Kisah cinta dua cowok hetero

Nama ku Joshua. Biasa orang-orang memanggilku Josh. Saat ini aku sedang kuliah semester enam.

Aku seorang laki-laki hetero. Aku punya pacar seorang perempuan bernama Tyas. Kami pacaran sudah bertahun-tahun.

Namun karena suatu kejadian, tiba-tiba saja aku menjadi seseorang yang berbeda.

Seseorang yang aku sendiri bahkan tidak kenal. Tapi, mungkin itulah jati diri ku yang sebenarnya.

Bagaimanakah kisah ku ini terjadi?

Dan siapa kah aku sebenarnya?

Simak kisah ini dari awal sampai selesai ya...

Namun sebelumnya.. bla..bla..

****

Aku duduk sendiri di sebuah bangku taman, sambil menatapi kendaraan yang ramai berlalu lalang di jalan raya. Taman itu memang berada di pinggiran sebuah jalan raya di tengah-tengah kota.

Pikiran ku menerawang, mengingat kembali kisah cinta ku yang harus kandas. Kisah cinta ku yang harus berakhir dengan cukup menyakitkan bagiku.

Bagaimana tidak, aku dan pacarku, Tyas, sudah menjalin hubungan lebih dari tiga tahun. Hubungan kami sangat serius, terutama bagiku.

Bahkan hubungan kami juga sudah diketahui oleh kedua keluarga besar kami. Semua keluarga sangat mendukung hubungan kami.

Aku juga sangat merasa bahagia, menjalin hubungan bersama Tyas. Aku bangga memilikinya. Aku sangat mencintai Tyas.

Tapi ternyata hubungan indah itu harus berakhir. Bukan karena aku tidak lagi mencintainya. Tapi sebaliknya, ternyata perasaan Tyas padaku telah berubah.

Tyas berubah semenjak ia mengenal salah seorang sahabatku, Dony.

Dony adalah sahabat kecil ku dulu. Dari SD hingga SMP, aku dan Dony memang sangat dekat.

Namun saat SMA, Dony terpaksa pindah untuk ikut bersama keluarganya ke kota lain. Sejak saat itu, aku tidak pernah bertemu Dony lagi.

Namun beberapa tahun kemudian, kami bertemu kembali. Kebetulan kami kuliah di kampus yang sama.

Aku pacaran dengan Tyas, sejak kami sama-sama di kelas 3 SMA, hingga kami juga sama-sama kuliah di kampus yang sama. Hanya saja jurusan kami berbeda. Tyas di informatika sedangkan aku mengambil jurusan teknik.

Dan ternyata Dony juga kuliah di kampus yang sama dengan kami, dan kebetulan juga ia satu jurusan dengan Tyas.

Pertemuanku kembali bersama Dony, membuat kami kembali menjadi dekat dan akrab. Dony juga tahu, kalau Tyas adalah pacarku.

Namun entah bagaimana caranya, aku akhirnya mengetahui kalau Dony dan Tyas menjalin hubungan secara diam-diam di belakang ku.

Aku sakit mengetahui itu semua. Aku kecewa. Patah.

Meski pun Tyas bukan cinta pertama ku, namun dia adalah pacar pertama ku yang aku benar-benar serius dengannya.

Sebelumnya aku memang pernah pacaran, namun hanya sekedar cinta monyet. Tapi dengan Tyas,aku benar-benar merasakan telah jatuh cinta.

Namun apa yang bisa aku lakukan, jika Tyas sendiri tidak bisa merasakan hal tersebut. Dia lebih memilih untuk mengkhianatiku. Dan yang paling menyakitkan dari itu semua, dia selingkuh dengan sahabatku sendiri.

Aku sudah memutuskan hubungan ku dengan Tyas dan juga sudah memutuskan persahabatan ku dengan Dony. Aku benci mereka berdua saat ini.

Aku sakit. Marah. Kecewa. Dan hampir putus asa.

"ngelamun aja dari tadi, mas?!" sebuah suara mengagetkan ku. Suara laki-laki. Parau.

Aku menoleh ke arah samping kiri ku. Seorang laki-laki sudah duduk di sampingku. Laki-laki itu berwajah putih dan mulus. Bersih.

"kamu siapa?" tanyaku spontan. Aku memang belum pernah melihat laki-laki tersebut.

"apa itu penting?" suara parau itu berucap lagi.

"penting. Karena kamu sudah mengajak aku ngobrol dari awal." timpal ku.

"saya hanya tidak suka melihat orang yang buang-buang waktu hanya untuk melamun.." pungkas laki-laki yang ku perkirakan sudah berusia sekitar 30 tahun itu.

"lalu kamu sendiri apa yang kamu lakukan disini?" tanya ku.

"menikmati hidup.." balas laki-laki itu terlihat santai.

"saya juga sedang menikmati hidup dengan cara saya, dan tiba-tiba saja kamu mengusik semua itu." ujar ku sedikit protes.

"kamu tidak sedang menikmati hidup, kamu sedang menikmati luka mu.." balasnya.

"kenapa kamu menyimpulkan seperti itu?" tanyaku.

"sangat kelihatan sekali, kalau kamu sedang marah, kecewa dan dari tadi juga kamu mengumpat gak jelas sendirian. Saya tebak, kamu pasti baru saja putus cinta.." ucap pemuda itu.

"itu bukan urusan mu!" suara ku sedikit meninggi.

"itu berarti tebakan ku benar, dong.." balas laki-laki itu, sambil tersenyum menang.

"oke, kamu benar. Lalu apa urusan mu?" ucapku sengit.

"saya hanya mencoba untuk menghibur." timpal laki-laki itu, masih terdengar sangat santai.

"kita tak saling kenal. Untuk apa kamu menghibur ku?" tanyaku lagi.

"karena aku tahu persis, bagaimana rasa sakitnya putus cinta. Dan aku juga tahu, bagaimana caranya agar rasa sakit itu bisa sembuh dengan cepat.." jawab laki-laki itu lagi.

Kami terdiam beberapa saat, sepertinya aku kehabisan kata-kata untuk membalas ucapan laki-laki tersebut.

"kamu siapa sih sebenarnya?" tanya ku akhirnya,

"nama ku Rudy. Panggil aja mas Rudy, karena saat ini aku sudah berusia hampir kepala tiga." jawab laki-laki itu, sambil mengulurkan tangan.

Aku dengan sedikit ragu, pun menjabat tangan laki-laki yang mengaku bernama mas Rudy itu.

"Joshua, panggil aja Josh." ucapku menyebutkan nama ku.

Mas Rudy menjabat tangan ku lama, saat aku hendak melepaskan tangan ku dia masih menahannya, sambil ia menatap ku dengan senyum yang sedikit aneh.

"maaf.." ucapnya, setelah akhirnya ia melepaskan tangan ku.

Entah mengapa tiba-tiba saja perasaan ku menjadi tak karuan. Aku gelisah.

"kalau boleh saya tahu, apa yang membuat wajah tampan mu itu menjadi begitu murung?" ucap mas Rudy tiba-tiba.

Aku semakin merasa tak karuan, untuk pertama kalinya dalam hidupku, seorang laki-laki yang baru aku kenal memuji ku.

"kita baru saja saling kenal, tak etis rasanya kalau aku bercerita tentang sesuatu yang sedikit pribadi.. " balas ku berusaha bersikap tenang.

"kata orang, salah satu cara untuk mengurangi beban di hati adalah dengan bercerita." ucap mas Rudy lagi.

Aku menarik napas dalam, luka itu masih terasa sangat sakit di hatiku. Aku memang butuh tempat untuk bercerita.

Selain Dony, aku tidak punya teman dekat lagi. Biasanya kalau aku lagi ada masalah, pasti Tyas atau Dony lah tempat aku bercerita.

Tapi sekarang mereka berdua telah mengkhianatiku. Aku jadi kehilangan segalanya. Bukan saja cinta, tapi juga sahabat.

Setelah mempertimbangkan beberapa hal, aku pun memutuskan untuk bercerita kepada mas Rudy. Selain karena aku memang butuh tempat untuk mencurahkan segala rasa sakit ku, aku juga berpikir, tak ada salahnya menceritakan hal tersebut kepada mas Rudy.

Meski pun kami baru saja saling kenal, tapi mas Rudy kelihatannya adalah orang baik, dan juga sudah sangat dewasa.

Dan aku pun menceritakan semua kisah ku bersama Tyas dan Dony, kepada mas Rudy, orang yang baru saja kenal beberapa jam yang lalu.

Dan aku merasa ada sedikit kelegaan setelah menceritakan itu semua.

*****

"perempuan memang begitu.." ucap mas Rudy, saat aku selesai menceritakan kisah ku padanya.

"maksud mas Rudy?" tanyaku mulai terasa akrab.

"iya. Perempuan itu egois, mereka tak pernah benar-benar memikirkan perasaan laki-laki yang mencintainya." jawab mas Rudy menjelaskan.

"apa mas Rudy pernah juga disakiti oleh perempuan?" tanya ku lagi, sekedar ingin tahu.

"sering.." balas mas Rudy. "tapi itu dulu, sebelum akhirnya aku memutuskan untuk tidak pernah pacaran dengan perempuan lagi." lanjutnya.

"maksudnya, mas?" tanyaku penasaran.

"aku sudah terlalu teramat sering dikhianati perempuan. Aku jera. Aku menutup hati ku untuk kehadiran seorang perempuan pun dalam hidupku. Aku tidak ingin dikhianati lagi. Karena itu aku akhirnya memutuskan untuk berpacaran dengan sesama laki-laki.." cerita mas Rudy menjawab pertanyaan ku barusan.

"jadi mas Rudy ini seorang homo?" tanyaku meyakinkan.

"boleh di bilang begitu. Tapi itu terjadi, karena aku sudah jera menjalin hubungan dengan perempuan." jawab mas Rudy lugas.

Pantas! Pikirku. Dia dengan begitu berani mendekati ku.

"biasanya kalau kita sudah di khianati oleh perempuan satu kali, maka untuk selanjutnya kita akan selalu di khianati.." ucap mas Rudy tiba-tiba, melihat keterdiamanku.

"mas jangan menakut-nakuti ku..." balas ku spontan.

"saya tidak menakut-nakuti kamu. Saya hanya berbicara realita. Seperti yang pernah saya alami." timpal mas Rudy cepat.

Aku terdiam kembali. Tidak tahu harus berbicara apa lagi. Saat ini pikiranku memang sedang kacau. Dan pernyataan mas Rudy barusan cukup membuatku semakin kacau.

"kamu gak usah khawatir. Kalau kamu butuh teman untuk bercerita, saya siap kok mendengarkan semua cerita kamu. Dan saya juga siap menemani kamu, dalam masa penyembuhan luka mu itu." ucap mas Rudy lagi.

"tapi aku masih normal, mas." ucapku tegas.

"kamu tenang aja. aku gak bakal ngapain-ngapain kamu, kok. Aku hanya ingin menghibur kamu. Kita bisa jadi teman kan?" balas mas Rudy ringan.

Dan begitulah awal pertemuan ku dengan mas Rudy, laki-laki homo yang datang pada saat yang tepat.

Dia datang pada saat aku sedang patah hati. Dia datang pada saat kepercayaan ku pada perempuan memudar.

Lalu bagaimana kah hubungan ku dengan mas Rudy selanjutnya?

Apakah mas Rudy mampu mengobati luka di hatiku?

Mungkinkah ia mampu mengubah sesuatu dalam diriku?

Sesuatu yang sebenarnya sudah ada sejak lama di dalam diriku.

Simak kisah selanjutnya di channel ini ya, atau bisa langsung klik link nya di deskripsi video ini.

Terima kasih sudah menonton video ini sampai selesai, semoga terhibur.

Sampai jumpa lagi pada video-video berikutnya, salam sayang untuk kalian semua.. Muach..

****

Part 2

Mas Rudy semakin rajin menghubungi ku. Aku memang sengaja memberikan nomor handphone ku padanya. Entah mengapa, aku jadi sedikit tertarik untuk mengenal mas Rudy.

Mungkin karena mas Rudy juga sangat baik padaku. Ia juga mampu sedikit menghiburku.

Seperti yang aku katakan ia datang di saat yang tepat.

Ia datang di saat hatiku benar-benar rapuh. Dan mas Rudy juga terlihat sangat berpengalaman dalam mendekati seorang laki-laki seperti ku.

Bagaimanakah kisah ku bersama mas Rudy selanjutnya?

Mungkinkah ia berhasil menarik perhatianku?

Mungkinkah akan terjadi sesuatu di antara kami berdua?

Dan bagaimana pula kisah mas Rudy di masa lalunya?

Simak kisah ini sampai selesai ya..

Namun sebelumnya bla..bla..

*****

"masih galau?" tanya mas Rudy suatu hari padaku.

Saat itu kami bertemu kembali di taman tempat pertama kali kami bertemu.

"gak juga sih, mas. Saya sedang berusaha untuk melupakan masa lalu.." jawab ku pilu.

"gitu dong. Move on.." balas mas Rudy dengan gaya enerjik nya.

"itu kan berkat mas Rudy juga..." balasku datar.

"kamu gak nyesal kan mengenal aku?" ucap mas Rudy.

"ya, gak lah, mas. Mas Rudy orangnya baik dan cukup menghibur." balasku jujur.

Untuk kesekian kalinya mas Rudy menatapku dengan tatapan anehnya. Aku mengerti maksud tatapan itu. Aku merasa sedikit geli sebenarnya, tapi entah mengapa aku justru menyukainya.

"mas Rudy cerita dong, tentang masa lalunya.." ucapku memecah keheningan.

"tak ada yang menarik tentang kisahku, Josh. Kisah hidupku terlalu biasa. Aku lahir dan tumbuh sebagai laki-laki biasa." ucap mas Rudy.

"aku anak kedua dari empat bersaudara. Kecuali adik bungsu ku yang perempuan, kami bertiga semuanya laki-laki. Ayahku seorang karyawan swasta dan ibu ku hanya ibu rumah tangga biasa. Kehidupan kami secara ekonomi boleh di bilang cukup baik."

"saat ini, aku satu-satunya yang belum menikah dari kami empat bersaudara. Jadi aku masih tinggal bersama kedua orangtua ku. Aku bekerja di sebuah bank swasta, sudah bertahun-tahun. Setidaknya sejak aku lulus kuliah."

"saat SMA, aku pernah pacaran dengan adik kelasku, namanya Neni. Dia gadis yang cantik. Namun hubungan kami hanya bertahan dalam hitungan bulan, karena ternyata Neni sudah mengkhianatiku."

"ketika kuliah aku juga pernah pacaran dengan seorang gadis manis teman kampus ku, namanya Julia. Kami pacaran hingga dua tahun. Namun kemudian aku mengetahui kalau Julia sedang selingkuh dengan seorang teman dekat ku."

"aku kecewa dan merasa sakit hati. Tapi aku segera melupakan semuanya dan lebih berfokus pada kuliahku. Aku tidak ingin memikirkan perempua lagi saat itu."

"sampai akhirnya aku lulus kuliah, dan bekerja di bank. Aku kemudian bertemu Tina. Seorang gadis cantik, yang saat itu masih kuliah. Kami dekat dan akhirnya pacaran. Kami pacaran hanya selama setahun, karena akhirya untuk kesekian kalinya aku dikhianati oleh seorang perempuan."

"aku terluka. Marah. Kecewa dan putus asa. Aku tidak percaya lagi pada yang namanya perempuan. Mereka semuanya egois. Padahal aku selalu berusaha untuk setia kepada mereka. Tapi mengapa aku selalu di khianati?"

"sejak saat itulah aku memutuskan untuk tidak lagi pacaran dengan perempuan. Aku mulai mengenal dunia gay, awalnya aku hanya ingin coba-coba. Tapi ternyata lama kelamaan aku justru merasa nyaman."

"aku memang tidak pernah pacaran serius dengan laki-laki. Aku hanya berhubungan atas dasar suka sama suka, dan hanya sekedar cinta satu malam. Tapi aku sangat menikmati semua itu. Aku tak lagi merasakan sakit. Aku tak pernah dikhianati. Semua berjalan dengan indah. Tidak ada lagi kekecewaan dan tidak lagi keterikatan. Aku menikmati hidupku saat ini." cerita mas Rudy panjang lebar padaku.

"lalu apa mas Rudy gak kepikiran untuk menikah?" tanyaku akhirnya, setelah kami terdiam beberapa saat.

"untuk saat ini belum, Josh. Aku masih sangat menikmati kebebasan ku." jawab mas Rudy mantap.

*****

Aku dan mas Rudy semakin dekat dan akrab. Perlahan aku pun semakin bisa melupakan tentang Tyas, mantan pacarku yang telah mengkhianati ku itu.

Entah mengapa, tiba-tiba saja aku merasa nyaman saat bersama mas Rudy. Aku jadi sering memikirkannya sekarang, setidaknya sebagai pengalihan atas ingatan ku akan pengkhianatan Tyas dan Dony.

Karena semakin sering memikirkannya, aku juga jadi sering rindu padanya. Kami pun jadi semakin sering bertemu.

"berbulan-bulan kita saling kenal dan dekat, tapi aku belum pernah mendengar cerita kehidupan kamu, Josh. Kecuali cerita cinta kamu yang gak penting itu." ucap mas Rudy, saat untuk kesekian kalinya kamu bertemu. Kali ini kami bertemu di sebuah kafe.

"apa lagi yang aku ceritakan, mas?" tanya ku datar.

"apa saja, terutama tentang keluarga kamu misalnya.." balas mas Rudy.

Aku pun kemudian menceritakan cerita ini.

Namaku Joshua, biasa di panggil Josh. Aku kuliah. Aku anak ketiga dari tiga bersaudara. Kakak pertama ku perempuan, sudah menikah dan sudah punya dua orang anak. Kakak kedua ku laki-laki, sudah bekerja dan baru setahun menikah.

Papa ku seorang pengusaha yang sukses, sedangkan ibu ku hanya seorang ibu rumah tangga biasa. Secara ekonomi kehidupan kami cukup mapan. Apa lagi saat ini, hanya aku satu-satunya yang belum bekerja.

Sebenarnya kehidupan ku berjalan dengan normal, sama seperti kebanyakan manusia lainnya. Aku jatuh cinta, aku juga pacaran dengan perempuan. Sampai pengkhianatan itu terjadi, yang membuat aku jadi patah semangat.

"lalu kemudian aku bertemu mas Rudy, orang yang telah mampu menghiburku saat ini.." ucapku mengakhiri cerita ku.

"jadi aku hanya penghibur nih?" ucap mas Rudy dengan nada bercanda nya.

"kalau bukan penghibur, lalu apa lagi, mas?" tanya ku.

"jadi pacar, kek.." balas mas Rudy masih terdengar bercanda.

"ya gak mungkin lah, mas. Aku kan masih normal." timpalku cepat.

"kan gak ada salahnya di coba, Josh. Siapa tahu kamu nyaman." balas mas Rudy, mulai terdengar serius.

Aku menarik napas sejenak. Sekedar menenangkan hatiku yang tiba-tiba saja berdebar hebat.

"aku gak tahu ya, mas ke depannya seperti apa. Tapi jujur saja, aku memang mulai merasa nyaman saat bersama mas Rudy." ucapku mencoba untuk jujur dengan apa yang aku rasakan saat ini.

"itu baru jadi teman loh, Josh. Kamu udah nyaman. Apa lagi kalau sampai kamu merasakan sesuatu yang belum pernah kamu rasakan sebelumnya..." ujar mas Rudy terdengar sangat serius.

"maksudnya, mas?" tanyaku penasaran.

"susah untuk dijelaskan, Josh. Akan lebih baik kalau kita mencobanya langsung." jawab mas Rudy.

"aku takut, mas." ucapku kemudian.

"apa yang kamu takutkan?" tanya mas Rudy.

"aku takut, mas Rudy sama aja seperti Tyas atau perempuan lain yang hanya memanfaatkanku. Aku takut, mas Rudy malah pergi, saat aku sudah terlanjur sayang.." ucapku lemah.

"kamu tak perlu takut akan hal itu, Josh. Aku jamin, aku akan selalu setia untukmu." balas mas Rudy terdengar sangat yakin.

****

"aku takut, mas." ucapku pelan.

Saat itu kami berada di sebuah kamar hotel. Aku memang sengaja menyetujui ajakak mas Rudy untuk bertemu kali ini di hotel.

"udah, kamu gak usah takut. Kamu ikuti saja semua naluri yang kamu rasakan saat ini." balas mas Rudy lembut.

"tapi aku belum pernah seperti ini sebelumnya loh, mas." suara ku masih pelan.

"iya, aku tahu. Makanya kamu harus mencobanya. Nanti kalau kamu memang gak suka, kamu bisa bilang, kok. Dan kita tidak perlu melanjutkannya lagi." ucap mas Rudy, sambil mulai mendekati ku.

"mas Rudy pasti sudah sering ya melakukan hal ini?" tanyaku sekedar menghilangkan debaran di dadaku, yang tiba-tiba saja bergetar hebat.

"sering sih gak. Tapi pernah sih beberapa kali.." jawab mas Rudy terdengar jujur.

"berarti mas Rudy sudah berpengalaman?" tanya ku lagi, melihat mas Rudy semakin mendekat.

"gak juga. Lagi pula bukankah hal itu tidak perlu pengalaman apa pun, untuk melakukannya. Kita ikuti saja naluri yang ada." balas mas Rudy, kian mendekat.

Kamar hotel itu tidak terlalu luas. Di dalamnya hanya ada satu tempat tidur untuk dua orang, sebuah meja kecil, kamar mandi, dan sebuah televisi di bagian atas meja.

Aku belum pernah masuk hotel, apa lagi sampai menginap di dalamnya. Dan hal itu cukup membuatku sedikit tidak nyaman. Apa lagi saat ini, aku berada di dalam kamar hotel, bersama seorang laki-laki.

Aku masih merasa cukup aneh dengan semua itu. Namun kalimat demi kalimat yang di lontarkan mas Rudy, seakan mampu membiusku untuk mengikuti semua keinginannya.

Selain karena aku saat ini memang sedang rapuh, karena baru saja di khianati oleh orang yang aku cintai, aku juga merasa nyaman saat bersama mas Rudy.

Dan sebenarnya aku juga penasaran dengan hal tersebut.

Karena itu lah aku akhirnya menerima tawaran mas Rudy tadi di handphone, untuk mengajak ku menginap di hotel.

Dan di sini lah kami sekarang. Di dalam sebuah kamar hotel. Hanya kami berdua. Aku dan mas Rudy.

Mas Rudy masih terus berusaha mendekati dan membujukku. Sementara hatiku sendiri masih ragu.

Berbagai perasaan terus berperang di benakku. Takut. Malu. Penasaran dan seakan menginginkannya.

Lalu apakah yang terjadi malam itu, antara aku dan mas Rudy?

Mampukah aku menolak rayuan dan bujukan dari mas Rudy?

Atau justru aku semakin terlarut di dalamnya, dan membiarkan diriku terjebak dalam dunia yang masih asing bagiku?

Simak kisah selanjutnya di channel ini ya, atau bisa langsung di deskripsi video ini.

Terima kasih sudah menonton video ini sampai selesai. semoag terhibur.

Sampai jumpa lagi pada video-video berikutnya, salam sayang untuk kalian semua.. muaaach..

*****

Part 3

Aku memejamkan mata, menarik napas beberapa kali. Berusaha menenangkan pikiranku.

Jantungku berdebar hebat. Tubuhku bergetar. Aku merasa linglung.

Sementara mas Rudy terus berusaha mendekati ku.

"ayolah, Josh. Kita coba.." suara mas Rudy berat, "kamu pasti gak nyesal, kok." lanjutnya sedikit mendesah.

"aku... aku... masih takut, mas. Aku gak nyaman.. " ucapku akhirnya.

Mas Rudy tiba-tiba saja menyentuh pundak ku dengan kedua tangannya. Ia berdiri di hadapan ku. Mata kami saling tatap. Kami hanya berjarak, beberapa jengkal lagi.

Aku semakin merasa tak karuan. Berbagai perasaan menghantui pikiranku.

Takut. Malu. Penasaran dan seakan menginginkannya.

Lalu apakah yang terjadi malam itu, antara aku dan mas Rudy?

Mampukah mas Rudy membujukku untuk mengikuti keinginannya malam itu?

Simak kisah lanjutan ini sampai selesai ya.

Namun sebelumnya .. bla... bla...

*****

"maaf, mas Rudy. Aku gak bisa.." pungkas ku sedikit kasar, sambil mendorong tubuh mas Rudy dengan repleks.

Mas Rudy sedikit terhuyung ke belakang. Dia tampak terkejut.

"maaf, mas. Tapi aku harus pergi. Aku gak bisa terus disini." ucapku lagi, tanpa pedulikan reaksi keterkejutan mas Rudy.

"kamu mau kemana, Josh." sergah mas Rudy.

"aku mau pulang, mas.." jawabku cepat.

"tapi ini sudah jam sebelas malam, Josh.." ucap mas Rudy lagi.

Aku tak mempedulikannya lagi.

Aku segera melangkah menuju pintu. Membukanya kemudian berjalan dengan cepat keluar.

Pikiran ku benar-benar kacau.

Apa yang telah aku lakukan? Bathin ku.

Dengan sedikit terburu, aku menuju keluar hotel, memesan taksi dan berniat untuk pulang.

Tapi aku justru meminta taksi itu untuk berhenti di depan sebuah bar. Pikiran ku kacau. Aku tak ingin pulang, tapi aku juga tidak tahu harus kemana.

Aku memasuki bar itu dengan ragu. Seumur hidup baru kali ini aku masuk kesini.

Tapi aku benar-benar butuh sesuatu yang bisa membuatku tenang.

Aku memesan minuman, dan duduk di sudut ruangan sendirian.

Aku menenggak minumanku beberapa kali dengan cepat.

Pikiranku kembali mengingat mas Rudy, yang aku tinggalkan sendirian di hotel.

Aku tak benar-benar tahu, apa yang aku rasakan saat ini. Aku memang merasa nyaman saat bersama mas Rudy. Tapi aku tak ingin mengakui itu. Aku malu. Akumalu pada diriku sendiri.

Aku yang dulunya menyukai perempuan, tiba-tiba saja merasa tertarik dengan mas Rudy. Dan bagiku itu semua masih terasa aneh.

Aku belum siap memasuki dunia itu, dunia yang berbeda dari yang aku jalani selama ini.

Tapi aku juga tidak bisa memungkuri perasaanku sendiri, kalau aku sebenarnya menginginkan mas Rudy. Aku menginginkan hal yang lebih darinya.

Aku meneguk minuman terakhir ku. Kepala ku rasanya mau pecah. Bayangan wajah mulus mas Rudy masih terus menghantui ku.

Aku melangkah keluar dari bar itu, memanggil taksi, dan meminta si sopir untuk menuju hotel tempat mas Rudy aku tinggalkan tadi.

****

Aku mengetuk pintu kamar hotel itu beberapa kali. Sebelumnya akhirnya pintu itu terbuka.

Seraut wajah manis mas Rudy menyambutku dengan senyum keheranan.

"kamu dari mana, Josh?" tanya mas Rudy, sambil membuka pintu lebih lebar.

Aku tidak menjawab pertanyaan itu, aku melangkah masuk.

Menatap mas Rudy yang menutup dan mengunci pintu kamar. Mas Rudy sudah tidak memakai baju, ia hanya memakai celana boxer hitam.

Dadanya terlihat bidang, otot lengannya menyembul. Sungguh sosok laki-laki yang atletis, di balik wajahnya yang begitu mulus dan manis.

"kamu dari mana?" mas Rudy mengulang pertanyaannya.

"apa itu penting?" tanyaku balik.

"penting bagiku, Josh. Kamu pergi begitu saja, kemudian tiba-tiba kamu kembali lagi, dengan keadaan sedikit mabuk." balas mas Rudy, sambil ia duduk di sampingku, di sisi ranjang.

"dari mana mas Rudy tahu, kalau aku sedikit mabuk?" tanyaku spontan.

"aku bisa menciumi aroma napas mu, Josh. Dan aku bukan anak kemarin sore, yang tidak bisa membedakan, mana kondisi orang normal dengan orang yang habis minum." jawab mas Rudy.

"aku memang habis minum, mas. Aku panik. Mungkin aku butuh sedikit bantuan, untuk bisa berkata jujur kepada mas Rudy." ucapku ringan.

"kamu tidak perlu mengatakan apa pun, Josh. Aku juga tidak akan memaksa mu." balas mas Rudy.

"tapi aku perlu mengatakan ini, mas. Aku harus mengatakan bahwa sebenarnya ... sebenarnya... aku juga mencintai mas Rudy.... Aku tidak tahu, entah kapan perasaan itu tumbuh. Hanya saja, aku selalu merasa nyaman saat bersama mas Rudy. Aku selalu ingin bertemu mas Rudy. Dan ... dan aku... juga menginginkan mas Rudy malam ini." ucapku akhirnya, meski dengan sedikit terbata.

Mas Rudy terlihat tersenyum menatapku. Dan senyum itu terlihat sangat indah di mataku.

"apa hanya malam ini?" tanya mas Rudy, dengan sedikit mengerlingkan mata.

"malam ini dan selama-lamanya, mas. Aku ingin kita menjadi sepasang kekasih, bukan hanya sekedar sahabat.." ucapku penuh keyakinan.

"aku juga sangat menginginkan hal itu, Josh. Bahkan sudah sejak lama." balas mas Rudy penuh perasaan.

Perlahan wajah kami pun kian mendekat. Kali ini hati ku kembali berdebar hebat. Bukan lagi karena malu, takut atau penasaran, tapi karena aku menginginkannya.

"aku belum pernah melakukan hal ini, mas.." suara ku pelan, sebelum baybir kami benar-benar bertemu.

"aku tahu.." bisik mas Rudy, "karena itu kita akan mencobanya.." lanjutnya masih berbisik.

"tapi aku tidak tahu, bagaimana melakukannya, mas." ucapku lagi.

"kamu ikuti saja naluri mu, Josh. Hal-hal semacam ini, tidak perlu pengalaman apa pun. Biarkan semuanya mengalir apa adanya." jelas mas Rudy.

Aku terdiam. Memejamkan mata. Menahan napas. Dan aku pun mersakan sebuah suntuhan lembut di baybir ku.

Sebuah suntuhan perasaan yang belum pernah aku rasakan sebelumnya. Dengan repleks aku membelas.

Dua hati kami pun menyatu malam itu. Terasa indah. Aku pun terbuai dalam lautan keindahan cinta yang mas Rudy persembahkan padaku.

Cinta mas Rudy terlalu indah. Terlalu sempurna. Sesempurna ukiran maha karya yang melekat di setiap jengkal kulitnya.

Mas Rudy terlihat indah. Dan aku tidak bisa menolak pesonanya.

Aku mengikuti naluri ku sebagai seorang laki-laki, di atas bimbingan mas Rudy yang terlihat sudah berpengalaman.

Aku tak berdaya menolaknya. Aku menginginkannya.

Dan untuk pertama kalinya dalam hidup, aku merasakan hal tersebut.

Merasakan sebuah sensasi keindahan dari ungkapan sebuah cinta yang mengalir indah di setiap denyut nadi ku.

Aku lepaskan semuanya. Semua rasa yang selama ini hanya aku pendam.

Dan aku merasakan kelegaan yang luar biasa, saat semuanya terungkap dengan sempurna.

Mas Rudy tersenyum. Aku tersenyum. Kami sama-sama tersenyum. Senyum yang penuh dengan kelegaan yang luar biasa.

"kamu hebat.." ucap mas Rudy.

"mas Rudy juga hebat.." balasku.

****

Kami terbangun ketika jam sudah menunjukkan pukul sepuluh pagi.

"mas Rudy gak kerja?" tanya ku, sambil melirik mas Rudy yang masih terbaring di samping ku.

"sudah jam sepuluh, Josh. Aku sudah mengabari asiten ku, kalau aku tidak masuk hari ini." balas mas Rudy.

"lalu sekarang kita ngapain?" tanyaku, "apa kita menginap lagi malam ini?" tanya ku lebih lanjut.

"terserah kamu, Josh. Aku ikut aja." balas mas Rudy lagi.

Aku terdiam. Tidak tahu harus memutuskan apa. Aku bisa saja mengabari mama, kalau aku tidak pulang lagi malam ini. Tapi...

"bagaimana kalau kita mandi dulu, habis itu kita cari makan di bawah." suara mas Rudy sedikit mengagetkan ku.

"iya, mas. Aku setuju. Aku juga merasa sangat lapar.." timpalku cepat.

Kami sama-sama bangkit, dan kemudian secara bergantian masuk ke kamar mandi untuk mandi.

Setelah itu, kami pun turun ke bawah menuju restoran yang ada di lantai dasar hotel tersebut.

"kamu suka karaoke?" tanya mas Rudy di sela-sela makan siang kami.

"gak terlalu suka sih. Emang kenapa?' balasku bertanya.

"di hotel ini kan juga ada tempat karaoke nya. Jadi untuk menghabiskan waktu, bagaimana kalau kita karaoke-an aja." tawar mas Rudy.

"terserah mas Rudy aja. Kali ini aku yang ngikut." balasku ringan.

"kalau begitu aku ke lobby dulu ya.." ucap mas Rudy kemudian.

"ngapain?" tanyaku heran.

"mau menyampaikan kepada petugas hotel, kalau kamarnya masih mau di pakai satu malam lagi." balas mas Rudy, dengan sedikit mengerlingkan mata.

"tapi aku belum membuat keputusan untuk itu, mas." ucapku spontan.

"aku sudah bisa menebak keputusan kamu, Josh." balas mas Rudy, sambil mulai melangkah menuju lobi hotel.

****

Ruangan tempat karaoke itu cukup luas untuk kami berdua. Ruangan tertutup yang hanya kami berdua di dalamnya.

Kami jadi sedikit punya privasi, untuk sekedar bermesraan, sambil kami menyanyikan lagu-lagu romantis. Walau hanya sekedar berpegangan tangan, atau membiarkan mas Rudy mengecup kening ku lembut sehabis menyanyikan sebuah lagu.

Aku merasa bahagia dengan semua itu. Aku merasa utuh, ketika bersama mas Rudy.

"makasih mas Rudy.." ucapku, ketika akhirnya kami kembali lagi ke kamar.

"aku yang harusnya makasih sama kamu, Josh. Kamu sudah melengkapi hidupku.." balas mas Rudy lembut.

"mas Rudy sudah membuatku jadi lebih berani untuk menjadi diriku yang sebenarnya.." ucapku lagi.

"aku sangat menyayangi mas Rudy. Aku harap mas tidak akan pernah meninggalkan ku." lanjutku penuh harap.

"aku tak akan pernah meninggalkan kamu, Josh. Aku sangat mencintai kamu. Kamu adalah laki-laki sempurna yang pernah hadir dalam hidupku. Aku tak akan melepaskan kamu, walau dengan alasan apa pun." ucap mas Rudy penuh perasaan.

Kami kembali menghabiskan malam itu dengan kebersamaan kami. Cinta yang hadir di hati kami, terasa begitu indah.

Cinta yang belum pernah aku rasakan sebelumnya. Cinta yang tidak bisa aku ungkapkan dengan kata-kata. Cinta yang tidak bisa dituliskan dengan kalimat apa pun. Karena hanya kami berdua yang bisa merasakannya.

Melebihi indahnya pelangi, melebihi tingginya gunung dan melampaui batas keindahan sebuah rasa.

Begitulah cinta seharusnya. Tanpa logika, tanpa batas dan tanpa memandang jenis kelamin.

Dan begitulah kisah cintaku bersama mas Rudy, yang terjalin karena kami sama-sama pernah dikhianati.

Terima kasih sudah menyimak kisah ini dari awal sampai akhir.

Semoga terhibur dan sampai jumpa lagi di cerita-cerita selanjutnya.

Salam sayang untuk kalian semua.

Muuaaach...

***

Cinta untuk pemuda desa

Namaku Andre. Dan aku adalah anak seorang pengusaha yang punya beberapa cabang toko barang harian.

Aku anak tunggal. Dan saat ini aku sedang kuliah semester akhir.

Papa ku memang punya beberapa cabang toko barang harian di beberapa daerah. Papa memang sudah menjadi pedagang sejak muda. Dan usahanya terus berkembang, hingga ia bisa membuka beberapa cabang.

Papa memang selalu rutin mengunjungi cabang-cabang tokonya, setidaknya dua kali dalam seminggu, untuk memeriksa catatan keuangannya. Meski pun pada setiap cabang tokonya, papa sudah punya orang kepercayaan untuk mengelola toko tersebut.

Sebenarnya papa juga sering mengajakku ikut dengannya, terutama saat aku tidak sedang kuliah. Tapi selama ini aku selalu menolak, karena aku memang tidak tertarik dengan dunia dagang.

Papa sudah memastikan bahwa aku adalah pewaris tunggal semua usahanya. Karena itu dia ingin aku belajar tentang usaha dagangnya tersebut. Namun aku belum memikirkan hal tersebut, aku belum merasa tertarik.

Hingga pada suatu kesempatan, papa akhrinya berhasil mengajak aku ikut dengannya, untuk melihat salah satu cabang tokonya di sebuah desa.

Desa itu memang cukup maju dan ramai, karena itu papa juga membuka cabang tokonya disana.

Aku dengan ogah-ogahan mengikuti keinginan papa kali ini. Setidaknya untuk membuat ia merasa senang.

"gitu, dong. Sekali-kali kamu ikut papa, biar kamu bisa sekalian belajar juga.." ucap papa di perjalanan kami.

Aku hanya diam. Aku enggan untuk berkomentar. Aku tidak suka berdebat dengan papa, terutama soal usahanya.

Aku memang belum pernah mengatakan secara langsung tentang ketidaktertarikan ku akan usaha papa. Namun aku yakin, dari sikap ku selama ini, papa sudah bisa menebak. Karena itu, dia selalu berusaha untuk mengajakku ikut dengannya.

Dan kali ini dia berhasil.

Kami sampai ke cabang toko papa sekitar jam sepuluh pagi. Aku dengan bermalasan ikut turun dari mobil.

Saat itulah aku melihat seorang pemuda yang sedang mengangkut barang dari sebuah mobil ke dalam toko. Pemuda itu tidak memakai baju, mungkin karena gerah.

Dia hanya memakai celana pendek yang sepertinya sengaja ia potong.

Pemuda itu berkulit sedikit gelap, namun terlihat kekar. Otot-otot lengannya menyembul saat ia memikul barang tersebut ke dalam toko.

Aku menatap pemuda itu lama dari belakang. Saat akhirnya dia keluar kembali dari toko dan menuju mobil lagi untuk mengangkut barang berikutnya.

Mata kami bertemu pandang, aku berusaha memasang senyum termanisku. Bukan untuk menggoda, hanya agar terlihat ramah. Pemuda itu bukannya membalas tersenyum, tapi malah memalingkan muka, seolah-olah tak melihat ku.

Aku berniat untuk mendekati pemuda tersebut, tapi suara papa memanggilku untuk masuk ke dalam toko.

Dengan langkah pelan aku memasuki toko tersebut, sambil terus memandangi pemuda berkulit gelap tadi.

Papa memperkenalkan ku pada Mang Rohim, orang kepercayaan papa untuk mengelola toko tersebut.

Mang Rohim sudah cukup tua, lebih tua dari papa. Tapi dia punya semangat kerja yang kuat dan juga sangat jujur. Karena itu papa masih mempercayainya.

"sebenarnya papa ingin mencari orang yang bisa menggantikan mang Rohim, tapi sampai saat ini papa belum menemukan orang yang cocok.." jelas papa padaku, ketika di perjalanan pulang.

Kami memang hanya sebentar di sana, karena harus menuju toko berikutnya.

Namun rasanya pikiran ku masih tertinggal di sana. Aku masih penasaran dengan pemuda gagah berkulit gelap yang aku lihat tadi.

Siapa laki-laki itu? bathin ku bertanya sendiri.

Dan bagaimanakah akhirnya aku bisa mengenal pemuda tersebut?

Mungkinkah aku bisa bertemu dia lagi?

Simak kisah ini sampai selesai ya...

Namun sebelumnya bla..bla...

*****

Dua hari kemudian, aku nekat mendatangi desa tempat salah satu toko papa tersebut, sendirian.

Aku masih penasaran dengan pemuda gagah berbadan gelap tersebut. Dua malam ini, pikiran ku selalu di hantui oleh wajah pemuda tersebut.

Aku selalu memikirkannya, yang membuatku jadi susah tidur.

Akh, apa yang aku rasakan sebenarnya?

Mungkin kah aku telah jatuh hati pada pandangan pertama?

Semudah itukah aku untuk jatuh cinta?

Berbagai pertanyaan terus menghantui pikiranku, yang membuatku akhirnya nekat untuk datang menemui pemuda tersebut.

Sesampai di sana, mang Rohim menyambutku. Aku beralasan kepada mang Rohim, kalau aku hanya mampir di toko sebentar.

Aku melihat pemuda itu sekali lagi, ia masih tak memperhatikanku.

"itu siapa, mang?" tanyaku akhirnya kepada mang Rohim, sambil menunjuk ke arah pemuda tersebut.

"oh, dia Akmal. Dia buruh angkut di toko ini, sekalian bantu-bantu saya untuk menyusun barang dagangan di dalam toko.." jelas mang Rohim.

Selain mang Rohim dan Akmal yang disebutkan mang Rohim tadi, juga ada dua karyawan lainnya yang bekerja di toko tersebut. Mereka sudah punya tugas masing-masing.

"apa dia pekerja baru?" tanya ku lagi.

"bukan. Akmal sudah lama bekerja dengan saya." jawab mang Rohim.

"dia asli orang sini?" aku bertanya kembali.

"iya. Dia pemuda sini. Rumahnya juga gak jauh dari sini.." jelas mang Rohim lagi.

Untuk selanjutnya aku hanya manggut-manggut, sambil mulai memikirkan bagaimana caranya mendekati pemuda tersebut.

"saya boleh pinjam dia sebentar mang Rohim?" ucapku tiba-tiba, setelah mendapatkan sebuah ide.

"pinjam? pinjam untuk apa?" tanya mang Rohim dengan wajah herannya, mendengarkan kalimat ku barusan.

"maksud ku, aku ingin minta tolong ditemani ke kota sebentar, nanti aku antar lagi Akmal kesini.." jelasku berusaha bersikap sewajar mungkin.

"ooo.." mang Rohim membulatkan bibir, "gak apa-apa. Hari ini juga gak ada barang datang, jadi Akmal tidak terlalu sibuk. Nak Andre bawa aja.." lanjut mang Rohim.

"tapi apa dia mau, mang?" tanyaku ragu.

Mang Rohim menyadari keraguanku. Dia pun berteriak memanggil pemuda tersebut yang berada di luar toko.

Pemuda itu bergegas mendatangi kami, ia melirik ku sekilas lalu berpaling muka lagi.

"ada apa, mang?" tanya pemuda itu. Untuk pertama kali nya aku mendengar suaranya. Maskulin. Macho. Indah.

"ini nak Andre, putranya pak Broto, pemilik toko ini." jelas mang Rohim. "dia minta tolong sama kamu, untuk menemaninya ke kota sebentar, nanti dia antar kamu lagi kesini.." lanjut mang Rohim.

Pemuda itu menatapku lagi, kali ini lebih lama.

"ngapain ke kota lagi? Bukannya kamu tadi juga dari kota?" pemuda itu bertanya padaku, suaranya sedikit sinis.

"aku.. aku hanya ingin menjemput sesuatu, tadi ketinggalan.." jelasku sedikit tergagap.

Pemuda itu tidak berkata lagi, tapi ia terus memutar tubuh dan melangkah keluar.

"sebenarnya dia pemuda yang baik. Tapi wataknya emang sedikit keras." mang Rohim berucap, setelah Akmal berada di luar toko.

"jadi pergi gak?" suara teriakan Akmal terdengar dari luar.

Aku segera melangkah ke luar. Akmal sudah menunggu di dekat mobil.

Aku membuka pintu dan masuk ke dalam mobil, dengan perasaan yang tak karuan.

Aku tidak tahu, apa ide ku ini layak aku teruskan atau aku harus berhenti sampai disini.

"ayok jalan.." suara Akmal mengagetkanku, ketika akhirnya dia duduk di sampingku.

Perasaanku semakin tak karuan. Dada ku berdebar hebat.

Akh, aku memang telah jatuh hati pada Akmal. Aku bisa merasakan hal itu.

Aku melirik sekilas ke arah Akmal, lalu mulai menghidupkan mesin mobil dan menjalankannya dengan perlahan.

Akmal memang tidak terlalu tampan. Tapi dia punya raut wajah yang tegas. Hidungnya bengir, tatapan matanya sendu, dagunya lancip dengan rahangnya yang kokoh.

Terlepas dari itu semua, postur tubuhnya yang gagah dan kekar itu lah yang membuat ku jatuh hati padanya.

"kenapa kamu gak pergi sendiri aja sih?" tanya Akmal memecah kesunyian, saat mobil sudah meninggalkan desa tersebut.

"kenapa kamu begitu angkuh?" aku bertanya, tanpa mempedulikan pertanyaannya barusan.

"saya angkuh?" balas Akmal dengan kening mengerut. "bukannya kamu yang angkuh? Anak orang kaya yang manja. Kebanyakan orang-orang kaya itu yang angkuh." lanjutnya dengan nada sinis.

"apa saya terlihat angkuh? Sejak pertama kali melihat kamu, aku berusaha tersenyum. Kamu malah memalingkan muka dariku." ucapku membalas.

"saya tidak suka direndahkan.." ucap Akmal datar.

"saya tidak merendahkan kamu. Saya hanya mencoba untuk ramah.." balasku sedikit sengit.

"biasanya orang-orang kaya yang datang ke tempat kami, selalu memandang orang seperti ku ini rendah..." balas Akmal tajam.

"tidak semua orang kaya seperti itu." balasku. "mungkin kamu nya aja yang berlebihan, atau kamu punya trauma berurusan dengan orang kaya?" lanjutku sedikit bertanya.

Kali ini Akmal terdiam. Dia terdengar menarik napas beberapa kali. Kemudian menghempaskannya dengan berat.

****

"kita mau kemana sebenarnya? kenapa dari tadi kita hanya keliling-keliling gak jelas?" suara Akmal berat.

Aku tidak bisa menjawab. Aku juga tidak tahu mau membawa Akmal kemana.

Tadi aku hanya berpikir untuk membawa nya berjalan-jalan sambil sedikit mengobrol. Aku memang berniat untuk mengenal Akmal lebih dekat.

Namun sikap angkuh Akmal cukup membuatku ragu. Aku tidak tahu harus memulai semuanya dari mana.

"kalau kamu tidak punya tujuan yang jelas, lebih baik kita kembali aja ke desa.." suara berat Akmal terdengar lagi.

"sebenarnya.. sebenarnya.. saya hanya pengen ngobrol sama kamu. Saya ingin mengenal kamu lebih dekat lagi." ucapku akhirnya memberanikan diri.

"sejak pertama melihat kamu waktu itu, aku jadi penasaran sama kamu.." lanjutku lagi.

"maksud kamu apa? Aku gak ngerti.." balas Akmal.

"yah, aku pengen kenal kamu lebih dekat. Mungkin kita bisa jadi teman?" ucapku kemudian.

"apa untungnya bagi kamu?" tanya Akmal, suaranya masih terdengar sinis.

"bisa gak, kamu memandang orang tidak dari sisi negatifnya?" tanyaku kasar, "saya gak cari keuntungan apa pun dengan berteman sama kamu.." lanjutku.

"wajar kan kalau aku berpikir negatif? Bukannya aneh, tiba-tiba saja kamu ingin berteman dengan orang seperti ku? Apa kamu sudah kekurangan stok teman di kota atau di kampus mu?" timpal Akmal cepat.

"mungkin aneh bagi kamu, tapi aku hanya mengikuti naluri ku sebagai... sebagai. .sebagai seorang laki-laki.." balasku kehabisan kata-kata. Aku hampir saja keceplosan.

"justru semakin aneh, kalau kamu mendekati ku sebagai laki-laki. Pertemanan seperti apa yang kamu harapkan dari orang seperti saya?" ucap Akmal.

"pertemana yang tidak memandang materi, pertemanan yang tidak memandang kasta, pertemanan yang tulus.." jawabku asal-asalan. Tapi justru dari situ aku jadi punya ide kalimat selanjutnya.

"aku memang punya banyak teman di kota atau pun di kampus, tapi rata-rata mereka mau berteman dengan ku, hanya karena aku anak orang kaya, seperti yang kau katakan tadi." lanjutku penuh keyakinan.

"lalu apa yang membuat kamu yakin, kalau aku tidak sama dengan mereka?" tanya Akmal.

"aku tidak yakin, tapi aku ingin mencobanya.." jawabku lugas.

Perlahan kalimat demi kalimat membuat kami menjadi dekat. Tanpa sadar, kami telah berbicara panjang lebar.

Aku kemudian, mengajak Akmal untuk singgah di sebuah kafe, untuk sekedar minum dan makan makanan ringan, sambil kami mengobrol.

Percakapan kami pun semakin panjang, walau Akmal masih terlihat menutup diri.

Dia belum mau bercerita lebih banyak tentang dirinya. Tapi setidaknya untuk saat ini, kami sudah mulai dekat.

Walau pun sepertinya, aku masih harus berjuang lebih keras lagi, untuk bisa menaklukkan hati seorang Akmal.

Bagaimanakah kelanjutan dari kisah ini?

Akankah Akmal mampu aku taklukkan?

Atau justru akhirnya kami semakin jauh?

Simak kisah selanjutnya di channel ini ya, atau bisa langsung di deskripsi video ini.

Terima kasih sudah menonton video ini sampai selesai, semoga terhibur.

Sampai jumpa lagi di video-video berikutnya, salam sayang untuk kalian semua..

****

Part 2

Hari-hari selanjutnya aku semakin sering menemui Akmal. Aku selalu mencari kesempatan untuk bisa datang ke desa nya.

Aku bahkan meminta papa untuk mempercaya kan cabang tokonya di desa itu kepada ku.

Papa dengan cukup berat pun akhirnya setuju, sehingga aku jadi punya banyak alasan dan kesempatan untuk datang menemui Akmal.

Walau pun setelah berbulan-bulan kami saling kenal, Akmal masih cukup tertutup padaku, terutama menyangkut cerita pribadi hidupnya.

Lalu mungkin kah aku bisa merebut hati Akmal, yang ternyata punya cerita tersendiri di masa lalunya?

Atau Akmal tetap akan bertahan dengan segala sikap cueknya padaku?

Simak kisah ini sampai selesai ya..

Namun sebelumnya bla..bla..

*****

"aku masih penasaran, kenapa kamu sangat sinis jika bertemu orang kaya?" tanya ku suatu hari pada Akmal, saat untuk kesekian kalinya aku datang menemuinya.

"aku punya masa lalu yang rumit dengan orang kaya, bang Andre.." ucap Akmal membalas. Akmal memang akhirnya memanggil ku bang, karena ternyata usianya masih muda tiga tahun dari ku.

"masa lalu yang rumit seperti apa?" tanya ku ingin tahu.

"panjang ceritanya, bang. Takutnya abang bosan mendengarkannya.." balas Akmal.

"kamu cerita aja, Mal. Aku siap kok mendengarkan cerita apa pun dari kamu.." ucapku yakin.

Aku memang merasa bahagia bisa dekat dengan Akmal. Aku selalu suka bercerita dengannya. Aku suka mendengarkan ia bercerita.

Dan dengan perasaan berat Akmal pun mulai menceritakan cerita perjalanan hidupnya dari masa lalu yang ia alami.

Dan beginilah kira-kira cerita Akmal padaku.

"namaku Akmal. Aku lahir dari keluarga yang sangat sederhana, bahkan boleh dibilang cukup miskin. Ayahku seorang buruh bangunan, dan ibu hanya seorang buruh cuci keliling. Kehidupan sangat pas-pasan. Karena itu aku hanya bisa sekolah hingga lulus SMP."

"aku anak kedua dari dua bersaudara. Kakak ku perempuan, hanya tiga tahun lebih tua dari ku. Kakak ku juga hanya lulusan SMP."

"ayahku meninggal pada sebuah kecelakaan kerja. Saat itu aku masih berusia 14 tahun. Dan tiga tahun kemudian, ibu ku pun meninggal, karena sakit jantung. Sejak saat itu, aku hanya tinggal berdua bersama kakakku."

"di usia kakak ku yang mulai beranjak dewasa, ia sempat berpacaran dengan seorang pemuda, anak seorang juragan kaya di desa kami. Hubungan mereka tidak di restui oleh orangtua pacar kakak ku. Bahkan mereka dengan sangat berani mendatangi rumah kami. Mereka menghina dan mencaci maki kami habis-habisan."

"mereka juga mengatakan kalau kakak ku hanya ingin mendapatkan harta mereka. Mereka tidak sudi punya menantu seorang gadis miskin seperti kakak ku."

"kami hanya bisa diam, mendengarkan semua penghinaan itu. Kami tidak bisa melawan. Meski hati kami sangat sakit dengan semua penghinaan itu."

"hubungan kakak ku dengan pacarnya pun berakhir. Dan sejak saat itulah aku paling benci orang kaya. Mereka tidak pernah bisa menghargai perasaan orang lain.."

Akmal menghempaskan napasnya berkali-kali, ketika akhirnya dia mengakhiri ceritanya.

Aku merasa trenyuh mendengar semua itu. Pantas saja, Akmal begitu acuh padaku saat pertama kali aku bertemu dengannya.

"tapi tidak semua orang kaya seperti itu, Akmal. Masih banyak kok orang kaya yang berhati baik.." ucapku akhirnya, setelah cukup lama terhanyut mendengar kisah pilu kehidupan Akmal.

"dulunya aku selalu berpikir, bahwa setiap orang kaya pasti berperilaku sama." ucap Akmal lemah, "namun semenjak aku mengenal bang Andre, penilaian ku berubah. Bang Andre baik, bahkan sangat baik padaku." lanjutnya lirih.

"aku akan selalu baik sama kamu Akmal. Karena kamu juga pemuda yang baik. Terus terang aku kagum sama kamu. Kamu kuat. Kamu tidak menyerah oleh kehidupan ini." ucapku tulus.

"kegagalan demi kegagalan yang membuat aku kuat, bang. Hidup memang keras, tapi aku harus lebih keras lagi." balas Akmal lugas.

"lalu bagaimana dengan kakak mu sekarang?" tanyaku kemudian.

"kakak ku sekarang bekerja jadi buruh cuci keliling. Dia sepertinya trauma untuk mengenal laki-laki. Kisah cintanya yang berakhir tragis, membuat ia selalu menutup diri akan kehadiran laki-laki dalam hidupnya." jelas Akmal.

"kamu seharusnya memberikan dukungan lebih pada kakak kamu." timpalku ringan.

"aku selalu memberikan dukungan untuk kakak ku. Aku selalu mendukung apa pun keputusan yang dia ambil dalam hidupnya.." balas Akmal.

****

Aku dan Akmal semakin dekat dan akrab. Hampir setiap hari kami selalu bersama. Berbagi cerita, bercanda dan tertawa bersama.

Aku merasa bahagia dengan semua itu. Kedekatanku dengan Akmal adalah jalan bagiku untuk bisa merebut hatinya.

"jadi selama ini kamu belum pernah pacaran?" tanyaku pada Akmal di suatu senja.

"semenjak aku mendengar penghinaan terhadap keluarga kami oleh orangtua pacar kakak ku, aku jadi ikut trauma untuk dekat-dekat dengan perempuan. Aku tidak ingin kejadian yang menimpa kakak ku, juga akan menimpa ku." jawab Akmal lirih.

"tapi sebagai laki-laki kamu secara fisik sangat menarik loh, Mal. Kamu juga cowok yang baik, rajin dan pekerja keras. Pasti banyak cewek-cewek yang suka sama kamu." ujarku pelan, sengaja memujinya.

"aku tidak pernah memikirkan hal itu, bang. Aku lebih fokus untuk bekerja. Aku harus bekerja keras, untuk mengangkat derajat hidup keluarga kami." balas Akmal.

"tapi kalau hanya bekerja sebagai buruh angkut, bagaimana hidup mu akan membaik?" ucapku hati-hati, takut Akmal akan tersinggung.

"yah, aku tahu. Tapi aku tidak ingin selamanya seperti ini. Aku ingin berubah. Hanya saja sampai saat ini, hanya pekerjaan inilah yang bisa aku lakukan." balas Akmal sedih.

"mang Rohim, orang kepercayaan papa di toko, sudah lama ingin berhenti dari pekerjaannya. Namun papa belum menemukan orang yang tepat untuk menggantikannya. Jadi aku menawarkan pada papa, untuk kamu bisa menggantikan posisi mang Rohim. Agar kamu bisa punya penghasilan yang lebih." ucapku kemudian.

"kenapa bang Andre begitu baik padaku?" tanya Akmal, setelah untuk beberapa saat ia terdiam, mendengarkan kalimatku barusan.

"kamu orang yang baik, Akmal. Kamu rajin dan jujur. Aku rasa kamu adalah orang yang tepat untuk bisa menggantikan mang Rohim." balasku pelan.

"itu bukan alasan, mengapa bang Andre begitu baik padaku. Aku tahu, niat bang Andre baik. Tapi aku tidak ingin terjebak dengan entah permainan apa yang sedang bang Andre mainkan saat ini." suara Akmal serak.

"maksud kamu apa?" tanyaku penasaran.

"aku memang orang kampung dan miskin, bang. Tapi aku bukan orang bodoh. Aku yakin, ada alasan lain, yang membuat bang Andre begitu baik padaku. Meski aku tidak tahu pasti apa itu." jawab Akmal masih dengan suara serak.

"aku hanya ingin membantu kamu, Akmal. Tidak ada niat apa-apa dibalik itu semua. Meski jujur saja, aku memang menyukai kamu. Aku mengagumi kamu. Dan bahkan mungkin aku telah jatuh cinta padamu. Bahkan sejak pertama kali aku melihat kamu." ucapku berusaha untuk jujur.

"tapi aku cukup sadar, kalau kamu jelas tidak mungkin akan punya perasaan yang sama denganku. Karena itu, aku hanya memendamnya selama ini. Tapi itu bukan alasanku untuk membantu kamu. Aku membantu kamu murni hanya karena aku ingin hidupmu berubah." lanjutku lagi menjelaskan.

"apa yang membuat bang Andre menyukai saya? Saya hanya seorang pemuda kampung yang miskin. Saya tidak punya apa-apa untuk di cintai." suara Akmal pilu.

"kamu punya banyak hal untuk di cintai, Mal. Kamu tampan dan gagah. Kamu juga baik, rajin dan jujur." balasku penuh perasaan, mengungkapkan kekagumanku padanya.

"tapi aku hanya lelaki miskin, bang Andre." ucap Akmal lemah.

"kamu jangan merendahkan dirimu sendiri seperti itu, Mal. Aku tidak pernah menilai seseorang dari materi. Aku suka laki-laki yang bekerja keras, bukan laki-laki manja yang hanya mengharapkan harta orangtuanya." suaraku pelan.

"apa yang bisa aku berikan untuk cinta yang begitu besar dari bang Andre. Aku tidak punya apa-apa, bang." suara Akmal lemah.

"kamu punya hati yang besar untuk dicintai, Mal. Dan aku ingin masuk ke dalamnya. Menatap disana untuk selamanya." balasku puitis.

"sekali pun aku bisa mencintai bang Andre seperti bang Andre mencintaiku. Kita juga tidak mungkin bisa bersama, bang. Karena kita berjenis kelamin sama. Tidak ada yang bisa menerima hubungan seperti itu. Tidak satu pun. Dan terutama dari orangtua bang Andre sendiri." Akmal berucap lagi, kali ini sangat pelan, aku hampir tak mendengarnya.

"bukankah cinta itu hak setiap orang, Mal. Siapa pun berhak untuk jatuh cinta. Tak peduli kepada siapa pun rasa cinta itu jatuh, sekali pun ia jatuh pada sesama jenisnya." ucapku ringan.

"iya, aku tahu. Aku memang belum pernah pacaran, tapi bukan berarti aku belum pernah jatuh cinta. Aku pernah jatuh cinta pada seorang gadis di desa ku ini, tapi aku hanya bisa memendamnya. Seperti yang aku katakan, aku merasa trauma untuk dekat-dekat dengan seseorang." balas Akmal.

"lalu apa kamu juga takut? Untuk belajar mencintaiku?" tanyaku kemudian.

"entahlah, bang. Seandainya saja bang Andre bukan laki-laki, mungkin aku akan memberanikan diri untuk mencobanya." balas Akmal.

"tapi kita tetap bisa berteman kan, Mal? Meski kamu sudah tahu siapa aku sebenarnya?" tanyaku lagi.

"kita akan tetap berteman, bang. Tapi aku tidak bisa berjanji, kalau hubungan kita akan bisa berkembang lebih lanjut lagi. Selain karena taraf kehidupan kita yang berbeda, kita juga sejenis, bang. Terlalu banyak resiko yang harus kita hadapi ke depannya, jika kita tetap nekat bersama." jawab Akmal lugas.

"aku siap menanggung resiko apa pun, Mal. Aku siap kehilangan segalanya, jika itu adalah harga yang harus aku bayar untuk bisa bersama kamu." ucapku tulus.

"bang Andre gak usah berlebihan. Aku tak pantas untuk mendapatkan itu semua, bang. Aku bukanlah orang yang tepat, untuk bisa menerima semua pengorbanan bang Andre. Bukan saja karena kita sejenis, tapi juga karena kita berbeda kasta." balas Akmal lemah.

"kamu jangan pernah membandingkan cinta dengan materi, Mal. Itu adalah dua hal yang berbeda. Jika aku mencintai seseorang, aku tak akan peduli dengan status sosialnya." ucapku yakin.

"aku tidak akan memaksa kamu, Mal. Untuk bisa mencintaiku. Tapi aku ingin kita tetap berteman. Hanya itu." lanjutku lagi.

Kali ini Akmal hanya terdiam. Dia menatap keremangan senja. Dan aku semakin mengagumi sosok indah itu. Begitu sempurna. Sesempurna cintaku padanya.

*****

Part 3

Setahun akhirnya berlalu, aku sudah lulus kuliah. Dan aku akhirnya menerima tawaran papa untuk mewarisi usahanya. Bukan karena aku benar-benar tertarik akan hal itu, tapi karena aku ingin selalu bersama Akmal. Meski pun sampai saat ini, Akmal masih belum membuka hatinya untukku.

Dan mungkinkah Akmal akan bisa membuka hatinya untukku?

Mungkinkah aku akan mampu merebut hatinya?

Simak kisah ini sampai selesai ya..

Namun sebelumnya bla..bla..

*****

Aku memang berhasil membujuk Akmal untuk menerima tawaran ku. Sekarang Akmal sudah jadi orang kepercayaanku di toko.

Hidupnya juga sudah mulai membaik.

Kakak perempuannya juga akan segera menikah dengan seorang laki-laki yang juga berasal dari desa itu.

"makasih, bang Andre. Abang sudah sangat banyak membantu ku selama ini." ucap Akmal suatu ketika.

"kamu jangan terlalu memikirkan hal tersebut, Akmal. Sudah seharusnya aku melakukan hal tersebut untuk kamu. Kamu pantas mendapatkannya." balasku.

"lalu bagaimana dengan bang Andre sendiri? Apa yang bisa aku lakukan untuk bang Andre?" tanya Akmal terdengar serius.

"kamu tidak perlu melakukan apa pun, Mal. Aku sudah cukup bahagia dengan hanya menjadi sahabatmu. Aku bahagia, bisa melewati hari-hari bersamamu." balasku pelan.

"apa bang Andre masih mau memberikan aku kesempatan, untuk bisa menjalin hubungan yag lebih dari sekedar sahabat dengan ku?" tanya Akmal tiba-tiba, setelah untuk sesaat ia terdiam.

"pertanyaannya bukan itu, Mal. Tapi apa kamu sudah siap untuk menjalin hubungan yang lebih dari sekedar sahabat dengan ku?" tanyaku membalas.

"apa aku punya pilihan lain, bang? Kebaikan bang Andre selama ini, sudah lebih dari cukup untuk membuktikan bahwa betapa bang Andre sangat sayang padaku. Dan aku tidak bisa lagi mengabaikan hal itu. Bukan saja karena aku ingin mencobanya, tapi juga karena hatiku sepertinya sudan mulai terbuka untuk bang Andre.." jawab Akmal panjang lebar, yang membuatku sedikit menyunggingkan senyum.

Tiba-tiba saja rasa bahagia mengalir indah di hatiku mendengar kalimat Akmal barusan.

Sekian lama aku menunggu semua itu. Sekian lama aku menanti pintu hati Akmal bisa terbuka untukku. Dan sekarang sepertinya semua itu akan menjadi nyata.

"kamu yakin, Mal?" tanyaku lebih kepada meyakinkan diri ku sendiri.

"aku yakin, bang. Aku akan mencobanya. Meski sejujurnya aku masih merasa ragu dengan perasaanku sendiri. Karena itu aku ingin mencobanya. Aku ingin tahu, apakah yang aku rasakan saat ini adalah cinta atau hanya karena aku merasa kasihan.." balas Akmal.

"kamu tidak perlu merasa kasihan padaku, Mal. Aku baik-baik saja. Meski jujur saja, aku memang sangat berharap bisa memiliki mu lebih dari sekedar sahabat." timpalku pelan.

"mungkin lebih tepatnya, bukan perasaan kasihan, bang. Tapi mungkin karena aku merasa sudah berhutang budi banyak pada bang Andre." balas Akmal cepat.

"apa pun alasan kamu untuk mencobanya, Mal. Aku ingin kamu melakukannya dari hati, bukan karena terpaksa.." ucapku kemudian.

"iya, bang Andre. Aku ingin mencobanya dan itu adalah dari hatiku yang terdalam." balas Akmal terdengar yakin.

"jadi mulai saat ini, kita bukan lagi hanya sekedar sahabat. Kita pacaran? Dan apa itu masih terdengar aneh bagimu?" tanyaku ragu.

"sejujurnya memang terdengar aneh sih, bang. Tapi sepertinya aku memang harus membiasakan diri akan hal itu. Aku akan belajar, bang. Tapi aku ingin semuanya pelan-pelan saja." balas Akmal lagi.

"iya, Mal. Aku juga gak mau buru-buru. Kita lewati saja semuanya apa adanya. Dan biarkan perasaan kita berkembang dengan kebersamaan kita." ucapku lagi.

****

Dan begitulah akhirnya, aku dan Akmal pun menjalin hubungan asmara. Namun hubungan kami tetaplah hanya sebuah rahasia. Tidak ada yang tahu, kecuali kami berdua.

Aku sengaja membeli rumah di desa tempat tinggal Akmal, untuk kami bisa menikmati waktu berdua dengan bebas.

Hampir setiap malam kami bersama. Memadu kasih, berbagi cerita dan saling bermesraan. Layaknya sepasang kekasih yang sedang di mabuk cinta. Indah.

Aku merasa bahagia dengan semua itu. Aku semakin mencintai Akmal. Aku semakin takut kehilangan dirinya.

Akmal yang tampan, gagah dan kekar. Sungguh aku merasa bangga bisa memilikinya. Aku curahkan seluruh cintaku untuknya. Aku berikan semua yang aku miliki untuknya. Aku serahkan jiwa raga ku padanya. Aku pasrahkan hidupku padanya.

Cintaku untuk pemuda desa yang tampan begitu sempurna. Dan Akmal pun telah menyerahkan seluruh hatinya padaku.

"semakin hari, aku semakin mencintai bang Andre. Aku semakin sayang sama bang Andre. Aku harap kita tetap bisa bersama selamanya. Aku harap bang Andre tidak akan pernah meninggalkanku." ucap Akmal suatu malam padaku, ketika untuk kesekian kalinya kami bersama.

"aku tidak akan pernah meninggalkan kamu Akmal. Tidak akan pernah! Sekali pun dunia ini tidak lagi membutuhkan cinta, aku akan mencintai kamu Akmal, selalu dan selama-lamanya." jawab ku puitis, tulus dari hatiku yang terdalam.

"lalu bagaimana dengan masa depan bang Andre sendiri?" tanya Akmal kemudian.

"maksud kamu?" tanyaku tak mengerti.

"sebagai anak tunggal dan merupakan pewaris satu-satunya usaha papa bang Andre, tentunya orangtua bang Andre sangat ingin bang Andre untuk segera menikah dan punya keturunan, itu merupakan keinginan yang wajar dari setiap orangtua, apa lagi bang Andre adalah anak satu-satunya mereka." jelas Akmal dengan nada sedikit lemah.

"kita tidak usah membicarakan hal itu saat ini, Mal. Lebih baik kita nikmati saja kebersamaan kita. jangan rusak keindahan cinta kita, dengan memikirkan sesuatu yang belum tentu terjadi.." balasku ringan.

"tapi hal itu pasti akan terjadi suatu saat nanti, bang. Dan kita tidak bisa memungkiri hal itu." ucap Akmal lagi.

"kalau memang hal itu harus terjadi, kita akan pikirkan hal itu nanti, Mal. Namun saat ini aku mohon padamu, untuk kita tetap menikmati kebersamaan kita. Jangan usik kebahagiaanku saat ini, Mal." ucapku pelan, sambil dengan lembut mengusap pipi Akmal.

Akmal memegang tanganku, menariknya lembut dan kemudian mengecupnya dengan hangat.

Aku tersenyum penuh kebahagiaan. Rasanya hal sesederhana itu saja sudah mampu membuatku melayang.

Perlahan kami pun saling mendekat. Mencoba menikmati malam kami, untuk kesekian kalinya.

Dan hal itu selalu terasa indah bagiku. Akmal memang laki-laki yang luar biasa. Dia selalu mampu membawaku terbang dalam angan mimpi yang sempurna.

Aku selalu di buatnya terbuai dan terlena, hingga aku lupa akan semua persoalan dunia. Yang ada hanya aku dan Akmal.

Tak sedetik pun waktu yang terlewatkan, tak tersisa. Semuanya ditelan keindahan. Raga ku menyerah. Pasrah. Ku biarkan Akmal mendapatkan semuanya.

Ku biarkan dia dan aku menyatu. Berlari beriringan, tak ingin saling mendahului. Tak ingin saling melepaskan.

Hingga semua impian kami malam itu tercapai. Bersamaan. Berdua. Dan itu terasa sangat indah. Begitu indah. Seindah cinta yang terus berkembang di hati kami.

*****

Begitulah hari-hari yang kami lalui bersama. Kami bahagia dengan cinta kami. Kami tidak ingin terpisah lagi.

Hingga hampir setahun hubungan kami terjalin. Tidak pernah ada masalah apa pun di antara kami.

Semuanya berjalan dengan indah. Bahkan terlalu indah untuk diungkapkan dengan kata-kata.

Namun hubungan indah kami sepertinya mulai mendapatkan sandungan.

Ya, berawal dari keinginan mama dan papa ku yang menginginkan aku untuk segera menikah.

"kami ingin menikmati masa tua kami sambil menimang cucu, Ndre." begitu ucap mama beralasan untuk aku segera menikah.

"tapi aku masih 27 tahun, Ma. Aku masih belum memikirkan hal itu untuk saat ini." timpalku.

"usia 27 tahun itu sudah matang loh, Ndre. Kamu juga sudah punya pekerjaan yang mapan. Kamu mau tunggu apa lagi. Kalau kamu kesulitan mencari pendamping hidup, mama ada calon buat kamu." ucap mama lagi.

"saya gak suka di jodohkan, Ma. Saya masih bisa mencari pasangan saya sendiri." balas ku sedikit sengit.

"tapi nyatanya sampai saat ini, kamu belum pernah memperkenalkan satu perempuan pun pada mama." balas mama cepat.

"kan udah saya bilang, Ma. Untuk saat ini saya belum memikirkan hal itu. Saya masih butuh waktu, Ma. jadi mama dan papa sabar ya.." ucapku akhirnya.

"mama akan beri kamu waktu, Ndre. Tapi jika dalam satu tahun ini, kamu belum juga menemukan pasangan kamu, mama akan ambil tindakan sendiri." ucap mama tegas.

Setelah berkata demikian, mama pun pergi meninggalkan ku sendirian.

Tiba-tiba saja aku menjadi dilema. Sungguh sebuah pukulan yang berat bagiku.

Aku tak ingin menikah dengan siapa pun, kecuali dengan Akmal, orang yang sangat aku cintai saat ini.

Namun siapa yang bisa menerima hubungan kami? Tidak seorang pun yang akan menyetujuinya, apa lagi mama dan papa. Mereka pasti akan menghujatku, jika mereka tahu, kalau aku menjalin hubungan asmara bersama Akmal.

Tapi aku tidak bisa mencintai siapa pun lagi, kecuali Akmal. Hatiku sudah dipenuhi oleh namanya. Dan aku tidak ingin menggantikannya dengan siapa pun.

*****

Part 4

Aku sungguh berada di dalam dilema yang nyata. Aku berada dalam pilihan yang sulit.

Antara tetap bertahan dengan hubungan terlarang ku bersama Akmal, dengan resikonya aku akan menjadi anak yang durhaka.

Atau mengikuti keinginan orangtuaku untuk segera menikah, dengan resikonya aku akan kehilangan Akmal, orang yang paling aku cintai.

Bagaimanakah akhir dari kisah ku ini?

Mampukah kami mempertahankan hubungan kami?

Atau kah kami akan terpisahkan oleh keadaan?

Simak kelanjutan kisah ini sampai selesai ya...

Namun sebelumnya bla.. bla...

****

"bukankah dulu, aku pernah mengatakan hal ini pada bang Andre. Tapi bang Andre tak pernah menganggapnya serius. Dan sekarang semuanya terjadi kan?" ucap Akmal, ketika akhirnya aku menceritakan semuanya padanya.

"aku terlalu mencintai kamu, Mal. Karena itu, aku tidak ingin memikirkan hal tersebut. Aku hanya ingin menikmati kebersamaan kita. Tapi sekarang, aku justru jadi bingung." balasku lemah.

"bang Andre gak perlu bingung. Bang Andre turuti saja kemauan orangtua bang Andre. Aku gak apa-apa, kok. Aku siap berbagi bang Andre dengan istri bang Andre nantinya." ucap Akmal.

"masalahnya bukan itu, Mal. Aku yang tidak siap hidup bersama orang lain. Aku hanya ingin hidup bersama kamu selamanya." balasku pilu.

"tapi kita sama-sama tahu, bang. Hal itu jelas tidak mungkin. Kita memang saling mencintai, tapi kita tidak mungkin menyatu secara utuh. Jadi lebih baik, abang menikah saja. Karena pada akhirnya aku juga bakalan nikah, bang. Karena itu adalah kodrat kita sebagai laki-laki." ucap Akmal.

"tidak ada keharusan bagi kita untuk hidup sesuai dengan kodrat itu, Mal. Kita sebenarnya bebas memilih jalan hidup kita sendiri." ucapku tanpa sadar.

"lalu bang Andre mau nya gimana?" tanya Akmal.

"aku ingin kita pergi dari sini, Mal. Aku ingin kita pergi ke luar negeri, dimana kita bisa bebas menjadi diri kita sendiri. Dan kita bebas untuk menjalin hubungan kita.." ucapku akhirnya, setelah untuk beberapa saat kami terdiam.

"itu bukan pilihan yang tepat, bang. Bagaimana dengan orangtua bang Andre? Mereka pasti akan sangat kehilangan bang Andre. Dan aku tidak ingin menjadi orang yang berusaha memisahkan seorang anak dari orangtua nya." ucap Akmal lemah.

Kali ini aku terdiam. Benar-benar terdiam.

Apa yang dikatakan Akmal memang benar adanya. Tapi aku tidak ingin menikah dengan siapa pun. Aku hanya ingin hidup berdua bersama Akmal.

"cinta tidak seharusnya membuat kita buta, bang. Cinta tidak boleh egois. Kita harus lebih berlapang dada untuk menerima semua ini." Akmal berucap lagi.

"aku juga sangat mencintai bang Andre. Tapi aku tidak ingin menjadi orang yang egois dengan memiliki bang Andre seutuhnya. Seandainya saja, kita tidak sejenis, bang. Aku akan melakukan apa saja, agar kita tetap bisa bersama." lanjut Akmal.

"kalau kamu memang benar-benar mencintaiku, Mal. Harusnya kamu marah karena aku akan menikah, bukan malah mendukung." ucapku tiba-tiba, entah apa maksud dari ucapan itu.

"apa bang Andre mau, aku datang ke rumah orangtua bang Andre dan melamar bang Andre? seperti yang dilakukan seorang laki-laki kepada orang yang dicintainya." timpal Akmal sedikit sengit.

"jika itu bisa membuktikan, bahwa betapa aku mencintai bang Andre, aku akan melakukannya." lanjutnya tegas.

"bukan itu maksud ku, Mal. Aku juga gak mau orangtua ku tahu tentang hubungan kita, itu merupakan hal sangat memalukan. Tapi apa kamu gak ingin menerima tawaran ku, untuk kita pindah ke luar negeri?" balasku ringan.

"aku ingin, bang. Tapi apa abang tidak memikirkan perasaan orangtua abang? Hal itu terlalu besar resikonya, bang. Dan aku takut, pilihan itu pada akhirnya akan menghancurkan hidup kita." timpal Akmal lagi.

"hidup kita sudah terlanjur hancur, Mal." suara ku serak. Aku merasakan mata ku memerah. Perih sekali rasanya hatiku.

"belum, bang. Hidup kita belum hancur. Kita masih punya pilihan lain." ucap Akmal.

"pilihan apa yang kita punya saat ini, Mal?" tanyaku dengan nada lirih. Aku merasakan setetes air hangat mengalir di pipi ku tiba-tiba.

"bang Andre menikah, dan kita tetap bersama. Itu pilihannya, bang. Pilihan yang tidak menyakiti siapaa pun." ucap Andre, suaranya ikut serak.

"tapi itu menyakiti kita berdua, Mal.." aku berujar sambil mengusap pipi ku sendiri, berusaha menghapus tetesan air mata ku yang terus mengalir.

"itulah cinta, bang. Tingkat tertinggi dari mencintai adalah merelakan. Kita memang terluka, tapi kita tidak saling menyakiti. Dan itu jauh lebih baik, dari pada harus mengorbankan hubungan bang Andre dengan orangtua bang Andre." balas Akmal, terdengar sangat bijak.

Dan aku tersentuh. Jika Akmal yang bahkan jauh lebih muda dari ku bisa berpikiran seperti itu, kenapa aku masih begitu bersikeras untuk mempertahankan ego ku.

****

Mama memperkenalku dengan Jeni, gadis yang akan dijodohkan denganku.

Aku memang akhirnya harus menerima permintaan mama, meski hatiku sakit karenanya.

Aku tidak ingin berdebat lagi dengan mama, soal jodoh. Aku pasrah.

Mungkin memang sudah jalannya seperti ini. Aku sudah tidak bisa menghindarinya lagi.

Dan aku juga sudah punya perjanjian dengan Akmal. Walau sebenarnya kami berdua tidak bisa menerima semua itu.

Seperti yang Akmal katakan, kami memang terluka tapi setidaknya kami tidak saling menyakiti.

Dan sebenarnya begitulah kisah cinta dalam dunia pelangi. Tidak ada yang akan bertahan lama. Bukan karena mereka tidak saling mencintai, tapi hubungan seperti itu memang tidak bisa diterima oleh siapa pun.

Namun aku sungguh beruntung mendapatkan Akmal. Dia sangat penuh pengertian. Dan aku tidak akan pernah meninggalkannya.

"jadi seminggu lagi bang Andre akan menikah?" tanya Akmal suatu malam, saat kami kembali bertemu untuk kesekian kalinya.

Aku hanya mengangguk ringan menjawab pertanyaan itu. Hati ku sakit mendengarnya.

Sejak aku bertunangan dengan Jeni. Hubungan kami memang agak sedikit meredup. Kami jadi jarang tertawa. Kami lebih banyak menghabiskan waktu dengan saling berdiam diri.

Kami takut, setiap kata yang keluar, hanya akan memancing rasa sakit di hati kami. Hanya akan mengingatkan kami, akan sebuah perpisahan.

"kita akan tetap bersama, Mal. Aku akan selalu ada untukmu. Kamu tetap yang pertama bagiku." ucapku akhirnya dengan nada lirih.

"iya, aku tahu, bang. Aku hanya ingin memastikan seberapa besar sebenarnya luka yang aku rasakan saat ini." ucap Akmal lagi, suaranya parau.

"kamu jangan berkata seperti itu, Mal. Aku sakit mendengarnya." balasku ikut parau.

"kita sudah janji, tidak akan membahas hal ini lagi, Mal." lanjutku lagi.

"iya, bang. Aku minta maaf. Mungkin memang untuk sementara kita tidak usah bertemu dulu. Setidaknya sampai kita benar-benar bisa menerima semua kenyataan ini." balas Akmal, masih dengan suara parau.

"tapi aku masih ingin terus bersama kamu, Mal." ucapku pilu.

"aku mohon, bang. Kalau bang Andre memang benar-benar mencintaiku, biarkan untuk sementara aku sendiri dulu.." ucap Akmal sedikit memohon.

Aku jadi tidak tega mendengarnya. Karena itu aku pun menyetujui permintaan Akmal tersebut.

Apa lagi, aku juga butuh waktu untuk mempersiapkan pernikahanku.

Kami pun memutuskan untuk tidak bertemu sementara waktu.

*****

Sejak pertemuan terakhir itu aku tidak pernah lagi bertemu Akmal. Dia juga tidak datang pada pesta pernikahanku.

Aku coba memakluminya. Mungkin dia tidak sanggup untuk menghadiri pesta pernikahanku.

Namun seminggu setelah pernikahanku, aku mencoba mendatangi desa Akmal.

Aku mendatangi toko, Akmal tidak ada di sana.

Menurut keterangan salah seorang pekerja toko, Akmal sudah berhenti dan mengundurkan diri.

Aku coba datangi rumahnya, menurut keterangan kakaknya, Akmal sudah pergi dari rumah lebih dari seminggu yang lalu.

Ketika ku tanya kemana Akmal pergi, kakaknya juga tidak tahu.

"Akmal pergi tiba-tiba, tanpa penjelasan. Dia hanya mengatakan akan mengadu nasib ke kota lain.." begitu penjelasan kakak Akmal padaku. Aku tidak berani bertanya lebih lanjut.

Berkali-kali aku coba menghubungi ponsel Akmal, tapi tidak pernah aktif.

Sepertinya Akmal memang sengaja pergi. Dia sengaja menghindariku. Dia sengaja meninggalkanku.

Aku merasa terluka menyadari semua itu.

Mengapa Akmal harus memilih jalan itu?

Mengapa dia harus pergi?

Dia pergi tanpa meninggalkan pesan apa pun, yang membuatku semakin bingung.

Dan sejak saat itu, hubunganku dengan Akmal pun berakhir begitu saja. Tanpa ada kata putus, tanpa ada kata perpisahan.

Aku tidak pernah bertemu Akmal lagi, sejak saat itu.

Dan begitulah akhir kisahku bersama seorang pemuda kampung yang tampan dan gagah itu.

Cinta semusim. Seperti banyak yang terjadi dalam dunia percintaan sesama jenis.

Indah. Berkesan. Namun selalu berakhir dengan menyakitkan.

Terima kasih sudah menyimak kisah ini sampai selesai.

Semoga terhibur, sampai jumpa lagi pada kisah-kisah selanjutnya.

Salam sayang untuk kalian semua.

*****

Anak tiriku yang tampan

Aku menikah dengan seorang janda yang mempunyai seorang anak laki-laki remaja yang sudah berusia lima belas tahun waktu itu.

Janda itu, namanya Ranti, sebenarnya masih berusia 34 tahun, dua tahun lebih muda dariku.

Ranti dulunya menikah dengan suami pertamanya pada saat usianya masih 18 tahun. Dia dipaksa menikah oleh orangtuanya dengan seorang juragan tua yang kaya, demi melunasi hutang orangtuanya.

Tentu saja Ranti hanyalah istri simpanan juragan tua tersebut. Dan sebagai istri simpanan, Ranti tidak mendapatkan warisan apa pun untuk anaknya, ketika akhirnya juragan tua itu meninggal setelah tujuh tahun mereka menikah.

Sejak saat itu Ranti pun hidup menjanda. Dia berusaha membesarkan anaknya sendirian.

Kedua orangtua nya juga sudah meninggal beberapa tahun yang lalu.

Sampai akhirnya kami pun dipertemukan. Kami bertemu tak sengaja di loundry tempat Ranti bekerja.

Aku memang sudah menjadi langganan di loundry tersebut sejak lama.

Dari perkenalan dengan Ranti tersebut, kami jadi sering ngobrol dan menjadi kian dekat.

Dan aku pun memutuskan untuk menikahi Ranti, meski keluarga banyak yang menentangnya, karena Ranti yang seorang janda dan juga sudah punya seorang putra.

Pernikahan kami pun berlangsung dengan sangat sederhana.

Dan dari situlah kisahku bersama anak tiriku yang tampan itu dimulai..

Bagaimanakah keseruan kisah ini?

Silahkan simak sampai selesai ya..

Namun sebelumnya bla.. bla...

*****

Namaku Darwis. Saat ini usiaku sudah 39 tahun. Dan sudah tiga tahun aku menikah dengan Ranti, janda cantik yang memiliki seorang putra bernama Raka.

Raka sekarang sudah besar, ia sudah berusia 18 tahun dan sudah mulai kuliah.

Raka tumbuh menjadi anak yang cerdas, sedikit pendiam dan juga sopan.

Raka juga tumbuh sebagai seorang pemuda yang berwajah tampan, sepertinya ia menuruni kecantikan wajah ibunya. Postur tubuh Raka juga sangat kekar dan gagah.

Awalnya aku menganggap Raka hanya sebagai anak tiriku. Aku berusaha menyayanginya seperti anak ku sendiri. Apa lagi pernikahan ku dengan Ranti juga belum dikaruniai anak.

Namun semakin Raka tumbuh dewasa, aku mulai merasa tertarik padanya. Aku menyukainya. Aku mengaguminya, bahkan mungkin aku telah jatuh cinta padanya.

Aku memang punya masa lalu yang sedikit gelap. Aku tumbuh tidak seperti kebanyakan laki-laki pada umumnya. Aku tumbuh dengan perasaan suka kepada sesama jenis. Karena itu juga aku jadi sedikit terlambat untuk menikah.

Secara ekonomi kehidupan ku memang cukup mapan. Aku lahir dari keluarga yang berkecukupan.

Aku anak kedua dari tiga bersaudara. Kakak pertama ku laki-laki dan sudah lama menikah, bahkan sudah mempunyai tiga orang anak saat ini.

Adik ku perempuan, juga sudah lama menikah dan juga sudah mempunyai dua orang anak.

Sebagai seorang laki-laki yang tumbuh dengan perasaan suka kepada sesama jenis, aku memang tidak pernah pacaran dengan perempuan.

Aku justru sering menjalin hubungan dengan sesama laki-laki. Aku pernah pacaran beberapa kali dengan laki-laki yang aku suka. Meski pun pada akhirnya hubungan percintaan ku selalu kandas. Karena hubungan seperti itu memang tidak akan pernah bertahan lama.

Sampai akhirnya aku bertemu Ranti. Sebenarnya aku tidak punya perasaan spesial untuk Ranti.

Hanya saja, aku merasa perihatin mendengar semua kisah tentang perjalanan hidupnya. Aku menjadi simpati padanya, yang membuat kami akhirnya dekat.

Aku pun memutuskan untuk menikahi Ranti, selain karena kasihan, aku juga butuh status.

Sebagai seorang pengusaha yang sukses, aku memang sudah lama dituntut oleh keluarga ku untuk segera menikah.

Dan pilihan ku jatuh pada Ranti, yang pada awalnya di tentang oleh keluarga ku. Karena menurut mereka, aku masih bisa mendapatkan seorang gadis.

Tapi aku tetap bertekad menikahi Ranti, selain karena aku ingin mengangkat derajat hidupnya, aku juga yakin Ranti adalah wanita yang baik dan penuh pengertian.

****

Hari-hari berlalu, aku mencoba menjalani kehidupan ku sebagai seorang laki-laki. Menjadi seorang suami bagi Ranti dan menjadi seorang ayah tiri bagi Raka.

Aku memang sudah sangat dekat dengan Raka. Sebagai seseorang yang telah lama kehilangan sosok seorang ayah dalam hidupnya, Raka memang dengan begitu mudah menyambut kedatangan ku dalam kehidupannya.

Aku memang menyayangi Raka dan berusaha memberikan yang terbaik untuknya. Namun perasaan cinta yang tumbuh di hatiku untuknya akhir-akhir ini, justru membuatku semakin tersiksa.

Bayangan Raka selalu menghiasi fantasi ku setiap malam. Hal yang sudah sangat lama tidak aku rasakan, setidaknya sejak aku memutuskan menikah dengan Ranti.

Keinginana untuk bisa memiliki Raka tumbuh begitu besar di hatiku. Aku sudah bertekad untuk bisa mendapatkannya walau dengan cara apa pun.

"mau liburan kemana kali ini, Ka?" tanya ku pada suatu pagi. Kami hanya berdua di rumah, Ranti sedang pergi ke pasar.

Sekarang memang sedang musim liburan. Biasanya setiap kali musim liburan datang, kami bertiga, aku, Raka dan Ranti, biasanya pergi berliburan selama beberapa hari ke daerah-daerah yang belum pernah kami datangi. Hal itu sudah menjadi rutinitas tahunan bagi kami.

"terserah om Darwis aja..." ucap Raka ringan. Raka memang selalu memanggil ku om, dan aku tidak pernah mempermasalahkannya. Yang penting Raka bisa menerima kehadiran ku dalam hidupnya.

"bagaimana kalau kali ini, kita liburannya khusus laki-laki aja?" tanya ku menawarkan.

"maksudnya, om?" Raka balik bertanya.

"iya, kali ini kita liburannya berdua aja..." jelasku ringan.

"lalu bagaimana dengan Ibu?" tanya Raka lagi.

"ibu mu sepertinya kali ini gak bisa ikut.." jawabku lagi.

"kenapa?" Raka bertanya lagi.

"karena.. karena sebentar lagi kamu bakalan punya adik.." jawabku.

"maksud om, Ibu sedang hamil sekarang?" tanya Raka.

Aku hanya mengangguk ringan menjawab pertanyaan Raka barusan.

Ranti memang sedang hamil sekarang. Usia kandungan nya baru sekitar enam minggu. Dan itu bisa menjadi alasan utama bagi ku, untuk tidak mengajak Ranti berliburan.

"jadi kalau ibu gak ikut, ibu tinggal sendirian lah di rumah.." ucap Raka kemudian.

"iya. Tapi kan ada pembantu di rumah ini, untuk menemani ibu kamu. Lagi pula kita perginya hanya beberapa hari kok." jelasku ringan.

"terserah om Darwis aja. Raka ngikut aja lah, om. Yang penting tahun ini Raka bisa liburan..." balasku Raka, yang membuat aku bersorak senang di dalam hati.

Setidaknya jika aku hanya pergi berdua bersama Raka, aku jadi punya banyak kesempatan untuk mendekatinya.

Aku harus bisa memanfaatkan kesempatan tersebut. Aku harus bisa mendapatkan Raka.

****

Part 2

Setelah mempersiapkan segala sesuatunya dan setelah meminta izin kepada Ranti, istriku, aku dan Raka si anak tiriku itu pun pergi berliburan berdua.

Untuk pertama kalinya aku dan Raka pergi liburan berdua setelah hampir empat tahun aku menjadi ayah tirinya.

Sungguh sebuah moment yang sudah sangat lama aku tunggu. Setidaknya sejak aku mulai jatuh cinta kepada Raka, anak tiriku itu, yang sekarang sudah tumbuh dewasa.

Bagaimanakah kelanjutan kisah ku bersama Raka?

Mampukah aku menaklukan hati Raka?

Atau justru aku akan kehilangan keduanya? Istriku dan juga Raka?

Simak lanjutan kisah ku bersama anak tiriku yang tampan, sampai selesai ya..

Namun sebelumnya bla...bla...

****

Aku sengaja mengatur tempat liburan kami ke sebuah pulau eksotic yang berada di tengah lautan dan berada di daerah yang cukup terpencil. Pulau itu juga terkenal dengan suasana romatisnya.

Perjalanan kami tempuh dengan menaiki pesawat, lalu memakai travel dan kemudian menaiki sebuah kapal feri kecil untuk menuju pulau tersebut.

Pulau itu ternyata memang indah. Ada banyak pengunjung dari berbagai daerah yang datang ke pulau itu. Bahkan ada banyak pengunjung dari luar negeri.

Di pulau itu juga terdapat tempat penginapan, untuk para pengunjung yang bermalam disana.

Aku memang sengaja mengambil penginapan satu kamar untuk kami berdua bersama Raka, selama tiga malam.

Selain tempat penginapan, pulau ini juga menyediakan beberapa tempat hiburan dan juga pusat penjualan oleh-oleh.

Satu-satunya kelemahan pulau ini hanyalah jaringan internet nya yang tidak memadai, bahkan untuk jaringan telpon nya aja sangat susah.

Tapi itu tidak jadi masalah bagi penngunjung. Bukankah tujuan berliburan itu adalah untuk melepaskan sejenak dari segala rutinitas, terutama yang berhubungan dengan dunia internet.

Dan aku justru menyukai hal itu. Karena dengan begitu, untuk sementara aku tidak akan terganggu oleh bunyi dering handphone. Dan aku bisa fokus untuk menjalankan misi ku untuk bisa mendapatkan Raka.

Kami sampai ke pulau itu, saat hari menjelang senja. Pemandangan matahari yang hampir tenggelam menyambut kami. Sebuah pemandangan yang indah, yang menjadi daya tarik tersendiri di pulau nan eksotic itu.

Karena hari yang sudah mulai gelap, kami langsung saja menuju kamar penginapan yang sudah aku pesan sejak tadi.

"om hanya pesan satu kamar, jadi gak apa-apa kan kita tidur sekamar?" tanya ku pada Raka, saat kami sudah berada di dalam kamar tersebut.

"ya gak apa-apa sih, om. Itung-itung untuk berhemat juga kan?" balas Raka penuh pengertian.

Meski pun tujuan utama ku menyewa hanya satu kamar, adalah agar aku bisa selalu bersama Raka dan agar aku punya banyak kesempatan untuk bisa menaklukannya.

"om sudah pesan kan malam makan buat kita, dan... dan... sekaligus... beberapa minuman berat.." ucapku sedikit terbata.

"maksudnya minuman beralkohol?" tanya Raka ragu.

"iya. Kita kan kesini mau bersenang-senang Raka. Jadi sekali-kali bolehlah..." jawabku santai.

"tapi aku tidak biasa minum, om." ucap Raka lugu.

"udah tenang aja. Kita gak usah cerita kan hal ini sama ibu kamu. Ini cukup jadi rahasia kita berdua. Lagi pula kan cuma sekali ini.." balasku berusaha membujuk Raka.

Aku berharap, dengan sedikit minuman bisa membuatku lebih berani untuk mengungkapkan perasaan ku kepada Raka. Dan juga tentu saja aku berharap, agar Raka lebih mudah ditaklukan.

*****

Selesai mandi dan makan malam, kami pun berjalan-jala sebentar menyelusuri pantai, sambil menghirup udara segar.

Setelah merasa cukup capek, kami pun kembali ke penginapan.

Aku mulai membuka minuman yang sudah aku pesan tadi.

"tapi aku gak biasa loh, om.." ucap Raka, saat aku menyodorkan minuman itu padanya.

"udah.. coba aja. Enak kok.." balasku meyakinkan.

Dengan sedikit ragu, Raka mulai menenggak minuman tersebut dengan perlahan. Aku pun ikut melakukannya.

Aku menghidupkan layar televisi yang ada dalam kamar tersebut, memutar sebuah film romantis. Hanya untuk memancing suasana.

Aku mulai mengajak Raka mengobrol sambil terus menawarkan minuman padanya.

Raka mulai hanyut dalam suasana romantis itu. Ia terlihat sudah dalam pengaruh minuman tersebut.

Aku mulai melakukan aksi ku. Pelan namun penuh perasaan.

Adegan romantis dalam film yang aku putar, juga membantu untuk aku lebih mudah menguasai keadaan. Aku menjadi lebih leluasa menguasai Raka. Apa lagi pengaruh minuman itu, cukup membuatku semakin berani untuk bertindak.

"kamu sangat tampan, Raka. Kamu begitu gagah. Om menginginkan kamu malam ini." rayu ku dalam usaha ku memulai aksi ku terhadap Raka.

Raka hanya terdiam. Dia sepertinya benar-benar telah terbawa suasana. Dan aku memanfaatkan kesempatan itu dengan baik.

Aku tidak ingin malam ini berlalu begitu saja. Aku harus bisa mendapatkan Raka.

"Om sangat mencintai kamu, Raka. Om ingin memiliki mu. Malam ini dan selama-lamanya.." rayu ku lagi.

"tapi... aku.. aku... " ucapan Raka terbata.

Aku dengan cekatan menahan ucapannya itu dengan gerakan liar ku.

Raka akhirnya tidak bisa berkata apa-apa. Pengaruh minuman itu cukup membuat dia tak berdaya menerima perlakuan ku.

Raka akhirnya hanya bisa pasrah. Membiarkan ku melakukan apa yang selama ini hanya ada dalam khayalanku.

Aku berhasil membawa Raka hanyut dalam gelombang penuh keindahan.

Raka perlahan mulai bisa menikmati hal tersebut.

Cuaca malam itu cukup dingin. Namun kami justru merasa terbakar oleh gelora keinginan kami.

Aku tak ingin melepaskan Raka. Tidak sedetik pun. Dia milik ku seutuhnya malam ini.

Setiap jengkal kulitnya adalah anugerah terindah yang membuatku terbuai.

Keindahan seorang Raka, adalah pahatan maha karya yang sempurna.

Tampan, kekar dan gagah.

Aku menyerahkan diriku sepenuhnya. Tak tersisa. Aku dan Raka, hanya kami berdua malam itu.

Perjalanan yang sangat panjang, yang membuat kami merasa lelah. Namun kelelahan itu sungguh indah. Sangat indah. Begitu indah.

Dan keindahan itu kian terasa, saat akhirnya perjalanan kami sampai pada tujuan yang menjadi impian setiap insan yang di landa asmara. Indah, penuh pesona.

Hingga malam pun berlalu dengan begitu cepat.

*****

Pagi itu aku terbangun. Aku melihat Raka sedang mengemasi barang-barangnya.

"kamu mau kemana?" tanya ku heran.

"aku harus pulang. Aku tak ingin disini. Om sengaja mengajak ku kesini. Agar om bisa menguasai ku. Tak ku sangka om akan melakukan semua itu padaku.." kasar suara Raka menjawab.

"om melakukannya karena aku memang benar-benar mencintai kamu Raka..." ucapku penuh perasaan.

"bullshit! Omong kosong! Om memang sudah biasa melakukan hal ini kan? Dan aku adalah korban om yang kesekiannya.." balas Raka masih kasar.

"om memang punya masa lalu yang suram, Raka. Om memang pernah melakukan hal tersebut, tapi itu dulu, jauh sebelum om menikah dengan ibu kamu. Dan sejak kamu mulai tumbuh dewasa, tiba-tiba saja aku jatuh cinta padamu, Raka. Kamu bukan korban, Raka. Kamu adalah orang yang aku cintai..." jelas ku panjang dengan suaraku yang mulai serak.

"terserah om Darwis mau ngomong apa. Aku tidak akan percaya. Aku tidak sudi lagi melihat om. Aku benci om Darwis. Dan aku harap om segera meninggalkan ibuku. Aku tidak sudi punya ayah tiri seorang gay..." suara Raka semakin kasar.

Raka selesai mengemasi barangnya dengan acak-acakan. Lalu kemudian dia melangkah dengan terburu menuju pintu keluar.

Bunyi dentuman suara pintu yang dihempaskan Raka membuat aku merasa terhenyak

Semarah itukah Raka padaku? Bathinku lirih.

Tapi aku tak berani mengejarnya. Aku hanya bisa membiarkan Raka pergi dengan segala amarah nya.

Aku tidak tahu harus berbuat apa saat ini. Aku bingung.

Jujur harus aku akui, kalau peristiwa semalam sungguh meninggalkan kesan yang begitu indah di hatiku.

Tapi saat ini hatiku rasanya hancur. Aku pikir tadi malam Raka melakukannya denganku adalah karena dia juga menginginkannya.

Namun ternyata Raka justru meninggalkanku sendiri di sini.

Aku merasa cemas, takut, dan merasa bersalah.

Meski pun aku yakin, Raka tidak akan berani menceritakan hal tersebut kepada ibunya. Tapi aku sudah tidak punya harapan lagi, untuk benar-benar bisa memiliki Raka.

Aku ingin memiliki Raka selamanya. Bukan sekedar kesenangan satu malam. Seperti yang aku rasakan malam tadi bersama Raka.

Tapi apa yang bisa aku lakukan sekarang?

Jika Raka bahkan sudah tidak sudi melihatku.

****

Part 3

Aku kembali ke rumah dengan keadaan yang tanpa semangat. Aku mengabaikan beberapa pertanyaan dari istriku.

Aku menghempaskan tubuhku di ranjang tidur kami, aku merasa sangat lelah dan terluka.

"apa yang terjadi, mas?" tanya istriku mengulang pertanyaannya.

"tidak ada yang terjadi. Kami hanya liburan." balasku dengan nada malas.

"tapi kenapa Raka pulang lebih awal? Dan sejak pulang dari sana, Raka tidak pernah keluar dari kamarnya. Kalau tidak terjadi apa-apa, Raka tak mungkin seperti itu." ucap Istriku lagi.

"mungkin dia hanya lelah. Biarkan saja dia beristirahat." balasku masih dengan nada malas.

Melihat aku yang tidak begitu mengubris pertanyaan-pertanyaannya, istri ku akhirnya meninggalkan ku sendirian di kamar.

Aku menarik napas beberapa kali, berusaha memejamkan mata untuk tertidur. Namun pikiran ku masih terasa sangat kacau.

Peristiwa yang aku alami bersama Raka malam itu, terus melintas di benakku.

Aku benar-benar dibuat gila oleh Raka. Aku benar-benar semakin mencintainya. Aku semakin menginginkannya.

Tapi saat ini Raka bahkan tidak mau keluar dari kamarnya.

Aku mengambil ponsel ku dan mengetik beberapa kalimat, lalu mengirimkan ke nomor Raka.

"sekali lagi om minta maaf Raka. Tapi sungguh om melakukan semua itu, karena om benar-benar mencintai mu.." begitu kira-kira pesan yang aku kirimkan kepada Raka.

Tidak ada balasan. Aku menunggu. Namun tetap tidak ada balasan.

****

Berhari-hari berlalu. Raka sudah keluar kamar, namun dia tak pernah mengeluarkan sepatah kata pun selama aku berada di rumah.

Aku berusaha menegurnya, namun tak pernah digubris. Aku coba menelponnya namun tak pernah diangkat, aku berkali-kali mengirimkan pesan padanya, namun tak pernah ada balasan.

Mungkin Raka memang benar-benar marah padaku dan sangat membenciku.

Tapi aku adalah penguasa dalam hidupku. Aku penguasa dalam hidup mereka berdua, istri dan anak tiriku. Raka tak bisa terus memperlakukan aku seperti ini.

Untuk itu pada suatu kesempatan, aku pun masuk ke kamar Raka dengan paksa, saat ibunya sedang berbelanja ke pasar.

"kenapa kamu selalu menghindari ku?" tanya ku dengan suara sedikit kasar.

"aku membenci om Darwis.." suara Raka sinis.

"iya. Kenapa? Kenapa kamu membenci ku?" tanyaku sedikit menurunkan suara.

"aku tidak tahu. Bukankah tidak butuh alasan apa pun untuk bisa membenci?" balas Raka.

"iya. Seperti halnya kita tidak butuh alasan untuk mencintai.." balasku.

"aku tidak mencintai om Darwis.." ucap Raka.

"aku tidak mengatakan kalau kamu mencintai ku. Tapi kalau kamu memang benar-benar membenci ku, kenapa kamu masih berada disini? Kenapa juga kamu tidak cerita sama ibu mu?" ucapku bertanya.

"karena aku tidak tahu apa sebenarnya yang aku rasakan saat ini. Aku bingung, om. Seandainya saja om Darwis bukan ayah tiriku, mungkin ceritanya akan berbeda." kali ini suara Raka terdengar lirih.

"aku memang sengaja menghindari om, karena aku tidak ingin terbius lagi dengan pesona om Darwis. Dari awal aku memang menyukai om Darwis. Tapi selama ini aku hanya bisa memendamnya. Karena aku sadar om Darwis adalah ayah tiriku." Raka melanjutkan kalimatnya.

"namun sejak peristiwa malam itu. Sejak aku tahu, kalau om Darwis juga menyukai ku, aku justru menjadi bingung. Antara membiarkan diriku terjerat dalam hubungan terlarang di antara kita, atau membunuh perasaanku sendiri.." lanjut Raka lagi.

"berarti selama ini kamu juga mencintaiku?" tanya ku dengan suara berat.

"mungkin, om. Kasih sayang yang om berikan sejak aku remaja, membuat aku seakan menemukan tempat untuk bersandar. Aku telah kehilangan kasih sayang seorang ayah sejak kecil, dan kehadiran om Darwis mampu menumbuhkan perasaan nyaman dalam hatiku.." jelas Raka, suaranya semakin lirih.

"lalu mengapa setelah kejadian malam itu, pagi nya kamu begitu marah padaku? Kamu berlagak seolah-olah kamu tidak menginginkannya." tanyaku penasaran.

"karena aku merasa, apa yang telah kita lakukan adalah sebuah kesalahan, om. Aku merasa bersalah pada ibu. Aku marah pada diriku sebenarnya, yang tidak bisa mengendalikan perasaanku sendiri." jelas Raka lagi.

"kamu tidak berhak membunuh rasa yang tumbuh diantara kita Raka. Kita punya kesempatan untuk bersama. Jangan kau siksa hatiku dengan diam mu. Aku sakit.." ucapku pilu.

"aku tidak sedang membunuh rasa itu. Aku hanya sedang memikirkan jalan terbaik untuk kita. Seperti yang aku katakan, kalau saja om Darwis bukan ayah tiriku, aku sudah pasti akan rela hati menerima kehadiran om Darwis dalam hatiku." balas Raka terdengar sangat dewasa. Jauh lebih dewasa dari usianya yang sebenarnya.

Aku saja bahkan tidak sampai berpikiran seperti itu. Aku lebih mengutamakan ego ku untuk bisa memiliki Raka seutuhnya, tanpa pernah memikirkan perasaannya, tanpa pernah memikirkan perasaan istriku.

"lalu apa jalan terbaik yang kamu temukan selama beberapa hari ini?" tanyaku akhirnya, yang sebenarnya juga aku tujukan pada diriku sendiri.

"kalau memang om Darwis mencintaiku. Tolong.. jangan bawa aku larut di dalamnya, selama om Darwis masih bersama ibuku. Aku tak mungkin berbagi om Darwis dengan ibu ku sendiri." balas Raka pelan.

"tanpa ada ibu ku di dalamnya, hubungan kita saja sudah salah, om." lanjutnya lagi.

"lalu kamu ingin aku menceraikan ibumu?" tanyaku dengan nada ragu.

"itu bukan keinginanku. Itu keputusan om." jawab Raka lugas.

"kamu jangan buat aku ikut bingung, Raka." balasku lirih.

"bukankah hubungan seperti ini memang sangat membingungkan, om. Kita tidak bisa terlepas dari hal itu. Karena itu, sebelum kita terjerat semakin jauh, aku ingin om bersikap tegas." ucap Raka membalas.

"kenapa hanya aku yang harus memilih? Kenapa kamu tidak?" tanyaku pasrah.

"karena om yang berada di posisi itu, om. Om yang harus memutuskan, bukan aku." timpak Raka cepat.

"aku tidak akan memilih dan tidak akan memutuskan apa pun." ucapku akhirnya tegas.

"aku memang sangat mencintai kamu, Raka. Tapi aku tidak mungkin bisa menikahi kamu. Hubungan kita hanyalah sebuah rahasia. Jika kamu memang juga mencintaiku. Kita jalin hubungan ini, tanpa mengorbankan siapa pun, terutama ibu mu." lanjutku semakin tegas.

Kali ini Raka terdiam. Dia hanya bungkam. Membisu.

Entah apa yang di pikirkannya. Aku juga enggan untuk menebak.

Namun yang pasti, aku tidak mungkin menceraikan istriku, hanya untuk bisa bersama Raka. Karena sekali pun aku bercerai dari ibunya, kami juga tidak mungkin bisa bersama secara utuh.

Siapa yang akan bisa menerima hubungan seperti itu?

Tidak satu pun dan tak akan pernah ada.

****

Keesokan harinya Raka tidak pulang. Dia tidak meninggalkan pesan apa pun, bahkan kepada ibunya.

Ibunya kebingungan, berkali-kali ia menelpon anaknya, namun nomornya sudah tidak aktif.

"kita lapor polisi ya, mas." ucap istriku dengan suara berat, semalaman ia tidak tidur memikirkan keberadaan anaknya. Menelpon beberapa orang teman Raka, namun tidak seorang pun yang tahu dimana Raka.

Sudah sehari semalam Raka tidak pulang, sejak ia berangkat kuliah pagi itu. Aku juga mulai khawatir. Tapi aku tahu alasan Raka pergi. Karena itu aku pun tidak setuju dengan permintaan istriku untuk melaporkan kehilangan Raka pada pihak berwajib.

"Raka sudah dewasa, Ranti. Dia pasti bisa jaga diri kok.." ucapku beralasan.

"tapi sampai sekarang belum ada kabar loh, mas. Ponselnya juga gak aktif-aktif.." keluh istriku lagi.

"aku akan cari dia. Kamu tunggu aja di rumah. Aku akan minta bantuan pada anak buah ku di kantor untuk mencari Raka.." ucapku menenangkan istriku.

Siang itu, aku dan beberapa orang bawahan ku berkeliling kota mencari keberadaan Raka. Aku tahu Raka bersembunyi, tak akan mudah menemukannya.

Aku tak menyangka Raka akan mengambil keputusan seperti itu. Setelah perdebatan kami yang panjang malam itu.

Saat dalam pencarian tersebut, tiba-tiba sebuah pesan masuk ke ponsel ku dari nomor yang tidak aku kenal.

'om tidak usah mencariku. Aku tidak akan pulang, sebelum om membuat keputusan.' begitu bunyi pesan singkat tersebut. Sepertinya Raka sengaja menggunakan nomor baru untuk menghubungiku.

'kamu jangan bodoh Raka. Ibu mu sangat mengkhawatirkan mu.' balasku cepat, takut Raka mematikan ponselnya.

'sejak kapan om mencemaskan keadaan ibu ku? Bukankah om tidak pernah mencintainya?' balas Raka.

'om mohon sama kamu Raka. Apa pun alasan mu untuk pergi saat ini, setidaknya pikirkanlah perasaan ibu mu. Pulanglah. Kita akan bicarakan ini lagi.' aku membalas.

Kali ini tidak ada balasan. Aku menunggu. Tetap tidak ada balasan.

Aku mencoba menghubungi nomor tersebut, tapi ternyata sudah tidak aktif.

Aku terdiam, tidak tahu harus melakukan apa saat ini...

****

Part 4

Raka akhirnya kembali, setelah tiga hari dia menghilang. Dia kembali dengan tampang tanpa merasa bersalah sedikit pun.

Tak dihiraukannya ibunya yang menangis menyambut kepulangannya. Dia langsung menuju kamarnya, seolah-olah tidak terjadi apa-apa.

Aku merasa kesal melihat tingkah Raka. Meski pun aku sangat mencintainya, tidak seharusnya Raka bersikap seperti itu. Dia seharusnya lebih dewasa.

Tapi Raka tidak sepenuhnya salah dalam hal tersebut. Aku yang menyebabkan dia bertindak seperti itu.

Meski aku juga tidak pernah memintanya untuk juga jatuh cinta padaku.

Tapi semua sudah terlanjur terjadi. Kami sudah terlanjur saling jatuh cinta. Dan bahkan sudah terlanjur melakukan hubungan yang seharusnya tidak kami lakukan.

Sebagai ayah tirinya, aku seharusnya lebih bisa menahan diri, menahan perasaanku. Tapi Raka terlalu mempesona di mataku.

Aku tidak bisa begitu saja menolak pesonanya. Aku tidak bisa begitu saja mengabaikannya.

Dan apa lagi setelah aku tahu, kalau dia juga menyukai ku. Aku semakin punya kekuatan untuk bisa mendapatkannya.

Namun pilihan yang diberikan Raka sungguh teramat sulit untuk aku pilih. Aku tak mungkin menceraikan istriku, yang juga merupakan ibu kandung Raka, hanya demi untuk bisa bersama Raka.

Tapi Raka tidak ingin menjalin hubungan apa pun dengan ku, jika aku masih berstatus suami ibunya.

Dan hal itu membuat aku semakin bingung.

Aku memang sangat mencintai Raka. Tapi aku juga sadar, meski pun kami saling cinta, kami tidak mungkin bisa bersama secara utuh. Tidak ada yang bisa menerima hubungan seperti itu.

Tidak satu pun!

****

"aku mencintai om Darwis. Tapi aku tidak ingin menyakiti perasaan siapa pun.." lirih suara Raka berucap.

"kamu tidak menyakiti perassaan siapa pun dengan mencintai ku, Raka." balas ku pelan.

Saat itu kami ngobrol berdua di kamar Raka.

"tapi jika kita tetap nekat melanjutkan hubungan kita, bisa saja hubungan terlarang kita akan diketahui oleh ibu. Dan itu jelas akan sangat melukai perasaannya. Aku tidak ingin hal itu terjadi.." balas Raka masih dengan suara lirih.

"jadi kamu maunya gimana Raka?" tanya ku ingin tahu.

"aku ingin om Darwis tetap menjadi suami ibuku. Aku ingin om Darwis belajar untuk mencintainya. Aku ingin om Darwis belajar untuk melupakanku. Aku juga akan belajar untuk melupakan om Darwis." jelas Raka.

"dan satu hal lagi, ini yang paling penting. Aku ingin om Darwis berhenti berpetualang di dunia gay. Aku ingin om Darwis tidak lagi melirik laki-laki lain di luar sana. Om harus benar-benar bisa mencintai ibuku.." lanjut Raka lagi.

"lalu bagaimana dengan kamu sendiri, Raka? Apa kamu bisa berubah? Kamu mungkin bisa melupakan ku, tapi kamu tidak akan bisa menolak godaan laki-laki di luar sana.." balasku ringan.

"aku akan belajar untuk melupakan om Darwis. Dan itu hanya bisa aku lakukan, kalau aku tidak berada disini.." ucap Raka.

"maksud kamu?" tanyaku dengan sedikit mengerutkan kening.

"aku akan pindah kuliah ke luar kota, om. Aku sudah sampaikan hal itu pada Ibu. Dan Ibu juga sudah setuju. Dengan begitu, kita akan lebih mudah untuk saling melupakan." jelas Raka.

Setengah hatiku tidak setuju dengan keputusan Raka tersebut. Biar bagaimana pun aku sangat mencintainya, dan aku tidak ingin kehilangan dia.

Meski pun aku tidak bisa memilikinya seutuhnya, tapi setidaknya, jika Raka masih tinggal bersama kami, aku masih bisa melihatnya, menatap wajah teduhnya setiap hari.

Namun seperti yang Raka katakan, aku memang harus belajar untuk melupakannya.

Cinta memang tak selamanya harus memiliki. Cinta tak selamanya harus bersama.

Mungkin cintaku kepada Raka memang sangat besar, tapi resiko yang harus kami tanggung, jika kami tetap nekat untuk bersama, rasanya terlalu besar.

Apa lagi mengingat usiaku yang sudah tidak muda lagi.

Sejak memutuskan menikah dengan Ranti, istriku sekaligus ibunya Raka, aku sudah bertekad untuk berubah. Namun kehadiran Raka, mampu mengendurkan tekad ku tersebut.

Tapi sekarang, aku sudah tidak punya harapan apa-apa lagi kepada Raka. Dia telah membuat keputusan hidupnya sendiri. Dan aku harus menerimanya sebagai sebuah keputusan yang terbaik.

****

Raka akhirnya pergi. Benar-benar pergi. Dan aku merasa sangat kehilangan.

Hidupku terasa hampa. Aku jadi kehilangan semangat.

Namun demi janji ku kepada Raka, untuk membahagiakan ibunya, aku harus tetap bertahan.

Aku berusaha belajar untuk mencintai istriku. Aku berusaha untuk menjadi suami yang baik baginya.

Sampai akhirnya istriku pun hamil. Dan hal itu cukup membuatku bahagia.

Aku kembali punya semangat lagi. Aku seakan menemukan tujuan dalam hidupku.

Yah, sebentar lagi aku akan menjadi seorang ayah. Dan hal itu merupakan suatu kebanggan bagiku.

Raka masih sering pulang ke rumah, terutama saat musim liburan. Tapi hubungan kami hanya sebatas antara seorang anak dengan ayah tirinya.

Aku maupun Raka, sepertinya sudah berhasil menghapus segala perasaan cinta kami. Rasa itu tidak lagi ada. Rasa itu telah punah, bersama jarak dan waktu.

Kini hari-hari ku lebih aku fokuskan kepada pekerjaan ku, dan juga untuk menyambut kelahiran anak pertamaku.

Aku tidak lagi memikirkan sosok laki-laki dalam hidupku. Aku tidak ingin memikirkannya.

Meski jujur saja, perasaan itu kadang datang. Tapi aku selalu berusaha untuk menepisnya.

Aku tidak ingin terjerumus lagi dalam rasa yang tidak akan pernah berujung. Aku tidak ingin terjerumus lagi dengan perasaan yang hanya akan menyiksa ku.

Aku harus bisa berhenti. Aku harus benar-benar berubah.

Setidaknya demi Raka, demi ibunya dan juga demi calon anakku.

****

Sekian ...

Aku relakan istriku

Namaku Andra. Bukan nama sebenarnya.

Dan ini adalah kisah nyata ku.

Cerpen sang penuai mimpi

Aku lahir, tumbuh dan besar dari keluarga yang cukup berada. Sejak kecil segala kebutuhanku selalu terpenuhi oleh orangtua ku.

Orangtua ku memang cukup memanjakan ku, karena aku adalah anak mereka satu-satunya.

Sampai akhirnya aku tumbuh besar dan bekerja di perusahaan papa ku.

Setelah mulai bekerja, aku pun mulai dituntut oleh orangtua ku, terutama mama ku, untuk aku segera menikah.

Hingga pada akhirnya aku pun menikah dengan seorang gadis pilihan mama ku.

Aku menerima perjodohan itu dengan pasrah. Karena aku tidak berhasil menemukan wanita yang aku inginkan. Untuk urusan percintaan, aku memang tidak seberuntung kehidupanku.

Aku pernah pacaran beberapa kali dengan beberapa orang perempuan, namun pada akhirnya setiap hubungan asmara ku selalu berakhir dengan perpisahan.

Dan menerima perjodohan dengan gadis pilihan mama ku, merupakan jalan terakhir bagiku untuk mendapatkan jodoh.

Setelah menikah, aku pun pisah rumah dari orangtua ku. Aku belajar mandiri, bersama keluarga baruku.

Aku hanya hidup berdua dengan istriku, karena istriku memang hanya seorang ibu rumah tangga biasa. Dan dia tidak ingin ada pembantu di rumah kami.

Istriku, sebut saja namanya Imay, tidak terlalu cantik, namun cukup menarik secara fisik. Selain itu, Imay juga seorang wanita soleha. Dia rajin beribadah, karena dia memang lulusan dari sebuah pesantren. Hal itulah yang membuat mama ku memilihnya untuk menjadi istri ku.

Imay tidak pernah kuliah, karena orangtuanya tidak mampu membiayai nya untuk kuliah.

Orangtua Imay memang hanya pedagang biasa. Imay juga masih punya tiga orang adik yang masih sekolah. Sebagai anak sulung, Imay memang harus mengalah kepada adik-adiknya.

Setidaknya begitulah segelumit kisah tentang Imay yang aku ketahui dari ceritanya.

Meski pun kami tidak pernah pacaran. Tapi kami cukup bahagia.

Kami sama-sama belajar untuk bisa saling mencintai. Saling mengenal pribadi masing-masing, dan saling membuka hati untuk kehidupan kami yang baru.

****

Setahun pernikahan kami, kami sudah mulai saling menyayangi, saling mencintai dan saling mengerti.

Kami juga merasa bahagia, meski pernikahan kami belum dikaruniai anak.

Sebenarnya tidak terlalu jadi masalah bagi ku dan Imay, dengan pernikahan kami yang tanpa anak. Toh kami juga baru menikah selama satu tahun.

Tapi, mama ku tidak bisa menerimanya begitu saja. Mama sangat ingin untuk kami segera punya momongan.

Kami berdua sebenarnya juga ingin segera punya anak. Namun Imay belum juga kunjung hamil. Mungkin kami harus lebih sabar lagi.

****

Dua tahun berlalu. Imay belum juga menunjukkan tanda-tanda kehamilan. Dan hal itu membuat mama semakin sering mendesak kami.

Mama menyarankan berbagai alternatif untuk percepatan kehamilan Imay. Kami hanya meng iya kan saja setiap saran dari mama. Kami belum mau melakukan pengobatan apa pun untuk kehamilan Imay. Kami masih yakin, kalau kami masih bisa melakukannya sendiri, tanpa bantuan obat-obatan apa pun.

Namun setelah tiga tahun pernikahan kami, aku mulai merasa ada yang salah dengan ku, atau justru dengan Imay sendiri.

Untuk itu, aku dan Imay pun mendatangi dokter spesialis.

Dari beberapa kali hasil pemeriksaan dokter tersebut, ternyata kondisi kandungan Imay baik-baik saja.

Kesalahannya justru ada padaku.

Aku yang tidak bisa memberi Imay keturunan. Aku mandul.

Setidaknya begitulah keterangan dari dokter tersebut.

Awalnya aku tidak percaya. Karena itu aku pun mencoba mendatangi dokter lain diam-diam.

Dan ternyata hasilnya juga sama. Aku mandul.

Dan itu membuatku sangat terpukul. Harga diriku sebagai laki-laki seakan terkoyak. Aku benci mengakui itu.

Imay sebenarnya tidak mempersalahkan hal tersebut. Dia bisa menerima semuanya. Setidaknya begitulah yang ia ucapkan padaku, mungkin untuk sekedar menghiburku atau sekedar menguatkan ku.

Imay mungkin bisa menerima semuanya. Tapi bagaimana dengan mama? Mungkinkah mama bisa memakluminya?

Dan bagaimana pula dengan diriku sendiri?

Aku bahkan sangat membenci diriku saat ini.

****

Aku menjadi frustasi, kacau dan berantakan. Aku kehilangan gairah. Aku tidak punya semangat lagi untuk terus melanjutkan hidup. Aku merasa tidak berguna sebagai laki-laki.

Imay memang selalu berusaha menghiburku, memberikan aku semangat.

Dia juga menyarankan beberapa alternatif untuk kami tetap bisa mempunyai keturunan.

Mulai dari adopsi anak, bayi tabung dan berbagai alternatif lainnya.

Namun aku tidak bisa menerima semua itu.

Yang paling aku pikirkan sebenarnya adalah Imay, istriku. Aku merasa kasihan melihatnya.

Sebagai perempuan aku yakin, dia juga ingin merasakan menjadi seorang ibu, mendapatkan seorang anak dari rahimnya sendiri. Dia punya hak untuk itu, dan aku tidak bisa memberikannya.

Aku telah menjadi seorang suami yang telah merenggut hak istriku untuk bisa hamil dan mempunyai keturunan dari rahimnya sendiri.

Hal itu justru membuatku semakin merasa bersalah.

Namun aku tidak mungkin meninggalkan Imay apa lagi menceraikannya. Selain karena aku memang sangat mencintainya, aku juga tidak ingin mama tahu tentang apa yang telah terjadi dalam rumah tangga kami.

Dan sebagai seorang laki-laki yang sangat mencintai istrinya, sudah seharusnya aku memberikan yang terbaik untuk istriku. Terutama untuk memberikan haknya sebagai seorang wanita.

Aku juga ingin istriku bisa merasakan bagaimana rasanya hamil dan melahirkan seorang anak dari rahimnya sendiri.

Karena itu aku pun mengambil jalan pintas. Jalan pintas yang tentu saja sangat di tentang oleh istriku.

Istriku menolak, dia tidak bisa menerima permintaan ku. Tapi aku memaksanya, aku mengancamnya dengan berbagai cara.

Aku ingin dia melakukan hubungan badan dengan laki-laki lain. Laki-laki yang aku bayar, untuk bisa membuat istriku hamil.

Tentu saja aku telah memilih laki-laki yang terbaik. Aku juga ingin punya keturunan yang baik-baik.

Setelah perdebatan yang panjang, dan bahkan hampir bercerai, istriku pun akhirnya setuju.

Dan aku dengan sangat terpaksa, harus merelakan istriku tidur bersama laki-laki lain, selama beberapa malam.

Aku tahu tindakan ku salah. Aku tahu aku bodoh. Tapi aku hanya ingin memberikan hak istriku sebagai wanita normal.

Dia sehat, aku yang sakit. Dan dia tidak harus ikut menanggung sakit ku. Dia berhak untuk merasakan semua itu. Merasakan hamil, melahirkan dan menyusui anaknya sendiri.

****

Dan berbulan-bulan kemudian, istriku pun hamil. Dan orang yang paling bahagia dengan semua itu adalah mama.

Setelah hampir empat tahun pernikahan kami, akhirnya mama bisa mendengar kabar bahagia itu.

Aku turut bahagia. Entahlah. Apa aku bahagia atau tidak, itu tidak penting. Apa istriku bahagia atau tidak juga tidak penting lagi.

Hubungan ku dengan istri ku memang menjadi sedikit renggang sejak peristiwa itu.

Tapi aku berusaha sekuat mungkin untuk menerima semua kenyataan yang ada.

Dan semua itu hanyalah menjadi rahasia, antara aku, istriku dan laki-laki yang menghamilinya.

Dan aku berharap, semua itu akan tetap menjadi rahasia sampai kapan pun. Selamanya.

****

Cari Blog Ini

Layanan

Translate