Gejolak istri ke dua

Namaku Edo. Aku sudah menikah, meski pun usia ku masih 26 tahun sebenarnya.

Aku menikah bukan atas keinginan ku sendiri, melainkan karena aku di jodohkan oleh orangtua ku.

Aku di jodohkan dengan seorang gadis yang bernama Aida. Seorang gadis cantik yang merupakan seorang muslim yang taat. Aida memang lulusan sebuah pesantren. Usianya masih 20 tahun sebenarnya. Namun Aida juga di paksa menikah oleh kedua orangtua nya dengan ku.

Intinya pernikahan kami adalah keinginan kedua orangtua kami, bukan keinginan kami berdua.

Kami ternyata telah di jodohkan sejak kecil. Papa ku dan ayah Aida sudah bersahabat sejak lama, sejak mereka masih muda. Persahabatan mereka cukup erat, sehingga mereka punya kesepakatan untuk menikahkan anak-anak mereka.

Aida memang masih sedang kuliah, sedangkan aku baru lulus sekitar dua tahun yang lalu. Aku sudah bekerja di perusahaan papa ku. Sebagai anak tunggal, aku memang di persiapkan untuk mewarisi perusahaan papa ku.

Aida merupakan anak pertama, dia masih mempunyai dua orang adik yang masih kecil-kecil. Keluarga Aida memang termasuk keluarga yang taat beragama. Bertolak belakang dengan keluarga ku, yang boleh di bilang cukup modern.

Sejak menikah, aku dan Aida memang tinggal di rumah sendiri. Rumah yang sebenarnya memang sudah di persiapkan untuk kami, sebagai hadiah pernikahan kami.

Ayah Aida adalah seorang ulama yang cukup tepandang di kota kami. Sementara papa ku adalah seorang pengusaha sukses.

Secara fisik sebenarnya cukup menarik, selain itu ia juga wanita yang baik, sopan dan taat beragama. Sedangkan aku seseorang yang cukup jauh dari agama. Salah satu tujuan papa ku menjodohkan aku dengan Aida, ialah agar aku bisa belajar agama dari Aida.

Namun aku tidak bisa menerima pernikahan itu begitu saja. Meski pun aku tetap menikahi Aida, karena desakan dari papa ku, namun aku tidak benar-benar bahagia dengan semua itu. Aku merasa telah kehilangan masa depan ku.

Menikah muda bukanlah impian ku, apa lagi aku harus menikah dengan gadis yang tidak aku cintai. Karena itu, aku tidak benar-benar menjalankan kewajiban ku sebagai seorang suami. Aku lebih sering menghabiskan waktu di luar rumah.

Aku masih terus menjalani kehidupan ku sebagai mana saat aku belum menikah dulu. Berhura-hura, berpesta, dan kadang mabuk-mabukan. Pulang selalu tengah malam, dan bahkan aku juga sering tidak pulang ke rumah.

Aida juga tidak pernah menghiraukan hal tersebut. Namun ia tetap berusaha menjalankan tugasnya sebagai seorang istri. Memasak makanan untuk ku, meski pun hampir tak pernah aku makan. Mengurusi rumah dengan baik, juga mempersiapkan segala keperluan ku setiap hari.

Selama menikah, kami hampir tidak berbicara sama sekali. Aida hanya diam dan tak pernah menegur ku, saat aku pulang dalam keadaan mabuk. Atau saat aku tidak pulang sama sekali.

Saat berkunjung ke rumah orangtua ku atau ke rumah orangtua Aida, kami selalu berusaha untuk bersikap kalau semuanya baik-baik saja. Kami bersikap, kalau rumah tangga kami berjalan dengan baik, seperti yang di harapkan oleh orangtua kami.

****

Berbulan-bulan, bahkan hingga hampir setahun pernikahan ku dengan Aida berjalan. Aku bahkan belum pernah menyentuhnya.

Namun orangtua ku, terutama mama, sudah mulai mempertanyakan tentang kehamilan Aida.

"sudah setahun kalian menikah, tapi Aida belum juga hamil." ucap mama suatu saat aku berkunjung sendirian ke rumahnya.

"Mungkin belum saatnya, Ma. Aida juga masih cukup muda." balasku beralasan.

"tapi mama sudah pengen gendong cucu loh, Do." ucap mama lagi.

"Edo juga pengen punya keturunan, Ma. Tapi kalau sampai saat ini Aida belum hamil, kita bisa apa?" balas ku berusaha membuat mama percaya dengan ucapan ku tersebut.

"kamu yakin, sudah memenuhi kewajiban kamu sebagai seorang suami dengan baik?" ucap mama lagi.

Kali ini aku tidak menjawab. Aku merasa tidak harus menjawabnya. Meski pun aku tahu maksud dari pertanyaan mama barusan. Biar bagaimana pu, mama cukup tahu, kalau aku tidak mencintai Aida. Jadi wajar, kalau mama mencurigai ku.

"pernikahan itu sesuatu yang sakral loh, Do. Kamu jangan berniat untuk mempermainkannya." ucap mama kemudian, melihat keterdiaman ku.

"iya, Ma. Edo ngerti. Tapi mama jangan menuntut Edo terus dong. Mama harusnya lebih sabar." balasku akhirnya.

Untuk selanjutnya mama tidak berucap apa-apa lagi. Beberapa saat kemudian, aku pun pamit untuk pulang. Aku juga tak berniat untuk melanjutkan pembicaraan tersebut.

Namun jujur saja, permintaan mama tersebut, cukup mengganggu pikiran ku. Aku juga ingin melihat mama bahagia. Tapi rasanya saat ini, aku belum bisa memenuhi hal tersebut. Aku belum bisa melakukan kewajiban ku sebagai suami terhadap Aida.

Apa lagi sepertinya Aida juga tidak menginginkan hal tersebut.

****

Kehidupan ku di luar rumah memang cukup bebas. Apa lagi pergaulan ku yang tidak terbatas. Aku punya banyak teman, terutama teman cewek, yang sering aku ajak berhura-hura dan berpesta bersama.

Pernah pada suatu malam, seorang teman ku memperkenalkan ku dengan seorang gadis. Namanya Nadya. Dia gadis yang cantik dan juga sangat seksi. Apa lagi Nadya sangat suka berpakain minim dan cukup ketat.

Saat berkenalan dengan Nadya, aku tidak mengaku kalau aku sudah menikah. Semua teman-teman ku pun mengetahui hal itu. Tapi mereka memang tidak peduli. Karena mereka juga tahu, kalau aku menikah bukan karena cinta.

Nadya pun percaya kalau aku belum menikah. Kami pun kemudian menjadi dekat. Kami saling bertukar nomor handphone. Dan hal itu cukup membuat kami jadi sering berkomunikasi.

Aku pun mulai merasakan benih-benih cinta tumbuh di hati ku untuk Nadya. Karena itu, aku pun nekat mengajak Nadya berkencan dan mengungkapkan perasaan ku padanya.

Gayung pun bersambut, Nadya dengan sangat terbuka pun menerima cintaku. Dan sejak malam itu, kami pun resmi berpacaran.

Nadya cukup agresif orangnya. Dia sangat terbuka dengan perasaannya padaku. Hubungan kami pun bahkan sudah melampaui batas. Aku sudah melakukan hal yang seharusnya aku lakukan dengan istri ku. tapi aku justru memilih untuk melakukannya dengan Nadya, pacar ku.

Hal itu terus terjadi. Berkali-kali. Bahkan sudah teramat sering. Sementara hubunganku dengan Aida, istriku, justru semakin renggang dan kian berjarak.

Sampai akhirnya Nadya mengabarkan padaku, kalau ia hamil.

"kenapa bisa sih, Nad?" tanya ku setengah tak percaya.

"ya, bisalah, Do. kenapa gak? Kan kita sudah terlalu sering melakukan hal tersebut." balas Nadya setengah marah.

"iya. Maksud ku, kenapa kamu gak hati-hati, sih?" ucapku lagi.

"ya mau gimana lagi, Do. Kita kan pernah melakuk4nnya tanpa peng4man." balas Nadya.

"lalu sekarang gimana?" tanya ku tiba-tiba merasa linglung.

"ya kamu nikahi aku lah." balas Nadya lugas.

"aku mungkin bisa menikahi kamu, Nad." ucapku tegas.

"kenapa?" suara Nadya berat, keningnya mengerut, "bukankah selama ini kita memang saling cinta. Dan ini adalah buah dari cinta kita, Do." lanjut Nadya, sambil sedikit menunjuk ke arah perutnya.

"kamu jangan lari dari tanggungjawab gitu, dong." Nadya berucap lagi.

"aku bukannya mau lari dari tanggungjawab, Nad. Tapi untuk saat ini, aku benar-benar tidak bisa." suara ku mulai serak.

"kenapa?" tanya Nadya lagi, matanya melotot menatap ku.

"aku... aku ... sebenarnya... aku sudah punya istri, Nad." ucapku terbata.

"maksud kamu?" tanya Nadya dengan nada tak percaya.

"sebelum kita kenal, sebenarnya aku sudah menikah. Namun aku menikah bukan karena cinta, tapi karena di jodohkan. Karena itu, aku tak pernah mau mengakui pernikahan tersebut." ucapku menjelaskan.

"ya udah, kamu ceraikan saja istri mu itu." balas Nadya terdengar santai.

"gak semudah itu lah, Nad." ucapku pelan.

"kenapa gak, kata mu kamu tidak mencintainya." balas Nadya tajam.

"aku memang tidak mencintai istri ku, tapi seperti yang aku katakan, kami di jodohkan oleh orangtua kami. Jika aku menceraikan istri ku sekarang, orangtua ku pasti akan marah besar padaku." jelasku parau.

"lalu sekarang gimana?" kali ini Nadya yang bertanya.

"bagaimana kalau kita gugur kan saja." tawarku yakin.

"kamu jangan gila, Do. Kamu pikir hal itu gampang. Resikonya terlalu besar. Aku takut." balas Nadya.

"lalu kamu mau nya gimana?" tanya ku.

"aku maunya kita menikah. Gak apa-apa aku jadi istri kedua. Yang penting anak ini lahir ada ayahnya." ucap Nadya serak.

"kamu mau menikah diam-diam? Menikah bawah tangan? Tanpa di ketahui keluarga kita?" tanya ku bertubi.

"apa pun caranya, Do. Yang penting kamu harus bertanggungjawab." tegas suara Nadya membalas.

****

Dan aku pun menikah dengan Nadya secara diam-diam. Nikah bawah tangan. Hanya di hadiri dua orang saksi dan seorang wali.

Karena Nadya memang seorang yatim piatu. Dia tinggal sendirian di kota ini. Semua keluarganya ada di kampung. Sementara kedua orangtua nya sudah lama meninggal.

Nadya sebenarnya bekerja di sebuah perusahaan, sebagai karyawan biasa. Dan dia tinggal sendirian di sebuah kamar kost.

Setelah menikah, aku pun mencari rumah kontrakan untuk tempat kami tinggal. Dan aku juga meminta Nadya untuk berhenti kerja. Aku tidak mau, kalau teman-teman kerjanya tahu, kalau Nadya sudah menikah dan sedang hamil.

Sejak saat itu, aku pun mulai menjalani kehidupan yang tidak wajar. Aku sudah mempunyai dua orang istri sekarang. Dan aku harus bisa membagi waktu dengan baik. Apa lagi sekarang, hubungan ku dengan Aida justru kian membaik.

Bukan karena aku mulai jatuh cinta padanya, tapi karena tuntutan dari kedua keluarga kami, agar kami segera punya keturunan. Dan karena, sebenarnya aku merasa bersalah terhadap Aida. Aku merasa telah mengkhiantainya.

Sebagai penebus rasa bersalah ku, aku pun mulai menjalankan kewajiban ku sebagai seorang suami terhadap Aida. Aku pun memberikan kesempatan untuk Aida, untuk menjadi seorang istri yang sesungguhnya. Yang membuat Aida akhirnya pun hamil.

Kehamilan Aida membuat bahagia kedua keluarga kami, namun tidak dengan ku. Kehamilan Aida justru membuat aku semakin sulit untuk membagi waktu ku.

Karena sama-sama hamil, kedua istri ku pun sangat membutuhkan kehadiran ku.

Namun biar bagaimana pun, aku harus tetap menjalani kehidupan ku seperti saat sekarang ini. Meski pun sebenarnya aku merasa terjebak. Aku terjebak oleh perbuatan ku sendiri.

Di satu sisi, Aida adalah istri ku yang sah, yang di restui oleh keluarga ku. Namun di sisi lain, Nadya adalah gadis yang aku cintai, meski pernikahan kami hanyalah sbeuah rahasia. Dan Nadya bisa menerima semua itu dengan lapang dada.

Entah sampai kapan semua ini akan terus berlanjut. Entah semua ini akan bertahan selamanya, atau justru semua akan berakhir dan aku harus kehilangan kedua istri ku.

Aku tidak tahu, dan aku enggan untuk memikirkannya. Yang pasti saat ini, aku berusaha untuk menjalankannya.

Mempunyai dua istri bukanlah impian ku, namun keadaan lah yang memaksa aku untuk melakukannya.

Meski pun aku tidak bisa menyalahkan siapa-siapa dalam hal ini. Tidak juga takdir.

Tapi begitulah kehidupan yang aku jalani hingga saat ini. Aku hanya berharap, semoga semuanya berjalan dengan baik-baik saja dan seperti yang aku inginkan.

Ya, semoga saja.

*****

Bersambung...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini

Layanan

Translate