Nama ku Erwin. Dan ini adalah kisah ku.
Sebagai seorang laki-laki aku memang terlahir cukup sempurna. Selain memiliki wajah yang tampan, aku juga di karuniai postur tubuh yang kekar dan atletis. Dan aku merasa bangga memiliki itu semua.
Untuk urusan percintaan, aku juga suka tidak sembarangan memilih pacar. Gadis yang bisa menjadi pacarku, haruslah seseorang yang sebanding dengan ku. Kalau gak cantik ya tajir.
Aku juga gak sembarangan memilih teman. Yang bisa berteman dengan ku, kalau gak tajir ya harus bisa aku suruh-suruh.
Sombong kan aku? Ya, aku memang sombong, angkuh atau apalah istilahnya untuk orang seperti ku ini.
Aku punya karakter seperti itu, karena aku memang terlahir dari keluarga yang serba berkecukupan, bahkan boleh di bilang sangat mewah.
Papa ku memang seorang pejabat pemerintah yang sangat berpengaruh. Hampir semua orang di kota ini mengenalnya. Dan mama ku adalah seorang wanita yang suka pamer akan kekayaan suaminya. Tipe-tipe istri pejabat lah pokoknya.
Suka berpesta, shoping atau berhura-hura tanpa alasan. Dan seperti itu lah karakter ku di bentuk. Aku sudah di ajarkan untuk bersikap sedikit angkuh sejak kecil. Karena ya.. kehidupan kami memang sangat mewah. Apa lagi aku ini adalah anak tunggal.
Kadang aku gak habis pikir, kenapa orang kebanyakan dari orang kaya, lebih memilih untuk tidak memiliki banyak anak. Sedangkan orang-orang yang hidupnya pas-pasan, sebagian besar memiliki banyak anak.
Padahal seharusnya, orang kaya lah yang harus punya banyak anak, karena sudah pasti mereka sanggup membiayainya. Namun jika orang miskin yang punya banyak anak, mereka akan kesulitan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.
Dan itu hanya sebatas pendapat ku saja. Gak perlu diambil pusing. Karena kalau kita menilai sesuatu dari berbagai sudut pandang, maka segala kemungkinan bisa saja terjadi.
Oke, kembali ke saya. Seorang cowok angkuh yang merasa terlahir sempurna. Yang merasa hidup ini terlalu mudah.
Namun semua kenyaman dan kemewahan hidup yang aku jalani tersebut, pada akhirnya harus berakhir.
Hal itu terjadi saat aku baru saja lulus SMA. Ketika akhirnya papa ku yang seorang pejabat penting itu, terjerat kasus korupsi yang sangat besar. Mungkin demi hidup yang lebih mewah, papa melakukannya.
Akibatnya papa harus mendekam di bui untuk waktu yang sangat lama. Bertahun-tahun. Entah berapa tahun. Aku juga gak peduli. Bagiku sejak papa terlibat kasus korupsi itu, aku tak pernah menganggapnya lagi. Aku tak peduli lagi.
Mama yang terlanjur terbiasa hidup mewah, tidak bisa menerima kenyataan. Ketika semua kekayaan papa di sita. Mama memilih mengakhiri hidupnya, karena tak ingin hidup menderita dan tak sanggup menahan malu.
Mama memilih meninggalkan aku sendirian, menjalani kehidupan yang berat ini. Dan karena itu aku jadi membencinya. Aku membenci kedua orangtua ku.
Aku sendirian sekarang. Orang-orang yang dulu selalu memuja ku, kini memandang ku hina. Teman-teman yang dulu selalu ada kapan pun aku membutuhkan mereka, kini memandang ku dengan pandangan kebencian.
Entah mereka merasa jijik melihat ku yang terlahir dari keluarga seorang koruptor, entah karena mereka merasa dendam terhadapku, karena selama ini aku selalu merendahkan mereka.
Namun apa pun, yang pasti saat ini, aku benar-benar sendiri. Aku sebatang kara. Semua keangkuhan ku memudar. Tidak ada lagi yang bisa aku sombongkan.
Wajah tampan yang dulu aku bangga-banggakan, kini kusam tanpa warna. Tubuh atletis yang dulu suka aku pamerkan, kini mulai menyusut dan kurus. Harta benda yang dulu selalu aku jadikan senjata untuk melecehkan orang-orang, kini tidak aku miliki lagi.
Aku benar-benar kehilangan semuanya, orangtua, kekayaan, teman-teman dan bahkan harga diri.
Aku menjadi gelandangan. Tidur di jalanan. Makan makanan sisa. Minum air comberan. Baju yang lusuh tidak pernah terkena air. Kulit ku menghitam. Kotor. Aku tak lebih dari seonggok sampah busuk yang selalu di hindari orang-orang.
Aku menjadi hina di mata siapa saja. Setiap orang yang melihat ku, selalu memandangku rendah dan tak berharga.
****
Akhirnya aku memutuskan untuk meninggalkan kota kelahiran ku. Kota yang penuh dengan kenangan. Tapi aku memang harus pergi. Aku harus pergi ke tempat dimana tidak seorang pun yang mengenalku.
Aku harus memulai hidupku yang baru, dan meninggalkan semua kenangan yang pernah terjadi di kota ini. Aku tak mungkin terus berada disini, sementara orang-orang terus mencibirku.
Aku berjalan tanpa tujuan. Melangkah tanpa harapan. Aku hanya ingin pergi dari sini. Meski aku tidak tahu harus kemana.
Siang malam aku berjalan dengan tertatih. Tidur di pinggiran jalan saat malam tiba. Merintih menahan dinginnya angin yang menembus setiap sobekan di bajuku. Memungut apa pun yang aku temukan di jalan, untuk bisa aku makan.
Panas dan hujan tak pernah lagi aku hiraukan. Aku tak pedulikan perihnya telapak kaki ku menahan tajamnya kerikil-kerikil yang aku injak tanpa alas apa pun. Aku hanya terus melangkah.
Sampai pada suatu daerah. Aku tak tahu dimana sebenarnya aku berada. Aku hanya merasa telah berjalan sangat jauh. Berhari-hari. Bermalam-malam. Mungkin sudah hampir sebulan.
Aku sedang beristirahat duduk di pinggiran jalan, ketika seorang laki-laki menghampiri ku.
"kamu mau kemana?" tanya laki-laki itu, ia mengeluarkan kepalanya dari jendela mobil mewahnya.
Aku diam tak menjawab. Karena aku memang tidak tahu mau kemana saat ini.
"kemana tujuan mu?" laki-laki itu mengulang pertanyaannya, kepalanya masih di luar jendela mobil.
Kali ini aku menggeleng.
Laki-laki itu memasukan kepalanya kembali. Aku pikir ia akan pergi. Tapi justru ia semakin memarkir mobilnya ke pinggir jalan. Beberapa saat kemudian ia pun turun dari mobil mewah itu.
Di luar dugaan ku, laki-laki tersebut ikut duduk di samping ku.
"sebenarnya kemana tujuan mu?" tanya laki-laki itu pelan.
"aku tidak punya tujuan." balasku serak.
"apa kamu lapar?" laki-laki itu bertanya lagi, ia seakan mengabaikan jawabanku.
Sebelum aku sempat menjawab, laki-laki tiba-tiba berdiri. Ia berjalan menuju mobilnya, lalu membuka pintu. Memasukan badannya separoh, kemudian ia keluar lagi. Sepertinya ia sedang mengambil sesuatu di dalam mobil tersebut.
Sesaat kemudian, laki-laki itu sudah berjalan lagi menuju ke arah ku. Di tangannya ia membawa sesuatu di dalam kresek biru yang trasparan.
Laki-laki itu duduk lagi di dekatku.
"ini ada beberapa potong roti dan juga air mineral. Kalau kamu lapar, kamu boleh mengambilnya." ucap laki-laki itu pelan.
Aku melirik laki-laki itu sekilas, ia terlihat sangat tulus. Aku segera meraih kantong plastik biru transparan itu. Membukanya, lalu kemudian mengambil sepotong roti, lalu memakannya dengan lahap.
"kamu kelihatan sangat lapar. Sebenarnya kamu dari mana?" tanya laki-laki itu.
"aku seorang gelandangan." jawabku lemah. Aku pun mengambil sebotol air mineral dari dalam kantong itu lagi. Lalu meneguknya sampai hampir habis. Sudah lama sekali aku tidak minum air senikmat itu.
"kamu mau ikut dengan ku?" laki-laki itu bertanya lagi.
"kemana?" tanya ku sedikit heran.
"ke rumah ku. Kamu bisa tinggal di rumahku. Dan bahkan kamu juga bisa bekerja di sana. Kalau kamu mau." jelas laki-laki itu terdengar serius.
"apa abang gak takut sama saya?" tanya ku ingin tahu.
"kamu belum gila, hanya stress. Jadi aku gak perlu takut." jawab laki-laki itu lugas.
"tapi aku kotor dan kumuh." ucapku.
"kotor dan kumuh masih bisa di bersihkan, yang penting kamu mau ikut dengan ku." balas laki-laki itu.
"kenapa abang begitu baik padaku, padahal kita tidak saling kenal." ucapku lagi.
"namaku Radit. Panggil aja bang Radit. Dan kenapa aku baik sama kamu. Ya, karena menurut ku kamu terlihat seperti orang baik. Orang baik yang sedang tersesat. Atau orang baik yang sedang mencari jati dirinya."
"dan sebenarnya juga, aku sudah memperhatikan kamu sejak tadi pagi. Aku melihat kamu sudah berjalan sepanjang hari ini di daerah ini. Aku memang selalu berlalu lalang di jalan ini. Jadi aku sudah hafal betul setiap orang yang lewat disini."
"ketika aku melihat kamu tadi, awalnya aku coba mengabaikannya. Namun saat aku melihat kamu termenung sendirian di sini, aku pun berinisiatif untuk mendekati kamu. Karena belum pernah sebelumnya ada orang yang berjalan seperti kamu di daerah sini. Dan setelah aku perhatikan kamu sepertinya orang baik." jelas laki-laki itu panjang lebar.
Meski pun sebenarnya aku tidak terlalu mengerti dengan semua penjelasan laki-laki yang mengaku bernama Radit itu, tapi aku pun akhirnya menerima tawarannya untuk ikut dengannya.
Daerah itu memang cukup sunyi sebenarnya. Itu seperti daerah di jalan lintas antar kota yang berpenduduk sangat sedikit. Hanya ada beberapa rumah di daerah tersebut, selebihnya masih banyak hutan dan kebun-kebun sawit atau pun kebun karet.
Karena itu juga sebenarnya, aku memutuskan untuk menerima tawaran dari bang Radit. Lagi pula gak ada salahnya menurutku untuk ikut dengannya. Kalau pun bang Radit berniat jahat padaku. Apa sih yang ia harapkan dariku.
****
Mobil mewah itu pun memasuki sebuah pekarangang rumah yang cukup luas dan mewah. Rumah itu berada di pinggiran jalan raya sebenarnya. Hanya saja di sekeliling rumah itu terdapat kebun sawit yang sangat luas.
Sepanjang perjalanan tadi, bang Radit terus bertanya padaku. Setidaknya ia ingin tahu siapa aku sebenarnya. Aku pun sedikit mengarang cerita padanya. Aku mengatakan kalau aku adalah seorang anak yatim piatu dan sudah tidak punya keluarga lagi. Aku sudah menjadi gelandangan sejak lama.
Aku mengatakan demikian, karena menurutku aku tidak mungkin menceritakan secara keseluruhan tentang siapa aku sebenarnya. Aku juga tidak ingin bang Radit tahu, kalau aku adalah anak seorang koruptor. Karena bisa saja bang Radit justru akan mengusir ku, jika ia tahu semua itu.
Setelah memarkir mobil di garasi, bang Radit segera mengajak aku turun dari mobil tersebut. Lalu kemudian, ia mengajak aku masuk ke dalam rumah mewah itu.
Di dalam rumah kami disambut oleh seorang wanita cantik yang terlihat masih sangat muda.
"ini istri ku." ucap bang Radit.
Wanita yang di sebut istrinya oleh bang Radit itu menatapku penuh tanya. Lalu ia pun mengulurkan tangannya.
"Sinta." ucapnya lembut, sambil kami berjabat tangan.
"Erwin." balasku ringan.
"untuk sementara Erwin akan tinggal di sini bersama kita." ucap bang Radit.
Istri bang Radit, segera memanggil nama seseorang. Sesaat kemudian, seorang wanita tua muncul dari arah dapur.
"tolong bi Asih antar Erwin ke kamar belakang." kali ini bang Radir yang berucap lagi.
"baik, tuan." balas wanita tua itu sopan.
"kamu boleh mandi dulu, kemudian istirahat di kamar. Nanti kita bicara lagi." ucap bang Radit padaku.
Aku pun mengikuti langkah bi Asih menuju dapur. Di sana ada sebuah kamar yang masih kosong. Kamar itu cukup luas, ada kamar mandi juga di dalamnya.
Setelah bi Asih pergi, aku pun segera menutup pintu kamar itu. Aku pun segera mandi, untuk membersihkan tubuhku yang sudah lebih dari sebulan tidak mandi. Setelah itu aku pun beristirahat dan tidur.
*****
Malam itu aku pun terbangun, saat bi Asih mengetuk pintu kamar ku.
"kamu di tunggu tuan di ruang makan." ucap bi Asih.
Aku pun segera melangkah menuju ruang makan, yang memang berada tidak terlalu jauh dari kamar tersebut.
Di meja makan bang Radit dan istrinya telah menunggu ku.
"silahkan duduk, Erwin. Kita makan malam dulu." ucap bang Radit sopan.
Dengan perasaan sungkan aku pun menuruti ucapan bang Radit. Aku duduk berhadapan dengan mereka berdua. Lalu kemudian sekali lagi, bang Radit pun mempersilahkan aku untuk menyantap hidangan yang ada di atas meja makan tersebut.
Sambil makan bang Radit pun bercerita kalau ia dan istrinya sudah menikah hampir sepuluh tahun. Mereka juga sudah mempunyai dua orang anak. Anak pertama mereka perempuan, berusia 8 tahun. Anak kedua mereka laki-laki berusia empat tahun.
Bang Radit sendiri ternyata sudah berusia 38 tahun, meski pun tadi aku sempat menerkanya kalau ia masih berusia sekitar 30 tahun. Karena wajah bang Radit masih terlihat muda. Mungkin karena wajah bang Radit memang imut. Sementara istri bang Radit, Sinta, sudah berusia 33 tahun. Padahal ia masih kelihatan seperti baru 25 tahun.
Mbak Sinta memang terlihat cantik. Ia juga masih sangat seksi. Meski pun ia sudah melahirkan dua orang anak. Sepertinya mbak Sinta memang rajin merawat dirinya. Apa lagi melihat kemewahan yang di berikan suaminya.
Kehidupan bang Radit memang sangat mewah. Ternyata semua kebun sawit yang mengelilingi rumahnya itu, adalah miliknya. Kebun itu sangat luas. Hasilnya juga sangat banyak. Selain itu, bang Radit juga punya kebun sawit di tempat lain, yang tak kalah luasnya.
Bang Radit ternyata adalah seorang pengusaha kebun sawit yang sangat sukses. Dia juga punya banyak pekerja di setiap kebunnya.
Karena itu juga, bang Radit pun menawarkan aku untuk bekerja dengannya di kebun sawitnya.
"kebetulan kami memang sedang membutuhkan pekerja baru." ucap bang Radit.
"tapi aku gak ngerti soal sawit, bang." balas ku jujur.
"udah kamu tenang aja. Nanti kamu akan di bimbing oleh pak Sapri, dia itu orang kepercayaan saya untuk mengurus semua kebun yang ada di sekeliling rumah ini. Rumah pak Sapri ada di belakang, besok kita bisa menemuinya. Lagi pula ada banyak pekerja di sini, hanya saja mereka semuanya tinggal di belakang. Ada rumah khusus tempat mereka tinggal disana."
"begitu juga dengan kebun-kebun sawit saya di tempat lain, semua sudah ada yang mengurusnya, saya hanya menerima laporan dari mereka. Tapi kadang saya harus mengunjungi setiap kebun saya, untuk melihat perkembangannya." jelas bang Radit panjang lebar.
Aku merasa lega tiba-tiba. Setidaknya ke depannya aku sudah punya pekerjaan. Meski pun pekerjaan berat. Tapi aku tidak perlu kelaparan lagi. Aku tidak perlu tidur di jalanan lagi. Aku tidak lagi harus jadi gelandangan.
*****
Keesokan harinya, aku pun di perkenalkan oleh bang Radit kepada pak Sapri dan juga para pekerja lainnya. Ternyata ada banyak pekerja yang tinggal di perkebunan tersebut. Mereka tinggal di rumah-rumah yang sangaja di buat di dalam kebun sawit tersebut. Mereka juga berasal dari berbagai daerah.
Pak Sapri pun mulai menjelaskan beberapa hal padaku, tentang apa yang akan lakukan di perkebunan tersebut. Bang Radit memang sengaja meninggalkan aku di sana, karena ia harus pergi ke kebun sawitnya yang lain.
Hari itu aku mulai belajar banyak dari pak Sapri dan juga dari para pekerja lainnya. Mulai dari perawatan, pemupukan juga cara penen sawit tersebut.
Pak Sapri pun menempatkan ku di bagian pemupukan, karena bagian itulah yang paling mudah. Katanya sebagai anak baru, aku harus mulai dari yang termudah.
****
Hari-hari pun berlalu. Aku pun mulai memahami pekerjaan ku. Aku mulai merasa betah bekerja di sana. Karena selain saat ini aku memang tidak punya pilihan lain, juga karena semua pekerja di sana sangat baik dan ramah. Aku seakan menemukan keluarga baru di sana.
Aku juga masih tinggal di rumah bang Radit, atas permintaan bang Radit sendiri. Karena kebetulan semua rumah yang ada di dalam kebun tersebut sudah terisi.
Di rumah bang Radit, selain bi Asih ada beberapa orang pembantu lain yang tinggal di rumah tersebut. Mereka punya tugas dan peran masing-masing. Ada yang jadi pengasuh anak-anak bang Radit, ada yang memasak, mencuci pakaian atau pun membersihkan rumah. Ada juga yang bertugas merawat dan membersihkan pekarang rumah. Ada sopir pribadi dan ada juga penjaga keamanan.
Semua pembantu yang bekerja di rumah bang Radit juga sangat baik padaku. Mungkin karena yang mereka tahu aku adalah seorang yatim piatu dan hidup sebatang kara. Mungkin mereka merasa kasihan melihatku. Namun apa pun itu, aku benar-benar menemukan hidup baru di sini. Sebuah kehidupan yang tidak pernah aku bayangkan sebelumnya.
Dulu aku selalu memperlakukan pembantu di rumahku dengan sangat kasar. Aku selalu memarahi mereka, setiap kali mereka melakukan kesalahan, sekecil apa pun itu. Aku benar-benar bak seorang pangeran yang berusaha menguasai siapa pun.
Namun sekarang aku hidup dan berkumpul bersama para pembantu. Menjadi bagian dari kehidupan mereka. Hal itu membuat aku semakin menyesali segala keangkuhan ku di masa lalu. Pelan namun pasti, aku pun mulai berubah.
Aku belajar banyak dari orang-orang garis bawah tersebut. Aku belajar bagaimana caranya menghargai orang lain. Aku belajar, menjadi orang yang rendah hati. Tidak sombong dan bersikap apa adanya.
Semua kehidupan yang aku jalani saat ini, benar-benar telah memberi aku banyak pelajaran berharga. Aku menemukan makna baru dalam hidupku. Menjadi seorang manusia seutuhnya.
****
Hari-hari pun masih terus berlalu. Aku sudah terbiasa dengan semua rutinitas ku.
Sampai pada suatu malam. Saat aku hendak tertidur di kamar ku. Aku mendengar suara ketukan ringan di pintu kamarku. Aku pun segera bangkit untuk membukakan pintu.
"mbak Sinta? Ada apa?" tanya ku setengah kaget, saat melihat mbak Sinta sudah berdiri di ambang pintu kamar ku.
Mbak Sinta tidak menjawab. Dia justru mendorong pintu kamar itu agar lebih melebar. Kemudian mbak Sinta pun menyelinap masuk ke dalam kamar.
"tutup pintunya, Erwin." perintah mbak Sinta, saat ia sudah berada di dalam.
"tapi, mbak..." ucapku ragu.
"kamu tutup aja pintunya, Erwin. Gak usah banyak tanya." suara mbak Sinta tegas.
Karena merasa takut, meski pun sedikit ragu, aku pun segera menutup pintu kamar tersebut.
"ada apa, mbak?" tanya ku, setelah pintu kamar tertutup.
"aku butuh kamu malam ini, Erwin." balas mbak Sinta.
"butuh untuk apa?" tanyaku heran.
"aku butuh kamu untuk mengisi kesepian ku malam ini." balas mbak Sinta parau.
"maksud mbak apa?" tanyaku lagi masih merasa heran.
"kamu gak usah pura-pura gak ngerti, Erwin." balas mbak Sinta lagi.
"tapi aku benar-benar gak ngerti, mbak." ucapku polos.
"aku pengen tidur sama kamu malam ini, Erwin. Aku merasa sangat kesepian. Dan kamu terlalu menarik. Aku suka sama kamu." ucap mbak Sinta ceplas-ceplos.
"tapi, mbak. Nanti bang Radit marah padaku." balasku tak karuan.
"bang Radit tidak pulang malam ini. Dia memang jarang pulang. Karena itu aku merasa kesepian. Jadi aku butuh kamu, Erwin. Aku akan bayar kamu berapa aja, asal kamu mau tidur dengan ku malam ini." ucap mbak Sinta lagi.
"tapi aku takut, mbak." balasku ringkih.
"kamu gak usah takut, bang Radit tidak akan pernah tahu. Tidak ada siapa pun yang akan tahu. Selama kamu bisa jaga rahasia, semuanya pasti baik-baik saja." ucap mbak Sinta lugas.
Ah, tiba-tiba saja aku merasa bingung. Kenapa mbak Sinta jadi seperti ini padaku? Padahal selama ini dia terlihat acuh saja padaku.
Dan bagaimana pula aku bisa menolaknya?
"kalau kamu gak mau, aku akan minta bang Radit untuk memecat kamu. Dan kamu akan kembali menjadi gelandangan." ancam mbak Sinta, melihat keterdiaman ku.
Dan dengan sangat terpaksa, aku pun akhirnya harus memenuhi keinginan mbak Sinta malam itu. Meski pun aku merasa sangat takut.
Bagaimana kalau bang Radit mengetahuinya? Pasti ia akan sangat marah padaku. Padahal selama ini, ia sangat baik padaku. Bang Radit telah menyelamatkan hidupku. Tapi apa yang aku lakukan dengan mbak Sinta, istrinya, benar-benar sebuah kesalahan yang sangat fatal.
Namun aku tak kuasa menolaknya. Mbak Sinta mengancam ku. Selain itu, ia juga menawarkan sejumlah uang padaku. Karena itu, aku pun berusaha untuk memberikan yang terbaik untuknya.
Aku yang seumur hidup baru pertama kali merasakan hal tersebut, tentu saja merasa sangat terkesan dengan semua itu. Apa lagi mbak Sinta benar-benar penuh ambisi. Ia begitu pandai membuat aku terbuai dengan semua pengalaman yang sudah ia miliki.
Pada akhirnya aku pun terlena, dan mencoba mengikuti segala permainan mbak Sinta malam itu. Aku merasa hal itu sungguh sangat luar biasa. Kesan yang mbak Sinta berikan padaku malam itu, membuat aku kian terhanyut dalam buaian keindahan penuh warna.
****
Hari-hari selanjutnya jadi terasa berbeda bagiku. Mbak Sinta jadi sering menyelinap ke kamar ku malam-malam, terutama kalau bang Radit tidak sedang di rumah.
Aku selalu tak pernah kuasa untuk menolaknya. Selain karena aku memang ketagiahan akan hal tersebut, juga karena mbak Sinta selalu memberi aku sejumlah uang, setiap kali kami selesai melakukan hal tersebut.
Meski pun sejujurnya, aku selalu merasa bersalah pada bang Radit. Aku merasa telah mengkhiantinya. Dia begitu baik padaku. Namun apa yang bisa aku lakukan? Jika mbak Sinta sendiri yang terus memaksa ku.
Sementara itu, bang Radit juga tetap baik padaku. Aku di perlakukan seperti keluarganya sendiri. Hal itu justru semakin membuat aku merasa bersalah.
Sampai pada suatu hari, bang Radit mengajak aku untuk ikut dengannya. Ia meminta aku untuk menemaninya melihat salah satu kebun sawitnya di daerah lain. Kebun sawit itu memang barada cukup jauh dari rumah bang Radit, setidaknya butuh waktu setengah hari untuk bisa sampai ke sana.
Bang Radit membawa mobilnya sendiri, meski pun di rumahnya ada sopir yang siap mengantarnya kemana saja. Namun kali ini, ia memilih untuk menyetir sendiri. Aku duduk di sampingnya dengan perasaan tak karuan.
Belum pernah sebelumnya bang Radit mengajak aku ikut dengannya seperti ini. Pikiran ku tiba-tiba saja menjadi kacau. Aku takut, kalau-kalau bang Radit sudah mengetahui tentang perbuatanku bersama istrinya. Apa lagi sepanjang perjalanan, bang Radit tidak banyak bicara. Ia lebih sering diam dan hanya fokus menyetir.
Setelah perjalanan yang cukup panjang, sambil beberapa kali kami istirahat di jalan, kami pun sampai ke tujuan. Bang Radit memarkir mobilnya di depan sebuah rumah kecil di dalam kebun sawit tersebut.
Rumah itu ternyata kosong. Tidak ada siapa pun yang tinggal di sana.
"semua pekerja yang bekerja di kebun ini semuanya tinggal di belakang. Rumah ini khusus saya buat untuk saya beristirahat, jika saya berkunjung ke kebun ini. Jadi gak ada siapa pun di sini." jelas bang Radit melihat kebingungan ku.
"rumah para pekerja gak jauh kok dari sini, jadi biasanya aku jalan kaki aja ke sana. Kalau malam aku gak pulang, ya aku tidurnya di sini, sendirian." lanjutnya lagi.
Lalu kemudian bang Radit pun mengajak aku masuk ke dalam rumah tersebut. Rumah itu hanya ada satu kamar tidur, kamar mandi di belakang dan sebuah dapur kecil. Ruangan tengah bang Radit jadikan tempat untuk ia bekerja. Ada meja kerja dan sebuah komputer di ruangan itu. Dan juga sebuah lemari tempat arsip.
"karena sudah sore, kita istirahat aja dulu di sini. Besok pagi kita baru ke sana, ke tempat para pekerja." ucap bang Radit, saat kami sudah di dalam rumah.
Selesai mandi, kami pun makan malam bersama. Bang Radit memang menyempatkan membeli makan malam tadi di jalan.
Setelah itu, bang Radit pun mengajak aku masuk ke kamarnya. Dengan sedikit sungkan aku pun ikut masuk.
"di rumah ini hanya ada satu kamar tidur, jadi kamu tidur bersama ku aja." ucap bang Radit.
"tapi.. aku gak apa-apa kok, bang. Tidur di luar." balasku terbata.
"aku meminta kamu untuk tidur bersama ku di kamar, Erwin. Jadi kamu jangan membantah lagi." tegas bang Radit membalas.
Aku pun tak bisa berbuat apa-apa lagi, selain mengikuti langkah bang Radit untuk masuk ke dalam kamar tersebut.
Di dalam kamar itu, terdapat sebuah ranjang dan juga sebuah lemari pakaian. Bang Radit pun mengajak aku untuk duduk di tepian ranjang.
"sebelum kita tidur, ada yang ingin aku sampaikan sama kamu, Erwin." ucap bang Radit, saat ia sudah duduk di sampingku.
Hatiku pun berdebar hebat. Pikiranku mulai kacau kembali. Jangan-jangan bang Radit ingin membahas tentang hubungan ku dengan istrinya. Pikirku cemas.
"kamu gak pernah bertanya kenapa aku begitu baik padamu." ucap bang Radit ringan.
"sebenarnya sudah lama ingin mempertanyakan hal itu, bang. Tapi aku takut menyinggung perasaan bang Radit." balas ku pelan.
"iya, aku ngerti. Tapi apa kamu tidak ingin tahu alasannya?" tanya bang Radit.
"kalau bang Radit gak keberatan, aku memang ingin tahu, bang." balasku.
"aku melakukan semua itu, karena ... karena aku suka sama kamu, Erwin." suara bang Radit serak.
Namun pernyataannya itu benar-benar di luar dugaan ku. Dan aku masih tak percaya kalau bang Radit akan berucap demikian.
"maksud... maksud.. bang Radit apa?" tanyaku tak yakin.
"maksud ku... aku suka sama kamu, Erwin. Aku jatuh cinta sama kamu." balas bang Radit, suaranya masih serak.
"maksudnya bang Radit ini gay?" tanyaku.
"kurang lebih seperti itu, Erwin. Tapi aku tetap suka perempuan kok. Buktinya aku sudah menikah dan bahkan sudah punya dua orang anak. Namun aku juga tidak bisa membendung keinginan ku untuk bersama seorang laki-laki."
"sebenarnya sudah sangat lama aku tidak melakukan hal tersebut denga seorang laki-laki. Setidaknya sejak anak kedua ku lahir. Namun sejak pertama kali melihat kamu, entah mengapa aku jadi tertarik sama kamu. Tiba-tiba saja keinginan itu datang kembali."
"karena itu aku nekat untuk membawa kamu ke rumah ku waktu itu. Aku hanya berharap kamu bisa mengerti, dan aku berharap dengan membantu kamu, bisa membuat kamu membuka hatimu untukku." cerita bang Radit panjang lebar.
"jadi sekarang apa yang bang Radit inginkan dari ku?" tanya ku akhirnya, setelah aku berpikir beberapa saat.
"aku... aku menginginkan kamu malam ini, Erwin. Sudah sangat lama aku tidak melakukan hal tersebut dengan seorang laki-laki. Sekarang aku tidak bisa lagi menahan diriku. Aku sudah coba memendamnya selama beberapa minggu ini, tapi selalu saja wajah tampan mu itu hadir di setiap angan liar ku." balas bang Radit.
Aku terdiam. Berpikir lagi. Jujur, aku tidak ingin kehilangan kehidupan yang aku jalani saat ini. Meski sebenarnya ini bukanlah kehidupan yang aku inginkan. Namun aku benar-benar tidak mau hidup terlunta-lunta di jalanan lagi.
Jika memang bang Radit menginginkan ku, gak ada salahnya juga bagi ku untuk memenuhi keinginannya itu. Pada dasarnya aku ini bukan laki-laki baik-baik. Sejak awal aku memang bukan laki-laki baik. Apa lagi aku juga sudah menjadi selingkuhan istri bang Radit. Dan saat ini justru bang Radit juga menginginkan ku.
Memang susah terlahir menjadi laki-laki yang berwajah tampan dan berpostur tubuh gagah. Terlalu banyak godaannya. Dan aku selalu tidak bisa menghindari setiap godaan itu.
"jika kamu mau menjalin hubungan dengan ku, aku akan memberi kamu uang yang banyak, Erwin. Kamu tidak perlu bekerja keras lagi di kebun. Kamu cukup menemani ku kapan pun aku membutuhkan kamu." ucap bang Radit menawarkan lagi.
"tapi aku ini bukan gay, bang. Tidak mudah bagiku untuk bisa menjalin hubungan dengan bang Radit, apa lagi sampai melakukan hal tersebut." ucapku berlagak jual mahal.
"iya, aku tahu. Tapi aku benar-benar menginginkan kamu, Erwin. Aku akan lakukan apa saja, untuk bisa mendapatkan kamu." tegas ucapan bang Radit.
"aku memang tidak akan bisa menolak keinginan bang Radit. Apa pun itu. Karena bang Radit sudah sangat baik padaku. Tapi aku ingin bang Radit tahu, kalau aku melakukan semua ini, bukan karena aku benar-benar menginginkannya. Tapi karena aku hanya ingin membalas setiap kebaikan bang Radit padaku selama ini." ucapku kemudian.
"aku tak peduli apa pun alasan kamu, Erwin. Yang penting aku bisa mendapatkan kamu. Aku bisa memiliki kamu, seperti yang selalu aku khayalkan akhir-akhir ini." balas bang Radit.
"baiklah, bang. Jika itu yang abang inginkan. Aku bersedia. Tapi aku harap, ini hanya menjadi rahasia kita berdua. Dan satu hal lagi, aku ingin tetap bekerja seperti biasa. Aku tidak ingin orang-orang curiga akan kedekatan kita. Terutama istri bang Radit." ucapku ringan.
"jika itu yang menjadi permintaan mu. Bagi ku tidak masalah. Selama kamu bersedia, kapan pun aku menginginkan kamu untuk bersama ku." balas bang Radit.
Dan malam itu, dengan perasaan berat, aku pun terpaksa memenuhi keinginan bang Radit. Bukan karena aku benar-benar menginginkannya, tapi terlebih karena aku ingin membalas semua kebaikan bang Radit padaku. Dan juga karena aku tidak ingin kehilangang kehidupan ku yang sekarang.
*****
Sejak saat itu, aku dan bang Radit mulai menjalin hubungan rahasia. Bang Radit semakin sering mengajak aku untuk ikut dengannya.
Sementara hubungan ku dengan mbak Sinta, istri bang Radit, masih terus berjalan. Ada malam-malam tertentu, mbak Sinta, selalu menyempatkan waktu untuk menyelinap ke kamarku.
Aku harus menjalankan dua peran dalam hidupku. Meski sulit, namun aku sangat menikmati hal tersebut. Apa lagi aku juga mendapatkan sejumlah uang, setiap kali aku selesai melakukan hal tersebut, baik bersama mbak Sinta atau pun bersama bang Radit.
Sebenarnya ini bukanlah kehidupan yang aku impikan, namun sekali lagi, aku ini bukanlah laki-laki baik-baik, yang harus mempertimbangkan banyak hal sebelum melakukan sesuatu.
Aku sadar akan resiko, atas semua yang aku lakukan saat ini. Tapi bukankah hal itu bukan keinginan ku sendiri. Mbak Sinta dan bang Radit sendiri yang menginginkan aku. Dan aku tidak bisa menghindari mereka. Terlebih aku memang tidak ingin menghindarinya.
Lagi pula hal itu terlalu indah untuk aku hindari. Terutama saat aku bersama mbak Sinta. Aku terlena dengan segala perlakuan mbak Sinta padaku. Dia begitu pandai membuat aku tidak bisa melupakannya. Dia selalu bisa membuat aku selalu menginginkannya.
Menjalani dua hubungan yang berbeda, sedikit membuat aku kesulitan, karena aku harus bisa mengatur waktu dengan baik. Aku tidak ingin salah satu dari mereka curiga. Aku harus bisa menjaga rahasia itu dengan baik. Agar kehidupan ku tetap aman.
****
Hari-hari pun terus berlalu. Aku masih tetap menjalankan kedua peran ku dengan baik. Bahkan sudah lebih dari setahun hal itu terus terjadi. Aku juga sangat menikmati hal tersebut. Aku merasa kehidupan yang aku jalani sungguh luar biasa.
Aku juga selalu menyimpan setiap uang, hasil pemberian dari mbak Sinta atau pun dari bang Radit. Uang hasil kerja ku di kebun juga aku tabung. Karena aku yakin, pada saatnya nanti semua ini pasti akan berakhir. Untuk itu aku butuh persiapan untuk hidupku ke depannya, jika aku tidak lagi di butuhkan oleh mbak Sinta mau pun oleh bang Radit.
Dan setelah lebih dari setahun, ketakutan ku pun terjadi. Bang Radit, pada akhirnya mengetahui kalau aku punya hubungan dengan istrinya. Hal itu ia saksikan sendiri, ketika suatu malam ia memergoki kami sedang bersama di kamar ku.
Bang Radit tentu saja marah besar. Ia pun mengusir ku dari rumahnya. Aku pun terpaksa pergi dari rumah itu. Sementara aku tidak tahu, apa yang dilakukan bang Radit terhadap istrinya. Dan aku juga sebenarnya juga tidak peduli lagi.
Tapi aku yakin, bang Radit tidak akan berani bertindak macam-macam padaku. Karena biar bagaimana pun, dia juga punya hubungan dengan ku. Dan itu merupakan rahasia besar dalam hidupnya. Aku yakin bang Radit tidak akan mau menanggung resiko rahasianya terbongkar, jika ia berbuat macam-macam padaku. Dan aku sudah memperhitungkan hal itu sejak lama.
Aku pun pergi dengan perasaan campur aduk. Aku benar-benar tidak tahu apa yang aku rasakan saat ini. Entah marah, kecewa, atau bahkan mungkin lega. Lega karena aku tidak lagi harus terikat dengan sepasang suami istri yang punya kelainan itu.
Aku memang sudah mempersiapkan kepergian ku. Uang yang aku simpan, rasanya sudah cukup untuk aku memulai kehidupan ku yang baru. Hanya saja aku memang harus pergi sejauh-jauhnya dari kehidupan bang Radit. Aku harus memulai hidupku di tempat yang baru dan jauh.
Aku pun menaiki sebuah bis antar provinsi, untuk pergi dari daerah tersebut. Aku ingin meninggalkan kehidupan ku bersama sepasang suami istri itu. Meski pun aku belum benar-benar tahu, kemana sebenarnya tujuan ku. Namun yang pasti aku memang harus pergi.
Dan setelah perjalanan kurang lebih tiga hari tiga malam naik bis, aku pun sampai ke sebuah kota yang belum pernah aku datangi sebelumnya. Aku berharap, di kota ini, aku bisa memulai hidupku yang baru.
Hal pertama yang aku lakukan adalah mencari tempat tinggal. Aku pun mencari tempat kost murah, untuk aku tinggal sementara waktu. Aku juga terus berpikir, usaha apa yang bisa aku lakukan di kota ini, dengan modal yang sangat terbatas.
Sampai akhirnya setelah seminggu aku tinggal di kota baru itu, aku pun memutuskan untuk membuka usaha jualan pakaian jadi. Aku menyewa sebuah ruko kecil, untuk tempat aku berjualan. Aku menguras semua uang tabungan ku, untuk modal usaha ku tersebut.
Awalnya hal itu tidak mudah bagiku. Namun aku selalu percaya, bahwa setiap usaha pasti akan membuahkan hasil. Untuk itu, aku pun tak pernah menyerah. Aku juga membuka toko ku secara online. Hal itu cukup membantu penjualan ku. Hingga pelan namun pasti, usaha ku pun mulai berkembang. Orang-orang sudah mulai mengenal toko pakaian ku, baik online mau pun offline.
Dan setelah bertahun-tahun, usaha ku pun akhirnya membuahkan hasil. Aku bahkan sudah punya beberapa orang karyawan. Aku juga sudah menyewa ruko yang lebih besar. Meski sebenarnya, aku haru mengalami jatuh bangun beberapa kali, namun aku tidak pernah menyerah. Hingga akhirnya usaha ku bisa terus berkembang.
Setelah merasa hidupku mulai mapan, aku pun memutuskan untuk menikah. Aku menikah dengan seorang gadis cantik, yang merupakan salah seorang karyawanku.
Setelah menikah, kehidupan ku semakin membaik. Aku pun telah melupakan segala kepahitan hidup yang pernah aku lalui di masa lalu. Aku telah mengubur semua masa lalu ku. Karena bagiku, masa lalu hanyalah kenangan yang telah berlalu. Dan masa depan dan hal yang layak untuk di perjuangkan.
Dan satu hal lagi, aku bukan lagi seorang yang angkuh dan sombong. Kepahitan-kepahitan hidup yang aku lalui di masa-masa sulit ku, telah mengajarkan aku banyak hal. Kejadian demi kejadian yang aku alami, telah mampu mengubah sifat ku. Aku belajar banyak dari setiap peristiwa yang aku alami.
Kini aku benar-benar telah berubah. Aku yang dulu begitu angkuh dan sombong. Kini menjadi orang selalu berusaha memperbaiki diri. Apa lagi istriku juga seorang perempuan yang baik, lembut dan penuh perhatian.
Hanya saja sampai saat ini, aku belum mendapat kabar apa pun tentang papa ku. Aku yakin ia masih menjalani masa hukumannya. Hanya saja, terkadang terpikir olehku untuk menjenguknya. Namun selain sangat jauh, aku juga tidak ingin kembali ke kota asal ku. Karena itu, aku belum berani untuk menjenguk papa.
Aku hanya berharap, papa bisa menyadari kesalahannya dan semoga beliau bisa berubah menjadi lebih baik selama di penjara. Dan semoga juga beliau selalu dalam keadaan baik-baik saja.
Mungkin suatu waktu aku akan mengunjunginya. Namun yang pasti bukan sekarang, karena aku merasa belum siap untuk bertemu dia kembali.
Dan begitulah kisah hidup yang harus aku jalani. Mungkin ada banyak kesalahan yang aku lakukan dalam hidup ini. Mungkin aku bukanlah manusia yang baik. Namun apa pun itu, sebagai manusia aku berhak untuk mendapatkan kesempatan kedua. Sebagai manusia, aku berhak mendapatkan kesempatan untuk berubah.
Mungkin kisah ini bukan lah kisah yang sarat makna. Namun aku percaya, selalu ada pelajaran berharga pada setiap kisah yang terjadi.
Terima kasih sudah menyimak kisah ini dari awal sampai akhir, semoga terhibur dan semoga ada hikmah yang bisa di petik dari kisah sederhana ini.
Salam sayang selalu buat kalian semua. Muaach.
****