Detektif Akmal menahan napas, lalu kemudian melepaskannya dengan lega, saat akhirnya ketiga orang tersebut berlalu. Akmal belum berani untuk bertindak lebih. Dua orang pengawal tersebut juga memiliki pistol, jika Akmal mencegat mereka sekarang, pasti akan terjadi keributan, yang akan mengundang kedatangan para pengawal lainnya. Karena Akmal tetap memilih untuk bersembunyi.
Setelah merasa cukup aman, Akmal kembali menyelinap keluar dari gudang tersebut. Ia harus segera keluar dari gedung tersebut, sebelum kehadirannya diketahui oleh para pengawal yang bisa saja memergokinya. Setidaknya sekarang ia sudah tahu, kalau gadis yang ia cari memang berada di dalam gedung tersebut.
Akmal berhasil menyelinap keluar. Dia pun dengan sedikit berlari menuju tempat mobil terparkir. Di sana Piter dan Alena sedang menunggu dengan cemas.
"bagaimana?" tanya Piter ingin tahu, ia tak pedulikan Akmal yang masih berusaha mengatur napasnya.
Akmal tidak menghiraukan pertanyaan Piter barusan, ia langsung saja masuk ke dalam mobil.
"kita harus pergi dari sini sekarang, sebelum orang-orang itu mulai curiga." ucap Akmal setelah ia berada di dalam mobil.
"lalu bagaimana dengan Lila?" kali ini Alena yang bertanya.
"Lila ada di dalam, tapi kita tidak bisa menyelamatkannya sekarang, kita harus atur rencana dulu." balas Akmal, sambil mulai menjalankan mobilnya.
"apa rencananya?" tanya Piter tak sabar.
"nanti kita kembali lagi kesini, dan aku butuh teman untuk masuk ke dalam. Sekitar jam empat subuh kita masuk, karena pada jam itu biasanya keadaan akan aman." jelas Akmal.
"aku ikut.." ucap Alena, entah menawarkan diri atau bertanya.
"aku dan Piter yang akan masuk ke dalam, kamu tunggu di mobil dan bersiap-siap untuk menjalankan mobil saat kami sudah kembali nanti.." ucap Akmal kemudian.
Alena pun akhirnya hanya bisa diam. Ia sebenarnya tidak tahu, pilihan mana yang terbaik untuknya saat ini. Menunggu di mobil atau ikut masuk ke dalam, baginya sama-sama besar resikonya.
"lalu kita akan kemana menunggu jam empat?" Piter bertanya dari belakang.
"kita ke rumah ku, untuk beristirahat, dan juga mengambil beberapa perlengkapan ku di sana." balas Akmal.
Mobil itu pun melaju menuju rumah Akmal yang berjarak kurang lebih sepuluh kilometer dari situ.
****
Lila masih berusaha meronta, saat kedua pengawal tersebut membawanya ke lantai atas. Di depan sebuah kamar mereka berhenti. Salah seorang pengawal tersebut mengetuk pintu kamar tersebut. Sesaat kemudian, pintu itu pun terbuka. Seorang lelaki tua berperut buncit tersenyum menyambut mereka.
"ini pesanannya, tuan." ucap salah seorang pengawal, sambil mendorong tubuh Lila ke depan pria tua tersebut.
Pria tua tersebut semakin melebarkan senyum, "bawa masuk ke dalam.." ucapnya.
Kedua pengawal tadi, segera mendorong tubuh Lila, agar ikut masuk. Sementara Lila masih terus berusaha meronta, melepaskan diri.
Sesampai di dalam, kedua pengawal pun melepaskan pegangannya pada tubuh Lila. Lalu mereka berdua pun pamit keluar. Lila hanya berdiri menatap lelaki tua yang ada di depannya sekarang.
"anda siapa?" tanya Lila cukup berani, setelah kedua pengawal tadi meninggalkan mereka berdua. Lila sadar, kalau pun saat itu hanya ada lelaki tua tersebut, dia juga tidak bisa kabur. Pintu kamar itu sudah terkunci. Untuk itu Lila pun berusaha menjalin komunikasi dengan lelaku tua tersebut, agar ia punya banyak waktu untuk terus memikirkan cara untuk kabur.
"panggil saya om Hadi." ucap laki-laki tua itu akhirnya, "saya adalah orang yang telah membeli kamu malam ini. Dan saya membeli kamu sangat mahal, karena katanya kamu masih perawan." lanjut laki-laki itu dengan gaya angkuhnya.
Lila menelan ludah pahit mendengarkan hal tersebut. Meski ia sudah mendengarkan semua cerita tentang tempat ini dari Atika, teman satu kamarnya, ia tetap saja merasa mual mendengarkan hal tersebut.
"jadi malam ini kamu milik saya. Kamu harus mengikuti keinginan saya." laki-laki itu berucap lagi, sambil mulai melangkah mendekat.
"saya... saya.. tidak sudi melayani anda.." suara Lila bergetar.
"kamu tidak bisa menghindari ini, kamu sudah saya bayar.." balas laki-laki itu tajam.
Lila terdiam, karena om Hadi sudah memegang kedua pundaknya.
"kamu cantik sekali.." bisik om Hadi berusaha menggoda.
Lila berusaha menepis tangan om Hadi, tapi cengkeraman om Hadi justru semakin kuat. Tapi Lila tidak kehabisan akal, ia menangkat lututnya, lalu menendang bagian sensitif milik om Hadi.
"akhk.." om Hadi terjerit, tanganya pun terlepas. Lila segera memanfaatkan kesempatan tersebut. Ia berlari menuju pintu, tapi sayangnya pintu itu sudah terkunci. Dan kunci ada di atas meja di samping ranjang. Lila hendak mengambil kunci tersebut, tapi om Hadi kembali mencegatnya.
"lepaskan saya.." teriak Lila, sambil terus berusaha melepaskan diri dari dekapan om Hadi.
"kamu tidak akan bisa kemana-mana.." ucap om Hadi kasar. Ia mendorong tubuh Lila ke atas ranjang.
Lila tetap meronta. Ia tak ingin menyerah. Tangannya meraih bantal, lalu melemparkannya ke arah om Hadi. Tentu saja hal itu tidak bisa menghentikan om Hadi. Tapi setidaknya Lila jadi punya kesempatan untuk kembali berdiri. Ia berlari kembali ke arah meja untuk meraih kunci.
Om Hadi sekali lagi berhasil meraih tubuhnya, Lila kembali meronta. Sampai ia melihat di atas meja ada sebuah telepon. Tangannya berusaha meraih telepon tersebut. Dan saat ia berhasil mendapatakan telepon itu, ia pun melayangkan telepon tersebut ke arah om Hadi.
Om Hadi coba menghindar, tapi terlambat, telepon itu telah mengenai kepalanya. Sekali lagi om Hadi mengerang kesakitan. Lila pun segera meraih kunci kamar, dan berlari ke arah pintu. Dengan tangan gemetar ia berusaha membuka pintu tersebut. Sementara om Hadi masih terus berusaha mendekatinya, sambil terus memegangi kepalanya yang sakit.
Dengan susah payah akhirnya Lila berhasil membuka pintu itu. Ia segera berlari ke bawah. Namun dua orang pengawal tadi melihatnya. Mereka berusaha mengejar Lila.
Saat menuruni tangga, Lila terpeleset. Ia pun jatuh bergulingan ke bawah. Kedua pengawal segera menangkapnya. Kepala Lila terbentur ubin tangga, keningnya berdarah. Tapi Lila masih sadarkan diri, ia terus berusaha melawan. Namun kedua pengawal itu berhasil membekuknya.
Om Hadi pun tiba di sana, ia terlihat sangat marah.
"bawa perempuan brengsek ini pergi dari sini. Saya tidak membutuhkannya lagi." ucap Om Hadi dengan nada tinggi. Setelah berkata demikian, om Hadi pun segera berlalu dari sana.
Kedua pengawal tersebut pun menyeret Lila untuk kembali kamarnya. Mereka tak pedulikan kening Lila yang berdarah. Bagi kedua pengawal tersebut, itu merupakan hal biasa. Bukan sekali dua kali, seseorang berusaha lari dari kamar tamu, apa lagi bagi para perempuan yang baru pertama kali menerima tamu.
Tubuh Lila mereka lempar dengan kasar untuk memasuki kamar tempat Lila di sekap. Lila terduduk. Tubuhnya terasa sakit. Tapi ia merasa sedikit lega. Setidaknya untuk sementara ia selamat dari cengkeraman laki-laki tua hidung belang yang mengaku bernama om Hadi tadi.
"kamu gak apa-apa?" Atika, teman sekamar Lila coba membantu Lila untuk berdiri.
"saya gak apa-apa. Ini jauh lebih baik, dari pada saya harus melayani laki-laki bejat itu." balas Lila sambil berjalan menuju dipan kecilnya.
"kamu mungkin bisa bebas malam ini. Tapi kamu belum tentu bisa bebas untuk malam-malam selanjutnya." ujar Atika.
"dulu saya juga seperti itu. Tapi akhirnya saya menyerah. Karena bos tidak akan tinggal diam, jika kita terus melawan." lanjut Atika kemudian.
Lila menarik napas berat. Ia bertekad untuk bisa keluar dari tempat terkutuk tersebut. Tapi ia benar-benar tidak tahu bagaimana caranya.
"jangan berpikir untuk kabur.." suara Atika terdengar lagi, "sekali pun kamu berhasil kabur, bos tidak akan membiarkan kamu bebas begitu saja. Mereka akan mencari mu sampai ketemu, dan mereka akan membunuhmu di tempat. Sudah banyak para gadis yang mengalami hal tersebut." lanjut Atika.
"apa yang membuat kamu tetap bertahan?" tanya Lila ingin tahu.
"satu-satunya cara untuk tetap bertahan ialah dengan mengikuti keinginan mereka." balas Atika.
"tapi aku tidak ingin menghabiskan hidup ku di sini..." ucap Lila lemah.
"kita gak punya pilihan, Lila. Pilihan kita hanya satu, yakni mengikuti keinginan mereka." balas Atika.
"kita harus bisa kabur dari sini, Atika. Pasti ada caranya." ucap Lila lagi.
"saya sudah lebih empat bulan berada disini, Lila. Bangunan ini di jaga dengan ketat. Tidak ada yang bisa kabur dari sini. Sekali pun ada, seperti yang saya katakan tadi, mereka akhirnya pun di bunuh." balas Atika.
Sekali lagi Lila bergidik. Hatinya tiba-tiba ciut. Tapi ia juga tidak ingin pasrah begitu saja. Karena itu ia terus berpikir, untuk bisa kabur dari tempat itu.
*****
Jam empat menjelang subuh, sesuai rencana, Akmal, Piter dan Alena sudah berada di tempat yang mereka rencanakan. Mobil mereka parkir tak jauh dari gedung tempat Lila berada.
Segera Akmal dan Piter menyusup ke belakang gedung, mengikuti jalan yang pernah Akmal tempuh sebelumnya. Perjalanan mereka jadi lebih mudah, karena Akmal sudah pernah masuk ke dalamnya melalui jalan tersebut. Sementara Alena menunggu mereka di mobil dengan perasaan yang tak karuan.
Sesampai di dalam, Akmal dan Piter, dengan mengendap-endap menyelusuri koridor, yang di kiri kanannya tersusun kamar-kamar. Akmal sudah tahu persis kamar mana yang akan mereka tuju.
"anda yakin ini kamarnya?" tanya Piter sepelan mungkin.
Akmal mengangguk yakin, "kamu ketuk aja pelan-pelan, jangan sampai terdengar ke atas." ucapnya.
Akmal sengaja memegang pistolnya buat berjaga-jaga.
Piter mengetuk pintu itu dengan pelan, namun tidak ada reaksi apa pun dari dalam.
Piter mencobanya beberapa kali.
Sementara di dalam kamar, Lila yang belum bisa tertidur mendengar ketukan di pintu kamarnya. Ia kaget dan mulai merasa takut. Ia pikir itu adalah para pengawal yang akan memaksanya lagi.
Tapi kemudian ia sadar, jika itu adalah para pengawal, untuk apa mereka harus mengetuk pintu. Bukankah pintu kamar itu mereka kunci dari luar?
Menyadari hal tersebut, Lila segera bangkit dan berjalan menuju arah pintu dengan hati-hati.
Piter yang tidak mendengar reaksi apa pun dari dalam, mulai merasa putus asa.
"kita harus cepat, Piter. Waktu kita tidak banyak.." ucap Akmal berbisik.
"Lila....." ucap Piter berusaha memanggil orang yang berada di dalam kamar tersebut.
Saat itu Lila memang sedang berada di dekat pintu, ia pun mendengar suara panggilan tersebut.
"Piter..?" balas Lila setengah ragu.
"iya, ini aku, Lila. Tolong buka pintunya, kami akan membawa kamu keluar dari sini.." ucap Piter sangat pelan.
Lila mencubit pipinya sendiri. Sakit! Ia merasa kalau ia sedang bermimpi atau sedang berhalusinasi.
"cepat Lila.." suara Piter terdengar lagi.
"pintu ini terkunci dari luar, Piter. Kami gak bisa membukanya dari dalam.." ucap Lila akhirnya, setelah cukup yakin, kalau hal itu nyata.
"kami?" tanya Piter ragu.
"iya, kami berdua di dalam kamar ini." jelas Lila.
"lalu bagaimana membuka pintu ini?" Piter pun bertanya pada Akmal, yang sedari tadi hanya terdiam, sambil terus memperhatikan sekeliling, untuk berjaga-jaga.
"aku juga tidak tahu, Ter.." Lila yang menjawab.
"aku gak lagi ngomong sama kamu, Lila." ucap Piter.
"lalu sama siapa?" tanya Lila penasaran.
Piter tidak menjawab, karena ia melihat Akmal mengeluarkan sebuah kunci dari dalam sakunya. Akmal terpaksa lagi menggunakan kunci serba gunanya untuk membuka pintu tersebut. Tapi ternyata kali ini lebih sulit dari yang ia pikirkan. Pintu itu tidak mudah terbuka.
Akmal akhirnya mengeluarkan sebuah obeng dari sakunya, untuk membantu agar pintu itu bisa cepat terbuka. Cukup lama Akmal berusah untuk membuka pintu tersebut, namun belum juga berhasil.
"kita dobrak aja.." tawar Piter tak sabar.
"jangan!" cegah Akmal, "suaranya akan bikin gaduh.." lanjut Akmal.
"lalu bagaimana?" tanya Piter lagi.
"kamu gak lihat saya sedang berusaha untuk membukanya, jadi kamu lebih baik diam. Omongan mu itu gak membantu sama sekali." balas Akmal terdengar kasar.
Piter pun tak berucap apa-apa lagi, ia terus memperhatikan Akmal yang terus berusaha membuka kunci pintu tersebut.
Sementara di dalam kamar, Lila menunggu dengan gelisah.
"ada apa?" tanya Atika, saat ia akhirnya terbangun melihat Lila yang berdiri di dekat pintu.
Lila tidak menjawab, ia hanya memberi isyarat kepada Atika untuk tidak bersuara. Atika bangkit dari tidurnya, dan berjalan pelan mendekati Lila.
"kamu mau kabur?" tanya Atika.
Belum sempat Lila menjawab pertanyaan Atika barusan, pintu kamar itu pun terbuka. Dua orang laki-laki berdiri di ambang pintu.
"Piter.." teriak Lila tertahan. Ia segera menghambur dalam pelukan Piter. Piter balas mendekap tubuh ramping itu. "aku sangat ketakutan, Ter. Bawa aku pergi dari sini." ucap Lila lagi.
"sudah ... gak ada waktu untuk itu sekarang, kita harus cepat pergi dari sini, sebelum semua orang terbangun." ucap Akmal tegas.
Piter segera melepaskan dekapannya, lalu meraih tangan Lila untuk membawanya keluar dari kamar tersebut.
"tunggu.." cegah Lila.
Lila melihat ke belakang, Atika berdiri terpaku di sana.
"kamu harus ikut bersama kami, Tika." ucap Lila, sambil menarik tangan Atika.
"apa kalian yakin kita akan selamat?" ucap Atika, masih tetap menahan langkahnya.
"udah... kita harus pergi secepatnya dari sini sekarang.." kali ini Akmal yang berucap, sambil ia menarik tangan Atika dengan sedikit kasar. Atika pun akhirnya mengikuti langkah mereka.
"berapa lama lagi waktu kita?" tanya Akmal entah kepada siapa.
"sekarang jam lima lewat empat lima, berarti kita hanya punya waktu kurang lebih lima belas menit lagi." Atika yang menjawab pertanyaan tersebut.
Mereka berempat terus berjalan menuju pintu keluar belakang tempat Akmal dan Piter tadi masuk.
"kenapa kamu bisa menyimpulkan seperti itu?" Piter yang bertanya.
"karena setiap jam enam pagi, para pengawal akan memeriksa setiap kamar yang ada di sini. Jadi kalau mereka tahu, kamar kami kosong, mereka pasti akan mengejar kita." jelas Atika.
"kalau begitu kita harus bergegas.." ucap Akmal menimpali.
Mereka pun berlari menuju keluar gedung tersebut. Melewati tembok dan berlari di dalam semak-semak dalam kegelapan. Tanpa sadar, kaki Lila tersandung sebatang kayu yang melintang di jalan mereka. Lila terjerembab jatuh, Ia menjerit tertahan. Ia merasakan lututnya berdarah.
Piter berusaha membantunya berdiri. Tapi Lila merasa tubuhnya lemah.
"aku gak kuat lagi, Piter.." ucap Lila lemah.
Tanpa pikir panjang, Piter pun segera memopong tubuh Lila, dan Piter kembali berlari, sambil ia terus menggendong tubuh Lila.
Sementara itu, Alena yang sedang menunggu mereka di dalam mobil, mulai merasa gelisah. Sudah hampir dua jam Akmal dan Piter berada di dalam sana. Tapi mereka belum juga kembali.
Sesuai perjanjian, jika mereka tak kembali hingga jam enam pagi, Alena harus segera pergi dari sana.
Alena melirik arloji nya, kurang tiga menit dari jam enam. Itu artinya ia harus bersiap-siap untuk segera pergi dari sana. Saat Alena berusaha menghidupkan mobil, tiba-tiba dari kaca spion ia melihat bayangan orang-orang yang sedang berlari menuju mobilnya. Alena mulai merasa cemas. Ia merasa takut.
Namun saat orang-orang tersebut, sampai di dekat mobil, Alena merasa lega. Ternyata mereka adalah Akmal dan kawan-kawan yang sampai tepat pada waktunya. Mereka segera masuk ke mobil, dan Alena pun segera memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi.
"apakah kita sudah aman?" tanya Alena, saat mobil mereka sudah cukup jauh.
"kita tidak akan pernah aman." Atika yang menjawab, "selama tempat itu masih ada, kita tidak akan pernah aman. Mereka pasti akan tetap mencari kami berdua." lanjut Atika dengan nada cemas.
"kamu tenang, Atika. Kita akan selesaikan ini secepatnya." ucap Akmal membalas.
Piter dan Alena saling bertatapan penuh tanya.
"kalian sudah saling kenal?" Piter bertanya juga akhirnya.
"Atika adalah informan saya di dalam." balas Akmal.
"maksudnya?" tanya Piter.
"kamu pikir saya bisa masuk ke sana dengan mudah itu karena apa? Karena saya beruntung?" balas Akmal. "Atika yang mengarahkan saya untuk melewati jalan tersebut. Atika juga yang memberitahu saya, kapan waktu yang tepat untuk saya bisa masuk ke dalam sana." lanjut Akmal.
"bagaimana kalian bisa saling kenal?" kali ini Alena ikut bertanya.
"kalian ingat kasus yang pernah saya ceritakan dulu? Kasus gadis yang di culik, tapi saat saya coba selamatkan dia, dia sudah kabur duluan, dan akhirnya ia pun di bunuh. Kalian ingat kan?" balas Akmal.
Piter dan Alena pun mengangguk serentak.
"untuk menyelidiki kasus tersebut, saya harus masuk ke dalam. Saya pun berpura-pura jadi tamu di sana, dan kebetulan saya melihat Atika, saya pun meminta Atika untuk menemani saya malam itu. Kami pun berkenalan, dan saya pun menceritakan tujuan saya disana kepada Atika semuanya. Atika juga menceritakan semua yang ia ketahui tentang tempat itu kepada saya. Sejak saat itu, Atika seringa memberitahu saya kabar-kabar terbaru mengenai tempat tersebut." jelas Akmal panjang lebar.
"itulah kenapa anda begitu yakin, kalau kamar yang kita ketuk tadi adalah kamar tempat Lila?" Piter masih bertanya.
"itu hanya kebetulan." balas Akmal, "sebenarnya saya tidak tahu, kalau Lila juga ada di dalam. Yang saya tahu itu adalah kamar tempat Atika selama ini, karena itu saya langusng menuju kamar tersebut, dan kebetulan ada Lila juga di sana." lanjutnya.
"jadi sebenarnya tujuan anda kesana bukan untuk menyelamatkan Lila, tapi justru ingin menyelamatkan Atika?" tanya Piter lagi.
"kamu jangan salah paham. Aku tidak tahu di mana Lila di kurung, satu-satunya orang yang aku kenal di sana ya cuma Atika, dan harusnya Atika juga tahu dimana Lila di kurung, karena itu aku ingin menemui Atika terlebih dahulu untuk bertanya dimana keberadaan Lila. Namun karena Lila sudah berada di sana, aku rasa hal itu tidak perlu di bahas lagi." jelas Akmal lagi.
"lalu apa rencana kita sekarang?" Alena memotong perdebatan itu cepat.
"kita ke rumah ku. Di sana kalian akan aman." balas Akmal.
"kita harus lapor polisi.." Lila berucap, saat mereka sudah berada di rumah Akmal.
"iya.. saya setuju..." balas Akmal yakin.
"anda setuju?" Piter bertanya heran, "bukankah dulu anda katakan bahwa tempat itu kebal hukum, percuma lapor polisi karena pasti tidak akan di tanggapi." lanjut Piter.
"iya, itu benar. Tapi sekarang kita punya dua orang saksi, kita punya korban." balas Akmal.
"ingat, tidak semua polisi dan pejabat yang terlibat di sana. Dan saya tahu, siapa polisi yang tepat untuk menangani kasus ini. Nanti siang kita akan menemuinya. Dengan adanya Atika dan Lila sebagai saksi, saya yakin, tempat itu akan segera di tutup. Dan pemiliknya akan segera di tangkap." Akmal berucap lagi.
*****
Siang itu, Akmal dan teman-temannya itu pun melaporkan hal tersebut. Dengan kesaksian langsung dari Atika dan Lila, kasus itu bisa terungkap dengan mudah. Pihak polisi pun segera bertindak. Mereka menggerebek tempat tersebut. Mengamankan para korban yang masih berada disana. Menangkap semua yang terlibat, termasuk pemilik tempat tersebut.
Lila, Atika dan beberapa orang gadis yang pernah jadi korban tempat tersebut, menjadi saksi utama dalam kasus tersebut. Si pengusaha pemilik tempat itu, akhirnya di penjara sesuai dengan hukum dan undang-undang yang berlaku. Tempat prostitusi tersebut akhirnya tutup untuk selama-lamanya. Bangunannya menjadi sitaan negara.
Lila sangat lega mengetahui semua itu. Kini tidak ada lagi yang perlu ia takutkan. Ia bisa melanjutkan hidupnya kembali.
"terima kasih, ya, Ter..." ucap Lila suatua hari di kampus.
"aku senang kamu selamat.." balas Piter.
"kamu sudah melakukan banyak hal untuk ku..." ucap Lila.
"apa pun akan aku lakukan untuk bisa menyelamatkan kamu, Lila." balas Piter.
"kenapa?" tanya Lila pelan.
"karena aku telah jatuh cinta padamu.." balas Piter.
"kenapa kamu tidak pernah mengatakannya selama ini?" tanya Lila.
"karena aku belum punya keberanian untuk mengatakannya. Dan sekarang, aku tak ingin memendamnya lagi. Aku cinta kamu, Lila. Mau kah kamu menjadi pacarku?" ucap Piter penuh perasaan.
"iya..." balas Lila sangat pelan.
"apa? Aku gak dengar loh.." ucap Piter dengan nada menggoda.
"iya, Piter. Aku mau..." balas Lila akhirnya.
Piter tersenyum senang. Butuh perjuangan yang sangat penjang, untuk bisa memiliki gadis impiannya. Dan hal itu membuat Piter yakin, kalau Lila adalah gadis yang tepat untuknya.
Lila pun menyandarkan kepalanya di bahu kekar Piter. Ia merasa sangat bahagia. Piter adalah sosok laki-laki yang sangat bertanggungjawab. Dan Lila merasa nyaman berada di sampingnya.
****