10 malam di dalam kamar hotel

Nama ku Theo, sebut saja begitu.

Dan ini adalah kisah cinta ku bersama seorang laki-laki yang masih berstatus suami orang.

Sebuah kisah cinta yang penuh liku-liku, air mata, perjuangan dan pengorbanan.

Seperti apakah kisah cinta ku ini terjadi?

Simak kisah ini dari awal sampai selesai ya..

Namun sebelumnya bla..bla...

****

Cerpen gay sang penuai mimpi

Aku bertemu bang Amrin hanyalah sebuah kebetulan.

Kami dipertemukan pada sebuah kegiatan pelatihan yang di selenggarakan oleh sebuah instansi pemerintah.

Pelatihan itu di ikuti oleh ratusan peserta yang berasal dari berbagai daerah.

Aku di utus oleh dinas kabupaten tempat aku bekerja, sebagai satu-satunya utusan dari kabupaten kami.

Setiap kabupaten atau kota memang di haruskan mengirim minimal salah seorang pesertanya.

Kegiatan pelatihan itu di laksanakan di sebuah hotel mewah di tangah-tengah kota Jogja.

Aku berasal dari pulau Sumatera sedangkan bang Amrin berasal dari pulau Kalimantan.

Dan kami di tempatkan dalam satu kamar selama pelatihan tersebut, yang di laksanakan lebih kurang sepuluh hari.

Dan dari situlah semua kisah ini berawal.

Aku seorang sarjana yang sudah bekerja selama lebih kurang tiga tahun pada sebuah dinas di kabupaten tempat aku tinggal.

Meski pun masih berstatus kontrak, tapi aku punya peran penting pada dinas tempat aku bekerja.

Dan aku memang sering di utus untuk mengikuti berbagai pelatihan, terutama bila pelatihan itu di laksanakan di luar daerah.

Seperti kali ini, dan kali ini juga sebuah moment terjadi dalam kisah hidup ku.

Karena di tempatkan dalam satu kamar, secara otomatis aku dan bang Amrin pun saling kenal.

Bang Amrin seorang laki-laki berwajah tampan dengan postur tubuh yang cukup atletis. Dan dari pengakuan bang Amrin sendiri dia sudah menikah dan sudah punya seorang putra.

Usia bang Amrin sendiri sudah 30 tahun, tiga tahun lebih tua dari ku.

Aku belum menikah dan masih betah dengan status lajang ku. Bukan karena aku tidak laku, tapi lebih karena aku tidak punya ketertarikan kepada perempuan.

Ya, aku adalah seorang gay. Aku sudah menyadari hal itu sejak lama, sejak aku remaja.

Tapi aku belum pernah menjalin hubungan dengan sesama laki-laki, meski pun aku sudah sering jatuh cinta kepada sosok laki-laki.

Sebagai anak tunggal yang di besarkan oleh ibu ku seorang diri, aku memang kurang kasih sayang dari sosok seorang ayah.

Ayahku meninggal pada saat aku masih berusia lima tahun. Sejak saat itu, Ibu membesarkan ku sendiri.

Karena kerinduanku akan sosok seorang ayah, aku jadi sering mengagumi laki-laki dewasa yang aku temui dalam perjalanan hidupku.

Dan beriring berjalannya waktu, aku tumbuh sebagai laki-laki yang terus mendambakan sosok laki-laki dalam hidupku.

Hingga aku sering mengalami perasaan jatuh cinta kepada laki-laki. Namun selama ini aku hanya memendamnya sendiri. Aku tidak pernah berani untuk mengungkapkannya.

Aku selalu berusaha untuk tetap terlihat normal di mata orang-orang. Menjalani kehidupan sebagai mana layaknya seorang laki-laki. Meski pun aku juga tidak pernah dekat atau pun berpacaran dengan perempuan.

Dan begitulah kehidupan yang aku jalani. Aku menghabiskan waktu ku dengan sekolah, belajar dan hingga akhirnya aku mulai bekerja.

****

Malam pertama.

Aku dan bang Amrin sama-sama terbaring di atas ranjang kami masing-masing. Kamar hotel itu memang menyediakan dua buah ranjang di dalamnya, yang di susun secara terpisah.

Kami sampai sore tadi di hotel, dan perjalanan panjang yang kami tempuh cukup membuat kami merasa sedikit lelah.

Karena itu, setelah melakukan perkenalan singkat, kami pun bergiliran untuk mandi.

Setelah makan malam di lantai bawah yang tentu saja sudah di sediakan oleh panitia, kami pun kembali ke kamar.

"sudah berapa lama kerja di dinas, bang?" tanya ku mencoba memecah keheningan.

Bang Amrin memutar kepalanya untuk menatap ku.

"sudah lumayan lama, sih. Mungkin sudah sekitar lima tahunan." jawabnya.

Suasana kembali hening, aku tidak tahu harus berbicara tentang apa lagi, kepada laki-laki yang baru aku kenal itu.

Pada perkenalan singkat kami sore tadi, bang Amrin juga sudah menceritakan beberapa hal tentang dirinya. Tentang dari mana asalnya, tentang statusnya yang sudah menikah dan sudah punya seorang putra, dan beberapa hal lainnya.

"kamu sendiri?" tiba-tiba bang Amrin mengeluarkan suara, setelah cukup lama kami saling terdiam.

"saya.. saya.. baru tiga tahun, bang." balasku sedikit tergagap.

"kamu udah nikah?" tanya bang Amrin lagi.

"belum, bang." jawabku lugas.

Bang Amrin hanya manggut-manggut sambil sedikit membulatkan bibir.

Untuk selanjutnya bang Amrin jadi sering berbicara, terutama tentang pelatihan yang kami ikuti saat ini dan juga tentang pekerjaan kami.

Karena sama-sama bekerja di bidang yang sama, pembicaraan kami jadi lebih cepat menyambung satu sama lain.

Hingga kami pun terus bercerita panjang lebar, saling berbagi pengalaman dan juga saling bertukar pikiran tentang pekerjaan kami.

Dan hal itu cukup mengurangi kekakuan di antara kami, sebagai dua orang yang baru saja saling kenal.

Kalimat demi kalimat yang terlontar dari mulut kami, membuat kami bak dua orang yang seperti sudah kenal lama.

Ternyata hanya butuh beberapa jam, untuk kami bisa merasa saling akrab.

Dan permbicaraan kami pun terus berlanjut, hingga hampir larut malam.

*****

Malam kedua.

Pelatihan di mulai jam delapan pagi, setelah sarapan. Dan selesai jam lima sore, dengan di selingi istirahat siang pada jam 12 sampai jam satu.

Sedangkan di malam hari tidak ada kegiatan sama sekali, kami di beri kesempatan untuk beristirahat.

Meski banyak dari peserta yang justru menghabiskan jam istirahat malamnya dengan ngobrol-ngobrol di lobi hotel, atau ada juga yang berjalan-jalan di sekitar hotel.

Aku dan bang Amrin, lebih memilih untuk menghabiskan waktu kami di dalam kamar. Sekedar ngobrol sambil menonton televisi.

"kamu gak jalan-jalan, Theo. Atau sekedar nongkrong di luar?" tanya bang Amrin, saat kami sudah berada di dalam kamar kembali, setelah makan malam.

"saya gak suka nongkrong, bang. Saya lebih suka di dalam kamar aja." jawab ku jujur.

Dari dulu aku memang tidak suka nongkrong-nongkrong apa lagi jalan-jalan. Aku lebih suka menghabiskan waktu di rumah, sekedar membaca buku atau menonton acara favorit ku.

"anak rumahan rupanya.." celetuk bang Amrin.

Aku hanya diam, tak berniat untuk membalas ucapan bang Amrin barusan. Karena bukan pertama kalinya aku mendengar hal tersebut.

"bang Amrin sendiri gak keluar?" tanya ku kemudian.

"aku sudah pernah ke Jogja sebelumnya, jadi aku gak terlalu tertarik untuk keluar saat ini. Lagi pula semenjak menikah, aku memang lebih sering di rumah." balas bang Amrin.

"sayang istri.." celoteh ku pelan.

"bukan karena itu juga sebenarnya. Hanya saja, aku sudah merasa bosan berada di luaran." balas bang Amrin lagi.

"dulu sebelum menikah, aku bahkan jarang di rumah. Aku lebih sering menghabiskan waktu di jalanan." lanjut bang Amrin berucap.

"aku lahir dari keluarga yang cukup sederhana. Ayahku hanya seorang guru honorer di sebuah sekolah swasta. Ibu ku hanya seorang ibu rumah tangga biasa. Aku dan tiga orang adik ku, memang sudah biasa hidup hemat sejak kecil."

"lulus SMA, aku coba bekerja menjadi seorang kernet bus untuk membiayai kuliah ku sendiri. Karena itu aku jadi jarang pulang. Aku bekerja sampai malam."

"hingga aku lulus kuliah dan kemudian mendapatkan pekerjaan di dinas ini. Setahun kemudian aku pun memutuskan untuk menikah." cerita bang Amrin panjang lebar.

"pasti istrinya cantik ya, bang?" tanyaku tanpa sadar, pertanyaan itu terlontar begitu saja mengikuti naluri kekaguman ku pada sosok bang Amrin yang memang tampan itu.

"cantik itu relatif, Theo. Tergantung dari sudut mana kita menilai seorang perempuan. Tapi sejujurnya istri ku memang termasuk wanita yang cantik menurutku." balas bang Amrin ringan.

"tapi ngomong-ngomong kenapa kamu menyimpulkan kalau istri ku cantik?" tanya bang Amrin melanjutkan ucapannya.

"karena... karena menurut ku bang Amrin orangnya tampan, sudah pasti istrinya cantik." jawabku sedikit ragu.

"ah, kamu bisa aja, Theo. Jarang-jarang loh ada orang yang memuji ku seperti itu." timpal bang Amrin sambil sedikit tersenyum.

"aku bukan memuji, bang. Hanya mencoba untuk jujur dengan penilaian ku." balas ku.

"iya, terima kasih atas penilaiannya. Kamu juga manis, Theo." bang Amrin membalas, sambil melirik ku sekilas.

Aku merasa tersipu. Tapi aku berusaha untuk bersikap sewajar mungkin.

Aku melirik bang Amrin. Ia telentang di atas kasurnya tanpa baju, hanya memakai celana pendek kaos bergambar pantai. Tubuh atletis nya sungguh membuat aku semakin terpesona dengannya.

Aku semakin mengagumi sosok bang Amrin. Kerinduanku akan kasih sayang seorang laki-laki kembali menghantui ku.

Bang Amrin memejamkan mata, sepertinya ia berusaha untuk tidur. Dan hal itu membuat aku semakin leluasa untuk menatapi wajah tampannya.

Pikiran ku sudah tidak bisa aku kontrol lagi. Aku ingin mengusap wajah tampan itu, wajah mulus tanpa bekas jerawat.

Aku ingin menyandarkan kepala ku di dadanya yang bidang. Merasakan kenyamanan dalam dekapan tubuh atletisnya.

Aku menarik napas berkali-kali. Menahan gejolak di dalam hatiku yang tiba-tiba saja bergelora.

Aku memang pernah jatuh cinta kepada laki-laki, tapi kali ini rasanya beda. Rasanya lebih indah.

Bukan saja karena bang Amrin memang tampan, tapi juga karena kami saat ini begitu dekat. Bang Amrin begitu nyata. Dan aku hanya butuh beberapa langkah untuk bisa menyentuhnya.

Aku memejamkan mata kembali, mencoba untuk tertidur. Namun justru pikiran ku terus berimajinasi tentang bang Amrin.

Ah, aku benar-benar telah jatuh cinta padanya. Dan itu terjadi hanya dalam hitungan jam.

Namun seperti biasa, aku hanya bisa memendam semua itu. Aku hanya bisa mengagumi sosok bang Amrin, tanpa ada harapan bagi ku untuk bisa memilikinya.

Dan aku pun terlelap dalam mimpi indah ku.

Lalu bagaimanakah kisah ku selanjutnya bersama bang Amrin?

Akankah aku punya kekuatan untuk bisa mengungkapkan perasaan ku kepada bang Amrin?

Dan seperti apakah sebenarnya masa lalu bang Amrin?

Simak kelanjutan kisah ini di channel ini ya, atau bisa klik link nya di deskripsi video ini.

Terima kasih sudah menonton video ini sampai selesai, semoga terhibur.

Sampai jumpa lagi di video selanjutnya, salam sayang selalu buat kalian semua.. muaaachhh..

****

Part 2

Detik demi detik berlalu, jarum jam terus berputar. Sudah memasuki hari kedua pelatihan.

Seperti hari pertama, pelatihan di mulai jam delapan pagi, setelah kami sarapan. Kemudian pada jam 12 siang, kami di beri waktu untuk beristirahat, makan siang atau sekedar merebahkan tubuh di dalam kamar kami masing-masing, hingga jam satu siang.

Jam satu siang pelatihan di mulai lagi, hingga sore.

Aku dan bang Amrin terasa semakin dekat. Karena selain satu kamar, kami juga duduk berdua pada saat pelatihan, atau pun pada saat makan.

Untuk menghilangkan kejenuhan, terkadang kami sering ngobrol berdua di belakang, saat para tutor berbicara di depan dengan bosan.

Keakraban kami justru semakin menumbuhkan rasa kagum ku pada bang Amrin. Aku merasa sangat bahagia bisa dekat dengannya. Apa lagi selama ini, aku jarang sekali berteman dekat dengan seorang laki-laki. Dan justru kali ini, aku dekat dengan laki-laki yang telah membuat aku jatuh cinta hanya dalam hitungan jam.

Lalu bagaimanakah akhirnya kisah ku ini?

Mungkinkah aku mampu memendam semua rasa itu?

Atau justru aku akan merasakan sebuah moment yang indah bersama bang Amrin, lelaki pujaan ku itu.

Dan seperti apa pula cerita dari masa lalu bang Amrin?

Simak kisah ini sampai selesai ya..

Namun sebelumnya bla..bla...

*****

Malam ketiga.

"capek ya.." celetuk bang Amrin.

Saat itu kami sudah berada di kamar kembali, setelah makan malam.

Aku melirik bang Amrin, yang seperti biasa terbaring di atas ranjangnya dengan hanya memakai celana pendek kaos. Kali ini berwarna coklat.

"masih dua hari loh, bang." balasku akhirnya.

"iya. Tapi rasanya sudah dua minggu." ucap bang Amrin lagi.

"pasti karena bang Amrin kangen sama istrinya." balas ku ringan.

"hmm.. gak juga sih. Aku lebih kangen anak ku. Tapi bukan itu alasan ku merasa bosan di sini. Mungkin lebih karena hal-hal seperti ini hanyalah sesuatu yang sia-sia. Bukankah pelatihan-pelatihan seperti ini sudah sering di laksanakan? Tapi hasilnya tetap aja sama." ucap bang Amrin.

"kegiatan seperti ini bukannya hanya untuk menghabiskan anggaran, dan menguntungkan beberapa pihak.." timpal ku menyambung kalimat bang Amrin.

"iya. aku setuju dengan pendapat mu itu, Theo." balas bang Amrin. Kali ini ia menatap ku.

Beberapa detik mata kami saling beradu pandang. Aku jengah. Dan segera memalingkan muka.

"jalan-jalan yuk.." ajak bang Amrin tiba-tiba, setelah untuk beberapa saat kami saling terdiam.

"kemana?' tanya ku ragu.

"kemana aja. sekedar keliling-keliling aja juga gak apa-apa. Dari pada bosan di kamar kan?!" balas bang Amrin.

"ayok lah.." ucapku penuh semangat.

Dan kami pun bersiap-siap untuk segera keluar dari kamar.

Kami berkeliling kota Jogja dengan menaiki sebuah taksi online. Mampir di beberapa tempat dan sekedar minum-minum di kafe, sambil kami terus bercerita banyak hal.

Aku bahagia melewati malam itu bersama bang Amrin. Rasanya begitu indah.

Berjalan berdua dengan orang yang aku kagumi, yang aku cintai dan yang ingin aku miliki. Sungguh menimbulkan kesan yang indah.

Mendengar tawa bang Amrin yang renyah, ceritanya yang blak-blakan dan apa adanya. Melihat senyumnya yang selalu manis, wajahnya yang begitu tampan.

Dia adalah sosok laki-laki sempurna yang pernah aku kenal. Dan aku merasa beruntung bisa dekat dengannya.

"makasih ya, Theo. Udah bersedia menemani ku berkeliling malam ini." suara bang Amrin sedikit parau.

Saat itu kami sudah berada di dalam kamar hotel lagi. Jarum jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam.

"ah, biasa aja, bang. Aku juga sangat menikmati perjalanan kita malam ini." timpal ku ringan.

"kamu gak berniat untuk cari pacar di sini, Theo?" tanya bang Amrin kemudian.

"cewek Jogja itu cantik-cantik loh.." lanjutnya dengan sedikit mengernyitkan mata.

Aku terdiam. Enggan untuk menjawab pertanyaan bang Amrin barusan. Bukan itu pertanyaan yang ingin aku dengar dari bang Amrin.

"atau sebenarnya kamu lebih suka cari cowok disini?" bang Amrin berucap lagi, melihat aku yang hanya terdiam.

Aku tahu, bang Amrin hanya berniat untuk sekedar bercanda, tapi tetap saja aku merasa tersipu tiba-tiba mendengar kalimatnya barusan. Kalimat itu seperti bisa menebak siapa aku sebenarnya.

"kenapa kamu jadi tersipu seperti itu?" tanya bang Amrin lagi.

"apa itu berarti ... kalau kamu memang gak suka cewek?" lanjut bang Amrin bertanya lagi.

Pertanyaan-pertanyaan itu semakin membuat ku merasa serba salah.

Di satu sisi, ingin sekali rasanya aku untuk jujur kepada bang Amrin. Namun di sisi lain, rasanya aku belum siap untuk itu. Aku masih takut harga diri ku akan jatuh, kalau bang Amrin mengetahui siapa aku sebenarnya.

Aku juga takut, dia akan menjauhi ku. Padahal waktu kami masih ada sekitar tujuh malam lagi di sini.

Aku ingin menikmati setiap malam ku bersama bang Amrin, meski hanya sebatas teman sekamar.

Akh, jatuh cinta itu memang rumit. Namun lebih rumit lagi, jika jatuh cinta kepada orang yang berjenis kelamin sama.

Jujur salah, gak jujur makin salah.

Dan akhirnya aku tidak menjawab satu pun dari semua pertanyaan-pertanyaan bang Amrin barusan. Aku lebih memilih untuk diam.

Aku segera menyelimuti tubuh ku dan berpura-pura hendak tertidur.

Sepertinya bang Amrin juga tidak berniat untuk melanjutkan pembicaraan kami.

Entah karena dia merasa bersalah dengan pertanyaannya sendiri, atau karena dia sudah punya kesimpulan sendiri akan sikap diam ku.

*****

Malam ke empat.

Hari ketiga pelatihan pun berlalu dengan cepat, malam pun kembali datang.

Aku dan bang Amrin jadi tidak terlalu banyak bicara sepanjang hari ini. Mungkin karena kami sudah kehabisan bahan untuk di bicarakan. Atau mungkin karena kami telah mulai lelah mengikuti setiap kegiatan selama pelatihan.

"saya minta maaf.." ujar bang Amrin, setelah kami selesai makan malam dan kembali ke kamar.

"bang Amrin minta maaf untuk apa?" tanyaku sedikit heran, karena aku tidak benar-benar tahu, entah bagian mana yang membuat bang Amrin merasa harus minta maaf padaku.

"saya minta maaf atas pertanyaan-pertanyaan ku malam kemarin. Tidak seharusnya aku bertanya seperti itu." balas bang Amrin.

"tidak ada yang perlu di maafkan, bang. Hanya saja aku merasa sedikit heran, kenapa bang Amrin bisa bertanya seperti itu." balas ku.

"karena sebenarnya aku tidak seperti yang kamu lihat, Theo. Aku punya cerita tersendiri di masa lalu ku. Aku punya rahasia dalam hidupku. Sebuah rahasia yang selama ini hanya aku pendam sendiri." jelas bang Amrin.

"rahasia apa, bang?" tanyaku ingin tahu.

"aku akan cerita. Tapi kamu harus janji, untuk bisa menjaga rahasia ini. Ini hanya antara kita berdua Theo." ucap bang Amrin pelan.

"bang Amrin cerita aja. Rahasia bang Amrin aman sama saya.." ucapku yakin.

"aku lahir, besar dan tumbuh dari keluarga yang sangat fanatik. Ayah ku adalah seorang guru di sebuah sekolah pesantren. Orang-orang lebih suka memanggilnya ustadz. Ibu ku juga seorang wanita yang rajin beribadah."

"kami tinggal di kawasan pesantren, karena ayah ku memang mendapatkan jatah sebuah rumah di situ. Karena itu juga aku dan adik-adik ku di tuntut untuk lebih taat beribadah. Walau pun aku sendiri lebih memilih untuk bersekolah di sekolah umum."

"karena hidup dalam keluarga yang taat, aku tidak pernah bisa menjadi diriku sendiri. Aku hidup bagai orang lain. Padahal aku punya sisi lain dalam diri ku yang selama ini hanya bisa aku tutup rapat-rapat."

"sejak tumbuh remaja, entah mengapa aku punya ketertarikan pada sesama jenis. Aku lebih suka memikirkan seorang laki-laki dari pada perempuan. Dan hal itu terus berlanjut hingga aku dewasa."

"namun selama bertahun-tahun aku hanya bisa memendam semua itu. Aku harus selalu berpura-pura menjadi seperti laki-laki pada umumnya. Aku pacaran dengan perempuan, meski aku tidak menginginkannya."

"hingga aku pun harus menikah dengan gadis pilihan orangtua ku. Bukan saja karena aku tidak ingin menjadi anak yang durhaka, tapi aku juga ingin tetap menutupi sisi gelap ku itu."

"apa jadinya jika ayah atau ibu ku tahu, kalau aku punya ketertarikan pada laki-laki? Aku harus tetap bisa menyimpan semua itu. Meski aku harus tersiksa, karena selalu menahan perasaan ku pada setiap laki-laki yang membuat aku jatuh cinta."

"sampai akhirnya kita bertemu disini, Theo. Di hotel ini. Kita di tempatkan dalam satu kamar. Dan sejak pertama mengenal kamu, aku sudah merasakan ketertarikan tersendiri pada kamu, Theo. Dan hanya dalam hitungan jam, aku pun menyadari kalau aku telah jatuh hati padamu."

"namun seperti biasa, aku tetap selalu berusaha menyembunyikan semua itu. Aku tidak ingin kamu tahu, Theo. Aku hanya bisa memendamnya. Tapi ketika aku menyadari kalau kamu sering memperhatikan ku diam-diam, entah mengapa aku memiliki keyakinan dalam hati ku, kalau kamu juga merasakan hal yang sama."

Bang Amrin bercerita panjang lebar padaku, yang membuatku merasa tidak menentu.

Ada rasa bahagia, ragu, takut dan berbagai perasaan berkecamuk di benakku mendengar itu semua.

Aku merasa bagai bermimpi.

"aku harap aku keliru, Theo. Tapi aku ingin kamu jujur padaku. Berkali-kali aku pernah jatuh cinta pada laki-laki, namun selama ini aku tidak pernah berani mengungkapkannya. Tapi kali ini rasanya beda. Aku seakan punya harapan untuk bisa memiliki kamu, Theo." bang Amrin berucap lagi.

"aku juga mencintai bang Amrin.." ucapku akhirnya, tanpa harus berpikir panjang untuk menjawab semua itu.

Tak ada lagi yang harus aku pikirkan. Jika bang Amrin berani untuk berterus terang padaku, kenapa aku tidak?

Aku juga tidak ingin kehilangan kesempatan untuk bisa mendapatkan bang Amrin.

Selama beberapa hari ini, aku harus memendam perasaan ku padanya. Dan sekarang aku punya kesempatan untuk mengungkapkannya.

Aku tak ingin melewatkan kesempatan itu.

"kamu serius?" tanya bang Amrin.

"aku serius, bang. Aku juga telah jatuh cinta pada bang Amrin bahkan sejak pertama kali kita bertemu." jawab ku jujur.

"tapi sama seperti bang Amrin, aku juga belum pernah pacaran dengan sesama laki-laki, bang. Belum pernah sama sekali, dan bahkan aku juga belum pernah pacaran dengan perempuan." ucapku melanjutkan.

"itu artinya, ini adalah kesempatan pertama bagi kita berdua, Theo? Apa kamu mau, kalau kita memulai hubungan ini sekarang?" tanya bang Amrin kemudian.

"iya. Aku mau, bang.." jawab ku lugas.

Dan mata yang semulanya malu-malu untuk saling bertatap, tak lagi punya alasan untuk menghindar.

Segala kekaguman yang selama beberapa hari ini hanya tersimpan di relung hati kami, kini seakan tercurah hanya dari semua tatapan itu.

Aku hanya tidak menyangka, kalau bang Amrin punya perasaan seperti itu padaku. Entah karena aku yang kurang peka, akan sikap nya selama ini padaku, atau mungkin karena bang Amrin yang terlalu cerdas untuk menyembunyikan perasaan nya.

Namun apa pun itu. Kini semua tanya telah terjawab. Semua rasa telah terungkap. Tak ada lagi rahasia. Tak ada lagi rasa yang terpendam.

Hanya saja kami masih bingung harus memulai nya dari mana.

Dan seperti apakah hal pertama yang akan terjadi pada kami berdua malam itu?

Setelah kami sudah saling mengetahui perasaan kami masing-masing.

Lalu seperti apakah kelanjutan dari kisah cinta kami berdua. Sementara kami hanya punya waktu beberapa hari lagi untuk bisa bersama?

Simak kelanjutan kisah ini di channel ini ya, atau bisa klik link nya di deskripsi video ini.

Terima kasih sudah menonton video ini sampai selesai, semoga terhibur.

Sampai jumpa lagi pada video berikutnya, salam sayang selalu untuk kalian semua.

***

Part 3

Kami duduk bersisian di tepi ranjang kamar hotel itu. Mata kami saling tatap. Kami hanya saling diam.

Tak perlu seribu kata untuk mengungkapkan rasa. Tak harus merangkai kalimat indah untuk melukiskan keindahan cinta.

Cinta adalah rasa. Ia hanya bisa di rasakan oleh dua hati yang bertemu melalui tatapan.

Aku dan bang Amrin. Hanya kami berdua malam itu. Hanya kami berdua yang mengerti setiap tatapan itu. Tatapan penuh kekaguman dan cinta.

"aku belum pernah melakukan ini dengan seorang laki-laki.." ucap bang Amrin pelan.

"aku bahkan belum pernah sama sekali melakukannya, bang.." balas ku lugu.

"lalu apakah kamu mau mencobanya?" tanya bang Amrin.

Aku hanya mengangguk, tanpa mengedipkan mata. Aku tak ingin memejamkan mata. Aku ingin menikmati indahnya wajah tampan milik bang Amrin, setiap centi nya.

Wajah itu sungguh tampan dan sangat dekat. Repleks aku mengusap wajah itu dengan pelan, penuh perasaan.

"bang Amrin begitu tampan. Aku sangat mencintai bang Amrin.." ucapku lembut.

"aku juga sangat mencintai kamu, Theo." balas bang Amrin tak kalah lembutnya.

Selanjutnya wajah kami pun kian mendekat. Aroma napas kami berpadu.

Dan akhirnya hal itu pun terjadi, untuk pertama kalinya dalam hidupku.

Hal yang hanya bisa anda saksikan jika anda menjadi pelanggan eksklusif channel ini.

Jadi silahkan berlangganan atau bergabung bersama channel ini, dengan cara klik tombol gabung di bawah ini, atau bisa langsung di deskripsi video ini.

Dapatkan berbagai keuntungan istimewa dengan berlangganan channel ini. Diantaranya bla..bla ..

Terima kasih bla..bla..

****

Malam kelima.

Tak cukup kata untuk mengungkapkan bahagia ku saat ini. Tak ada kalimat indah yang bisa mewakili perasaan bahagia ku saat ini.

Semuanya terasa begitu indah. Sangat indah.

Rasanya waktu bergulir terlalu cepat, hingga malam pun datang kembali.

Seharian kami selalu bersama. Meski tak banyak kata yang terungkap di antara kami, namun setiap tatapan kami punya seribu makna.

Bahkan saat istirahat siang pun, kami menyempatkan diri, untuk kembali ke kamar kami. Menikmati kebersamaan kami dengan sejuta rasa cinta yang ada.

Rasanya begitu sempurna. Kami benar-benar tak ingin melewatkan sedetik pun setiap kesempatan yang ada.

Makan malam pun selesai, kami pun kembali ke kamar.

Kali ini kami berbaring di satu ranjang. Aku merebahkan kepala ku di atas lengan kekar milik bang Amrin. Tangan ku melingkar di dadanya.

Dekapan itu terasa hangat. Menenangkan. Dan nyaman.

Bang Amrin membelai rambutku dengan lembut.

"kita hanya punya kesempatan beberapa malam lagi, Theo. Lalu apa yang akan kita lakukan selanjutnya?" ucap bang Amrin pelan.

"aku juga tidak tahu, bang. Rasanya aku ingin selamanya kita berada di sini." balasku berucap.

"aku juga ingin seperti itu, Theo. Tapi kita harus tetap realistis. Pada saatnya jarak akan membuat kita terpisah. Dan aku takut, aku tak sanggup berada di posisi seperti itu.." ucap bang Amrin.

"aku juga gak sanggup, bang. Tapi bukankah lebih baik, kita nikmati saja saat ini. Tak perlu kita memikirkan hari esok. Yang penting saat ini, kita masih punya waktu bersama." aku berujar, sambil sedikit tengadah, menatap kembali wajah tampan itu.

"iya, Theo. Kita akan menikmati malam ini dan malam-malam selanjutnya. Sampai waktu akan membuat kita sadar, kalau perpisahan itu ada. Perpisahan itu nyata." balas bang Amrin.

Dan untuk kesekian kalinya, kami pun mencoba merajut cinta kami. Menyatukan hati kami dalam sebuah rasa yang indah, bahkan jauh lebih indah dari cinta itu sendiri.

Kami mencoba mengikuti naluri yang ada. Menjadi diri kami yang seutuhnya. Tanpa topeng. Karena saat ini, kami benar-benar berada di dunia yang kami ciptakan sendiri.

Aku mencintai bang Amrin dengan segenap jiwa ku. Menyayanginya dengan sepenuh hati ku.

Wajah tampan itu. Senyum manis itu, dan tubuhnya yang kekar, adalah anugerah terindah yang pernah aku miliki dalam perjalanan hidupku.

Walau aku sadar, tidak ada kisah yang tak berujung. Semua kisah akan berakhir. Namun untuk saat ini, aku ingin memiliki bang Amrin seutuhnya. Dia hanya milik ku saat ini.

****

Malam keenam, malam ketujuh, malam ke delapan dan malam ke sembilan semua berjalan dengan begitu indah. Namun waktu tidak pernah memberikan kesempatan lebih kepada siapa pun.

Setiap orang punya waktu yang sama. Waktu tetap berjalan sesuai alur dan perputarannya.

Tapi beberapa hari terakhir ini, waktu terasa begitu cepat berlalu bagiku.

Terlalu singkat.

Hingga malam ke sepuluh pun tiba. Malam yang membuatku tiba-tiba saja merasa takut.

Aku takut dengan perpisahan. Aku takut dengan kata terakhir.

Namun tidak ada awal yang tak berakhir. Dan itu adalah sebuah kenyataan, yang tidak bisa di hindari.

"aku takut, bang.." suara ku parau.

Malam itu seperti biasa, sehabis makan malam kami kembali ke kamar.

"rasanya aku tak ingin malam ini berakhir.." lanjutku.

"aku juga tak ingin ini berakhir, Theo. Aku ingin bersama kamu selamanya.." balas bang Amrin.

"lalu bagaimana hubungan kita selanjutnya bang?" tanya ku pilu.

"aku juga tidak tahu, Theo. Jarak di antara kita terlalu jauh. Kita tidak mungkin bisa bertemu lagi. Dan aku belum siap untuk itu semua." ucap bang Amrin ikut pilu.

"aku juga tidak siap, bang. Tapi kita bisa apa? Sekali pun jarak tidak memisahkan kita, namun kodrat tetap akan membuat kita tidak bisa bersama selamanya, bang. Dan aku benci mengakui itu." suara ku kian parau.

Mata ku memerah. Hatiku perih. Sakit sekali rasanya. Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku bisa merasakan indahnya di cintai oleh orang yang aku cintai. Tapi justru semua itu harus berakhir. Semuanya terjadi terlalu singkat.

Perlahan setetes air mata pun jatuh di pipiku. Aku menangisi perpisahan ini.

"kamu jangan menangis, Theo. Aku tak sanggup melihatnya.." ucap bang Amrin, suaranya pun mulai serak.

Bang Amrin menarik tubuhku dalam dekapannya. Air mata ku terus mengalir. Semuanya terasa pilu.

"kamu jangan menangis, Theo.." bang Amrin mengulangi ucapannya, suaranya semakin serak. Ia ikut menangis. Dekapannya pun semakin erat.

Dan malam terakhir itu pun kami habiskan dengan deraian air mata. Kami tak bisa memendung kesedihan kami.

Rasanya perpisahan itu terlalu berat, meski kebersamaan kami sangat singkat. Namun rasa yang tumbuh di antara kami begitu besar.

Moment-moment indah ku bersama bang Amrin selama sepuluh hari di kamar hotel itu, terus melintas di pikiran ku sepanjang perjalanan pulangku.

Kami memang saling mencintai, tapi waktu, jarak, keadaan dan kodrat tidak mengizinkan kami untuk bersama lebih lama lagi.

Cinta kami terjadi hanya sepuluh malam. Ya, hanya cinta sepuluh malam.

Namun itu adalah sepuluh malam terindah di sepanjang perjalanan hidupku. Aku tak akan pernah melupakannya.

"kita masih bisa terus berhubungan, Theo. Kita masih bisa saling telpon-telponan." terngiang kembali ucapan bang Amrin pagi tadi, sesaat sebelum akhirnya kami benar-benar terpisah.

"iya, bang. Meski raga kita tidak bisa selalu bersama, aku harap hati kita tetap bisa untuk saling mengingat.." balas ku lirih.

Dan perpisahan selalu menyakitkan. Seindah apa pun kisah yang terjadi di antara kami selama sepuluh malam itu, tetap saja rasa sakit karena perpisahan itu begitu menyiksa.

Kisah ku bersama bang Amrin, akan selalu terukir di sanubari ku. Selamanya.

Demikianlah kisah cinta ku selama sepuluh malam bersama bang Amrin.

Terima kasih sudah menyimak kisah ini dari awal sampai akhir.

Semoga terhibur.

Sampai jumpa lagi di cerita-cerita berikutnya, salam sayang selalu untuk kalian semua.. muuuaaachhh..

****

Selesai...

Tergoda brondong tampan dan gagah

Aku menatap laki-laki itu. Wajahnya tampan rupawan. Di lengkapi dengan hidungnya yang mancung dan sorot matanya yang tajam. Tubuhnya tegap dan gagah.

Cerpen sang motivator jalanan

"mau kemana?" laki-laki itu mengulangi pertanyaannya.

"pulang.." jawabku akhirnya, setelah untuk sesaat aku terlena dengan pesona pria muda yang berdiri tepat di hadapanku.

"boleh aku antar?" tawar pemuda yang ku perkirakan masih berumur 20 tahun itu.

"apa kita pernah bertemu sebelumnya?" tanya ku ragu.

"kita hampir setiap hari bertemu disini. Di tempat parkir ini. Aku selalu memperhatikan mu." jawab pemuda itu santai.

"siapa kamu sebenarnya?" tanya ku penasaran.

"aku hanya seorang pengagum." jawab pemuda itu terdengar yakin.

"apa yang membuatmu mengagumi ku?" tanya ku lagi.

"semuanya. Kecantikan wajahmu dan juga keanggunanmu.. Senyum, tubuhmu. Semuanya.." jelas pemuda itu lugas.

Aku sedikit tersipu mendengar kalimat itu. Meski ini bukan pertama kalinya orang-orang memujiku, tapi tetap saja di puji oleh laki-laki setampan pemuda di depan ku ini, membuatku jadi sedikit salah tingkah.

Tiba-tiba pemuda itu mengulurkan tangannya.

"aku Renol." ucapnya maskulin.

Aku dengan sedikit ragupun menjabat tangan pemuda itu.

"Larasati. Panggil aja Lara." ucapku ringan.

Tangan kami berjabatan. Ada rasa hangat yang mengalir di sekujur tubuh ku. Rasanya begitu nyaman.

"jadi gimana? Apa aku boleh mengantarmu pulang?" ucap Renol, setelah ia melepaskan tanganku.

"maaf, aku membawa mobil ku sendiri.." pungkas ku.

"oh." Renol membulatkan bibir.

"kalau begitu aku yang nebeng sama kamu." lanjutnya.

"mau mu apa sih sebenarnya?" tanya ku benar-benar ingin tahu.

"aku hanya ingin mengenal kamu lebih dekat lagi Lara." timpalnya.

"untuk apa?" tanya ku.

"untuk membuktikan bahwa perasaan ku salah." jawab Renol.

"maksud kamu?" aku bertanya kembali, Renol membuatku benar-benar penasaran.

"aku mungkin telah jatuh cinta padamu." jawabnya terdengar sungguh-sungguh.

"secepat itu?" tanya ku lagi.

"aku sudah memperhatikan mu sejak lama." ucap Renol.

"menurutku aku jauh lebih tua dari mu, dan kamu tidak seharusnya mendekati wanita yang lebih tua dari mu." ucapku.

"apa itu salah?" tanya Renol.

"tidak." jawabku, "itu jika aku masih singel. Tapi sekarang aku masih berstatus istri orang." lanjutku.

"istri orang yang sebentar lagi akan bercerai." ucap Renol, yang membuatku menatapnya tajam.

"dari mana kamu tahu semua itu?" tanyaku akhirnya.

"sudah aku katakan, aku sudah memperhatikanmu sejak lama." jawab Renol.

"sampai sedetail itu kamu mengetahui ku?" tanya ku lagi.

"iya. Bahkan lebih dari itu." balas Renol lagi.

"maksud kamu?" tanya ku.

"aku tahu, kamu sudah berbulan-bulan pisah ranjang dari suami mu yang tukang selingkuh itu. Aku tahu, kamu sudah punya seorang putra yang berusia tiga tahun, yang sekarang bersama pengasuh anakmu di rumah." jelas Renol, yang membuatku semakin penasaran dengannya.

Mengapa Renol bisa tahu tentang semua itu? Padahal aku bahkan baru pertama kali bertemu dengannya.

Kantor ku memang berada dalam sebuah gedung yang memang memiliki banyak kantor di dalamnya. Sangat banyak orang yang berlalu lalang di dalam gedung tersebut.

Tapi aku belum pernah bertemu Renol sebelumnya.

Saat ini aku memang sedang dalam masa proses cerai dengan suami ku. Aku memang sudah berbulan-bulan tidur sendirian. Aku memang selalu merasa kesepian. Namun kesibukan ku sebagai wanita karir, cukup membuatk jadi tidak punya banyak waktu untuk memikirkan hal tersebut.

Renol begitu gigih untuk mendekati ku, yang membuatku akhirnya menyerah. Aku menerima tawarannya untuk ia pulang bersama ku.

Kami akhirnya ngobrol banyak hal. Di perjalanan pulang Renol berhasil mengajak ku untuk singgah di sebuah kafe.

Renol memang sangat menarik secara fisik. Aku tak bisa memungkiri hal itu.

Sebagai seorang wanita yang sudah lama tidak mendapat perhatian dari seorang laki-laki, aku mulai tergugah dengan kehadiran Renol.

Sikapnya yang terbuka dan terkesan nekat itu, membuatku jadi tak berdaya untuk menolak, ketika akhirnya Renol berhasil mengajak ku mampir di apartemennya.

Renol tinggal sendirian di apartemen itu, ia seorang perantau. Saat ini ia bekerja di bagian resepsionis di gedung tempat kantor ku tersebut. Jadi wajar kalau ia sudah memperhatikan ku sejak lama.

Meski pun masih muda, Renol cukup berpengalaman dalam mendekati seorang wanita.

Aku pun terbuai dengan segala bujuk rayunya. Bukan saja karena Renol memang sangat mempesona, tapi juga karena aku memang sudah lama tidak merasakan hal tersebut.

Sore itu Renol berhasil membwa ku berlyar dalam keindhan sebuah rasa. Aku terbu4i.

Renol memang pemuda yang luar biasa. Aku di buatnya melay4ng.

Aku yang sudah lama tidak meraskan hal tersebut, jadi begitu terlna dengan segla permainn indh Renol.

Aku tak ingin melewati saat-saat indh itu.

Aku ingin merguk semuanya. Segala kesepian ku selama ini, aku tmpahkan kepada renol sore itu.

Aku seperti mendapatkan setetes air ditengah gurun gersang. Kehadiran Renol benar-benar membuat aku lupa akan semua kejadian pahit yang aku alami akhir-akhir ini.

Kejadian yang ingin aku hapus dari ingatanku.

Kejadian dimana aku akhirnya mengetahui kalau suami ku ternyata selama ini telah berselingkh dengan sekeretarisnya.

Karena itulah aku pun menuntut cerai darinya. Hanya saja proses cerai itu terlalu lama bagiku.

Hingga aku harus menelan kesepian setiap malamnya.

Dan Renol hadir di saat yang tepat. Dia hadir dengan segala pesonanya, yang membuat ku tidak bisa menolaknya. Aku tak ingin menolak brondong tampan dan gagah itu.

Aku serahkan seglanya pada brondong itu. Aku biarkan Renol mendpatkan semuanya. Tak tersisa.

Kami terhenyut dlam gelombang keindhan itu. Menyatu dlam sebuah rsa yg indh.

Sampai akhirnya aku mersakan sebuah pencapaian yang sempurna. Sebuah pencapaian yang sudah lama tidak aku rasakan.

****

Dan sejak saat itu, aku dan Renol pun menjalin hubungan asmara. Aku jatuh hati padanya. Renol berhasil membuat aku jatuh cinta.

Hingga proses perceraian ku dengan suami ku pun selesai. Kami resmi bercerai.

Hubungan ku dengan Renol pun semakin erat. Dan beberapa bulan kemudian, kami pun menikah.

Kami mulai membina rumah tangga kami yang baru. Ternyata Renol benar-benar serius dengan perasaannya padaku.

Dan aku semakin mencintainya.

****

Kisah cinta dua cowok hetero

Nama ku Joshua. Biasa orang-orang memanggilku Josh. Saat ini aku sedang kuliah semester enam.

Aku seorang laki-laki hetero. Aku punya pacar seorang perempuan bernama Tyas. Kami pacaran sudah bertahun-tahun.

Namun karena suatu kejadian, tiba-tiba saja aku menjadi seseorang yang berbeda.

Seseorang yang aku sendiri bahkan tidak kenal. Tapi, mungkin itulah jati diri ku yang sebenarnya.

Bagaimanakah kisah ku ini terjadi?

Dan siapa kah aku sebenarnya?

Simak kisah ini dari awal sampai selesai ya...

Namun sebelumnya.. bla..bla..

****

Aku duduk sendiri di sebuah bangku taman, sambil menatapi kendaraan yang ramai berlalu lalang di jalan raya. Taman itu memang berada di pinggiran sebuah jalan raya di tengah-tengah kota.

Pikiran ku menerawang, mengingat kembali kisah cinta ku yang harus kandas. Kisah cinta ku yang harus berakhir dengan cukup menyakitkan bagiku.

Bagaimana tidak, aku dan pacarku, Tyas, sudah menjalin hubungan lebih dari tiga tahun. Hubungan kami sangat serius, terutama bagiku.

Bahkan hubungan kami juga sudah diketahui oleh kedua keluarga besar kami. Semua keluarga sangat mendukung hubungan kami.

Aku juga sangat merasa bahagia, menjalin hubungan bersama Tyas. Aku bangga memilikinya. Aku sangat mencintai Tyas.

Tapi ternyata hubungan indah itu harus berakhir. Bukan karena aku tidak lagi mencintainya. Tapi sebaliknya, ternyata perasaan Tyas padaku telah berubah.

Tyas berubah semenjak ia mengenal salah seorang sahabatku, Dony.

Dony adalah sahabat kecil ku dulu. Dari SD hingga SMP, aku dan Dony memang sangat dekat.

Namun saat SMA, Dony terpaksa pindah untuk ikut bersama keluarganya ke kota lain. Sejak saat itu, aku tidak pernah bertemu Dony lagi.

Namun beberapa tahun kemudian, kami bertemu kembali. Kebetulan kami kuliah di kampus yang sama.

Aku pacaran dengan Tyas, sejak kami sama-sama di kelas 3 SMA, hingga kami juga sama-sama kuliah di kampus yang sama. Hanya saja jurusan kami berbeda. Tyas di informatika sedangkan aku mengambil jurusan teknik.

Dan ternyata Dony juga kuliah di kampus yang sama dengan kami, dan kebetulan juga ia satu jurusan dengan Tyas.

Pertemuanku kembali bersama Dony, membuat kami kembali menjadi dekat dan akrab. Dony juga tahu, kalau Tyas adalah pacarku.

Namun entah bagaimana caranya, aku akhirnya mengetahui kalau Dony dan Tyas menjalin hubungan secara diam-diam di belakang ku.

Aku sakit mengetahui itu semua. Aku kecewa. Patah.

Meski pun Tyas bukan cinta pertama ku, namun dia adalah pacar pertama ku yang aku benar-benar serius dengannya.

Sebelumnya aku memang pernah pacaran, namun hanya sekedar cinta monyet. Tapi dengan Tyas,aku benar-benar merasakan telah jatuh cinta.

Namun apa yang bisa aku lakukan, jika Tyas sendiri tidak bisa merasakan hal tersebut. Dia lebih memilih untuk mengkhianatiku. Dan yang paling menyakitkan dari itu semua, dia selingkuh dengan sahabatku sendiri.

Aku sudah memutuskan hubungan ku dengan Tyas dan juga sudah memutuskan persahabatan ku dengan Dony. Aku benci mereka berdua saat ini.

Aku sakit. Marah. Kecewa. Dan hampir putus asa.

"ngelamun aja dari tadi, mas?!" sebuah suara mengagetkan ku. Suara laki-laki. Parau.

Aku menoleh ke arah samping kiri ku. Seorang laki-laki sudah duduk di sampingku. Laki-laki itu berwajah putih dan mulus. Bersih.

"kamu siapa?" tanyaku spontan. Aku memang belum pernah melihat laki-laki tersebut.

"apa itu penting?" suara parau itu berucap lagi.

"penting. Karena kamu sudah mengajak aku ngobrol dari awal." timpal ku.

"saya hanya tidak suka melihat orang yang buang-buang waktu hanya untuk melamun.." pungkas laki-laki yang ku perkirakan sudah berusia sekitar 30 tahun itu.

"lalu kamu sendiri apa yang kamu lakukan disini?" tanya ku.

"menikmati hidup.." balas laki-laki itu terlihat santai.

"saya juga sedang menikmati hidup dengan cara saya, dan tiba-tiba saja kamu mengusik semua itu." ujar ku sedikit protes.

"kamu tidak sedang menikmati hidup, kamu sedang menikmati luka mu.." balasnya.

"kenapa kamu menyimpulkan seperti itu?" tanyaku.

"sangat kelihatan sekali, kalau kamu sedang marah, kecewa dan dari tadi juga kamu mengumpat gak jelas sendirian. Saya tebak, kamu pasti baru saja putus cinta.." ucap pemuda itu.

"itu bukan urusan mu!" suara ku sedikit meninggi.

"itu berarti tebakan ku benar, dong.." balas laki-laki itu, sambil tersenyum menang.

"oke, kamu benar. Lalu apa urusan mu?" ucapku sengit.

"saya hanya mencoba untuk menghibur." timpal laki-laki itu, masih terdengar sangat santai.

"kita tak saling kenal. Untuk apa kamu menghibur ku?" tanyaku lagi.

"karena aku tahu persis, bagaimana rasa sakitnya putus cinta. Dan aku juga tahu, bagaimana caranya agar rasa sakit itu bisa sembuh dengan cepat.." jawab laki-laki itu lagi.

Kami terdiam beberapa saat, sepertinya aku kehabisan kata-kata untuk membalas ucapan laki-laki tersebut.

"kamu siapa sih sebenarnya?" tanya ku akhirnya,

"nama ku Rudy. Panggil aja mas Rudy, karena saat ini aku sudah berusia hampir kepala tiga." jawab laki-laki itu, sambil mengulurkan tangan.

Aku dengan sedikit ragu, pun menjabat tangan laki-laki yang mengaku bernama mas Rudy itu.

"Joshua, panggil aja Josh." ucapku menyebutkan nama ku.

Mas Rudy menjabat tangan ku lama, saat aku hendak melepaskan tangan ku dia masih menahannya, sambil ia menatap ku dengan senyum yang sedikit aneh.

"maaf.." ucapnya, setelah akhirnya ia melepaskan tangan ku.

Entah mengapa tiba-tiba saja perasaan ku menjadi tak karuan. Aku gelisah.

"kalau boleh saya tahu, apa yang membuat wajah tampan mu itu menjadi begitu murung?" ucap mas Rudy tiba-tiba.

Aku semakin merasa tak karuan, untuk pertama kalinya dalam hidupku, seorang laki-laki yang baru aku kenal memuji ku.

"kita baru saja saling kenal, tak etis rasanya kalau aku bercerita tentang sesuatu yang sedikit pribadi.. " balas ku berusaha bersikap tenang.

"kata orang, salah satu cara untuk mengurangi beban di hati adalah dengan bercerita." ucap mas Rudy lagi.

Aku menarik napas dalam, luka itu masih terasa sangat sakit di hatiku. Aku memang butuh tempat untuk bercerita.

Selain Dony, aku tidak punya teman dekat lagi. Biasanya kalau aku lagi ada masalah, pasti Tyas atau Dony lah tempat aku bercerita.

Tapi sekarang mereka berdua telah mengkhianatiku. Aku jadi kehilangan segalanya. Bukan saja cinta, tapi juga sahabat.

Setelah mempertimbangkan beberapa hal, aku pun memutuskan untuk bercerita kepada mas Rudy. Selain karena aku memang butuh tempat untuk mencurahkan segala rasa sakit ku, aku juga berpikir, tak ada salahnya menceritakan hal tersebut kepada mas Rudy.

Meski pun kami baru saja saling kenal, tapi mas Rudy kelihatannya adalah orang baik, dan juga sudah sangat dewasa.

Dan aku pun menceritakan semua kisah ku bersama Tyas dan Dony, kepada mas Rudy, orang yang baru saja kenal beberapa jam yang lalu.

Dan aku merasa ada sedikit kelegaan setelah menceritakan itu semua.

*****

"perempuan memang begitu.." ucap mas Rudy, saat aku selesai menceritakan kisah ku padanya.

"maksud mas Rudy?" tanyaku mulai terasa akrab.

"iya. Perempuan itu egois, mereka tak pernah benar-benar memikirkan perasaan laki-laki yang mencintainya." jawab mas Rudy menjelaskan.

"apa mas Rudy pernah juga disakiti oleh perempuan?" tanya ku lagi, sekedar ingin tahu.

"sering.." balas mas Rudy. "tapi itu dulu, sebelum akhirnya aku memutuskan untuk tidak pernah pacaran dengan perempuan lagi." lanjutnya.

"maksudnya, mas?" tanyaku penasaran.

"aku sudah terlalu teramat sering dikhianati perempuan. Aku jera. Aku menutup hati ku untuk kehadiran seorang perempuan pun dalam hidupku. Aku tidak ingin dikhianati lagi. Karena itu aku akhirnya memutuskan untuk berpacaran dengan sesama laki-laki.." cerita mas Rudy menjawab pertanyaan ku barusan.

"jadi mas Rudy ini seorang homo?" tanyaku meyakinkan.

"boleh di bilang begitu. Tapi itu terjadi, karena aku sudah jera menjalin hubungan dengan perempuan." jawab mas Rudy lugas.

Pantas! Pikirku. Dia dengan begitu berani mendekati ku.

"biasanya kalau kita sudah di khianati oleh perempuan satu kali, maka untuk selanjutnya kita akan selalu di khianati.." ucap mas Rudy tiba-tiba, melihat keterdiamanku.

"mas jangan menakut-nakuti ku..." balas ku spontan.

"saya tidak menakut-nakuti kamu. Saya hanya berbicara realita. Seperti yang pernah saya alami." timpal mas Rudy cepat.

Aku terdiam kembali. Tidak tahu harus berbicara apa lagi. Saat ini pikiranku memang sedang kacau. Dan pernyataan mas Rudy barusan cukup membuatku semakin kacau.

"kamu gak usah khawatir. Kalau kamu butuh teman untuk bercerita, saya siap kok mendengarkan semua cerita kamu. Dan saya juga siap menemani kamu, dalam masa penyembuhan luka mu itu." ucap mas Rudy lagi.

"tapi aku masih normal, mas." ucapku tegas.

"kamu tenang aja. aku gak bakal ngapain-ngapain kamu, kok. Aku hanya ingin menghibur kamu. Kita bisa jadi teman kan?" balas mas Rudy ringan.

Dan begitulah awal pertemuan ku dengan mas Rudy, laki-laki homo yang datang pada saat yang tepat.

Dia datang pada saat aku sedang patah hati. Dia datang pada saat kepercayaan ku pada perempuan memudar.

Lalu bagaimana kah hubungan ku dengan mas Rudy selanjutnya?

Apakah mas Rudy mampu mengobati luka di hatiku?

Mungkinkah ia mampu mengubah sesuatu dalam diriku?

Sesuatu yang sebenarnya sudah ada sejak lama di dalam diriku.

Simak kisah selanjutnya di channel ini ya, atau bisa langsung klik link nya di deskripsi video ini.

Terima kasih sudah menonton video ini sampai selesai, semoga terhibur.

Sampai jumpa lagi pada video-video berikutnya, salam sayang untuk kalian semua.. Muach..

****

Part 2

Mas Rudy semakin rajin menghubungi ku. Aku memang sengaja memberikan nomor handphone ku padanya. Entah mengapa, aku jadi sedikit tertarik untuk mengenal mas Rudy.

Mungkin karena mas Rudy juga sangat baik padaku. Ia juga mampu sedikit menghiburku.

Seperti yang aku katakan ia datang di saat yang tepat.

Ia datang di saat hatiku benar-benar rapuh. Dan mas Rudy juga terlihat sangat berpengalaman dalam mendekati seorang laki-laki seperti ku.

Bagaimanakah kisah ku bersama mas Rudy selanjutnya?

Mungkinkah ia berhasil menarik perhatianku?

Mungkinkah akan terjadi sesuatu di antara kami berdua?

Dan bagaimana pula kisah mas Rudy di masa lalunya?

Simak kisah ini sampai selesai ya..

Namun sebelumnya bla..bla..

*****

"masih galau?" tanya mas Rudy suatu hari padaku.

Saat itu kami bertemu kembali di taman tempat pertama kali kami bertemu.

"gak juga sih, mas. Saya sedang berusaha untuk melupakan masa lalu.." jawab ku pilu.

"gitu dong. Move on.." balas mas Rudy dengan gaya enerjik nya.

"itu kan berkat mas Rudy juga..." balasku datar.

"kamu gak nyesal kan mengenal aku?" ucap mas Rudy.

"ya, gak lah, mas. Mas Rudy orangnya baik dan cukup menghibur." balasku jujur.

Untuk kesekian kalinya mas Rudy menatapku dengan tatapan anehnya. Aku mengerti maksud tatapan itu. Aku merasa sedikit geli sebenarnya, tapi entah mengapa aku justru menyukainya.

"mas Rudy cerita dong, tentang masa lalunya.." ucapku memecah keheningan.

"tak ada yang menarik tentang kisahku, Josh. Kisah hidupku terlalu biasa. Aku lahir dan tumbuh sebagai laki-laki biasa." ucap mas Rudy.

"aku anak kedua dari empat bersaudara. Kecuali adik bungsu ku yang perempuan, kami bertiga semuanya laki-laki. Ayahku seorang karyawan swasta dan ibu ku hanya ibu rumah tangga biasa. Kehidupan kami secara ekonomi boleh di bilang cukup baik."

"saat ini, aku satu-satunya yang belum menikah dari kami empat bersaudara. Jadi aku masih tinggal bersama kedua orangtua ku. Aku bekerja di sebuah bank swasta, sudah bertahun-tahun. Setidaknya sejak aku lulus kuliah."

"saat SMA, aku pernah pacaran dengan adik kelasku, namanya Neni. Dia gadis yang cantik. Namun hubungan kami hanya bertahan dalam hitungan bulan, karena ternyata Neni sudah mengkhianatiku."

"ketika kuliah aku juga pernah pacaran dengan seorang gadis manis teman kampus ku, namanya Julia. Kami pacaran hingga dua tahun. Namun kemudian aku mengetahui kalau Julia sedang selingkuh dengan seorang teman dekat ku."

"aku kecewa dan merasa sakit hati. Tapi aku segera melupakan semuanya dan lebih berfokus pada kuliahku. Aku tidak ingin memikirkan perempua lagi saat itu."

"sampai akhirnya aku lulus kuliah, dan bekerja di bank. Aku kemudian bertemu Tina. Seorang gadis cantik, yang saat itu masih kuliah. Kami dekat dan akhirnya pacaran. Kami pacaran hanya selama setahun, karena akhirya untuk kesekian kalinya aku dikhianati oleh seorang perempuan."

"aku terluka. Marah. Kecewa dan putus asa. Aku tidak percaya lagi pada yang namanya perempuan. Mereka semuanya egois. Padahal aku selalu berusaha untuk setia kepada mereka. Tapi mengapa aku selalu di khianati?"

"sejak saat itulah aku memutuskan untuk tidak lagi pacaran dengan perempuan. Aku mulai mengenal dunia gay, awalnya aku hanya ingin coba-coba. Tapi ternyata lama kelamaan aku justru merasa nyaman."

"aku memang tidak pernah pacaran serius dengan laki-laki. Aku hanya berhubungan atas dasar suka sama suka, dan hanya sekedar cinta satu malam. Tapi aku sangat menikmati semua itu. Aku tak lagi merasakan sakit. Aku tak pernah dikhianati. Semua berjalan dengan indah. Tidak ada lagi kekecewaan dan tidak lagi keterikatan. Aku menikmati hidupku saat ini." cerita mas Rudy panjang lebar padaku.

"lalu apa mas Rudy gak kepikiran untuk menikah?" tanyaku akhirnya, setelah kami terdiam beberapa saat.

"untuk saat ini belum, Josh. Aku masih sangat menikmati kebebasan ku." jawab mas Rudy mantap.

*****

Aku dan mas Rudy semakin dekat dan akrab. Perlahan aku pun semakin bisa melupakan tentang Tyas, mantan pacarku yang telah mengkhianati ku itu.

Entah mengapa, tiba-tiba saja aku merasa nyaman saat bersama mas Rudy. Aku jadi sering memikirkannya sekarang, setidaknya sebagai pengalihan atas ingatan ku akan pengkhianatan Tyas dan Dony.

Karena semakin sering memikirkannya, aku juga jadi sering rindu padanya. Kami pun jadi semakin sering bertemu.

"berbulan-bulan kita saling kenal dan dekat, tapi aku belum pernah mendengar cerita kehidupan kamu, Josh. Kecuali cerita cinta kamu yang gak penting itu." ucap mas Rudy, saat untuk kesekian kalinya kamu bertemu. Kali ini kami bertemu di sebuah kafe.

"apa lagi yang aku ceritakan, mas?" tanya ku datar.

"apa saja, terutama tentang keluarga kamu misalnya.." balas mas Rudy.

Aku pun kemudian menceritakan cerita ini.

Namaku Joshua, biasa di panggil Josh. Aku kuliah. Aku anak ketiga dari tiga bersaudara. Kakak pertama ku perempuan, sudah menikah dan sudah punya dua orang anak. Kakak kedua ku laki-laki, sudah bekerja dan baru setahun menikah.

Papa ku seorang pengusaha yang sukses, sedangkan ibu ku hanya seorang ibu rumah tangga biasa. Secara ekonomi kehidupan kami cukup mapan. Apa lagi saat ini, hanya aku satu-satunya yang belum bekerja.

Sebenarnya kehidupan ku berjalan dengan normal, sama seperti kebanyakan manusia lainnya. Aku jatuh cinta, aku juga pacaran dengan perempuan. Sampai pengkhianatan itu terjadi, yang membuat aku jadi patah semangat.

"lalu kemudian aku bertemu mas Rudy, orang yang telah mampu menghiburku saat ini.." ucapku mengakhiri cerita ku.

"jadi aku hanya penghibur nih?" ucap mas Rudy dengan nada bercanda nya.

"kalau bukan penghibur, lalu apa lagi, mas?" tanya ku.

"jadi pacar, kek.." balas mas Rudy masih terdengar bercanda.

"ya gak mungkin lah, mas. Aku kan masih normal." timpalku cepat.

"kan gak ada salahnya di coba, Josh. Siapa tahu kamu nyaman." balas mas Rudy, mulai terdengar serius.

Aku menarik napas sejenak. Sekedar menenangkan hatiku yang tiba-tiba saja berdebar hebat.

"aku gak tahu ya, mas ke depannya seperti apa. Tapi jujur saja, aku memang mulai merasa nyaman saat bersama mas Rudy." ucapku mencoba untuk jujur dengan apa yang aku rasakan saat ini.

"itu baru jadi teman loh, Josh. Kamu udah nyaman. Apa lagi kalau sampai kamu merasakan sesuatu yang belum pernah kamu rasakan sebelumnya..." ujar mas Rudy terdengar sangat serius.

"maksudnya, mas?" tanyaku penasaran.

"susah untuk dijelaskan, Josh. Akan lebih baik kalau kita mencobanya langsung." jawab mas Rudy.

"aku takut, mas." ucapku kemudian.

"apa yang kamu takutkan?" tanya mas Rudy.

"aku takut, mas Rudy sama aja seperti Tyas atau perempuan lain yang hanya memanfaatkanku. Aku takut, mas Rudy malah pergi, saat aku sudah terlanjur sayang.." ucapku lemah.

"kamu tak perlu takut akan hal itu, Josh. Aku jamin, aku akan selalu setia untukmu." balas mas Rudy terdengar sangat yakin.

****

"aku takut, mas." ucapku pelan.

Saat itu kami berada di sebuah kamar hotel. Aku memang sengaja menyetujui ajakak mas Rudy untuk bertemu kali ini di hotel.

"udah, kamu gak usah takut. Kamu ikuti saja semua naluri yang kamu rasakan saat ini." balas mas Rudy lembut.

"tapi aku belum pernah seperti ini sebelumnya loh, mas." suara ku masih pelan.

"iya, aku tahu. Makanya kamu harus mencobanya. Nanti kalau kamu memang gak suka, kamu bisa bilang, kok. Dan kita tidak perlu melanjutkannya lagi." ucap mas Rudy, sambil mulai mendekati ku.

"mas Rudy pasti sudah sering ya melakukan hal ini?" tanyaku sekedar menghilangkan debaran di dadaku, yang tiba-tiba saja bergetar hebat.

"sering sih gak. Tapi pernah sih beberapa kali.." jawab mas Rudy terdengar jujur.

"berarti mas Rudy sudah berpengalaman?" tanya ku lagi, melihat mas Rudy semakin mendekat.

"gak juga. Lagi pula bukankah hal itu tidak perlu pengalaman apa pun, untuk melakukannya. Kita ikuti saja naluri yang ada." balas mas Rudy, kian mendekat.

Kamar hotel itu tidak terlalu luas. Di dalamnya hanya ada satu tempat tidur untuk dua orang, sebuah meja kecil, kamar mandi, dan sebuah televisi di bagian atas meja.

Aku belum pernah masuk hotel, apa lagi sampai menginap di dalamnya. Dan hal itu cukup membuatku sedikit tidak nyaman. Apa lagi saat ini, aku berada di dalam kamar hotel, bersama seorang laki-laki.

Aku masih merasa cukup aneh dengan semua itu. Namun kalimat demi kalimat yang di lontarkan mas Rudy, seakan mampu membiusku untuk mengikuti semua keinginannya.

Selain karena aku saat ini memang sedang rapuh, karena baru saja di khianati oleh orang yang aku cintai, aku juga merasa nyaman saat bersama mas Rudy.

Dan sebenarnya aku juga penasaran dengan hal tersebut.

Karena itu lah aku akhirnya menerima tawaran mas Rudy tadi di handphone, untuk mengajak ku menginap di hotel.

Dan di sini lah kami sekarang. Di dalam sebuah kamar hotel. Hanya kami berdua. Aku dan mas Rudy.

Mas Rudy masih terus berusaha mendekati dan membujukku. Sementara hatiku sendiri masih ragu.

Berbagai perasaan terus berperang di benakku. Takut. Malu. Penasaran dan seakan menginginkannya.

Lalu apakah yang terjadi malam itu, antara aku dan mas Rudy?

Mampukah aku menolak rayuan dan bujukan dari mas Rudy?

Atau justru aku semakin terlarut di dalamnya, dan membiarkan diriku terjebak dalam dunia yang masih asing bagiku?

Simak kisah selanjutnya di channel ini ya, atau bisa langsung di deskripsi video ini.

Terima kasih sudah menonton video ini sampai selesai. semoag terhibur.

Sampai jumpa lagi pada video-video berikutnya, salam sayang untuk kalian semua.. muaaach..

*****

Part 3

Aku memejamkan mata, menarik napas beberapa kali. Berusaha menenangkan pikiranku.

Jantungku berdebar hebat. Tubuhku bergetar. Aku merasa linglung.

Sementara mas Rudy terus berusaha mendekati ku.

"ayolah, Josh. Kita coba.." suara mas Rudy berat, "kamu pasti gak nyesal, kok." lanjutnya sedikit mendesah.

"aku... aku... masih takut, mas. Aku gak nyaman.. " ucapku akhirnya.

Mas Rudy tiba-tiba saja menyentuh pundak ku dengan kedua tangannya. Ia berdiri di hadapan ku. Mata kami saling tatap. Kami hanya berjarak, beberapa jengkal lagi.

Aku semakin merasa tak karuan. Berbagai perasaan menghantui pikiranku.

Takut. Malu. Penasaran dan seakan menginginkannya.

Lalu apakah yang terjadi malam itu, antara aku dan mas Rudy?

Mampukah mas Rudy membujukku untuk mengikuti keinginannya malam itu?

Simak kisah lanjutan ini sampai selesai ya.

Namun sebelumnya .. bla... bla...

*****

"maaf, mas Rudy. Aku gak bisa.." pungkas ku sedikit kasar, sambil mendorong tubuh mas Rudy dengan repleks.

Mas Rudy sedikit terhuyung ke belakang. Dia tampak terkejut.

"maaf, mas. Tapi aku harus pergi. Aku gak bisa terus disini." ucapku lagi, tanpa pedulikan reaksi keterkejutan mas Rudy.

"kamu mau kemana, Josh." sergah mas Rudy.

"aku mau pulang, mas.." jawabku cepat.

"tapi ini sudah jam sebelas malam, Josh.." ucap mas Rudy lagi.

Aku tak mempedulikannya lagi.

Aku segera melangkah menuju pintu. Membukanya kemudian berjalan dengan cepat keluar.

Pikiran ku benar-benar kacau.

Apa yang telah aku lakukan? Bathin ku.

Dengan sedikit terburu, aku menuju keluar hotel, memesan taksi dan berniat untuk pulang.

Tapi aku justru meminta taksi itu untuk berhenti di depan sebuah bar. Pikiran ku kacau. Aku tak ingin pulang, tapi aku juga tidak tahu harus kemana.

Aku memasuki bar itu dengan ragu. Seumur hidup baru kali ini aku masuk kesini.

Tapi aku benar-benar butuh sesuatu yang bisa membuatku tenang.

Aku memesan minuman, dan duduk di sudut ruangan sendirian.

Aku menenggak minumanku beberapa kali dengan cepat.

Pikiranku kembali mengingat mas Rudy, yang aku tinggalkan sendirian di hotel.

Aku tak benar-benar tahu, apa yang aku rasakan saat ini. Aku memang merasa nyaman saat bersama mas Rudy. Tapi aku tak ingin mengakui itu. Aku malu. Akumalu pada diriku sendiri.

Aku yang dulunya menyukai perempuan, tiba-tiba saja merasa tertarik dengan mas Rudy. Dan bagiku itu semua masih terasa aneh.

Aku belum siap memasuki dunia itu, dunia yang berbeda dari yang aku jalani selama ini.

Tapi aku juga tidak bisa memungkuri perasaanku sendiri, kalau aku sebenarnya menginginkan mas Rudy. Aku menginginkan hal yang lebih darinya.

Aku meneguk minuman terakhir ku. Kepala ku rasanya mau pecah. Bayangan wajah mulus mas Rudy masih terus menghantui ku.

Aku melangkah keluar dari bar itu, memanggil taksi, dan meminta si sopir untuk menuju hotel tempat mas Rudy aku tinggalkan tadi.

****

Aku mengetuk pintu kamar hotel itu beberapa kali. Sebelumnya akhirnya pintu itu terbuka.

Seraut wajah manis mas Rudy menyambutku dengan senyum keheranan.

"kamu dari mana, Josh?" tanya mas Rudy, sambil membuka pintu lebih lebar.

Aku tidak menjawab pertanyaan itu, aku melangkah masuk.

Menatap mas Rudy yang menutup dan mengunci pintu kamar. Mas Rudy sudah tidak memakai baju, ia hanya memakai celana boxer hitam.

Dadanya terlihat bidang, otot lengannya menyembul. Sungguh sosok laki-laki yang atletis, di balik wajahnya yang begitu mulus dan manis.

"kamu dari mana?" mas Rudy mengulang pertanyaannya.

"apa itu penting?" tanyaku balik.

"penting bagiku, Josh. Kamu pergi begitu saja, kemudian tiba-tiba kamu kembali lagi, dengan keadaan sedikit mabuk." balas mas Rudy, sambil ia duduk di sampingku, di sisi ranjang.

"dari mana mas Rudy tahu, kalau aku sedikit mabuk?" tanyaku spontan.

"aku bisa menciumi aroma napas mu, Josh. Dan aku bukan anak kemarin sore, yang tidak bisa membedakan, mana kondisi orang normal dengan orang yang habis minum." jawab mas Rudy.

"aku memang habis minum, mas. Aku panik. Mungkin aku butuh sedikit bantuan, untuk bisa berkata jujur kepada mas Rudy." ucapku ringan.

"kamu tidak perlu mengatakan apa pun, Josh. Aku juga tidak akan memaksa mu." balas mas Rudy.

"tapi aku perlu mengatakan ini, mas. Aku harus mengatakan bahwa sebenarnya ... sebenarnya... aku juga mencintai mas Rudy.... Aku tidak tahu, entah kapan perasaan itu tumbuh. Hanya saja, aku selalu merasa nyaman saat bersama mas Rudy. Aku selalu ingin bertemu mas Rudy. Dan ... dan aku... juga menginginkan mas Rudy malam ini." ucapku akhirnya, meski dengan sedikit terbata.

Mas Rudy terlihat tersenyum menatapku. Dan senyum itu terlihat sangat indah di mataku.

"apa hanya malam ini?" tanya mas Rudy, dengan sedikit mengerlingkan mata.

"malam ini dan selama-lamanya, mas. Aku ingin kita menjadi sepasang kekasih, bukan hanya sekedar sahabat.." ucapku penuh keyakinan.

"aku juga sangat menginginkan hal itu, Josh. Bahkan sudah sejak lama." balas mas Rudy penuh perasaan.

Perlahan wajah kami pun kian mendekat. Kali ini hati ku kembali berdebar hebat. Bukan lagi karena malu, takut atau penasaran, tapi karena aku menginginkannya.

"aku belum pernah melakukan hal ini, mas.." suara ku pelan, sebelum baybir kami benar-benar bertemu.

"aku tahu.." bisik mas Rudy, "karena itu kita akan mencobanya.." lanjutnya masih berbisik.

"tapi aku tidak tahu, bagaimana melakukannya, mas." ucapku lagi.

"kamu ikuti saja naluri mu, Josh. Hal-hal semacam ini, tidak perlu pengalaman apa pun. Biarkan semuanya mengalir apa adanya." jelas mas Rudy.

Aku terdiam. Memejamkan mata. Menahan napas. Dan aku pun mersakan sebuah suntuhan lembut di baybir ku.

Sebuah suntuhan perasaan yang belum pernah aku rasakan sebelumnya. Dengan repleks aku membelas.

Dua hati kami pun menyatu malam itu. Terasa indah. Aku pun terbuai dalam lautan keindahan cinta yang mas Rudy persembahkan padaku.

Cinta mas Rudy terlalu indah. Terlalu sempurna. Sesempurna ukiran maha karya yang melekat di setiap jengkal kulitnya.

Mas Rudy terlihat indah. Dan aku tidak bisa menolak pesonanya.

Aku mengikuti naluri ku sebagai seorang laki-laki, di atas bimbingan mas Rudy yang terlihat sudah berpengalaman.

Aku tak berdaya menolaknya. Aku menginginkannya.

Dan untuk pertama kalinya dalam hidup, aku merasakan hal tersebut.

Merasakan sebuah sensasi keindahan dari ungkapan sebuah cinta yang mengalir indah di setiap denyut nadi ku.

Aku lepaskan semuanya. Semua rasa yang selama ini hanya aku pendam.

Dan aku merasakan kelegaan yang luar biasa, saat semuanya terungkap dengan sempurna.

Mas Rudy tersenyum. Aku tersenyum. Kami sama-sama tersenyum. Senyum yang penuh dengan kelegaan yang luar biasa.

"kamu hebat.." ucap mas Rudy.

"mas Rudy juga hebat.." balasku.

****

Kami terbangun ketika jam sudah menunjukkan pukul sepuluh pagi.

"mas Rudy gak kerja?" tanya ku, sambil melirik mas Rudy yang masih terbaring di samping ku.

"sudah jam sepuluh, Josh. Aku sudah mengabari asiten ku, kalau aku tidak masuk hari ini." balas mas Rudy.

"lalu sekarang kita ngapain?" tanyaku, "apa kita menginap lagi malam ini?" tanya ku lebih lanjut.

"terserah kamu, Josh. Aku ikut aja." balas mas Rudy lagi.

Aku terdiam. Tidak tahu harus memutuskan apa. Aku bisa saja mengabari mama, kalau aku tidak pulang lagi malam ini. Tapi...

"bagaimana kalau kita mandi dulu, habis itu kita cari makan di bawah." suara mas Rudy sedikit mengagetkan ku.

"iya, mas. Aku setuju. Aku juga merasa sangat lapar.." timpalku cepat.

Kami sama-sama bangkit, dan kemudian secara bergantian masuk ke kamar mandi untuk mandi.

Setelah itu, kami pun turun ke bawah menuju restoran yang ada di lantai dasar hotel tersebut.

"kamu suka karaoke?" tanya mas Rudy di sela-sela makan siang kami.

"gak terlalu suka sih. Emang kenapa?' balasku bertanya.

"di hotel ini kan juga ada tempat karaoke nya. Jadi untuk menghabiskan waktu, bagaimana kalau kita karaoke-an aja." tawar mas Rudy.

"terserah mas Rudy aja. Kali ini aku yang ngikut." balasku ringan.

"kalau begitu aku ke lobby dulu ya.." ucap mas Rudy kemudian.

"ngapain?" tanyaku heran.

"mau menyampaikan kepada petugas hotel, kalau kamarnya masih mau di pakai satu malam lagi." balas mas Rudy, dengan sedikit mengerlingkan mata.

"tapi aku belum membuat keputusan untuk itu, mas." ucapku spontan.

"aku sudah bisa menebak keputusan kamu, Josh." balas mas Rudy, sambil mulai melangkah menuju lobi hotel.

****

Ruangan tempat karaoke itu cukup luas untuk kami berdua. Ruangan tertutup yang hanya kami berdua di dalamnya.

Kami jadi sedikit punya privasi, untuk sekedar bermesraan, sambil kami menyanyikan lagu-lagu romantis. Walau hanya sekedar berpegangan tangan, atau membiarkan mas Rudy mengecup kening ku lembut sehabis menyanyikan sebuah lagu.

Aku merasa bahagia dengan semua itu. Aku merasa utuh, ketika bersama mas Rudy.

"makasih mas Rudy.." ucapku, ketika akhirnya kami kembali lagi ke kamar.

"aku yang harusnya makasih sama kamu, Josh. Kamu sudah melengkapi hidupku.." balas mas Rudy lembut.

"mas Rudy sudah membuatku jadi lebih berani untuk menjadi diriku yang sebenarnya.." ucapku lagi.

"aku sangat menyayangi mas Rudy. Aku harap mas tidak akan pernah meninggalkan ku." lanjutku penuh harap.

"aku tak akan pernah meninggalkan kamu, Josh. Aku sangat mencintai kamu. Kamu adalah laki-laki sempurna yang pernah hadir dalam hidupku. Aku tak akan melepaskan kamu, walau dengan alasan apa pun." ucap mas Rudy penuh perasaan.

Kami kembali menghabiskan malam itu dengan kebersamaan kami. Cinta yang hadir di hati kami, terasa begitu indah.

Cinta yang belum pernah aku rasakan sebelumnya. Cinta yang tidak bisa aku ungkapkan dengan kata-kata. Cinta yang tidak bisa dituliskan dengan kalimat apa pun. Karena hanya kami berdua yang bisa merasakannya.

Melebihi indahnya pelangi, melebihi tingginya gunung dan melampaui batas keindahan sebuah rasa.

Begitulah cinta seharusnya. Tanpa logika, tanpa batas dan tanpa memandang jenis kelamin.

Dan begitulah kisah cintaku bersama mas Rudy, yang terjalin karena kami sama-sama pernah dikhianati.

Terima kasih sudah menyimak kisah ini dari awal sampai akhir.

Semoga terhibur dan sampai jumpa lagi di cerita-cerita selanjutnya.

Salam sayang untuk kalian semua.

Muuaaach...

***

Cinta untuk pemuda desa

Namaku Andre. Dan aku adalah anak seorang pengusaha yang punya beberapa cabang toko barang harian.

Aku anak tunggal. Dan saat ini aku sedang kuliah semester akhir.

Papa ku memang punya beberapa cabang toko barang harian di beberapa daerah. Papa memang sudah menjadi pedagang sejak muda. Dan usahanya terus berkembang, hingga ia bisa membuka beberapa cabang.

Papa memang selalu rutin mengunjungi cabang-cabang tokonya, setidaknya dua kali dalam seminggu, untuk memeriksa catatan keuangannya. Meski pun pada setiap cabang tokonya, papa sudah punya orang kepercayaan untuk mengelola toko tersebut.

Sebenarnya papa juga sering mengajakku ikut dengannya, terutama saat aku tidak sedang kuliah. Tapi selama ini aku selalu menolak, karena aku memang tidak tertarik dengan dunia dagang.

Papa sudah memastikan bahwa aku adalah pewaris tunggal semua usahanya. Karena itu dia ingin aku belajar tentang usaha dagangnya tersebut. Namun aku belum memikirkan hal tersebut, aku belum merasa tertarik.

Hingga pada suatu kesempatan, papa akhrinya berhasil mengajak aku ikut dengannya, untuk melihat salah satu cabang tokonya di sebuah desa.

Desa itu memang cukup maju dan ramai, karena itu papa juga membuka cabang tokonya disana.

Aku dengan ogah-ogahan mengikuti keinginan papa kali ini. Setidaknya untuk membuat ia merasa senang.

"gitu, dong. Sekali-kali kamu ikut papa, biar kamu bisa sekalian belajar juga.." ucap papa di perjalanan kami.

Aku hanya diam. Aku enggan untuk berkomentar. Aku tidak suka berdebat dengan papa, terutama soal usahanya.

Aku memang belum pernah mengatakan secara langsung tentang ketidaktertarikan ku akan usaha papa. Namun aku yakin, dari sikap ku selama ini, papa sudah bisa menebak. Karena itu, dia selalu berusaha untuk mengajakku ikut dengannya.

Dan kali ini dia berhasil.

Kami sampai ke cabang toko papa sekitar jam sepuluh pagi. Aku dengan bermalasan ikut turun dari mobil.

Saat itulah aku melihat seorang pemuda yang sedang mengangkut barang dari sebuah mobil ke dalam toko. Pemuda itu tidak memakai baju, mungkin karena gerah.

Dia hanya memakai celana pendek yang sepertinya sengaja ia potong.

Pemuda itu berkulit sedikit gelap, namun terlihat kekar. Otot-otot lengannya menyembul saat ia memikul barang tersebut ke dalam toko.

Aku menatap pemuda itu lama dari belakang. Saat akhirnya dia keluar kembali dari toko dan menuju mobil lagi untuk mengangkut barang berikutnya.

Mata kami bertemu pandang, aku berusaha memasang senyum termanisku. Bukan untuk menggoda, hanya agar terlihat ramah. Pemuda itu bukannya membalas tersenyum, tapi malah memalingkan muka, seolah-olah tak melihat ku.

Aku berniat untuk mendekati pemuda tersebut, tapi suara papa memanggilku untuk masuk ke dalam toko.

Dengan langkah pelan aku memasuki toko tersebut, sambil terus memandangi pemuda berkulit gelap tadi.

Papa memperkenalkan ku pada Mang Rohim, orang kepercayaan papa untuk mengelola toko tersebut.

Mang Rohim sudah cukup tua, lebih tua dari papa. Tapi dia punya semangat kerja yang kuat dan juga sangat jujur. Karena itu papa masih mempercayainya.

"sebenarnya papa ingin mencari orang yang bisa menggantikan mang Rohim, tapi sampai saat ini papa belum menemukan orang yang cocok.." jelas papa padaku, ketika di perjalanan pulang.

Kami memang hanya sebentar di sana, karena harus menuju toko berikutnya.

Namun rasanya pikiran ku masih tertinggal di sana. Aku masih penasaran dengan pemuda gagah berkulit gelap yang aku lihat tadi.

Siapa laki-laki itu? bathin ku bertanya sendiri.

Dan bagaimanakah akhirnya aku bisa mengenal pemuda tersebut?

Mungkinkah aku bisa bertemu dia lagi?

Simak kisah ini sampai selesai ya...

Namun sebelumnya bla..bla...

*****

Dua hari kemudian, aku nekat mendatangi desa tempat salah satu toko papa tersebut, sendirian.

Aku masih penasaran dengan pemuda gagah berbadan gelap tersebut. Dua malam ini, pikiran ku selalu di hantui oleh wajah pemuda tersebut.

Aku selalu memikirkannya, yang membuatku jadi susah tidur.

Akh, apa yang aku rasakan sebenarnya?

Mungkin kah aku telah jatuh hati pada pandangan pertama?

Semudah itukah aku untuk jatuh cinta?

Berbagai pertanyaan terus menghantui pikiranku, yang membuatku akhirnya nekat untuk datang menemui pemuda tersebut.

Sesampai di sana, mang Rohim menyambutku. Aku beralasan kepada mang Rohim, kalau aku hanya mampir di toko sebentar.

Aku melihat pemuda itu sekali lagi, ia masih tak memperhatikanku.

"itu siapa, mang?" tanyaku akhirnya kepada mang Rohim, sambil menunjuk ke arah pemuda tersebut.

"oh, dia Akmal. Dia buruh angkut di toko ini, sekalian bantu-bantu saya untuk menyusun barang dagangan di dalam toko.." jelas mang Rohim.

Selain mang Rohim dan Akmal yang disebutkan mang Rohim tadi, juga ada dua karyawan lainnya yang bekerja di toko tersebut. Mereka sudah punya tugas masing-masing.

"apa dia pekerja baru?" tanya ku lagi.

"bukan. Akmal sudah lama bekerja dengan saya." jawab mang Rohim.

"dia asli orang sini?" aku bertanya kembali.

"iya. Dia pemuda sini. Rumahnya juga gak jauh dari sini.." jelas mang Rohim lagi.

Untuk selanjutnya aku hanya manggut-manggut, sambil mulai memikirkan bagaimana caranya mendekati pemuda tersebut.

"saya boleh pinjam dia sebentar mang Rohim?" ucapku tiba-tiba, setelah mendapatkan sebuah ide.

"pinjam? pinjam untuk apa?" tanya mang Rohim dengan wajah herannya, mendengarkan kalimat ku barusan.

"maksud ku, aku ingin minta tolong ditemani ke kota sebentar, nanti aku antar lagi Akmal kesini.." jelasku berusaha bersikap sewajar mungkin.

"ooo.." mang Rohim membulatkan bibir, "gak apa-apa. Hari ini juga gak ada barang datang, jadi Akmal tidak terlalu sibuk. Nak Andre bawa aja.." lanjut mang Rohim.

"tapi apa dia mau, mang?" tanyaku ragu.

Mang Rohim menyadari keraguanku. Dia pun berteriak memanggil pemuda tersebut yang berada di luar toko.

Pemuda itu bergegas mendatangi kami, ia melirik ku sekilas lalu berpaling muka lagi.

"ada apa, mang?" tanya pemuda itu. Untuk pertama kali nya aku mendengar suaranya. Maskulin. Macho. Indah.

"ini nak Andre, putranya pak Broto, pemilik toko ini." jelas mang Rohim. "dia minta tolong sama kamu, untuk menemaninya ke kota sebentar, nanti dia antar kamu lagi kesini.." lanjut mang Rohim.

Pemuda itu menatapku lagi, kali ini lebih lama.

"ngapain ke kota lagi? Bukannya kamu tadi juga dari kota?" pemuda itu bertanya padaku, suaranya sedikit sinis.

"aku.. aku hanya ingin menjemput sesuatu, tadi ketinggalan.." jelasku sedikit tergagap.

Pemuda itu tidak berkata lagi, tapi ia terus memutar tubuh dan melangkah keluar.

"sebenarnya dia pemuda yang baik. Tapi wataknya emang sedikit keras." mang Rohim berucap, setelah Akmal berada di luar toko.

"jadi pergi gak?" suara teriakan Akmal terdengar dari luar.

Aku segera melangkah ke luar. Akmal sudah menunggu di dekat mobil.

Aku membuka pintu dan masuk ke dalam mobil, dengan perasaan yang tak karuan.

Aku tidak tahu, apa ide ku ini layak aku teruskan atau aku harus berhenti sampai disini.

"ayok jalan.." suara Akmal mengagetkanku, ketika akhirnya dia duduk di sampingku.

Perasaanku semakin tak karuan. Dada ku berdebar hebat.

Akh, aku memang telah jatuh hati pada Akmal. Aku bisa merasakan hal itu.

Aku melirik sekilas ke arah Akmal, lalu mulai menghidupkan mesin mobil dan menjalankannya dengan perlahan.

Akmal memang tidak terlalu tampan. Tapi dia punya raut wajah yang tegas. Hidungnya bengir, tatapan matanya sendu, dagunya lancip dengan rahangnya yang kokoh.

Terlepas dari itu semua, postur tubuhnya yang gagah dan kekar itu lah yang membuat ku jatuh hati padanya.

"kenapa kamu gak pergi sendiri aja sih?" tanya Akmal memecah kesunyian, saat mobil sudah meninggalkan desa tersebut.

"kenapa kamu begitu angkuh?" aku bertanya, tanpa mempedulikan pertanyaannya barusan.

"saya angkuh?" balas Akmal dengan kening mengerut. "bukannya kamu yang angkuh? Anak orang kaya yang manja. Kebanyakan orang-orang kaya itu yang angkuh." lanjutnya dengan nada sinis.

"apa saya terlihat angkuh? Sejak pertama kali melihat kamu, aku berusaha tersenyum. Kamu malah memalingkan muka dariku." ucapku membalas.

"saya tidak suka direndahkan.." ucap Akmal datar.

"saya tidak merendahkan kamu. Saya hanya mencoba untuk ramah.." balasku sedikit sengit.

"biasanya orang-orang kaya yang datang ke tempat kami, selalu memandang orang seperti ku ini rendah..." balas Akmal tajam.

"tidak semua orang kaya seperti itu." balasku. "mungkin kamu nya aja yang berlebihan, atau kamu punya trauma berurusan dengan orang kaya?" lanjutku sedikit bertanya.

Kali ini Akmal terdiam. Dia terdengar menarik napas beberapa kali. Kemudian menghempaskannya dengan berat.

****

"kita mau kemana sebenarnya? kenapa dari tadi kita hanya keliling-keliling gak jelas?" suara Akmal berat.

Aku tidak bisa menjawab. Aku juga tidak tahu mau membawa Akmal kemana.

Tadi aku hanya berpikir untuk membawa nya berjalan-jalan sambil sedikit mengobrol. Aku memang berniat untuk mengenal Akmal lebih dekat.

Namun sikap angkuh Akmal cukup membuatku ragu. Aku tidak tahu harus memulai semuanya dari mana.

"kalau kamu tidak punya tujuan yang jelas, lebih baik kita kembali aja ke desa.." suara berat Akmal terdengar lagi.

"sebenarnya.. sebenarnya.. saya hanya pengen ngobrol sama kamu. Saya ingin mengenal kamu lebih dekat lagi." ucapku akhirnya memberanikan diri.

"sejak pertama melihat kamu waktu itu, aku jadi penasaran sama kamu.." lanjutku lagi.

"maksud kamu apa? Aku gak ngerti.." balas Akmal.

"yah, aku pengen kenal kamu lebih dekat. Mungkin kita bisa jadi teman?" ucapku kemudian.

"apa untungnya bagi kamu?" tanya Akmal, suaranya masih terdengar sinis.

"bisa gak, kamu memandang orang tidak dari sisi negatifnya?" tanyaku kasar, "saya gak cari keuntungan apa pun dengan berteman sama kamu.." lanjutku.

"wajar kan kalau aku berpikir negatif? Bukannya aneh, tiba-tiba saja kamu ingin berteman dengan orang seperti ku? Apa kamu sudah kekurangan stok teman di kota atau di kampus mu?" timpal Akmal cepat.

"mungkin aneh bagi kamu, tapi aku hanya mengikuti naluri ku sebagai... sebagai. .sebagai seorang laki-laki.." balasku kehabisan kata-kata. Aku hampir saja keceplosan.

"justru semakin aneh, kalau kamu mendekati ku sebagai laki-laki. Pertemanan seperti apa yang kamu harapkan dari orang seperti saya?" ucap Akmal.

"pertemana yang tidak memandang materi, pertemanan yang tidak memandang kasta, pertemanan yang tulus.." jawabku asal-asalan. Tapi justru dari situ aku jadi punya ide kalimat selanjutnya.

"aku memang punya banyak teman di kota atau pun di kampus, tapi rata-rata mereka mau berteman dengan ku, hanya karena aku anak orang kaya, seperti yang kau katakan tadi." lanjutku penuh keyakinan.

"lalu apa yang membuat kamu yakin, kalau aku tidak sama dengan mereka?" tanya Akmal.

"aku tidak yakin, tapi aku ingin mencobanya.." jawabku lugas.

Perlahan kalimat demi kalimat membuat kami menjadi dekat. Tanpa sadar, kami telah berbicara panjang lebar.

Aku kemudian, mengajak Akmal untuk singgah di sebuah kafe, untuk sekedar minum dan makan makanan ringan, sambil kami mengobrol.

Percakapan kami pun semakin panjang, walau Akmal masih terlihat menutup diri.

Dia belum mau bercerita lebih banyak tentang dirinya. Tapi setidaknya untuk saat ini, kami sudah mulai dekat.

Walau pun sepertinya, aku masih harus berjuang lebih keras lagi, untuk bisa menaklukkan hati seorang Akmal.

Bagaimanakah kelanjutan dari kisah ini?

Akankah Akmal mampu aku taklukkan?

Atau justru akhirnya kami semakin jauh?

Simak kisah selanjutnya di channel ini ya, atau bisa langsung di deskripsi video ini.

Terima kasih sudah menonton video ini sampai selesai, semoga terhibur.

Sampai jumpa lagi di video-video berikutnya, salam sayang untuk kalian semua..

****

Part 2

Hari-hari selanjutnya aku semakin sering menemui Akmal. Aku selalu mencari kesempatan untuk bisa datang ke desa nya.

Aku bahkan meminta papa untuk mempercaya kan cabang tokonya di desa itu kepada ku.

Papa dengan cukup berat pun akhirnya setuju, sehingga aku jadi punya banyak alasan dan kesempatan untuk datang menemui Akmal.

Walau pun setelah berbulan-bulan kami saling kenal, Akmal masih cukup tertutup padaku, terutama menyangkut cerita pribadi hidupnya.

Lalu mungkin kah aku bisa merebut hati Akmal, yang ternyata punya cerita tersendiri di masa lalunya?

Atau Akmal tetap akan bertahan dengan segala sikap cueknya padaku?

Simak kisah ini sampai selesai ya..

Namun sebelumnya bla..bla..

*****

"aku masih penasaran, kenapa kamu sangat sinis jika bertemu orang kaya?" tanya ku suatu hari pada Akmal, saat untuk kesekian kalinya aku datang menemuinya.

"aku punya masa lalu yang rumit dengan orang kaya, bang Andre.." ucap Akmal membalas. Akmal memang akhirnya memanggil ku bang, karena ternyata usianya masih muda tiga tahun dari ku.

"masa lalu yang rumit seperti apa?" tanya ku ingin tahu.

"panjang ceritanya, bang. Takutnya abang bosan mendengarkannya.." balas Akmal.

"kamu cerita aja, Mal. Aku siap kok mendengarkan cerita apa pun dari kamu.." ucapku yakin.

Aku memang merasa bahagia bisa dekat dengan Akmal. Aku selalu suka bercerita dengannya. Aku suka mendengarkan ia bercerita.

Dan dengan perasaan berat Akmal pun mulai menceritakan cerita perjalanan hidupnya dari masa lalu yang ia alami.

Dan beginilah kira-kira cerita Akmal padaku.

"namaku Akmal. Aku lahir dari keluarga yang sangat sederhana, bahkan boleh dibilang cukup miskin. Ayahku seorang buruh bangunan, dan ibu hanya seorang buruh cuci keliling. Kehidupan sangat pas-pasan. Karena itu aku hanya bisa sekolah hingga lulus SMP."

"aku anak kedua dari dua bersaudara. Kakak ku perempuan, hanya tiga tahun lebih tua dari ku. Kakak ku juga hanya lulusan SMP."

"ayahku meninggal pada sebuah kecelakaan kerja. Saat itu aku masih berusia 14 tahun. Dan tiga tahun kemudian, ibu ku pun meninggal, karena sakit jantung. Sejak saat itu, aku hanya tinggal berdua bersama kakakku."

"di usia kakak ku yang mulai beranjak dewasa, ia sempat berpacaran dengan seorang pemuda, anak seorang juragan kaya di desa kami. Hubungan mereka tidak di restui oleh orangtua pacar kakak ku. Bahkan mereka dengan sangat berani mendatangi rumah kami. Mereka menghina dan mencaci maki kami habis-habisan."

"mereka juga mengatakan kalau kakak ku hanya ingin mendapatkan harta mereka. Mereka tidak sudi punya menantu seorang gadis miskin seperti kakak ku."

"kami hanya bisa diam, mendengarkan semua penghinaan itu. Kami tidak bisa melawan. Meski hati kami sangat sakit dengan semua penghinaan itu."

"hubungan kakak ku dengan pacarnya pun berakhir. Dan sejak saat itulah aku paling benci orang kaya. Mereka tidak pernah bisa menghargai perasaan orang lain.."

Akmal menghempaskan napasnya berkali-kali, ketika akhirnya dia mengakhiri ceritanya.

Aku merasa trenyuh mendengar semua itu. Pantas saja, Akmal begitu acuh padaku saat pertama kali aku bertemu dengannya.

"tapi tidak semua orang kaya seperti itu, Akmal. Masih banyak kok orang kaya yang berhati baik.." ucapku akhirnya, setelah cukup lama terhanyut mendengar kisah pilu kehidupan Akmal.

"dulunya aku selalu berpikir, bahwa setiap orang kaya pasti berperilaku sama." ucap Akmal lemah, "namun semenjak aku mengenal bang Andre, penilaian ku berubah. Bang Andre baik, bahkan sangat baik padaku." lanjutnya lirih.

"aku akan selalu baik sama kamu Akmal. Karena kamu juga pemuda yang baik. Terus terang aku kagum sama kamu. Kamu kuat. Kamu tidak menyerah oleh kehidupan ini." ucapku tulus.

"kegagalan demi kegagalan yang membuat aku kuat, bang. Hidup memang keras, tapi aku harus lebih keras lagi." balas Akmal lugas.

"lalu bagaimana dengan kakak mu sekarang?" tanyaku kemudian.

"kakak ku sekarang bekerja jadi buruh cuci keliling. Dia sepertinya trauma untuk mengenal laki-laki. Kisah cintanya yang berakhir tragis, membuat ia selalu menutup diri akan kehadiran laki-laki dalam hidupnya." jelas Akmal.

"kamu seharusnya memberikan dukungan lebih pada kakak kamu." timpalku ringan.

"aku selalu memberikan dukungan untuk kakak ku. Aku selalu mendukung apa pun keputusan yang dia ambil dalam hidupnya.." balas Akmal.

****

Aku dan Akmal semakin dekat dan akrab. Hampir setiap hari kami selalu bersama. Berbagi cerita, bercanda dan tertawa bersama.

Aku merasa bahagia dengan semua itu. Kedekatanku dengan Akmal adalah jalan bagiku untuk bisa merebut hatinya.

"jadi selama ini kamu belum pernah pacaran?" tanyaku pada Akmal di suatu senja.

"semenjak aku mendengar penghinaan terhadap keluarga kami oleh orangtua pacar kakak ku, aku jadi ikut trauma untuk dekat-dekat dengan perempuan. Aku tidak ingin kejadian yang menimpa kakak ku, juga akan menimpa ku." jawab Akmal lirih.

"tapi sebagai laki-laki kamu secara fisik sangat menarik loh, Mal. Kamu juga cowok yang baik, rajin dan pekerja keras. Pasti banyak cewek-cewek yang suka sama kamu." ujarku pelan, sengaja memujinya.

"aku tidak pernah memikirkan hal itu, bang. Aku lebih fokus untuk bekerja. Aku harus bekerja keras, untuk mengangkat derajat hidup keluarga kami." balas Akmal.

"tapi kalau hanya bekerja sebagai buruh angkut, bagaimana hidup mu akan membaik?" ucapku hati-hati, takut Akmal akan tersinggung.

"yah, aku tahu. Tapi aku tidak ingin selamanya seperti ini. Aku ingin berubah. Hanya saja sampai saat ini, hanya pekerjaan inilah yang bisa aku lakukan." balas Akmal sedih.

"mang Rohim, orang kepercayaan papa di toko, sudah lama ingin berhenti dari pekerjaannya. Namun papa belum menemukan orang yang tepat untuk menggantikannya. Jadi aku menawarkan pada papa, untuk kamu bisa menggantikan posisi mang Rohim. Agar kamu bisa punya penghasilan yang lebih." ucapku kemudian.

"kenapa bang Andre begitu baik padaku?" tanya Akmal, setelah untuk beberapa saat ia terdiam, mendengarkan kalimatku barusan.

"kamu orang yang baik, Akmal. Kamu rajin dan jujur. Aku rasa kamu adalah orang yang tepat untuk bisa menggantikan mang Rohim." balasku pelan.

"itu bukan alasan, mengapa bang Andre begitu baik padaku. Aku tahu, niat bang Andre baik. Tapi aku tidak ingin terjebak dengan entah permainan apa yang sedang bang Andre mainkan saat ini." suara Akmal serak.

"maksud kamu apa?" tanyaku penasaran.

"aku memang orang kampung dan miskin, bang. Tapi aku bukan orang bodoh. Aku yakin, ada alasan lain, yang membuat bang Andre begitu baik padaku. Meski aku tidak tahu pasti apa itu." jawab Akmal masih dengan suara serak.

"aku hanya ingin membantu kamu, Akmal. Tidak ada niat apa-apa dibalik itu semua. Meski jujur saja, aku memang menyukai kamu. Aku mengagumi kamu. Dan bahkan mungkin aku telah jatuh cinta padamu. Bahkan sejak pertama kali aku melihat kamu." ucapku berusaha untuk jujur.

"tapi aku cukup sadar, kalau kamu jelas tidak mungkin akan punya perasaan yang sama denganku. Karena itu, aku hanya memendamnya selama ini. Tapi itu bukan alasanku untuk membantu kamu. Aku membantu kamu murni hanya karena aku ingin hidupmu berubah." lanjutku lagi menjelaskan.

"apa yang membuat bang Andre menyukai saya? Saya hanya seorang pemuda kampung yang miskin. Saya tidak punya apa-apa untuk di cintai." suara Akmal pilu.

"kamu punya banyak hal untuk di cintai, Mal. Kamu tampan dan gagah. Kamu juga baik, rajin dan jujur." balasku penuh perasaan, mengungkapkan kekagumanku padanya.

"tapi aku hanya lelaki miskin, bang Andre." ucap Akmal lemah.

"kamu jangan merendahkan dirimu sendiri seperti itu, Mal. Aku tidak pernah menilai seseorang dari materi. Aku suka laki-laki yang bekerja keras, bukan laki-laki manja yang hanya mengharapkan harta orangtuanya." suaraku pelan.

"apa yang bisa aku berikan untuk cinta yang begitu besar dari bang Andre. Aku tidak punya apa-apa, bang." suara Akmal lemah.

"kamu punya hati yang besar untuk dicintai, Mal. Dan aku ingin masuk ke dalamnya. Menatap disana untuk selamanya." balasku puitis.

"sekali pun aku bisa mencintai bang Andre seperti bang Andre mencintaiku. Kita juga tidak mungkin bisa bersama, bang. Karena kita berjenis kelamin sama. Tidak ada yang bisa menerima hubungan seperti itu. Tidak satu pun. Dan terutama dari orangtua bang Andre sendiri." Akmal berucap lagi, kali ini sangat pelan, aku hampir tak mendengarnya.

"bukankah cinta itu hak setiap orang, Mal. Siapa pun berhak untuk jatuh cinta. Tak peduli kepada siapa pun rasa cinta itu jatuh, sekali pun ia jatuh pada sesama jenisnya." ucapku ringan.

"iya, aku tahu. Aku memang belum pernah pacaran, tapi bukan berarti aku belum pernah jatuh cinta. Aku pernah jatuh cinta pada seorang gadis di desa ku ini, tapi aku hanya bisa memendamnya. Seperti yang aku katakan, aku merasa trauma untuk dekat-dekat dengan seseorang." balas Akmal.

"lalu apa kamu juga takut? Untuk belajar mencintaiku?" tanyaku kemudian.

"entahlah, bang. Seandainya saja bang Andre bukan laki-laki, mungkin aku akan memberanikan diri untuk mencobanya." balas Akmal.

"tapi kita tetap bisa berteman kan, Mal? Meski kamu sudah tahu siapa aku sebenarnya?" tanyaku lagi.

"kita akan tetap berteman, bang. Tapi aku tidak bisa berjanji, kalau hubungan kita akan bisa berkembang lebih lanjut lagi. Selain karena taraf kehidupan kita yang berbeda, kita juga sejenis, bang. Terlalu banyak resiko yang harus kita hadapi ke depannya, jika kita tetap nekat bersama." jawab Akmal lugas.

"aku siap menanggung resiko apa pun, Mal. Aku siap kehilangan segalanya, jika itu adalah harga yang harus aku bayar untuk bisa bersama kamu." ucapku tulus.

"bang Andre gak usah berlebihan. Aku tak pantas untuk mendapatkan itu semua, bang. Aku bukanlah orang yang tepat, untuk bisa menerima semua pengorbanan bang Andre. Bukan saja karena kita sejenis, tapi juga karena kita berbeda kasta." balas Akmal lemah.

"kamu jangan pernah membandingkan cinta dengan materi, Mal. Itu adalah dua hal yang berbeda. Jika aku mencintai seseorang, aku tak akan peduli dengan status sosialnya." ucapku yakin.

"aku tidak akan memaksa kamu, Mal. Untuk bisa mencintaiku. Tapi aku ingin kita tetap berteman. Hanya itu." lanjutku lagi.

Kali ini Akmal hanya terdiam. Dia menatap keremangan senja. Dan aku semakin mengagumi sosok indah itu. Begitu sempurna. Sesempurna cintaku padanya.

*****

Part 3

Setahun akhirnya berlalu, aku sudah lulus kuliah. Dan aku akhirnya menerima tawaran papa untuk mewarisi usahanya. Bukan karena aku benar-benar tertarik akan hal itu, tapi karena aku ingin selalu bersama Akmal. Meski pun sampai saat ini, Akmal masih belum membuka hatinya untukku.

Dan mungkinkah Akmal akan bisa membuka hatinya untukku?

Mungkinkah aku akan mampu merebut hatinya?

Simak kisah ini sampai selesai ya..

Namun sebelumnya bla..bla..

*****

Aku memang berhasil membujuk Akmal untuk menerima tawaran ku. Sekarang Akmal sudah jadi orang kepercayaanku di toko.

Hidupnya juga sudah mulai membaik.

Kakak perempuannya juga akan segera menikah dengan seorang laki-laki yang juga berasal dari desa itu.

"makasih, bang Andre. Abang sudah sangat banyak membantu ku selama ini." ucap Akmal suatu ketika.

"kamu jangan terlalu memikirkan hal tersebut, Akmal. Sudah seharusnya aku melakukan hal tersebut untuk kamu. Kamu pantas mendapatkannya." balasku.

"lalu bagaimana dengan bang Andre sendiri? Apa yang bisa aku lakukan untuk bang Andre?" tanya Akmal terdengar serius.

"kamu tidak perlu melakukan apa pun, Mal. Aku sudah cukup bahagia dengan hanya menjadi sahabatmu. Aku bahagia, bisa melewati hari-hari bersamamu." balasku pelan.

"apa bang Andre masih mau memberikan aku kesempatan, untuk bisa menjalin hubungan yag lebih dari sekedar sahabat dengan ku?" tanya Akmal tiba-tiba, setelah untuk sesaat ia terdiam.

"pertanyaannya bukan itu, Mal. Tapi apa kamu sudah siap untuk menjalin hubungan yang lebih dari sekedar sahabat dengan ku?" tanyaku membalas.

"apa aku punya pilihan lain, bang? Kebaikan bang Andre selama ini, sudah lebih dari cukup untuk membuktikan bahwa betapa bang Andre sangat sayang padaku. Dan aku tidak bisa lagi mengabaikan hal itu. Bukan saja karena aku ingin mencobanya, tapi juga karena hatiku sepertinya sudan mulai terbuka untuk bang Andre.." jawab Akmal panjang lebar, yang membuatku sedikit menyunggingkan senyum.

Tiba-tiba saja rasa bahagia mengalir indah di hatiku mendengar kalimat Akmal barusan.

Sekian lama aku menunggu semua itu. Sekian lama aku menanti pintu hati Akmal bisa terbuka untukku. Dan sekarang sepertinya semua itu akan menjadi nyata.

"kamu yakin, Mal?" tanyaku lebih kepada meyakinkan diri ku sendiri.

"aku yakin, bang. Aku akan mencobanya. Meski sejujurnya aku masih merasa ragu dengan perasaanku sendiri. Karena itu aku ingin mencobanya. Aku ingin tahu, apakah yang aku rasakan saat ini adalah cinta atau hanya karena aku merasa kasihan.." balas Akmal.

"kamu tidak perlu merasa kasihan padaku, Mal. Aku baik-baik saja. Meski jujur saja, aku memang sangat berharap bisa memiliki mu lebih dari sekedar sahabat." timpalku pelan.

"mungkin lebih tepatnya, bukan perasaan kasihan, bang. Tapi mungkin karena aku merasa sudah berhutang budi banyak pada bang Andre." balas Akmal cepat.

"apa pun alasan kamu untuk mencobanya, Mal. Aku ingin kamu melakukannya dari hati, bukan karena terpaksa.." ucapku kemudian.

"iya, bang Andre. Aku ingin mencobanya dan itu adalah dari hatiku yang terdalam." balas Akmal terdengar yakin.

"jadi mulai saat ini, kita bukan lagi hanya sekedar sahabat. Kita pacaran? Dan apa itu masih terdengar aneh bagimu?" tanyaku ragu.

"sejujurnya memang terdengar aneh sih, bang. Tapi sepertinya aku memang harus membiasakan diri akan hal itu. Aku akan belajar, bang. Tapi aku ingin semuanya pelan-pelan saja." balas Akmal lagi.

"iya, Mal. Aku juga gak mau buru-buru. Kita lewati saja semuanya apa adanya. Dan biarkan perasaan kita berkembang dengan kebersamaan kita." ucapku lagi.

****

Dan begitulah akhirnya, aku dan Akmal pun menjalin hubungan asmara. Namun hubungan kami tetaplah hanya sebuah rahasia. Tidak ada yang tahu, kecuali kami berdua.

Aku sengaja membeli rumah di desa tempat tinggal Akmal, untuk kami bisa menikmati waktu berdua dengan bebas.

Hampir setiap malam kami bersama. Memadu kasih, berbagi cerita dan saling bermesraan. Layaknya sepasang kekasih yang sedang di mabuk cinta. Indah.

Aku merasa bahagia dengan semua itu. Aku semakin mencintai Akmal. Aku semakin takut kehilangan dirinya.

Akmal yang tampan, gagah dan kekar. Sungguh aku merasa bangga bisa memilikinya. Aku curahkan seluruh cintaku untuknya. Aku berikan semua yang aku miliki untuknya. Aku serahkan jiwa raga ku padanya. Aku pasrahkan hidupku padanya.

Cintaku untuk pemuda desa yang tampan begitu sempurna. Dan Akmal pun telah menyerahkan seluruh hatinya padaku.

"semakin hari, aku semakin mencintai bang Andre. Aku semakin sayang sama bang Andre. Aku harap kita tetap bisa bersama selamanya. Aku harap bang Andre tidak akan pernah meninggalkanku." ucap Akmal suatu malam padaku, ketika untuk kesekian kalinya kami bersama.

"aku tidak akan pernah meninggalkan kamu Akmal. Tidak akan pernah! Sekali pun dunia ini tidak lagi membutuhkan cinta, aku akan mencintai kamu Akmal, selalu dan selama-lamanya." jawab ku puitis, tulus dari hatiku yang terdalam.

"lalu bagaimana dengan masa depan bang Andre sendiri?" tanya Akmal kemudian.

"maksud kamu?" tanyaku tak mengerti.

"sebagai anak tunggal dan merupakan pewaris satu-satunya usaha papa bang Andre, tentunya orangtua bang Andre sangat ingin bang Andre untuk segera menikah dan punya keturunan, itu merupakan keinginan yang wajar dari setiap orangtua, apa lagi bang Andre adalah anak satu-satunya mereka." jelas Akmal dengan nada sedikit lemah.

"kita tidak usah membicarakan hal itu saat ini, Mal. Lebih baik kita nikmati saja kebersamaan kita. jangan rusak keindahan cinta kita, dengan memikirkan sesuatu yang belum tentu terjadi.." balasku ringan.

"tapi hal itu pasti akan terjadi suatu saat nanti, bang. Dan kita tidak bisa memungkiri hal itu." ucap Akmal lagi.

"kalau memang hal itu harus terjadi, kita akan pikirkan hal itu nanti, Mal. Namun saat ini aku mohon padamu, untuk kita tetap menikmati kebersamaan kita. Jangan usik kebahagiaanku saat ini, Mal." ucapku pelan, sambil dengan lembut mengusap pipi Akmal.

Akmal memegang tanganku, menariknya lembut dan kemudian mengecupnya dengan hangat.

Aku tersenyum penuh kebahagiaan. Rasanya hal sesederhana itu saja sudah mampu membuatku melayang.

Perlahan kami pun saling mendekat. Mencoba menikmati malam kami, untuk kesekian kalinya.

Dan hal itu selalu terasa indah bagiku. Akmal memang laki-laki yang luar biasa. Dia selalu mampu membawaku terbang dalam angan mimpi yang sempurna.

Aku selalu di buatnya terbuai dan terlena, hingga aku lupa akan semua persoalan dunia. Yang ada hanya aku dan Akmal.

Tak sedetik pun waktu yang terlewatkan, tak tersisa. Semuanya ditelan keindahan. Raga ku menyerah. Pasrah. Ku biarkan Akmal mendapatkan semuanya.

Ku biarkan dia dan aku menyatu. Berlari beriringan, tak ingin saling mendahului. Tak ingin saling melepaskan.

Hingga semua impian kami malam itu tercapai. Bersamaan. Berdua. Dan itu terasa sangat indah. Begitu indah. Seindah cinta yang terus berkembang di hati kami.

*****

Begitulah hari-hari yang kami lalui bersama. Kami bahagia dengan cinta kami. Kami tidak ingin terpisah lagi.

Hingga hampir setahun hubungan kami terjalin. Tidak pernah ada masalah apa pun di antara kami.

Semuanya berjalan dengan indah. Bahkan terlalu indah untuk diungkapkan dengan kata-kata.

Namun hubungan indah kami sepertinya mulai mendapatkan sandungan.

Ya, berawal dari keinginan mama dan papa ku yang menginginkan aku untuk segera menikah.

"kami ingin menikmati masa tua kami sambil menimang cucu, Ndre." begitu ucap mama beralasan untuk aku segera menikah.

"tapi aku masih 27 tahun, Ma. Aku masih belum memikirkan hal itu untuk saat ini." timpalku.

"usia 27 tahun itu sudah matang loh, Ndre. Kamu juga sudah punya pekerjaan yang mapan. Kamu mau tunggu apa lagi. Kalau kamu kesulitan mencari pendamping hidup, mama ada calon buat kamu." ucap mama lagi.

"saya gak suka di jodohkan, Ma. Saya masih bisa mencari pasangan saya sendiri." balas ku sedikit sengit.

"tapi nyatanya sampai saat ini, kamu belum pernah memperkenalkan satu perempuan pun pada mama." balas mama cepat.

"kan udah saya bilang, Ma. Untuk saat ini saya belum memikirkan hal itu. Saya masih butuh waktu, Ma. jadi mama dan papa sabar ya.." ucapku akhirnya.

"mama akan beri kamu waktu, Ndre. Tapi jika dalam satu tahun ini, kamu belum juga menemukan pasangan kamu, mama akan ambil tindakan sendiri." ucap mama tegas.

Setelah berkata demikian, mama pun pergi meninggalkan ku sendirian.

Tiba-tiba saja aku menjadi dilema. Sungguh sebuah pukulan yang berat bagiku.

Aku tak ingin menikah dengan siapa pun, kecuali dengan Akmal, orang yang sangat aku cintai saat ini.

Namun siapa yang bisa menerima hubungan kami? Tidak seorang pun yang akan menyetujuinya, apa lagi mama dan papa. Mereka pasti akan menghujatku, jika mereka tahu, kalau aku menjalin hubungan asmara bersama Akmal.

Tapi aku tidak bisa mencintai siapa pun lagi, kecuali Akmal. Hatiku sudah dipenuhi oleh namanya. Dan aku tidak ingin menggantikannya dengan siapa pun.

*****

Part 4

Aku sungguh berada di dalam dilema yang nyata. Aku berada dalam pilihan yang sulit.

Antara tetap bertahan dengan hubungan terlarang ku bersama Akmal, dengan resikonya aku akan menjadi anak yang durhaka.

Atau mengikuti keinginan orangtuaku untuk segera menikah, dengan resikonya aku akan kehilangan Akmal, orang yang paling aku cintai.

Bagaimanakah akhir dari kisah ku ini?

Mampukah kami mempertahankan hubungan kami?

Atau kah kami akan terpisahkan oleh keadaan?

Simak kelanjutan kisah ini sampai selesai ya...

Namun sebelumnya bla.. bla...

****

"bukankah dulu, aku pernah mengatakan hal ini pada bang Andre. Tapi bang Andre tak pernah menganggapnya serius. Dan sekarang semuanya terjadi kan?" ucap Akmal, ketika akhirnya aku menceritakan semuanya padanya.

"aku terlalu mencintai kamu, Mal. Karena itu, aku tidak ingin memikirkan hal tersebut. Aku hanya ingin menikmati kebersamaan kita. Tapi sekarang, aku justru jadi bingung." balasku lemah.

"bang Andre gak perlu bingung. Bang Andre turuti saja kemauan orangtua bang Andre. Aku gak apa-apa, kok. Aku siap berbagi bang Andre dengan istri bang Andre nantinya." ucap Akmal.

"masalahnya bukan itu, Mal. Aku yang tidak siap hidup bersama orang lain. Aku hanya ingin hidup bersama kamu selamanya." balasku pilu.

"tapi kita sama-sama tahu, bang. Hal itu jelas tidak mungkin. Kita memang saling mencintai, tapi kita tidak mungkin menyatu secara utuh. Jadi lebih baik, abang menikah saja. Karena pada akhirnya aku juga bakalan nikah, bang. Karena itu adalah kodrat kita sebagai laki-laki." ucap Akmal.

"tidak ada keharusan bagi kita untuk hidup sesuai dengan kodrat itu, Mal. Kita sebenarnya bebas memilih jalan hidup kita sendiri." ucapku tanpa sadar.

"lalu bang Andre mau nya gimana?" tanya Akmal.

"aku ingin kita pergi dari sini, Mal. Aku ingin kita pergi ke luar negeri, dimana kita bisa bebas menjadi diri kita sendiri. Dan kita bebas untuk menjalin hubungan kita.." ucapku akhirnya, setelah untuk beberapa saat kami terdiam.

"itu bukan pilihan yang tepat, bang. Bagaimana dengan orangtua bang Andre? Mereka pasti akan sangat kehilangan bang Andre. Dan aku tidak ingin menjadi orang yang berusaha memisahkan seorang anak dari orangtua nya." ucap Akmal lemah.

Kali ini aku terdiam. Benar-benar terdiam.

Apa yang dikatakan Akmal memang benar adanya. Tapi aku tidak ingin menikah dengan siapa pun. Aku hanya ingin hidup berdua bersama Akmal.

"cinta tidak seharusnya membuat kita buta, bang. Cinta tidak boleh egois. Kita harus lebih berlapang dada untuk menerima semua ini." Akmal berucap lagi.

"aku juga sangat mencintai bang Andre. Tapi aku tidak ingin menjadi orang yang egois dengan memiliki bang Andre seutuhnya. Seandainya saja, kita tidak sejenis, bang. Aku akan melakukan apa saja, agar kita tetap bisa bersama." lanjut Akmal.

"kalau kamu memang benar-benar mencintaiku, Mal. Harusnya kamu marah karena aku akan menikah, bukan malah mendukung." ucapku tiba-tiba, entah apa maksud dari ucapan itu.

"apa bang Andre mau, aku datang ke rumah orangtua bang Andre dan melamar bang Andre? seperti yang dilakukan seorang laki-laki kepada orang yang dicintainya." timpal Akmal sedikit sengit.

"jika itu bisa membuktikan, bahwa betapa aku mencintai bang Andre, aku akan melakukannya." lanjutnya tegas.

"bukan itu maksud ku, Mal. Aku juga gak mau orangtua ku tahu tentang hubungan kita, itu merupakan hal sangat memalukan. Tapi apa kamu gak ingin menerima tawaran ku, untuk kita pindah ke luar negeri?" balasku ringan.

"aku ingin, bang. Tapi apa abang tidak memikirkan perasaan orangtua abang? Hal itu terlalu besar resikonya, bang. Dan aku takut, pilihan itu pada akhirnya akan menghancurkan hidup kita." timpal Akmal lagi.

"hidup kita sudah terlanjur hancur, Mal." suara ku serak. Aku merasakan mata ku memerah. Perih sekali rasanya hatiku.

"belum, bang. Hidup kita belum hancur. Kita masih punya pilihan lain." ucap Akmal.

"pilihan apa yang kita punya saat ini, Mal?" tanyaku dengan nada lirih. Aku merasakan setetes air hangat mengalir di pipi ku tiba-tiba.

"bang Andre menikah, dan kita tetap bersama. Itu pilihannya, bang. Pilihan yang tidak menyakiti siapaa pun." ucap Andre, suaranya ikut serak.

"tapi itu menyakiti kita berdua, Mal.." aku berujar sambil mengusap pipi ku sendiri, berusaha menghapus tetesan air mata ku yang terus mengalir.

"itulah cinta, bang. Tingkat tertinggi dari mencintai adalah merelakan. Kita memang terluka, tapi kita tidak saling menyakiti. Dan itu jauh lebih baik, dari pada harus mengorbankan hubungan bang Andre dengan orangtua bang Andre." balas Akmal, terdengar sangat bijak.

Dan aku tersentuh. Jika Akmal yang bahkan jauh lebih muda dari ku bisa berpikiran seperti itu, kenapa aku masih begitu bersikeras untuk mempertahankan ego ku.

****

Mama memperkenalku dengan Jeni, gadis yang akan dijodohkan denganku.

Aku memang akhirnya harus menerima permintaan mama, meski hatiku sakit karenanya.

Aku tidak ingin berdebat lagi dengan mama, soal jodoh. Aku pasrah.

Mungkin memang sudah jalannya seperti ini. Aku sudah tidak bisa menghindarinya lagi.

Dan aku juga sudah punya perjanjian dengan Akmal. Walau sebenarnya kami berdua tidak bisa menerima semua itu.

Seperti yang Akmal katakan, kami memang terluka tapi setidaknya kami tidak saling menyakiti.

Dan sebenarnya begitulah kisah cinta dalam dunia pelangi. Tidak ada yang akan bertahan lama. Bukan karena mereka tidak saling mencintai, tapi hubungan seperti itu memang tidak bisa diterima oleh siapa pun.

Namun aku sungguh beruntung mendapatkan Akmal. Dia sangat penuh pengertian. Dan aku tidak akan pernah meninggalkannya.

"jadi seminggu lagi bang Andre akan menikah?" tanya Akmal suatu malam, saat kami kembali bertemu untuk kesekian kalinya.

Aku hanya mengangguk ringan menjawab pertanyaan itu. Hati ku sakit mendengarnya.

Sejak aku bertunangan dengan Jeni. Hubungan kami memang agak sedikit meredup. Kami jadi jarang tertawa. Kami lebih banyak menghabiskan waktu dengan saling berdiam diri.

Kami takut, setiap kata yang keluar, hanya akan memancing rasa sakit di hati kami. Hanya akan mengingatkan kami, akan sebuah perpisahan.

"kita akan tetap bersama, Mal. Aku akan selalu ada untukmu. Kamu tetap yang pertama bagiku." ucapku akhirnya dengan nada lirih.

"iya, aku tahu, bang. Aku hanya ingin memastikan seberapa besar sebenarnya luka yang aku rasakan saat ini." ucap Akmal lagi, suaranya parau.

"kamu jangan berkata seperti itu, Mal. Aku sakit mendengarnya." balasku ikut parau.

"kita sudah janji, tidak akan membahas hal ini lagi, Mal." lanjutku lagi.

"iya, bang. Aku minta maaf. Mungkin memang untuk sementara kita tidak usah bertemu dulu. Setidaknya sampai kita benar-benar bisa menerima semua kenyataan ini." balas Akmal, masih dengan suara parau.

"tapi aku masih ingin terus bersama kamu, Mal." ucapku pilu.

"aku mohon, bang. Kalau bang Andre memang benar-benar mencintaiku, biarkan untuk sementara aku sendiri dulu.." ucap Akmal sedikit memohon.

Aku jadi tidak tega mendengarnya. Karena itu aku pun menyetujui permintaan Akmal tersebut.

Apa lagi, aku juga butuh waktu untuk mempersiapkan pernikahanku.

Kami pun memutuskan untuk tidak bertemu sementara waktu.

*****

Sejak pertemuan terakhir itu aku tidak pernah lagi bertemu Akmal. Dia juga tidak datang pada pesta pernikahanku.

Aku coba memakluminya. Mungkin dia tidak sanggup untuk menghadiri pesta pernikahanku.

Namun seminggu setelah pernikahanku, aku mencoba mendatangi desa Akmal.

Aku mendatangi toko, Akmal tidak ada di sana.

Menurut keterangan salah seorang pekerja toko, Akmal sudah berhenti dan mengundurkan diri.

Aku coba datangi rumahnya, menurut keterangan kakaknya, Akmal sudah pergi dari rumah lebih dari seminggu yang lalu.

Ketika ku tanya kemana Akmal pergi, kakaknya juga tidak tahu.

"Akmal pergi tiba-tiba, tanpa penjelasan. Dia hanya mengatakan akan mengadu nasib ke kota lain.." begitu penjelasan kakak Akmal padaku. Aku tidak berani bertanya lebih lanjut.

Berkali-kali aku coba menghubungi ponsel Akmal, tapi tidak pernah aktif.

Sepertinya Akmal memang sengaja pergi. Dia sengaja menghindariku. Dia sengaja meninggalkanku.

Aku merasa terluka menyadari semua itu.

Mengapa Akmal harus memilih jalan itu?

Mengapa dia harus pergi?

Dia pergi tanpa meninggalkan pesan apa pun, yang membuatku semakin bingung.

Dan sejak saat itu, hubunganku dengan Akmal pun berakhir begitu saja. Tanpa ada kata putus, tanpa ada kata perpisahan.

Aku tidak pernah bertemu Akmal lagi, sejak saat itu.

Dan begitulah akhir kisahku bersama seorang pemuda kampung yang tampan dan gagah itu.

Cinta semusim. Seperti banyak yang terjadi dalam dunia percintaan sesama jenis.

Indah. Berkesan. Namun selalu berakhir dengan menyakitkan.

Terima kasih sudah menyimak kisah ini sampai selesai.

Semoga terhibur, sampai jumpa lagi pada kisah-kisah selanjutnya.

Salam sayang untuk kalian semua.

*****

Cari Blog Ini

Layanan

Translate