Cinta untuk pemuda desa

Namaku Andre. Dan aku adalah anak seorang pengusaha yang punya beberapa cabang toko barang harian.

Aku anak tunggal. Dan saat ini aku sedang kuliah semester akhir.

Papa ku memang punya beberapa cabang toko barang harian di beberapa daerah. Papa memang sudah menjadi pedagang sejak muda. Dan usahanya terus berkembang, hingga ia bisa membuka beberapa cabang.

Papa memang selalu rutin mengunjungi cabang-cabang tokonya, setidaknya dua kali dalam seminggu, untuk memeriksa catatan keuangannya. Meski pun pada setiap cabang tokonya, papa sudah punya orang kepercayaan untuk mengelola toko tersebut.

Sebenarnya papa juga sering mengajakku ikut dengannya, terutama saat aku tidak sedang kuliah. Tapi selama ini aku selalu menolak, karena aku memang tidak tertarik dengan dunia dagang.

Papa sudah memastikan bahwa aku adalah pewaris tunggal semua usahanya. Karena itu dia ingin aku belajar tentang usaha dagangnya tersebut. Namun aku belum memikirkan hal tersebut, aku belum merasa tertarik.

Hingga pada suatu kesempatan, papa akhrinya berhasil mengajak aku ikut dengannya, untuk melihat salah satu cabang tokonya di sebuah desa.

Desa itu memang cukup maju dan ramai, karena itu papa juga membuka cabang tokonya disana.

Aku dengan ogah-ogahan mengikuti keinginan papa kali ini. Setidaknya untuk membuat ia merasa senang.

"gitu, dong. Sekali-kali kamu ikut papa, biar kamu bisa sekalian belajar juga.." ucap papa di perjalanan kami.

Aku hanya diam. Aku enggan untuk berkomentar. Aku tidak suka berdebat dengan papa, terutama soal usahanya.

Aku memang belum pernah mengatakan secara langsung tentang ketidaktertarikan ku akan usaha papa. Namun aku yakin, dari sikap ku selama ini, papa sudah bisa menebak. Karena itu, dia selalu berusaha untuk mengajakku ikut dengannya.

Dan kali ini dia berhasil.

Kami sampai ke cabang toko papa sekitar jam sepuluh pagi. Aku dengan bermalasan ikut turun dari mobil.

Saat itulah aku melihat seorang pemuda yang sedang mengangkut barang dari sebuah mobil ke dalam toko. Pemuda itu tidak memakai baju, mungkin karena gerah.

Dia hanya memakai celana pendek yang sepertinya sengaja ia potong.

Pemuda itu berkulit sedikit gelap, namun terlihat kekar. Otot-otot lengannya menyembul saat ia memikul barang tersebut ke dalam toko.

Aku menatap pemuda itu lama dari belakang. Saat akhirnya dia keluar kembali dari toko dan menuju mobil lagi untuk mengangkut barang berikutnya.

Mata kami bertemu pandang, aku berusaha memasang senyum termanisku. Bukan untuk menggoda, hanya agar terlihat ramah. Pemuda itu bukannya membalas tersenyum, tapi malah memalingkan muka, seolah-olah tak melihat ku.

Aku berniat untuk mendekati pemuda tersebut, tapi suara papa memanggilku untuk masuk ke dalam toko.

Dengan langkah pelan aku memasuki toko tersebut, sambil terus memandangi pemuda berkulit gelap tadi.

Papa memperkenalkan ku pada Mang Rohim, orang kepercayaan papa untuk mengelola toko tersebut.

Mang Rohim sudah cukup tua, lebih tua dari papa. Tapi dia punya semangat kerja yang kuat dan juga sangat jujur. Karena itu papa masih mempercayainya.

"sebenarnya papa ingin mencari orang yang bisa menggantikan mang Rohim, tapi sampai saat ini papa belum menemukan orang yang cocok.." jelas papa padaku, ketika di perjalanan pulang.

Kami memang hanya sebentar di sana, karena harus menuju toko berikutnya.

Namun rasanya pikiran ku masih tertinggal di sana. Aku masih penasaran dengan pemuda gagah berkulit gelap yang aku lihat tadi.

Siapa laki-laki itu? bathin ku bertanya sendiri.

Dan bagaimanakah akhirnya aku bisa mengenal pemuda tersebut?

Mungkinkah aku bisa bertemu dia lagi?

Simak kisah ini sampai selesai ya...

Namun sebelumnya bla..bla...

*****

Dua hari kemudian, aku nekat mendatangi desa tempat salah satu toko papa tersebut, sendirian.

Aku masih penasaran dengan pemuda gagah berbadan gelap tersebut. Dua malam ini, pikiran ku selalu di hantui oleh wajah pemuda tersebut.

Aku selalu memikirkannya, yang membuatku jadi susah tidur.

Akh, apa yang aku rasakan sebenarnya?

Mungkin kah aku telah jatuh hati pada pandangan pertama?

Semudah itukah aku untuk jatuh cinta?

Berbagai pertanyaan terus menghantui pikiranku, yang membuatku akhirnya nekat untuk datang menemui pemuda tersebut.

Sesampai di sana, mang Rohim menyambutku. Aku beralasan kepada mang Rohim, kalau aku hanya mampir di toko sebentar.

Aku melihat pemuda itu sekali lagi, ia masih tak memperhatikanku.

"itu siapa, mang?" tanyaku akhirnya kepada mang Rohim, sambil menunjuk ke arah pemuda tersebut.

"oh, dia Akmal. Dia buruh angkut di toko ini, sekalian bantu-bantu saya untuk menyusun barang dagangan di dalam toko.." jelas mang Rohim.

Selain mang Rohim dan Akmal yang disebutkan mang Rohim tadi, juga ada dua karyawan lainnya yang bekerja di toko tersebut. Mereka sudah punya tugas masing-masing.

"apa dia pekerja baru?" tanya ku lagi.

"bukan. Akmal sudah lama bekerja dengan saya." jawab mang Rohim.

"dia asli orang sini?" aku bertanya kembali.

"iya. Dia pemuda sini. Rumahnya juga gak jauh dari sini.." jelas mang Rohim lagi.

Untuk selanjutnya aku hanya manggut-manggut, sambil mulai memikirkan bagaimana caranya mendekati pemuda tersebut.

"saya boleh pinjam dia sebentar mang Rohim?" ucapku tiba-tiba, setelah mendapatkan sebuah ide.

"pinjam? pinjam untuk apa?" tanya mang Rohim dengan wajah herannya, mendengarkan kalimat ku barusan.

"maksud ku, aku ingin minta tolong ditemani ke kota sebentar, nanti aku antar lagi Akmal kesini.." jelasku berusaha bersikap sewajar mungkin.

"ooo.." mang Rohim membulatkan bibir, "gak apa-apa. Hari ini juga gak ada barang datang, jadi Akmal tidak terlalu sibuk. Nak Andre bawa aja.." lanjut mang Rohim.

"tapi apa dia mau, mang?" tanyaku ragu.

Mang Rohim menyadari keraguanku. Dia pun berteriak memanggil pemuda tersebut yang berada di luar toko.

Pemuda itu bergegas mendatangi kami, ia melirik ku sekilas lalu berpaling muka lagi.

"ada apa, mang?" tanya pemuda itu. Untuk pertama kali nya aku mendengar suaranya. Maskulin. Macho. Indah.

"ini nak Andre, putranya pak Broto, pemilik toko ini." jelas mang Rohim. "dia minta tolong sama kamu, untuk menemaninya ke kota sebentar, nanti dia antar kamu lagi kesini.." lanjut mang Rohim.

Pemuda itu menatapku lagi, kali ini lebih lama.

"ngapain ke kota lagi? Bukannya kamu tadi juga dari kota?" pemuda itu bertanya padaku, suaranya sedikit sinis.

"aku.. aku hanya ingin menjemput sesuatu, tadi ketinggalan.." jelasku sedikit tergagap.

Pemuda itu tidak berkata lagi, tapi ia terus memutar tubuh dan melangkah keluar.

"sebenarnya dia pemuda yang baik. Tapi wataknya emang sedikit keras." mang Rohim berucap, setelah Akmal berada di luar toko.

"jadi pergi gak?" suara teriakan Akmal terdengar dari luar.

Aku segera melangkah ke luar. Akmal sudah menunggu di dekat mobil.

Aku membuka pintu dan masuk ke dalam mobil, dengan perasaan yang tak karuan.

Aku tidak tahu, apa ide ku ini layak aku teruskan atau aku harus berhenti sampai disini.

"ayok jalan.." suara Akmal mengagetkanku, ketika akhirnya dia duduk di sampingku.

Perasaanku semakin tak karuan. Dada ku berdebar hebat.

Akh, aku memang telah jatuh hati pada Akmal. Aku bisa merasakan hal itu.

Aku melirik sekilas ke arah Akmal, lalu mulai menghidupkan mesin mobil dan menjalankannya dengan perlahan.

Akmal memang tidak terlalu tampan. Tapi dia punya raut wajah yang tegas. Hidungnya bengir, tatapan matanya sendu, dagunya lancip dengan rahangnya yang kokoh.

Terlepas dari itu semua, postur tubuhnya yang gagah dan kekar itu lah yang membuat ku jatuh hati padanya.

"kenapa kamu gak pergi sendiri aja sih?" tanya Akmal memecah kesunyian, saat mobil sudah meninggalkan desa tersebut.

"kenapa kamu begitu angkuh?" aku bertanya, tanpa mempedulikan pertanyaannya barusan.

"saya angkuh?" balas Akmal dengan kening mengerut. "bukannya kamu yang angkuh? Anak orang kaya yang manja. Kebanyakan orang-orang kaya itu yang angkuh." lanjutnya dengan nada sinis.

"apa saya terlihat angkuh? Sejak pertama kali melihat kamu, aku berusaha tersenyum. Kamu malah memalingkan muka dariku." ucapku membalas.

"saya tidak suka direndahkan.." ucap Akmal datar.

"saya tidak merendahkan kamu. Saya hanya mencoba untuk ramah.." balasku sedikit sengit.

"biasanya orang-orang kaya yang datang ke tempat kami, selalu memandang orang seperti ku ini rendah..." balas Akmal tajam.

"tidak semua orang kaya seperti itu." balasku. "mungkin kamu nya aja yang berlebihan, atau kamu punya trauma berurusan dengan orang kaya?" lanjutku sedikit bertanya.

Kali ini Akmal terdiam. Dia terdengar menarik napas beberapa kali. Kemudian menghempaskannya dengan berat.

****

"kita mau kemana sebenarnya? kenapa dari tadi kita hanya keliling-keliling gak jelas?" suara Akmal berat.

Aku tidak bisa menjawab. Aku juga tidak tahu mau membawa Akmal kemana.

Tadi aku hanya berpikir untuk membawa nya berjalan-jalan sambil sedikit mengobrol. Aku memang berniat untuk mengenal Akmal lebih dekat.

Namun sikap angkuh Akmal cukup membuatku ragu. Aku tidak tahu harus memulai semuanya dari mana.

"kalau kamu tidak punya tujuan yang jelas, lebih baik kita kembali aja ke desa.." suara berat Akmal terdengar lagi.

"sebenarnya.. sebenarnya.. saya hanya pengen ngobrol sama kamu. Saya ingin mengenal kamu lebih dekat lagi." ucapku akhirnya memberanikan diri.

"sejak pertama melihat kamu waktu itu, aku jadi penasaran sama kamu.." lanjutku lagi.

"maksud kamu apa? Aku gak ngerti.." balas Akmal.

"yah, aku pengen kenal kamu lebih dekat. Mungkin kita bisa jadi teman?" ucapku kemudian.

"apa untungnya bagi kamu?" tanya Akmal, suaranya masih terdengar sinis.

"bisa gak, kamu memandang orang tidak dari sisi negatifnya?" tanyaku kasar, "saya gak cari keuntungan apa pun dengan berteman sama kamu.." lanjutku.

"wajar kan kalau aku berpikir negatif? Bukannya aneh, tiba-tiba saja kamu ingin berteman dengan orang seperti ku? Apa kamu sudah kekurangan stok teman di kota atau di kampus mu?" timpal Akmal cepat.

"mungkin aneh bagi kamu, tapi aku hanya mengikuti naluri ku sebagai... sebagai. .sebagai seorang laki-laki.." balasku kehabisan kata-kata. Aku hampir saja keceplosan.

"justru semakin aneh, kalau kamu mendekati ku sebagai laki-laki. Pertemanan seperti apa yang kamu harapkan dari orang seperti saya?" ucap Akmal.

"pertemana yang tidak memandang materi, pertemanan yang tidak memandang kasta, pertemanan yang tulus.." jawabku asal-asalan. Tapi justru dari situ aku jadi punya ide kalimat selanjutnya.

"aku memang punya banyak teman di kota atau pun di kampus, tapi rata-rata mereka mau berteman dengan ku, hanya karena aku anak orang kaya, seperti yang kau katakan tadi." lanjutku penuh keyakinan.

"lalu apa yang membuat kamu yakin, kalau aku tidak sama dengan mereka?" tanya Akmal.

"aku tidak yakin, tapi aku ingin mencobanya.." jawabku lugas.

Perlahan kalimat demi kalimat membuat kami menjadi dekat. Tanpa sadar, kami telah berbicara panjang lebar.

Aku kemudian, mengajak Akmal untuk singgah di sebuah kafe, untuk sekedar minum dan makan makanan ringan, sambil kami mengobrol.

Percakapan kami pun semakin panjang, walau Akmal masih terlihat menutup diri.

Dia belum mau bercerita lebih banyak tentang dirinya. Tapi setidaknya untuk saat ini, kami sudah mulai dekat.

Walau pun sepertinya, aku masih harus berjuang lebih keras lagi, untuk bisa menaklukkan hati seorang Akmal.

Bagaimanakah kelanjutan dari kisah ini?

Akankah Akmal mampu aku taklukkan?

Atau justru akhirnya kami semakin jauh?

Simak kisah selanjutnya di channel ini ya, atau bisa langsung di deskripsi video ini.

Terima kasih sudah menonton video ini sampai selesai, semoga terhibur.

Sampai jumpa lagi di video-video berikutnya, salam sayang untuk kalian semua..

****

Part 2

Hari-hari selanjutnya aku semakin sering menemui Akmal. Aku selalu mencari kesempatan untuk bisa datang ke desa nya.

Aku bahkan meminta papa untuk mempercaya kan cabang tokonya di desa itu kepada ku.

Papa dengan cukup berat pun akhirnya setuju, sehingga aku jadi punya banyak alasan dan kesempatan untuk datang menemui Akmal.

Walau pun setelah berbulan-bulan kami saling kenal, Akmal masih cukup tertutup padaku, terutama menyangkut cerita pribadi hidupnya.

Lalu mungkin kah aku bisa merebut hati Akmal, yang ternyata punya cerita tersendiri di masa lalunya?

Atau Akmal tetap akan bertahan dengan segala sikap cueknya padaku?

Simak kisah ini sampai selesai ya..

Namun sebelumnya bla..bla..

*****

"aku masih penasaran, kenapa kamu sangat sinis jika bertemu orang kaya?" tanya ku suatu hari pada Akmal, saat untuk kesekian kalinya aku datang menemuinya.

"aku punya masa lalu yang rumit dengan orang kaya, bang Andre.." ucap Akmal membalas. Akmal memang akhirnya memanggil ku bang, karena ternyata usianya masih muda tiga tahun dari ku.

"masa lalu yang rumit seperti apa?" tanya ku ingin tahu.

"panjang ceritanya, bang. Takutnya abang bosan mendengarkannya.." balas Akmal.

"kamu cerita aja, Mal. Aku siap kok mendengarkan cerita apa pun dari kamu.." ucapku yakin.

Aku memang merasa bahagia bisa dekat dengan Akmal. Aku selalu suka bercerita dengannya. Aku suka mendengarkan ia bercerita.

Dan dengan perasaan berat Akmal pun mulai menceritakan cerita perjalanan hidupnya dari masa lalu yang ia alami.

Dan beginilah kira-kira cerita Akmal padaku.

"namaku Akmal. Aku lahir dari keluarga yang sangat sederhana, bahkan boleh dibilang cukup miskin. Ayahku seorang buruh bangunan, dan ibu hanya seorang buruh cuci keliling. Kehidupan sangat pas-pasan. Karena itu aku hanya bisa sekolah hingga lulus SMP."

"aku anak kedua dari dua bersaudara. Kakak ku perempuan, hanya tiga tahun lebih tua dari ku. Kakak ku juga hanya lulusan SMP."

"ayahku meninggal pada sebuah kecelakaan kerja. Saat itu aku masih berusia 14 tahun. Dan tiga tahun kemudian, ibu ku pun meninggal, karena sakit jantung. Sejak saat itu, aku hanya tinggal berdua bersama kakakku."

"di usia kakak ku yang mulai beranjak dewasa, ia sempat berpacaran dengan seorang pemuda, anak seorang juragan kaya di desa kami. Hubungan mereka tidak di restui oleh orangtua pacar kakak ku. Bahkan mereka dengan sangat berani mendatangi rumah kami. Mereka menghina dan mencaci maki kami habis-habisan."

"mereka juga mengatakan kalau kakak ku hanya ingin mendapatkan harta mereka. Mereka tidak sudi punya menantu seorang gadis miskin seperti kakak ku."

"kami hanya bisa diam, mendengarkan semua penghinaan itu. Kami tidak bisa melawan. Meski hati kami sangat sakit dengan semua penghinaan itu."

"hubungan kakak ku dengan pacarnya pun berakhir. Dan sejak saat itulah aku paling benci orang kaya. Mereka tidak pernah bisa menghargai perasaan orang lain.."

Akmal menghempaskan napasnya berkali-kali, ketika akhirnya dia mengakhiri ceritanya.

Aku merasa trenyuh mendengar semua itu. Pantas saja, Akmal begitu acuh padaku saat pertama kali aku bertemu dengannya.

"tapi tidak semua orang kaya seperti itu, Akmal. Masih banyak kok orang kaya yang berhati baik.." ucapku akhirnya, setelah cukup lama terhanyut mendengar kisah pilu kehidupan Akmal.

"dulunya aku selalu berpikir, bahwa setiap orang kaya pasti berperilaku sama." ucap Akmal lemah, "namun semenjak aku mengenal bang Andre, penilaian ku berubah. Bang Andre baik, bahkan sangat baik padaku." lanjutnya lirih.

"aku akan selalu baik sama kamu Akmal. Karena kamu juga pemuda yang baik. Terus terang aku kagum sama kamu. Kamu kuat. Kamu tidak menyerah oleh kehidupan ini." ucapku tulus.

"kegagalan demi kegagalan yang membuat aku kuat, bang. Hidup memang keras, tapi aku harus lebih keras lagi." balas Akmal lugas.

"lalu bagaimana dengan kakak mu sekarang?" tanyaku kemudian.

"kakak ku sekarang bekerja jadi buruh cuci keliling. Dia sepertinya trauma untuk mengenal laki-laki. Kisah cintanya yang berakhir tragis, membuat ia selalu menutup diri akan kehadiran laki-laki dalam hidupnya." jelas Akmal.

"kamu seharusnya memberikan dukungan lebih pada kakak kamu." timpalku ringan.

"aku selalu memberikan dukungan untuk kakak ku. Aku selalu mendukung apa pun keputusan yang dia ambil dalam hidupnya.." balas Akmal.

****

Aku dan Akmal semakin dekat dan akrab. Hampir setiap hari kami selalu bersama. Berbagi cerita, bercanda dan tertawa bersama.

Aku merasa bahagia dengan semua itu. Kedekatanku dengan Akmal adalah jalan bagiku untuk bisa merebut hatinya.

"jadi selama ini kamu belum pernah pacaran?" tanyaku pada Akmal di suatu senja.

"semenjak aku mendengar penghinaan terhadap keluarga kami oleh orangtua pacar kakak ku, aku jadi ikut trauma untuk dekat-dekat dengan perempuan. Aku tidak ingin kejadian yang menimpa kakak ku, juga akan menimpa ku." jawab Akmal lirih.

"tapi sebagai laki-laki kamu secara fisik sangat menarik loh, Mal. Kamu juga cowok yang baik, rajin dan pekerja keras. Pasti banyak cewek-cewek yang suka sama kamu." ujarku pelan, sengaja memujinya.

"aku tidak pernah memikirkan hal itu, bang. Aku lebih fokus untuk bekerja. Aku harus bekerja keras, untuk mengangkat derajat hidup keluarga kami." balas Akmal.

"tapi kalau hanya bekerja sebagai buruh angkut, bagaimana hidup mu akan membaik?" ucapku hati-hati, takut Akmal akan tersinggung.

"yah, aku tahu. Tapi aku tidak ingin selamanya seperti ini. Aku ingin berubah. Hanya saja sampai saat ini, hanya pekerjaan inilah yang bisa aku lakukan." balas Akmal sedih.

"mang Rohim, orang kepercayaan papa di toko, sudah lama ingin berhenti dari pekerjaannya. Namun papa belum menemukan orang yang tepat untuk menggantikannya. Jadi aku menawarkan pada papa, untuk kamu bisa menggantikan posisi mang Rohim. Agar kamu bisa punya penghasilan yang lebih." ucapku kemudian.

"kenapa bang Andre begitu baik padaku?" tanya Akmal, setelah untuk beberapa saat ia terdiam, mendengarkan kalimatku barusan.

"kamu orang yang baik, Akmal. Kamu rajin dan jujur. Aku rasa kamu adalah orang yang tepat untuk bisa menggantikan mang Rohim." balasku pelan.

"itu bukan alasan, mengapa bang Andre begitu baik padaku. Aku tahu, niat bang Andre baik. Tapi aku tidak ingin terjebak dengan entah permainan apa yang sedang bang Andre mainkan saat ini." suara Akmal serak.

"maksud kamu apa?" tanyaku penasaran.

"aku memang orang kampung dan miskin, bang. Tapi aku bukan orang bodoh. Aku yakin, ada alasan lain, yang membuat bang Andre begitu baik padaku. Meski aku tidak tahu pasti apa itu." jawab Akmal masih dengan suara serak.

"aku hanya ingin membantu kamu, Akmal. Tidak ada niat apa-apa dibalik itu semua. Meski jujur saja, aku memang menyukai kamu. Aku mengagumi kamu. Dan bahkan mungkin aku telah jatuh cinta padamu. Bahkan sejak pertama kali aku melihat kamu." ucapku berusaha untuk jujur.

"tapi aku cukup sadar, kalau kamu jelas tidak mungkin akan punya perasaan yang sama denganku. Karena itu, aku hanya memendamnya selama ini. Tapi itu bukan alasanku untuk membantu kamu. Aku membantu kamu murni hanya karena aku ingin hidupmu berubah." lanjutku lagi menjelaskan.

"apa yang membuat bang Andre menyukai saya? Saya hanya seorang pemuda kampung yang miskin. Saya tidak punya apa-apa untuk di cintai." suara Akmal pilu.

"kamu punya banyak hal untuk di cintai, Mal. Kamu tampan dan gagah. Kamu juga baik, rajin dan jujur." balasku penuh perasaan, mengungkapkan kekagumanku padanya.

"tapi aku hanya lelaki miskin, bang Andre." ucap Akmal lemah.

"kamu jangan merendahkan dirimu sendiri seperti itu, Mal. Aku tidak pernah menilai seseorang dari materi. Aku suka laki-laki yang bekerja keras, bukan laki-laki manja yang hanya mengharapkan harta orangtuanya." suaraku pelan.

"apa yang bisa aku berikan untuk cinta yang begitu besar dari bang Andre. Aku tidak punya apa-apa, bang." suara Akmal lemah.

"kamu punya hati yang besar untuk dicintai, Mal. Dan aku ingin masuk ke dalamnya. Menatap disana untuk selamanya." balasku puitis.

"sekali pun aku bisa mencintai bang Andre seperti bang Andre mencintaiku. Kita juga tidak mungkin bisa bersama, bang. Karena kita berjenis kelamin sama. Tidak ada yang bisa menerima hubungan seperti itu. Tidak satu pun. Dan terutama dari orangtua bang Andre sendiri." Akmal berucap lagi, kali ini sangat pelan, aku hampir tak mendengarnya.

"bukankah cinta itu hak setiap orang, Mal. Siapa pun berhak untuk jatuh cinta. Tak peduli kepada siapa pun rasa cinta itu jatuh, sekali pun ia jatuh pada sesama jenisnya." ucapku ringan.

"iya, aku tahu. Aku memang belum pernah pacaran, tapi bukan berarti aku belum pernah jatuh cinta. Aku pernah jatuh cinta pada seorang gadis di desa ku ini, tapi aku hanya bisa memendamnya. Seperti yang aku katakan, aku merasa trauma untuk dekat-dekat dengan seseorang." balas Akmal.

"lalu apa kamu juga takut? Untuk belajar mencintaiku?" tanyaku kemudian.

"entahlah, bang. Seandainya saja bang Andre bukan laki-laki, mungkin aku akan memberanikan diri untuk mencobanya." balas Akmal.

"tapi kita tetap bisa berteman kan, Mal? Meski kamu sudah tahu siapa aku sebenarnya?" tanyaku lagi.

"kita akan tetap berteman, bang. Tapi aku tidak bisa berjanji, kalau hubungan kita akan bisa berkembang lebih lanjut lagi. Selain karena taraf kehidupan kita yang berbeda, kita juga sejenis, bang. Terlalu banyak resiko yang harus kita hadapi ke depannya, jika kita tetap nekat bersama." jawab Akmal lugas.

"aku siap menanggung resiko apa pun, Mal. Aku siap kehilangan segalanya, jika itu adalah harga yang harus aku bayar untuk bisa bersama kamu." ucapku tulus.

"bang Andre gak usah berlebihan. Aku tak pantas untuk mendapatkan itu semua, bang. Aku bukanlah orang yang tepat, untuk bisa menerima semua pengorbanan bang Andre. Bukan saja karena kita sejenis, tapi juga karena kita berbeda kasta." balas Akmal lemah.

"kamu jangan pernah membandingkan cinta dengan materi, Mal. Itu adalah dua hal yang berbeda. Jika aku mencintai seseorang, aku tak akan peduli dengan status sosialnya." ucapku yakin.

"aku tidak akan memaksa kamu, Mal. Untuk bisa mencintaiku. Tapi aku ingin kita tetap berteman. Hanya itu." lanjutku lagi.

Kali ini Akmal hanya terdiam. Dia menatap keremangan senja. Dan aku semakin mengagumi sosok indah itu. Begitu sempurna. Sesempurna cintaku padanya.

*****

Part 3

Setahun akhirnya berlalu, aku sudah lulus kuliah. Dan aku akhirnya menerima tawaran papa untuk mewarisi usahanya. Bukan karena aku benar-benar tertarik akan hal itu, tapi karena aku ingin selalu bersama Akmal. Meski pun sampai saat ini, Akmal masih belum membuka hatinya untukku.

Dan mungkinkah Akmal akan bisa membuka hatinya untukku?

Mungkinkah aku akan mampu merebut hatinya?

Simak kisah ini sampai selesai ya..

Namun sebelumnya bla..bla..

*****

Aku memang berhasil membujuk Akmal untuk menerima tawaran ku. Sekarang Akmal sudah jadi orang kepercayaanku di toko.

Hidupnya juga sudah mulai membaik.

Kakak perempuannya juga akan segera menikah dengan seorang laki-laki yang juga berasal dari desa itu.

"makasih, bang Andre. Abang sudah sangat banyak membantu ku selama ini." ucap Akmal suatu ketika.

"kamu jangan terlalu memikirkan hal tersebut, Akmal. Sudah seharusnya aku melakukan hal tersebut untuk kamu. Kamu pantas mendapatkannya." balasku.

"lalu bagaimana dengan bang Andre sendiri? Apa yang bisa aku lakukan untuk bang Andre?" tanya Akmal terdengar serius.

"kamu tidak perlu melakukan apa pun, Mal. Aku sudah cukup bahagia dengan hanya menjadi sahabatmu. Aku bahagia, bisa melewati hari-hari bersamamu." balasku pelan.

"apa bang Andre masih mau memberikan aku kesempatan, untuk bisa menjalin hubungan yag lebih dari sekedar sahabat dengan ku?" tanya Akmal tiba-tiba, setelah untuk sesaat ia terdiam.

"pertanyaannya bukan itu, Mal. Tapi apa kamu sudah siap untuk menjalin hubungan yang lebih dari sekedar sahabat dengan ku?" tanyaku membalas.

"apa aku punya pilihan lain, bang? Kebaikan bang Andre selama ini, sudah lebih dari cukup untuk membuktikan bahwa betapa bang Andre sangat sayang padaku. Dan aku tidak bisa lagi mengabaikan hal itu. Bukan saja karena aku ingin mencobanya, tapi juga karena hatiku sepertinya sudan mulai terbuka untuk bang Andre.." jawab Akmal panjang lebar, yang membuatku sedikit menyunggingkan senyum.

Tiba-tiba saja rasa bahagia mengalir indah di hatiku mendengar kalimat Akmal barusan.

Sekian lama aku menunggu semua itu. Sekian lama aku menanti pintu hati Akmal bisa terbuka untukku. Dan sekarang sepertinya semua itu akan menjadi nyata.

"kamu yakin, Mal?" tanyaku lebih kepada meyakinkan diri ku sendiri.

"aku yakin, bang. Aku akan mencobanya. Meski sejujurnya aku masih merasa ragu dengan perasaanku sendiri. Karena itu aku ingin mencobanya. Aku ingin tahu, apakah yang aku rasakan saat ini adalah cinta atau hanya karena aku merasa kasihan.." balas Akmal.

"kamu tidak perlu merasa kasihan padaku, Mal. Aku baik-baik saja. Meski jujur saja, aku memang sangat berharap bisa memiliki mu lebih dari sekedar sahabat." timpalku pelan.

"mungkin lebih tepatnya, bukan perasaan kasihan, bang. Tapi mungkin karena aku merasa sudah berhutang budi banyak pada bang Andre." balas Akmal cepat.

"apa pun alasan kamu untuk mencobanya, Mal. Aku ingin kamu melakukannya dari hati, bukan karena terpaksa.." ucapku kemudian.

"iya, bang Andre. Aku ingin mencobanya dan itu adalah dari hatiku yang terdalam." balas Akmal terdengar yakin.

"jadi mulai saat ini, kita bukan lagi hanya sekedar sahabat. Kita pacaran? Dan apa itu masih terdengar aneh bagimu?" tanyaku ragu.

"sejujurnya memang terdengar aneh sih, bang. Tapi sepertinya aku memang harus membiasakan diri akan hal itu. Aku akan belajar, bang. Tapi aku ingin semuanya pelan-pelan saja." balas Akmal lagi.

"iya, Mal. Aku juga gak mau buru-buru. Kita lewati saja semuanya apa adanya. Dan biarkan perasaan kita berkembang dengan kebersamaan kita." ucapku lagi.

****

Dan begitulah akhirnya, aku dan Akmal pun menjalin hubungan asmara. Namun hubungan kami tetaplah hanya sebuah rahasia. Tidak ada yang tahu, kecuali kami berdua.

Aku sengaja membeli rumah di desa tempat tinggal Akmal, untuk kami bisa menikmati waktu berdua dengan bebas.

Hampir setiap malam kami bersama. Memadu kasih, berbagi cerita dan saling bermesraan. Layaknya sepasang kekasih yang sedang di mabuk cinta. Indah.

Aku merasa bahagia dengan semua itu. Aku semakin mencintai Akmal. Aku semakin takut kehilangan dirinya.

Akmal yang tampan, gagah dan kekar. Sungguh aku merasa bangga bisa memilikinya. Aku curahkan seluruh cintaku untuknya. Aku berikan semua yang aku miliki untuknya. Aku serahkan jiwa raga ku padanya. Aku pasrahkan hidupku padanya.

Cintaku untuk pemuda desa yang tampan begitu sempurna. Dan Akmal pun telah menyerahkan seluruh hatinya padaku.

"semakin hari, aku semakin mencintai bang Andre. Aku semakin sayang sama bang Andre. Aku harap kita tetap bisa bersama selamanya. Aku harap bang Andre tidak akan pernah meninggalkanku." ucap Akmal suatu malam padaku, ketika untuk kesekian kalinya kami bersama.

"aku tidak akan pernah meninggalkan kamu Akmal. Tidak akan pernah! Sekali pun dunia ini tidak lagi membutuhkan cinta, aku akan mencintai kamu Akmal, selalu dan selama-lamanya." jawab ku puitis, tulus dari hatiku yang terdalam.

"lalu bagaimana dengan masa depan bang Andre sendiri?" tanya Akmal kemudian.

"maksud kamu?" tanyaku tak mengerti.

"sebagai anak tunggal dan merupakan pewaris satu-satunya usaha papa bang Andre, tentunya orangtua bang Andre sangat ingin bang Andre untuk segera menikah dan punya keturunan, itu merupakan keinginan yang wajar dari setiap orangtua, apa lagi bang Andre adalah anak satu-satunya mereka." jelas Akmal dengan nada sedikit lemah.

"kita tidak usah membicarakan hal itu saat ini, Mal. Lebih baik kita nikmati saja kebersamaan kita. jangan rusak keindahan cinta kita, dengan memikirkan sesuatu yang belum tentu terjadi.." balasku ringan.

"tapi hal itu pasti akan terjadi suatu saat nanti, bang. Dan kita tidak bisa memungkiri hal itu." ucap Akmal lagi.

"kalau memang hal itu harus terjadi, kita akan pikirkan hal itu nanti, Mal. Namun saat ini aku mohon padamu, untuk kita tetap menikmati kebersamaan kita. Jangan usik kebahagiaanku saat ini, Mal." ucapku pelan, sambil dengan lembut mengusap pipi Akmal.

Akmal memegang tanganku, menariknya lembut dan kemudian mengecupnya dengan hangat.

Aku tersenyum penuh kebahagiaan. Rasanya hal sesederhana itu saja sudah mampu membuatku melayang.

Perlahan kami pun saling mendekat. Mencoba menikmati malam kami, untuk kesekian kalinya.

Dan hal itu selalu terasa indah bagiku. Akmal memang laki-laki yang luar biasa. Dia selalu mampu membawaku terbang dalam angan mimpi yang sempurna.

Aku selalu di buatnya terbuai dan terlena, hingga aku lupa akan semua persoalan dunia. Yang ada hanya aku dan Akmal.

Tak sedetik pun waktu yang terlewatkan, tak tersisa. Semuanya ditelan keindahan. Raga ku menyerah. Pasrah. Ku biarkan Akmal mendapatkan semuanya.

Ku biarkan dia dan aku menyatu. Berlari beriringan, tak ingin saling mendahului. Tak ingin saling melepaskan.

Hingga semua impian kami malam itu tercapai. Bersamaan. Berdua. Dan itu terasa sangat indah. Begitu indah. Seindah cinta yang terus berkembang di hati kami.

*****

Begitulah hari-hari yang kami lalui bersama. Kami bahagia dengan cinta kami. Kami tidak ingin terpisah lagi.

Hingga hampir setahun hubungan kami terjalin. Tidak pernah ada masalah apa pun di antara kami.

Semuanya berjalan dengan indah. Bahkan terlalu indah untuk diungkapkan dengan kata-kata.

Namun hubungan indah kami sepertinya mulai mendapatkan sandungan.

Ya, berawal dari keinginan mama dan papa ku yang menginginkan aku untuk segera menikah.

"kami ingin menikmati masa tua kami sambil menimang cucu, Ndre." begitu ucap mama beralasan untuk aku segera menikah.

"tapi aku masih 27 tahun, Ma. Aku masih belum memikirkan hal itu untuk saat ini." timpalku.

"usia 27 tahun itu sudah matang loh, Ndre. Kamu juga sudah punya pekerjaan yang mapan. Kamu mau tunggu apa lagi. Kalau kamu kesulitan mencari pendamping hidup, mama ada calon buat kamu." ucap mama lagi.

"saya gak suka di jodohkan, Ma. Saya masih bisa mencari pasangan saya sendiri." balas ku sedikit sengit.

"tapi nyatanya sampai saat ini, kamu belum pernah memperkenalkan satu perempuan pun pada mama." balas mama cepat.

"kan udah saya bilang, Ma. Untuk saat ini saya belum memikirkan hal itu. Saya masih butuh waktu, Ma. jadi mama dan papa sabar ya.." ucapku akhirnya.

"mama akan beri kamu waktu, Ndre. Tapi jika dalam satu tahun ini, kamu belum juga menemukan pasangan kamu, mama akan ambil tindakan sendiri." ucap mama tegas.

Setelah berkata demikian, mama pun pergi meninggalkan ku sendirian.

Tiba-tiba saja aku menjadi dilema. Sungguh sebuah pukulan yang berat bagiku.

Aku tak ingin menikah dengan siapa pun, kecuali dengan Akmal, orang yang sangat aku cintai saat ini.

Namun siapa yang bisa menerima hubungan kami? Tidak seorang pun yang akan menyetujuinya, apa lagi mama dan papa. Mereka pasti akan menghujatku, jika mereka tahu, kalau aku menjalin hubungan asmara bersama Akmal.

Tapi aku tidak bisa mencintai siapa pun lagi, kecuali Akmal. Hatiku sudah dipenuhi oleh namanya. Dan aku tidak ingin menggantikannya dengan siapa pun.

*****

Part 4

Aku sungguh berada di dalam dilema yang nyata. Aku berada dalam pilihan yang sulit.

Antara tetap bertahan dengan hubungan terlarang ku bersama Akmal, dengan resikonya aku akan menjadi anak yang durhaka.

Atau mengikuti keinginan orangtuaku untuk segera menikah, dengan resikonya aku akan kehilangan Akmal, orang yang paling aku cintai.

Bagaimanakah akhir dari kisah ku ini?

Mampukah kami mempertahankan hubungan kami?

Atau kah kami akan terpisahkan oleh keadaan?

Simak kelanjutan kisah ini sampai selesai ya...

Namun sebelumnya bla.. bla...

****

"bukankah dulu, aku pernah mengatakan hal ini pada bang Andre. Tapi bang Andre tak pernah menganggapnya serius. Dan sekarang semuanya terjadi kan?" ucap Akmal, ketika akhirnya aku menceritakan semuanya padanya.

"aku terlalu mencintai kamu, Mal. Karena itu, aku tidak ingin memikirkan hal tersebut. Aku hanya ingin menikmati kebersamaan kita. Tapi sekarang, aku justru jadi bingung." balasku lemah.

"bang Andre gak perlu bingung. Bang Andre turuti saja kemauan orangtua bang Andre. Aku gak apa-apa, kok. Aku siap berbagi bang Andre dengan istri bang Andre nantinya." ucap Akmal.

"masalahnya bukan itu, Mal. Aku yang tidak siap hidup bersama orang lain. Aku hanya ingin hidup bersama kamu selamanya." balasku pilu.

"tapi kita sama-sama tahu, bang. Hal itu jelas tidak mungkin. Kita memang saling mencintai, tapi kita tidak mungkin menyatu secara utuh. Jadi lebih baik, abang menikah saja. Karena pada akhirnya aku juga bakalan nikah, bang. Karena itu adalah kodrat kita sebagai laki-laki." ucap Akmal.

"tidak ada keharusan bagi kita untuk hidup sesuai dengan kodrat itu, Mal. Kita sebenarnya bebas memilih jalan hidup kita sendiri." ucapku tanpa sadar.

"lalu bang Andre mau nya gimana?" tanya Akmal.

"aku ingin kita pergi dari sini, Mal. Aku ingin kita pergi ke luar negeri, dimana kita bisa bebas menjadi diri kita sendiri. Dan kita bebas untuk menjalin hubungan kita.." ucapku akhirnya, setelah untuk beberapa saat kami terdiam.

"itu bukan pilihan yang tepat, bang. Bagaimana dengan orangtua bang Andre? Mereka pasti akan sangat kehilangan bang Andre. Dan aku tidak ingin menjadi orang yang berusaha memisahkan seorang anak dari orangtua nya." ucap Akmal lemah.

Kali ini aku terdiam. Benar-benar terdiam.

Apa yang dikatakan Akmal memang benar adanya. Tapi aku tidak ingin menikah dengan siapa pun. Aku hanya ingin hidup berdua bersama Akmal.

"cinta tidak seharusnya membuat kita buta, bang. Cinta tidak boleh egois. Kita harus lebih berlapang dada untuk menerima semua ini." Akmal berucap lagi.

"aku juga sangat mencintai bang Andre. Tapi aku tidak ingin menjadi orang yang egois dengan memiliki bang Andre seutuhnya. Seandainya saja, kita tidak sejenis, bang. Aku akan melakukan apa saja, agar kita tetap bisa bersama." lanjut Akmal.

"kalau kamu memang benar-benar mencintaiku, Mal. Harusnya kamu marah karena aku akan menikah, bukan malah mendukung." ucapku tiba-tiba, entah apa maksud dari ucapan itu.

"apa bang Andre mau, aku datang ke rumah orangtua bang Andre dan melamar bang Andre? seperti yang dilakukan seorang laki-laki kepada orang yang dicintainya." timpal Akmal sedikit sengit.

"jika itu bisa membuktikan, bahwa betapa aku mencintai bang Andre, aku akan melakukannya." lanjutnya tegas.

"bukan itu maksud ku, Mal. Aku juga gak mau orangtua ku tahu tentang hubungan kita, itu merupakan hal sangat memalukan. Tapi apa kamu gak ingin menerima tawaran ku, untuk kita pindah ke luar negeri?" balasku ringan.

"aku ingin, bang. Tapi apa abang tidak memikirkan perasaan orangtua abang? Hal itu terlalu besar resikonya, bang. Dan aku takut, pilihan itu pada akhirnya akan menghancurkan hidup kita." timpal Akmal lagi.

"hidup kita sudah terlanjur hancur, Mal." suara ku serak. Aku merasakan mata ku memerah. Perih sekali rasanya hatiku.

"belum, bang. Hidup kita belum hancur. Kita masih punya pilihan lain." ucap Akmal.

"pilihan apa yang kita punya saat ini, Mal?" tanyaku dengan nada lirih. Aku merasakan setetes air hangat mengalir di pipi ku tiba-tiba.

"bang Andre menikah, dan kita tetap bersama. Itu pilihannya, bang. Pilihan yang tidak menyakiti siapaa pun." ucap Andre, suaranya ikut serak.

"tapi itu menyakiti kita berdua, Mal.." aku berujar sambil mengusap pipi ku sendiri, berusaha menghapus tetesan air mata ku yang terus mengalir.

"itulah cinta, bang. Tingkat tertinggi dari mencintai adalah merelakan. Kita memang terluka, tapi kita tidak saling menyakiti. Dan itu jauh lebih baik, dari pada harus mengorbankan hubungan bang Andre dengan orangtua bang Andre." balas Akmal, terdengar sangat bijak.

Dan aku tersentuh. Jika Akmal yang bahkan jauh lebih muda dari ku bisa berpikiran seperti itu, kenapa aku masih begitu bersikeras untuk mempertahankan ego ku.

****

Mama memperkenalku dengan Jeni, gadis yang akan dijodohkan denganku.

Aku memang akhirnya harus menerima permintaan mama, meski hatiku sakit karenanya.

Aku tidak ingin berdebat lagi dengan mama, soal jodoh. Aku pasrah.

Mungkin memang sudah jalannya seperti ini. Aku sudah tidak bisa menghindarinya lagi.

Dan aku juga sudah punya perjanjian dengan Akmal. Walau sebenarnya kami berdua tidak bisa menerima semua itu.

Seperti yang Akmal katakan, kami memang terluka tapi setidaknya kami tidak saling menyakiti.

Dan sebenarnya begitulah kisah cinta dalam dunia pelangi. Tidak ada yang akan bertahan lama. Bukan karena mereka tidak saling mencintai, tapi hubungan seperti itu memang tidak bisa diterima oleh siapa pun.

Namun aku sungguh beruntung mendapatkan Akmal. Dia sangat penuh pengertian. Dan aku tidak akan pernah meninggalkannya.

"jadi seminggu lagi bang Andre akan menikah?" tanya Akmal suatu malam, saat kami kembali bertemu untuk kesekian kalinya.

Aku hanya mengangguk ringan menjawab pertanyaan itu. Hati ku sakit mendengarnya.

Sejak aku bertunangan dengan Jeni. Hubungan kami memang agak sedikit meredup. Kami jadi jarang tertawa. Kami lebih banyak menghabiskan waktu dengan saling berdiam diri.

Kami takut, setiap kata yang keluar, hanya akan memancing rasa sakit di hati kami. Hanya akan mengingatkan kami, akan sebuah perpisahan.

"kita akan tetap bersama, Mal. Aku akan selalu ada untukmu. Kamu tetap yang pertama bagiku." ucapku akhirnya dengan nada lirih.

"iya, aku tahu, bang. Aku hanya ingin memastikan seberapa besar sebenarnya luka yang aku rasakan saat ini." ucap Akmal lagi, suaranya parau.

"kamu jangan berkata seperti itu, Mal. Aku sakit mendengarnya." balasku ikut parau.

"kita sudah janji, tidak akan membahas hal ini lagi, Mal." lanjutku lagi.

"iya, bang. Aku minta maaf. Mungkin memang untuk sementara kita tidak usah bertemu dulu. Setidaknya sampai kita benar-benar bisa menerima semua kenyataan ini." balas Akmal, masih dengan suara parau.

"tapi aku masih ingin terus bersama kamu, Mal." ucapku pilu.

"aku mohon, bang. Kalau bang Andre memang benar-benar mencintaiku, biarkan untuk sementara aku sendiri dulu.." ucap Akmal sedikit memohon.

Aku jadi tidak tega mendengarnya. Karena itu aku pun menyetujui permintaan Akmal tersebut.

Apa lagi, aku juga butuh waktu untuk mempersiapkan pernikahanku.

Kami pun memutuskan untuk tidak bertemu sementara waktu.

*****

Sejak pertemuan terakhir itu aku tidak pernah lagi bertemu Akmal. Dia juga tidak datang pada pesta pernikahanku.

Aku coba memakluminya. Mungkin dia tidak sanggup untuk menghadiri pesta pernikahanku.

Namun seminggu setelah pernikahanku, aku mencoba mendatangi desa Akmal.

Aku mendatangi toko, Akmal tidak ada di sana.

Menurut keterangan salah seorang pekerja toko, Akmal sudah berhenti dan mengundurkan diri.

Aku coba datangi rumahnya, menurut keterangan kakaknya, Akmal sudah pergi dari rumah lebih dari seminggu yang lalu.

Ketika ku tanya kemana Akmal pergi, kakaknya juga tidak tahu.

"Akmal pergi tiba-tiba, tanpa penjelasan. Dia hanya mengatakan akan mengadu nasib ke kota lain.." begitu penjelasan kakak Akmal padaku. Aku tidak berani bertanya lebih lanjut.

Berkali-kali aku coba menghubungi ponsel Akmal, tapi tidak pernah aktif.

Sepertinya Akmal memang sengaja pergi. Dia sengaja menghindariku. Dia sengaja meninggalkanku.

Aku merasa terluka menyadari semua itu.

Mengapa Akmal harus memilih jalan itu?

Mengapa dia harus pergi?

Dia pergi tanpa meninggalkan pesan apa pun, yang membuatku semakin bingung.

Dan sejak saat itu, hubunganku dengan Akmal pun berakhir begitu saja. Tanpa ada kata putus, tanpa ada kata perpisahan.

Aku tidak pernah bertemu Akmal lagi, sejak saat itu.

Dan begitulah akhir kisahku bersama seorang pemuda kampung yang tampan dan gagah itu.

Cinta semusim. Seperti banyak yang terjadi dalam dunia percintaan sesama jenis.

Indah. Berkesan. Namun selalu berakhir dengan menyakitkan.

Terima kasih sudah menyimak kisah ini sampai selesai.

Semoga terhibur, sampai jumpa lagi pada kisah-kisah selanjutnya.

Salam sayang untuk kalian semua.

*****

Anak tiriku yang tampan

Aku menikah dengan seorang janda yang mempunyai seorang anak laki-laki remaja yang sudah berusia lima belas tahun waktu itu.

Janda itu, namanya Ranti, sebenarnya masih berusia 34 tahun, dua tahun lebih muda dariku.

Ranti dulunya menikah dengan suami pertamanya pada saat usianya masih 18 tahun. Dia dipaksa menikah oleh orangtuanya dengan seorang juragan tua yang kaya, demi melunasi hutang orangtuanya.

Tentu saja Ranti hanyalah istri simpanan juragan tua tersebut. Dan sebagai istri simpanan, Ranti tidak mendapatkan warisan apa pun untuk anaknya, ketika akhirnya juragan tua itu meninggal setelah tujuh tahun mereka menikah.

Sejak saat itu Ranti pun hidup menjanda. Dia berusaha membesarkan anaknya sendirian.

Kedua orangtua nya juga sudah meninggal beberapa tahun yang lalu.

Sampai akhirnya kami pun dipertemukan. Kami bertemu tak sengaja di loundry tempat Ranti bekerja.

Aku memang sudah menjadi langganan di loundry tersebut sejak lama.

Dari perkenalan dengan Ranti tersebut, kami jadi sering ngobrol dan menjadi kian dekat.

Dan aku pun memutuskan untuk menikahi Ranti, meski keluarga banyak yang menentangnya, karena Ranti yang seorang janda dan juga sudah punya seorang putra.

Pernikahan kami pun berlangsung dengan sangat sederhana.

Dan dari situlah kisahku bersama anak tiriku yang tampan itu dimulai..

Bagaimanakah keseruan kisah ini?

Silahkan simak sampai selesai ya..

Namun sebelumnya bla.. bla...

*****

Namaku Darwis. Saat ini usiaku sudah 39 tahun. Dan sudah tiga tahun aku menikah dengan Ranti, janda cantik yang memiliki seorang putra bernama Raka.

Raka sekarang sudah besar, ia sudah berusia 18 tahun dan sudah mulai kuliah.

Raka tumbuh menjadi anak yang cerdas, sedikit pendiam dan juga sopan.

Raka juga tumbuh sebagai seorang pemuda yang berwajah tampan, sepertinya ia menuruni kecantikan wajah ibunya. Postur tubuh Raka juga sangat kekar dan gagah.

Awalnya aku menganggap Raka hanya sebagai anak tiriku. Aku berusaha menyayanginya seperti anak ku sendiri. Apa lagi pernikahan ku dengan Ranti juga belum dikaruniai anak.

Namun semakin Raka tumbuh dewasa, aku mulai merasa tertarik padanya. Aku menyukainya. Aku mengaguminya, bahkan mungkin aku telah jatuh cinta padanya.

Aku memang punya masa lalu yang sedikit gelap. Aku tumbuh tidak seperti kebanyakan laki-laki pada umumnya. Aku tumbuh dengan perasaan suka kepada sesama jenis. Karena itu juga aku jadi sedikit terlambat untuk menikah.

Secara ekonomi kehidupan ku memang cukup mapan. Aku lahir dari keluarga yang berkecukupan.

Aku anak kedua dari tiga bersaudara. Kakak pertama ku laki-laki dan sudah lama menikah, bahkan sudah mempunyai tiga orang anak saat ini.

Adik ku perempuan, juga sudah lama menikah dan juga sudah mempunyai dua orang anak.

Sebagai seorang laki-laki yang tumbuh dengan perasaan suka kepada sesama jenis, aku memang tidak pernah pacaran dengan perempuan.

Aku justru sering menjalin hubungan dengan sesama laki-laki. Aku pernah pacaran beberapa kali dengan laki-laki yang aku suka. Meski pun pada akhirnya hubungan percintaan ku selalu kandas. Karena hubungan seperti itu memang tidak akan pernah bertahan lama.

Sampai akhirnya aku bertemu Ranti. Sebenarnya aku tidak punya perasaan spesial untuk Ranti.

Hanya saja, aku merasa perihatin mendengar semua kisah tentang perjalanan hidupnya. Aku menjadi simpati padanya, yang membuat kami akhirnya dekat.

Aku pun memutuskan untuk menikahi Ranti, selain karena kasihan, aku juga butuh status.

Sebagai seorang pengusaha yang sukses, aku memang sudah lama dituntut oleh keluarga ku untuk segera menikah.

Dan pilihan ku jatuh pada Ranti, yang pada awalnya di tentang oleh keluarga ku. Karena menurut mereka, aku masih bisa mendapatkan seorang gadis.

Tapi aku tetap bertekad menikahi Ranti, selain karena aku ingin mengangkat derajat hidupnya, aku juga yakin Ranti adalah wanita yang baik dan penuh pengertian.

****

Hari-hari berlalu, aku mencoba menjalani kehidupan ku sebagai seorang laki-laki. Menjadi seorang suami bagi Ranti dan menjadi seorang ayah tiri bagi Raka.

Aku memang sudah sangat dekat dengan Raka. Sebagai seseorang yang telah lama kehilangan sosok seorang ayah dalam hidupnya, Raka memang dengan begitu mudah menyambut kedatangan ku dalam kehidupannya.

Aku memang menyayangi Raka dan berusaha memberikan yang terbaik untuknya. Namun perasaan cinta yang tumbuh di hatiku untuknya akhir-akhir ini, justru membuatku semakin tersiksa.

Bayangan Raka selalu menghiasi fantasi ku setiap malam. Hal yang sudah sangat lama tidak aku rasakan, setidaknya sejak aku memutuskan menikah dengan Ranti.

Keinginana untuk bisa memiliki Raka tumbuh begitu besar di hatiku. Aku sudah bertekad untuk bisa mendapatkannya walau dengan cara apa pun.

"mau liburan kemana kali ini, Ka?" tanya ku pada suatu pagi. Kami hanya berdua di rumah, Ranti sedang pergi ke pasar.

Sekarang memang sedang musim liburan. Biasanya setiap kali musim liburan datang, kami bertiga, aku, Raka dan Ranti, biasanya pergi berliburan selama beberapa hari ke daerah-daerah yang belum pernah kami datangi. Hal itu sudah menjadi rutinitas tahunan bagi kami.

"terserah om Darwis aja..." ucap Raka ringan. Raka memang selalu memanggil ku om, dan aku tidak pernah mempermasalahkannya. Yang penting Raka bisa menerima kehadiran ku dalam hidupnya.

"bagaimana kalau kali ini, kita liburannya khusus laki-laki aja?" tanya ku menawarkan.

"maksudnya, om?" Raka balik bertanya.

"iya, kali ini kita liburannya berdua aja..." jelasku ringan.

"lalu bagaimana dengan Ibu?" tanya Raka lagi.

"ibu mu sepertinya kali ini gak bisa ikut.." jawabku lagi.

"kenapa?" Raka bertanya lagi.

"karena.. karena sebentar lagi kamu bakalan punya adik.." jawabku.

"maksud om, Ibu sedang hamil sekarang?" tanya Raka.

Aku hanya mengangguk ringan menjawab pertanyaan Raka barusan.

Ranti memang sedang hamil sekarang. Usia kandungan nya baru sekitar enam minggu. Dan itu bisa menjadi alasan utama bagi ku, untuk tidak mengajak Ranti berliburan.

"jadi kalau ibu gak ikut, ibu tinggal sendirian lah di rumah.." ucap Raka kemudian.

"iya. Tapi kan ada pembantu di rumah ini, untuk menemani ibu kamu. Lagi pula kita perginya hanya beberapa hari kok." jelasku ringan.

"terserah om Darwis aja. Raka ngikut aja lah, om. Yang penting tahun ini Raka bisa liburan..." balasku Raka, yang membuat aku bersorak senang di dalam hati.

Setidaknya jika aku hanya pergi berdua bersama Raka, aku jadi punya banyak kesempatan untuk mendekatinya.

Aku harus bisa memanfaatkan kesempatan tersebut. Aku harus bisa mendapatkan Raka.

****

Part 2

Setelah mempersiapkan segala sesuatunya dan setelah meminta izin kepada Ranti, istriku, aku dan Raka si anak tiriku itu pun pergi berliburan berdua.

Untuk pertama kalinya aku dan Raka pergi liburan berdua setelah hampir empat tahun aku menjadi ayah tirinya.

Sungguh sebuah moment yang sudah sangat lama aku tunggu. Setidaknya sejak aku mulai jatuh cinta kepada Raka, anak tiriku itu, yang sekarang sudah tumbuh dewasa.

Bagaimanakah kelanjutan kisah ku bersama Raka?

Mampukah aku menaklukan hati Raka?

Atau justru aku akan kehilangan keduanya? Istriku dan juga Raka?

Simak lanjutan kisah ku bersama anak tiriku yang tampan, sampai selesai ya..

Namun sebelumnya bla...bla...

****

Aku sengaja mengatur tempat liburan kami ke sebuah pulau eksotic yang berada di tengah lautan dan berada di daerah yang cukup terpencil. Pulau itu juga terkenal dengan suasana romatisnya.

Perjalanan kami tempuh dengan menaiki pesawat, lalu memakai travel dan kemudian menaiki sebuah kapal feri kecil untuk menuju pulau tersebut.

Pulau itu ternyata memang indah. Ada banyak pengunjung dari berbagai daerah yang datang ke pulau itu. Bahkan ada banyak pengunjung dari luar negeri.

Di pulau itu juga terdapat tempat penginapan, untuk para pengunjung yang bermalam disana.

Aku memang sengaja mengambil penginapan satu kamar untuk kami berdua bersama Raka, selama tiga malam.

Selain tempat penginapan, pulau ini juga menyediakan beberapa tempat hiburan dan juga pusat penjualan oleh-oleh.

Satu-satunya kelemahan pulau ini hanyalah jaringan internet nya yang tidak memadai, bahkan untuk jaringan telpon nya aja sangat susah.

Tapi itu tidak jadi masalah bagi penngunjung. Bukankah tujuan berliburan itu adalah untuk melepaskan sejenak dari segala rutinitas, terutama yang berhubungan dengan dunia internet.

Dan aku justru menyukai hal itu. Karena dengan begitu, untuk sementara aku tidak akan terganggu oleh bunyi dering handphone. Dan aku bisa fokus untuk menjalankan misi ku untuk bisa mendapatkan Raka.

Kami sampai ke pulau itu, saat hari menjelang senja. Pemandangan matahari yang hampir tenggelam menyambut kami. Sebuah pemandangan yang indah, yang menjadi daya tarik tersendiri di pulau nan eksotic itu.

Karena hari yang sudah mulai gelap, kami langsung saja menuju kamar penginapan yang sudah aku pesan sejak tadi.

"om hanya pesan satu kamar, jadi gak apa-apa kan kita tidur sekamar?" tanya ku pada Raka, saat kami sudah berada di dalam kamar tersebut.

"ya gak apa-apa sih, om. Itung-itung untuk berhemat juga kan?" balas Raka penuh pengertian.

Meski pun tujuan utama ku menyewa hanya satu kamar, adalah agar aku bisa selalu bersama Raka dan agar aku punya banyak kesempatan untuk bisa menaklukannya.

"om sudah pesan kan malam makan buat kita, dan... dan... sekaligus... beberapa minuman berat.." ucapku sedikit terbata.

"maksudnya minuman beralkohol?" tanya Raka ragu.

"iya. Kita kan kesini mau bersenang-senang Raka. Jadi sekali-kali bolehlah..." jawabku santai.

"tapi aku tidak biasa minum, om." ucap Raka lugu.

"udah tenang aja. Kita gak usah cerita kan hal ini sama ibu kamu. Ini cukup jadi rahasia kita berdua. Lagi pula kan cuma sekali ini.." balasku berusaha membujuk Raka.

Aku berharap, dengan sedikit minuman bisa membuatku lebih berani untuk mengungkapkan perasaan ku kepada Raka. Dan juga tentu saja aku berharap, agar Raka lebih mudah ditaklukan.

*****

Selesai mandi dan makan malam, kami pun berjalan-jala sebentar menyelusuri pantai, sambil menghirup udara segar.

Setelah merasa cukup capek, kami pun kembali ke penginapan.

Aku mulai membuka minuman yang sudah aku pesan tadi.

"tapi aku gak biasa loh, om.." ucap Raka, saat aku menyodorkan minuman itu padanya.

"udah.. coba aja. Enak kok.." balasku meyakinkan.

Dengan sedikit ragu, Raka mulai menenggak minuman tersebut dengan perlahan. Aku pun ikut melakukannya.

Aku menghidupkan layar televisi yang ada dalam kamar tersebut, memutar sebuah film romantis. Hanya untuk memancing suasana.

Aku mulai mengajak Raka mengobrol sambil terus menawarkan minuman padanya.

Raka mulai hanyut dalam suasana romantis itu. Ia terlihat sudah dalam pengaruh minuman tersebut.

Aku mulai melakukan aksi ku. Pelan namun penuh perasaan.

Adegan romantis dalam film yang aku putar, juga membantu untuk aku lebih mudah menguasai keadaan. Aku menjadi lebih leluasa menguasai Raka. Apa lagi pengaruh minuman itu, cukup membuatku semakin berani untuk bertindak.

"kamu sangat tampan, Raka. Kamu begitu gagah. Om menginginkan kamu malam ini." rayu ku dalam usaha ku memulai aksi ku terhadap Raka.

Raka hanya terdiam. Dia sepertinya benar-benar telah terbawa suasana. Dan aku memanfaatkan kesempatan itu dengan baik.

Aku tidak ingin malam ini berlalu begitu saja. Aku harus bisa mendapatkan Raka.

"Om sangat mencintai kamu, Raka. Om ingin memiliki mu. Malam ini dan selama-lamanya.." rayu ku lagi.

"tapi... aku.. aku... " ucapan Raka terbata.

Aku dengan cekatan menahan ucapannya itu dengan gerakan liar ku.

Raka akhirnya tidak bisa berkata apa-apa. Pengaruh minuman itu cukup membuat dia tak berdaya menerima perlakuan ku.

Raka akhirnya hanya bisa pasrah. Membiarkan ku melakukan apa yang selama ini hanya ada dalam khayalanku.

Aku berhasil membawa Raka hanyut dalam gelombang penuh keindahan.

Raka perlahan mulai bisa menikmati hal tersebut.

Cuaca malam itu cukup dingin. Namun kami justru merasa terbakar oleh gelora keinginan kami.

Aku tak ingin melepaskan Raka. Tidak sedetik pun. Dia milik ku seutuhnya malam ini.

Setiap jengkal kulitnya adalah anugerah terindah yang membuatku terbuai.

Keindahan seorang Raka, adalah pahatan maha karya yang sempurna.

Tampan, kekar dan gagah.

Aku menyerahkan diriku sepenuhnya. Tak tersisa. Aku dan Raka, hanya kami berdua malam itu.

Perjalanan yang sangat panjang, yang membuat kami merasa lelah. Namun kelelahan itu sungguh indah. Sangat indah. Begitu indah.

Dan keindahan itu kian terasa, saat akhirnya perjalanan kami sampai pada tujuan yang menjadi impian setiap insan yang di landa asmara. Indah, penuh pesona.

Hingga malam pun berlalu dengan begitu cepat.

*****

Pagi itu aku terbangun. Aku melihat Raka sedang mengemasi barang-barangnya.

"kamu mau kemana?" tanya ku heran.

"aku harus pulang. Aku tak ingin disini. Om sengaja mengajak ku kesini. Agar om bisa menguasai ku. Tak ku sangka om akan melakukan semua itu padaku.." kasar suara Raka menjawab.

"om melakukannya karena aku memang benar-benar mencintai kamu Raka..." ucapku penuh perasaan.

"bullshit! Omong kosong! Om memang sudah biasa melakukan hal ini kan? Dan aku adalah korban om yang kesekiannya.." balas Raka masih kasar.

"om memang punya masa lalu yang suram, Raka. Om memang pernah melakukan hal tersebut, tapi itu dulu, jauh sebelum om menikah dengan ibu kamu. Dan sejak kamu mulai tumbuh dewasa, tiba-tiba saja aku jatuh cinta padamu, Raka. Kamu bukan korban, Raka. Kamu adalah orang yang aku cintai..." jelas ku panjang dengan suaraku yang mulai serak.

"terserah om Darwis mau ngomong apa. Aku tidak akan percaya. Aku tidak sudi lagi melihat om. Aku benci om Darwis. Dan aku harap om segera meninggalkan ibuku. Aku tidak sudi punya ayah tiri seorang gay..." suara Raka semakin kasar.

Raka selesai mengemasi barangnya dengan acak-acakan. Lalu kemudian dia melangkah dengan terburu menuju pintu keluar.

Bunyi dentuman suara pintu yang dihempaskan Raka membuat aku merasa terhenyak

Semarah itukah Raka padaku? Bathinku lirih.

Tapi aku tak berani mengejarnya. Aku hanya bisa membiarkan Raka pergi dengan segala amarah nya.

Aku tidak tahu harus berbuat apa saat ini. Aku bingung.

Jujur harus aku akui, kalau peristiwa semalam sungguh meninggalkan kesan yang begitu indah di hatiku.

Tapi saat ini hatiku rasanya hancur. Aku pikir tadi malam Raka melakukannya denganku adalah karena dia juga menginginkannya.

Namun ternyata Raka justru meninggalkanku sendiri di sini.

Aku merasa cemas, takut, dan merasa bersalah.

Meski pun aku yakin, Raka tidak akan berani menceritakan hal tersebut kepada ibunya. Tapi aku sudah tidak punya harapan lagi, untuk benar-benar bisa memiliki Raka.

Aku ingin memiliki Raka selamanya. Bukan sekedar kesenangan satu malam. Seperti yang aku rasakan malam tadi bersama Raka.

Tapi apa yang bisa aku lakukan sekarang?

Jika Raka bahkan sudah tidak sudi melihatku.

****

Part 3

Aku kembali ke rumah dengan keadaan yang tanpa semangat. Aku mengabaikan beberapa pertanyaan dari istriku.

Aku menghempaskan tubuhku di ranjang tidur kami, aku merasa sangat lelah dan terluka.

"apa yang terjadi, mas?" tanya istriku mengulang pertanyaannya.

"tidak ada yang terjadi. Kami hanya liburan." balasku dengan nada malas.

"tapi kenapa Raka pulang lebih awal? Dan sejak pulang dari sana, Raka tidak pernah keluar dari kamarnya. Kalau tidak terjadi apa-apa, Raka tak mungkin seperti itu." ucap Istriku lagi.

"mungkin dia hanya lelah. Biarkan saja dia beristirahat." balasku masih dengan nada malas.

Melihat aku yang tidak begitu mengubris pertanyaan-pertanyaannya, istri ku akhirnya meninggalkan ku sendirian di kamar.

Aku menarik napas beberapa kali, berusaha memejamkan mata untuk tertidur. Namun pikiran ku masih terasa sangat kacau.

Peristiwa yang aku alami bersama Raka malam itu, terus melintas di benakku.

Aku benar-benar dibuat gila oleh Raka. Aku benar-benar semakin mencintainya. Aku semakin menginginkannya.

Tapi saat ini Raka bahkan tidak mau keluar dari kamarnya.

Aku mengambil ponsel ku dan mengetik beberapa kalimat, lalu mengirimkan ke nomor Raka.

"sekali lagi om minta maaf Raka. Tapi sungguh om melakukan semua itu, karena om benar-benar mencintai mu.." begitu kira-kira pesan yang aku kirimkan kepada Raka.

Tidak ada balasan. Aku menunggu. Namun tetap tidak ada balasan.

****

Berhari-hari berlalu. Raka sudah keluar kamar, namun dia tak pernah mengeluarkan sepatah kata pun selama aku berada di rumah.

Aku berusaha menegurnya, namun tak pernah digubris. Aku coba menelponnya namun tak pernah diangkat, aku berkali-kali mengirimkan pesan padanya, namun tak pernah ada balasan.

Mungkin Raka memang benar-benar marah padaku dan sangat membenciku.

Tapi aku adalah penguasa dalam hidupku. Aku penguasa dalam hidup mereka berdua, istri dan anak tiriku. Raka tak bisa terus memperlakukan aku seperti ini.

Untuk itu pada suatu kesempatan, aku pun masuk ke kamar Raka dengan paksa, saat ibunya sedang berbelanja ke pasar.

"kenapa kamu selalu menghindari ku?" tanya ku dengan suara sedikit kasar.

"aku membenci om Darwis.." suara Raka sinis.

"iya. Kenapa? Kenapa kamu membenci ku?" tanyaku sedikit menurunkan suara.

"aku tidak tahu. Bukankah tidak butuh alasan apa pun untuk bisa membenci?" balas Raka.

"iya. Seperti halnya kita tidak butuh alasan untuk mencintai.." balasku.

"aku tidak mencintai om Darwis.." ucap Raka.

"aku tidak mengatakan kalau kamu mencintai ku. Tapi kalau kamu memang benar-benar membenci ku, kenapa kamu masih berada disini? Kenapa juga kamu tidak cerita sama ibu mu?" ucapku bertanya.

"karena aku tidak tahu apa sebenarnya yang aku rasakan saat ini. Aku bingung, om. Seandainya saja om Darwis bukan ayah tiriku, mungkin ceritanya akan berbeda." kali ini suara Raka terdengar lirih.

"aku memang sengaja menghindari om, karena aku tidak ingin terbius lagi dengan pesona om Darwis. Dari awal aku memang menyukai om Darwis. Tapi selama ini aku hanya bisa memendamnya. Karena aku sadar om Darwis adalah ayah tiriku." Raka melanjutkan kalimatnya.

"namun sejak peristiwa malam itu. Sejak aku tahu, kalau om Darwis juga menyukai ku, aku justru menjadi bingung. Antara membiarkan diriku terjerat dalam hubungan terlarang di antara kita, atau membunuh perasaanku sendiri.." lanjut Raka lagi.

"berarti selama ini kamu juga mencintaiku?" tanya ku dengan suara berat.

"mungkin, om. Kasih sayang yang om berikan sejak aku remaja, membuat aku seakan menemukan tempat untuk bersandar. Aku telah kehilangan kasih sayang seorang ayah sejak kecil, dan kehadiran om Darwis mampu menumbuhkan perasaan nyaman dalam hatiku.." jelas Raka, suaranya semakin lirih.

"lalu mengapa setelah kejadian malam itu, pagi nya kamu begitu marah padaku? Kamu berlagak seolah-olah kamu tidak menginginkannya." tanyaku penasaran.

"karena aku merasa, apa yang telah kita lakukan adalah sebuah kesalahan, om. Aku merasa bersalah pada ibu. Aku marah pada diriku sebenarnya, yang tidak bisa mengendalikan perasaanku sendiri." jelas Raka lagi.

"kamu tidak berhak membunuh rasa yang tumbuh diantara kita Raka. Kita punya kesempatan untuk bersama. Jangan kau siksa hatiku dengan diam mu. Aku sakit.." ucapku pilu.

"aku tidak sedang membunuh rasa itu. Aku hanya sedang memikirkan jalan terbaik untuk kita. Seperti yang aku katakan, kalau saja om Darwis bukan ayah tiriku, aku sudah pasti akan rela hati menerima kehadiran om Darwis dalam hatiku." balas Raka terdengar sangat dewasa. Jauh lebih dewasa dari usianya yang sebenarnya.

Aku saja bahkan tidak sampai berpikiran seperti itu. Aku lebih mengutamakan ego ku untuk bisa memiliki Raka seutuhnya, tanpa pernah memikirkan perasaannya, tanpa pernah memikirkan perasaan istriku.

"lalu apa jalan terbaik yang kamu temukan selama beberapa hari ini?" tanyaku akhirnya, yang sebenarnya juga aku tujukan pada diriku sendiri.

"kalau memang om Darwis mencintaiku. Tolong.. jangan bawa aku larut di dalamnya, selama om Darwis masih bersama ibuku. Aku tak mungkin berbagi om Darwis dengan ibu ku sendiri." balas Raka pelan.

"tanpa ada ibu ku di dalamnya, hubungan kita saja sudah salah, om." lanjutnya lagi.

"lalu kamu ingin aku menceraikan ibumu?" tanyaku dengan nada ragu.

"itu bukan keinginanku. Itu keputusan om." jawab Raka lugas.

"kamu jangan buat aku ikut bingung, Raka." balasku lirih.

"bukankah hubungan seperti ini memang sangat membingungkan, om. Kita tidak bisa terlepas dari hal itu. Karena itu, sebelum kita terjerat semakin jauh, aku ingin om bersikap tegas." ucap Raka membalas.

"kenapa hanya aku yang harus memilih? Kenapa kamu tidak?" tanyaku pasrah.

"karena om yang berada di posisi itu, om. Om yang harus memutuskan, bukan aku." timpak Raka cepat.

"aku tidak akan memilih dan tidak akan memutuskan apa pun." ucapku akhirnya tegas.

"aku memang sangat mencintai kamu, Raka. Tapi aku tidak mungkin bisa menikahi kamu. Hubungan kita hanyalah sebuah rahasia. Jika kamu memang juga mencintaiku. Kita jalin hubungan ini, tanpa mengorbankan siapa pun, terutama ibu mu." lanjutku semakin tegas.

Kali ini Raka terdiam. Dia hanya bungkam. Membisu.

Entah apa yang di pikirkannya. Aku juga enggan untuk menebak.

Namun yang pasti, aku tidak mungkin menceraikan istriku, hanya untuk bisa bersama Raka. Karena sekali pun aku bercerai dari ibunya, kami juga tidak mungkin bisa bersama secara utuh.

Siapa yang akan bisa menerima hubungan seperti itu?

Tidak satu pun dan tak akan pernah ada.

****

Keesokan harinya Raka tidak pulang. Dia tidak meninggalkan pesan apa pun, bahkan kepada ibunya.

Ibunya kebingungan, berkali-kali ia menelpon anaknya, namun nomornya sudah tidak aktif.

"kita lapor polisi ya, mas." ucap istriku dengan suara berat, semalaman ia tidak tidur memikirkan keberadaan anaknya. Menelpon beberapa orang teman Raka, namun tidak seorang pun yang tahu dimana Raka.

Sudah sehari semalam Raka tidak pulang, sejak ia berangkat kuliah pagi itu. Aku juga mulai khawatir. Tapi aku tahu alasan Raka pergi. Karena itu aku pun tidak setuju dengan permintaan istriku untuk melaporkan kehilangan Raka pada pihak berwajib.

"Raka sudah dewasa, Ranti. Dia pasti bisa jaga diri kok.." ucapku beralasan.

"tapi sampai sekarang belum ada kabar loh, mas. Ponselnya juga gak aktif-aktif.." keluh istriku lagi.

"aku akan cari dia. Kamu tunggu aja di rumah. Aku akan minta bantuan pada anak buah ku di kantor untuk mencari Raka.." ucapku menenangkan istriku.

Siang itu, aku dan beberapa orang bawahan ku berkeliling kota mencari keberadaan Raka. Aku tahu Raka bersembunyi, tak akan mudah menemukannya.

Aku tak menyangka Raka akan mengambil keputusan seperti itu. Setelah perdebatan kami yang panjang malam itu.

Saat dalam pencarian tersebut, tiba-tiba sebuah pesan masuk ke ponsel ku dari nomor yang tidak aku kenal.

'om tidak usah mencariku. Aku tidak akan pulang, sebelum om membuat keputusan.' begitu bunyi pesan singkat tersebut. Sepertinya Raka sengaja menggunakan nomor baru untuk menghubungiku.

'kamu jangan bodoh Raka. Ibu mu sangat mengkhawatirkan mu.' balasku cepat, takut Raka mematikan ponselnya.

'sejak kapan om mencemaskan keadaan ibu ku? Bukankah om tidak pernah mencintainya?' balas Raka.

'om mohon sama kamu Raka. Apa pun alasan mu untuk pergi saat ini, setidaknya pikirkanlah perasaan ibu mu. Pulanglah. Kita akan bicarakan ini lagi.' aku membalas.

Kali ini tidak ada balasan. Aku menunggu. Tetap tidak ada balasan.

Aku mencoba menghubungi nomor tersebut, tapi ternyata sudah tidak aktif.

Aku terdiam, tidak tahu harus melakukan apa saat ini...

****

Part 4

Raka akhirnya kembali, setelah tiga hari dia menghilang. Dia kembali dengan tampang tanpa merasa bersalah sedikit pun.

Tak dihiraukannya ibunya yang menangis menyambut kepulangannya. Dia langsung menuju kamarnya, seolah-olah tidak terjadi apa-apa.

Aku merasa kesal melihat tingkah Raka. Meski pun aku sangat mencintainya, tidak seharusnya Raka bersikap seperti itu. Dia seharusnya lebih dewasa.

Tapi Raka tidak sepenuhnya salah dalam hal tersebut. Aku yang menyebabkan dia bertindak seperti itu.

Meski aku juga tidak pernah memintanya untuk juga jatuh cinta padaku.

Tapi semua sudah terlanjur terjadi. Kami sudah terlanjur saling jatuh cinta. Dan bahkan sudah terlanjur melakukan hubungan yang seharusnya tidak kami lakukan.

Sebagai ayah tirinya, aku seharusnya lebih bisa menahan diri, menahan perasaanku. Tapi Raka terlalu mempesona di mataku.

Aku tidak bisa begitu saja menolak pesonanya. Aku tidak bisa begitu saja mengabaikannya.

Dan apa lagi setelah aku tahu, kalau dia juga menyukai ku. Aku semakin punya kekuatan untuk bisa mendapatkannya.

Namun pilihan yang diberikan Raka sungguh teramat sulit untuk aku pilih. Aku tak mungkin menceraikan istriku, yang juga merupakan ibu kandung Raka, hanya demi untuk bisa bersama Raka.

Tapi Raka tidak ingin menjalin hubungan apa pun dengan ku, jika aku masih berstatus suami ibunya.

Dan hal itu membuat aku semakin bingung.

Aku memang sangat mencintai Raka. Tapi aku juga sadar, meski pun kami saling cinta, kami tidak mungkin bisa bersama secara utuh. Tidak ada yang bisa menerima hubungan seperti itu.

Tidak satu pun!

****

"aku mencintai om Darwis. Tapi aku tidak ingin menyakiti perasaan siapa pun.." lirih suara Raka berucap.

"kamu tidak menyakiti perassaan siapa pun dengan mencintai ku, Raka." balas ku pelan.

Saat itu kami ngobrol berdua di kamar Raka.

"tapi jika kita tetap nekat melanjutkan hubungan kita, bisa saja hubungan terlarang kita akan diketahui oleh ibu. Dan itu jelas akan sangat melukai perasaannya. Aku tidak ingin hal itu terjadi.." balas Raka masih dengan suara lirih.

"jadi kamu maunya gimana Raka?" tanya ku ingin tahu.

"aku ingin om Darwis tetap menjadi suami ibuku. Aku ingin om Darwis belajar untuk mencintainya. Aku ingin om Darwis belajar untuk melupakanku. Aku juga akan belajar untuk melupakan om Darwis." jelas Raka.

"dan satu hal lagi, ini yang paling penting. Aku ingin om Darwis berhenti berpetualang di dunia gay. Aku ingin om Darwis tidak lagi melirik laki-laki lain di luar sana. Om harus benar-benar bisa mencintai ibuku.." lanjut Raka lagi.

"lalu bagaimana dengan kamu sendiri, Raka? Apa kamu bisa berubah? Kamu mungkin bisa melupakan ku, tapi kamu tidak akan bisa menolak godaan laki-laki di luar sana.." balasku ringan.

"aku akan belajar untuk melupakan om Darwis. Dan itu hanya bisa aku lakukan, kalau aku tidak berada disini.." ucap Raka.

"maksud kamu?" tanyaku dengan sedikit mengerutkan kening.

"aku akan pindah kuliah ke luar kota, om. Aku sudah sampaikan hal itu pada Ibu. Dan Ibu juga sudah setuju. Dengan begitu, kita akan lebih mudah untuk saling melupakan." jelas Raka.

Setengah hatiku tidak setuju dengan keputusan Raka tersebut. Biar bagaimana pun aku sangat mencintainya, dan aku tidak ingin kehilangan dia.

Meski pun aku tidak bisa memilikinya seutuhnya, tapi setidaknya, jika Raka masih tinggal bersama kami, aku masih bisa melihatnya, menatap wajah teduhnya setiap hari.

Namun seperti yang Raka katakan, aku memang harus belajar untuk melupakannya.

Cinta memang tak selamanya harus memiliki. Cinta tak selamanya harus bersama.

Mungkin cintaku kepada Raka memang sangat besar, tapi resiko yang harus kami tanggung, jika kami tetap nekat untuk bersama, rasanya terlalu besar.

Apa lagi mengingat usiaku yang sudah tidak muda lagi.

Sejak memutuskan menikah dengan Ranti, istriku sekaligus ibunya Raka, aku sudah bertekad untuk berubah. Namun kehadiran Raka, mampu mengendurkan tekad ku tersebut.

Tapi sekarang, aku sudah tidak punya harapan apa-apa lagi kepada Raka. Dia telah membuat keputusan hidupnya sendiri. Dan aku harus menerimanya sebagai sebuah keputusan yang terbaik.

****

Raka akhirnya pergi. Benar-benar pergi. Dan aku merasa sangat kehilangan.

Hidupku terasa hampa. Aku jadi kehilangan semangat.

Namun demi janji ku kepada Raka, untuk membahagiakan ibunya, aku harus tetap bertahan.

Aku berusaha belajar untuk mencintai istriku. Aku berusaha untuk menjadi suami yang baik baginya.

Sampai akhirnya istriku pun hamil. Dan hal itu cukup membuatku bahagia.

Aku kembali punya semangat lagi. Aku seakan menemukan tujuan dalam hidupku.

Yah, sebentar lagi aku akan menjadi seorang ayah. Dan hal itu merupakan suatu kebanggan bagiku.

Raka masih sering pulang ke rumah, terutama saat musim liburan. Tapi hubungan kami hanya sebatas antara seorang anak dengan ayah tirinya.

Aku maupun Raka, sepertinya sudah berhasil menghapus segala perasaan cinta kami. Rasa itu tidak lagi ada. Rasa itu telah punah, bersama jarak dan waktu.

Kini hari-hari ku lebih aku fokuskan kepada pekerjaan ku, dan juga untuk menyambut kelahiran anak pertamaku.

Aku tidak lagi memikirkan sosok laki-laki dalam hidupku. Aku tidak ingin memikirkannya.

Meski jujur saja, perasaan itu kadang datang. Tapi aku selalu berusaha untuk menepisnya.

Aku tidak ingin terjerumus lagi dalam rasa yang tidak akan pernah berujung. Aku tidak ingin terjerumus lagi dengan perasaan yang hanya akan menyiksa ku.

Aku harus bisa berhenti. Aku harus benar-benar berubah.

Setidaknya demi Raka, demi ibunya dan juga demi calon anakku.

****

Sekian ...

Aku relakan istriku

Namaku Andra. Bukan nama sebenarnya.

Dan ini adalah kisah nyata ku.

Cerpen sang penuai mimpi

Aku lahir, tumbuh dan besar dari keluarga yang cukup berada. Sejak kecil segala kebutuhanku selalu terpenuhi oleh orangtua ku.

Orangtua ku memang cukup memanjakan ku, karena aku adalah anak mereka satu-satunya.

Sampai akhirnya aku tumbuh besar dan bekerja di perusahaan papa ku.

Setelah mulai bekerja, aku pun mulai dituntut oleh orangtua ku, terutama mama ku, untuk aku segera menikah.

Hingga pada akhirnya aku pun menikah dengan seorang gadis pilihan mama ku.

Aku menerima perjodohan itu dengan pasrah. Karena aku tidak berhasil menemukan wanita yang aku inginkan. Untuk urusan percintaan, aku memang tidak seberuntung kehidupanku.

Aku pernah pacaran beberapa kali dengan beberapa orang perempuan, namun pada akhirnya setiap hubungan asmara ku selalu berakhir dengan perpisahan.

Dan menerima perjodohan dengan gadis pilihan mama ku, merupakan jalan terakhir bagiku untuk mendapatkan jodoh.

Setelah menikah, aku pun pisah rumah dari orangtua ku. Aku belajar mandiri, bersama keluarga baruku.

Aku hanya hidup berdua dengan istriku, karena istriku memang hanya seorang ibu rumah tangga biasa. Dan dia tidak ingin ada pembantu di rumah kami.

Istriku, sebut saja namanya Imay, tidak terlalu cantik, namun cukup menarik secara fisik. Selain itu, Imay juga seorang wanita soleha. Dia rajin beribadah, karena dia memang lulusan dari sebuah pesantren. Hal itulah yang membuat mama ku memilihnya untuk menjadi istri ku.

Imay tidak pernah kuliah, karena orangtuanya tidak mampu membiayai nya untuk kuliah.

Orangtua Imay memang hanya pedagang biasa. Imay juga masih punya tiga orang adik yang masih sekolah. Sebagai anak sulung, Imay memang harus mengalah kepada adik-adiknya.

Setidaknya begitulah segelumit kisah tentang Imay yang aku ketahui dari ceritanya.

Meski pun kami tidak pernah pacaran. Tapi kami cukup bahagia.

Kami sama-sama belajar untuk bisa saling mencintai. Saling mengenal pribadi masing-masing, dan saling membuka hati untuk kehidupan kami yang baru.

****

Setahun pernikahan kami, kami sudah mulai saling menyayangi, saling mencintai dan saling mengerti.

Kami juga merasa bahagia, meski pernikahan kami belum dikaruniai anak.

Sebenarnya tidak terlalu jadi masalah bagi ku dan Imay, dengan pernikahan kami yang tanpa anak. Toh kami juga baru menikah selama satu tahun.

Tapi, mama ku tidak bisa menerimanya begitu saja. Mama sangat ingin untuk kami segera punya momongan.

Kami berdua sebenarnya juga ingin segera punya anak. Namun Imay belum juga kunjung hamil. Mungkin kami harus lebih sabar lagi.

****

Dua tahun berlalu. Imay belum juga menunjukkan tanda-tanda kehamilan. Dan hal itu membuat mama semakin sering mendesak kami.

Mama menyarankan berbagai alternatif untuk percepatan kehamilan Imay. Kami hanya meng iya kan saja setiap saran dari mama. Kami belum mau melakukan pengobatan apa pun untuk kehamilan Imay. Kami masih yakin, kalau kami masih bisa melakukannya sendiri, tanpa bantuan obat-obatan apa pun.

Namun setelah tiga tahun pernikahan kami, aku mulai merasa ada yang salah dengan ku, atau justru dengan Imay sendiri.

Untuk itu, aku dan Imay pun mendatangi dokter spesialis.

Dari beberapa kali hasil pemeriksaan dokter tersebut, ternyata kondisi kandungan Imay baik-baik saja.

Kesalahannya justru ada padaku.

Aku yang tidak bisa memberi Imay keturunan. Aku mandul.

Setidaknya begitulah keterangan dari dokter tersebut.

Awalnya aku tidak percaya. Karena itu aku pun mencoba mendatangi dokter lain diam-diam.

Dan ternyata hasilnya juga sama. Aku mandul.

Dan itu membuatku sangat terpukul. Harga diriku sebagai laki-laki seakan terkoyak. Aku benci mengakui itu.

Imay sebenarnya tidak mempersalahkan hal tersebut. Dia bisa menerima semuanya. Setidaknya begitulah yang ia ucapkan padaku, mungkin untuk sekedar menghiburku atau sekedar menguatkan ku.

Imay mungkin bisa menerima semuanya. Tapi bagaimana dengan mama? Mungkinkah mama bisa memakluminya?

Dan bagaimana pula dengan diriku sendiri?

Aku bahkan sangat membenci diriku saat ini.

****

Aku menjadi frustasi, kacau dan berantakan. Aku kehilangan gairah. Aku tidak punya semangat lagi untuk terus melanjutkan hidup. Aku merasa tidak berguna sebagai laki-laki.

Imay memang selalu berusaha menghiburku, memberikan aku semangat.

Dia juga menyarankan beberapa alternatif untuk kami tetap bisa mempunyai keturunan.

Mulai dari adopsi anak, bayi tabung dan berbagai alternatif lainnya.

Namun aku tidak bisa menerima semua itu.

Yang paling aku pikirkan sebenarnya adalah Imay, istriku. Aku merasa kasihan melihatnya.

Sebagai perempuan aku yakin, dia juga ingin merasakan menjadi seorang ibu, mendapatkan seorang anak dari rahimnya sendiri. Dia punya hak untuk itu, dan aku tidak bisa memberikannya.

Aku telah menjadi seorang suami yang telah merenggut hak istriku untuk bisa hamil dan mempunyai keturunan dari rahimnya sendiri.

Hal itu justru membuatku semakin merasa bersalah.

Namun aku tidak mungkin meninggalkan Imay apa lagi menceraikannya. Selain karena aku memang sangat mencintainya, aku juga tidak ingin mama tahu tentang apa yang telah terjadi dalam rumah tangga kami.

Dan sebagai seorang laki-laki yang sangat mencintai istrinya, sudah seharusnya aku memberikan yang terbaik untuk istriku. Terutama untuk memberikan haknya sebagai seorang wanita.

Aku juga ingin istriku bisa merasakan bagaimana rasanya hamil dan melahirkan seorang anak dari rahimnya sendiri.

Karena itu aku pun mengambil jalan pintas. Jalan pintas yang tentu saja sangat di tentang oleh istriku.

Istriku menolak, dia tidak bisa menerima permintaan ku. Tapi aku memaksanya, aku mengancamnya dengan berbagai cara.

Aku ingin dia melakukan hubungan badan dengan laki-laki lain. Laki-laki yang aku bayar, untuk bisa membuat istriku hamil.

Tentu saja aku telah memilih laki-laki yang terbaik. Aku juga ingin punya keturunan yang baik-baik.

Setelah perdebatan yang panjang, dan bahkan hampir bercerai, istriku pun akhirnya setuju.

Dan aku dengan sangat terpaksa, harus merelakan istriku tidur bersama laki-laki lain, selama beberapa malam.

Aku tahu tindakan ku salah. Aku tahu aku bodoh. Tapi aku hanya ingin memberikan hak istriku sebagai wanita normal.

Dia sehat, aku yang sakit. Dan dia tidak harus ikut menanggung sakit ku. Dia berhak untuk merasakan semua itu. Merasakan hamil, melahirkan dan menyusui anaknya sendiri.

****

Dan berbulan-bulan kemudian, istriku pun hamil. Dan orang yang paling bahagia dengan semua itu adalah mama.

Setelah hampir empat tahun pernikahan kami, akhirnya mama bisa mendengar kabar bahagia itu.

Aku turut bahagia. Entahlah. Apa aku bahagia atau tidak, itu tidak penting. Apa istriku bahagia atau tidak juga tidak penting lagi.

Hubungan ku dengan istri ku memang menjadi sedikit renggang sejak peristiwa itu.

Tapi aku berusaha sekuat mungkin untuk menerima semua kenyataan yang ada.

Dan semua itu hanyalah menjadi rahasia, antara aku, istriku dan laki-laki yang menghamilinya.

Dan aku berharap, semua itu akan tetap menjadi rahasia sampai kapan pun. Selamanya.

****

Kenangan indah di pasar malam

Namaku Davin. Aku seorang pemuda kampung. Aku lahir, tumbuh dan besar di kampung.

Orangtua ku hanyalah seorang petani biasa, yang hanya punya penghasilan yang pas-pasan. Karena itu aku hanya bisa sekolah sampai lulus SMP.

Setelah lulus SMP, aku mulai bekerja serabutan di kampung. Mulai dari bekerja sebagai nelayan di sungai, menjadi kuli bangunan, dan juga bekerja sebagai tukang panen sawit di kebun-kebun sawit masyarakat yang membutuhkan tenaga ku.

Aku punya dua orang adik perempuan dan juga seorang kakak laki-laki.

Kehidupan keluarga ku secara ekonomi memang sangat kekurangan. Tapi itu merupakan hal biasa bagi kami yang tinggal di perkampungan.

Hidup susah, kerja kerasa merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan kami.

"kalau mau makan ya harus kerja keras.." begitu ungkapan salah seorang tetua kami di kampung.

Kalimat itu juga sering dilontarkan oleh kedua orangtua ku. Saat aku atau kakak ku terlihat malas-malasan bekerja.

Kalimat itu seperti cambuk tersendiri bagi kami untuk tetap semangat bekerja, meski pun hasil yang kami dapatkan kadang jauh dari kata cukup.

Tapi begitulah kehidupan kami di kampung pada umumnya. Kami sudah terbiasa dengan semua itu. Namun kami sangat menikmati hidup kami.

Sikap gotong royong, kerja sama dan nuansa kekeluargaan membuat kami bisa saling menguatkan.

Satu-satunya hal yang jarang kami nikmati ialah hiburan.

Yah, karena kampung kami yang sangat jauh dari kota, hiburan merupakan hal yang paling sulit kami temukan.

Sampai pada suatu saat, serembongan orang mendatangi kampung kami. Serombongan orang yang membawa berbagai macam permainan yang masih cukup aneh bagi kami.

Berbagai jenis permainan itu mereka buka di lapangan bola kaki kampung kami. Aku tidak tahu persis bagaimana proses semua itu terjadi. Yang pasti itu semua sudah melalui izin dari kepala desa.

Dan orang-orang menyebutnya pasar malam, karena memang hanya dibuka saat malam hari.

Kami yang memang haus akan hiburan, dan juga merasa sangat baru dengan yang namanya pasar malam, tentu saja merasa antusias menyambut hal tersebut.

Malam pertama pasar itu dibuka, hampir seluruh masyarakat berbondong untuk datang.

Pasar malam itu terlihat ramai, apa lagi warga dari desa tetangga juga banyak yang berdatangan.

Intinya kami akan disuguhkan sebuah hiburan yang menarik selama lebih kurang sepuluh hari, sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan untuk pelaksanaan pasar malam tersebut.

Ada banyak permainan di pasar malam tersebut, mulai dari lempar gelang, lembar bola, lembar kaleng dengan hadiah-hadiah yang menarik. Ada juga permainan anak-anak, seperti bianglala, kereta mini, odong-odong dan berbagai jenis permainan menarik lainnya.

Namun dari semua permainan itu, ada satu permainan yang sangat menarik perhatianku.

Yakni permainan roda maut atau ada juga yang menyebutnya tong setan.

Sebuah permainan uji nyali yang sangat menantang. Seorang pengendara motor mengendarai motornya di dalam sebuah tong besar dengan kecepatan tinggi. Dia memulainya dari bawah dan terus menanjak naik keatas. Terus berputar mengelilingi tong tersebut berulang-ulang yang membuat para penontonnya histeris.

Sebuah permainan yang berbahaya, meski pun pengendara tersebut memakai alat keamanan yang lengkap, seperti helm dan juga jaket tebal, tapi tetap saja permainan itu membuat kita yang menyaksikan akan merasa berdebar-debar.

Pokoknya seperti itulah salah satu keseruan yang bisa kami nikmati di pasar malam tersebut.

******

Pasar malam ditutup pada jam sebelas malam. Semua pengunjung sudah kembali ke rumah masing-masing. Tinggallah mereka para pekerja yang berkemas menyimpan perlengkapan mereka sekedarnya, karena malam besok akan di buka kembali.

Saat itu, aku masih berada di sana. Aku memang sengaja belum pulang.

Aku masih penasaran dengan orang yang mengendarai motor pada tong setan tadi. Aku belum melihat wajahnya dengan jelas karena dia memakai helm.

Aku beranikan diri memasuki tong yang besar itu, sekedar ingin melihat pengendara yang nekat itu.

Sesampai di dalam seorang pemuda sedang berbincang bersama seorang rekannya.

Aku akhirnya bisa melihat dengan jelas wajah laki-laki itu dengan sorotan lampu di dalam tong besar tersebut.

Tak lama kemudian, rekan lelaki itu pun keluar. Laki-laki itu melangkah mendekatiku.

"kamu cari siapa?" tanyanya dengan suara berat.

"aku hanya ingin tahu orang yang punya nyali nekat untuk melakukan atraksi tadi.." balasku dengan suara bergetar.

"saya orangnya, kenapa?" tanya laki-laki itu lagi, suaranya memang aslinya berat dan terdengar maskulin.

"mas hebat bisa melakukan hal itu. Saya kagum sama mas.." jawabku sangat jujur.

"kamu asli orang sini?" tanya laki-laki itu lagi, seakan mengabaikan pujianku barusan. Sepertinya dia sudah biasa di puji seperti itu.

"iya, mas." Jawabku akhirnya sambil mengangguk.

"kalau begitu kamu pasti tahu kan dimana tempat jual oli motor disini?" laki-laki itu bertanya lagi.

"iya, tahu, mas. Tapi biasanya jam segini udah tutup.." balasku ringan.

"ya udah, kalau begitu besok siang aja..." ucap laki-laki itu lagi, sambil mulai melangkah menjauh.

"tunggu dulu, mas.." cegahku nekat.

"ada apa lagi?" tanya laki-laki itu, sambil memutar tubuhnya kembali menatapku.

"saya boleh tahu nama mas siapa?" tanyaku nekat lagi.

Entah mengapa aku jadi begitu penasaran dengan pria itu. Melihat ia melakukan atraksi berbahaya tadi, aku merasa ingin tahu tentang dirinya.

"panggil saya mas Danu.." tegas laki-laki gagah itu menjawab.

Mas Danu memang memiliki postur tubuh yang gagah dan kekar. Perawakannya tinggi sekitar 180 cm. Wajahnya sedikit gelap, namun terlihat manis. Hidungnya mencuat mancung, dengan dagunya yang lancip. Rahangnya kokoh.

"saya Davin, mas.." ucapku, meski mas Danu tidak bertanya sama sekali.

"kita bisa ngobrol-ngobrol, mas?" tanyaku ragu.

"saya capek. Saya mau istirahat. Jadi kalau mau ngobrol besok aja.." balas mas Danu. Lalu kemudian dia pun melangkah meninggalkanku.

****

Malam itu, mataku enggan terpejam.

Bayangan wajah mas Danu terus melintas di pikiranku.

Hatiku merasa berdebar-debar bila mengingatnya.

Akh, apa yang aku sebenarnya?

Belum pernah aku merasakan perasaan ini sebelumnya, apa lagi dengan seorang laki-laki.

Mungkinkah aku telah jatuh cinta?

Tapi bukankah mas Danu berjenis kelamin sama denganku? Masa iya aku bisa tertarik pada seorang laki-laki? Bathinku merintih.

Aku memang sudah berusia delapan belas tahun saat ini. Namun selama ini aku belum pernah pacaran.

Aku pernah dekat dengan beberapa orang perempuan teman sekampungku. Tapi aku tidak pernah merasakan getar-getar indah saat bersama mereka. Perasaan ku biasa saja, karena itu aku tidak pernah berpacaran sama sekali.

Tapi saat pertama kali aku melihat mas Danu tadi, tubuhku bergetar. Hatiku merasa berbunga. Indah sekali rasanya.

Aku semakin ingin mengenal mas Danu lebih dekat. Aku ingin bersamanya...

*****

Sore itu, aku coba mendatangi tempat pasar malam itu. Aku ingin bertemu mas Danu.

"kamu datang juga akhirnya.." ucap mas Danu menyambut kedatanganku.

"saya menunggu kamu sejak tadi..." lanjutnya.

"ada apa?" tanyaku setengah melayang.

Setengah hatiku berharap, mas Danu menungguku karena dia juga merasakan hal yang sama denganku. Setengah hatiku lagi pasrah.

"bukankah tadi malam kamu berjanji akan menemaniku ke tempat penjualan oli?" jelas mas Danu, yang membuatku sedikit menghempaskan napas.

Harapan hatiku yang setengah tadi hilang.

Tapi setidaknya, jika aku menemani mas Danu untuk membeli oli, aku punya banyak kesempatan untuk bisa dekat dengannya.

"apakah jauh?" tanya mas Danu mengagetkan ku.

"apanya?" tanyaku terlihat bodoh.

"ya, tempat jual oli itu, Davin..." jawab mas Danu, yang membuat jantungku berdetak hebat.

Tak kusangka mas Danu bisa mengingat namaku dengan baik.

Mendengar namaku disebut mas Danu, aku benar-benar menjadi salah tingkah.

Ah, mengapa cinta membuat orang menjadi sangat bodoh?

"ya.. lumayan jauh mas, kalau jalan kaki." jawabku setelah merasa sedikit tenang.

"kamu gak punya motor?" tanya mas Danu.

"gak punya, mas." jawabku jujur, "tapi aku coba pinjam motor temanku ya mas. Mas Danu tunggu disini sebentar.." lanjutku cepat, sambil memutar tubuh dan berlari meninggalkan mas Danu.

Aku tidak ingin kehilangan kesempatan untuk bisa dekat-dekat dengan mas Danu. Aku pun mendatangi salah seorang temanku dan meminjam motornya.

Beberapa saat kemudian, aku pun kembali menemui mas Danu dengan membawa sebuah motor.

Kami pun segera menuju tempat jual oli, yang aku tahu berada di ujung kampung.

Tubuhku bergetar, dadaku berdebar hebat, keringatku bercucuran.

Bagaimana tidak, aku sangat dekat dengan mas Danu. Dia tepat berada di depanku. Tak berjarak.

Aku memang meminta mas Danu yang menyetir, dan aku menjadi pemandu jalannya di belakang.

Aroma khas tubuh seorang laki-laki menyeruak ke dalam hidungku. Aroma itu benar-benar jantan. Aku melayang. Indah.

"mas Danu sudah menikah?" tanyaku cukup berani, sekedar memecah keheningan. Sekedar membuang rasa grogiku. Sekedar ingin tahu status mas Danu saat ini. Eh.. tidak. Aku benar-benar ingin tahu.

"aku sudah menikah satu kali, dan sudah punya dua anak.." jawab mas Danu dengan suara khasnya yang berat.

"emangnya mas Danu mau menikah berapa kali?" tanyaku lagi menanggapi ucapannya.

"berapa kali pun saya siap, asal ada yang mau sih.." jawab mas Danu sedikit berkelakar.

"ya gak boleh gitu lah mas Danu. Nikah itu sebaiknya satu kali aja seumur hidup.." ucapku sok bijak.

"nikahnya sih satu kali, tapi kawinnya berkali-kali boleh dong?" ucap mas Danu masih dengan nada berkelakarnya.

"maksudnya?" tanyaku pura-pura tidak paham.

"ah sudahlah. Kamu gak bakal ngerti, Davin. Usia kamu berapa sih?" balas mas Danu sedikit mendengus.

"18 tahun mas. Mas Danu sendiri?" balasku sambil bertanya.

"saya sudah 33 tahun. Sudah tua kan?" balas mas Danu.

"gak kelihatan tua kok, mas. Masih terlihat muda dan gagah. Lagi pula usia segitu kan belum bisa dikatakan kategori tua, mas.." ucapku jujur.

Mas Danu tidak berucap lagi. Karena kami sudah sampai ditujuan.

Mas Danu segera membeli keperluannya.

*****

Malam itu, aku menjadi penonton setia mas Danu, karena aku dapat tiket gratis dari mas Danu. Katanya sebagai ucapan terima kasih, karena telah menemaninya sore tadi.

Aku merasa beruntung. Aku merasa bangga dan aku merasa bahagia.

Seumur-umur, baru kali ini aku merasakan perasaan yang begitu indah.

Aku selalu memperhatikan mas Danu tanpa henti. Saat dia beraksi, saat dia beristirahat. Semuanya terasa indah bagiku.

"terima kasih ya mas Danu. Sudah memberikan saya kesempatan untuk menyaksikan pertunjukkan mas Danu dari awal sampai akhir secara gratis.." ucapku, saat pertunjukkan itu akhirnya berakhir.

"saya yang terima kasih sama kamu, Davin. Kamu udah temani saya dari tadi.." balas mas Danu.

Kami ngobrol di dalam tong besar itu.

Mas Danu memang punya ruangan sendiri disitu. Ruangan itu ia jadikan tempat untuk ia beristirahat dan tidur.

Malam itu, kami hanya ngobrol berdua. Sementara para pekerja lain nya sudah kembali ke stan mereka masing-masing.

"enak ya jadi mas Danu. Punya banyak penggemar.." ucapku akhirnya, setelah kami terdiam beberapa saat.

"yah, yang namanya hidup, memang selalu ada enak dan tidak enaknya Davin. Dan tidak enaknya pekerjaan saya adalah harus terpisah dengan keluarga..." ucap mas Danu, untuk pertama kalinya dia terdengar sangat serius.

"saya sering merasa kangen dengan anak-anak saya. Tapi mau gimana lagi, ini pekerjaan saya.." lanjutnya terdengar pilu.

"berarti mas Danu sering merasa kesepian dong, karena bermalam-malam tidak tidur bareng istri.." ucapku datar.

"yah... mau gimana lagi. Saya harus bisa memendam semua kesepian itu.. " suara mas Danu lirih.

"mas Danu gak pengen menghilangkan kesepiannya dengan saya?" tanyaku nekat.

"emangnya kamu bisa menghilangkan kesepian saya?" tanya mas Danu balik.

"ya.. bisa aja. Kalau mas Danu mau sih..." balasku sedikit manja.

"emangnya kamu mau?" tanya mas Danu lagi.

"ya pasti mau lah mas Danu. Mas Danu kan tampan, gagah, kekar. Dan pasti sangat perkasa.." ucapku semakin berani.

Aku memang tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini. Mas Danu hanya tinggal beberapa malam lagi disini. Aku harus bisa memanfaatkan setiap kesempatan yang ada.

Aku yakin mas Danu tidak akan menolak. Karena dia pasti merasa kesepian.

"kamu juga cukup menarik, Davin. Tapi kamu tahu kan, kita tidak bisa terikat. Jika kita melakukan hal itu, kita harus melakukannya hanya atas dasar suka sama suka. Tidak ada ikatan apa pun diantara kita.." ucap mas Danu akhirnya.

"mas Danu tenang aja. Saya gak bakal nuntut apa pun dari mas Danu. Yang penting selama mas Danu disini, kita bisa bersama-sama. Menikmati indahnya malam berdua.." balasku lugas.

Dan untuk pertama kalinya malam itu, aku pun merasakan sesuatu yang belum pernah aku rasakan seumur hidupku.

Aku merasa bahagia. Sangat bahagia.

Semuanya terasa indah bagiku. Mas Danu benar-benar membuatku terlena.

Mas Danu adalah cinta pertamaku, dan orang pertama yang memberikan aku sesuatu yang indah.

Dan aku sangat terkesan. Sungguh sebuah pengalaman yang indah.

Sebuah pengalaman pertama bagiku. Aku tidak akan pernah melupakan kejadian malam itu seumur hidupku.

****

Malam-malam selanjutnya, aku dan mas Danu masih terus melakukan hal tersebut.

Aku benar-benar terlena oleh mas Danu. Mas Danu yang tampan dan gagah.

Aku bak seorang musafir yang menemukan setetes air di tengah gurun gersang.

Segala dahaga ku terlepas sudah bersama mas Danu.

Setiap malam kami selalu bersama. Menikmati indahnya malam.Menikmati setiap detik kebersamaan kami.

Aku ingin memanfaatkan setiap kesempatan yang ada. Aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan itu.

Malam-malam ku jadi terasa sangat indah. Dan aku semakin mencintai mas Danu.

"terima kasih, Davin. Kamu benar-benar mampu menghilangkan segala kesepianku.." bisik mas Danu, pada malam terakhir dia berada di desaku.

"aku yang harus nya berterima kasih kepada mas Danu. Mas Danu mampu menghilangkang segala dahaga ku selama ini. Mas Danu mampu memberikan kesan yang indah untukku. Berat rasanya harus berpisah dengan mas Danu.." balasku pilu.

"aku juga merasa berat harus berpisah dengan, Davin. Kesna yang kamu berikan juga sangat indah. Tapi aku tidak mungkin terus berada disini. Aku harus melanjutkan perjalanan hidupku. Dan aku harap kamu juga bisa terus berjalan ke depan. Biarlah semua yang terjadi diantara kita selama beberapa malam ini, akan menjadi kenangan tersendiri bagi kita berdua.." balas mas Danu dengan nada lirih.

Aku tidak berkata apa-apa lagi. Aku tidak ingin berkata apa-apa lagi. Aku memang harus menerima kenyataan. Kenyataan bahwa hubunganku dengan mas Danu hanya untuk sesaat.

Hubunganku dengan mas Danu hanya terjadi selama pasar malam. Namun hal itu mampu memberikan kenangan terindah bagiku.

Sebuah kenangan yang akan ku simpan di relung hatiku yang terdalam.

Dan begitulah kisah singkatku bersama mas Danu. Sebuah kisah yang memberi kesan yang sangat dalam bagiku.

Terima kasih sudah menyimak kisah ini sampai selesai.

*****

Sekian...

Cari Blog Ini

Layanan

Translate