Mama Muda (part 1)

Nama ku Edo. Usia ku sudah 28 tahun. Dan saat ini aku sudah bekerja menjadi seorang karyawan di sebuah mini market. Aku seorang sarjana sebenarnya. Namun karena tidak satu pun lamaran kerja ku yang diterima oleh perusahaan-perusahaan tempat aku melamar kerja, aku pun harus berpuas diri meski hanya menjadi karyawan di sebuah mini market.

Gaji yang aku terima memang tidak seberapa, tapi masih cukup untuk biaya hidup ku sehari-hari dan untuk membayar uang kost setiap bulannya.

Aku kost sendirian di sebuah tempat kost-kost-an yang kamar nya cukup kecil, dengan harga yang murah. Karena memang aku sudah mulai merantau sejak aku kuliah. Dan aku sudah terbiasa hidup sendirian di kota yang besar ini.

Orangtua dan semua keluarga ku tinggal di kampung, yang jaraknya sangat jauh dari kota tempat aku tinggal. Sejak tinggal di kota aku memang jarang pulang, terutama setelah aku lulus kuliah. Selain karena memang tidak ada ongkos pulang, aku juga merasa malu, jika pulang dalam keadaan belum sukses seperti saat ini.

Aku anak kedua dari kami tiga bersaudara. Kakak ku yang perempuan sudah menikah dan sudah punya dua orang anak di kampung. Adik perempuan ku juga sudah menikah. Aku laki-laki satu-satunya di keluarga kami dan belum menikah. Hal itu juga menjadi salah satu alasan bagi ku, kenapa aku jadi jarang pulang.

Aku sendiri sebenarnya pernah berpacaran beberapa kali. Tapi selalu saja hubungan ku harus berakhir dengan sangat menyakitkan, dengan berbagai alasan. Terutama karena memang aku seseorang yang berasal dari keluarga kurang mampu, dan belum memiliki masa depan yang jelas.

Untuk saat ini pun, aku jadi kurang percaya untuk mendekati perempuan yang aku suka, karena kehidupan ku secara ekonomi masih jauh dari kata mapan. Karena itu lah, aku memilih untuk tidak berpacaran lagi, setidaknya sampai aku punya pekerjaan yang lebih baik.

****


 

Sebagai seorang karyawan di mini market, aku memang hampir setiap hari bertemu orang-orang. Baik itu orang-orang baru, mau pun orang yang sama. Dan Aku mencoba  menikmati hal tersebut, meski pun sebenarnya itu bukanlah kehidupan yang aku inginkan.

Aku punya cita-cita, aku punya keinginan. Namun untuk saat ini, yang bisa aku lakukan, hanyalah mencoba menjalani ini semua dengan berlapang dada. Aku berusaha untuk melakukan yang terbaik yang aku bisa.

Di samping itu, aku masih terus mencoba untuk mengajukan lamaran pekerjaan ke perusahaan-perusahaan yang sesuai dengan bidang dan keahlian ku. Terutama perusahaan-perusahaan yang menurutku memiliki prospek yang baik ke depannya.

Sebagai seorang laki-laki aku memang punya cita-cita yang cukup tinggi. Aku ingin punya pekerjaan dengan gaji yang fantastik, agar aku bisa mengumpulkan uang yang banyak, untuk nantinya aku jadikan modal, untuk membuka usaha ku sendiri. Lalu kemudian, aku akan bisa melamar gadis yang aku inginkan.

Setidaknya begitulah cita-cita ku untuk saat ini. Meski pun aku sadar, hal itu tidak akan mudah untuk aku wujudkan. Tapi setidaknya aku akan selalu berusaha untuk mewujudkannya.

****

Ada seorang pelanggan perempuan yang sering datang berbelanja ke mini market tempat aku bekerja saat ini. Perempuan itu sebenarnya masih cukup muda, mungkin berkisar 30 tahun usianya. Dan dia sudah menikah dan sudah punya dua orang anak. Hal itu aku ketahui, karena dia sering datang bersama suami dan dua orang anaknya, untuk berbelanja.

Perempuan itu berwajah manis, dengan hidung sedikit mancung. Tubuhnya cukup berisi, namun tidak terbilang gendut. Cukup montok sih, kalau menurut saya. Intinya secara fisik perempuan itu masih cukuup menarik. Tipe mama muda jaman sekarang.

Kami sudah pernah mengobrol beberapa kali, terutama saat ia datang sendirian ke mini market. Ia sering bertanya pada ku tentang letak barang-barang yang ia cari. Aku selalu berusaha memberikan pelayanan yang terbaik, sebagai seorang karyawan di mini market tersebut.

Aku bekerja secara shift, kadang aku masuk pagi sampai sore, kadang juga masuk sore sampai malam. Mini market tempat bekerja, memang cukup ramai, dan biasanya kami tutup sampai jam dua belas malam.

Ada beberapa orang karyawan yang bekerja di mini market tersebut. Dan semuanya sudah punya tugasnya masing-masing. Ada yang jadi kasir, ada yang bertugas menyusun barang-barang di rak-rak yang sudah ada. Dan ada juga yang bertugas mengangkut barang-barang yang datang.

Hingga pada suatu malam, saat itu hampir jam dua belas malam. Mini market sudah mau kami tutup. Tiba-tiba hujan turun sangat deras, di iringi suara gemuruh petir dari kejauhan. Saat itu, kebetulan perempuan yang aku ceritakan tadi, juga sedang berada di sana.

Aku dan perempuan itu pun duduk di kursi yang ada di teras mini market tersebut, sambil sedikit mengobrol. Sementara karyawan-karyawan lain, ada yang sudah pulang, ada yang masih berada di dalam mini market, dan ada juga yang duduk-duduk di sisi lain teras mini market itu.

Saat itulah, tanpa sengaja aku pun berkenalan dengan perempuan tersebut. Ternyata perempuan itu bernama Aida. Setidaknya begitulah pengakuannya padaku, saat kami berkenalan. Ia juga mengaku, kalau ia sudah hampir delapan tahun menikah, dengan suaminya yang sekarang.

Suaminya adalah seorang kontraktor alat berat, yang tentu saja jarang berada di rumah. Karena suaminya lebih banyak menghabiskan waktu di tempat kerja. Terutama saat suaminya harus bekerja di luar kota, karena ada proyek di sana.

Kedua anaknya juga masih kecil-kecil. Yang satu sudah berusia tujuh tahun, dan yang bungsu baru berusia, dua tahun. Mereka tinggal di sebuah perumahan elit, tak jauh dari mini market tersebut. Di rumahnya yang cukup besar itu, Aida sering tinggal hanya bertiga bersama anak-anaknya, karena suaminya jarang pulang.

Setidaknya begitulah cerita Aida padaku, malam itu. Entah mengapa ia begitu gamblangnya menceritakan hal tersebut padaku. Padahal kami baru saja saling berkenalan, meski pun selama ini kami sudah sering bertemu di mini market tersebut.

Aku juga berusaha untuk menjadi pendengar yang baik bagi Aida malam itu. Mungkin ia memang butuh seseorang untuk bisa mendengarkan ia bercerita. Apa lagi, saat itu, hujan belum juga reda.

****

"jadi sekarang anak-anak mbak Aida tinggal berdua di rumah, dong?" tanya ku, ketika Aida berhenti bercerita sesaat.

"kalau malam ini, suami ku ada di rumah. Tapi karena tadi, anak ku kehabisan susu, mau tidak mau aku harus keluar sendirian untuk membeli susu ke mini market ini.." balas Aida santai.

"oh gitu.." ucapku kemudian, "kalau mbak Aida mau pulang cepat, saya ada bawa baju hujan di motor, mbak Aida bisa pakai. Siapa tahu, anak mbak Aida sudah menangis karena ingin minum susu..." lanjutku menawarkan.

"tapi.. kamu sendiri gimana? Kamu juga butuh baju hujan itu untuk pulang kan?"

"iya sih, tapi gak apa-apa, karena mbak Aida lebih butuh. Saya sudah biasa pulang dalam keadaan hujan-hujan. Lagi pula, tempat kost saya gak jauh kok dari sini.."

"oh.. jadi kamu kost?"

"iya, mbak..."

"saya kira kamu asli orang sini..."

"gak kok, mbak. Saya perantau dan hanya tinggal sendiri di kota ini.."

Untuk beberapa saat suasana hening.

"emangnya kamu kost dimana?" tanya Aida tiba-tiba.

Aku pun menyebutkan nama daerah tempat aku kost, yang memang jaraknya tidak terlalu jauh dari mini market tersebut.

"ya udah, kalau kamu memang bersikeras untuk meminjamkan aku baju hujan, saya mau pulang sekarang aja. Karena hujan sepertinya masih lama turunnya.." ucap Aida lagi.

"iya, mbak. Gak apa-apa. Pakai aja. Saya ambilkan baju hujannya sebentar ya..." balasku sambil mulai berdiri dan melangkah menuju motor ku yang terparkir tak jauh dari situ.

Setelah mendapatkan baju hujan tersebut, aku pun menyerahkannya kepada Aida. Ia pun segera memakai baju hujan tersebut, lalu kemudian ia pun pamit untuk segera pulang.

****

Keesokan malamnya, tanpa aku duga sama sekali, tiba-tiba saja Aida datang ke tempat kost ku. Aku cukup kaget menyambut kedatangannya.

"ada apa mbak Aida kesini?" tanya ku dalam kekagetan ku.

"saya mau antar baju hujan yang malam kemarin saya pinjam.."

"ah, mbak. Gak usah repot-repot loh sebenarnya, mbak. Gak diantar juga gak apa-apa, kok. Lagi pula mbak Aida kan bisa antar ke mini market aja, kalau pun saya gak ada di sana bisa titip aja sama yang lain.."

"iya sih.. aku juga sebenarnya sekalian pengen tahu tempat kost kamu. Tadi kebetulan juga aku lewat sini, jadi ingat kalau kamu kost di sini, sekalian mau mampir..." balas Aida, sambil memamerkan senyum manisnya.

Lalu kemudian, tanpa menunggu basa-basi dari ku, dan tanpa rasa canggung, Aida pun masuk ke kamar kost ku yang kecil tersebut. Untuk masih jam tujuh, jadi masih boleh bertamu.

"yah.. beginilah keadaan kost saya, mbak. Kecil." ucapku dengan perasaan sungkan.

"gak apa-apa kecil, Do. Yang penting nyaman, dan tahan lama..."

"ah, mbak Aida bisa aja.. Emangnya seperti apa kamar kost yang tahan lama, mbak?"

"yah.. seperti kamar kost kamu ini, kecil, tapi temboknya terlihat kokoh. Jadi bisa tahan lama bangunannya. Kamu juga bisa bertahan lama untuk tetap nge-kost di sini.." jelas Aida entah untuk tujuan apa.

"iya, mbak. Saya memang sudah bertahun-tahun nge-kost di sini, sudah sejak aku masih kuliah.." balasku sekedar memberitahunya.

"tapi... mbak Aida datang kesini dak takut suaminya marah?" tanyaku tiba-tiba, setelah untuk beberapa saat suasana hening tercipta diantara kami.

"dia kan gak tahu, kalau aku kesini. Lagi pula malam ini, suami ku tidak sedang di rumah, ia dapat tugas lagi ke luar kota.."

"loh.. jadi anak mbak Aida sekarang dimana?" tanyaku dengan nada sedikit heran.

"tadi anak-anak saya titip di rumah adik saya. Rumahnya gak jauh kok, dari rumah saya. Saya juga sudah sering menitipkan anak-anak di sana.." Aida menjelaskan dengan suara yang terdengar sangat pelan.

Kami duduk di tepian ranjang kecil yang ada di dalam kamar tersebut. Meski pun masih merasa canggung, tapi mencoba untuk tetap rileks dan berusaha sesantai mungkin.

Terus terang selama aku kost disini, baru kali ini ada perempuan masuk ke kamar kost ku, apa lagi ini malam hari. Pikiranku jadi sedikit terganggu. Mengingat Aida sudah punya suami dan anak. Rasanya ada yang terasa aneh akan hal tersebut.

Tapi aku coba mengabaikannya, karena mungkin saja Aida memang lagi butuh teman untuk bercerita. Dan aku harus siap akan hal tersebut, setidaknya untuk menghargai usahanya mengantarkan baju hujan yang ia pinjam, malam-malam seperti ini.

"kamu sudah punya pacar?" tiba-tiba Aida bertanya demikian.

"belum.." balasku jujur dan terdengar sangat polos.

"baguslah..." suara Aida terdengar sedikit berbisik.

"maksudnya, mbak?"

"yah.. bagus.. itu artinya gak bakal ada yang cemburu, kalau saya berlama-lama disini.."

Berlama-lama di sini? Bathin ku jadi tak karuan tiba-tiba mendengar kalimat Aida barusan.

Tiba-tiba Aida menatapku lama, sambil ia tersenyum manis padaku.

****

Bersambung...

Akibat Kawin Kontrak (kisah nyata)

Nama ku Ben. Begitu biasa orang-orang memanggil ku. Saat ini aku sudah berusia 38 tahun. Aku sudah menikah dan sudah punya dua orang anak. Anak pertama ku laki-laki dan anak kedua ku perempuan.

Pernikahan ku berjalan dengan baik-baik saja. Apa lagi secara ekonomi kehidupan kami sudah cukup mapan. Aku bekerja di sebuah perusahaan konstruksi yang cukup besar. Aku bekerja sebagai seorang kontraktor di bidang pekerjaan sipil.

Pekerjaan ku biasanya berkaitan dengan pembangunan jalan, jembatan, jalur kereta api, landasan pesawat, terowongan, bendungan dan berbagai pembangunan lainnya.

Saat mendapatkan proyek yang cukup besar dan berada di luar daerah, kadang aku sering tidak bisa pulang ke rumah. Karena selain jauh, aku juga harus fokus pada pekerjaan ku, agar hasilnya tidak mengecewakan.

Meski pun sering tidak berada di rumah, hubungan ku dengan istri dan anak-anak ku tetap terjalin dengan baik. Apa lagi di zaman sekarang, jarak bukan lagi menjadi penghalang untuk sebuah hubungan. Kita tetap bisa terhubung dengan orang terdekat kita, meski pun terpisah ribuan kilo jauh nya.

Namun pada suatu kesempatan, aku pernah mendapatkan proyek yang cukup besar. Proyek pembangunan sebuah jalan, di daerah yang cukup jauh dan kebetulan di sana belum ada sinyal sama sekali. Hal itu jadi sedikit menghambat komunikasi ku dengan istri dan anak-anak ku.

Lama pengerjaan proyek tersebut di perkirakan kurang lebih selama tiga bulan. Dan aku untuk sementara harus tinggal di sana, bersama tenaga kerja lainnya.

Proyek tersebut merupakan pembangunan sebuah jalan, menuju sebuah desa yang cukup terpencil. Jarak desa tersebut dari jalan poros kecamatannya sekitar 25 kilo meter. Dan selama ini masyarakat di sana sangat jarang keluar kampung, karena kondisi jalannya yang cukup parah, dan hanya bisa ditempuh oleh sepeda motor.

Kehidupan masyarakat di desa tersebut memang cukup memprihatinkan secara ekonomi. Sebagian besar masyarakat hanya bekerja sebagai petani yang penghasilannya tidak seberapa, dikarenakan jalan yang buruk tersebut.

****

Hampir satu bulan aku bekerja dan tinggal di daerah tersebut. Selama itu pula, aku belum pernah pulang ke rumah. Bahkan aku hampir tidak pernah bisa menghubungi istri ku, karena jaringannya yang tidak memadai.

Jujur saja, selama itu, aku memang cukup merasa kesepian, dan sering merasa rindu, terutama kepada anak-anak ku. Meski pun sudah biasa berpisah dengan mereka, namun selama ini, setidaknya aku masih bisa menghubungi mereka. Tapi sekarang, rasanya berbeda. Karena komunikasi kami juga ikut terputus, saat ini.

Sebagai seorang laki-laki yang masih cukup muda, dan harus terpisah ribuan kilo jauhnya dari istri. Kadang aku merasa kesepian. Biar bagaimana pun, aku juga punya kebutuhan biologis yang harus aku salurkan. Dan hal itu cukup menyiksa ku.

Sampai pada suatu kesempatan, seorang laki-laki yang merupakan penduduk asli daerah tersebut, yang aku ketahui bernama Paijo, sempat menawarkan aku sesuatu yang cukup menggoda jiwa ku.

Aku mengenal Paijo sudah sejak dari awal aku tinggal di sana, kebetulan Paijo adalah salah seorang mandor pada proyek yang sedang aku kerjakan.

Aku memang sudah sering mengobrol bersama Paijo. Aku juga tidak terlalu merasa sungkan untuk menceritakan tentang rasa kesepian tersebut. Hal itu ternyata cukup menarik minat Paijo. Sehingga ia pun dengan berani menawarkan hal tersebut padaku.

"disini ada loh, pak. Perempuan muda yang bisa diajak kawin kontrak..." begitu ucap Paijo pada ku waktu itu.

"maksudnya gimana tu?" tanya ku kurang paham.

"maksudnya gini, pak.... karena pak Ben yang harus terpisah dari istri, sementara pak Ben juga butuh tempat untuk menyalurkan kebutuhan biologis pak Ben. Saya menawarkan, bagaimana kalau pak Ben kawin kontrak aja dengan gadis sini. Apa lagi proyek ini kan juga masih lama selesainya."

"pak Ben bisa kawin kontrak selama dua bulan kedepan, dengan harga yang cukup murah. Selama itu, pak Ben bebas mau ngapain aja. Dan sudah dijamin tidak akan ada tuntutan apa pun. Dan juga rahasia pak Ben pasti aman." jelas Paijo cukup panjang lebar.

"jadi makudnya, saya menikah dengan gadis sini, hanya untuk sementara waktu selama saya berada di sini?" aku bertanya sekali lagi, sekedar meyakinkan maksud Paijo sebenarnya.

"iya, pak. Dari pada bapak selalu merasa kesepian, kan?"  balas Paijo lagi.

Aku terdiam beberapa saat, memikirkan hal tersebut. Tawaran yang cukup menarik sebenarnya. Tapi.. bukankah hal itu berarti aku akan mengkhianati istri ku? Bukankah itu berarti aku tidak lagi menjadi suami yang setia?

"yah.. itu terserah pak Ben sih. Saya hanya sekedar menawarkan. Kalau memang pak Ben bersedia, saya bisa carikan gadis yang cocok buat pak Ben. Saya jamin pak Ben tak akan menyesalinya." Paijo berucap lagi melihat keterdiaman ku.

"emang... harganya berapa?" tanya ku tanpa sadar.

"harganya berkisar 2 sampai 3 juta per bulan, pak. Jadi kalau cuma dua bulan, yah.. sekitar 5 atau 6 juta lah. Itu pun tergantung gadis yang bapak pilih.." jelas Paijo.

"pilihannya banyak ya?" aku bertanya lagi.

"banyak, pak. Bapak tinggal sebutin aja, tipe seperti apa yang bapak ingin kan. Rata-rata gadis-gadis di sini, memang itu pekerjaannya. Dan mereka .. cantik-cantik loh, pak. Asal bapak jangan baper aja, dan bukan untuk di ajak serius loh..." terang Paijo kembali.

"oh.. gitu ya, Jo. Ya udah.. boleh tuh di coba. Kamu cariin aku satu ya, Jo..." ucapku akhirnya.

"pak Ben serius?" Paijo bertanya kembali.

"yah... gak tahu juga sih, Jo. Saya malah jadi bingung sebenarnya... Saya juga tidak ingin mengkhianati istri saya.... Tapi... saya juga butuh sih, Jo..." balasku pelan.

"ya udah... kalau gitu, pak Ben coba dulu aja.. Kalau rasanya nanti gak cocok atau gak nyaman, pak Ben bisa berhenti kok.." ucap Paijo kemudian.

"ya udah, Jo. Kamu atur aja, ya.. nanti kalau soal biaya, kamu minta aja berapanya sama saya.." balasku akhirnya.

"oke, pak.." ucap Paijo, sambil ia mengacungkan kedua jempol tangannya pada ku.

****

Beberapa hari kemudian, kawin kontrak itu pun akhirnya terjadi. Paijo memperkenalkan dengan seorang gadis desa, yang berparas cukup cantik, dan masih cukup muda. 21 tahun usianya, namanya Amirah. Menurut pengakuannya, ini adalah kawin kontrak pertamanya. Jadi ..Amirah belum berpengalaman dalam hal tersebut.

Ia mau melakukan semua itu, hanya karena membutuhkan uang, untuk biaya hidup, dan membantu orangtuanya. Meski pun ia tahu, kalau itu adalah sebuah kesalahan.

Pernikahan kami berlangsung sangat sederhana. Tanpa syarat dan surat-surat apa pun. Kami dinikahkan oleh penghulu kampung, dan hanya dihadiri oleh beberapa orang saksi saja, termasuk Paijo. Tidak ada pesta dan tidak ada surat nikah. Hanya sebuah surat perjanjian antara aku dan Amirah, yang berisi beberapa hal.

Setelah menikah, Amirah pun tinggal bersama ku, di sebuah rumah yang sengaja aku sewa selama aku berada di sana. Dan anehnya, penduduk di sana menganggap hal tersebut sesuatu yang biasa. Tidak ada yang peduli akan hal tersebut.

Mungkin memang karena begitulah kebiasaaan penduduk kampung itu. Dan aku juga jadi tahu, kalau aku bukan satu-satu nya pendatanga yang melakukan hal tersebut. Bahkan ada yang dengan sengaja datang kesana, hanya untuk sekedar kawin kontrak selama beberapa minggu saja.

Miris sebenarnya, tapi itu bukan urusan ku. Aku tak berhak menghakimi mereka. Setiap orang punya pilihan dalam hidup ini. Tapi.. ada banyak orang yang tidak bisa memilih jalan hidupnya, karena faktor ekonomi.

Biaya kontrak Amirah terbilag cukup mahal. Karena biar bagaimana pun, ia masih suci. Dan hal iti, menjadi nilai plus tersendiri baginya. Dan aku merasa beruntung bisa mendapatkan Amirah. Selain karena ia memang cantik dan seksi, ia juga masih perawan.

****

"mas Ben, mau saya masakin apa malam ini?" tanya Amirah pada ku suatu sore, saat itu aku baru saja pulang dari tempat kerja.

"terserah dik Amirah aja. Apa pun yang dik Amirah masak, selalu terasa enak di lidah mas." balasku sok romantis.

"masakan Amirah aja nih, yang terasa enak di lidah mas Ben?" tanya Amirah seperti sengaja memancing ku.

"yah... selain itu juga terasa enak kok, di lidah mas.." balasku.

"yang mana?" tanya Amirah dengan suara manja nya.

"yang di tengah-tengah itu loh.. " balasku sambil sedikit mengedipkan mata.

"ah.. mas Ben bisa aja..." ucap Amirah sedikit tersipu.

Begitulah kemesraan yang terjadi antara aku dan Amirah, semejak kami menikah. Amirah memang selalu bisa menghiburku. Rasa capek ku jadi hilang, saat sudah bertemu dengannya di rumah. Aku jadi semakin merasa nyaman bersamanya. Rasanya hidupku menjadi lengkap kembali dengan kehadiran Amirah menghiasi hari-hari ku.

Semakin hari, aku pun semakin terasa di manjakan oleh Amirah. Tidak sia-sia rasanya aku harus membayarnya mahal untuk hal tersebut. Aku jadi punya tujuan untuk pulang. Aku juga jadi semangat bekerja. Rasanya semua itu terlalu indah bagi ku.

Tak ku sangka aku akan mendapatkan kebahagiaan lain di sini. Di tempat terpecil ini, di tempat yang jauh dari hiruk pikuk kendaraan berlalu lalang. Di tempat yang sunyi namun penuh ketenangan, yang membuat aku jadi betah untuk berlama-lama tinggal di sini, bersama Amirah.

****

Waktu pun berlalu dengan begitu cepat. Aku menjalani pernikahan ku dengan Amirah dengan sangat baik. Kami benar-benar menjadi sepasang suami istri. Aku bahkan jadi hampir lupa, kalau aku sudah punya istri dan anak. Aku terlena dengan hubungan singkat tersebut.

Aku bahkan tidak pernah pulang selama dua bulan setelah menikah dengan Amirah. Aku juga tidak berusaha untuk menghubungi istri dan anak-anak ku. Meski pun aku yakin, mereka akan mengerti , karena kondisi jaringan di tempat aku bekerja sekarang, memang tidak memungkinkan aku untuk menghubungi mereka.

Sebagai seorang istri, Amirah memang melayani ku dengan cukup baik. Ia memask untuk ku, mencucikan pakaianku, membersihkan rumah dan tentu saja melakukan tugasnya sebagai seorang istri pada saat malam hari. Semuanya terasa sempurna bagi ku. Aku tidak lagi merasa kesepian.

Sampai akhirnya proyek ku pun selesai. Kontrak perkawinan kami pun berakhir. Amirah kembali ke rumah orangtuanya. Dan aku, dengan sangat berat hati, harus kembali ke kota tempat aku tinggal.

Meski pun singkat, namun kesan yang Amirah berikan untuk ku benar-benar membekas di hati ku. Aku jadi terbawa perasaan. Aku jadi tidak bisa melupakan Amirah. Wajahnya masih terus membayangi pikiran dan hati ku. Amirah terlalu sempurna, sebagai seorang istri.

Tapi .. semua memang harus berakhir. Aku harus bisa melupakan Amirah, dan segala kenangan bersamanya. Aku harus realistis, Pernikahan ku dengan Amirah hanya bersifat sementara. Bukan untuk selamanya. Kehadiran Amirah dalam hidupku, hanyalah sebagai selingan di saat aku merasa kesepian.

Aku harus sadar, bahwa saat ini, aku sudah punya istri dan anak, yang selalu setia menunggu pulang ke rumah. Aku harus bisa menganggap Amirah hanyalah selingan dalam hidup ku. Ia hadir hanya untuk singgah, bukan untuk menetap. Ia bukan rumah ku, karena aku sudah punya rumah lain, yang harus aku jaga keutuhannya.

Semoga saja, aku mampu melupakan Amirah. Semoga saja, aku bisa menghapus bayangannya dari pikiran ku. Dan semoga saja, istri ku tidak akan pernah mengetahui hal tersebut.

Yah... semoga saja..

***

istri adik ku

Namanya Gavella, aku biasa memanggilnya Vella. Dan dia adalah istri adik ku.

Seperti apa sebenarnya hubungan cinta kami terjalin?

Dan bagaimana pula akhir dari kisah cinta kami?

Simak kisah ini dari awal sampai akhir ya...

Terima kasih..

***

Namaku Riyadi, dan saat ini aku sudah menikah dan sudah punya dua orang anak.

Aku punya seorang adik laki-laki, namanya Royadi. Beda usia kami hanya tiga tahun.

Dulu, dulu sekali...

Saat itu aku masih kuliah.

Aku pernah pacaran dengan seorang gadis, namanya Gavella. Dia gadis manis dan juga ramah. Kami pacaran cukup lama, hampir empat tahun. Hubungan kami juga terjalin dengan indah. Karena sebenarnya kami memang saling mencintai.

Namun setelah empat tahun pacaran, tiba-tiba hubungan kami harus berakhir. Bukan karena kami sudah tidak saling cinta lagi. Tapi karena, kedua orangtua ku, saat itu, memaksa ku untuk menikah dengan gadis pilihan mereka.

Aku sudah berusaha menolak, bahkan aku juga sudah berterus terang tentang hubungan ku dengan Vella. Tapi orangtua ku tidak bisa menerima hal tersebut. Mereka tetap bersikeras untuk menikahkan aku dengan gadis pilihan mereka, yang merupakan anak rekan bisnis papa ku.

Karena tidak ingin menjadi anak yang durhaka, dan juga karena tidak ingin, perusahaan papa ku bangkrut, karena ternyata papa ku punya hutang yang sangat banyak pada rekan bisnisnya tersebut. Karena itu, aku pun akhirnya, meski dengan berat hati, harus menerima perjodohan tersebut.

Tentu saja hubungan ku dan Gavella pun berakhir. Aku kecewa, Gavella juga. Tapi kami tidak bisa berbuat apa-apa saat itu. Kami hanya harus menerima semuanya, meski dengan perasaan yang sama-sama terluka.

Gavella pun memutuskan untuk kuliah ke luar kota. Dan sejak saat itu, aku tidak pernah lagi bertemu dengan Gavella. Hubungan kami kandas, komunikasi di antara kami pun berakhir begitu saja.

Sampai beberapa tahun kemudian, Gavella kembali. Tentu saja dengan keadaan yang berbeda.

Dan yang paling membuat aku merasa sangat kaget, ternyata Gavella sudah menjalin hubungan dengan adik ku, Royadi.

Gavella tahu, kalau Royadi adalah adik ku, dan Royadi juga tahu, kalau Gavella adalah mantan pacar ku. Tapi entah mengapa mereka bisa berpacaran. Mungkin karena memang, mereka kuliah di kampus yang sama. Karena kebetulan, Royadi juga kuliah ke luar kota, tempat dimana, Gavella juga kuliah disana.

Di tambah pula, mereka memang seumuran. Tinggal jauh di rantau, dan berasal dari kota yang sama, membuat mereka menjadi dekat. Dan hingga akhirnya, mungkin, mereka pun saling jatuh cinta.

Setidaknya begitulah kesimpulan ku, tentang hubungan mereka, sampai saat itu.

****

Setelah sama-sama lulus kuliah, Royadi dan Gavella pun memutuskan untuk segera menikah. Hal itu cukup membuat aku merasa kecewa.

Bagiku tidak masalah, kalau Gavella harus menikah dengan siapa pun. Tapi tidak dengan Royadi, adikku.

Namun aku juga tidak bisa mencegah hal tersebut. Sepertinya mereka memang saling mencintai. Dan anehnya, kedua orangtua ku justru sangat mendukung pernikahan mereka.

Sebenarnya aku ingin sekali meminta penjelasan dari Gavella, mengapa ia memilih Royadi sebagai pengganti diriku?

Tapi aku tidak punya keberanian untuk memulai pembicaraan dengan Gavella, meski hanya sekedar bertanya kabar. Apa lagi, istri ku juga tahu, kalau aku dan Gavella pernah menjalin hubungan. Pasti istriku aka curiga, kalau aku coba-coba untuk mendekati Gavella.

Pada akhirnya, aku hanya bisa menerima semua itu. Meski hati ku terasa begitu sakit.

***

Setelah menikah, Gavella pun atas persetujuan papa ku, kini bekerja di perusahaan papa ku. Dimana aku juga bekerja di sana. Sementara Royadi, memilih untuk membangun bisnisnya sendiri.

Hal itu, tentu saja, membuat aku jadi punya kesempatan untuk bisa dekat lagi dengan Gavella. Apa lagi kami juga berada di divisi yang sama, yang membuat kami jadi sering bertemu.

Awalnya, aku mencoba bersikap biasa saja. Bagi ku, Gavella saat ini, hanya lah seorang rekan kerja, dan juga adik ipar ku. Aku berusaha bersikap profesional.

Meski jujur saja, sampai saat ini, masih ada getar-getar aneh, setiap kali mata kami saling bersirobok pandang. Setiap kali, aku melihat senyum manis Gavella. Aku masih merasa berdebar-debar, setiap kali aku bertemu dengannya.

Sampai suatu saat, aku punya kesempatan, untuk ngobrol berdua bersama Gavella. Saat itu, hanya ada kami berdua di dalam ruang kerja ku. Sementara para karyawan yang lain, sedang makan siang di lantai dasar.

"aku hanya mau tanya satu hal," ucapku memulai pembicaraan, "kenapa Royadi?"

"karena hanya dia yang bisa menghiburku, saat aku sedang patah.." suara Gavella pelan.

"apa kamu benar-benar mencintainya?"

"apa hal itu penting untuk di pertanyakan?"

"kalau kamu tidak mencintainya, kenapa kamu mau menikah dengannya?"

"aku mencintainya, meski mungkin tak sebesar cinta ku pada mas Riyadi.."

"maksud kamu apa? Apa kamu hanya ingin sekedar untuk mempermainkannya? Hanya untuk balas dendam padaku?"

"aku memang masih mencintai mas Riyadi, tapi aku tak pernah berharap untuk bisa bersama mas Riyadi lagi. Dan cinta Royadi terlalu besar untuk bisa aku abaikan begitu saja. Jadi aku rasa, tidak ada salahnya, kalau aku menikah dengan Royadi. Terlepas aku mencintainya atau tidak.."

"dan asal mas Riyadi tahu aja, aku tidak ingin membalas dendam. Aku hanya ingin bisa bertemu mas Riyadi setiap harinya. Karena itu, aku yang meminta pada papa, untuk aku bisa bekerja di perusahaan ini."

"aku benar-benar tidak mengerti cara berpikir kamu, Vel. Apa arti semua ini? Untuk apa?" suara ku mulai sedikit keras.

"aku juga gak tahu, mas. Aku hanya gak bisa melupakan kamu. Aku harap mas juga masih punya perasaan yang sama.."

"tapi saat ini, kita sudah punya kehidupan masing-masing, Vel. Itu jelas tidak mungkin.."

"kenapa tidak? Jika kita memang masih saling mencintai.."

"kamu jangan bodoh, Vella..

"aku sudah terlanjur bodoh oleh cinta ku kepada mu, mas. Dan aku merasa lebih bodoh lagi, jika aku harus melepaskan mas Riyadi begitu saja. Apa lagi saat ini, kita punya kesempatan yang besar untuk bisa bersama-sama lagi.."

"maksud kamu?" aku bertanya dengan nada bodoh.

"aku ingin kita bersama lagi, mas. Seperti dulu. Meski pun saat ini, semuanya telah berbeda. Tapi perasaan cinta ku pada mas Riyadi, masih sama seperti dulu. Aku masih sangat mencintai mas Riyadi.."

Kali ini aku terdiam. Aku benar-benar tidak mengerti apa yang ada dalam pikiran Gavella. Aku juga tidak mengerti, apa yang aku harapkan sebenarnya saat ini.

Sejujurnya, aku memang masih mencintai Gavella. Aku masih mengharapkannya. Tapi...

"kamu sadar kan, Vel? Aku sudah menikah dan bahkan sudah punya anak. Kamu juga sudah menikah dengan adik ku. Dan jika kita menjalin hubungan lagi, akan di bawa kemana hubungan seperti itu?"

"aku gak peduli, mas. Karena cinta memang tidak pernah ada ujungnya. Selama kita masih bisa bersama, kenapa gak? Kecuali kalau mas Riyadi sudah tidak mencintai ku lagi.."

Aku terdiam kembali. Jujur saja, aku juga sependapat tentang hal tersebut dengan Vella. Cinta memang tidak pernah ada ujungnya. Cinta hanya akan berakhir, jika salah satunya tidak lagi merasakan hal yang sama.

Dan perasaan ku terhadap Vella, belum berubah. Aku masih mencintainya.

"kamu yakin dengan semua ini, Vel? Kamu yakin mau menjalin cinta lagi dengan ku? Dengan keadaan kita seperti saat ini?" aku bertanya dengan perasaan bimbang.

"aku yakin, mas."

"meski pun kamu tahu resikonya?"

"iya.. aku siap menanggung resikonya.."

***

Dan begitulah, sejak saat itu, aku dan Vella pun, sepakat untuk menjalin hubungan secara diam-diam. Sebisa mungkin kami mengatur waktu, agar kami bisa menghabiskan waktu berdua.

Ada banyak cara yang kami lakukan, untuk bisa bersama. Terutama dengan alasan, keluar kota bersama, untuk urusan pekerjaan. Atau di sela-sela jam istirahat kerja kami.

Mulanya semua berjalan dengan lancar. Kami sangat bahagia dengan semua itu.

Namun, lama-kelamaan, kedekatan kami pun mulai menuai kecurigaan dari orang-orang di sekeliling kami, terutama dari istri ku, dan juga Royadi.

Hingga akhirnya, hubungan kami benar-benar terbongkar. Istri ku dan Royadi diam-diam pun bekerja sama, untuk bisa membongkar hubungan kami tersebut. Hingga akhirnya, mereka bisa membuktikan semuanya.

Setelah semuanya terbongkar, istri ku pun meminta cerai dari ku. Bahkan papa ku, juga memecat ku dari perusahaan. Begitu juga Gavella. Ia juga dipecat.

Gavella pun kemudian menghilang. Tanpa kabar. Dia menghilang begitu saja, setelah ia mendapatkan perlakuan kasar dari suaminya, dan di usir dari rumah.

Aku sendiri juga harus pergi dari rumah, karena orangtua ku sudah tidak mau mengakui aku sebagai anaknya. Mereka pasti sangat kecewa padaku.

Tapi aku memang harus menerima semua itu, sebagai hukuman atas segala kesalahan ku selama ini.

Aku harus kehilangan istri dan anak-anak ku, aku juga kehilangan orangtua ku, dan aku juga harus kehilangan Gavella, orang yang paling aku cintai.

Kini aku harus memulai semuanya lagi dari awal. Aku harus menata hidup ku kembali.

Aku hanya berharap, semoga aku bisa bertemu Gavella kembali. Semoga kami bisa memulainya lagi dari awal. Dan semoga Gavella juga punya harapan yang sama dengan ku.

Yah.. semoga saja..

****

Mandor cantik pencuri hati

 

Namaku Keken.

Sekarang usiaku sudah hampir 28 tahun.

Aku akan bercerita tentang pengalamanku, menjalin hubungan dengan seorang gadis yang usia dua tahun lebih tua dari ku.

Kisah ini terjadi beberapa tahun silam. Saat itu aku masih berusia 22 tahun.

Aku bekerja sebagai kuli bangunan, bahkan hingga sekarang.

Aku kerja ikut mang Rohim, sudah bertahun-tahun.

Sudah bertahun-tahun juga, aku meninggalkan kampung halamanku.

Orangtuaku hanyalah petani biasa di kampung. Kehidupan kami memang terbilang cukup miskin. Karena itu, aku hanya bisa sekolah hingga SMP.

Setelah lulus dari SMP, aku mulai bekerja serabutan di kampung. Hingga akhirnya aku bertemu dengan mang Rohim, seorang laki-laki paroh baya, yang sudah sangat berpengalaman di bidang pertukangan.

Aku ikut mang Rohim merantua ke kota dan ikut bekerja dengannya sebagai kuli bangunan.

Sebagai seseorang yang memiliki kehidupan ekonomi yang pas-pasan, aku memang belum pernah pacaran, sampai saat itu. Apa lagi sejak aku ikut mang Rohim bekerja.

Tempat kerja kami yang selalu berpindah-pindah, dari satu tempat ke tempat lainnya, dari satu kota ke kota lainnya. Hal itulah salah satu penyebab mengapa aku belum pernah pacaran sampai saat itu. Selain karena kehidupan ekonomi ku yang kurang mapan.

Sudah banyak proyek bangunan yang berhasil kami selesaikan. Kadang saat job kosong, aku dan mang Rohim pulang ke kampung. Mang Rohim memang sudah punya istri dan anak di kampung.

Biasanya, kalau tidak bisa pulang, mang Rohim hanya mengirimkan uang ke kampung. Aku juga sering mengirim uang untuk orangtuaku di kampung, terutama untuk membantu biaya sekolah adik-adikku.

****

Waktu terus bergulir, aku masih sangat betah menjadi seorang kuli bangunan. Karena sebenarnya memang tidak banyak pilihan pekerjaan untuk seseorang seperti diriku.

Hingga suatu saat, mang Rohim mendapat sebuah proyek yang cukup besar. Sebuah proyek pembangunan perumahan yang cukup elit.

Proyek perumahan itu berada di sebuah kota yang cukup besar. Aku dan mang Rohim beserta beberapa orang kuli bangunan lainnya, tinggal di sebuah rumah kosong, tak jauh dari tempat pembangunan perumahan elit tersebut.

Disanalah saya bertemu dan berkenalan dengan seorang wanita cantik. Namanya Citra, usianya dua tahun lebih tua dariku, dan aku biasa memanggilnya mbak Citra.

Dia adalah mandor kami, selama pengerjaan proyek perumahan tersebut.

Selain cantik, Citra juga memiliki tubuh yang ramping. Ia juga  ramah, dan sangat baik. Dan tentu saja pintar.

Mulanya semuanya berjalan biasa saja. Kami melakukan tugas kami sebagai kuli bangunan, dan begitu juga Citra, ia juga melakukan tugasnya sebagai seorang mandor.

Sebulan saya bekerja disana. Hingga suatu malam, tiba-tiba Citra, si mandor cantik itu, mengajak aku mengobrol. Kami ngobrol berdua di bangku depan rumah tempat kami, para kuli tinggal.

Waktu itu malam minggu. Seperti biasa, hari minggunya kami libur kerja. Untuk itu teman-teman kuli yang lain, tidak berada di rumah. Mereka ada yang pulang kampung, seperti mang Rohim. Ada juga yang keluyuran keluar, menikmati malam minggu mereka sendiri.

Aku sendiri sebenarnya, memutuskan untuk tidak kemana-mana malam itu, aku hanya ingin beristirahat di rumah.

Namun tiba-tiba Citra datang, sendirian. Rumah Citra memang tidak begitu jauh dari situ. Tapi Citra datang memakai mobilnya.

Awalnya aku cukup kaget, karena tak biasanya Citra datang malam-malam.

"saya lagi suntuk di rumah. Lagi butuh teman buat ngobrol juga..." jelas Citra padaku waktu itu, ketika aku mempertanyakan kedatangannya.

Kami ngobrol cukup lama malam itu, Citra bahkan sampai memesan minuman dan beberapa makanan ringan secara online, untuk kami nikmati sambil kami mengobrol.

Citra bertanya banyak hal padaku, terutama tentang kehidupanku. Demikian juga sebaliknya, Citra juga secara blak-blakan bercerita tentang dirinya padaku malam itu.

Aku sebenarnya cukup sungkan, namun karena Citra yang bersifat ramah, aku pun mencoba untuk bersikap rileks.

Dari Citra aku tahu, kalau ia adalah anak bungsu dari tiga bersaudara. Mereka empat bersaudara semuanya perempuan. Kedua kakaknya sudah berkeluarga dan sudah mempunyai rumah masing-masing.

Jadi dirumahnya, hanya ada Citra dan kedua orangtuanya. Dan tentu saja ada beberapa orang pembantu di rumahnya.

Citra memang anak orang kaya. Ayahnya seorang pengusaha besar. Dan dari Citra juga aku jadi tahu, jika perumahan elit yang sedang kami bangun tersebut adalah milik ayahnya.

"saya masih tak percaya, kalau kamu masih belum pernah pacaran..." ujar Citra di sela-sela obrolan kami.

Aku hanya tersenyum. Tak berniat juga untuk terlalu meyakinkan Citra.

"padahal secara fisik, kamu orang yang menarik, lho..." lanjut Citra lagi. "kamu tampan dan juga bertubuh kekar, pasti banyak cewek-cewek yang naksir sama kamu.." kali ini Citra melanjutkan, dengan tersenyum manis menatapku.

Entah mengapa, mendengar pujian Citra barusan, aku merasa tersanjung. Aku tersenyum tipis dan segera menunduk, tak sanggup lebih lama menentang tatapan Citra.

Harus aku akui, bahwa seumur hidup, aku belum pernah dipuji seperti itu oleh siapa pun. Apalagi aku memang tidak pernah dekat dengang seorang cewek.

"mbak Citra sendiri gimana?" tanyaku dengan suara bergetar, mencoba mengalihkan pembicaraan.

"maksud kamu?" tanya Citra dengan kening berkerut.

"maksud saya, mbak Citra sendiri, udah berapa kali pacaran?" tanyaku lebih jelas.

"pernah sih, beberapa kali, dulu. Tapi udah hampir dua tahun ini saya memilih untuk sendiri..." jawab Citra dengan nada datar. Ia seperti tak begitu berminat membicarakan kisah cintanya.

****

Singkat cerita, sejak malam itu, aku dan Citra pun menjadi dekat dan akrab. Citra semakin sering mengajakku ngobrol. Seperti saat-saat jam istirahat kerja, atau pada malam hari, Citra lebih sering datang ke tempat tinggal kami. Ia bahkan tidak segan-segan mengajakku jalan-jalan berdua pakai mobilnya.

Ia sering mentraktir aku makan dan berjalan-jalan keliling kota. Dan bahkan kami pernah nonton di bioskop berdua. Citra juga sering mengajakku main ke rumahnya, tentu saja tanpa sepengetahuan orangtuanya.

Hingga suatu hari, aku mengalami sebuah kecelakaan kerja.

Sebatang kayu besar menimpa kepalaku. Cukup parah. Aku hampir kehabisan darah, kalau saja Citra tidak segera membawaku ke rumah sakit.

Meski sedikit terlambat, tapi setidaknya nyawaku masih terselamatkan.

Dan dari keterangan dokter, aku tahu, bahwa Citra ikut menyumbangkan darahnya, agar aku bisa diselamatkan.

Citra juga yang menanggung semua biaya di rumah sakit.

Lebih dari seminggu aku dirawat. Citra selalu setia menemaniku. Ia juga mengeluarkan banyak uang, untuk biaya aku berobat.

"makasih ya, mbak Citra." ucapku, ketika Citra mengantarku pulang dari rumah sakit, "mbak Citra sudah sangat banyak berkorban untuk saya..."lanjutku lagi.

Citra hanya tesenyum, ia terlihat tulus.

Aku tidak tahu bagaimana caranya bisa membalas semua kebaikan Citra padaku. Rasanya apapun akan aku lakukan, untuk bisa membalas jasanya.

"kamu yakin, gak mau pulang kampung saja, Ken?" tanya mang Rohim, setelah aku beberapa hari pulang dari rumah sakit.

Luka ku memang sudah mulai sembuh, namun aku belum diperbolehkan bekerja, terutama oleh mang Rohim dan Citra.

"iya, gak apa-apa, Mang. Lagian saya juga gak punya ongkos untuk pulang, uang yang kemarin udah saya kirim ke kampung..." balasku kepada mang Rohim, yang masih saja menatapku.

Aku memang tak berniat untuk pulang, selain karena tidak punya uang, aku juga tak ingin membuat cemas kedua orangtuaku. Aku sudah berpesan kepada mang Rohim agar tidak memberitahukan mereka, tentang kejadian yang menimpaku. Mereka tidak perlu tahu.

Lagi pula, beberapa hari lagi, aku juga bakal sembuh dan bisa bekerja lagi.

********

Pagi itu, aku termenung sendirian di dalam rumah. Mang Rohim dan rekan kuli lainnya, sudah berangkat kerja.

Tiba-tiba di balik pintu yang memang tidak tertutup itu, muncul sesosok tubuh seorang wanita.

Aku cukup kaget, namun segera aku tersenyum, karena aku lihat Citra sudah berdiri disana. Ia tersenyum manis, ditangan kanannya ia menenteng sebuah kantong plastik putih transparan.

"aku bawakan sarapan buat kamu..." ucap Citra, sambil ia melangkah masuk dan duduk di dekatku.

Ia menyerahkan kantong plastik itu, dengan masih tersenyum.

Sebenarnya aku merasa cukup berat menerimanya. Namun sudah beberapa hari ini, sejak aku pulang dari rumah sakit, Citra memang rutin membawakan aku sarapan.

Aku tidak tahu lagi, bagaimana cara menolak semua kebaikan Citra padaku. Rasanya kebaikan Citra sudah tidak bisa dibalas dengan apapun.

Namun aku selalu tak bisa menolaknya, aku takut Citra tersinggung. Citra selalu terlihat tulus padaku, sehingga aku menjadi tak kuasa untuk menolaknya.

Pagi itu, entah mengapa aku merasa Citra berpenampilan lebih rapi dari biasanya. Ia memakai blues hijau lengan panjang. Bajunya dimasukkan ke dalam rok mininya, yang terlilit ikat pinggang hitam. Rok mini yang ia pakai berwarna hitam. Rok itu terlihat cukup pendek. Sehingga tubuh Citra yang memang seksi itu, terlihat semakin menarik.

"mbak Citra sudah terlalu baik sama saya. Saya tidak tahu bagaimana cara membalas semua itu.. " ucapku akhirnya memberanikan diri. Saya baru saja menghabiskan sarapan yang dibawa Citra tadi. Kami duduk di ruang tamu rumah itu. Ruang tamu itu tanpa kursi, jadi kami hanya duduk di lantai. Citra duduk di samping ku.

"saya mau jujur sama kamu, Ken. Tapi kamu jangan marah, ya..?!" ucap Citra perlahan.

Aku menatap Citra sekilas.

"mbak Citra mau jujur tentang apa?" tanyaku penasaran.

"tapi kamu janji dulu, Ken. Kamu gak bakalan ngejauhin saya, apa lagi sampai marah sama saya...." balas Citra, kali ini ia menatapku kembali, dengan wajah sedikit memohon.

Aku justru semakin penasaran.

"saya mana berani marah sama mbak Citra.." ucapku, "mbak Citra sudah terlalu baik sama saya.." aku melanjutkan.

"tapi apa yang ingin saya sampaikan ini, sesuatu yang sangat sensistif..." Citra berujar lagi, suaranya sedikit mengecil.

"iya. Mbak Citra ngomong aja. Saya janji gak bakal marah sedikitpun...." balasku meyakinkan.

Aku benar-benar penasaran dengan semua yang ingin diomongkan Citra padaku. Pikiranku menerawang, mencoba menebak-nebak.

Lama kami terdiam, hingga akhirnya Citra pun berujar,

"sebenarnya... sebenarnya aku.... aku suka sama kamu, Ken..." suara Citra tergagap. Namun cukup mampu membuatku sangat kaget.

"maksud mbak Citra?" tanyaku akhirnya, keningku berkerut dua kali lipat dari biasanya.

"yah, aku suka sama kamu, Ken. Aku... aku jatuh cinta sama kamu..." Citra berujar lagi, suaranya masih terbata.

"tapi saya, kan...." aku sengaja menggantung kalimat ku.

"iya, saya tahu. Kamu hanya seorang kuli." Citra memotong ucapanku cepat. "tapi aku sudah terlanjur suka sama kamu, Ken. Aku sayang sama kamu. Aku gak peduli, sekali pun kamu hanya seorang kuli. Kamu mau kan pacaran sama saya?" Citra melanjutkan lagi. Ia terdengar semakin berani.

Aku terdiam. Benar-benar terdiam. Tidak tahu juga harus berkata apa.

Seharusnya aku memang sudah bisa menduga hal itu dari awal. Kebaika Citra selama ini padaku, sudah cukup membuktikan hal tersebut. Tapi, aku benar-benar tidak menyangka, kalau Citra akan seberani itu, untuk mengungkapkan perasaannya pada ku.

Aku juga tidak menyangka, kalau Citra bisa jatuh cinta padaku. Padahal aku hanya seorang kuli bangunan. Sedangkan ia adalah putri seorang pengusaha kaya. Citra juga seorang wanita berpendidikan dan berwawasan tinggi. Rasanya, sangat tidak mungkin ia akan tertarik padaku, yang hanya seorang kuli proyek.

Tapi Citra sudah berterus terang padaku. Ia dengan blak-blakan sudah mengungkapkan perasaannya. Dan aku salut atas kejujurannya itu.

Aku memang belum pernah pacaran. Aku belum pernah mengungkapkan perasaanku pada siapapun. Aku tak tahu rasanya. Meski aku sering mengkhayalkannnya.

Namun tak pernah aku sangka, jika aku harus mendengarkan ungkapan perasaan dari seorang wanita secantik dan sekaya Citra.

"kamu gak harus jawab sekarang, Ken." suara Citra mengagetkanku lagi. "kamu bisa pikirkan hal ini dulu. Dan kamu berhak menolak, kok. Jika kamu memang tidak suka. Tapi kamu jangan marah sama saya, yah. Apalagi sampai membenci saya. Saya ingin kita tetap berteman seperti ini..." Citra melanjutkan kalimatnya, melihat saya hanya terdiam.

Tak lama kemudian, Citra pun berdiri.

"saya permisi, Ken. Kita akan ngobrol lagi nanti, kalau kamu udah punya jawabannya." Citra mengakhiri kalimatnya, lalu melangkah pelan keluar.

Aku masih dalam keterdiamanku. Semuanya terasa aneh bagiku. Pikiranku tiba-tiba kacau tak menentu. Hatiku dibalut dilema. Aku masygul.

****

Seminggu kemudian, aku sudah mulai bekerja lagi seperti sedia kala.

Seminggu ini, pikiranku terasa berat. Pernyataan Citra minggu lalu, masih terus menghantui ku setiap saat.

Citra memang tidak pernah lagi datang kerumah, sejak seminggu itu. Kami bahkan tidak pernah bertemu dari jarak dekat, kami hanya saling pandang dari kejauhan.

Perasaanku semakin tak karuan.

Jika aku menolak pernyataan cinta Citra untuk menjadi pacarnya, jelas ia akan kecewa dan sakit hati. Aku tak ingin hal itu terjadi, biar bagaimanapun Citra sudah teramat sangat baik padaku selama ini. Ia rela mengorbankan apa saja untukku. Ia bahkan telah menyumbangkan darahnya, demi menyelamatkan nyawaku. Dan lagi pula Citra adalah mandor, tempat aku bekerja sebagai kuli bangunan.

Bagaimana mungkin aku bisa mengecewakan, orang sebaik Citra?

Sebegitu tidak tahu terima kasihkah aku?!

Sebegitu jahatkah aku?

Yang tega membuat kecewa, orang yang sudah sangat baik padaku.

Namun jika aku menerima cinta Citra, entah mengapa aku merasa tidak pantas.

Bagaimana nantinya kami bisa menjalin hubungan?

Bagaimana rasanya punya pacar yang lebih tua dari ku? dan juga jauh lebih kaya dari ku?

Aku benar-benar merasa tidak pantas.

Aku pernah membayangkan, suatu saat akan punya pacar. Tapi tentu saja, yang aku bayangkan adalah punya pacar seorang cewek yang kehidupannya sepadan dengan ku.

Tapi sekarang?? Akh... aku benar-benar bingung.

Aku sendiri tidak tahu perasaanku yang sebenarnya terhadap Citra. Jujur, aku memang mengagumi sosok seorang Citra. Terlepas dia seorang wanita yang cantik dan seksi, Citra juga seorang wanita yang sangat baik dan ramah. Selama aku bekerja dengannya, aku belum pernah melihat dia marah.

Namun aku tidak bisa begitu saja jatuh cinta padanya. Biar bagaimana pun, aku cukup sadar diri. Dan lagi pula, aku juga tidak ingin punya pacar yang usianya lebih tua dariku, meski pun hanya dua tahun.

Aku memang merasa nyaman, saat bersama Citra. Karena segala kebaikannnya padaku selama ini.

Tapi bukan berarti, aku telah jatuh hati padanya.

Aku juga memang belum pernah pacaran. Hatiku memang selalu kosong. Tapi bukan berarti juga, aku harus membiarkan Citra masuk ke dalamnya dengan begitu mudah.

Lalu apa yang harus aku lakukan sekarang?

Haruskah aku mencobanya?

Setidaknya untuk membuat Citra merasa senang.

Setidaknya untuk membalas semua kebaikan Citra selama ini. Meski sebenarnya, itu semua tidak akan pernah cukup. Citra terlalu baik padaku.

********

"jadi gimana, Ken? Kamu sudah punya jawabannya?" Tanya Citra akhirnya. Setelah lebih dari seminggu kami tak pernah ngobrol.

Saat itu malam minggu, Citra datang sekitar setengah jam yang lalu. Aku memang sedang sendirian di rumah. Seperti biasa, teman-teman kuli yang lain, sudah pergi menikmati malam minggu mereka masing-masing.

"kamu tak perlu merasa tak enak hati, Ken. Saya gak bakal maksa, kok.." Citra berujar lagi, melihat aku hanya terdiam.

Mudah bagi Citra untuk berkata demikian. Aku bisa saja menolak, tapi pasti hubungan kami ke depannya akan merenggang. Dan pasti juga, Citra akan sangat kecewa.

"saya bingung, mbak. sejujurnya saya tidak merasakan apa-apa kepada mbak Citra, selain perasaan sebagai teman.." aku berujar juga akhirnya, meski dengan suara yang sedikit bergetar.

"namun.... namun saya juga tidak ingin hubungan pertemanan kita menjadi renggang. Saya juga tidak ingin mbak Citra kecewa dan sakit hati. Sejujurnya saya memang merasa nyaman, saat bersama mbak Citra. Untuk itu.... mungkin... saya... saya... akan mencobanya..." aku berkata cukup panjang, suaraku semakin terbata.

"maksud kamu, kamu akan mencoba pacaran dengan saya?" tanya Citra sekedar untuk meyakinkan dirinya sendiri.

Saya tidak menjawab, namun repleks saya pun mengangguk. Meski hati saya sendiri tidak begitu yakin.

Kulihat Citra tersenyum sangat lebar. Gigi putihnya yang rapi terlihat. Wajahnya memperlihatkan kebahagiaan yang terpancar dari hatinya. Aku merasa turut senang, melihat semua itu.

Setidaknya aku hanya ingin membuat Citra merasa bahagia, meski harus mengorbankan perasaanku.

Tiba-tiba Citra menyentuh lembut tanganku. Aku kaget. Namun aku membiarkannya, aku tak ingin Citra tersinggung.

Entah mengapa tangan Citra terasa lembut menyentuh kulitku, meski ada rasa kaku menggelitik hatiku.

Sekali lagi, aku benar-benar merasa tidak pantas.

*****

Dengan segala perasaan tidak pantas ku itu, aku mencoba menjalani hubungan asmara ku bersama Citra.

Tentu saja hubungan kami sangat tertutup. Tidak ada seorang pun yang tahu. Dimata orang-orang, kami hanyalah berteman biasa.

Namun kami selalu punya waktu dan tempat untuk berduaan, menikmati kebersamaan kami.

Biasanya kami sering berduaan dikamar Citra, atau pun di hotel-hotel yang sengaja Citra sewa, agar kami bisa menikmati segala kemesraan kami.

"kamu yakin dengan semua ini, Cit?" tanya ku pada suatu malam, ketika pertama kalinya ia mengajak ku ke kamarnya.

"iya, aku yakin.. Kebetulan orangtua ku sedang ada acara ke luar negeri.." balas Citra.

"tapi....." kalimat ku terputus, karena tiba-tiba Citra menarik tangan ku untuk masuk.

"udah kamu masuk aja.. Kita aman kok, disini.." ucap Citra, sambil terus menarik tangan ku.

Aku pun akhirnya, hanya bisa menuruti semua itu. Tanpa bisa berkata apa-apa lagi.

Berbulan-bulan hal itu terjadi. Berbulan-bulan hubungan asmara ku dengan Citra terjalin.

Entah mengapa, lama kelamaan, aku mulai merasa menyukai Citra.

Aku mulai merasakan benih-benih cinta tumbuh dihatiku untuk Citra. Aku semakin sering memikirkan Citra. Aku sering menatapnya dari kejauhan, saat kami bekerja. Aku kadang juga merasa rindu, bila sehari tak bertemu dengan Citra.

Sejak pacaran, Citra memang semakin baik padaku. Ia tidak pernah sekalipun membuat aku kecewa. Ia selalu berusaha, untuk membuatku selalu tersenyum. Ia juga sering memberi aku kejutan, dengan memberiku beberapa hadiah, seperti jam tangan atau pun pakaian.

Hal itulah yang mungkin membuat aku semakin menyayangi Citra. Dan aku pun akhirnya jatuh cinta padanya. Rasanya begitu nyaman, saat berada di samping Citra.

Hari-hari terasa begitu indah bagiku. Segala perasaan tidak pantas yang aku rasakan dari awal hubungan kami, kini telah sirna. Berganti dengan rasa bahagia yang tak terkira.

***

Hampir setahun kami menikmati kebahagiaan itu.

Hingga akhirnya proyek perumahan elit itu pun selesai. Aku dan Citra harus berpisah untuk sementara, karena aku harus kembali ke kampung halamanku.

Meski terpisah jarak yang begitu jauh, kami tetap menjalin hubungan. Kami tetap berusaha menjaga cinta kami.

Rasanya begitu berat, saat harus terpisah dengan Citra. Begitu juga yang dirasakan Citra.

Tapi aku harus kembali ke kampung, karena sudah sangat lama aku tidak pulang. Dan lagi pula, aku tidak punya pekerjaan lagi di kota itu.

Meski Citra berusaha menahanku, dan meminta ku untuk tetap tinggal di kota. Ia  bersedia menyewakan sebuah apartemen untukku. Namun aku terpaksa menolak. Aku merasa tidak enak hati, harus tetap tinggal di kota, sementara aku tidak punya pekerjaan. Citra pun mencoba untuk memahaminya.

***

Waktu masih saja terus bergulir. Lebih dari dua bulan aku berada di kampung. Selama itu, aku dan Citra, masih saling memberi kabar, meski tentu saja hanya melalui telepon genggam.

Citra pernah sekali datang ke kampungku, sekedar melepas rindu katanya. Tapi ia tidak bisa berlama-lama, karena ia harus bekerja. Lagi pula, jarak antara kampungku dengan kota tempat Citra tinggal sangat jauh. Butuh waktu hampir seharian, untuk Citra bisa sampai ke kampungku.

Dua bulan lebih kami terpisah.

Hingga akhirnya, Citra pun mengabarkan padaku, bahwa ia akan menikah dengan seorang pria pilihan orangtuanya.

Citra sebenarnya sudah berusaha menolak. Namun keinginan orangtuanya sudah sangat kuat, mengingat usia Citra yang sudah cukup dewasa. Dan lagi pula, Citra juga tidak pernah berani untuk menceritakan tentang hubungan kami kepada keluarganya. Untuk itu orangtuanya, bersikeras menjodohkan Citra dengan anak salah seorang rekan bisnis ayahnya.

Entah mengapa, aku merasa begitu sakit mendengar kabar itu. Hatiku tak rela Citra-ku, menikah dengan orang lain.

Namun aku dan Citra tidak bisa berbuat banyak.

Biar bagaimana pun, hubungan kami pasti tidak akan pernah direstui oleh orangtua Citra. Mengingat betapa banyaknya perbedaan yang ada diantara kami berdua.

Citra pernah mengajak ku untuk kawin lari dengannya. Tapi aku dengan tegas menolak. Rasanya itu bukanlah jalan keluar terbaik untuk hubungan kami berdua.

Kami harus bisa menerima kenyataan, bahwa hubungan kami memang harus berakhir. Kami tidak mungkin lagi bisa mempertahankannya. Apa lagi sekarang, jarak antara kami berdua kian jauh terbentang.

Tapi rasanya sangat berat menerima itu semua.

Sebenarnya Citra berharap, agar kami tetap berhubungan, sekali pun ia sudah menikah. Tapi aku tak menginginkan hal itu. Aku tak ingin menjadi penghalang untuk kebahagiaan Citra dan suaminya.

Aku berusaha untuk mengikhlaskannya.

Mengikhlaskan orang yang aku cintai hidup dengan orang lain.

Aku hanya ingin Citra bahagia dan menjalani hidupnya dengan baik. Menjalani hidupnya bersama orang yang sepadan dengannya. Bukan seorang kuli seperti diriku.

Aku sendiri akan berusaha untuk melupakan Citra, dan berusaha untuk menemukan jodohku sendiri. Dari golongan orang yang sederajat pula kehidupannya dengan ku.

Meski akhirnya harus terpisah, setidaknya aku pernah merasakan bahagia dengan orang yang aku cintai dan mencintaiku.

Setidaknya aku pernah merasakan, indahnya hubungan cinta dengan wanita yang usianya lebih tua dariku.

Kini semua itu, hanyalah tinggal kenangan bagiku.

Aku akan memulai hidupku yang baru. Meski aku sendiri tidak yakin, aku akan mampu melupakan segala kenanganku dengan Citra seutuhnya.

Tapi setidaknya aku akan mencoba.

Semoga saja aku mampu...

Yah.. semoga saja..

Sekian...

Istri teman ku

Ini adalah sebuah kisah nyata yang aku alami sendiri. Sebuah kisah rahasia yang selama ini hanya aku simpan sendiri. Namun karena aku orannya tidak suka memendam sesuatu terlalu lama, jadi pada kesempatan kali ini aku ingin menceritakan kisah ini di sini.

Jadi ceritanya begini...

Aku punya seorang teman, teman yang cukup dekat dan akrab. Boleh dibilang kami ini adalah dua orang sahabat. Kami berteman sudah sejak masih sama-sama SMA. Hingga kami kuliah di kampus yang sama dan fakultas yang sama juga.

Bahkan ketika sudah lulus kuliah, kami juga akhirnya bekerja di perusahaan yang sama.

Teman ku ini sebut saja namanya Alvin. Dia tipe orang yang sedikit introvert. Alvin memang jarang keluar rumah, kecuali jika bersama ku. Dia juga hampir tidak pernah berpacaran selama ini.

Hingga akhirnya ia jatuh cinta pada seorang gadis, junior kami di kampus. Sebut saja nama gadis itu, Bela. Seorang gadis cantik yang berasal dari kampung. Gadis itu lah yang berhasil memikat hati Alvin. Setelah sekian tahun Alvin menjomblo.

Singkat cerita, Alvin dan Bela pun berpacaran. Hingga mereka sama-sama lulus kuliah. Dan saat Alvin sudah mulai bekerja, ia pun melamar Bela. Mereka pun akhirnya menikah, meski di usia yang masih cukup muda.

Setahun menikah mereka pun di karuniai seorang anak laki-laki. Pernikahan mereka juga terkesan cukup bahagia. Apa lagi secara ekonomi kehidupan mereka juga cukup mapan.Meski pun Bela memilih untuk tidak bekerja, dan hanya menjadi ibu rumah tanggan biasa.

Lima tahun usia pernikahan Alvin dan Bela, mereka sekarang sudah mempunyai dua orang anak. Kedua anaknya laki-laki. Meski pun Alvin sendiri pernah bercerita padaku, ingin sekali memiliki anak perempuan. Karena itu ia masih berharap, kalau Bela masih mau hamil lagi ketiga kalinya. Agar mereka bisa memiliki anak perempuan.

****

Aku sendiri sampai saat ini belum menikah. Berbeda dengan Alvin, aku termasuk tipe orang yang cukup bebas. Aku tidak suka menghabiskan waktu di rumah, bahkan sejak dulu. Aku lebih suka nongkrong di luar, atau sekedar jalan-jalan keliling kota.

Aku juga terkenal sebagai laki-laki play boy, karena sering gonta-ganti pacar. Aku memang termasuk tipe orang yang cepat bosan akan sesuatu. Karena itu juga, hubungan percintaan ku tidak pernah bertahan lama. Paling lama yah.. satu tahunan lah..

Kalau untuk urusan cinta, aku memang cukup beruntung. Mencari pacar bagi ku hal yang mudah. Siapa pun gadis yang aku inginkan untuk aku jadikan pacar, pasti akan bisa aku dapatkan. Namun masalahnya, aku terlalu gampang jatuh cinta, namun juga terlalu gampang bosan.

Hal itulah yang mungkin salah satu penyebab, mengapa aku belum menikah hingga saat ini. Meski pun usia ku sudah kepala tiga. Aku masih sangat menikmati masa lajangku.

Secara ekonomi, kehidupan ku juga sudah sangat mapan. Karena, sama seperti Alvin, aku juga sudah punya pekerjaan tetap dengan gaji yang fantastis. Tapi, aku memang belum ingin menikah saat ini.

****


 

Persahabatan ku dan Alvin memang cukup erat. Mengingat selama ini, kami selalu bersama-sama. Meski pun sejak menikah dan punya anak, Alvin jadi semakin jarang keluar rumah. Tapi saat di kantor kami sering menghabiskan waktu bersama.

Aku dan Bela juga cukup dekat. Karena sejak mereka pacaran, aku lah yang selalu menjadi perantara diantara mereka berdua, ketika mereka ada masalah dalam hubungan mereka. Dan sejak mereka menikah, aku juga jadi sering main ke rumah mereka. Apa lagi sejak anak-anak mereka lahir.

"kata mas Alvin, mas Dewa sekarang sudah naik jabatan ya..?" Bela bertanya padaku, ketika pada suatu sore aku bermain lagi ke rumah mereka. Kebetulan saat itu, Alvin tidak sedang berada di rumah.

"iya, Bel.." jawabku singkat.

"jadi sekarang gaji mas Dewa pasti lebih besar dari gaji mas Alvin ya..?" Bela bertanya kembali.

"yah.. begitulah kira-kira, Bel." balasku apa adanya, "emang kenapa, Bel? Kamu lagi ada masalah keuangan?" tanya ku melanjutkan.

"ya.. gak sih, mas. Saya cuma pengen mastiin aja, kalau ternyata gaji mas Dewa memag lebih besar dari mas Alvin.."

"udah... kamu tenang aja, Bel. Saya yakin, sebentar lagi, Alvin juga bakal naik jabatan, kok. Alvin kan, juga berprestasi di kantor, dan dia juga sangat disiplin. Hanya saja, mungkin saat ini, peluangnya belum ada..." balasku berusaha sedikit menghibur Bela.

Selama ini, Bela memang terkesan selalu membanding-bandingkan antara aku dan Alvin.

"tapi.. ngomong-ngomong... dengan gaji yang udah sebesar itu, mas Dewa bakalan segera menikah kan?" tiba-tiba Bela bertanya seperti itu.

"nah itu dia masalahnya, Bel. Kalau untuk urusan pekerjaan, aku selalu beruntung. Tapi untuk urusan cari jodoh, aku kurang beruntung kayaknya.." balasku sedikit dramatis.

"bukankah sejak dulu mas Dewa itu terkenal dengan status playboy nya? Kenapa nyari jodoh aja, jadi sulit, buat orang seperti mas Dewa? Pasti karena mas Dewa suka pilih-pilih kan, orangnya?"

"ah gak juga sih, Bel. Saya gak terlalu pemilih orangnya, kok. Yang penting cocok aja.."

"emangnya tipe perempuan yang ingin mas Dewa nikahi itu seperti apa sih?"

"saya gak punya kriteria khusus kok, Bel. Yang penting bisa jadi istri yang baik aja. Yah.. seperti kamu inilah, mungkin.."

"ah, mas Dewa bisa aja, tapi saya bukan tipe istri yang baik loh, mas.."

"tapi menurut saya, selama ini, kamu sudah menjadi istri dan ibu yang sempurna di rumah ini, buat suami dan anak-anak mu.."

Kali ini Bela tidak lagi membalas ucapan ku. Ia hanya tersenyum simpul. Wajahnya jadi sedikit memerah. Mungkin karena merasa malu dan tersanjung mendengar ucapan ku barusan.

****

Begitulah, aku dan Bela memang jadi kian akrab. Aku jadi suka bercerita sama Bela. Begitu juga sebaliknya. Bela jadi sering curhat padaku, terutama perihal rumah tangganya.

Hingga pada suatu malam, Bela meminta aku untuk datang ke rumahnya. Kebetulan saat itu, Alvin memang sedang ada tugas di luar kota selama beberapa hari.

Malam itu, Bela meminta aku menginap di rumahnya, karena ia merasa takut, katanya. Namun hal itu, tentu saja tidak diketahui oleh Alvin. Bela meminta ku secara diam-diam.

Aku dengan sedikit ragu, pun memenuhi permintaan Bela tersebut. Aku juga merasa penasaran sih sebenarnya, kenapa Bela tiba-tiba meminta aku menginap di rumahnya, saat Alvin tidak ada?

Namun diluar dugaan ku, ternyata Bela meminta aku untuk 'bercocok tanam' dengannya. Katanya, ia sudah lama tidak melakukan hal tersebut bersama suaminya. Alvin terlalu sibuk bekerja, akhir-akhir ini. Mungkin karena Alvin juga ingin segera naik jabatan, seperti aku.

Aku tidak berusaha menolak hal tersebut. Bagiku, tidaklah terlalu akan menjadi masalah, jika aku memenuhi keinginan Bela tersebut malam itu. Toh, jujur saja, sebagai laki-laki normal, di mata ku Bela juga cukup menarik.

Jadi ... malam itu, kami pun melakukan hal tersebut.

Dan terus terang, ada rasa bersalah menyelinap di dalam hati ku, saat semua itu akhirnya usai.

Namun semua sudah terlanjur terjadi. Terlepas dari siapa pun yang menginginkannya dan siapa pun yang memulainya, semua itu jelas sebuah kesalahan. Dan aku benar-benar menyesalinya.

Tapi begitulah kehidupan, kadang kita tidak bisa mengatur dengan baik, apa yang harus dan tidak harus kita lakukan. Apa lagi untuk orang seperti aku ini, yang terlalu terbiasa hidup dalam kebebasan.

Hanya saja, aku tidak menyangka sama sekali, kalau Bela akan melakukan hal tersebut. Terlepas dari apa pun alasannya.

Namun biar bagaimana pun, itu adalah kehidupannya. Itu sudah menjadi pilihan hidupnya.

****

Sejak kejadian malam itu, aku memutuskan untuk menjaga jarak dari Bela. Aku tidak pernah lagi datang ke rumahnya. Meski pun beberapa kali, Bela coba menghubungi ku lagi. Namun aku harus bisa tegas untuk menolaknya.

Satu kali, mungkin itu adalah sebuah kekhilafan. Namun jika aku terus melakukannya lagi, itu adalah sebuah kebodohan. Jadi aku memutuskan untuk tidak lagi menanggapi, apapun usaha yang dilakukan Bela untuk bisa membujuk ku.

Bagi ku semuanya sudah berakhir. Kejadian malam itu, adalah sebuah kesalahan, yang tidak mungkin aku ulang kembali.

Kalau saja Bela bukan istri sahabat ku, mungkin hal itu tidaklah akan terlalu jadi masalah. Tapi kenyataannya, Bela adalah istri sahabatku sendiri. Dan aku tidak mau menjadi penghancur rumah tangga sahabat ku sendiri.

Dan karena aku tidak lagi mau menanggapinya, Bela akhirnya tidak pernah lagi berusaha untuk menghubungi ku. Ia sepertinya sudah menyerah dan mengerti, kalau aku tidak menginginkan hal tersebut.

Aku pun tidak mau tahu lagi, bagaimana kehidupan rumah tangga Alvin dan Bela selanjutnya. Aku hanya berharap, semoga Bela bisa berubah. Dan dia tidak lagi mencari laki-laki lain, selain suaminya sendiri.

Aku juga berharap, semoga Alvin menyadari kesalahannya, karena terlalu sibuk bekerja dan mengejar karir, hingga mengabaikan kewajibannya sebagai seorang suami. Yang membuat istrinya mencari perhatian dari laki-laki lain.

Begitulah kisah singkat ku bersama istri teman ku. Sebuah kisah yang memberi banyak pelajaran berharga dalam perjalanan hidupku. Meski pun aku tidak tahu, karma apa yang akan aku terima nantinya, atas kesalahan yang aku lakukan tersebut.

Namun yang pasti, aku tidak ingin melakukan kesalaha yang sama lagi di kemudian hari.

****

Cari Blog Ini

Layanan

Translate