Anak tiriku yang tampan

Aku menikah dengan seorang janda yang mempunyai seorang anak laki-laki remaja yang sudah berusia lima belas tahun waktu itu.

Janda itu, namanya Ranti, sebenarnya masih berusia 34 tahun, dua tahun lebih muda dariku.

Ranti dulunya menikah dengan suami pertamanya pada saat usianya masih 18 tahun. Dia dipaksa menikah oleh orangtuanya dengan seorang juragan tua yang kaya, demi melunasi hutang orangtuanya.

Tentu saja Ranti hanyalah istri simpanan juragan tua tersebut. Dan sebagai istri simpanan, Ranti tidak mendapatkan warisan apa pun untuk anaknya, ketika akhirnya juragan tua itu meninggal setelah tujuh tahun mereka menikah.

Sejak saat itu Ranti pun hidup menjanda. Dia berusaha membesarkan anaknya sendirian.

Kedua orangtua nya juga sudah meninggal beberapa tahun yang lalu.

Sampai akhirnya kami pun dipertemukan. Kami bertemu tak sengaja di loundry tempat Ranti bekerja.

Aku memang sudah menjadi langganan di loundry tersebut sejak lama.

Dari perkenalan dengan Ranti tersebut, kami jadi sering ngobrol dan menjadi kian dekat.

Dan aku pun memutuskan untuk menikahi Ranti, meski keluarga banyak yang menentangnya, karena Ranti yang seorang janda dan juga sudah punya seorang putra.

Pernikahan kami pun berlangsung dengan sangat sederhana.

Dan dari situlah kisahku bersama anak tiriku yang tampan itu dimulai..

Bagaimanakah keseruan kisah ini?

Silahkan simak sampai selesai ya..

Namun sebelumnya bla.. bla...

*****

Namaku Darwis. Saat ini usiaku sudah 39 tahun. Dan sudah tiga tahun aku menikah dengan Ranti, janda cantik yang memiliki seorang putra bernama Raka.

Raka sekarang sudah besar, ia sudah berusia 18 tahun dan sudah mulai kuliah.

Raka tumbuh menjadi anak yang cerdas, sedikit pendiam dan juga sopan.

Raka juga tumbuh sebagai seorang pemuda yang berwajah tampan, sepertinya ia menuruni kecantikan wajah ibunya. Postur tubuh Raka juga sangat kekar dan gagah.

Awalnya aku menganggap Raka hanya sebagai anak tiriku. Aku berusaha menyayanginya seperti anak ku sendiri. Apa lagi pernikahan ku dengan Ranti juga belum dikaruniai anak.

Namun semakin Raka tumbuh dewasa, aku mulai merasa tertarik padanya. Aku menyukainya. Aku mengaguminya, bahkan mungkin aku telah jatuh cinta padanya.

Aku memang punya masa lalu yang sedikit gelap. Aku tumbuh tidak seperti kebanyakan laki-laki pada umumnya. Aku tumbuh dengan perasaan suka kepada sesama jenis. Karena itu juga aku jadi sedikit terlambat untuk menikah.

Secara ekonomi kehidupan ku memang cukup mapan. Aku lahir dari keluarga yang berkecukupan.

Aku anak kedua dari tiga bersaudara. Kakak pertama ku laki-laki dan sudah lama menikah, bahkan sudah mempunyai tiga orang anak saat ini.

Adik ku perempuan, juga sudah lama menikah dan juga sudah mempunyai dua orang anak.

Sebagai seorang laki-laki yang tumbuh dengan perasaan suka kepada sesama jenis, aku memang tidak pernah pacaran dengan perempuan.

Aku justru sering menjalin hubungan dengan sesama laki-laki. Aku pernah pacaran beberapa kali dengan laki-laki yang aku suka. Meski pun pada akhirnya hubungan percintaan ku selalu kandas. Karena hubungan seperti itu memang tidak akan pernah bertahan lama.

Sampai akhirnya aku bertemu Ranti. Sebenarnya aku tidak punya perasaan spesial untuk Ranti.

Hanya saja, aku merasa perihatin mendengar semua kisah tentang perjalanan hidupnya. Aku menjadi simpati padanya, yang membuat kami akhirnya dekat.

Aku pun memutuskan untuk menikahi Ranti, selain karena kasihan, aku juga butuh status.

Sebagai seorang pengusaha yang sukses, aku memang sudah lama dituntut oleh keluarga ku untuk segera menikah.

Dan pilihan ku jatuh pada Ranti, yang pada awalnya di tentang oleh keluarga ku. Karena menurut mereka, aku masih bisa mendapatkan seorang gadis.

Tapi aku tetap bertekad menikahi Ranti, selain karena aku ingin mengangkat derajat hidupnya, aku juga yakin Ranti adalah wanita yang baik dan penuh pengertian.

****

Hari-hari berlalu, aku mencoba menjalani kehidupan ku sebagai seorang laki-laki. Menjadi seorang suami bagi Ranti dan menjadi seorang ayah tiri bagi Raka.

Aku memang sudah sangat dekat dengan Raka. Sebagai seseorang yang telah lama kehilangan sosok seorang ayah dalam hidupnya, Raka memang dengan begitu mudah menyambut kedatangan ku dalam kehidupannya.

Aku memang menyayangi Raka dan berusaha memberikan yang terbaik untuknya. Namun perasaan cinta yang tumbuh di hatiku untuknya akhir-akhir ini, justru membuatku semakin tersiksa.

Bayangan Raka selalu menghiasi fantasi ku setiap malam. Hal yang sudah sangat lama tidak aku rasakan, setidaknya sejak aku memutuskan menikah dengan Ranti.

Keinginana untuk bisa memiliki Raka tumbuh begitu besar di hatiku. Aku sudah bertekad untuk bisa mendapatkannya walau dengan cara apa pun.

"mau liburan kemana kali ini, Ka?" tanya ku pada suatu pagi. Kami hanya berdua di rumah, Ranti sedang pergi ke pasar.

Sekarang memang sedang musim liburan. Biasanya setiap kali musim liburan datang, kami bertiga, aku, Raka dan Ranti, biasanya pergi berliburan selama beberapa hari ke daerah-daerah yang belum pernah kami datangi. Hal itu sudah menjadi rutinitas tahunan bagi kami.

"terserah om Darwis aja..." ucap Raka ringan. Raka memang selalu memanggil ku om, dan aku tidak pernah mempermasalahkannya. Yang penting Raka bisa menerima kehadiran ku dalam hidupnya.

"bagaimana kalau kali ini, kita liburannya khusus laki-laki aja?" tanya ku menawarkan.

"maksudnya, om?" Raka balik bertanya.

"iya, kali ini kita liburannya berdua aja..." jelasku ringan.

"lalu bagaimana dengan Ibu?" tanya Raka lagi.

"ibu mu sepertinya kali ini gak bisa ikut.." jawabku lagi.

"kenapa?" Raka bertanya lagi.

"karena.. karena sebentar lagi kamu bakalan punya adik.." jawabku.

"maksud om, Ibu sedang hamil sekarang?" tanya Raka.

Aku hanya mengangguk ringan menjawab pertanyaan Raka barusan.

Ranti memang sedang hamil sekarang. Usia kandungan nya baru sekitar enam minggu. Dan itu bisa menjadi alasan utama bagi ku, untuk tidak mengajak Ranti berliburan.

"jadi kalau ibu gak ikut, ibu tinggal sendirian lah di rumah.." ucap Raka kemudian.

"iya. Tapi kan ada pembantu di rumah ini, untuk menemani ibu kamu. Lagi pula kita perginya hanya beberapa hari kok." jelasku ringan.

"terserah om Darwis aja. Raka ngikut aja lah, om. Yang penting tahun ini Raka bisa liburan..." balasku Raka, yang membuat aku bersorak senang di dalam hati.

Setidaknya jika aku hanya pergi berdua bersama Raka, aku jadi punya banyak kesempatan untuk mendekatinya.

Aku harus bisa memanfaatkan kesempatan tersebut. Aku harus bisa mendapatkan Raka.

****

Part 2

Setelah mempersiapkan segala sesuatunya dan setelah meminta izin kepada Ranti, istriku, aku dan Raka si anak tiriku itu pun pergi berliburan berdua.

Untuk pertama kalinya aku dan Raka pergi liburan berdua setelah hampir empat tahun aku menjadi ayah tirinya.

Sungguh sebuah moment yang sudah sangat lama aku tunggu. Setidaknya sejak aku mulai jatuh cinta kepada Raka, anak tiriku itu, yang sekarang sudah tumbuh dewasa.

Bagaimanakah kelanjutan kisah ku bersama Raka?

Mampukah aku menaklukan hati Raka?

Atau justru aku akan kehilangan keduanya? Istriku dan juga Raka?

Simak lanjutan kisah ku bersama anak tiriku yang tampan, sampai selesai ya..

Namun sebelumnya bla...bla...

****

Aku sengaja mengatur tempat liburan kami ke sebuah pulau eksotic yang berada di tengah lautan dan berada di daerah yang cukup terpencil. Pulau itu juga terkenal dengan suasana romatisnya.

Perjalanan kami tempuh dengan menaiki pesawat, lalu memakai travel dan kemudian menaiki sebuah kapal feri kecil untuk menuju pulau tersebut.

Pulau itu ternyata memang indah. Ada banyak pengunjung dari berbagai daerah yang datang ke pulau itu. Bahkan ada banyak pengunjung dari luar negeri.

Di pulau itu juga terdapat tempat penginapan, untuk para pengunjung yang bermalam disana.

Aku memang sengaja mengambil penginapan satu kamar untuk kami berdua bersama Raka, selama tiga malam.

Selain tempat penginapan, pulau ini juga menyediakan beberapa tempat hiburan dan juga pusat penjualan oleh-oleh.

Satu-satunya kelemahan pulau ini hanyalah jaringan internet nya yang tidak memadai, bahkan untuk jaringan telpon nya aja sangat susah.

Tapi itu tidak jadi masalah bagi penngunjung. Bukankah tujuan berliburan itu adalah untuk melepaskan sejenak dari segala rutinitas, terutama yang berhubungan dengan dunia internet.

Dan aku justru menyukai hal itu. Karena dengan begitu, untuk sementara aku tidak akan terganggu oleh bunyi dering handphone. Dan aku bisa fokus untuk menjalankan misi ku untuk bisa mendapatkan Raka.

Kami sampai ke pulau itu, saat hari menjelang senja. Pemandangan matahari yang hampir tenggelam menyambut kami. Sebuah pemandangan yang indah, yang menjadi daya tarik tersendiri di pulau nan eksotic itu.

Karena hari yang sudah mulai gelap, kami langsung saja menuju kamar penginapan yang sudah aku pesan sejak tadi.

"om hanya pesan satu kamar, jadi gak apa-apa kan kita tidur sekamar?" tanya ku pada Raka, saat kami sudah berada di dalam kamar tersebut.

"ya gak apa-apa sih, om. Itung-itung untuk berhemat juga kan?" balas Raka penuh pengertian.

Meski pun tujuan utama ku menyewa hanya satu kamar, adalah agar aku bisa selalu bersama Raka dan agar aku punya banyak kesempatan untuk bisa menaklukannya.

"om sudah pesan kan malam makan buat kita, dan... dan... sekaligus... beberapa minuman berat.." ucapku sedikit terbata.

"maksudnya minuman beralkohol?" tanya Raka ragu.

"iya. Kita kan kesini mau bersenang-senang Raka. Jadi sekali-kali bolehlah..." jawabku santai.

"tapi aku tidak biasa minum, om." ucap Raka lugu.

"udah tenang aja. Kita gak usah cerita kan hal ini sama ibu kamu. Ini cukup jadi rahasia kita berdua. Lagi pula kan cuma sekali ini.." balasku berusaha membujuk Raka.

Aku berharap, dengan sedikit minuman bisa membuatku lebih berani untuk mengungkapkan perasaan ku kepada Raka. Dan juga tentu saja aku berharap, agar Raka lebih mudah ditaklukan.

*****

Selesai mandi dan makan malam, kami pun berjalan-jala sebentar menyelusuri pantai, sambil menghirup udara segar.

Setelah merasa cukup capek, kami pun kembali ke penginapan.

Aku mulai membuka minuman yang sudah aku pesan tadi.

"tapi aku gak biasa loh, om.." ucap Raka, saat aku menyodorkan minuman itu padanya.

"udah.. coba aja. Enak kok.." balasku meyakinkan.

Dengan sedikit ragu, Raka mulai menenggak minuman tersebut dengan perlahan. Aku pun ikut melakukannya.

Aku menghidupkan layar televisi yang ada dalam kamar tersebut, memutar sebuah film romantis. Hanya untuk memancing suasana.

Aku mulai mengajak Raka mengobrol sambil terus menawarkan minuman padanya.

Raka mulai hanyut dalam suasana romantis itu. Ia terlihat sudah dalam pengaruh minuman tersebut.

Aku mulai melakukan aksi ku. Pelan namun penuh perasaan.

Adegan romantis dalam film yang aku putar, juga membantu untuk aku lebih mudah menguasai keadaan. Aku menjadi lebih leluasa menguasai Raka. Apa lagi pengaruh minuman itu, cukup membuatku semakin berani untuk bertindak.

"kamu sangat tampan, Raka. Kamu begitu gagah. Om menginginkan kamu malam ini." rayu ku dalam usaha ku memulai aksi ku terhadap Raka.

Raka hanya terdiam. Dia sepertinya benar-benar telah terbawa suasana. Dan aku memanfaatkan kesempatan itu dengan baik.

Aku tidak ingin malam ini berlalu begitu saja. Aku harus bisa mendapatkan Raka.

"Om sangat mencintai kamu, Raka. Om ingin memiliki mu. Malam ini dan selama-lamanya.." rayu ku lagi.

"tapi... aku.. aku... " ucapan Raka terbata.

Aku dengan cekatan menahan ucapannya itu dengan gerakan liar ku.

Raka akhirnya tidak bisa berkata apa-apa. Pengaruh minuman itu cukup membuat dia tak berdaya menerima perlakuan ku.

Raka akhirnya hanya bisa pasrah. Membiarkan ku melakukan apa yang selama ini hanya ada dalam khayalanku.

Aku berhasil membawa Raka hanyut dalam gelombang penuh keindahan.

Raka perlahan mulai bisa menikmati hal tersebut.

Cuaca malam itu cukup dingin. Namun kami justru merasa terbakar oleh gelora keinginan kami.

Aku tak ingin melepaskan Raka. Tidak sedetik pun. Dia milik ku seutuhnya malam ini.

Setiap jengkal kulitnya adalah anugerah terindah yang membuatku terbuai.

Keindahan seorang Raka, adalah pahatan maha karya yang sempurna.

Tampan, kekar dan gagah.

Aku menyerahkan diriku sepenuhnya. Tak tersisa. Aku dan Raka, hanya kami berdua malam itu.

Perjalanan yang sangat panjang, yang membuat kami merasa lelah. Namun kelelahan itu sungguh indah. Sangat indah. Begitu indah.

Dan keindahan itu kian terasa, saat akhirnya perjalanan kami sampai pada tujuan yang menjadi impian setiap insan yang di landa asmara. Indah, penuh pesona.

Hingga malam pun berlalu dengan begitu cepat.

*****

Pagi itu aku terbangun. Aku melihat Raka sedang mengemasi barang-barangnya.

"kamu mau kemana?" tanya ku heran.

"aku harus pulang. Aku tak ingin disini. Om sengaja mengajak ku kesini. Agar om bisa menguasai ku. Tak ku sangka om akan melakukan semua itu padaku.." kasar suara Raka menjawab.

"om melakukannya karena aku memang benar-benar mencintai kamu Raka..." ucapku penuh perasaan.

"bullshit! Omong kosong! Om memang sudah biasa melakukan hal ini kan? Dan aku adalah korban om yang kesekiannya.." balas Raka masih kasar.

"om memang punya masa lalu yang suram, Raka. Om memang pernah melakukan hal tersebut, tapi itu dulu, jauh sebelum om menikah dengan ibu kamu. Dan sejak kamu mulai tumbuh dewasa, tiba-tiba saja aku jatuh cinta padamu, Raka. Kamu bukan korban, Raka. Kamu adalah orang yang aku cintai..." jelas ku panjang dengan suaraku yang mulai serak.

"terserah om Darwis mau ngomong apa. Aku tidak akan percaya. Aku tidak sudi lagi melihat om. Aku benci om Darwis. Dan aku harap om segera meninggalkan ibuku. Aku tidak sudi punya ayah tiri seorang gay..." suara Raka semakin kasar.

Raka selesai mengemasi barangnya dengan acak-acakan. Lalu kemudian dia melangkah dengan terburu menuju pintu keluar.

Bunyi dentuman suara pintu yang dihempaskan Raka membuat aku merasa terhenyak

Semarah itukah Raka padaku? Bathinku lirih.

Tapi aku tak berani mengejarnya. Aku hanya bisa membiarkan Raka pergi dengan segala amarah nya.

Aku tidak tahu harus berbuat apa saat ini. Aku bingung.

Jujur harus aku akui, kalau peristiwa semalam sungguh meninggalkan kesan yang begitu indah di hatiku.

Tapi saat ini hatiku rasanya hancur. Aku pikir tadi malam Raka melakukannya denganku adalah karena dia juga menginginkannya.

Namun ternyata Raka justru meninggalkanku sendiri di sini.

Aku merasa cemas, takut, dan merasa bersalah.

Meski pun aku yakin, Raka tidak akan berani menceritakan hal tersebut kepada ibunya. Tapi aku sudah tidak punya harapan lagi, untuk benar-benar bisa memiliki Raka.

Aku ingin memiliki Raka selamanya. Bukan sekedar kesenangan satu malam. Seperti yang aku rasakan malam tadi bersama Raka.

Tapi apa yang bisa aku lakukan sekarang?

Jika Raka bahkan sudah tidak sudi melihatku.

****

Part 3

Aku kembali ke rumah dengan keadaan yang tanpa semangat. Aku mengabaikan beberapa pertanyaan dari istriku.

Aku menghempaskan tubuhku di ranjang tidur kami, aku merasa sangat lelah dan terluka.

"apa yang terjadi, mas?" tanya istriku mengulang pertanyaannya.

"tidak ada yang terjadi. Kami hanya liburan." balasku dengan nada malas.

"tapi kenapa Raka pulang lebih awal? Dan sejak pulang dari sana, Raka tidak pernah keluar dari kamarnya. Kalau tidak terjadi apa-apa, Raka tak mungkin seperti itu." ucap Istriku lagi.

"mungkin dia hanya lelah. Biarkan saja dia beristirahat." balasku masih dengan nada malas.

Melihat aku yang tidak begitu mengubris pertanyaan-pertanyaannya, istri ku akhirnya meninggalkan ku sendirian di kamar.

Aku menarik napas beberapa kali, berusaha memejamkan mata untuk tertidur. Namun pikiran ku masih terasa sangat kacau.

Peristiwa yang aku alami bersama Raka malam itu, terus melintas di benakku.

Aku benar-benar dibuat gila oleh Raka. Aku benar-benar semakin mencintainya. Aku semakin menginginkannya.

Tapi saat ini Raka bahkan tidak mau keluar dari kamarnya.

Aku mengambil ponsel ku dan mengetik beberapa kalimat, lalu mengirimkan ke nomor Raka.

"sekali lagi om minta maaf Raka. Tapi sungguh om melakukan semua itu, karena om benar-benar mencintai mu.." begitu kira-kira pesan yang aku kirimkan kepada Raka.

Tidak ada balasan. Aku menunggu. Namun tetap tidak ada balasan.

****

Berhari-hari berlalu. Raka sudah keluar kamar, namun dia tak pernah mengeluarkan sepatah kata pun selama aku berada di rumah.

Aku berusaha menegurnya, namun tak pernah digubris. Aku coba menelponnya namun tak pernah diangkat, aku berkali-kali mengirimkan pesan padanya, namun tak pernah ada balasan.

Mungkin Raka memang benar-benar marah padaku dan sangat membenciku.

Tapi aku adalah penguasa dalam hidupku. Aku penguasa dalam hidup mereka berdua, istri dan anak tiriku. Raka tak bisa terus memperlakukan aku seperti ini.

Untuk itu pada suatu kesempatan, aku pun masuk ke kamar Raka dengan paksa, saat ibunya sedang berbelanja ke pasar.

"kenapa kamu selalu menghindari ku?" tanya ku dengan suara sedikit kasar.

"aku membenci om Darwis.." suara Raka sinis.

"iya. Kenapa? Kenapa kamu membenci ku?" tanyaku sedikit menurunkan suara.

"aku tidak tahu. Bukankah tidak butuh alasan apa pun untuk bisa membenci?" balas Raka.

"iya. Seperti halnya kita tidak butuh alasan untuk mencintai.." balasku.

"aku tidak mencintai om Darwis.." ucap Raka.

"aku tidak mengatakan kalau kamu mencintai ku. Tapi kalau kamu memang benar-benar membenci ku, kenapa kamu masih berada disini? Kenapa juga kamu tidak cerita sama ibu mu?" ucapku bertanya.

"karena aku tidak tahu apa sebenarnya yang aku rasakan saat ini. Aku bingung, om. Seandainya saja om Darwis bukan ayah tiriku, mungkin ceritanya akan berbeda." kali ini suara Raka terdengar lirih.

"aku memang sengaja menghindari om, karena aku tidak ingin terbius lagi dengan pesona om Darwis. Dari awal aku memang menyukai om Darwis. Tapi selama ini aku hanya bisa memendamnya. Karena aku sadar om Darwis adalah ayah tiriku." Raka melanjutkan kalimatnya.

"namun sejak peristiwa malam itu. Sejak aku tahu, kalau om Darwis juga menyukai ku, aku justru menjadi bingung. Antara membiarkan diriku terjerat dalam hubungan terlarang di antara kita, atau membunuh perasaanku sendiri.." lanjut Raka lagi.

"berarti selama ini kamu juga mencintaiku?" tanya ku dengan suara berat.

"mungkin, om. Kasih sayang yang om berikan sejak aku remaja, membuat aku seakan menemukan tempat untuk bersandar. Aku telah kehilangan kasih sayang seorang ayah sejak kecil, dan kehadiran om Darwis mampu menumbuhkan perasaan nyaman dalam hatiku.." jelas Raka, suaranya semakin lirih.

"lalu mengapa setelah kejadian malam itu, pagi nya kamu begitu marah padaku? Kamu berlagak seolah-olah kamu tidak menginginkannya." tanyaku penasaran.

"karena aku merasa, apa yang telah kita lakukan adalah sebuah kesalahan, om. Aku merasa bersalah pada ibu. Aku marah pada diriku sebenarnya, yang tidak bisa mengendalikan perasaanku sendiri." jelas Raka lagi.

"kamu tidak berhak membunuh rasa yang tumbuh diantara kita Raka. Kita punya kesempatan untuk bersama. Jangan kau siksa hatiku dengan diam mu. Aku sakit.." ucapku pilu.

"aku tidak sedang membunuh rasa itu. Aku hanya sedang memikirkan jalan terbaik untuk kita. Seperti yang aku katakan, kalau saja om Darwis bukan ayah tiriku, aku sudah pasti akan rela hati menerima kehadiran om Darwis dalam hatiku." balas Raka terdengar sangat dewasa. Jauh lebih dewasa dari usianya yang sebenarnya.

Aku saja bahkan tidak sampai berpikiran seperti itu. Aku lebih mengutamakan ego ku untuk bisa memiliki Raka seutuhnya, tanpa pernah memikirkan perasaannya, tanpa pernah memikirkan perasaan istriku.

"lalu apa jalan terbaik yang kamu temukan selama beberapa hari ini?" tanyaku akhirnya, yang sebenarnya juga aku tujukan pada diriku sendiri.

"kalau memang om Darwis mencintaiku. Tolong.. jangan bawa aku larut di dalamnya, selama om Darwis masih bersama ibuku. Aku tak mungkin berbagi om Darwis dengan ibu ku sendiri." balas Raka pelan.

"tanpa ada ibu ku di dalamnya, hubungan kita saja sudah salah, om." lanjutnya lagi.

"lalu kamu ingin aku menceraikan ibumu?" tanyaku dengan nada ragu.

"itu bukan keinginanku. Itu keputusan om." jawab Raka lugas.

"kamu jangan buat aku ikut bingung, Raka." balasku lirih.

"bukankah hubungan seperti ini memang sangat membingungkan, om. Kita tidak bisa terlepas dari hal itu. Karena itu, sebelum kita terjerat semakin jauh, aku ingin om bersikap tegas." ucap Raka membalas.

"kenapa hanya aku yang harus memilih? Kenapa kamu tidak?" tanyaku pasrah.

"karena om yang berada di posisi itu, om. Om yang harus memutuskan, bukan aku." timpak Raka cepat.

"aku tidak akan memilih dan tidak akan memutuskan apa pun." ucapku akhirnya tegas.

"aku memang sangat mencintai kamu, Raka. Tapi aku tidak mungkin bisa menikahi kamu. Hubungan kita hanyalah sebuah rahasia. Jika kamu memang juga mencintaiku. Kita jalin hubungan ini, tanpa mengorbankan siapa pun, terutama ibu mu." lanjutku semakin tegas.

Kali ini Raka terdiam. Dia hanya bungkam. Membisu.

Entah apa yang di pikirkannya. Aku juga enggan untuk menebak.

Namun yang pasti, aku tidak mungkin menceraikan istriku, hanya untuk bisa bersama Raka. Karena sekali pun aku bercerai dari ibunya, kami juga tidak mungkin bisa bersama secara utuh.

Siapa yang akan bisa menerima hubungan seperti itu?

Tidak satu pun dan tak akan pernah ada.

****

Keesokan harinya Raka tidak pulang. Dia tidak meninggalkan pesan apa pun, bahkan kepada ibunya.

Ibunya kebingungan, berkali-kali ia menelpon anaknya, namun nomornya sudah tidak aktif.

"kita lapor polisi ya, mas." ucap istriku dengan suara berat, semalaman ia tidak tidur memikirkan keberadaan anaknya. Menelpon beberapa orang teman Raka, namun tidak seorang pun yang tahu dimana Raka.

Sudah sehari semalam Raka tidak pulang, sejak ia berangkat kuliah pagi itu. Aku juga mulai khawatir. Tapi aku tahu alasan Raka pergi. Karena itu aku pun tidak setuju dengan permintaan istriku untuk melaporkan kehilangan Raka pada pihak berwajib.

"Raka sudah dewasa, Ranti. Dia pasti bisa jaga diri kok.." ucapku beralasan.

"tapi sampai sekarang belum ada kabar loh, mas. Ponselnya juga gak aktif-aktif.." keluh istriku lagi.

"aku akan cari dia. Kamu tunggu aja di rumah. Aku akan minta bantuan pada anak buah ku di kantor untuk mencari Raka.." ucapku menenangkan istriku.

Siang itu, aku dan beberapa orang bawahan ku berkeliling kota mencari keberadaan Raka. Aku tahu Raka bersembunyi, tak akan mudah menemukannya.

Aku tak menyangka Raka akan mengambil keputusan seperti itu. Setelah perdebatan kami yang panjang malam itu.

Saat dalam pencarian tersebut, tiba-tiba sebuah pesan masuk ke ponsel ku dari nomor yang tidak aku kenal.

'om tidak usah mencariku. Aku tidak akan pulang, sebelum om membuat keputusan.' begitu bunyi pesan singkat tersebut. Sepertinya Raka sengaja menggunakan nomor baru untuk menghubungiku.

'kamu jangan bodoh Raka. Ibu mu sangat mengkhawatirkan mu.' balasku cepat, takut Raka mematikan ponselnya.

'sejak kapan om mencemaskan keadaan ibu ku? Bukankah om tidak pernah mencintainya?' balas Raka.

'om mohon sama kamu Raka. Apa pun alasan mu untuk pergi saat ini, setidaknya pikirkanlah perasaan ibu mu. Pulanglah. Kita akan bicarakan ini lagi.' aku membalas.

Kali ini tidak ada balasan. Aku menunggu. Tetap tidak ada balasan.

Aku mencoba menghubungi nomor tersebut, tapi ternyata sudah tidak aktif.

Aku terdiam, tidak tahu harus melakukan apa saat ini...

****

Part 4

Raka akhirnya kembali, setelah tiga hari dia menghilang. Dia kembali dengan tampang tanpa merasa bersalah sedikit pun.

Tak dihiraukannya ibunya yang menangis menyambut kepulangannya. Dia langsung menuju kamarnya, seolah-olah tidak terjadi apa-apa.

Aku merasa kesal melihat tingkah Raka. Meski pun aku sangat mencintainya, tidak seharusnya Raka bersikap seperti itu. Dia seharusnya lebih dewasa.

Tapi Raka tidak sepenuhnya salah dalam hal tersebut. Aku yang menyebabkan dia bertindak seperti itu.

Meski aku juga tidak pernah memintanya untuk juga jatuh cinta padaku.

Tapi semua sudah terlanjur terjadi. Kami sudah terlanjur saling jatuh cinta. Dan bahkan sudah terlanjur melakukan hubungan yang seharusnya tidak kami lakukan.

Sebagai ayah tirinya, aku seharusnya lebih bisa menahan diri, menahan perasaanku. Tapi Raka terlalu mempesona di mataku.

Aku tidak bisa begitu saja menolak pesonanya. Aku tidak bisa begitu saja mengabaikannya.

Dan apa lagi setelah aku tahu, kalau dia juga menyukai ku. Aku semakin punya kekuatan untuk bisa mendapatkannya.

Namun pilihan yang diberikan Raka sungguh teramat sulit untuk aku pilih. Aku tak mungkin menceraikan istriku, yang juga merupakan ibu kandung Raka, hanya demi untuk bisa bersama Raka.

Tapi Raka tidak ingin menjalin hubungan apa pun dengan ku, jika aku masih berstatus suami ibunya.

Dan hal itu membuat aku semakin bingung.

Aku memang sangat mencintai Raka. Tapi aku juga sadar, meski pun kami saling cinta, kami tidak mungkin bisa bersama secara utuh. Tidak ada yang bisa menerima hubungan seperti itu.

Tidak satu pun!

****

"aku mencintai om Darwis. Tapi aku tidak ingin menyakiti perasaan siapa pun.." lirih suara Raka berucap.

"kamu tidak menyakiti perassaan siapa pun dengan mencintai ku, Raka." balas ku pelan.

Saat itu kami ngobrol berdua di kamar Raka.

"tapi jika kita tetap nekat melanjutkan hubungan kita, bisa saja hubungan terlarang kita akan diketahui oleh ibu. Dan itu jelas akan sangat melukai perasaannya. Aku tidak ingin hal itu terjadi.." balas Raka masih dengan suara lirih.

"jadi kamu maunya gimana Raka?" tanya ku ingin tahu.

"aku ingin om Darwis tetap menjadi suami ibuku. Aku ingin om Darwis belajar untuk mencintainya. Aku ingin om Darwis belajar untuk melupakanku. Aku juga akan belajar untuk melupakan om Darwis." jelas Raka.

"dan satu hal lagi, ini yang paling penting. Aku ingin om Darwis berhenti berpetualang di dunia gay. Aku ingin om Darwis tidak lagi melirik laki-laki lain di luar sana. Om harus benar-benar bisa mencintai ibuku.." lanjut Raka lagi.

"lalu bagaimana dengan kamu sendiri, Raka? Apa kamu bisa berubah? Kamu mungkin bisa melupakan ku, tapi kamu tidak akan bisa menolak godaan laki-laki di luar sana.." balasku ringan.

"aku akan belajar untuk melupakan om Darwis. Dan itu hanya bisa aku lakukan, kalau aku tidak berada disini.." ucap Raka.

"maksud kamu?" tanyaku dengan sedikit mengerutkan kening.

"aku akan pindah kuliah ke luar kota, om. Aku sudah sampaikan hal itu pada Ibu. Dan Ibu juga sudah setuju. Dengan begitu, kita akan lebih mudah untuk saling melupakan." jelas Raka.

Setengah hatiku tidak setuju dengan keputusan Raka tersebut. Biar bagaimana pun aku sangat mencintainya, dan aku tidak ingin kehilangan dia.

Meski pun aku tidak bisa memilikinya seutuhnya, tapi setidaknya, jika Raka masih tinggal bersama kami, aku masih bisa melihatnya, menatap wajah teduhnya setiap hari.

Namun seperti yang Raka katakan, aku memang harus belajar untuk melupakannya.

Cinta memang tak selamanya harus memiliki. Cinta tak selamanya harus bersama.

Mungkin cintaku kepada Raka memang sangat besar, tapi resiko yang harus kami tanggung, jika kami tetap nekat untuk bersama, rasanya terlalu besar.

Apa lagi mengingat usiaku yang sudah tidak muda lagi.

Sejak memutuskan menikah dengan Ranti, istriku sekaligus ibunya Raka, aku sudah bertekad untuk berubah. Namun kehadiran Raka, mampu mengendurkan tekad ku tersebut.

Tapi sekarang, aku sudah tidak punya harapan apa-apa lagi kepada Raka. Dia telah membuat keputusan hidupnya sendiri. Dan aku harus menerimanya sebagai sebuah keputusan yang terbaik.

****

Raka akhirnya pergi. Benar-benar pergi. Dan aku merasa sangat kehilangan.

Hidupku terasa hampa. Aku jadi kehilangan semangat.

Namun demi janji ku kepada Raka, untuk membahagiakan ibunya, aku harus tetap bertahan.

Aku berusaha belajar untuk mencintai istriku. Aku berusaha untuk menjadi suami yang baik baginya.

Sampai akhirnya istriku pun hamil. Dan hal itu cukup membuatku bahagia.

Aku kembali punya semangat lagi. Aku seakan menemukan tujuan dalam hidupku.

Yah, sebentar lagi aku akan menjadi seorang ayah. Dan hal itu merupakan suatu kebanggan bagiku.

Raka masih sering pulang ke rumah, terutama saat musim liburan. Tapi hubungan kami hanya sebatas antara seorang anak dengan ayah tirinya.

Aku maupun Raka, sepertinya sudah berhasil menghapus segala perasaan cinta kami. Rasa itu tidak lagi ada. Rasa itu telah punah, bersama jarak dan waktu.

Kini hari-hari ku lebih aku fokuskan kepada pekerjaan ku, dan juga untuk menyambut kelahiran anak pertamaku.

Aku tidak lagi memikirkan sosok laki-laki dalam hidupku. Aku tidak ingin memikirkannya.

Meski jujur saja, perasaan itu kadang datang. Tapi aku selalu berusaha untuk menepisnya.

Aku tidak ingin terjerumus lagi dalam rasa yang tidak akan pernah berujung. Aku tidak ingin terjerumus lagi dengan perasaan yang hanya akan menyiksa ku.

Aku harus bisa berhenti. Aku harus benar-benar berubah.

Setidaknya demi Raka, demi ibunya dan juga demi calon anakku.

****

Sekian ...

Aku relakan istriku

Namaku Andra. Bukan nama sebenarnya.

Dan ini adalah kisah nyata ku.

Cerpen sang penuai mimpi

Aku lahir, tumbuh dan besar dari keluarga yang cukup berada. Sejak kecil segala kebutuhanku selalu terpenuhi oleh orangtua ku.

Orangtua ku memang cukup memanjakan ku, karena aku adalah anak mereka satu-satunya.

Sampai akhirnya aku tumbuh besar dan bekerja di perusahaan papa ku.

Setelah mulai bekerja, aku pun mulai dituntut oleh orangtua ku, terutama mama ku, untuk aku segera menikah.

Hingga pada akhirnya aku pun menikah dengan seorang gadis pilihan mama ku.

Aku menerima perjodohan itu dengan pasrah. Karena aku tidak berhasil menemukan wanita yang aku inginkan. Untuk urusan percintaan, aku memang tidak seberuntung kehidupanku.

Aku pernah pacaran beberapa kali dengan beberapa orang perempuan, namun pada akhirnya setiap hubungan asmara ku selalu berakhir dengan perpisahan.

Dan menerima perjodohan dengan gadis pilihan mama ku, merupakan jalan terakhir bagiku untuk mendapatkan jodoh.

Setelah menikah, aku pun pisah rumah dari orangtua ku. Aku belajar mandiri, bersama keluarga baruku.

Aku hanya hidup berdua dengan istriku, karena istriku memang hanya seorang ibu rumah tangga biasa. Dan dia tidak ingin ada pembantu di rumah kami.

Istriku, sebut saja namanya Imay, tidak terlalu cantik, namun cukup menarik secara fisik. Selain itu, Imay juga seorang wanita soleha. Dia rajin beribadah, karena dia memang lulusan dari sebuah pesantren. Hal itulah yang membuat mama ku memilihnya untuk menjadi istri ku.

Imay tidak pernah kuliah, karena orangtuanya tidak mampu membiayai nya untuk kuliah.

Orangtua Imay memang hanya pedagang biasa. Imay juga masih punya tiga orang adik yang masih sekolah. Sebagai anak sulung, Imay memang harus mengalah kepada adik-adiknya.

Setidaknya begitulah segelumit kisah tentang Imay yang aku ketahui dari ceritanya.

Meski pun kami tidak pernah pacaran. Tapi kami cukup bahagia.

Kami sama-sama belajar untuk bisa saling mencintai. Saling mengenal pribadi masing-masing, dan saling membuka hati untuk kehidupan kami yang baru.

****

Setahun pernikahan kami, kami sudah mulai saling menyayangi, saling mencintai dan saling mengerti.

Kami juga merasa bahagia, meski pernikahan kami belum dikaruniai anak.

Sebenarnya tidak terlalu jadi masalah bagi ku dan Imay, dengan pernikahan kami yang tanpa anak. Toh kami juga baru menikah selama satu tahun.

Tapi, mama ku tidak bisa menerimanya begitu saja. Mama sangat ingin untuk kami segera punya momongan.

Kami berdua sebenarnya juga ingin segera punya anak. Namun Imay belum juga kunjung hamil. Mungkin kami harus lebih sabar lagi.

****

Dua tahun berlalu. Imay belum juga menunjukkan tanda-tanda kehamilan. Dan hal itu membuat mama semakin sering mendesak kami.

Mama menyarankan berbagai alternatif untuk percepatan kehamilan Imay. Kami hanya meng iya kan saja setiap saran dari mama. Kami belum mau melakukan pengobatan apa pun untuk kehamilan Imay. Kami masih yakin, kalau kami masih bisa melakukannya sendiri, tanpa bantuan obat-obatan apa pun.

Namun setelah tiga tahun pernikahan kami, aku mulai merasa ada yang salah dengan ku, atau justru dengan Imay sendiri.

Untuk itu, aku dan Imay pun mendatangi dokter spesialis.

Dari beberapa kali hasil pemeriksaan dokter tersebut, ternyata kondisi kandungan Imay baik-baik saja.

Kesalahannya justru ada padaku.

Aku yang tidak bisa memberi Imay keturunan. Aku mandul.

Setidaknya begitulah keterangan dari dokter tersebut.

Awalnya aku tidak percaya. Karena itu aku pun mencoba mendatangi dokter lain diam-diam.

Dan ternyata hasilnya juga sama. Aku mandul.

Dan itu membuatku sangat terpukul. Harga diriku sebagai laki-laki seakan terkoyak. Aku benci mengakui itu.

Imay sebenarnya tidak mempersalahkan hal tersebut. Dia bisa menerima semuanya. Setidaknya begitulah yang ia ucapkan padaku, mungkin untuk sekedar menghiburku atau sekedar menguatkan ku.

Imay mungkin bisa menerima semuanya. Tapi bagaimana dengan mama? Mungkinkah mama bisa memakluminya?

Dan bagaimana pula dengan diriku sendiri?

Aku bahkan sangat membenci diriku saat ini.

****

Aku menjadi frustasi, kacau dan berantakan. Aku kehilangan gairah. Aku tidak punya semangat lagi untuk terus melanjutkan hidup. Aku merasa tidak berguna sebagai laki-laki.

Imay memang selalu berusaha menghiburku, memberikan aku semangat.

Dia juga menyarankan beberapa alternatif untuk kami tetap bisa mempunyai keturunan.

Mulai dari adopsi anak, bayi tabung dan berbagai alternatif lainnya.

Namun aku tidak bisa menerima semua itu.

Yang paling aku pikirkan sebenarnya adalah Imay, istriku. Aku merasa kasihan melihatnya.

Sebagai perempuan aku yakin, dia juga ingin merasakan menjadi seorang ibu, mendapatkan seorang anak dari rahimnya sendiri. Dia punya hak untuk itu, dan aku tidak bisa memberikannya.

Aku telah menjadi seorang suami yang telah merenggut hak istriku untuk bisa hamil dan mempunyai keturunan dari rahimnya sendiri.

Hal itu justru membuatku semakin merasa bersalah.

Namun aku tidak mungkin meninggalkan Imay apa lagi menceraikannya. Selain karena aku memang sangat mencintainya, aku juga tidak ingin mama tahu tentang apa yang telah terjadi dalam rumah tangga kami.

Dan sebagai seorang laki-laki yang sangat mencintai istrinya, sudah seharusnya aku memberikan yang terbaik untuk istriku. Terutama untuk memberikan haknya sebagai seorang wanita.

Aku juga ingin istriku bisa merasakan bagaimana rasanya hamil dan melahirkan seorang anak dari rahimnya sendiri.

Karena itu aku pun mengambil jalan pintas. Jalan pintas yang tentu saja sangat di tentang oleh istriku.

Istriku menolak, dia tidak bisa menerima permintaan ku. Tapi aku memaksanya, aku mengancamnya dengan berbagai cara.

Aku ingin dia melakukan hubungan badan dengan laki-laki lain. Laki-laki yang aku bayar, untuk bisa membuat istriku hamil.

Tentu saja aku telah memilih laki-laki yang terbaik. Aku juga ingin punya keturunan yang baik-baik.

Setelah perdebatan yang panjang, dan bahkan hampir bercerai, istriku pun akhirnya setuju.

Dan aku dengan sangat terpaksa, harus merelakan istriku tidur bersama laki-laki lain, selama beberapa malam.

Aku tahu tindakan ku salah. Aku tahu aku bodoh. Tapi aku hanya ingin memberikan hak istriku sebagai wanita normal.

Dia sehat, aku yang sakit. Dan dia tidak harus ikut menanggung sakit ku. Dia berhak untuk merasakan semua itu. Merasakan hamil, melahirkan dan menyusui anaknya sendiri.

****

Dan berbulan-bulan kemudian, istriku pun hamil. Dan orang yang paling bahagia dengan semua itu adalah mama.

Setelah hampir empat tahun pernikahan kami, akhirnya mama bisa mendengar kabar bahagia itu.

Aku turut bahagia. Entahlah. Apa aku bahagia atau tidak, itu tidak penting. Apa istriku bahagia atau tidak juga tidak penting lagi.

Hubungan ku dengan istri ku memang menjadi sedikit renggang sejak peristiwa itu.

Tapi aku berusaha sekuat mungkin untuk menerima semua kenyataan yang ada.

Dan semua itu hanyalah menjadi rahasia, antara aku, istriku dan laki-laki yang menghamilinya.

Dan aku berharap, semua itu akan tetap menjadi rahasia sampai kapan pun. Selamanya.

****

Kenangan indah di pasar malam

Namaku Davin. Aku seorang pemuda kampung. Aku lahir, tumbuh dan besar di kampung.

Orangtua ku hanyalah seorang petani biasa, yang hanya punya penghasilan yang pas-pasan. Karena itu aku hanya bisa sekolah sampai lulus SMP.

Setelah lulus SMP, aku mulai bekerja serabutan di kampung. Mulai dari bekerja sebagai nelayan di sungai, menjadi kuli bangunan, dan juga bekerja sebagai tukang panen sawit di kebun-kebun sawit masyarakat yang membutuhkan tenaga ku.

Aku punya dua orang adik perempuan dan juga seorang kakak laki-laki.

Kehidupan keluarga ku secara ekonomi memang sangat kekurangan. Tapi itu merupakan hal biasa bagi kami yang tinggal di perkampungan.

Hidup susah, kerja kerasa merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan kami.

"kalau mau makan ya harus kerja keras.." begitu ungkapan salah seorang tetua kami di kampung.

Kalimat itu juga sering dilontarkan oleh kedua orangtua ku. Saat aku atau kakak ku terlihat malas-malasan bekerja.

Kalimat itu seperti cambuk tersendiri bagi kami untuk tetap semangat bekerja, meski pun hasil yang kami dapatkan kadang jauh dari kata cukup.

Tapi begitulah kehidupan kami di kampung pada umumnya. Kami sudah terbiasa dengan semua itu. Namun kami sangat menikmati hidup kami.

Sikap gotong royong, kerja sama dan nuansa kekeluargaan membuat kami bisa saling menguatkan.

Satu-satunya hal yang jarang kami nikmati ialah hiburan.

Yah, karena kampung kami yang sangat jauh dari kota, hiburan merupakan hal yang paling sulit kami temukan.

Sampai pada suatu saat, serembongan orang mendatangi kampung kami. Serombongan orang yang membawa berbagai macam permainan yang masih cukup aneh bagi kami.

Berbagai jenis permainan itu mereka buka di lapangan bola kaki kampung kami. Aku tidak tahu persis bagaimana proses semua itu terjadi. Yang pasti itu semua sudah melalui izin dari kepala desa.

Dan orang-orang menyebutnya pasar malam, karena memang hanya dibuka saat malam hari.

Kami yang memang haus akan hiburan, dan juga merasa sangat baru dengan yang namanya pasar malam, tentu saja merasa antusias menyambut hal tersebut.

Malam pertama pasar itu dibuka, hampir seluruh masyarakat berbondong untuk datang.

Pasar malam itu terlihat ramai, apa lagi warga dari desa tetangga juga banyak yang berdatangan.

Intinya kami akan disuguhkan sebuah hiburan yang menarik selama lebih kurang sepuluh hari, sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan untuk pelaksanaan pasar malam tersebut.

Ada banyak permainan di pasar malam tersebut, mulai dari lempar gelang, lembar bola, lembar kaleng dengan hadiah-hadiah yang menarik. Ada juga permainan anak-anak, seperti bianglala, kereta mini, odong-odong dan berbagai jenis permainan menarik lainnya.

Namun dari semua permainan itu, ada satu permainan yang sangat menarik perhatianku.

Yakni permainan roda maut atau ada juga yang menyebutnya tong setan.

Sebuah permainan uji nyali yang sangat menantang. Seorang pengendara motor mengendarai motornya di dalam sebuah tong besar dengan kecepatan tinggi. Dia memulainya dari bawah dan terus menanjak naik keatas. Terus berputar mengelilingi tong tersebut berulang-ulang yang membuat para penontonnya histeris.

Sebuah permainan yang berbahaya, meski pun pengendara tersebut memakai alat keamanan yang lengkap, seperti helm dan juga jaket tebal, tapi tetap saja permainan itu membuat kita yang menyaksikan akan merasa berdebar-debar.

Pokoknya seperti itulah salah satu keseruan yang bisa kami nikmati di pasar malam tersebut.

******

Pasar malam ditutup pada jam sebelas malam. Semua pengunjung sudah kembali ke rumah masing-masing. Tinggallah mereka para pekerja yang berkemas menyimpan perlengkapan mereka sekedarnya, karena malam besok akan di buka kembali.

Saat itu, aku masih berada di sana. Aku memang sengaja belum pulang.

Aku masih penasaran dengan orang yang mengendarai motor pada tong setan tadi. Aku belum melihat wajahnya dengan jelas karena dia memakai helm.

Aku beranikan diri memasuki tong yang besar itu, sekedar ingin melihat pengendara yang nekat itu.

Sesampai di dalam seorang pemuda sedang berbincang bersama seorang rekannya.

Aku akhirnya bisa melihat dengan jelas wajah laki-laki itu dengan sorotan lampu di dalam tong besar tersebut.

Tak lama kemudian, rekan lelaki itu pun keluar. Laki-laki itu melangkah mendekatiku.

"kamu cari siapa?" tanyanya dengan suara berat.

"aku hanya ingin tahu orang yang punya nyali nekat untuk melakukan atraksi tadi.." balasku dengan suara bergetar.

"saya orangnya, kenapa?" tanya laki-laki itu lagi, suaranya memang aslinya berat dan terdengar maskulin.

"mas hebat bisa melakukan hal itu. Saya kagum sama mas.." jawabku sangat jujur.

"kamu asli orang sini?" tanya laki-laki itu lagi, seakan mengabaikan pujianku barusan. Sepertinya dia sudah biasa di puji seperti itu.

"iya, mas." Jawabku akhirnya sambil mengangguk.

"kalau begitu kamu pasti tahu kan dimana tempat jual oli motor disini?" laki-laki itu bertanya lagi.

"iya, tahu, mas. Tapi biasanya jam segini udah tutup.." balasku ringan.

"ya udah, kalau begitu besok siang aja..." ucap laki-laki itu lagi, sambil mulai melangkah menjauh.

"tunggu dulu, mas.." cegahku nekat.

"ada apa lagi?" tanya laki-laki itu, sambil memutar tubuhnya kembali menatapku.

"saya boleh tahu nama mas siapa?" tanyaku nekat lagi.

Entah mengapa aku jadi begitu penasaran dengan pria itu. Melihat ia melakukan atraksi berbahaya tadi, aku merasa ingin tahu tentang dirinya.

"panggil saya mas Danu.." tegas laki-laki gagah itu menjawab.

Mas Danu memang memiliki postur tubuh yang gagah dan kekar. Perawakannya tinggi sekitar 180 cm. Wajahnya sedikit gelap, namun terlihat manis. Hidungnya mencuat mancung, dengan dagunya yang lancip. Rahangnya kokoh.

"saya Davin, mas.." ucapku, meski mas Danu tidak bertanya sama sekali.

"kita bisa ngobrol-ngobrol, mas?" tanyaku ragu.

"saya capek. Saya mau istirahat. Jadi kalau mau ngobrol besok aja.." balas mas Danu. Lalu kemudian dia pun melangkah meninggalkanku.

****

Malam itu, mataku enggan terpejam.

Bayangan wajah mas Danu terus melintas di pikiranku.

Hatiku merasa berdebar-debar bila mengingatnya.

Akh, apa yang aku sebenarnya?

Belum pernah aku merasakan perasaan ini sebelumnya, apa lagi dengan seorang laki-laki.

Mungkinkah aku telah jatuh cinta?

Tapi bukankah mas Danu berjenis kelamin sama denganku? Masa iya aku bisa tertarik pada seorang laki-laki? Bathinku merintih.

Aku memang sudah berusia delapan belas tahun saat ini. Namun selama ini aku belum pernah pacaran.

Aku pernah dekat dengan beberapa orang perempuan teman sekampungku. Tapi aku tidak pernah merasakan getar-getar indah saat bersama mereka. Perasaan ku biasa saja, karena itu aku tidak pernah berpacaran sama sekali.

Tapi saat pertama kali aku melihat mas Danu tadi, tubuhku bergetar. Hatiku merasa berbunga. Indah sekali rasanya.

Aku semakin ingin mengenal mas Danu lebih dekat. Aku ingin bersamanya...

*****

Sore itu, aku coba mendatangi tempat pasar malam itu. Aku ingin bertemu mas Danu.

"kamu datang juga akhirnya.." ucap mas Danu menyambut kedatanganku.

"saya menunggu kamu sejak tadi..." lanjutnya.

"ada apa?" tanyaku setengah melayang.

Setengah hatiku berharap, mas Danu menungguku karena dia juga merasakan hal yang sama denganku. Setengah hatiku lagi pasrah.

"bukankah tadi malam kamu berjanji akan menemaniku ke tempat penjualan oli?" jelas mas Danu, yang membuatku sedikit menghempaskan napas.

Harapan hatiku yang setengah tadi hilang.

Tapi setidaknya, jika aku menemani mas Danu untuk membeli oli, aku punya banyak kesempatan untuk bisa dekat dengannya.

"apakah jauh?" tanya mas Danu mengagetkan ku.

"apanya?" tanyaku terlihat bodoh.

"ya, tempat jual oli itu, Davin..." jawab mas Danu, yang membuat jantungku berdetak hebat.

Tak kusangka mas Danu bisa mengingat namaku dengan baik.

Mendengar namaku disebut mas Danu, aku benar-benar menjadi salah tingkah.

Ah, mengapa cinta membuat orang menjadi sangat bodoh?

"ya.. lumayan jauh mas, kalau jalan kaki." jawabku setelah merasa sedikit tenang.

"kamu gak punya motor?" tanya mas Danu.

"gak punya, mas." jawabku jujur, "tapi aku coba pinjam motor temanku ya mas. Mas Danu tunggu disini sebentar.." lanjutku cepat, sambil memutar tubuh dan berlari meninggalkan mas Danu.

Aku tidak ingin kehilangan kesempatan untuk bisa dekat-dekat dengan mas Danu. Aku pun mendatangi salah seorang temanku dan meminjam motornya.

Beberapa saat kemudian, aku pun kembali menemui mas Danu dengan membawa sebuah motor.

Kami pun segera menuju tempat jual oli, yang aku tahu berada di ujung kampung.

Tubuhku bergetar, dadaku berdebar hebat, keringatku bercucuran.

Bagaimana tidak, aku sangat dekat dengan mas Danu. Dia tepat berada di depanku. Tak berjarak.

Aku memang meminta mas Danu yang menyetir, dan aku menjadi pemandu jalannya di belakang.

Aroma khas tubuh seorang laki-laki menyeruak ke dalam hidungku. Aroma itu benar-benar jantan. Aku melayang. Indah.

"mas Danu sudah menikah?" tanyaku cukup berani, sekedar memecah keheningan. Sekedar membuang rasa grogiku. Sekedar ingin tahu status mas Danu saat ini. Eh.. tidak. Aku benar-benar ingin tahu.

"aku sudah menikah satu kali, dan sudah punya dua anak.." jawab mas Danu dengan suara khasnya yang berat.

"emangnya mas Danu mau menikah berapa kali?" tanyaku lagi menanggapi ucapannya.

"berapa kali pun saya siap, asal ada yang mau sih.." jawab mas Danu sedikit berkelakar.

"ya gak boleh gitu lah mas Danu. Nikah itu sebaiknya satu kali aja seumur hidup.." ucapku sok bijak.

"nikahnya sih satu kali, tapi kawinnya berkali-kali boleh dong?" ucap mas Danu masih dengan nada berkelakarnya.

"maksudnya?" tanyaku pura-pura tidak paham.

"ah sudahlah. Kamu gak bakal ngerti, Davin. Usia kamu berapa sih?" balas mas Danu sedikit mendengus.

"18 tahun mas. Mas Danu sendiri?" balasku sambil bertanya.

"saya sudah 33 tahun. Sudah tua kan?" balas mas Danu.

"gak kelihatan tua kok, mas. Masih terlihat muda dan gagah. Lagi pula usia segitu kan belum bisa dikatakan kategori tua, mas.." ucapku jujur.

Mas Danu tidak berucap lagi. Karena kami sudah sampai ditujuan.

Mas Danu segera membeli keperluannya.

*****

Malam itu, aku menjadi penonton setia mas Danu, karena aku dapat tiket gratis dari mas Danu. Katanya sebagai ucapan terima kasih, karena telah menemaninya sore tadi.

Aku merasa beruntung. Aku merasa bangga dan aku merasa bahagia.

Seumur-umur, baru kali ini aku merasakan perasaan yang begitu indah.

Aku selalu memperhatikan mas Danu tanpa henti. Saat dia beraksi, saat dia beristirahat. Semuanya terasa indah bagiku.

"terima kasih ya mas Danu. Sudah memberikan saya kesempatan untuk menyaksikan pertunjukkan mas Danu dari awal sampai akhir secara gratis.." ucapku, saat pertunjukkan itu akhirnya berakhir.

"saya yang terima kasih sama kamu, Davin. Kamu udah temani saya dari tadi.." balas mas Danu.

Kami ngobrol di dalam tong besar itu.

Mas Danu memang punya ruangan sendiri disitu. Ruangan itu ia jadikan tempat untuk ia beristirahat dan tidur.

Malam itu, kami hanya ngobrol berdua. Sementara para pekerja lain nya sudah kembali ke stan mereka masing-masing.

"enak ya jadi mas Danu. Punya banyak penggemar.." ucapku akhirnya, setelah kami terdiam beberapa saat.

"yah, yang namanya hidup, memang selalu ada enak dan tidak enaknya Davin. Dan tidak enaknya pekerjaan saya adalah harus terpisah dengan keluarga..." ucap mas Danu, untuk pertama kalinya dia terdengar sangat serius.

"saya sering merasa kangen dengan anak-anak saya. Tapi mau gimana lagi, ini pekerjaan saya.." lanjutnya terdengar pilu.

"berarti mas Danu sering merasa kesepian dong, karena bermalam-malam tidak tidur bareng istri.." ucapku datar.

"yah... mau gimana lagi. Saya harus bisa memendam semua kesepian itu.. " suara mas Danu lirih.

"mas Danu gak pengen menghilangkan kesepiannya dengan saya?" tanyaku nekat.

"emangnya kamu bisa menghilangkan kesepian saya?" tanya mas Danu balik.

"ya.. bisa aja. Kalau mas Danu mau sih..." balasku sedikit manja.

"emangnya kamu mau?" tanya mas Danu lagi.

"ya pasti mau lah mas Danu. Mas Danu kan tampan, gagah, kekar. Dan pasti sangat perkasa.." ucapku semakin berani.

Aku memang tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini. Mas Danu hanya tinggal beberapa malam lagi disini. Aku harus bisa memanfaatkan setiap kesempatan yang ada.

Aku yakin mas Danu tidak akan menolak. Karena dia pasti merasa kesepian.

"kamu juga cukup menarik, Davin. Tapi kamu tahu kan, kita tidak bisa terikat. Jika kita melakukan hal itu, kita harus melakukannya hanya atas dasar suka sama suka. Tidak ada ikatan apa pun diantara kita.." ucap mas Danu akhirnya.

"mas Danu tenang aja. Saya gak bakal nuntut apa pun dari mas Danu. Yang penting selama mas Danu disini, kita bisa bersama-sama. Menikmati indahnya malam berdua.." balasku lugas.

Dan untuk pertama kalinya malam itu, aku pun merasakan sesuatu yang belum pernah aku rasakan seumur hidupku.

Aku merasa bahagia. Sangat bahagia.

Semuanya terasa indah bagiku. Mas Danu benar-benar membuatku terlena.

Mas Danu adalah cinta pertamaku, dan orang pertama yang memberikan aku sesuatu yang indah.

Dan aku sangat terkesan. Sungguh sebuah pengalaman yang indah.

Sebuah pengalaman pertama bagiku. Aku tidak akan pernah melupakan kejadian malam itu seumur hidupku.

****

Malam-malam selanjutnya, aku dan mas Danu masih terus melakukan hal tersebut.

Aku benar-benar terlena oleh mas Danu. Mas Danu yang tampan dan gagah.

Aku bak seorang musafir yang menemukan setetes air di tengah gurun gersang.

Segala dahaga ku terlepas sudah bersama mas Danu.

Setiap malam kami selalu bersama. Menikmati indahnya malam.Menikmati setiap detik kebersamaan kami.

Aku ingin memanfaatkan setiap kesempatan yang ada. Aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan itu.

Malam-malam ku jadi terasa sangat indah. Dan aku semakin mencintai mas Danu.

"terima kasih, Davin. Kamu benar-benar mampu menghilangkan segala kesepianku.." bisik mas Danu, pada malam terakhir dia berada di desaku.

"aku yang harus nya berterima kasih kepada mas Danu. Mas Danu mampu menghilangkang segala dahaga ku selama ini. Mas Danu mampu memberikan kesan yang indah untukku. Berat rasanya harus berpisah dengan mas Danu.." balasku pilu.

"aku juga merasa berat harus berpisah dengan, Davin. Kesna yang kamu berikan juga sangat indah. Tapi aku tidak mungkin terus berada disini. Aku harus melanjutkan perjalanan hidupku. Dan aku harap kamu juga bisa terus berjalan ke depan. Biarlah semua yang terjadi diantara kita selama beberapa malam ini, akan menjadi kenangan tersendiri bagi kita berdua.." balas mas Danu dengan nada lirih.

Aku tidak berkata apa-apa lagi. Aku tidak ingin berkata apa-apa lagi. Aku memang harus menerima kenyataan. Kenyataan bahwa hubunganku dengan mas Danu hanya untuk sesaat.

Hubunganku dengan mas Danu hanya terjadi selama pasar malam. Namun hal itu mampu memberikan kenangan terindah bagiku.

Sebuah kenangan yang akan ku simpan di relung hatiku yang terdalam.

Dan begitulah kisah singkatku bersama mas Danu. Sebuah kisah yang memberi kesan yang sangat dalam bagiku.

Terima kasih sudah menyimak kisah ini sampai selesai.

*****

Sekian...

1 jam 30 menit di toilet pesawat

Aku menaiki pesawat itu dengan perasaan yang berdebar-debar. Ini adalah kali pertamanya aku menaiki pesawat. Perasaanku merasa tidak tenang, apa lagi aku pergi sendirian.

Menurut keterangan yang aku dapat, pesawat akan terbang selama lebih kurang satu jam 30 menit, untuk sampai ke kota tujuan ku. Dan hal itu semakin membuatku merasa cemas.

cerpen gay sang penuai mimpi

Aku belum pernah naik pesawat sebelumnya. Aku tidak kenal siapa pun di dalam pesawat ini.

Tapi aku harus bisa. Aku sudah bertekad untuk pergi kali ini naik pesawat.

Aku memang suka travelling. Berjalan-jalan keliling Indonesia sendirian. Tapi selama ini aku belum pernah naik pesawat. Aku lebih suka perjalanan darat.

Perjalanan darat lebih menakjubkan, karena bisa sekalian melihat-lihat pemandangan sepanjang perjalanan, dan juga bisa mampir ke tempat-tempat yang aku lalui.

Tapi kali ini aku ingin mencoba naik pesawat, selain karena kota yang aku tuju cukup jauh, aku juga ingin merasakan bagaimana rasanya naik pesawat.

Aku sebenarnya tidak terlalu takut naik pesawat, hanya saja berita-berita tentang pesawt yang jatuh dan hilang, kadang membuat aku berpikir dua kali untuk mencobanya.

Dan kali ini aku memberanikan diri untuk mencobanya.

Dan aku tidak menyangka, bahwa pengalaman pertama ku berjalan-jalan naik pesawat, akan menjadi pengalaman paling indah sepanjang perjalanan hidupku.

Aku tidak menyangka, kalau aku akan bertemu seorang pemuda tampan nan gagah, yang memberi aku kesan yang begitu indah.

Bagaimanakah kisah cinta satu jam ku bersama seorang pemuda tampan itu terukir?

Simak kisah ini sampai tuntas ya..

Namun sebelumnya ... bla... bla...

*****

Aku celingukan mencari nomor tempat duduk sesuai dengan nomor yang tertera di tiketku. Karena baru pertama naik pesawat, aku jadi sedikit bingung. Beruntunglah seorang pramugari segera membantuku untuk menemukan tempat dudukku.

Aku menghempaskan tubuhku di tempat duduk empuk itu, setelah aku menaruh tas ransel ku di atas kabin.

Aku memejamkan mata dan merafalkan beberapa doa yang aku hafal, saat seorang pramugari menyampaikan bahwa pesawat akan segera lepas landas.

"baru pertama naik pesawat ya?" suara seorang pemuda mengagetkanku. Pemuda yang duduk di samping ku itu, ternyata sudah sejak tadi memperhatikanku, tapi aku tidak menyadarinya, karena terlalu sibuk menenangkan diriku sendiri.

"kelihatan ya?" ucapku balik bertanya.

Pemuda itu tersenyum simpul, sambil mengangguk ringan.

"selalu ada yang pertama dalam hidup ini kan? Jadi santai aja..." ucap pemuda itu kemudian.

Aku melirik pemuda itu sedikit lama. Ku perhatikan wajahnya dengan seksama.

Wajah pemuda itu cukup tampan dengan pipinya yang tirus. Hidungnya mancung, bibirnya terlihat sensual, dengan belahan dagunya yang tipis.

"mungkin kamu butuh teman ngobrol, agar tidak terlalu larut dalam rasa takutmu sendiri.." ucap pemuda itu lagi, melihat aku yang hanya terdiam.

Aku menunduk dan memejamkan mata, saat aku merasakan sebuah getaran hebat, saat pesawat itu akhirnya lepas landas.

"selalu ada yang pertama untuk segala hal. Seharusnya kamu menikmatinya, bukan malah memejamkan mata.." pemuda itu berucap lagi, sepertinya dia memang pemuda yang tidak bisa diam.

Padahal dia belum mengenalku, tapi dia berbicara seolah-olah kami sudah saling kenal.

Namun aku menyukainya. Setidaknya satu jam ke depan aku jadi punya teman bicara.

"setiap orang punya caranya sendiri-sendiri untuk menikmati sebuah moment bukan?" ucapku akhirnya setelah merasa cukup tenang.

"oh, jadi kamu memilih untuk menikmatinya dengan memejamkan mata?" balas pemuda itu.

"terkadang membayangkan sesuatu itu jauh lebih indah dari pada melihatnya secara langsung.." timpalku sedikit puitis.

"sebuah kalimat yang bagus, aku menyukainya.." ucap pemuda itu lagi, "oh, ya.. nama ku Gunawan, panggil Igun aja.." lanjutnya lagi, sambil mengulurkan tangannya ramah.

Aku menjabat tangan itu dengan sedikit ragu,

"aku Wira.." ucapku pelan.

"ngapain ke Jakarta?" tanya pemuda yang mengaku bernama Gunawan itu.

"liburan.." jawabku singkat.

"sendirian?" tanya Igun dengan kening mengerut.

"iya.. aku memang suka bepergian sendirian.." jawabku.

"suka bepergian tapi kok takut naik pesawat?" tanya Igun lagi.

"aku memang baru pertama naik pesawat.." ucapku lemah.

"jadi selama ini?" igun bertanya kembali.

"aku lebih suka naik kendaraan darat, lebih seru aja. Bukankah menikmati sebuah perjalanan jauh lebih indah dari pada sampai ke tujuannya?" balasku berpuitis lagi.

"aku setuju. Tapi bukan sebuah perjalanan tidak akan terjadi jika kita tidak punya tujuan yang jelas.." balas Igun.

"aku tidak selalu punya tujuan yang jelas, terutama bila tentang berliburan. Aku lebih suka bepergian tanpa tujuan yang jelas. Hal itu selalu lebih menantang..." aku membalas.

"kamu suka berpetualang?" tanya Igun.

"kadang-kadang. Terutama saat aku merasa bosan dengan rutinitas harianku.." jawabku jujur.

"emangnya rutinitas harian kamu seperti apa?" Igun bertanya lagi, sepertinya dia memang seorang yang tidak bisa berdiam diri.

"aku seorang pekerja kantoran, aku bekerja di perusahaan papa ku.." jelasku.

"oh, anak papa rupanya.." cibir Igun.

"gak juga. Aku bisa bekerja di sana, murni hasil usaha ku sendiri, bukan karena aku anak pemilik perusahaan tersebut.." ucapku membela diri.

"yah... mungkin sebagian orang akan percaya, tapi sebagian besarnya tetap akan berpikir seperti itu.." balas Igun.

"yah, terserah sih, saya juga tidak pernah peduli dengan hal itu. Saya juga tidak berharap orang percaya atau tidak, itu tidak penting, yang penting aku punya prestasi.." ucapku datar.

"lalu kamu sendiri ngapain ke Jakarta?" tanyaku kemudian, mencoba mengalihkan pembicaraan.

"aku kuliah disana.." jawab Igun santai.

"oh, masih anak kuliah rupanya.." ucapku mencibir.

"anak kuliahan yang tidak takut naik pesawat.." balas Igun sedikit sengit, sepertinya dia tersinggung dengan ucapanku barusan.

Untuk beberapa saat kami pun saling terdiam.

"aku mau ke toilet, kamu mau ikut gak?" ucap Igun tiba-tiba, setelah keterdiaman kami beberapa saat tadi.

Aku tidak mengubris pernyataannya, karena aku tahu ia hanya ingin mencela ku.

"aku serius. Siapa tahu kamu lagi kebelet, tapi karena takut kamu memilih untuk memendamnya.." lanjut Igun berucap.

"aku tidak setakut itu, Igun.." balasku sedikit sengit.

"atau kita bisa melakukan hal lain berdua di toilet.." ucap Igun lagi.

"maksud kamu?" tanyaku heran.

"tidak apa-apa. Lupakan saja.." balas Igun, sambil mulai berdiri dan melangkah menuju bagian belakang pesawat.

Aku masih menatapi laki-laki itu dari belakang. Ternyata Igun cukup jangkung, dengan perawakan tubuhnya yang kekar.

Tiba-tiba aku memikirkan kembali maksud dari kalimat Igun barusan.

Ngapain Igun mengajakku ke toilet berduaan? Bathinku penasaran.

*****

Sepuluh menit kemudian Igun pun kembali. 

"kenapa kamu gak datang?" tanya Igun.

"datang kemana?" tanyaku balik, aku benar-benar tidak mengerti maksudnya.

"ke toilet lah.." jawab Igun.

"ngapain aku harus datang kesana?" tanyaku lagi.

"katanya kamu suka berpetualang? Aku ingin menunjukkan kamu sebuah petualangan yang hebat di atas pesawat ini.." balas Igun terlihat santai.

"petualangan seperti apa?" tanyaku penasaran.

"makanya ayok ikut saya." balas Igun, "atau apa kamu takut?" lanjutnya menantang.

"kamu serius?" tanyaku setengah tak yakin, dengan maksud Igun yang sebenarnya.

"aku serius, Wira. Ayok.." balas Igun, sambil sedikit menarik tanganku.

Aku dengan sedikit penasaran pun mengikuti langkah Igun menuju belakang pesawat.

Di depan sebuah toilet Igun berhenti.

"ayok kita masuk berdua.." ajak Igun, sambil membuka pintu toilet itu.

"ngapain di dalam berdua. Nanti orang-orang melihatnya.." pungkas cepat.

"gak ada yang memperhatikan kita. Orang-orang sibuk dengan urusan mereka masing-masing.." balas Igun, sambil sedikit menarik tanganku.

Aku masuk juga akhirnya. Igun mengunci pintu dengan cekatan.

"kita ngapain disini?" tanyaku dengan suara pelan.

"kita akan melakukan ini.." ucap Igun, sambil ia merapatkan tubuhnya padaku.

"melakukan apa?" tanyaku dengan nada khawatir.

"udah kamu gak usah pura-pura. Aku tahu kamu seorang gay.." balas Igun, yang membuatku terkesima.

"dari mana kamu tahu?" tanyaku tidak yakin.

"dari pertanyaan kamu barusan." jawab Igun yang membuat aku semakin tidak mengerti.

"kalau kamu bukan seorang gay, kamu pasti tidak akan bertanya seperti itu. Kalau kamu bukan gay, kamu pasti sudah memukulku sekarang.." jelas Igun, yang membuat ku merasa bodoh dengan pertanyaanku barusan.

Tentu saja pertanyaanku tersebut, sama hal nya aku mengakui kalau aku memang benar-benar seorang gay.

"lalu kamu mau apa?" tanyaku tak berdaya.

"aku menginginkan kamu Wira. Aku ingin kita melakukan sebuah pergelaran disini." ucap Igun tegas.

"apa itu artinya kamu juga seorang gay?" tanyaku merasa bodoh.

"kalau aku bukan gay, ngapain aku ngajak kamu melakukannya.." balas Igun.

Aku terdiam.

Sejujurnya, aku memang sudah tertarik dengan Igun, sejak pertama melihatnya tadi. Secara fisik Igun memang cukup menarik. Tapi aku tidak berharap apa pun darinya. Aku hanya mengagumi bentuk fisiknya yang gagah dan juga sifatnya yang ceplos-ceplos.

****

Igun mulai melancarkan aksinya. Aku tak kuasa menolak. Selain karena aku sudah sangat lama tidak merasakan hal tersebut, Igun juga sangat menarik secara fisik.

Igun juga terlihat sangat berpengalaman. Aku jadi sedikit kewalahan. Apa lagi kami tidak bisa bergerak terlalu bebas. Selain karena takut terdengar keluar, ruangan itu juga agak sempit.

Tapi justru disitulah tantangannya. Petualangan yang Igun janjikan, sungguh diluar dugaanku.

Tak kusangkan petualangan itu ternyata begitu indah. Aku sampai jadi lupa diri.

Igun sangat mahir, sepertinya Igun sudah sering melakukan hal tersebut, yang membuatku terhanyut dengan segala perlakuannya.

Hembusan angin menyentuh kulit kami. Dingin namun terasa membakar.

Yang aku herankan, padahal dari awal Igun tidak pernah membicarakan hal yang berhubungan dengan hal yang kami lakukan saat ini.

Igun tidak pernah menunjukkan sedikit pun, kalau dia tertarik padaku. Tapi entah mengapa dia tiba-tiba saja mengajakku melakukannya.

Mungkinkah Igun sudah biasa melakukan hal tersebut, dengan penumpang-penumpang yang ia temui di setiap perjalanannya?

Ataukah dia hanya untung-untungan, dengan memancing orang yang akan dia jadikan korban hasratnya? Seperti yang dia katakan tadi?

Aku tidak berani mempertanyakan hal tersebut.

Dan bagiku saat ini itu juga sudah tidak penting. Yang penting saat ini ialah menikmati setiap langkah perjalanan kami menuju sebuah tempat terindah.

Sebuah tempat yang menjadi tujuan setiap insan yang sedang di landa asmara. Tak peduli asmara seperti apa pun itu. Asmara sesama jenis kah? Asmara dengan lawan jenis kah? Asmara dengan perasaan cinta kah? Atau pun asmara sesaat, seperti yang kami alami saat ini.

Semua itu pada akhirnya akan berlabuh pada satu tujuan. Akan bermuara pada suatu tempat terindah.

Sebelum semuanya kemudian harus berakhir.

Sebuah akhir yang indah. Akhirnya yang kamu lakukan bersama.

Berusaha untuk saling memberi yang terbaik.

Sehingga segala keindahan itu terasa sangat sempurna bagiku.

Igun memang benar-benar luar biasa. Kesan yang ia berikan, benar-benar mampu membuatku terlena.

Tak terlukis bahagia ku saat itu. Tak terungkapkan indahnya rasaku saat itu.

Aku memang pernah melakukan hal tersebut dengan laki-laki lain sebelumnya.

Namun bersama Igun sungguh teramat sangat indah.

Selain karena Igun memang gagah dan tampan, kami juga melakukannya di dalam sebuah toilet pesawat. Itu merupakan sebuah petualangan yang indah dan penuh kesan. Hal yang tidak akan pernah aku lupakan.

Dan yang paling membuatku terkesan, padahal kami baru saja saling kenal. Namun naluri kami sebagai sesama gay, mampu menarik kami untuk bersama, walau dengan kebersamaan yang singkat.

****

Setelah selesai melakukan ritual pergelaran kami tersebut dan sedikit membersihkan diri, kami pun kembali ke tempat duduk kami masing-masing.

Kami kembali duduk, tapi tidak terlalu banyak bicara lagi.

Igun yang tadinya selalu berceloteh, tiba-tiba saja menjadi pendiam.

"aku masih penasaran.." ucapku memecah keheningan diantara kami, sambil sedikit melirik kearah Igun yang hanya tersandar.

Igun melirikku sekilas. Tapi tidak mengucapkan apa-apa.

"aku masih penasaran, kenapa kamu begitu yakin untuk mengajakku ke toilet? Kenapa kamu bisa senekat itu? Dan kenapa kamu bisa tahu, kalau aku seorang gay?" ucapku dengan suara berbisik.

Igun menarik napas berat, kemudian berucap.

"maaf, Wir. Tadi sebenarnya aku tak sengaja melihat sebuah aplikasi di handphone kamu. Sebuah aplikasi yang hanya di unduh oleh laki-laki gay. Karena itu aku yakin, kalau kamu pasti mau. Apa lagi aku melihat kamu sering menatapku diam-diam." jelas Igun.

"dan jujur saja, dari awal melihat kamu, aku memang sudah tertarik sama kamu, Wir. Dan setelah aku tahu, kalau kamu punya aplikasi itu, aku jadi punya keinginan untuk bisa menikmati hal tersebut bersama kamu." lanjut Igun lagi.

Aku terdiam. Setengah masuk akal penjelasa Igun barusan bagiku. Walau aku akui, kalau aku memang punya aplikasi yang Igun maksud, dan tadi aku juga sempat membuka aplikasi tersebut beberapa kali, saat sedang bercerita bersama Igun.

"tapi aku harap itu adalah yang pertama dan yang terakhir bagi kita, Wir.." ucap Igun lagi.

"kenapa?" tanyaku seperti tidak rela. Biar bagaimana pun, aku sangat terkesan dengan Igun. Dia benar-benar luar biasa. Jarang-jarang ada laki-laki gay seperti dia. Tampan, gagah dan memuaskan.

"karena sebenarnya aku sudah punya pacar di Jakarta, Wir. Tapi tadi aku hanya penasaran sama kamu. Walau harus aku akui, kalau permainan kamu tadi sungguh luar biasa. Aku merasa sangat terkesan. Namun sekali lagi, aku sudah punya pacar, dan kami sudah berpacaran selama bertahun-tahun.." jelas Igun panjang lebar, yang membuatku sedikit terhempas.

Jujur saja, aku memang punya harapan lebih terhadap Igun. Aku berharap bisa bertemu dengannya lagi, di tempat yang lebih baik tentunya, bukan di sebuah toilet pesawat.

Tapi aku juga harus bisa merelakan hal tersebut. Hubunganku dengan Igun, hanyalah hubungan sesaat. Hanya hubungan satu jam tiga puluh menit perjalanan.

"bukankah selalu ada yang pertama untuk segala hal?" ucapku tiba-tiba mengulang pernyataan Igun.

"maksud kamu?" tanya Igun.

"ya, ini adalah pertama kalinya aku naik pesawat. Ini adalah pertama kalinya kita bertemu. Ini adalah pertama kalinya, kita melakukan hal tersebut. Ini adalah pertama kalinya, kita melakukannya di atas pesawat." ucapku menjelaskan.

"dan ini adalah pertama kalinya aku selingkuh dari pacarku, setelah tiga tahun hubungan kami.." timpal Igun memotong ucapanku dengan suara lirih.

Sepertinya dia mulai merasa bersalah.

Untuk selanjutnya kami lebih sering diam, hingga pesawat pun akhirnya mendarat dengan selamat.

Kami turun dan melangkah menuju jalan kami masing-masing. Tanpa ada kata perpisahan, dan tanpa meninggalkan identitas apa pun.

Kami, terutama Igun, sepertinya tidak berharap bisa bertemu lagi.

Yang kami alami bukanlah cinta satu malam, tapi cinta satu jam tiga puluh menit.

Satu jam tiga puluh menit yang begitu indah, yang begitu berkesan bagiku, dan yang tak akan pernah aku lupakan.

Dan begitulah kisah cinta 1 jam 30 menit yang aku alami di dalam toilet pesawat.

Sungguh sebuah kisah yang indah bagiku.

Semoga kisah ini, bisa memberi hiburan tersendiri bagi siapa pun yang mendengarkannya.

Terima kasih sudah menyimak kisah ini sampai selesai..

Sampai jumpa lagi di video-video berikutnya..

Sala, sayang untuk kalian semua.. muaach..

****

Sekian...

Aku jatuh cinta kepada adik laki-laki ku yang gagah

Namaku Christian.

Aku punya seorang adik laki-laki yang bernama Arkhan, yang lebih suka dipanggil Khan.

Kami dua bersaudara.

Keluarga kami adalah orang yang terpandang. Kami keturunan bangsawan, yang mewarisi banyak perusahaan.

Kedua orangtua kami sangat otoriter dalam mengatur kehidupan kami.

Kami harus mengikuti semua aturan yang telah di tetapkan untuk kami sejak kami kecil.

Arkhan, adikku itu, adalah seorang yang suka memberontak.

Sejak kecil dia selalu suka melanggar setiap aturan dari kedua orangtua kami.

Wataknya itu sangat bertentangan dengan sifatku. Aku adalah anak yang penurut. Tidak pernah sekalipun aku berani melanggar aturan dari orangtua kami.

Karena aku itu aku tumbuh menjadi seorang yang hampir tidak punya prinsip, karena setiap tindakanku sudah ditentukan oleh orangtua kami.

Sementara Arkhan selalu berani memberontak, jika aturan itu tidak sesuai seperti yang dia inginkan.

Orangtua kami sudah sangat sering memberi hukuman kepada Arkhan, namun hal itu tidak membuat Arkhan jera. Justru tindakannya semakin menjadi-jadi. Arkhan tidak terkontrol.

Di usianya yang masih remaja dia sudah sering berurusan dengan polisi. Dan orangtua kami selalu membantu Arkhan, setiap kali dia mendapatkan masalah.

Hingga akhirnya kedua orangtua kami sudah tidak tahan dengan sikap dan perlawanan Arkhan, yang membuat mereka akhirnya mengusir Arkhan dari rumah.

Arkhan justru terlihat senang mendengar hal tersebut. Sepertinya dia sangat menginginkan kebebasan. Dan pergi dari rumah adalah jalan baginya untuk mendapatkan kebebasan.

Setelah Arkhan pergi, orangtua kami sengaja untuk tidak berusaha mencari Arkhan. Mereka ingin memberi pelajaran kepada Arkhan.

Namun mereka selalu memantau keberadaan Arkhan. Dimana Arkhan tinggal, apa yang dilakukannya, dan dengan siapa dia bergaul. Semua itu selalu menjadi perhatian orangtua ku secara diam-diam.

Aku juga sebenarnya selalu memantau keadaan Arkhan diam-diam. Biar bagaimana pun, Arkhan adalah adikku satu-satunya.

Aku tidak ingin kehilangan dia. Aku menyayanginya, dan bahkan mungkin lebih dari itu.

Aku mengagumi sosok Arkhan. Dia tumbuh menjadi remaja yang berani mengungkapkan pendapatnya.

Arkhan juga tumbuh menjadi seseorang yang memiliki wajah yang tampan, postur tubuhnya juga sangat atletis. Aku menyukainya.

Hingga setelah beberapa bulan Arkhan pergi dari rumah, aku pun coba menemuinya.

Aku berusaha membujuk Arkhan untuk pulang, tapi dia bersikeras untuk tetap berada di jalanan, untuk menikmati kebebasan hidupnya.

Dan aku tidak bisa berbuat apa-apa lagi, selain tetap memantau keberadaannya.

****

Beberapa tahun berlalu, Arkhan tetap tidak pernah kembali. Aku sempat kehilangan jejaknya, karena sepertinya Arkhan memang sengaja menghindariku.

Namun aku tetap berusaha untuk bisa menemukannya kembali.

Hingga suatu saat, orangtuaku pun menceritakan sebuah kisah yang membuatku cukup terhenyak.

Yah, akhirnya aku tahu kalau aku hanyalah anak angkat dari orangtua kami.

Aku diangkat jadi anak oleh mereka, ketika aku masih berusia tiga tahun. Saat itu, mereka sudah menikah lima tahun lebih, namun belum juga dikaruniai anak.

Karena itu mereka memutuskan untuk mengadopsiku, dari sebuah rumah panti asuhan.

Dan setelah aku hidup bersama mereka kurang lebih lima tahun, saat itu usiaku sudah delapan tahun, tiba-tiba mama angkatku pun hamil, dan kemudian melahirkan seorang Arkhan.

Meski pun telah mendapatkan anak kandung mereka sendiri, kasih sayang mereka kepada ku tidak berubah sama sekali. Mereka tetap menyayangiku, sebagaimana sebelum Arkhan lahir.

Mereka tidak pernah membedakan antara aku dan Arkhan. Dan bahkan setelah mereka melihat perkembangan Arkhan, mereka justru semakin menaruh harapan padaku.

Mereka sangat berharap, aku bisa menjadi pewaris dari perusahaan-perusahaan keluarga yang memang diwariskan secara turun temurun.

Karena bagi mereka, aku lebih layak untuk mendapatkan semua itu. Apa lagi aku memang tumbuh sebagai seorang anak yang pintar. Aku selalu juara kelas sejak kecil.

Semua hal itu diceritakan oleh kedua orangtuaku padaku.

Dan mereka sangat berharap, agar aku bisa membawa Arkhan kembali ke rumah.

Untuk itulah, aku pun akhirnya menemui Arkhan.

"dari mana kamu tahu, kalau aku disini?" tanya Arkhan memulai pembicaraan.

"aku selalu tahu, dimana kamu berada Arkhan. Aku selalu memperhatikanmu dari kejauhan. Selain karena itu adalah permintaan orangtua kita, aku juga ingin melakukannya." balasku tegas.

"kenapa?" tanya Arkhan lagi.

"karena kamu adalah bagian dari keluarga kita Arkhan. Orangtua kita sangat menyayangimu." jawabku ringan.

Arkhan sekarang sudah tumbuh menjadi seorang pemuda yang tampan dan gagah. Dia juga sudah terlihat mulai dewasa. Usia Arkhan sekarang sudah 18 tahun.

Sementara aku sendiri sudah berusia 26 tahun, dan aku sudah menyelesaikan kuliah S1 ku. Sekarang aku sedang belajar untuk mengelola perusahaan dari papa.

"mereka tak benar-benar menyayangiku, Chris. Mereka hanya menyayangi kamu. Kamu adalah anak kebanggan mereka. Kamu anak yang baik dan penurut, sementara aku hanyalah seorang pecundang.." suara Arkhan bergetar.

"kamu salah Arkhan. Orangtua kita sangat menyayangimu, karena.... karena sebenarnya kamu adalah anak mereka satu-satunya..." ucapku sedikit terbata.

"maksud kamu?" tanya Arkhan dengan kening mengerut.

"banyak hal yang tidak kamu ketahui, Arkhan. Dan semua jawabannya ada di rumah kita. Karena itu, kamu harus pulang.." ucapku, sambil mulai memutar tubuh untuk segera pergi dari hadapan Arkhan.

"tunggu.." Arkhan mencoba menghentikan langkahku.

Tapi aku hanya mengabaikannya. Aku memang sengaja melakukan hal itu, agar Arkhan bersedia untuk kembali ke rumah, setidaknya demi untuk mendapatkan sebuah jawaban.

*****

Seminggu kemudian, Arkhan akhirnya pulang. Kedua orangtua kami sangat bahagia menyambut kepulangan Arkhan.

Namun Arkhan terlihat tidak begitu bahagia. Dia masih terlihat penuh pemberontakan.

"aku tidak ingin berlama-lama disini. Aku hanya butuh jawaban.." ucap Arkhan terdengar sinis.

"jawaban apa?" mama yang bertanya.

"jawaban atas pernyataan Christian tempo hari. Tentang aku adalah anak satu-satunya kalian berdua. Apa maksudnya?" suara Arkhan masih sinis.

Papa dan mama pun akhirnya menjelaskan semuanya. Tentang siapa aku sebenarnya, tentang betapa sayang mereka kepada Arkhan, dan tentang mengapa selama ini mereka membiarkan Arkhan hidup di jalanan.

"kami hanya ingin memberikan yang terbaik buat kamu Arkhan. Dan kamu sangat menyukai kebebasan. Karena itu, kami pun memberi kebebasan penuh padamu. Kami tidak ingin mengganggu kehidupan yang kamu inginkan, tapi kami selalu memperhatikanmu dari kejauhan.." jelas mama mengakhiri ceritanya.

Arkhan terdiam sangat lama mendengar kisah itu. Hatinya mungkin sudah mulai melunak. Apa lagi saat ini Arkhan sudah tumbuh dewasa. Dia pasti tahu yang terbaik untuk hidupnya.

"kami hanya ingin kamu kembali lagi ke rumah ini, Arkhan. Kami tidak akan mengikatmu lagi dengan segala peraturan turun temurun keluarga kita. Kamu bebas memilih jalan hidupmu sendiri. Tapi mama mohon, kamu jangan pergi lagi ya..." suara mama memelas.

Arkhan semakin terdiam. Matanya mulai berkaca.

"Arkhan minta maaf, ma pa..." ucapnya akhirnya.

"kamu tidak perlu minta maaf Arkhan. Kami yang harusnya minta maaf sama kamu.." kali ini papa yang berbicara.

Suasana haru pun terjadi sore itu. Pertemuan kembali antara seorang anak dengan kedua orangtuanya, memang selalu menyentuh hati. Apa lagi mereka sudah terpisah bertahun-tahun.

****

Arkhan kembali tinggal bersama kami. Dia juga mulai kuliah, dengan modal ijazah paket yang papa dapatkan entah dari mana.

Namun apa pun itu, aku merasa sangat bahagia, bisa tinggal bersama Arkhan kembali. Menatap wajah tampannya setiap hari.

Aku memang telah jatuh cinta kepada Arkhan. Aku jatuh cinta dengan sikap pemberaninya. Wataknya yang jauh berbeda dariku, justru membuat aku mengaguminya.

Perasaan itu sebenarnya sudah sangat lama bersarang di hatiku. Namun selama ini aku menganggapnya hanyalah perasaan sayang seorang kakak terhadap adiknya.

Tapi semenjak aku mengetahui kalau aku hanyalah kakak angkatnya, aku mulai menyadari, kalau apa yang aku rasakan terhadap Arkhan adalah sebuah perasaan cinta. Sebuah perasaan ingin memiliki.

Karena itu pada suatu kesempatan aku pun dengan cukup nekat memberanikan diri untuk mengungkapkan perasaanku yang sebenarnya kepada Arkhan.

Arkhan terlihat kecewa mengetahui hal itu. Dia seperti tidak bisa menerima semuanya.

Arkhan pergi meninggalkanku tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

Aku merasakan perih dihatiku.

Tapi aku memang sudah tidak bisa lagi memendam perasaanku terhadap Arkhan. Aku terlalu mencintainya.

*****

Beberapa hari kemudian, tiba-tiba Arkhan menemuiku di kamarku.

"aku minta maaf.." ucapnya pilu.

"kenapa kamu harus minta maaf, Arkha. Aku yang harusnya minta maaf.." balasku lemah.

"aku minta maaf, karena telah berusaha membohongi kamu selama ini.." ucap Arkhan lagi.

"maksud kamu?" tanyaku penasaran.

"aku... aku sebenarnya juga mencintai kamu, Chris. Aku mencintai kamu sudah sejak lama. Kamu adalah laki-laki cinta pertamaku. Aku selalu mengagumi kamu. Kamu yang penurut, kamu yang baik, kamu yang pintar dan... kamu... kamu yang tampan dan juga gagah." suara Arkhan terbata.

Aku menatapnya tanpa kedip. Aku tak percaya.

"sejak aku tumbuh remaja, aku mulai mengkhayalkan hal-hal yang aneh-aneh tentang kamu, Chris. Aku selalu membayangkan bisa berada dalam dekapan kamu setiap malam. Aku merasa tersiksa dengan semua itu. Dan karena itu juga, aku akhirnya pergi. Karena itu juga, aku dengan begitu mudah menerima pengusiran orangtua kita waktu itu."

"aku hanya bisa memendam perasaanku padamu. Dan itu adalah rahasia terkelamku. Aku berusaha untuk membunuh semua rasa itu, karena aku tahu kita bersaudara. Tapi semenjak aku tahu, kalau kita hanya bersaudara angkat, aku jadi punya kekuatan untuk bisa mendapatkan kamu..." cerita Arkhan panjang lebar, yang membuatku kias terkesima.

Sungguh semua ini di luar dugaanku.

"lalu mengapa kamu diam, saat aku mengungkapkan perasaanku padamu waktu itu?" tanyaku akhirnya, setelah lama kami saling terdiam.

"aku merasa sangat terkejut mendengar hal itu, Chris. Aku tak menyangka sama sekali. Aku memang berharap bisa memiliki kamu. Tapi aku tidak ingin kamu tahu, tentang rahasia hatiku yang sebenarnya." jelas Arkhan.

"lalu aku mulai sadar, jika memang kamu mencintaiku, dan kamu juga dengan begitu beraninya mengungkapkan itu semua, mengapa aku masih harus merahasiakan perasaanku padamu. Karena itu, aku datang menemuimu malam ini, Chris. Aku juga ingin kamu tahu, kalau aku juga mencintaimu.." lanjut Arkhan lagi.

Perlahan Arkhan pun melangkah mendekat.

"sudah sangat lama aku ingin mendekapmu, Chris. Izinkan malam ini aku melakukannya.." suara Arkhan lirih.

"kamu bukan saja aku izinkan untuk mendekapku, Arkhan. Kamu boleh melakukan apa saja padaku malam ini. Karena aku juga sangat menginginkannya.." balasku, sambil mulai menarik tubuh kekar Arkhan ke dalam pelukanku.

Aku merasakan tubuh kami bergetar. Dekapan itu terasa hangat. Sehangat mentari menyinari pagi.

Perlahan aku menyentuh pipi Arkhan, lalu membelainya lembut.

"kamu sangat tampan, Akhan. Aku menginginkan kamu malam ini..." bisikku dengan suara berat.

"aku adalah milik kamu malam ini, Chris. Malam ini dan untuk selama-lamanya.." balas Arkhan dengan napas tersengal.

Perlahan kami pun memulai semua itu.

Memulai sesuatu yang selama ini hanya ada dalam khayalan kami.

Sesuatu yang selama ini, hanya kami pendam.

Sesuatu yang sudah lama ingin kami lakukan.

Membelah hutan belantara, mengarungi lautan lepas, terjun ke lembah penuh keindahan.

Menuju tempat terindah, yang menjadi dambaan setiap insan yang sedang dilanda cinta.

Kami berjalan beriringan, melangkah bersama menuju tempat terindah itu.

Tempat dimana hanya ada kami berdua.

Perjalanan itu sungguh indah. Tak terukir kan bahagia ku malam itu, dan aku dapat merasakan kalau Arkhan juga merasakan kebahagiaan yang sama.

Hembusan angin menerpa tubuh kami berdua. Dingin, namun terasa membakar.

Kami saling terikat, tak ingin saling melepaskan.

Hingga akhirnya kami pun sampai pada tempat terindah itu. Dan kami merasa lega. Sangat lega.

Ternyata hal itu jauh lebih indah dari yang pernah kami bayangkan.

Dan kami pun terhempas, sama-sama terhempas..

Dan begitulah kisah cintaku bersama adik laki-laki ku yang gagah itu terjalin.

Sejak saat itu, kami pun saling berjanji untuk saling mencintai, walau akan banyak rintangan yang akan kami hadapi ke depannya.

Namun selagi kami masih punya waktu untuk bersama, menikmati indahnya cinta kami, kami tidak akan pernah menyia-nyiakannya.

*****

Selesai....

Cari Blog Ini

Layanan

Translate