terima kasih karena tadi malam kamu sudah melunasi semua tunggakan kost kamu, dan bahkan kamu juga sudah membayarnya untuk bulan depan..." ucap buk Ros menjelaskan.

"oh.." aku hanya membulatkan bibir, dan berusaha untuk tersenyum, walau rasa pedih masih menggores di hatiku.

Pak Dadang memang menepati janjinya. Untuk melunasi semua tunggakan kost ku, dan juga memberi aku uang tambahan. Tapi aku tidak menyangka, kalau ia juga membayar uang kost ku untuk bulan depan.

Namun apa pun itu, begitulah kehidupan yang harus aku jalani saat ini. Kehidupan yang tidak pernah aku inginkan sama sekali.

Aku tidak menyangka, kalau aku akan jadi korban dari bapak kost ku sendiri. Meski pun akhirnya aku tahu, aku bukan satu-satunya yang pernah jadi korban pak Dadang. Ia sudah terbiasa melakukan hal tersebut, kepada anak kost lainnya. Terutama bagi mereka, yang memiliki ekonomi rendah seperti ku.

Aku mencoba menerima semua itu. Mencoba menjalaninya dengan ikhlas. Setidaknya, untuk saat ini, aku tidak perlu lagi memikirkan tentang bagaimana caranya memdapatkan uang untuk membayar kost.

Sejak kejadian itu juga, pak Dadang semakin sering mendatangi ku. Ia semakin sering meminta 'jatah' padaku, terutama saat aku belum juga mendapatkan uang untuk membayar kost.

Berbulan-bulan hal itu terus terjadi. Aku tidak pernah bisa untuk menghindarinya. Aku merasa terjebak dengan semua itu. Orangtua ku memang sudah mulai kembali mengirimkan uang padaku, tapi jumlah uang yang mereka kirim jauh lebih sedikit dari biasanya.

Aku masih mencoba mencari pekerjaan yang layak. Aku masih terus berusaha memperbaiki hidupku. Tapi sepertinya, nasib memang tidak pernah memihak padaku. Dan aku harus menerima semua itu. Meski hatiku hancur karenanya.

Entah sampai kapan semua ini harus aku jalani. Entah sampai kapan, aku hidup seperti ini. Aku benar-benar hanya bisa pasrah.

Aku hanya berharap, aku bisa segera mendapatkan pekerjaan. Aku hanya berharap, semua ini cepat berlalu. Agar aku tidak lagi menjadi korban seorang laki-laki seperti pak Dadang.

Semoga saja, aku kuat menjalani semua ini. Semoga saja, ada keajaiban yang datang padaku, untuk bisa mengubah nasib ku.

Yah... semoga saja...

****

Kisah lainnya :

Anak tiri ku 

Anak tiri ku

Aku lahir dari keluarga yang kurang mampu. Ibu ku hanya seorang buruh cuci keliling, sedangkan ayah ku adalah seorang pengangguran, yang tak punya pekerjaan tetap. Selain itu, ayah ku juga suka berjudi.

Saat usia ku 15 tahun, ayahku akhirnya harus melanjutkan hidupnya di penjara, karena kasus judi dan juga KDRT. Ternyata selama ini, uang hasil kerja keras ibu ku, sebagian besarnya di minta paksa oleh ayahku, yang ia gunakan untuk berjudi.

Dan ternyata selama ini, ibu ku juga kerap mendapatkan perlakuan kasar dari ayah ku, yang membuat ibu ku akhirnya memutuskan untuk melaporkan ayah ku ke pihak berwajib.

Sejak saat itu, aku pun hidup tanpa sosok seorang ayah. Meski pun aku tidak tahu bedanya dimana, antara masih hidup bersama ayah tapi tak pernah diperhatikan, atau hidup tanpa ayah. Semuanya terasa sama bagi ku.

Sejak saat itu pula, ibu ku berusaha sendiri untuk memperbaiki kehidupan ku. Ia berusaha agar aku bisa sekolah dan mendapatkan pendidikan yang layak. Meski aku sendiri tidak menginginkan hal tersebut. Karena aku memang tidak suka sekolah.

Sebagai anak tunggal, aku memang berwatak sedikit keras. Hal itu tidak terlalu mengherankan, karena aku tercipta dari sosok seorang ayah yang hampir tidak punya hati nurani. Dan hal itu pula lah, yang membuat aku jadi tidak punya keinginan untuk sekolah, dan juga tidak punya cita-cita.

Keinginan ku cuma, aku ingin menjadi orang kaya. Karena aku sudah capek hidup miskin. Dan orangtua ku tidak mampu memenuhi keinginan ku tersebut.

Aku sekolah, hanya sampai tamat SMA. Meski pun ibuku bersikeras agar aku bisa kuliah, tapi aku dengan sangat terpaksa harus menolak keinginan ibu tersebut. Bukan apa-apa, aku hanya tidak ingin ibu membuang-buang uangnya, untuk membiayai aku kuliah, sementara aku sendiri tidak menginginkan hal tersebut.

Setelah lulus SMA, aku pun akhirnya terjerumus pada sebuah pergaulan bebas. Aku mulai mengenal dunia hitam. Aku mulai mabuk-mabukan. Aku jadi jarang berada di rumah. Aku lebih sering menghabiskan waktu bersama teman-teman sepergaulan ku.

Sudah teramat sering ibu ku menasehati ku, dan meminta aku untuk segera berubah menjadi laki-laki baik. Tapi aku selalu mengabaikannya. Karena sejujurnya, aku merasa kecewa dengan kehidupan ini.

Aku kecewa, terlahir dari keluarga miskin dan banyak masalah. Aku kecewa punya ayah seorang pengangguran dan penjudi, bahkan akhirnya di penjara. Aku kecewa karena tidak bisa memenuhi keinginan ibu ku.

Hingga pada akhirnya, saat usia ku beranjak 22 tahun, ibu ku pun akhirnya meninggal. Ibu ku meninggal karena sakit jantung yang ia derita. Dan sejak saat itu, dunia ku pun hancur lebur. Kekecewaan ku terhadap hidup semakin mendalam. Aku benci hidup ku.

Ayah ku sudah keluar dari penjara, tapi ia memilih untuk menghilang dari hidup ku. Ia bahkan tidak pernah berusaha untuk menemui ku lagi. Aku memang tak pernah dianggap ada oleh ayah ku.

****

Setelah kepergian ku ibu ku, hidup ku terasa semakin hancur. Aku kehilangan pegangan. Aku merasa sangat kesepian. Aku tidak punya siapa-siapa lagi. Dan hal itu mampu membuat ku merasa putus asa.

Hingga akhirnya aku pun memutuskan untuk pergi merantau ke kota besar. Aku ingin melarikan semua kesedihan ku, dan aku juga ingin melupakan semua kenangan masa lalu ku. Aku harus terbiasa hidup dengan kesendirian ku.

Sesampai di kota, aku mulai melakukan banyak pekerjaaan, dari jadi tukang parkir, buruh angkut, sampai buruh bangunan. Semua itu aku lakukan, hanya untuk bertahan hidup.

Sampai akhirnya aku bertemu mbak Yuni. Seorang wanita yang sudah berusia 40 tahun lebih, dan mempunyai seorang putri yang masih berusia 16 tahun waktu itu.

Mbak Yuni adalah seorang wanita karir yang sukses. Ia memiliki usaha kuliner yang cukup maju, dan sudah mempunyai banyak cabang. Mbak Yuni mengelola usahanya sendiri, karena memang mbak Yuni adalah seorang janda.

Ia bercerai suaminya sejak lebih dari lima tahun yang lalu. Karena suaminya memilih untuk menikah lagi dengan perempuan lain, yang jauh lebih muda darinya. Setidaknya begitulah cerita mbak Yuni pada ku waktu itu.

Aku mengenal mbak Yuni, karena kebetulan aku sempat bekerja di salah satu kafe nya jadi pelayan. Entah mengapa aku bisa menjadi pusat perhatian mbak Yuni waktu itu. Sehingga ia nekat untuk mengajak aku mengobrol berdua dengannya.

Semakian hari, mbak Yuni semakin penuh perhatian padaku. Aku merasa di istimewakan olehnya. Bahkan ia jadi sering mengajak aku makan malam berdua.

Awalnya mbak Yuni hanya sekedar mengobrol biasa dengan ku. Menceritakan semua kisah hidupnya padaku. Aku juga menjadi sangat terbuka padanya. Aku bahkan juga menceritakan perjalanan hidupku pada mbak Yuni. Hal itu justru membuat ia merasa iba padaku.

****

Setahun mengenal mbak Yuni dan menjadi dekat dengannya, membuat hidup ku jadi lebih punya makna. Segala perhatian mbak Yuni padaku, membuat aku merasa berharga. Merasa di penting.

Hingga akhirnya pada suatu kesempatan...

"saya mau ngomong sesuatu yang serius sama kamu, Shapta..." begitu ucap mbak Yuni awalnya, saat kami untuk kesekian kalinya, makan malam berdua di sebuah restoran mewah.

"mbak Yuni mau ngomong apa?" tanya ku setenang mungkin.

"sejak awal melihat kamu, saya sudah merasa tertarik sama kamu, Shapta. Karena itulah saya selalu berusaha untuk mendekati kamu. Saya tahu, saya sudah tidak muda lagi, tapi saya masih punya perasaan. Saya masih seorang wanita normal, yang punya rasa ketertarikan pada laki-laki..." ucap mbak Yuni.

"dan entah mengapa, semakin mengenal kamu, saya semakin suka sama kamu, Shapta. Saya merasa nyaman saat bersama kamu. Dan harus saya akui, kalau saya memang telah jatuh cinta sama kamu." mbak Yuni menarik napas sejenak.

"saya sayang sama kamu, Shapta. Apa kamu mau menjadi suami ku?" mbak Yuni mengakhiri kalimatnya dengan sebuah pertanyaan, yang membuat aku merasa jadi serba salah.

Aku memang terlahir dari keluarga miskin dan juga urakan, tapi aku juga pernah jatuh cinta dan pacaran. Aku pernah pacaran beberapa kali. Namun selama itu, selalu aku yang memulai duluan. Meski pun pada akhirnya, kisah cinta ku selalu kandas.

Tapi kali ini rasanya berbeda. Selain karena mbak Yuni jauh lebih tua dari ku, ia juga seorang janda yang sudah punya satu orang anak. Dan mbak Yuni juga yang memulai semuanya. Bahkan ia yang mengungkapkan perasaannya duluan.

Dan bukan cuma itu, mbak Yuni bukan hanya sekedar mengungkapkan perasaannya padaku, ia juga mengajak untuk menikah dengannya. Tentu saja hal itu, cukup membuat kaget dan merasa tak percaya.

Aku memang merasa nyaman saat bersama mbak Yuni, apa lagi dengan segala perhatiannya padaku selama ini. Mbak Yuni juga masih terlihat cantik dan seksi, meski sudah berusia kepala empat. Dan jujur saja, aku memang sering menjadikan mbak Yuni sebagai salah satu bahan fantasi ku selama ini.

Tapi untuk menikah dengannya, hal itu masih belum pernah terlintas di benak ku. Aku hanya tidak menduga, kalau mbak Yuni akan menawarkan hal tersebut. Aku benar-benar belum siap.

"kamu gak harus jawab sekarang kok, Shapta. Saya tahu, kamu pasti belum siap dengan semua ini..." ucap mbak Yuni kemudian, setelah melihat aku hanya terdiam.

"iya, mbak... Saya... saya masih butuh waktu untuk memikirkannya..." balasku akhirnya, dengan suara sedikit tergagap.

****

Sejak saat itu, aku pun mulai mempertimbangkan hal tersebut. Aku mulai mempertimbangkan semuanya.

Mbak Yuni adalah sosok wanita yang baik dan penuh perhatian. Dan yang paling penting dari semua itu, ia adalah wanita sukses yang kaya raya.

Bukankah sejak dulu, aku memang ingin sekali menjadi orang kaya?

Dan mungkin inilah kesempatan ku.

Karena itulah, akhirnya aku pun memutuskan untuk menerima tawaran mbak Yuni untuk menikah dengannya.

"tapi... apa anak mbak Yuni sudah mengizinkannya?" tanya ku, setelah menyatakan persetujuan ku pada mbak Yuni, saat seminggu kemudian kami bertemu lagi.

"iya... Gladis sudah mengizinkannya. Meski pun awalnya ia merasa keberatan, karena mengingat jarak usia kita yang sangat jauh. Tapi saya berhasil meyakinkannya..." balas mbak Yuni dengan raut bahagianya.

Gladis, anak tunggal mbak Yuni, yang saat itu sudah berusia 17 tahun tersebut, pernah beberapa kali bertemu dengan ku. Sepertinya ia gadis yang baik dan sopan.

"baiklah, mbak. Kalau begitu saya sudah siap untuk menikah dengan mbak Yuni. Mengenai waktu, tempat dan semuanya, saya serahkan sepenuhnya kepada mbak Yuni, karena saya tidak punya keluarga di kota ini.." ucapku kemudian.

"kalau untuk itu, kamu tenang aja, Shapta. Saya sudah mengatur semuanya." balas mbak Yuni tegas.

****

Aku dan mbak Yuni pun akhirnya menikah. Dan setelah menikah aku pun tinggal serumah dengan mereka. Mbak Yuni dan juga anaknya, Gladis.

Setelah menikah, mbak Yuni juga mempercayakan salah satu cabang kafe nya untuk aku kelola. Setidaknya untuk menutupi, kalau aku ini bukan seorang pengangguran.

Kalau ditanya apa aku bahagia? Yah.. aku bahagia.

Hidup di rumah mewah, dengan perabotan mewah. Semuanya sudah di siapkan oleh pembantu. Punya mobil mewah, dan istri yang baik. Bukankah hal itu sudah aku impikan sejak lama?

Meski pun sebagai laki-laki, aku merasa sedikit tidak nyaman, karena semua kemewahan ini bukan milik ku. Aku hanya hidup dalam kemewahan orang lain. Tapi aku coba untuk tidak peduli. Selama aku bisa melakukan apa pun yang aku suka, gak salahnya untuk menjalani semua ini.

Yang penting aku merasa bahagia, dan aku tidak perlu lagi harus bekerja keras hanya untuk bisa bertahan hidup. Aku mendapatkan semua yang aku inginkan. Meski pun di mata orang-orang agak terlihat sedikit aneh, saat aku harus pergi berdua dengan istri ku.

Biar bagaimana pun perbedaan usia kami sangatlah jauh. Tapi sekali lagi, aku pun mengabaikannya.

****

Setahun pernikahan berjalan. Semuanya berjalan dengan baik-baik saja. Hubungan ku dengan mbak Yuni, istri ku, terjalin dengan baik. Tidak pernah ada masalah yang berarti diantara kami. Mbak Yuni juga masih mampu menjalankan perannya sebagai seorang istri. Aku juga berusaha untuk menjadi suami yang baik baginya.

Sekarang Gladis, anak tiriku, sudah berusia 18 tahun. Ia juga sudah mulai kuliah. Dan ia juga tumbuh menjadi seorang gadis yang cantik.

Sebagai seorang laki-laki muda, yang masih berusia 25 tahun, aku masih punya jiwa muda yang penuh gejolak. Aku masih punya rasa ketertarikan pada gadis yang lebih muda dari ku. Dan terkadang aku tidak bisa menutupi hal tersebut.

Gladis, yang hampir setiap hari bertemu dengan ku, salah satu gadis yang berhasil menyentuh jiwa muda ku. Aku mulai merasa kagum dengannya. Aku mulai sering memikirkannya. Dan tanpa aku sadari, aku telah jatuh cinta padanya.

Yah... perasaan itu tumbuh begitu saja, tanpa aku rencanakan dan tanpa bisa aku cegah. Aku jatuh cinta pada Gladis, anak tiri ku.

Sekuat mungkin aku berusaha memendam semua perasaan itu. Aku tidak ingin terlarut di dalamnya. Biar bagaimana pun, Gladis adalah anak tiri ku. Aku tidak mungkin bisa memilikinya.

Tapi... takdir ternyata berkata lain.

Gladis, yang sejak remaja sudah kehilangan sosok seorang ayah, sudah kehilangan kasih sayang seorang ayah, dan sudah kehilangan sosok laki-laki panutan dalam hidupnya. Membuat ia cukup membuka diri kepada ku.

Kami menjadi cepat dekat dan akrab. Dan sebagai seorang ayah, aku juga berusaha untuk memberi perhatian dan kasih sayang kepada Gladis.

Semua perhatian dan kasih sayang yang aku berikan kepada Gladis, ternyata menjadi bumerang dalam hubungan kami berdua. Gladis jadi salah paham akan semua itu. Ia mulai merasa nyaman menghabiskan waktu bersama ku. Ia selalu berusaha untuk mendapatkan perhatian dari ku.

Karena sering menghabiskan waktu bersama, dan sama-sama merasa tertarik. Hal yang paling aku takutkan itu pun akhirnya terjadi. Aku dan Gladis saling jatuh cinta. Kami juga sudah saling terbuka akan perasaan kami masing-masing.

Sampai akhirnya, kami pun sepakat untuk menjalin hubungan diam-diam. Bahkan lebih parahnya lagi, aku pun berhasil merenggut sesuatu yang paling berharga milik Gladis. Kami melakukannya atas dasar suka sama suka. Dan hubungan kami sudah sangat melampaui batas.

****

Awalnya semua berjalan baik-baik saja. Kami masih mampu menyimpan semua rahasia itu. Kami masih mampu bertemu secara diam-diam, tanpa sepengetahun siapa pun, terutama mbak Yuni.

Apa lagi mbak Yuni, orang yang sangat sibuk, membuat ia hampir tidak punya waktu, untuk mencurigai hubungan ku dan Gladis. Hal itu membuat kami jadi semakin merasa leluasa, untuk melakukannya.

Tapi... sepandai apa pun tupai melompat, pada akhirnya akan jatuh juga.

Begitulah yang terjadi diantara kami. Sepandai apa pun aku dan Gladis menyembunyikan hubungan kami, pada akhirnya ketahuan juga.

Yah... mbak Yuni, istri ku, akhirnya menyadari akan kedekatan kami yang sudah di batas kewajaran. Karena merasa sudah mulai curiga, mbak Yuni pun diam-diam mulai meminta salah seorang orang kepercayaannya, untuk mengawasi kami. Sampai akhirnya kami benar-benar ketahuan, dengan segala bukti yang tidak bisa kami pungkiri lagi.

Mbak Yuni tentu saja sangat marah. Ia mengusirku dari rumahnya.

Aku dengan sangat terpaksa, harus pergi dari rumah tersebut. Aku tidak bisa membela diri lagi. Aku memang bersalah. Meski pun aku melakukan semua itu, karena Gladis juga memberikan kesempatan padaku.

Namun biar bagaimana pun, apa yang aku lakukan tersebut, bukanlah sesuatu yang bisa di maklumi. Apa yang kami lakukan, jelas adalah sebuah kesalahan besar, yang tidak bisa lagi di maafkan.

Kini aku harus menerima akibat dari semua perbuatan ku tersebut. Aku harus kehilangan Gladis, aku harus kehilangan istriku, dan aku juga harus kehilangan kehidupan mewah yang beberapa tahun ini telah aku nikmati.

Kini aku harus memulai hidupku yang baru. Meski aku tidak tahu harus memulainya dari mana. Aku kembali kehilangan semangat. Aku kembali kehilangan tujuan. Aku benar-benar tidak tahu lagi, harus melakukan apa.

Aku hanya berharap, semoga ke depannya aku bisa jadi lebih baik. Semoga aku tidak lagi melakukan kesalahan yang sama.

Yah... semoga saja..

****

Kisah lainnya :

Bersama sopir truck gagah

Bersama sopir truck gagah

Aku seorang janda, yang sudah punya dua orang anak. Usia ku sekarang masih 32 tahun. Dan aku baru saja bercerai dengan suami ku. Padahal pernikahan kami sudah berjalan selama kurang lebih 10 tahun.

Aku memang menikah di usia yang masih cukup muda, masih 22 tahun usia ku saat itu. Tapi aku dan mas Radit, mantan suami ku tersebut, sudah pacaran lebih dari tiga tahun, sebelum akhirnya kami memutuskan untuk menikah. Karena mas Radit sendiri, saat itu, sudah berusaia 27 tahun, dan ia juga sudah punya pekerjaan tetap.

Kami memang menikah atas dasar saling cinta. Dan pernikahan kami juga berjalan dengan sangat baik, awalnya. Semua terasa begitu indah bagi ku. Rumah tangga kami terkesan cukup bahagia. Meski pun secara ekonomi, kehidupan kami boleh dibilang cukup mapan.

Mas Radit yang memang sudah punya pekerjaan tetap sejak lama, memang punya penghasilan yang lebih dari cukup untuk kehidupan kami sehari-hari. Bahkan setelah bertahun-tahun menikah, kami juga sudah mampu membangun rumah sendiri.

Kami memang tinggal di kampung selama ini. Namun kami tetap merasa bahagia. Hari-hari yang kami lalui, terasa begitu indah dan penuh warna. Apa lagi semenjak keluarga kecil kami dilengkapi dengan kehadiran dua orang buah hati kami.

Tapi ternyata semua keindahan itu hanya mampu bertahan selama 10 tahun, karena pada akhirnya, aku pun mengetahui kalau suami ku sudah menjalin hubungan lagi dengan perempuan lain, yang jauh lebih muda dari ku.

Tentu saja, aku merasa patah hati menyadari hal tersebut. Mas Radit yang aku sangka adalah laki-laki setia selama ini, ternyata diam-diam sudah punya wanita idaman lain dalam hidupnya. Dan hal itu baru aku ketahui, setelah lebih dari dua tahun mereka menjalin hubungan dibelakang ku.

Aku kecewa, marah, depresi dan hampir gila karenanya. Aku tak sanggup menerima kenyataan tersebut. Semua itu sungguh sangat berat bagi ku. Apa lagi, kedua anak-anak ku masih cukup kecil. Anak pertama kami masih berusia 9 tahun, sedangkan si bungsu masih 4 tahun usianya.

Namun karena anak-anak ku juga, aku terpaksa harus kuat menghadapi itu semua. Suami ku lebih memilih wanita simpanannya, dari pada harus mempertahankan rumah tangga kami. Ia memilih untuk pergi bersama perempuan tersebut, serta meninggalkan aku dan anak-anak.

Kekecewaan ku begitu dalam. Aku merasa semuanya begitu menyakitkan. Apa lagi selama ini, aku memang tidak bekerja sama sekali, selain menjalankan tugas ku sebagai seorang ibu rumah tangga. Karena itu, aku menjadi sedikit linglung, ketika akhirnya mas Radit pergi.

Tapi, sekali lagi, demi anak-anak, aku memang harus tegar. Aku tidak berlarut-larut dalam kesedihan ku. Aku harus bisa bangkit kembali. Aku harus bisa menerima kenyataan tersebut. Kenyataan bahwa suami ku tidak lagi bersama ku.

Tidak mudah bagi ku untuk bisa pulih kembali. Aku masih sering menangis, bila mengingat semua itu. Namun kebersamaan ku dengan kedua buah hati ku, cukup membuat aku selalu merasa terhibur. Meski pun mereka berdua, juga merasa sangat kehilangan ayahnya.

Dengan perlahan, aku pun mencoba untuk bangkit kembali. Membasuh luka-luka ku sendiri. Melupakan semua yang pernah terjadi. Aku harus bisa pulih, setidaknya demi anak-anak ku.

Karena itu, aku pun memutuskan untuk menjual rumah kami, tanpa harus meminta persetujuan mas Radit, mantan suami ku tersebut. Aku ingin melupakan semua kenangan yang pernah terjadi di rumah tersebut. Aku ingin memulai hidup ku yang baru.

Setelah rumah itu berhasil terjual, aku pun memutuskan untuk pindah dari desa ku. Aku membeli sebidang tanah yang berada tepat di pinggir jalan lintas antar provinsi. Aku berencana untuk membuka usaha warung makan di sana. Karena hanya itu satu-satunya keahlian yang aku punya.

Beruntunglah uang hasil penjualan rumah cukup untuk aku jadikan modal untuk membuka usaha tersebut. Meski pu kedua orangtua ku dan beberapa orang keluarga ku, tidak setuju keputusan ku tersebut. Tapi aku berhasil meyakinkan mereka, kalau itu adalah jalan yang terbaik untuk aku dan anak-anak.

****

Berbulan-bulan berlalu, semenjak aku akhirnya berhasil membuka sebuah warung makan sederhana di pinggir jalan lintas antar provinsi tersebut. Semenjak aku memutuskan untuk pindah dari desa ku.

Meski pun awalnya hal itu tidak mudah bagi ku. Apa lagi kedua anak-anak ku juga harus beradaptasi lagi dengan lingkungannya yang baru. Beruntunglah di tempat tinggal kami yang baru tersebut, terdapat sebuah sekolah yang jaraknya tidak terlalu jauh dari rumah kami.

Hal itu cukup membantu aku dalam menjalankan usaha warung makan ku. Karena aku tidak harus repot-repot mengantar dan menjemput anak-anak ku ke sekolah. Sehingga aku bisa membuka warung ku dari pagi sampai malam.

Aku juga membangun sebuah rumah kecil di belakang warung kami, untuk tempat kami tinggal. Rumah itu terhubung langsung dengan warung di depannya. Sehingga lebih mempermudah segala pekerjaan ku. Baik pekerjaan rumah dan juga usaha warung makan ku.

Awalnya memang hampir tidak ada orang yang mampir di warung kami. Karena mungkin mereka belum menyadari akan keberadaan warung tersebut. Namun setelah beberapa bulan berjalan, warung makan ku pun mulai sedikit ramai. Banyak para sopir bus dan juga para sopir truck yang akhirnya sering singgah di warung ku, untuk beristirahat dan juga untuk makan-makan.

Bukan hanya para sopir bus atau pun sopir truck yang sering singgah untuk makan di warung ku, tapi juga beberapa kendaraan pribadi. Bahkan masyarakat yang tinggal di daerah tersebut, juga banyak berbelanja di warung makan ku itu.

Dengan perlahan, warung ku pun mulai berkembang. Aku juga sudah sanggup mempekerjakan dua orang pelayan, untuk membantu ku menjalankan usaha warung makan ku tersebut. Warung makan ku itu pun sudah mulai dikenal, terutama dikalangan para sopir truck.

Aku menyadari, sebagian besar dari mereka yang suka makan di warung makan ku itu, adalah karena mereka tahu, kalau aku ini merupakan seorang janda. Hal itu cukup menjadi salah satu alasan, mengapa para sopir truck jadi rajin singgah di warung ku.

Tapi aku coba mengabaikan hal tersebut. Aku berusaha tetap bersikap biasa saja akan hal itu. Meski pun tak jarang dari beberapa orang sopir truck itu, sering menggoda ku. Sering melemparkan pujian-pujian yang kadang aku sendiri sedikit geli mendengarnya.

"hei dek Mar yang cantik.. abang pesan seperti biasa yaa..." celetuk mereka. Atau..

"aduh... dek Mar ini semakin hari semakin cantik aja ya..." ucap mereka.

Kalimat-kalimat seperti memang hampir setiap hari aku dengar dari para sopir truck tersebut.

Aku tahu, kalau sebagian besar dari para sopir truck yang sering mampir di warung makan ku tersebut, mereka sudah menikah dan sudah punya anak. Karena rata-rata mereka semua sudah berusia diatas 40 tahun. Bahkan ada yang usianya sudah lebih dari 50 tahun.

Aku juga tahu, mereka semua hanya sekedar menggoda ku, karena mereka tahu kalau aku ini seorang janda. Mungkin hal itu seperti sebuah hiburan tersendiri bagi mereka. Apa lagi para sopir truck tersebut, memang sangat jarang pulang ke rumah. Mereka sangat jarang bertemu istri dan anak-anak mereka.

Aku mencoba menganggap hal tersebut, sebagai sesuatu yang biasa. Selama mereka tetap bisa menjaga sikap mereka dengan baik, tidak berusaha untuk bertindak macam-macam padaku, yah ... menurut ku apa salahnya. Toh mereka semua itu adalah pelanggan ku. Jadi aku harus tetap bersikap baik dan ramah kepada mereka semua.

****

Hari-hari berlalu, bulan pun berganti bulan, hingga hampir dua tahun, aku menjalani kehidupan seperti itu. Entahlah... entah aku bahagia dengan semua itu atau tidak. Aku tidak tahu pasti. Aku hanya mencoba untuk bertahan hidup, dan berusaha untuk memenuhi semua kebutuhan anak-anak ku.

Kedua anak-anak ku adalah prioritas bagi ku saat ini. Aku harus bisa membuat mereka hidup yang layak. Aku tidak ingin mereka merasa kekurangan apa pun, baik itu kekurang kasih sayang maupun kekurang materi. Karena hingga saat ini, mas Radit, mantan suami ku tersebut, ayah dari anak-anakku itu, tidak pernah sama sekali mengirimkan uang kepada mereka apa lagi menjenguk mereka, anak-anaknya.

Terakhir aku dengar kabar, kalau mas Radit sudah punya anak lagi bersama istri barunya. Hal itu tentu saja, membuat ia tidak lagi memikirkan kedua anak-anak ku. Meski pun sejujurnya, aku juga merasa senang akan hal tersebut. Karena dengan begitu, kedua anak-anak ku akan sepenuhnya menjadi milik ku.

Aku juga mulai merasa nyaman dengan semua ini. Aku mulai terbiasa hidup dengan kesendirian ku, tanpa seorang suami di samping ku. Hidup ku terasa lebih bebas dan tanpa beban. Aku merasa lebih baik dari kehidupan ku sebelumnya. Apa lagi sekarang kedua anak-anak ku juga sudah mulai tumbuh besar. Mereka juga terlihat sangat bahagia.

Sampai akhirnya, aku bertemu dan berkenalan dengan mas Jaka. Ia seorang sopir truck, yang baru-baru ini sering mampir di warung makan ku. Sebelumnya aku belum pernah melihat mas Jaka mampir di warung ku ini.

Ada beberapa hal yang membuat aku jadi merasa sedikit tertarik dengan kehadiran mas Jaka akhir-akhir ini di warung ku. Bukan saja karena ia memang memiliki wajah yang diatas rata-rata, apa lagi jika hanya dibandingkan dengan para sopir truck lain yang sering singgah di warung ku.

Mas Jaka memiliki raut wajah yang tampan, dengan postur tubuh yang cukup kekar serta berotot. Berbeda dengan sopir truck lainnya, yang kebanyakan berperut buncit, mas Jaka justru memiliki perut yang terlihat sixpack.

Dan bukan hanya itu, jika para sopir lain sering menggoda ku, tapi mas Jaka justru terlihat sangat pendiam. Namun ia tetap ramah dan penuh senyum. Dan senyumnya juga manis. Entah mengapa semua itu, benar-benar telah mampu menarik perhatian ku.

Meski pun aku yakin, kalau mas Jaka pasti sudah menikah, karena kalau dilihat dari tampangnya, ia mungkin sudah berusia 35 atau 37 tahun. Dan dengan semua pesonanya itu, tidak mungkin ia belum menikah, karena pasti sangat banyak perempuan yang mau dengannya.

Setidaknya begitulah penilaian ku terhadap mas Jaka, lelaki tampan si sopir truck yang baru aku kenal itu.

****

Berbulan-bulan aku mengenal mas Jaka, kami juga sudah sering ngobrol. Meski pun terlihat pendiam, mas Jaka orang yang asyik untuk diajak ngobrol. Ia sangat ramah dan penuh perhatian.

Hal itu justru membuat rasa tertarikku kini berubah menjadi rasa kagum. Aku jadi merasa sedikit penasaran dengan mas Jaka. Aku jadi ingin mengenalnya lebih dekat lagi.

"jadi.. mas Jaka memang sudah menikah ya?" tanya ku pada suatu malam, dalam usaha ku untuk lebih mengenal mas Jaka.

"hmmm... lebih tepatnya sih pernah menikah..." balas mas Jaka.

"maksudnya, mas?" tanya ku lagi.

"yah... sama seperti kamu, aku memang pernah menikah, tapi sekarang sudah tidak lagi..." balas mas Jaka, terdengar santai.

"jadi mas Jaka ini duda toh?" ucapku menegaskan.

"begitulah kira-kira... " balas mas Jaka.

"sudah berapa lama?" tanya ku sekedar ingin tahu.

"belum lama sih.. baru beberapa bulan... dan aku juga sudah punya satu orang anak..." jelas mas Jaka, seakan memberi aku peringatan akan statusnya saat ini.

"oh.." aku hanya bisa membulatkan bibir mendengar hal tersebut.

Dan entah mengapa, aku merasa senang mendengar hal tersebut. Setidaknya, kalau mas Jaka seorang duda, itu artinya aku tidak perlu harus merasa bersalah, jika aku ingin lebih dekat dengan mas Jaka. Karena kami sama-sama sudah tidak punya pasangan lagi.

Dan sejak itu pula, aku dan mas Jaka pun semakin akrab dan dekat. Mas Jaka juga semakin sering mampir di warung ku. Kami juga jadi semakin sering ngobrol. Dan entah mengapa juga, aku merasa bahagia akan hal tersebut.

Dari yang tadinya hanya rasa tertarik, kemudian berubah menjadi rasa kagum, dan kini rasa itu kembali berkembang menjadi rasa suka. Bahkan mungkin sudah menjadi rasa cinta, dan juga rasa sayang.

Yah.. suka tidak suka, sadar tidak sadar, aku memang telah jatuh cinta kepada mas Jaka. Segala perhatiannya, sikapnya yang ramah dan lembut, benar-benar telah membuat aku merasa terlena. Aku terbuai dalam gelora asmara. Aku dilanda kasmaran. Untuk yang kedua kalinya dalam hidup ku.

Meski pun aku belum tahu pasti, apa yang dirasakan oleh mas Jaka terhadap ku saat ini. Ia memang selalu baik padaku, bahkan juga kepada anak-anak ku. Ia selalu perhatian padaku. Ia juga sering membantu aku berjualan. Meski hal itu, membuat para sopir lain terlihat cemburu. Tapi mereka juga cukup sadar diri, mas Jaka bukan saingan yang sebanding bagi mereka.

***

"aku mau ngomong sesuatu sama kamu, Mar..." ucap mas Jaka pada suatu malam. Saat itu warung memang sudah tutup, dan kami mengobrol di ruang tamu rumahku. Anak-anak juga sudah pada tidur.

"mau ngomong apa sih, mas? Serius amat..." balas ku dengan nada sedikit menggoda.

"sebenarnya... aku suka sama kamu, Mar... Aku jatuh cinta sama kamu, sudah sejak lama... Maukah kamu menjadi pacarku?" ucap mas Jaka terkesan sangat blak-blakan.

Aku yang memang juga telah jatuh cinta pada mas Jaka, tentu saja merasa sangat bahagia mendengar hal tersebut. Karena itu, aku pun tersenyum sambil menatap wajah tampan milik mas Jaka.

"kok senyum gitu sih? Jawab dong..." mas Jaka berucap lagi.

"iya.. aku mau, mas. Karena aku juga cinta sama mas Jaka..." ucapku akhirnya.

Dan mas Jaka pun ikut tersenyum mendengar hal tersebut.

"kamu serius?" tanyanya, seperti berusaha meyakinkan dirinya sendiri, kalau ia tidak salah dengar.

"iya, aku serius.." balasku pelan.

"jadi mulai malam ini, kita pacaran?" tanya mas Jaka lagi.

"iya, mas.. kan sudah cukup jelas, kalau kita memang saling cinta... gak perlu jadi seperti anak ABG lagi dong..." balasku lembut.

"kalau gitu, aku boleh... cyum kamu?" mas Jaka berucap kembali.

"hmmm... gimana ya? Boleh gak ya..." aku sengaja menjawab dengan suara sedikit manja.

"ayolah... kita kita sudah resmi pacaran..." ucap mas Jaka kemudian.

"iya boleh..." balasku lagi, masih dengan suara manja.

Dan tanpa menunggu lama, mas Jaka pun mulai mendekatkan wajahnya. Pelan namun pasti, semua itu pun akhirnya terjadi.

Mungkin karena kami sama-sama sudah lama tidak merasakan hal tersebut, sehingga kami lebih mudah terbawa suasana. Dan dengan perlahan, kami mulai terhanyut dalam buaian keindahan sebuah cinta.

Hingga akhirnya malam itu, untuk pertama kalinya, setelah dua tahun aku bercerai dari mantan suami ku, aku pun bisa merasakan hal itu lagi. Aku bisa merasakan keindahan itu kembali, setelah sekian lama.

Aku merasa bahagia. Mas Jaka sangat berpengalaman. Dan aku juga ingin membuat mas Jaka tahu, kalau aku juga sudah berpengalaman dalam hal tersebut. Hingga kami sama-sama berusaha, untuk saling memberi dan menerima.

Sampai akhirnya setelah pendakian yang cukup panjang, kami pun sama-sama terhempas dalam lautan penuh cinta. Lalu kami sama-sama tersenyum penuh arti.

****

Sejak malam itu, aku dan mas Jaka memang telah resmi berpacaran. Kami jadi semakin dekat. Mas Jaka juga jadi semakin sering mampir di warung ku. Bahkan ia juga ikut membantu ku berjualan.

Mas Jaka juga cukup pandai mengambil hati anak-anak ku. Ia bisa menjadi akrab bersama anak-anak ku dengan mudah. Kedua anak ku juga terlihat sangat menyukai mas Jaka. Aku semakin merasa bahagia dengan semua itu.

Aku juga semakin merasa yakin, kalau mas Jaka adalah laki-laki yang tepat untuk ku saat ini.

Hingga berbulan-bulan berlalu. Hubungan kami juga terjalin dengan indah. Cinta ku kepada mas Jaka juga tumbuh semakin besar, dari hari ke hari. Rasanya aku tidak ingin melepaskan laki-laki itu lagi.

"jadi kapan mas Jaka akan melamar ku?" tanyaku pada suatu malam, seperti biasa.

"kamu sabar ya... aku masih butuh waktu... kita juga belum lama pacaran kan... jadi yah... kita tunggu aja beberapa bulan lagi..." balas mas Jaka.

"emangnya mau menunggu apa lagi sih, mas? Kan kita sudah sama-sama single. Kita juga bukan anak remaja lagi. Jadi...  aku rasa kita memang harus cepat-cepat nikah, mas. Sebelum orang-orang semakin curiga dengan hubungan kita..." ucapku kemudian.

"iya.. kita pasti akan nikah, kok. Tapi... gak harus sekarang... kamu sabar aja dulu..." balas mas Jaka, sedikit kurang yakin dengan ucapannya sendiri.

"oke... aku akan sabar.... tapi... aku juga tidak bisa menunggu lebih lama lagi... Aku butuh kepastian, mas." ucapku akhirnya.

****

Dan sang waktu pun terus berputar, tanpa bisa dicegah atau pun di pacu. Sudah lebih dari setahun aku dan mas Jaka berpacaran. Tapi mas Jaka belum juga berencana untuk melamar ku. Meski sudah berkali-kali aku mempertanyakan hal tersebut. Tapi jawabannya selalu sama. Dia selalu meminta aku untuk sabar.

Awalnya aku mencoba untuk sabar. Aku mencoba untuk terus mengerti. Walau pun aku tidak tahu pasti alasan apa sebenarnya, yang membuat mas Jaka belum mau menikah dengan ku.

Sampai pada suatu saat, aku akhirnya tahu, kalau mas Jaka ternyata sudah kembali lagi bersama mantan istrinya. Hal itu aku ketahui, dari cerita seorang teman sopir mas Jaka, yang cukup kenal dan dekat dengan mas Jaka.

Mulanya aku tidak percaya, tapi lelaki itu mampu meyakinkan ku, kalau apa yang ia ceritakan adalah benar adanya. Ia juga tidak mungkin berbohong.

Karena itu, aku pun memberanikan diri untuk mempertanyakan hal tersebut kepada mas Jaka.

"apa benar, kalau mas Jaka sudah rujuk lagi sama istri mas Jaka?" tanyaku ketus.

"kamu tahu hal itu dari mana?" mas Jaka justru balik bertanya.

"tidak penting aku tahu nya dari mana. Yang penting mas jawab aja pertanyaan ku, benar atau tidak.." ucapku lagi, masih terdengar ketus.

"oke... sejujurnya, iya.... aku memang sudah kembali lagi bersama istri ku, karena orangtuaku dan juga demi anak ku..." balas mas Jaka akhirnya.

Untuk sesaat aku terdiam. Meski pun aku sudah tahu pasti hal tersebut, namun tetap saja hal itu terasa menyakitkan, ketika aku harus mendengarnya langsung dari mulut mas Jaka.

"Tapi... aku sudah tidak mencintai istri ku lagi.. Aku hanya mencintai kamu, Mar.." tiba-tiba mas Jaka berucap kembali.

"gak penting kamu masih mencintainya atau tidak, mas. Tapi yang pasti saat ini, status kamu adalah suami orang. Dan aku tidak ingin menjalin hubungan apa pun dengan suami orang. Aku tidak ingin menjadi orang ketiga dalam pernikahan kalian, mas.." ucapku membalas.

"jadi lebih baik sekarang.. kita akhiri saja semua ini. Mulai sekarang, lebih baik mas Jaka jangan pernah menemui ku lagi.." aku melanjutkan.

"kamu tidak mencintai ku, Mar?" mas Jaka bertanya demikian, entah untuk tujuan apa.

"aku sangat mencintai kamu, mas. Tapi aku tidak ingin berpacaran dengan orang yang sudah menikah. Aku tidak ingin menyakiti hati istri kamu, mas. Biar bagaimana pun, aku pernah berada di posisi tersebut. Aku pernah merasakan betapa sakitnya, ketika aku tahu, kalau suami ku punya wanita lain di luar sana.." balas ku tajam.

"aku sangat mencintai kamu, Mar. Aku tak ingin kita pisah. Tapi .. aku juga tidak mungkin menceraikan istri ku lagi... Jadi.. aku mohon, Mar. jangan minta aku pergi dari hidup mu..." suara mas Jaka sedikit menghiba.

"yah... gak bisa gitu dong, mas. Itu egois namanya. Mas harus tetap memilih. Dan selama mas belum bisa menentukan pilihan, lebih baik kita jangan pernah bertemu lagi..." balasku berusaha tegas.

****

Dan sejak malam itu, mas Jaka tidak pernah lagi singgah di warung ku. Ia benar-benar pergi. Dan entah mengapa, aku merasa kecewa. Untuk kedua kalinya dalam hidupku, aku harus dikecewakan oleh orang yang aku cintai. Dan hal itu terasa sangat menyakitkan.

Padahal aku sudah terlanjur mencintai mas Jaka. Aku sudah terlanjur berharap banyak padanya. Aku terlanjur sudah menyerahkan segalanya untuknya. Tapi... pada akhirnya, mas Jaka lebih memilih untuk kembali bersama istrinya lagi.

Aku kecewa, aku merasa terluka. Aku merasa, mas Jaka hanya sekedar memanfaatkan ku selama ini. Aku hanya dijadikannya sebagai pelarian, untuk mengisi kekosongannya. Dan saat ia sudah tidak membutuhkan ku lagi, aku pun dicampakkannya.

Kini, aku kembali dengan kesendirian ku. Aku kembali dengan semua rasa sepi ku.

Namun, mungkin memang lebih baik seperti ini. Mungkin memang lebih baik, aku hidup sendiri. Tanpa ada seorang laki-laki pun dalam hidupku. Karena kehadiran mereka, hanya akan membuat luka di dalam hatiku. Aku tidak ingin lagi mengenal laki-laki mana pun.

Semoga saja, aku mampu menjalani semua ini. Semoga saja, tidak ada laki-laki yang berusaha untuk mendekati dan memanfaatkan kesendirian ku.

Yah... semoga saja...

******

Ternyata suami ku punya pria idaman lain

Ini adalah kisah ku. Kisah nyata yang aku alami dalam perjalanan hidup ku. Sebuah kisah hidup yang sebenarnya enggan untuk aku ceritakan kepada siapa pun. Tapi, aku juga butuh tempat untuk mencurahkan ini semua. Dan disinilah tempat aku menceritakannya.

Nama ku Ayu. Sebut aja begitu.

Aku berasal dari kampung. Aku anak sulung dari lima bersaudara. Orangtua ku hanyalah petani biasa di kampung. Hidup kami secara ekonomi memang cukup pas-pasan. Karena itu, aku hanya bisa sekolah sampai lulus SMA.

Setelah lulus SMA, aku pun meminta izin kepada orangtua ku, pergi merantau ke kota untuk mencari pekerjaan. Dan dengan berat hati, orangtua ku pun memberi aku izin. Karena biar bagaimana pun, mereka tidak punya alasan, membiarkan aku tetap berada di kampung.

Singkat cerita, aku pun akhirnya pergi merantau ke kota, saat usia ku masih 19 tahun waktu itu. Aku memang punya kenalan di kota, namanya tante Dewi. Dia masih ada hubungan keluarga dengan ibu ku.

Tante Dewi sudah menikah dan juga sudah punya dua orang anak. Suaminya seorang karyawan di sebuah bank swasta. Hidup mereka cukup mapan. Karena itu tante Dewi mengizinkan aku untuk tinggal sementara di rumahnya, setidaknya sampai aku mendapatkan pekerjaan.

Hingga dua bulan kemudian, aku pun diterima bekerja di sebuah mini market. Aku bekerja sebagai kasir di mini market tersebut, dengan sistem kerja di bagi secara shift. Kadang aku masuk kerja pagi, pulang sore, atau masuk kerja sore pulang malam.

Dan karena sudah bekerja, aku pun memutuskan untuk pindah dari rumah tante Dewi. Aku tinggal di sebuah kost yang berada tidak terlalu jauh dari mini market tempat aku bekerja. Setidaknya bisa aku tempuh dengan hanya berjalan kaki.

****

Bertahun-tahun aku bekerja di mini market tersebut. Semua berjalan dengan sangat baik. Aku bisa mengirimkan sebagian gaji ku kepada orangtua ku di kampung, untuk membantu biaya sekolah adik-adik ku, dan juga untuk biaya hidup mereka sehari-hari.

Kehidupan ku berjalan dengan rutinitas yang sama hampir setiap harinya. Aku mencoba menikmati itu semua. Aku berusaha bekerja sebaik-baiknya, agar aku bisa bertahan hidup di kota besar ini.

Sampai pada suatu kesempatan, aku bertemu dan berkenalan dengan seorang laki-laki. Namanya mas Danang. Kami bertemu dan berkenalan, karena mas Danang sering berbelanja di minimarket tempat aku bekerja.

Mas Danang seorang laki-laki yang usianya terpaut cukup jauh dari ku. Saat itu aku masih berusia 23 tahun, sedangkan mas Danang sudah berusia 30 tahun lebih.

Awalnya, aku mengenal mas Danang hanya sebagai pelanggan biasa. Namun lama kelamaan, kami menjadi akrab dan dekat. Mas Danang sangat baik padaku. Ia penuh perhatian.

Semakin lama mengenal mas Danang, aku semakin merasa suka padanya. Aku merasa nyaman saat bersamanya. Apa lagi secara fisik, mas Danang memang cukup menarik. Wajahnya lumayan tampan, dengan postur tubuh yang gagah dan terlihat kekar.

Sampai akhirnya, mas Danang pun mengungkapkan perasaannya padaku. Ia mengaku kalau ia telah jatuh cinta padaku, dan ingin menjalin hubungan yang serius dengan ku.

Dengan perasaan bahagia, aku pun menerima cinta mas Danang waktu itu. Aku menerimanya, karena aku juga mencintainya. Dan kami pun akhirnya berpacaran.

Tak sampai tiga bulan pacaran, mas Danang pun memutuskan untuk segera melamarku. Meski pun sebenarnya, aku belum begitu siap akan hal tersebut, namun mengingat mas usia mas Danang sendiri sudah lebih dari 30 tahun waktu itu, dan karena aku juga sangat mencintai mas Danang, aku pun menyetujui permintaannya tersebut.

Aku mengajak mas Danang untuk menemui orangtua ku di kampung, dan menyampaikan keinginan kami kepada mereka. Tentu saja orangtua ku sangat setuju akan hal tersebut. Biar bagaimana pun, selama ini, mereka cukup khawatir, melepaskan aku hidup sendirian di kota.

Dengan menerima lamaran mas Danang, dan menikah dengannya, akan membuat kekhawatiran orangtua ku jadi sedikit berkurang, karena aku sudah suami yang akan selalu menjaga ku. Setidaknya begitulah alasan orangtua ku, untuk menerima lamaran mas Danang.

Dan dengan acara yang cukup sederhana, aku dan mas Danang akhirnya menikah. Aku menikah di kampung halaman ku, seperti yang diingingkan orangtua ku.

Mas Danang sendiri adalah seorang yatim piatu, kedua orangtuanya sudah lama meninggal. Satu-satunya keluarga yang ia punya ialah kakak perempuannya, yang juga sudah menikah dan punya dua orang anak.

Mas Danang bekerja sebagai seorang asisten manger di sebuah perusahaan swasta. Secara ekonomi kehidupan mas Danang memang sudah sangat mapan. Itu juga yang menjadi salah satu alasan, mengapa mas Danang ingin segera menikah.

Setelah menikah, aku dan mas Danang pun tinggal serumah. Sebuah rumah yang mas Danang beli sendiri, dari hasil kerja kerasnya selama ini. Sebuah rumah yang cukup megah, dengan perabot yang lengkap dan mewah.

Meski pun sudah menikah, mas Danang tetap memperbolehkan aku untuk bekerja, seperti biasa. Ia ingin aku tetap punya kesibukan, dari pada hanya berdiam diri di rumah. Karena mas Danang sendiri, juga sibuk bekerja, dan jarang berada di rumah, terutama saat siang hari.

Hingga setahun kami menikah, kami pun di karuniai seorang anak laki-laki. Kebahagiaan kami kian terasa lengkap. Hari-hari kami menjadi lebih bermakna dan penuh warna.

Karena masih tetap bekerja, kami pun memperkerjakan seorang babysitter, untuk menjaga anak kami, saat kami sedang bekerja.

Dan begitulah kehidupan yang kami jalani, selama bertahun-tahun. Aku merasa bahagia dengan semua itu. Aku juga masih bisa terus mengirimkan uang kepada orangtua ku di kampung, dan mas Danang sangat mendukung hal tersebut.

****

Lima tahun berlalu, lima tahun usia pernikahan kami. Semuanya berjalan dengan baik-baik saja. Anak kami sekarang pun sudah mulai tumbuh besar, sudah empat tahun usianya saat ini.

Namun akhir-akhir ini, aku merasakan ada yang tiba-tiba berubah. Mas Danang yang aku kenal, tidak lagi seperti dulu. Ia jadi jarang pulang. Kalau pun pulang, ia hanya sekedar menengok anaknya, tapi selalu mengabaikan ku.

Akhir-akhir ini, mas Danang jadi sering pulang larut malam, bahkan tidak pulang sama sekali. Hal tersebut membuat aku mulai merasa curiga dengannya. Ia tiba-tiba saja berubah, tanpa alasan yang jelas. Padahal selama ini, kami bahkan hampir tidak pernah bertengkar sama sekali. Tapi entah mengapa, mas Danang tiba-tiba saja berubah. 

Bukan saja jadi jarang pulang, mas Danang bahkan sudah lebih dari lima bulan belakangan ini tidak pernah lagi menyentuh ku. Ia tidak lagi memberikan aku kebutuhan bathin. Ia tidak lagi menjalankan tugasnya sebagai seorang suami.

Aku pernah mempertanyakan hal tersebut, tapi mas Danang hanya menjawab, kalau ia lagi banyak pekerjaan dan selalu merasa capek, hingga butuh waktu untuk istirahat.

Aku mencoba mengerti akan hal tersebut. Aku mencoba untuk memahaminya. Namun hal itu tetap terus terjadi. Mas Danang semakin tidak peduli dengan ku. Ia seperti sengaja mengabaikan ku. Dan aku merasa tidak dianggap sama sekali.

Aku semakin curiga dengan mas Danang. Ia jadi jarang pulang, tidak pernah lagi memenuhi kebutuhan bathin ku, sebagai seorang istri. Aku mulai berpikir macam-macam tentangnya.

Jangan-jangan mas Danang memang sudah punya perempuan lain di luar sana. Jangan-jangan mas Danang sudah punya simpanan. Karena itu ia jadi jarang pulang.

Sebagai seorang istri, aku pun kembali mempertanyakan hal tersebut kepada mas Danang. Tapi sekali lagi, mas Danang seperti enggan untuk membahas hal tersebut. Ia selalu menghindar, setiap kali aku membicarakan tentang perubahannya itu.

Aku jadi semakin penasaran. Aku benar-benar ingin tahu, apa yang terjadi sebenarnya? Apa yang membuat mas Danang tiba-tiba berubah?

*****

Karena merasa penasaran dan selalu dihantui perasaan curiga, aku pun memutuskan untuk mulai mencari tahu akan hal tersebut.

Hingga pada suatu malam, saat itu malam minggu. seperti biasa mas Danang pergi dari rumah tanpa berpamitan padaku. Karena itu, aku coba menguntitnya malam itu. Aku ingin tahu, apa yang dilakukan mas Danang di luar rumah, terutama saat malam minggu seperti ini.

Dengan menaiki sebuah taksi, aku mengikuti mobil mas Danang. Aku mengikutinya, dengan tetap menjaga jarak. Karena aku tidak ingin mas Danang tahu. Dan itu pasti akan membuatnya marah.

Aku melihat mas Danang berhenti di depan sebuah gedung apartemen, tapi ia tidak keluar dari mobilnya. Sampai seorang laki-laki mudah menghampiri mobilnya, dan langusng masuk ke dalam mobil mas Danang.

Oh, ternyata aku yang terlalu berprasangka. Itu hanya seorang laki-laki, dan mungkin saja hanya teman kerjanya.

Tak lama kemudian, mobil mas Danang kembali meluncur di jalanan. Aku kembali meminta sopir taksi untuk mengikuti mobil tersebut.

Setelah beberapa saat, mobil mas Danang kembali menepi. Kali ini ia parkir di depan sebuah restoran mewah. Mas Danang turun hampir bersamaan dengan laki-laki temannya tadi. Kemudian mereka pun melangkah masuk ke dalam restoran.

Mungkin mereka sedang membicarakan tentang pekerjaan mereka di restoran ini. Pikir ku membathin.

Aku mencoba menunggu di dalam taksi. Aku masih penasaran, mengapa mereka hanya makan malam berdua? Apa gak ada teman kerjanya yang lain, yang ikut makan bersama mereka?

Aku memperhatikan dari kejauhan. Aku dapat melihat dengan sayup-sayup, mereka berdua duduk saling berhadapan, sambil menikmati makanan mereka. Dan aku juga bisa melihat, kalau mereka mengobrol terlihat sangat akrab.

Setelah lebih dari satu jam menunggu, akhirnya mereka berdua keluar juga dari restoran tersebut. Mereka langsung menuju mobil, dan masuk ke dalamnya. Mobil itu kembali berjalan menuju arah yang berlawanan dari arah mereka datang tadi.

Aku kembali meminta pak sopir untuk mengikutinya lagi. Hingga tak lama berselang, mobil mas Danang kembali berhenti. Kali ini justru di depan gedung sebuah hotel mewah. Yang membuat ku semakin merasa curiga.

Tapi bukankah mas Danang hanya bersama seorang laki-laki? Mungkin saja mereka masih melanjutkan pembicaraan mereka tentang pekerjaan mereka, yang mungkin belum selesai saat di restoran tadi.

Tapi mengapa harus di hotel? Dan ini malam minggu. Sedikit aneh sih, menurut ku.

Mas Danang dan teman lelakinya itu, terlihat turun dengan santai dari mobil. Mereka berjalan beriringan menuju lobi hotel. Aku mencoba turun dari taksi, dan mulai mengikuti mereka dengan pelan. Sambil tetap menjaga jarak, agar tidak terlihat.

Setelah berbicara beberapa saat dengan resepsionis hotel, mereka berdua segera menuju lift hotel tersebut, dan langung masuk ke dalamnya.

Aku pun segera menuju resepsionis tadi. Mencoba mencari tahu, di kamar mana mereka menuju. Meski pun awalnya resepsionis tersebut, enggan memberikan informasi apa pun padaku, tapi setelah aku beri ia sedikit uang, ia pun mengatakan nomor kamar tempat mas Danang dan lelaki itu berada.

Aku menaiki lift dan menuju lantai tempat kamar yang disebutkan resepsionis tadi. Aku segera berada di depan kamar tersebut, yang pintunya sudah tertutup rapi.

Sampai disitu aku ragu, antara ingin mengetuk pintu kamar tersebut atau tidak. Kalau aku mengetuk, pasti mas Danang akan marah padaku, karena sudah menguntitnya sampai kesini. Tapi kalau tidak, aku tidak mendapatkan jawaban apa-apa.

Akhirnya aku nekat.

Aku ketuk pintu kamar itu dengan pelan. Cukup lama.

Hingga pintu itu pun terbuka sedikit. Seraut wajah muncul di pintu yang terbuka. Seraut wajah laki-laki muda, yang terlihat tampan dan manis.

"iya.. ada apa, mbak?" tanya laki-laki itu ramah.

"hmmm... saya... saya.. mau bertemu mas Danang..." suara ku sedikit tercekat, apa lagi aku lihat laki-laki itu hanya memakai handuk, tanpa baju.

"mas Danang?" raut wajah laki-laki itu sedikit bingung, "maaf.. mbak ini siapa?" tanyanya ragu.

"saya istrinya.." aku berusaha berkata dengan tegas.

Wajah lelaki itu berubah seratus delapan puluh derajat. Wajahnya berubah pucat pasi. Ia terlihat sangat kaget.

"oh... tunggu sebentar..." ucapnya akhirnya, sambil kembali menutup pintu.

Aku mendengar suara berbisik samar-sama dari dalam. Entah apa yang mereka bicarakan. Aku tidak bisa mendengarnya dengan jelas.

Tak lama kemudian, pintu kembali terbuka. Mas Danang muncul dari dalam, dengan masih atau telah kembali berpakaian rapi.

"kamu ngapain kesini?" tanya mas Danang kasar, terlihat sekali kalau ia merasa terganggu dengan kehadiran ku di situ.

"kamu menguntit saya?" tanya mas Danang lagi, masih kasar, sambil ia melangkah keluar dan menutup pintu.

"saya... saya..." aku terbata, tak tahu harus mengatakan apa.

"kamu bikin malu saya aja... ayok pulang.." ucap mas Danang kemudian, mengabaikan keterbataan ku.

Mas Danang sedikit menarik tangan ku untuk segera berlalu dari depan kamar tersebut.

"kamu ... kamu ngapain disini malam-malam begini, mas?" tanya ku akhirnya, sambil mencoba mengikuti langkah kaki mas Danang menuju lift.

"sudah aku katakan, aku lagi banyak pekerjaan, dan itu tadi teman kerja ku. Kami sedang membicarakan bisnis. Kamu datang-datang bikin ribut aja..." balas mas Danang, suaranya masih terdengar sangat kesal.

"kalau memang tentang pekerjaan, mengapa harus di hotel? Malam-malam lagi.. Dan kenapa kamu gak lanjut aja? Kenapa harus pulang?" aku meluahkan semua pertanyaan yang ada di pikiran ku saat itu.

"udahlah, kamu gak bakal ngerti.." balas mas Danang tajam, "lagi pula, bagaimana kami melanjutkan urusan kami, kalau kamu tiba-tiba datang mengganggu. Perasaan teman saya jadi tidak enak.. Jadi lebih baik kita pulang sekarang..." lanjut mas Danang masih kasar.

Kami sampai ke luar hotel, lalu kemudian mas Danang terus melangkah menuju tempat parkir.

"saya pulang naik taksi aja.." kali ini suara ku sedikit ketus, karena merasa kecewa dengan sikap mas Danang barusan. Lagi pula, aku jadi malas satu mobil sama mas Danang saat ini. Sikapnya benar-benar aneh. Semua alasannya tidak masuk akal sama sekali.

****

Sejak kejadian malam itu, hubungan ku dengan mas Danang kian berantakan. Kami bahkan sudah tidak lagi saling tegur sapa. Mas Danang juga semakin jarang berada di rumah. Ia semakin mengabaikan ku.

Hingga pada suatu saat, aku terpaksa harus pulang kampung, karena aku mendapat kabar, kalau ibu ku sedang di rawat di rumah sakit. Aku terpaksa pergi malam-malam, karena kondisi ibu yang kian parah.

Aku sempat mengajak mas Danang untuk ikut, tapi ia beralasan kalau ia sedang banyak kerjaan. Aku terpaksa pergi sendiri bersama anak ku. Aku berpamitan kepada mas Danang, karena ia harus tinggal sendiri di rumah.

Di tengah perjalanan aku baru sadar, mungkin karena aku perginya buru-buru, hingga tas ku ketinggalan di dalam kamar. Padahal semua uang dan kartu-kartu ku ada di dalamnya. Aku memang pergi dengan membawa mobil sendiri, sehingga aku terpaksa harus putar arah untuk kembali lagi ke rumah.

Sesampai di rumah aku langsung masuk menuju kamar ku. Aku memang sengaja tak mengetuk pintu, karena aku yakin mas Danang pasti udah tertidur.

Dan sungguh di luar dugaan ku, kalau akan melihat sebuah pemandangan yang membuat hati ku terasa hancur.

Di dalam kamar itu, aku menyaksikan dengan mata kepala ku sendiri, kalau mas Danang sedang bermesraan dengan seorang laki-laki. Laki-laki muda yang aku temui di hotel waktu itu.

Aku benar-benar bagai melihat hantu di siang bolong, rasanya aku hampir tak percaya. Rasanya aku mau pingsan saat itu juga. Aku benar-benar shock melihat itu semua.

Kalau saja, aku melihat mas Danang bersama perempuan lain, mungkin rasa sakit yang aku rasakan tidak akan sepedih ini. Tapi... ini dengan seorang laki-laki... Sungguh tak pernah aku sangka sama sekali. Rasanya begitu sakit dan pedih. Dan aku pun hanya bisa menangis.

Mas Danang tentu saja kaget melihat kedatangan ku yang tiba-tiba. Ia segera berusaha untuk mendekati ku, tapi aku dengan spontan langsung menutup dan menghempaskan pintu kamar itu dengan kasar. Aku segera berlari kembali ke mobil.

Aku masih mendengar suara mas Danang berteriak memanggil nama ku berkali-kali. Tapi aku mengabaikannya. Aku segera masuk ke mobil dan langsung tancap gas, karena memang mesin mobil sengaja tidak aku matikan tadi.

Aku masih bisa melihat lewat kaca spion, kalau mas Danang masih berusaha mengejar ku sampai ke pintu pagar rumah kami. Tapi aku terus saja menancap gas mobil sekencang-kencangnya, meninggalkan mas Danang yang pasti sedang merasa bersalah tersebut. Beruntunglah anak ku sudah tertidur sejak tadi di jok belakang.

****

Sejak kejadian malam itu, aku tidak pernah lagi kembali ke rumah itu. Aku merasa jijik. Perbuatan suami ku benar-benar tidak bisa dimaafkan lagi. Aku sangat membencinya saat ini.

Aku meminta adik-adik ku untuk mengambil semua barang-barang ku yang berada di rumah tersebut, dan juga semua barang-barang anak ku. Aku tak sudi kembali ke rumah itu. Walau dengan alasan apa pun.

Bertahun-tahun aku hidup bersama mas Danang, bertahun-tahun aku menjadi istrinya. Aku tidak menyangka sama sekali, kalau ia adalah seorang homo.

Kalau saja, ia melakukan semua itu dengan seorang perempuan, mungkin aku masih bisa memakluminya. Dan aku akan dengan rela hati, untuk bersaing dengan perempuan tersebut, untuk mendapatkan kembali cinta mas Danang.

Tapi.. jika aku harus bersaing dengan seorang laki-laki, rasanya hal itu sangat tidak mungkin aku lakukan. Aku tidak ingin punya suami yang punya pria idaman lain. Aku jijik membayangkan hal tersebut. Aku benci mereka berdua.

Aku akan meminta cerai dari mas Danang, dan aku akan pindah ke kampung halaman ku bersama anak ku. Tidak akan aku izinkan sedetik pun mas Danang untuk menemui anak ku. Aku tidak sudi anak ku punya seorang ayah seperti mas Danang. Tidak akan!

Cukup kisah ini menjadi pelajaran berharga bagi ku. Aku tidak akan menceritakan hal tersebut kepada siapa pun. Aku juga tidak akan membongkar rahasia mas Danang. Aku hanya ingin bercerai darinya, dan tidak ingin lagi melanjutkan hidup bersamanya.

Semoga aku kuat menjalani semua ini. Semoga aku menemukan jalan yang terbaik dalam hidupku. Dan semoga aku mampu membesarkan anak ku, meski tanpa seorang suami.

Yah.. semoga saja...

****

Cari Blog Ini

Layanan

Translate