Bersama ibu kost

Nama ku Rusdi. Dan ini adalah kisah ku.

Aku masih berusia 22 tahun, masih kuliah. Aku kost di sebuah rumah kost tak jauh dari kampus tempat aku kuliah.

Aku anak kedua dari kami tiga bersaudara. Kakak ku perempuan sudah menikah, sedangkan adik laki-laki ku masih SMA. Ayah ku adalah seorang petani di kampung, begitu juga ibu ku.

Kehidupan keluarga kami memang sangat sederhana. Aku beruntung bisa kuliah, sementara kakak ku hanya bisa sekolah sampai lulus SMA, lalu kemudian ia pun menikah. Dan sekarang sudah punya dua anak.

Sebagai anak kost, yang berasal dari keluarga kurang mampu, aku memang harus hidup hemat. Kiriman uang dari orangtua ku hanya cukup untuk bayar uang kuliah, bayar uang kost dan untuk makan ku sehari-hari. Kadang itu pun aku harus sangat berhemat.

Pernah pada suatu saat, orangtua ku mengirim uang untuk ku, hanya separoh dari biasanya. Karena pendapatan mereka memang sedang menurun. Aku di minta untuk lebih sabar dan tetap berhemat.

Padahal saat itu, aku sedang butuh uang untuk membeli beberapa keperluan peralatan kuliah ku. Hingga aku harus menunggak untuk pembayaran kost ku bulan itu.

Tante Della, yang merupakan pemilik kost, sudah dua kali memperingatkan ku untuk segera membayar uang kost.

"saya benar-benar minta maaf, tante. Saya belum bisa bayar uang kost untuk bulan ini. Karena uang yang di kirimkan orangtua ku, hanya cukup untuk biaya aku makan." jelas ku kepada tante Della.

"tumben kamu menunggak bulan ini, Rusdi. Biasanya pembayaran kamu selalu lancar." ucap tante Della pelan.

"iya, tante. Pendapatan orangtua ku sedang menurun, dan aku juga sedang banyak kebutuhan." balasku lemah.

"tante bisa memakluminya. Tante bahkan bisa membebaskan kamu untuk tidak membayar uang kost untuk bulan ini." ucap tante Della lagi.

"terima kasih, tante." balasku merasa cukup senang.

"tapi kamu jangan senang dulu. Tante punya permintaan sama kamu. Kalau kamu tidak bisa bayar uang kost bulan ini, kamu harus bisa memenuhi keinginan tante." ucap tante Della kemudian.

"keinginan apa, tante?" tanya ku polos.

"nanti malam kamu datang ke rumah ku ya.." ucap tante Della ringan.

"ngapain tante?" tanya ku lagi.

"nanti kamu juga tahu, tapi kamu jangan cerita sama siapa-siapa soal ini." balas tante Della, sambil ia pun berlalu.

Aku terdiam dan terus berpikir. Entah apa maksud tante Della meminta ku untuk datang ke rumahnya malam-malam.

Tante Della memang seorang janda. Suaminya kabur bersama perempuan lain, beberapa tahun yang lalu. Dari pernikahannya tersebut, tante Della sudah punya seorang anak laki-laki, yang saat ini sedang kuliah di luar negeri. Tante Della mungkin sudah berusia hampir 45 tahun. Setidaknya begitulah yang aku ketahui tentang tante Della.

*****

Malam itu, aku pun memenuhi permintaan tante Della untuk aku datang ke rumahnya diam-diam.

Sesampai di sana, tante Della mempersilahkan aku masuk.

Dengan perasaan kikuk, aku pun masuk ke rumah mewah itu. Setahu ku tante Della memang hanya tinggal sendirian di rumah ini. Selain karena anaknya yang sedang kuliah di luar negeri, tante Della juga tidak punya pembantu.

"saya memang lebih suka mengurus rumah ini sendiri, lagi pula saya juga gak punya kesibukan." begitu alasan tante Della, saat aku bertanya tentang hal tersebut.

Meski pun sudah berusia hampir 45 tahun, secara fisik, tante Della masih cukup menarik. Apa lagi ia sangat rajin merawat tubuhnya.

"sekarang saya sudah di sini, tante. Selanjutnya apa yang tante inginkan dari saya?" tanya ku kemudian.

"kamu ingin dibebaskan dari uang kost untuk bulan ini, kan?" ucap tante Della membalas.

"iya, tante." jawab ku jujur.

"kalau begitu, kamu harus menemani saya malam ini." ucap tante Della kemudian.

"maksudnya, tante?" tanyaku tak mengerti.

"kamu gak usah pura-pura gak paham. Kamu pasti ngerti maksud tante apa." balas tante Della.

Seketika aku pun mulai mengerti maksud dari ucapan tante Della tersebut. Tapi aku hanya tidak menyangka, kalau tante Della, akan meminta aku untuk melakukan hal tersebut dengannya.

"tapi aku... aku takut, tante.." ucapku terbata.

"kamu gak usah takut. Kalau kamu gak mau, berarti malam ini kamu harus membayar uang kost." balas tante Della tajam.

"baiklah, tante. Jika itu bisa melunasi uang kost saya. Tapi jujur saja, saya masih awam dalam hal ini, tante." ucapku akhirnya.

"kalau untuk itu, kamu tenang aja. Tante akan beri kamu pengalaman yang tidak akan pernah kamu lupakan seumur hidup mu." ucap tante Della, sambil mulai mendekati ku.

Aku merasa kaku tiba-tiba. Keringat dingin, mulai membasahi tubuhku. Aku benar-benar belum siap untuk hal ini. Tapi demi melunasi uang kost, aku harus melakukannya.

Beruntunglah tante Della sangat mengerti akan kekakuan ku. Sehingga dia yang berperan aktif dalam hal tersebut. Sementara aku hanya bisa pasrah menerima semua perlakuan tante Della padaku malam itu.

****

Sesuai janjinya, tente Della tidak lagi meminta uang kost padaku untuk bulan ini. Aku merasa lega. Setidaknya aku tidak lagi harus merasa pusing, memikirkan uang untuk membayar kost bulan ini.

Meski jujur saja, aku benar-benar merasa telah kehilangan harga diri ku sebagai seorang laki-laki. Tapi aku tidak punya pilihan lain saat ini. Dan lagi pula, aku juga merasa sangat terkesan dengan tante Della. Biar bagaimana pun, itu adalah pengalaman pertama ku bisa merasakan hal tersebut.

"nanti kalau kamu gak punya uang lagi untuk bayar kost, kamu bisa datang ke sini lagi ya.." tawar tante Della malam itu, sesaat sebelum aku pamit untuk pulang.

Ah, aku benar-benar tidak tahu, harus berkata apa lagi. Sejujurnya, tawaran itu sebenarnya cukup menarik. Toh, aku juga tidak dirugi kan sama sekali.

Jadi mungkin ke depannya, aku memang akan selalu berpura-pura tidak punya uang untuk bayar kost. Dengan begitu, uang kiriman dari orangtua ku, bisa aku manfaatkan untuk membeli keperluan ku yang lain.

Tante Della mungkin akan mencurigai ku, tapi gak apa-apa. Lagi pula tante Della, sepertinya juga menginginkan hal tersebut. Jadi sebenarnya kami akan saling memanfaatkan.

Tante Della memanfaatkan ku, untuk mengisi kesepiannya, dan aku memanfaatkannya untuk dapat kost gratis. Dan menurutku hal itu cukup setimpal.

*****

Hari-hari pun terus berlalu. Keadaan pun sebenarnya sudah kembali normal. Orangtua ku sudah mengirim uang padaku sebanyak biasanya. Uang itu sebenarnya juga cukup, untuk membayar kost.

Tapi seperti yang aku rencana kan, aku pun berpura-pura dan mengaku tidak punya uang kepada tante Della. Dan tante Della sepertinya juga percaya. Karena itu, sekali lagi ia pun meminta aku untuk memenuhi keinginannya.

Berbulan-bulan hal itu terus terjadi. Aku selalu mengaku tidak punya uang kepada tante Della. Dan setiap kali itu pula, aku harus memenuhi keinginannya.

Aku mulai terbiasa dengan semua itu. Aku bahkan mulai merasa kec4nduan dengan tante Della. Bahkan kadang dalam satu bulan, bukan hanya sekali hal itu terjadi.

"anggap saja bonus, tante." ucapku kepada tante Della beralasan, ketika ia bertanya kenapa aku mengunjunginya lebih dari satu kali dalam satu bulan.

"kamu sebenarnya gak punya uang untuk bayar kost, atau sengaja, karena kamu memang menginginkan hal ini?" tanya tante Della penuh selidik.

"sebenarnya bisa jadi karena kedua-duanya, tante." balasku sedikit jujur.

"oh, jadi kamu juga menginginkan hal ini sekarang?" ucap tante Della, dengan sedikit tersenyum.

"ya udah, tante sih gak masalah. Tante malah suka..." lanjut tante Della, setelah melihat aku hanya terdiam.

Dan sejak saat itulah, aku tak pernah lagi membayar uang kost pada tante Della. Setidaknya aku tidak membayar dalam bentuk uang. Tapi dalam bentuk yang lain.

Begitulah kisah hidup yang aku jalani hingga saat aku lulus kuliah. Setelah aku lulus kuliah dan mulai bekerja, aku tak lagi kost di tempat tante Della. Dan aku juga tak pernah lagi bertemu dengannya.

Kisah ini terjadi sekitar tahun 2014 sampai tahun 2017.

****

Melisa suka duren

Namanya Melisa. Dia seorang gadis yang berparas cantik dengan tubuh yang seksi.

Melisa masih kuliah, usianya juga masih 22 tahun. Melisa kost sendiri, tak jauh dari kampus tempat ia kuliah.

Melisa tak punya banyak teman. Karena dia memang tak terlalu suka berkumpul dengan orang-orang. Dia lebih menyendiri, menikmati dunia nya sendiri.

Sebagai seorang gadis cantik, tentu saja banyak cowok yang berusaha mendekati Melisa. Namun tidak satu pun dari semua cowok itu, yang bisa menarik perhatian Melisa.

Melisa seorang yatim. Ayahnya meninggal saat ia masih berusia sepuluh tahun. Ibu nya berusaha membesarkannya dan dua orang adiknya, sendirian. Ibunya bekerja di sawah orang di kampung. Adiknya sekarang sudah ada yang SMA dan juga yang bungsu sudah SMP.

Melisa memang harus berusaha hidup hemat, demi untuk bisa kuliah. Uang yang dikirim ibunya setiap bulan, tidaklah pernah benar-benar cukup.

Tapi Melisa benar-benar kuliha, karena itu ia nyambi kerja menjadi pelayan kafe saat sore hingga malam hari. Penghasilannya juga lumayan, cukuplah untuk ia bertahan hidup di kota besar ini.

Karena itu juga sebenarnya, Melisa selalu menjaga jarak dengan teman-teman kampusnya. Biar bagaimana pun, sebagai gadis modern, Melisa masih merasa gengsi untuk mengakui, kalau ia bekerja sambil kuliah. Dan karena itu juga, Melisa belum mau berteman dekat dengan seorang laki-laki, apa lagi sampai berpacaran.

Meski pun demikian, sebagai gadis normal, Melisa juga punya rasa tertarik pada lawan jenisnya. Salah seorang pria yang selalu menjadi perhatian Melisa selama ini adalah om Arga. Seorang pria yang sudah berusia hampir 40 tahun.

Om Arga memang seorang duda, tapi ia hidup sendirian. Om Arga bercerai dari istrinya beberapa tahun yang lalu. Ia bercerai karena istrinya pergi bersama pria lain. Dari hasil pernikahannya tersebut, om Arga sebenarnya sudah punya seorang anak laki-laki. Dan anaknya itu ikut bersama ibunya, saat om Arga memutuskan untuk menceraikan istrinya.

Sudah hampir lima tahun om Arga tinggal sendirian. Dia tinggal di sebuah rumah bulatan yang berada tidak terlalu jauh dari tempat Melisa kost.

Melisa dan om Arga sebenarnya juga sudah sering bertemu, terutama saat pagi hari, ketika mereka sama-sama berbelanja sayur-sayura pada tukang sayur keliling yang lewat di gang tersebut.

Awalnya mereka hanya sekedar saling senyum dan hanya sekedar tegur sapa. Tapi lama kelamaan mereka pun mulai dekat dan akrab. Apa lagi semenjak om Arga dengan cukup berani meminta nomor handphone Melisa.

Kedekatan mereka cukup membuat Melisa merasa terkesan. Sosok om Arga yang sudah sangat dewasa, membuat Melisa seakan menemukan sesuatu yang selama ini ia cari. Sejak ayahnya meninggal, Melisa memang selalu merindukan sosok seorang pria dewasa dalam hidupnya. Dan kehadiran om Arga cukup mengobati kesepian Melisa selama ini.

Om Arga adalah seorang karyawan di sebuah bank negara. Kehidupannya juga sangat mapan. Om Arga juga seorang pria yang cukup tampan, dengan postur tubuhnya yang masih terlihat gagah dan kekar. Apa lagi om Arga sangat suka berolahraga, terutama joging pada pagi hari.

Semakin lama, Melisa semakin mengagumi sosok om Arga. Demikian juga sebaliknya, om Arga sudah mulai jatuh cinta pada Melisa.

Hingga pada suatu kesempatan, om Arga pun mengungkapkan perasaan suka nya pada Melisa. Dan gayung pun bersambut, Melisa pun menerima cinta om Arga.

Sejak saat itulah mereka pun resmi berpacaran.

Melisa mau pun om Arga merasa sangat bahagia dengan semua itu. Mereka benar-benar menikmati indahnya cinta mereka berdua. Sampai akhirnya mereka pun kebablasan. Hubungan mereka sudah melewati batas. Dan hal itu membuat Melisa pun hamil.

Kehamilan Melisa justru menjadi awal bencana dari hubungan mereka.

Tak di sangka, sikap om Arga tiba-tiba saja berubah. Dia yang awalnya dikenal Melisa sebagai laki-laki baik, sopan, lembut dan penuh kasih sayang. Tiba-tiba saja berubah beringas, pemarah dan sangat kasar.

Melisa tentu saja merasa syok dengan perubahan tersebut. Apa lagi saat ini ia sedang mengandung anak dari om Arga. Tapi Melisa harus siap menghadapi perubahan tersebut, karena ia butuh tanggungjawab dari om Arga. Hanya saja sayangnya om Arga tidak benar-benar ingin bertanggungjawab.

Om Arga sudah mulai menghindari Melisa. Ia jadi jarang berada di rumah. Dia juga tak pernah mengangkat telpon dari Melisa.

Melisa pun menjadi bingung dengan semua itu. Dia telah merasa di campakkan oleh om Arga. Tapi Melisa tak bisa menyalahkan om Arga sepenuhnya. Semua itu terjadi juga atas keinginannya sendiri. Hanya saja Melisa sangat tidak menyangka, kalau om Arga akan lari dari tanggungjawabnya.

Kini Melisa tak bisa berbuat apa-apa lagi. Om Arga selalu menghindarinya. Meski Melisa sudah melakukan berbagai cara untuk bisa bertemu om Arga. Dan bahkan dengan terang-terangan om Arga tidak mau mengakui, kalau anak yang Melisa kandung adalah anaknya.

"itu jelas bukan anak ku. Aku tak mungkin bisa punya anak." ucap om Arga tegas namun dengan suara bergetar.

"kenapa om yakin kalau ini bukan anak om?" tanya Melisa marah.

"karena aku ini mandul, Melisa. Aku gak mungkin bisa punya anak. Anak dari istri pertama ku juga bukan anak ku, itu anak dari selingkuhahnya. Karena itu aku menceraikannya. Jadi kamu gak perlu mengaku-ngaku kalau itu adalah anak ku." balas om Arga tajam.

Hati Melisa sangat terluka mendengar semua itu. Hatinya yang tadi merasa marah pada om Arga, tiba-tiba luluh lantak oleh kenyataan tersebut.

Melisa menangis tersedu-sedu. Ia meratapi kepedihan hidup yang menimpanya saat ini. Dia tak bisa menyalahkan om Arga lagi.

Melisa pun mengingat kembali kejadian beberapa bulan yang lalu. Saat ia mendapat kabar dari kampung halamanya, kalau ibunya sakit parah dan harus segera di operasi. Melisa tak punya uang untuk biaya operasi ibunya. Karena itu ia menerima tawaran dari salah seorang temannya yang sama-sama bekerja di kafe.

Sebenarnya saat itu, Melisa ingin sekali meminta bantuan kepada om Arga. Tapi ia merasa enak hati. Ia takut, om Arga berpikir, kalau ia hanya memanfaatkan om Arga. Kalau ia berpacaran dengan om Arga hanya untuk uang. Karena itu Melisa memilih untuk tidak menceritakan hal tersebut kepada om Arga.

Melisa lebih memilih menerima tawaran teman kerjanya, untuk menemani seorang lelaki tua tidur dengannya. Sebenarnya tawaran seperti itu sudah sejak lama di tawarkan kepada Melisa, namun selama ini Melisa selalu menolak. Tapi karena saat itu ia sangat butuh uang ia pun terpaksa menerimanya.

Melisa tidak berpikir, kalau tawaran untuk tidur dengan seorang laki-laki tua tersebut, bisa membuatnya hamil. Melisa memang sengaja tidak memakai pengaman, karena ia pikir, ia dan om Arga juga sudah sering melakukan hal tersebut. Jadi hal itu tidaklah akan menjadi masalah menurutnya.

Meski pun Melisa di bayar mahal waktu itu, dan semuanya juga berjalan lancar. Om Arga tak pernah mengetahui hal tersebut. Sampai Melisa menyadari kalau ia sedang hamil. Tentu saja yang ada dalam pikiran Melisa saat ia mengetahui kalau ia hamil, adalah bahwa anak yang ia kandung tersebut adalah anaknya om Arga.

Tapi ternyata semua itu di luar dugaan Melisa. Om Arga sudah mengetahui kalau itu bukan anaknya. Karena itu juga sikap om Arga pun jadi berubah. Ia merasa kalau Melisa telah mengkhianatinya. Ia merasa kalau Melisa sedang ada hubungan dengan pria lain. Dan karena itu juga, ia tak mau bertanggungjawab. Sebab om Arga yakin, itu memang bukan anaknya.

*****

Dengan terisak, akhirnya Melisa memberanikan diri untuk jujur pada om Arga tentang apa yang telah menimpanya beberapa bulan yang lalu. Dia menceritakan semuanya, tanpa ada lagi yang ia tutup-tutupi.

Om Arga tentu saja sangat marah dengan semua itu. Padahal ia sudah terlanjur jatuh cinta pada Melisa, tapi Melisa justru tidak mau berbagi penderitaan hidupnya dengan om Arga.

"saya hanya tak ingin om menganggap saya cewek materialistis, jika saya menceritakan tentang ibu saya yang sakit dan butuh uang untuk operasi tersebut pada om Arga." jelas Melisa mengakhiri ceritanya pada om Arga.

"lalu apa kamu pikir dengan menjual diri, akan menjadikan kamu lebih baik dari seorang cewek materialistis?" tajam kalimat om Arga membalas.

"saya benar-benar minta maaf, om.." suara Melisa semakin menghiba, mengiringi rasa penyesalannya.

"permintaan maaf mu itu tidak akan mengubah apa pun yang telah terjadi, Mel. Jadi kamu gak perlu menghiba seperti itu.." balas om Arga masih terdengar tajam.

"iya... aku tahu, om. Tapi aku sangat berharap om Arga mau memaafkan aku.." ucap Melisa lirih.

"aku bisa saja memaafkan kamu, Mel. Tapi ... aku gak mungkin mau bertanggungjawab atas kehamilan kamu tersebut. Itu jelas gak mungkin, Mel. Bertahun-tahun aku hidup dengan istri ku, dan berusaha membesarkan anak orang lain. Hingga akhirnya aku tahu kalau itu bukan anak ku, hati ku sangat sakit, Mel. Dan sekarang kamu meminta aku untuk mengulangi hal itu lagi?"

"aku gak sanggup. Mel. Sekali pun aku sangat mencintai kamu. Jika saat kita belum menikah saja, kamu sudah berani untuk mengkhianati ku, bagaimana pula ke depannya?"

ucapan om Arga yang panjang lebar dan penuh makna itu semakin membuat Melisa merasa hancur. Ia merasa kehilangan pegangan. Saat ini, satu-satunya tempat ia berharap hanyalah kepada om Arga.

"kenapa kamu gak minta pertanggungjawaban dari laki-laki yang membayarmu itu saja?" om Arga berucap tajam.

"aku di bayar untuk melakukan hal tersebut, om. Jadi aku gak punya hak untuk minta pertanggungjawabnnya. Dan lagi pula ia pasti tidak akan mengakui hal tersebut." balas Melisa terdengar pilu.

"ya udah.. itu semua sekarang bukan urusan ku lagi. Dan aku harap, kamu gak usah menganggu kehidupan ku lagi. Bagi ku semuanya diantara kita sudah berakhir." tegas suara om Arga berucap.

"lalu apa hubungan kita selama ini gak ada artinya bagi om Arga?" tanya Melisa ringkih.

"tentu saja semua itu sangat berarti bagiku, Mel. Tapi apa artinya semua itu, jika kamu lebih memilih untuk mengkhianati ku?" balas om Arga.

"aku terpaksa melakukannya, om. Aku tak punya pilihan lain saat itu." isak Melisa lagi.

"selalu ada pilihan dalam hidup ini, Mel. Dan selalu ada resiko pada setiap pilihan. Kini saatnya kamu menanggung resiko dari pilihan mu sendiri..." suara om Arga terdengar berat.

Dan setelah berkata demikian, om Arga pun segera pergi dari sana. Meninggalkan Melisa yang masih terus terisak dalam penyesalannya.

Melisa tidak tahu siapa yang harus ia salahkan dalam hal ini. Hatinya kah yang terlanjur jatuh cinta pada om Arga? Atau om Arga kah yang datang pada saat ia membutuhkannya?

Atau haruskah Melisa menyalahkan orang yang telah membayarnya? Atau justru ia harus pada ibunya yang tiba-tiba sakit pada saat yang tidak tepat?

Atau mungkinkah ia menyalahkan bayi yang ada dalam kandungannya, yang hadir di saat ia belum siap?

Dan melisa memilih pilihan terakhirnya. Karena itu ia pun nekat mencari orang yang bisa mengakhiri semua penderitaannya tersebut.

Melisa tahu, resikonya terlalu besar jika ia memilih untuk menggugurkan kandungannya tersebut. Tapi saat ini, hanya itu satu-satunya pilihan yang ia punya. Dan Melisa telah siap dengan segala resiko yang harus ia terima nantinya.

****

Sekian...

Bersama gadis pantai yang cantik

Aku berjalan pelan menelusuri pantai. Langkah ku sedikit goyah, karena masih merasa capek, setelah menempuh perjalanan kurang lebih empat jam naik motor.

Pantai yang aku tuju memang lah sebuah pantai yang cukup indah dan juga merupakan sebuah pantai yang cukup ramai di kunjungi oleh warga lokal, mau pun dari luar negeri.

Di sepanjang pantai terdapat banyak pengunjung. Ada yang mandi-mandi, ada yang hanya sekedar photo-photo atau hanya sekedar nongkrong.

Aku sengaja datang sendirian ke pantai ini, sekedar menikmati masa liburan ku.

Aku sudah bekerja di sebuah perusahaan swasta sebagai karyawan biasa. Usiaku sendiri sudah hampir kepala tiga, tapi aku belum menikah. Aku lebih suka menikmati masa lajang ku.

Bukan aku tak laku, atau pun sulit mencari pasangan. Hanya saja, sudah beberapa kali aku mencoba menjalin hubungan yang serius, tapi selalu gagal.

Jadi hingga saat ini, aku lebih memilih untuk hidup sendiri. Apa lagi aku juga tinggal di kota besar, tak ada tuntutan untuk segera menikah. Kedua orangtua ku juga sudah tiada. Aku hanya punya dua orang kakak yang tinggal di kampung. Keduanya sudah punya suami dan anak.

Aku sering menikmati liburan sendiri seperti ini. Aku memang lebih suka sendirian, rasanya lebih bebas aja.

Terdapat banyak penginapan di sekitar pantai ini, aku sudah membooking satu kamar secara online. Aku memang berniat untuk menginap satu malam di sini.

Saat akhirnya senja pun datang, aku bersegera untuk menuju penginapan. Aku ingin beristirahat malam ini, sebelum esok aku akan menjelajahi pantai ini.

Saat sampai di penginapan, si pemilik penginapan menyambutku dengan senyum ramah. Pemilik penginapa itu, seorang ibu tua. Dia memang cukup ramah kepada para pengunjung, terutama yang menginap di penginapannya.

Penginapan itu hanya punya dua puluh kamar, dan semua kamar sudah terisi penuh. Biasanya kalau musim liburan seperti ini, hampir semua penginapan di sini, selalu penuh. Karena itu, aku memesan kamar ini secara online, agar tidak kehabisan kamar.

Selesai mandi dan makan malam, aku mencoba berjalan di sekitaran pantai. Suasana pantai itu memang sangat nyaman, terutama di malam hari. Deburan ombak yang menerpa karang, terdengar cukup riuh.

Saat aku duduk sendirian di sebuah batu karang, tiba-tiba sesosok wanita datang menghampiri ku.

"sendirian aja, mas?" lembut suara wanita itu menyapa.

"iya." jawabku singkat.

"lagi putus cinta atau lagi ada masalah dengan istri?" tanya wanita itu lagi.

"kok nanya nya gitu?" akku balik bertanya dengan nada heran. Aku perhatikan wajah wanita yang tiba-tiba saja sudah duduk di samping ku itu. Seorang wanita yang cukup cantik. Postur tubuhnya juga terliha seksi.

"iya.. biasanya kalau cowok lagi sendirian, pasti karena dua alasan itu." jelas wanita santai.

"gak juga lah." balas ku cepat, "aku memang lagi pengen sendiria aja." lanjutku.

"pasti ada alasannya, kan?" sela wanita itu.

"apa semua hal yang terjadi di dunia ini, harus ada alasannya?" aku kembali bertanya.

"gak juga sih, tapi untuk beberapa hal, kadang alasan itu memang ada, hanya kebanyakan dari kita tidak mau mengakuinya." balas wanita itu.

"yang pasti, aku tidak sedang putus cinta dan juga aku belum menikah, jadi gak mungkin punya masalah dengan istri kan?" timpal ku kemudian.

Kali ini wanita itu menatap ku.

"sudah ku duga." ucapnya pelan.

"maksudnya?" tanya ku.

"iya, sudah ku duga kalau mas pasti belum menikah. Karena di masa liburan seperti ini, orang-orang pasti pergi liburannya sama keluarga. Jadi kalau ada cowok yang berliburan sendiri, hanya ada dua kemungkinan." ucap wanita itu.

"dua kemungkinan? Apa itu?"  tanyaku menyela.

"pertama karena memang belum punya pacar, yang kedua karena memang gak suka gak perempuan." jelas wanita itu.

"ah, kamu bisa aja. Tapi yang pasti, aku bukan yang kedua." balasku ringan.

"ah, yang benar?" wanita itu sedikit menggoda.

"iya benar lah." balasku merasa sedikit tersinggung.

"bisa di bukti kan gak..?" wanita itu terus menggoda ku.

"gimana cara membuktikannya?" tanyaku terpancing.

Kali ini wanita itu tersenyum. Senyum yang cukup memikat.

"mas nginap sini kan?" tanyanya kemudian.

Aku hanya mengangguk.

"mas nginap sendiri?" wanita itu bertanya lagi.

Aku mengangguk lagi.

"kalau begitu kita bisa membuktikannya di kamar mas.." ucap wanita itu lagi, dengan sedikit menekan suara.

"maksud kamu apa? Dan sebenarnya kamu ini siapa?" tanyaku dengan nada heran.

"panggil aja aku Aurel. Dan jika mas ini normal, mas pasti ngerti maksud ku apa." balas wanita itu.

"oke. Aku ngerti maksud kamu. Tapi apa untungnya bagi kamu?" balasku sedikit sengit.

"untungnya bagi ku ... ya... mungkin mas bisa memberiku sedikit uang.." ucap wanita itu terdengar santai.

"jadi kamu ini wanita bayaran?" tanyaku lugas.

"aku memang suka di bayar, tapi aku juga gak sembarangan mendekati laki-laki." balas wanita yang mengaku bernama Aurel tersebut.

"apa bedanya?" pungkas ku sedikit mengecam.

"terserah mas sih, mau menilai aku bagaimana. Tapi yang pasti jika mas mau punya teman tidur malam ini, aku bersedia. Kalau mas gak mau, ya itu tadi, berarti mas gak suka perempuan." ucap Aurel pelan.

"aku masih suka perempuan ya, tapi gak sembarangan perempuan juga. Kalau aku ingin membayar seorang perempuan, lebih baik aku mencarinya di kota, lebih banyak pilihannya." balas ku sedikit sengit.

"gadis kota dengan gadis desa itu berbeda loh rasanya, mas. Mas coba deh malam ini." Aurel terus berupaya untuk membujuk ku.

Sejujurnya aku belum pernah sekali pun membayar wanita untuk bisa tidur dengan ku. Tapi bukan berarti aku ini masih perjaka. Saat punya pacar dulu, aku pernah melakukan hal tersebut, beberapa kali.

Namun mendengar tawaran Aurel barusan, jujur aku merasa mulai tertarik dan cukup merasa tertantang.

"emangnya berapa tarif kamu?" tanyaku akhirnya.

"gak mahal, kok. Cuma lima ratus ribu." jawab Aurel lugas.

"satu malam?" tanya ku polos.

"ya gak lah. Itu tarif untuk sekali berlayar aja. Kalau satu malam beda lagi." bantah Aurel cepat.

"ya udah, aku mau coba gadis desa kayak kamu." ucapku akhirnya.

Aurel terlihat tersenyum menang. Kami pun kemudian sama-sama berdiri dan melangkah menuju penginapan.

*****

Malam itu, kapal kami pun berlayar. Sebuah pelayaran yang cukup indah. Aurel memang terlihat sudah sangat berpengalaman. Ia mampu membawa ku terbang dalam suasana nan romantis.

Dinginnya suasana pantai itu, tak mampu mendinginkan hasr4t kami untuk saling menumpahkan keinginan kami.

Hingga kapal kami pun berlabuh dengan sempurna. Sebuah perlabuhan yang cukup indah, dan cukup membuat aku menjadi terkesan.

Sekali lagi Aurel tersenyum menang. Ia mentapku dengan senyum menggoda.

"mas cukup hebat.." ucapnya tiba-tiba.

"kamu juga hebat.." balas ku jujur.

Sesaat kemudian, Aurel pun melangkah menuju kamar mandi yang ada di dalam kamar tersebut. Sementara aku masih terbaring letih. Jujur saja, sudah sangat lama aku tidak merasakan hal tersebut, dan itu yang membuat aku merasa terkesan.

Jauh-jauh aku menikmati liburan sendiri, justru aku mendapatkan sebuah pengalaman yang cukup indah. Meski aku harus mengeluarkan sedikit uang untuk hal tersebut.

Beberapa menit kemudian, Aurel pun keluar dari kamar mandi, dia pun segera memakai pakaiannya kembali. Aku mengambil dompet ku, dan mengeluarkan beberapa lembar uang ratusan ribu. Uang itu aku serahkan pada Aurel, sesuai perjanjian.

"makasih, mas." ucap Aurel pelan, sambil tersenyum dan mengambil uang tersebut.

Tak lama kemudian, Aurel pun pamit.

Aku melepaskan kepergian Aurel dengan perasaan sedikit lega. Aku masih terus berpikir, karena tak menyangka sama sekali, di tempat seperti ini, masih ada wanita seperti Aurel.

Mungkin Aurel bukan satu-satu nya. Mungkin masih banyak gadis pantai lain, yang melakukan hal yang sama seperti yang Aurel lakukan.

Tentu saja itu semua mereka lakukan, hanya untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup mereka. Aku merasa miris tiba-tiba. Mengapa orang-orang rela melakukan apa saja, hanya untuk mendapatkan sejumlah uang. Padahal ada begitu banyak pilihan dalam hidup ini, tapi mengapa mereka justru memilih hal itu?

Mungkin itu satu-satunya cara termudah yang mereka ketahui, untuk mendapatkan uang. Apa lagi mereka cuma punya modal fisik yang menarik saja.

Namun terlepas dari apa pun itu, aku juga tidak terlalu peduli. Itu merupakan pilihan hidup mereka, dan aku tak berhak untuk menghakimi mereka, walau dengan alasan apa pun.

Itu lah salah satu pengalamanku, saat aku berliburan sendiri. Selalu saja ada hal-hal indah yang aku temui dalam perjalanan ku. Hal-hal indah yang aku simpan sebagai pengalaman hidup. Hal-hal indah yang membuat aku semakin betah melajang.

****

Sekian ..

Hidup serumah dengan janda kaya

Aku melangkah gontai dalam kegelapan malam. Pikiran ku kacau. Aku benar-benar tidak tahu lagi harus kemana. Aku kehilangan arah. Aku hampir kehilangan semuanya.

Berawal dari aku yang di pecat dari pekerjaan ku sebagai seorang karyawan di sebuah perusahaan swasta. Aku bekerja di sana sebenarnya baru sekitar satu tahun. Namun karena pendemi yang sedang melanda, perusahaan tempat aku bekerja harus melakukan pengurangan karyawan. Dan aku salah satu korbannya.

Dulu aku merantau ke kota, karena sudah mendapatkan pekerjaan yang layak. Tapi sekarang aku sudah tidak punya pekerjaan lagi. Semua uang tabungan ku pun sudah terkuras, karena sudah hampir empat bulan aku menganggur.

Aku sudah berusaha mencari pekerjaan lain, namun tidak satu pun pekerjaan yang aku dapatkan.

Terpikir untuk pulang ke kampung halaman ku, namun di kampung aku sudah tidak punya siapa-siapa. Selain kak Hana, kakak ku satu-satunya. Kehidupan kak Hana juga sangat sulit di kampung, karena itu aku tak ingin menambah bebannya.

Sekarang ini, aku bahkan sudah tidak punya tempat tinggal. Ibu kost sudah mengusir ku dari tempat kost, karena sudah lebih dari dua bulan aku tidak membayar uang kost. Aku terpaksa pergi dari sana, walau sebenarnya aku tidak punya tujuan yang jelas.

****

Aku duduk di depan sebuah ruko yang tertutup, untuk beristirahat. Tubuhku terasa lelah.

Saat itulah seorang wanita paroh baya keluar dari ruko tersebut. Wanita itu menatap ku sesaat, kemudian melangkah mendekat.

"kamu siapa?" tegurnya lembut.

Aku tak berniat untuk menjawab pertanyaan itu, karena aku memang tidak tahu harus menjawab apa.

Aku justru berusaha untuk berdiri, aku berniat untuk pergi dari tempat itu.

"kamu jangan pergi dulu." cegah wanita itu, "saya bisa minta tolong?" lanjutnya bertanya.

"minta tolong apa?" tanya ku akhirnya, sambil tetap berdiri.

"keran air di dapur ku sepertinya tersumbat, tadinya aku berniat untuk memanggil tukang. Tapi karena melihat kamu tadi, aku jadi berubah pikiran. Mungkin kamu bisa membantu ku memperbaikinya, sepertinya kerusakannya hanya sedikit." jelas wanita itu panjang lebar.

"baiklah.." ucapku setuju.

Wanita itu tersenyum. Kemudian ia segera mengajak aku masuk ke dalam rukonya.

Ruko itu ternyata adalah sebuah toko pakaian khusus perempuan. Di bagian tengah ruko, terdapat banyak berbagai jenis pakaian wanita dewasa.

"mbak tinggal sendiri?" tanyaku sekedar ingin tahu.

"namaku Nita, panggil aja mbak Nita." balas wanita itu, seperti mengabaikan pertanyaan ku.

"aku sudah bertahun-tahun membuka usaha toko pakaian di sini, dan sudah bertahun-tahun juga, aku tinggal sendiri, sejak aku bercerai dari suamiku." cerita mbak Nita terdengar sangat terbuka.

Aku hanya manggut-manggut ringan mendengar penjelasannya tersebut. Hingga kemudian kami pun sampai di dapur, setelah melewati sebuah kamar, yang aku yakin di kamar itulah mbak Nita tinggal.

Aku pun segera memeriksa keran air yang tersumbat tersebut. Dan setelah dengan cukup susah payah, aku pun berhasil memperbaikinya. Ada plastik yang menyumbat bagian ujung keran tersebut.

"seperti sudah lancar kembali." ucapku, dengan tangan ku yang basah kuyup.

Mbak Nita segera memberiku sebuah handuk kecil.

"keringkan dulu tangannya." ucap mbak Nita.

Aku mengambil handuk kecil tersebut, lalu segera mengeringkan tangan ku.

"sebagai ucapan terima kasih, bagaimana kalau kita makan malam dulu. Kebetulan tadi aku masak cukup banyak." ucap mbak Nita menawarkan.

Saat itu mungkin sudah hampir jam sepuluh malam. Perut ku memang sudah terasa lapar sejak tadi. Dan mendengar tawaran mbak Nita, aku pun jadi tergiur.

"baiklah, mbak. Kalau mbak Nita memaksa." ucapku akhirnya.

Mbak Nita pun tersenyum kembali, sambil ia mengajak ku melangkah menuju meja makan yang berada tidak terlalu jauh dari situ.

"ini sudah jam sepuluh, mbak Nita belum makan malam?" tanya ku berbasa-basi.

"maklumlah, karena hidup sendiri, makan kadang juga gak teratur." balas mbak Nita, sambil mempersilahkan aku duduk.

"oh, ya. Dari tadi kita ngobrol, aku belum tahu nama kamu, loh." ucap mbak Nita lagi, saat kami sudah mulai makan.

"namaku Taufik Riza, tapi orang-orang biasa memanggil ku Fikri." balas ku ringan.

"nama yang cukup keren, sama seperti orangnya." ucap mbak Nita lugas

Aku tersenyum tersipu mendengar pujian tersebut.

"jadi sebenarnya kamu mau kemana?" tanya mbak Nita kemudian, setelah untuk beberapa saat kami sibuk mengunyah makanan kami masing-masing.

"aku gak tahu harus kemana, mbak. Aku baru saja kehilangan tempat tinggal." jelasku apa adanya.

"loh, kenapa emangnya?" tanya mbak Nita sedikit heran.

Aku pun dengan sedikit berat menceritakan secara singkat tentang kejadian yang menimpa ku akhir-akhir ini, terutama tentang aku yang kehilangan pekerjaan.

****

"bagaimana kalau untuk sementara, kamu bantu-bantu aku kerja di sini dulu. Kebetulan aku baru saja kehilangan seorang karyawan yang biasa membantu ku, karena dia harus pulang kampung. Dan jika kamu mau, kamu juga bisa tinggal di sini. Di atas ada kamar kosong." tawar mbak Nita, setelah ia mendengarkan cerita ku dengan seksama.

"apa itu gak terlalu berlebihan, mbak. Kita baru saja saling kenal loh. Mbak gak merasa takut?" balasku pelan.

"aku percaya kamu orang baik, Fik. Lagi pula aku juga merasa kesepian tinggal sendirian di sini." balas mbak Nita.

"aku bukannya gak mau, mbak. Tapi aku takut jadi omongan orang-orang, kalau kita tinggal berdua." ucapku lagi.

"udah, kamu tenanga aja. Kita ini tinggal di kota besar. Hal seperti itu, sudah menjadi hal yang biasa. Orang-orang juga gak bakal peduli. Lagi pula, kalau ada yang bertanya, katakan saja kalau kamu itu saudara ku dari kampung." balas mbak Nita terdengar yakin.

Aku pun tak punya alasan untuk menolak tawaran mbak Nita. Selain karena aku memang butuh pekerjaan dan tempat tinggal, mbak Nita juga kelihatannya orang yang baik.

*****

Sejak saat itulah, aku dan mbak Nita tinggal satu atap. Aku juga bekerja dengannya. Membantunya melayani pelanggan yang datang ke toko nya untuk berbelanja pakaian.

Rata-rata yang datang ke toko pakaian mbak Nita semuanya perempuan. Hal itu ternyata cukup membantu penjualan mbak Nita. Karena semenjak kerja di sana, semakin banyak pembeli yang datang ke toko mbak Nita.

"makasih ya, Fik. Karena kamu udah bantu aku kerja, pelanggan ku jadi semakin banyak. Penjualan ku pun semakin meningkat." ucap mbak Nita, suatu malam, saat kami makam malam bersama.

"aku yang makasih, mbak. Aku sudah di terima kerja di sini. Aku juga di terima tinggal di sini." balasku ringan.

"iya, Fik. Semoga kamu betah tinggal di sini, ya." ucap mbak Nita kemudian.

Dan seperti biasa, sehabis makan malam, aku pun segera naik ke lantai atas untuk tertidur. Selama hampir dua bulan ini, aku memang tidur lebih awal. Aku ingin bangun pagi-pagi, dan membantu mbak Nita membuka toko.

Saat aku sudah berada di dalam kamar, dan sudah merebahkan tubuhku di ranjang kecil itu, tiba-tiba aku mendengar suara ketukan di pintu kamar.

Aku segera bangkit dan membuka pintu. Aku melihat mbak Nita sudah berdiri di ambang pintu dengan senyum mengembang. Ia hanya memakai pakaian tidur yang cukup transparan.

Aku terkesima melihatnya, karena biasanya aku melihat mbak Nita selalu berpakaian tertutup.

Meski pun mbak Nita sudah berusia hampir 40 tahun, namun ia masih terlihat cantik. Tubuhnya cukup seksi. Kulitnya bersih terawat. Terus terang secara fisik, mbak Nita memang masih cukup menarik.

"ada apa, mbak?" tanya ku sedikit tergagap.

"saya boleh masuk?" tanya mbak, mengabaikan pertanyaan ku.

"iya, boleh, mbak. Ini kan memang rumah mbak Nita." balas ku pelan.

Mbak Nita pun melangkah masuk ke kamar, aku mengikutinya dari belakang. Mbak Nita kemudian duduk di tepian ranjang kecil tersebut. Aku berdiri sedikit jauh darinya.

"kamu jangan berdiri di situ. Kamu duduk saja dekat saya." ucap mbak Nita.

Dengan sedikit sungkan, aku pun melangkah mendekat dan duduk di samping mbak Nita.

"ada apa ya, mbak?" tanyaku cukup heran.

Tak biasanya mbak Nita masuk ke kamar ku. Meski pun aku sudah tinggal dengannya lebih dari dua bulan. Meski pun kami sebenarnya sudah cukup dekat, karena memang hampir setiap hari kami bersama.

"aku sudah bercerai dari suami ku lebih dari lima tahun. Kami bercerai, karena suami ku lebih memilih hidup dengan selingkuhannya. Kami memang sudah menikah lebih dari sepuluh tahun, tapi kami belum punya keturunan."

"karena itulah, suami ku mencari wanita lain di luar sana, dan ternyata wanita selingkuhannya itu hamil. Jadi suami ku memilih untuk menikahinya dan meninggal aku sendirian."

"beruntunglah aku sudah punya usaha ini sejak lama, jadi aku punya kesibukan untuk melupakan semua kejadian pahit itu. Tapi sebagai seorang wanita normal, kadang aku juga merasa kesepian."

"banyak sih, laki-laki yang coba mendekati ku selama lima tahun belakangan ini. Tapi tidak satu pun dari mereka yang membuat aku merasa tertarik. Lagi pula aku juga masih merasa trauma untuk dekat dengan laki-laki mana pun."

"namun entah mengapa, sejak pertama kali melihat kamu, aku merasa tertarik sama kamu. Karena itulah, aku nekat untuk menawarkan kamu pekerjaan, dan juga untuk tinggal di sini bersama ku. Aku berharap, kita bisa bertemu setiap hari."

"dan semakin hari perasaan ku sama kamu kian berkembang, Fik. Aku mungkin telah jatuh cinta sama kamu. Keinginan ku untuk bisa memiliki kamu, tidak bisa aku pendam lagi. Aku benar-benar menyayangi kamu, Fik. Sudikah kau menjalin hubungan yang lebih serius dengan ku?"

Cerita mbak Nita yang panjang lebar itu, cukup membuat aku terkesima. Sungguh tidak aku sangka sama sekali, kalau mbak Nita akan berkata demikian.

"tapi aku... aku sudah menganggap mbak Nita seperti kakak ku sendiri." ucapku akhirnya terbata.

"aku tahu, ini gak mudah bagi kamu, Fik. Apa lagi jarak usia kita yang cukup jauh. Tapi aku harap kamu bisa memikirkan hal ini lebih dalam lagi. Karena aku benar-benar menginginkan kamu. Dan jika kamu bersedia, kita bisa menikah, Fik." mbak Nita berucap, sambil mulai berdiri.

"kamu pikirkan aja dulu, kamu gak harus jawab sekarang." ucapnya lagi.

Dan sesaat kemudian, mbak Nita pun melangkah keluar kamar meninggalkan aku dalam kebingungan.

****

Terus terang. aku jadi merasa dilema.

Di satu sisi, aku memang bisa menerima ungkapan cinta mbak Nita. Bukan karena dia tak menarik, tapi karena jarak usia kamu cukup jauh, hampir lima belas tahun.

Namun di sisi lain, aku juga gak mungkin menolaknya. Selain mbak Nita memang masih cantik dan seksi, dia juga selama sangat baik padaku. Jika aku menolak, itu berarti aku harus siap kehilangan kehidupan ku yang sekarang. Dan aku tidak mau hidup di jalanan.

Setelah berpikir cukup panjang dan penuh pertimbangan, aku pun membuat sebuah keputusan.

Sebuah keputusan yang sangat penting dalam hidup ku.

Mbak Nita adalah sosok wanita yang baik, lembut dan yang pasti dia adalah wanita yang sukses. Hidup ku akan baik-baik saja, jika aku tetap tinggal bersamanya. Apa lagi kalau sampai aku menikah dengannya.

Karena itu, aku pun menerima tawaran mbak Nita.

Kami pun akhirnya menikah, dan hidup satu rumah sebagai pasangan suami istri yang sah.

Begitulah kisah ku, yang akhirnya memilih untuk menikah dengan wanita yang usia nya jauh lebih tua dari ku.

Dan sejujurnya aku cukup merasa bahagia dengan semua itu. Apa lagi mbak Nita sangat berpengalaman, yang membuat ku kian terkesan dengannya.

****

Selesai..

Gejolak istri ke dua

Namaku Edo. Aku sudah menikah, meski pun usia ku masih 26 tahun sebenarnya.

Aku menikah bukan atas keinginan ku sendiri, melainkan karena aku di jodohkan oleh orangtua ku.

Aku di jodohkan dengan seorang gadis yang bernama Aida. Seorang gadis cantik yang merupakan seorang muslim yang taat. Aida memang lulusan sebuah pesantren. Usianya masih 20 tahun sebenarnya. Namun Aida juga di paksa menikah oleh kedua orangtua nya dengan ku.

Intinya pernikahan kami adalah keinginan kedua orangtua kami, bukan keinginan kami berdua.

Kami ternyata telah di jodohkan sejak kecil. Papa ku dan ayah Aida sudah bersahabat sejak lama, sejak mereka masih muda. Persahabatan mereka cukup erat, sehingga mereka punya kesepakatan untuk menikahkan anak-anak mereka.

Aida memang masih sedang kuliah, sedangkan aku baru lulus sekitar dua tahun yang lalu. Aku sudah bekerja di perusahaan papa ku. Sebagai anak tunggal, aku memang di persiapkan untuk mewarisi perusahaan papa ku.

Aida merupakan anak pertama, dia masih mempunyai dua orang adik yang masih kecil-kecil. Keluarga Aida memang termasuk keluarga yang taat beragama. Bertolak belakang dengan keluarga ku, yang boleh di bilang cukup modern.

Sejak menikah, aku dan Aida memang tinggal di rumah sendiri. Rumah yang sebenarnya memang sudah di persiapkan untuk kami, sebagai hadiah pernikahan kami.

Ayah Aida adalah seorang ulama yang cukup tepandang di kota kami. Sementara papa ku adalah seorang pengusaha sukses.

Secara fisik sebenarnya cukup menarik, selain itu ia juga wanita yang baik, sopan dan taat beragama. Sedangkan aku seseorang yang cukup jauh dari agama. Salah satu tujuan papa ku menjodohkan aku dengan Aida, ialah agar aku bisa belajar agama dari Aida.

Namun aku tidak bisa menerima pernikahan itu begitu saja. Meski pun aku tetap menikahi Aida, karena desakan dari papa ku, namun aku tidak benar-benar bahagia dengan semua itu. Aku merasa telah kehilangan masa depan ku.

Menikah muda bukanlah impian ku, apa lagi aku harus menikah dengan gadis yang tidak aku cintai. Karena itu, aku tidak benar-benar menjalankan kewajiban ku sebagai seorang suami. Aku lebih sering menghabiskan waktu di luar rumah.

Aku masih terus menjalani kehidupan ku sebagai mana saat aku belum menikah dulu. Berhura-hura, berpesta, dan kadang mabuk-mabukan. Pulang selalu tengah malam, dan bahkan aku juga sering tidak pulang ke rumah.

Aida juga tidak pernah menghiraukan hal tersebut. Namun ia tetap berusaha menjalankan tugasnya sebagai seorang istri. Memasak makanan untuk ku, meski pun hampir tak pernah aku makan. Mengurusi rumah dengan baik, juga mempersiapkan segala keperluan ku setiap hari.

Selama menikah, kami hampir tidak berbicara sama sekali. Aida hanya diam dan tak pernah menegur ku, saat aku pulang dalam keadaan mabuk. Atau saat aku tidak pulang sama sekali.

Saat berkunjung ke rumah orangtua ku atau ke rumah orangtua Aida, kami selalu berusaha untuk bersikap kalau semuanya baik-baik saja. Kami bersikap, kalau rumah tangga kami berjalan dengan baik, seperti yang di harapkan oleh orangtua kami.

****

Berbulan-bulan, bahkan hingga hampir setahun pernikahan ku dengan Aida berjalan. Aku bahkan belum pernah menyentuhnya.

Namun orangtua ku, terutama mama, sudah mulai mempertanyakan tentang kehamilan Aida.

"sudah setahun kalian menikah, tapi Aida belum juga hamil." ucap mama suatu saat aku berkunjung sendirian ke rumahnya.

"Mungkin belum saatnya, Ma. Aida juga masih cukup muda." balasku beralasan.

"tapi mama sudah pengen gendong cucu loh, Do." ucap mama lagi.

"Edo juga pengen punya keturunan, Ma. Tapi kalau sampai saat ini Aida belum hamil, kita bisa apa?" balas ku berusaha membuat mama percaya dengan ucapan ku tersebut.

"kamu yakin, sudah memenuhi kewajiban kamu sebagai seorang suami dengan baik?" ucap mama lagi.

Kali ini aku tidak menjawab. Aku merasa tidak harus menjawabnya. Meski pun aku tahu maksud dari pertanyaan mama barusan. Biar bagaimana pu, mama cukup tahu, kalau aku tidak mencintai Aida. Jadi wajar, kalau mama mencurigai ku.

"pernikahan itu sesuatu yang sakral loh, Do. Kamu jangan berniat untuk mempermainkannya." ucap mama kemudian, melihat keterdiaman ku.

"iya, Ma. Edo ngerti. Tapi mama jangan menuntut Edo terus dong. Mama harusnya lebih sabar." balasku akhirnya.

Untuk selanjutnya mama tidak berucap apa-apa lagi. Beberapa saat kemudian, aku pun pamit untuk pulang. Aku juga tak berniat untuk melanjutkan pembicaraan tersebut.

Namun jujur saja, permintaan mama tersebut, cukup mengganggu pikiran ku. Aku juga ingin melihat mama bahagia. Tapi rasanya saat ini, aku belum bisa memenuhi hal tersebut. Aku belum bisa melakukan kewajiban ku sebagai suami terhadap Aida.

Apa lagi sepertinya Aida juga tidak menginginkan hal tersebut.

****

Kehidupan ku di luar rumah memang cukup bebas. Apa lagi pergaulan ku yang tidak terbatas. Aku punya banyak teman, terutama teman cewek, yang sering aku ajak berhura-hura dan berpesta bersama.

Pernah pada suatu malam, seorang teman ku memperkenalkan ku dengan seorang gadis. Namanya Nadya. Dia gadis yang cantik dan juga sangat seksi. Apa lagi Nadya sangat suka berpakain minim dan cukup ketat.

Saat berkenalan dengan Nadya, aku tidak mengaku kalau aku sudah menikah. Semua teman-teman ku pun mengetahui hal itu. Tapi mereka memang tidak peduli. Karena mereka juga tahu, kalau aku menikah bukan karena cinta.

Nadya pun percaya kalau aku belum menikah. Kami pun kemudian menjadi dekat. Kami saling bertukar nomor handphone. Dan hal itu cukup membuat kami jadi sering berkomunikasi.

Aku pun mulai merasakan benih-benih cinta tumbuh di hati ku untuk Nadya. Karena itu, aku pun nekat mengajak Nadya berkencan dan mengungkapkan perasaan ku padanya.

Gayung pun bersambut, Nadya dengan sangat terbuka pun menerima cintaku. Dan sejak malam itu, kami pun resmi berpacaran.

Nadya cukup agresif orangnya. Dia sangat terbuka dengan perasaannya padaku. Hubungan kami pun bahkan sudah melampaui batas. Aku sudah melakukan hal yang seharusnya aku lakukan dengan istri ku. tapi aku justru memilih untuk melakukannya dengan Nadya, pacar ku.

Hal itu terus terjadi. Berkali-kali. Bahkan sudah teramat sering. Sementara hubunganku dengan Aida, istriku, justru semakin renggang dan kian berjarak.

Sampai akhirnya Nadya mengabarkan padaku, kalau ia hamil.

"kenapa bisa sih, Nad?" tanya ku setengah tak percaya.

"ya, bisalah, Do. kenapa gak? Kan kita sudah terlalu sering melakukan hal tersebut." balas Nadya setengah marah.

"iya. Maksud ku, kenapa kamu gak hati-hati, sih?" ucapku lagi.

"ya mau gimana lagi, Do. Kita kan pernah melakuk4nnya tanpa peng4man." balas Nadya.

"lalu sekarang gimana?" tanya ku tiba-tiba merasa linglung.

"ya kamu nikahi aku lah." balas Nadya lugas.

"aku mungkin bisa menikahi kamu, Nad." ucapku tegas.

"kenapa?" suara Nadya berat, keningnya mengerut, "bukankah selama ini kita memang saling cinta. Dan ini adalah buah dari cinta kita, Do." lanjut Nadya, sambil sedikit menunjuk ke arah perutnya.

"kamu jangan lari dari tanggungjawab gitu, dong." Nadya berucap lagi.

"aku bukannya mau lari dari tanggungjawab, Nad. Tapi untuk saat ini, aku benar-benar tidak bisa." suara ku mulai serak.

"kenapa?" tanya Nadya lagi, matanya melotot menatap ku.

"aku... aku ... sebenarnya... aku sudah punya istri, Nad." ucapku terbata.

"maksud kamu?" tanya Nadya dengan nada tak percaya.

"sebelum kita kenal, sebenarnya aku sudah menikah. Namun aku menikah bukan karena cinta, tapi karena di jodohkan. Karena itu, aku tak pernah mau mengakui pernikahan tersebut." ucapku menjelaskan.

"ya udah, kamu ceraikan saja istri mu itu." balas Nadya terdengar santai.

"gak semudah itu lah, Nad." ucapku pelan.

"kenapa gak, kata mu kamu tidak mencintainya." balas Nadya tajam.

"aku memang tidak mencintai istri ku, tapi seperti yang aku katakan, kami di jodohkan oleh orangtua kami. Jika aku menceraikan istri ku sekarang, orangtua ku pasti akan marah besar padaku." jelasku parau.

"lalu sekarang gimana?" kali ini Nadya yang bertanya.

"bagaimana kalau kita gugur kan saja." tawarku yakin.

"kamu jangan gila, Do. Kamu pikir hal itu gampang. Resikonya terlalu besar. Aku takut." balas Nadya.

"lalu kamu mau nya gimana?" tanya ku.

"aku maunya kita menikah. Gak apa-apa aku jadi istri kedua. Yang penting anak ini lahir ada ayahnya." ucap Nadya serak.

"kamu mau menikah diam-diam? Menikah bawah tangan? Tanpa di ketahui keluarga kita?" tanya ku bertubi.

"apa pun caranya, Do. Yang penting kamu harus bertanggungjawab." tegas suara Nadya membalas.

****

Dan aku pun menikah dengan Nadya secara diam-diam. Nikah bawah tangan. Hanya di hadiri dua orang saksi dan seorang wali.

Karena Nadya memang seorang yatim piatu. Dia tinggal sendirian di kota ini. Semua keluarganya ada di kampung. Sementara kedua orangtua nya sudah lama meninggal.

Nadya sebenarnya bekerja di sebuah perusahaan, sebagai karyawan biasa. Dan dia tinggal sendirian di sebuah kamar kost.

Setelah menikah, aku pun mencari rumah kontrakan untuk tempat kami tinggal. Dan aku juga meminta Nadya untuk berhenti kerja. Aku tidak mau, kalau teman-teman kerjanya tahu, kalau Nadya sudah menikah dan sedang hamil.

Sejak saat itu, aku pun mulai menjalani kehidupan yang tidak wajar. Aku sudah mempunyai dua orang istri sekarang. Dan aku harus bisa membagi waktu dengan baik. Apa lagi sekarang, hubungan ku dengan Aida justru kian membaik.

Bukan karena aku mulai jatuh cinta padanya, tapi karena tuntutan dari kedua keluarga kami, agar kami segera punya keturunan. Dan karena, sebenarnya aku merasa bersalah terhadap Aida. Aku merasa telah mengkhiantainya.

Sebagai penebus rasa bersalah ku, aku pun mulai menjalankan kewajiban ku sebagai seorang suami terhadap Aida. Aku pun memberikan kesempatan untuk Aida, untuk menjadi seorang istri yang sesungguhnya. Yang membuat Aida akhirnya pun hamil.

Kehamilan Aida membuat bahagia kedua keluarga kami, namun tidak dengan ku. Kehamilan Aida justru membuat aku semakin sulit untuk membagi waktu ku.

Karena sama-sama hamil, kedua istri ku pun sangat membutuhkan kehadiran ku.

Namun biar bagaimana pun, aku harus tetap menjalani kehidupan ku seperti saat sekarang ini. Meski pun sebenarnya aku merasa terjebak. Aku terjebak oleh perbuatan ku sendiri.

Di satu sisi, Aida adalah istri ku yang sah, yang di restui oleh keluarga ku. Namun di sisi lain, Nadya adalah gadis yang aku cintai, meski pernikahan kami hanyalah sbeuah rahasia. Dan Nadya bisa menerima semua itu dengan lapang dada.

Entah sampai kapan semua ini akan terus berlanjut. Entah semua ini akan bertahan selamanya, atau justru semua akan berakhir dan aku harus kehilangan kedua istri ku.

Aku tidak tahu, dan aku enggan untuk memikirkannya. Yang pasti saat ini, aku berusaha untuk menjalankannya.

Mempunyai dua istri bukanlah impian ku, namun keadaan lah yang memaksa aku untuk melakukannya.

Meski pun aku tidak bisa menyalahkan siapa-siapa dalam hal ini. Tidak juga takdir.

Tapi begitulah kehidupan yang aku jalani hingga saat ini. Aku hanya berharap, semoga semuanya berjalan dengan baik-baik saja dan seperti yang aku inginkan.

Ya, semoga saja.

*****

Bersambung...

Cari Blog Ini

Layanan

Translate