Rahasia terkelam dua laki-laki bersaudara

Nama saya Khan. Dan saya bukan orang India, juga bukan keturunan India.

Saya hanya suka dipanggil Khan. Itu aja.

Khan dalam bahasa India berarti seseorang yang mulia atau seseorang dari tingkat atas.

Saya tidak mulia, tapi saya berasal dari keluarga konglomerat.

Saya lahir dari keluarga yang punya garis keturunan para bangsawan.

Orantua saya sangat kaya, mereka punya banyak perusahaan yang merupakan warisan turun temurun keluarga kami.

Saya anak kedua dari dua bersaudara. Kami dua bersaudara keduanya laki-laki. 

Meski pun saya lahir dari keluarga yang serba berkecukupan dan merupakan anak bungsu, tapi saya tidak manja. Saya biasa melakukan semuanya sendiri.

Saya menjalani hidup sebagaimana mestinya, seperti orang-orang pada umumnya.

Namun kedua orangtua saya sangat otoriter terhadap saya dan juga kakak saya.

Kakak saya, namanya Christian, adalah seorang yang penurut. Dia selalu mengikuti setiap aturan yang telah dibuat oleh orangtua kami secara jelas.

Karena itu Christian tumbuh sebagai seorang laki-laki yang hampir tidak punya prinsip. Dia hanya hidup mengikuti kemauan orangtua kami.

Christian adalah seorang laki-laki yang tampan, kulitnya putih dan bersih. Dia juga seorang yang pendiam.

Saat ini Christian sudah memasuki tahun terakhir kuliah. Dia juga seorang anak yang cerdas, sejak SD selalu juara kelas.

Rutinitas nya setiap hari tidak begitu banyak namun terkesan monoton. Dia melakukan hal yang sama hampir setiap hari.

Kuliah, pulang, belajar bisnis dari papa kami dan membaca buku hampir sepanjang harinya.

Bertolak belakang dari sifat kakakku, aku adalah seorang pemberontak. Aku selalu melanggar setiap peraturan dari orangtuaku. Aku suka bolos sekolah, jarang belajar dan sering membuat kegaduhan di sekolah.

Orangtuaku sudah sering menghukumku, tapi aku tidak jera.

Aku bosan hidup dalam keterkurungan. Aku ingin bebas. Aku ingin bebas menjadi diriku sendiri.

Aku sering lari dari kejenuhanku. Berkumpul dengan para preman dan menikmati hariku bersama mereka.

Aku pernah beberapa kali harus berurusan dengan polisi, dan orangtuaku selalu membantuku untuk bebas dari jeratan hukum.

Sampai akhirnya orangtuaku benar-benar bosan mengurusi kehidupanku. Aku diberi kebebasan penuh. Aku diusir dari rumah, tanpa diberi bekal apapun.

Aku tinggal di jalanan. Menjadi seorang gelandangan.

Aku menikmati hidupku, aku menikmati kebebasanku.

Untuk bertahan hidup, aku bekerja serabutan. Mulai jadi kuli bangunan, kuli angkut bahkan jadi pengamen.

Aku bukan lagi seorang anak bangsawan. Aku adalah diriku yang sebenarnya, dengan semua kebebasan yang aku dambakan selama ini.

*****

Sampai suatu saat, aku bertemu Christian. Bukan. Christian yang menemukanku. Dia sengaja mencariku, setelah aku tidak pulang selama berbulan-bulan.

"aku merindukanmu..." suara Christian sendu.

"kita tidak begitu dekat, lalu mengapa kamu merindukanku?" tanyaku sinis.

"kita terlahir dari rahim yang sama, dari darah yang sama. Itu yang mengikat kita. Itu yang membuat kita dekat, meski kamu tak pernah setuju dengan apa yang aku lakukan dalam hidup." ringkih suara Christian membalas.

"kamu juga tidak setuju dengan apa yang aku lakukan dalam hidup.." balasku mulai melunak.

"siapa bilang? Aku setuju. Akhirnya ada orang yang berani mengubah tradisi keluarga kita." balas Christian antusias.

"tapi orangtua kita tidak setuju.." ucapku ikut pilu.

"tidak ada orangtua yang ingin anaknya sengsara. Mereka hanya ingin yang terbaik kita." balas Christian.

"yang terbaik bagi kita adalah kebebasan. Kebebasan untuk memilih jalan hidup kita sendiri. Bukan jalan hidup yang telah mereka atur." ucapku sinis lagi.

Aku memang selalu sinis, bila berbicara tentang orangtuaku.

Bagiku, mereka telah merenggut masa kecil dan masa remajaku. Aku tak pernah menikmati masa-masa itu. Aku membenci diriku yang itu.

"aku ngerti. Aku juga tidak ingin hidup seperti itu. Sebelum kamu lahir, aku adalah anak satu-satunya harapan orangtua kita untuk mewarisi semua perusahaan keluarga kita. Jadi aku tidak punya pilihan selain mengikuti semua aturan yang ada."

Christian menarik napas beratnya. Dua kali.

"setelah kamu lahir, aku jadi punya harapan untuk menjadi diriku sendiri. Tapi ternyata aku salah. Melihat kamu yang tumbuh menjadi anak yang suka memberontak, aku kembali mengubur harapanku. Aku masih satu-satunya harapan orangtua kita."

"aku bisa melihat, kalau kamu pasti akan menjadi anak yang selalu melanggar setiap aturan yang ada. Dan jika aku juga melakukan hal tersebut, maka orangtua kita akan kehilangan harapan. Aku hanya ingin membuat mereka merasa berguna menjadi orangtua. Karena itu, aku memutuskan menjadi anak yang penurut.." cerita Christian panjang lebar.

Aku memang lahir, saat Christian sudah berusia delapan tahun. Tentunya sebagai anak yang pintar, di usia itu, Christian sudah memikirkan banyak hal.

Dan semua cerita Christian bagi ku cukup masuk akal. Christian memilih untuk mengalah, demi kebebasanku.

****

"kamu tidak ingin pulang?" tanya Christian, saat akhirnya kami duduk di sebuah bangku taman.

Aku dan Christian memang tidak terlalu dekat. Selain karena sifat kami yang berbeda, Christian selama ini juga jarang menegurku.

Usia kami juga terpaut sangat jauh, mungkin hal itu juga yang membuat kami jarang saling mengobrol.

"kamu tidak pulang?" Christian mengulangi pertanyaannya.

Aku hanya menggeleng. Aku memang tidak punya rencana untuk pulang.

"sampai kapan?" tanya Christian ringan.

"apanya?" tanyaku balik, keningku mengerut.

"sampai kapan kamu tidak akan pulang? Sampai kapan kamu akan hidup seperti ini? Sampai kapan kamu akan berjalan tanpa tujuan?" tanya Christian lagi lebih jelas.

"sampai aku menemukan apa yang aku cari.." balasku sendu.

"emangnya apa yang kamu cari?" Christian bertanya lagi.

Kali ini aku terdiam. Aku tidak benar-benar tahu, apa yang aku cari selama ini. Jika aku memang mencari kebebasan, aku sudah menemukannya.

Tapi entah mengapa hatiku masih merasa kosong.

"entahlah. Aku akan mengetahuinya, saat aku sudah menemukannya." balasku akhirnya, suaraku lirih.

"kamu tidak akan menemukan apa-apa, jika kamu tidak punya tujuan. Kamu tidak akan menemukan apa-apa, jika kamu sendiri tidak tahu apa yang ingin kamu temukan." balas Christian.

"lalu apa kamu sudah menemukan apa yang kamu cari?" tanyaku mengalihkan pembicaraan.

"sudah. Tapi aku tidak dapat menggapainya." jawab Christian terdengar pilu.

"kenapa?" tanyaku penasaran.

"karena... karena aku tidak berhak memilikinya.." balas Christian sedikit terbata.

"apa yang kau maksud itu adalah seseorang? Seseorang yang kamu cintai?" tanyaku lagi.

"yah, mungkin seperti itu. Tapi aku tidak tahu pasti, apa itu sebenarnya yang aku inginkan." balas Christian lagi.

"kalau kamu mencintai seseorang, kenapa kamu tidak berani mencapainya? Bukankah kamu punya segalanya, wajah tampan, anak orang terpandang. Wanita mana yang akan mampu menolakmu?" ucapku kemudian.

"mungkin belum saatnya, dia masih terlalu muda untuk mengerti. Mungkin suatu saat...." balas Christian getir.

****

Part 2

Empat tahun berlalu. Sekarang aku sudah berusia delapan belas tahun.

Aku tumbuh dan besar dijalanan.

Aku sudah sangat terbiasa dengan semua itu. Aku sudah terbiasa dengan kehidupanku.

Orangtuaku tak pernah mencariku. Mungkin mereka sudah merasa cukup dengan Christian. Mungkin juga mereka menyesal telah melahirkanku.

Christian juga tak pernah lagi menemukanku. Aku sengaja menghindar.

Aku berpindah dari satu kota ke kota lainnya. Aku mencari sesuatu. Aku ingin menemukan sesuatu.

Tapi apa? bathinku pilu.

Aku mulai merasakan kehampaan. Aku mulai merasakan kejenuhan.

Kerja keras telah membuatku jera. Aku lelah. Tapi aku enggan pulang.

"seseorang mencarimu.." ucap salah seorang rekan kerjaku.

Aku bekerja di sebuah rumah makan kecil sekarang.

"siapa?" tanyaku penasaran.

Laki-laki rekan kerjaku itu hanya mengangkat bahu, lalu segera berlalu.

Aku melangkah keluar rumah makan itu. Seorang laki-laki parlente berdiri menatapku.

"kamu sudah besar sekarang.." suara laki-laki itu dengan senyum tipis.

"Christian?" ucapku berpura-pura tidak terkejut dengan kedatangannya.

"dari mana kamu tahu, aku disini?" tanyaku melanjutkan.

"aku selalu tahu dimana kamu berada, Khan. Aku selalu memperhatikanmu dari kejauhan. Selain karena orangtua kita yang memintanya, aku juga memang ingin melakukannya." jelas Christian.

"lalu kenapa kamu tidak pernah menegurku?" tanyaku lagi.

"untuk apa? Kamu juga tidak menginginkan hal itu bukan? Kamu butuh kebebasanmu, dan aku tidak ingin mengganggunya." balas Christian.

"lalu mengapa sekarang kamu datang?" aku bertanya lagi.

Ada banyak pertanyaan sebenarnya di benakku. Tapi aku mengabaikannya.

"karena sudah saatnya kamu pulang, Khan. Kamu sudah belajar banyak di jalanan." balas Christian mantap.

"aku tidak ingin pulang." tegasku.

"lalu apa yang kamu inginkan?" tanya Christian.

"entahlah. Aku juga tidak tahu. Karena itu aku ingin mencari tahunya." suaraku pelan, lebih kepada diriku sendiri.

"mungkin yang kamu inginkan adalah pulang, Khan. Kamu boleh mencobanya. Dan jika kamu rasa itu bukan yang kamu inginkan, kamu boleh untuk pergi lagi.." Christian berucap, sambil ia memutar tubuh untuk segera berlalu.

"tunggu.." pintaku menahan langkah Christian.

"apa orangtua kita masih marah padaku?" tanyaku akhirnya, sebuah pertanyaan yang sudah lama aku simpan.

"mereka tidak pernah marah padamu, Khan. Mereka hanya tidak setuju dengan pilihan hidupmu. Tapi mereka tetap membiarkan kamu hidup dengan pilihanmu. Mereka sangat menyayangimu, Khan. Karena kamu adalah anak mereka satu-satunya." jelas Christian, yang membuatku mengerutkan kening.

"maksud kamu?" tanyaku dengan nada heran.

"banyak yang belum kamu ketahui, Khan. Dan semua jawabannya ada di rumah kita." ucap Christian, sambil mulai melangkah lagi.

Aku terpaku. Aku tidak mengerti maksud Christian. Aku ingin bertanya lebih lanjut. Tapi Christian sudah melangkah terlalu jauh, menaiki mobilnya dan berlalu dengan cepat.

****

 Mamaku memelukku, papaku juga. Mereka memelukku erat.

"akhirnya kamu pulang, nak." suara mamaku ringkih.

"aku tidak pulang. Aku hanya ingin jawaban.." suaraku sinis, berusaha untuk tidak merasa terharu dengan pertemuan itu.

Aku memang selalu sinis, jika mengenai orangtuaku.

Lima tahun, aku tidak bertemu mereka, aku masih saja merasa sinis.

Aku memang memutuskan untuk kembali ke rumah. Bukan karena aku kangen, tapi aku ingin tahu apa maksud ucapan Christian tempo hari.

"kamu anak mereka satu-satunya, Khan." terngiang kembali ucapan Christian.

Aku selalu bertanya-tanya, jika aku anak satu-satunya orangtuaku, lalu siapa Christian?

"jawaban apa yang kamu inginkan, Khan?" papaku membuka suara juga akhirnya, setelah ia terhanyut dengan keharuannya.

"tentang ucapan Christian tempo hari yang mengatakan kalau aku adalah anak satu-satunya mama dan papa. Apa maksud dari semua itu?" ucapku, sambil menatap Christian yang juga ikut duduk bersama kami di ruang keluarga.

"kamu memang satu-satunya anak kandung kami, Khan. Tapi kami sangat menyayangi kalian berdua. Christian kami angkat sebagai anak, saat ia baru berusia tiga tahun. Kami mengadopsi Christian, karena kami sudah menikah lebih dari lima tahun, namun belum juga memiliki anak. Dan lima tahun kemudian, mamamu akhirnya hamil.." papa menjelaskan dengan suara seraknya.

Aku terhenyak.

"setelah kamu pergi dari rumah. Kami selalu memantau perkembangan kamu, Khan. Kami tidak membiarkanmu. Tapi kami tahu, kamu tidak ingin diganggu. Kami hanya ingin kamu mendapatkan kebebasan yang kamu inginkan." kali ini mama yang berbicara.

"kami tahu, kalau kamu merasa terkekang dengan segala peraturan kami. Tapi itu semua kami lakukan, karena kami sangat menyayangimu, Khan. Kami hanya ingin yang terbaik buat kamu." lanjut mama lagi.

"dan ketika kami menyadari, kalau kamu adalah anak yang butuh kebebasan, kami pun memberikan kamu kesempatan untuk kamu hidup dengan kebebasanmu. Tapi kami selalu memperhatikanmu, Khan. Kami ingin kamu belajar dari kehidupan ini. Kami ingin kamu tahu, bahwa hidup di jalanan itu, bukanlah pilihan yang baik. Kami ingin kamu sadar, bahwa betapa pentingnya sebuah keluarga." mama berucap lagi.

Aku masih terdiam.

Terlepas dari apapun penjelasan mama, terlepas dari apapun alasan dari semua itu. Aku tidak begitu memikirkannya.

Aku memang telah belajar banyak dari kehidupan. Aku memang telah belajar banyak dari jalanan.

Terus terang, memang ada kerinduan yang aku rasakan, saat aku berada di jalanan. Tapi aku tidak ingin memikirkannya, aku hanya ingin bebas.

Aku selalu membayangkan, jika aku berada di rumah, maka aku akan hidup dengan tersiksa, karena harus mengikuti semua aturan yang ada.

Itu satu-satunya alasan, mengapa aku tidak ingin pulang selama hampir lima tahun hidup di jalanan.

Dan sekarang...

Sekarang aku merasakan kerinduanku yang ku pendam selama ini, telah terlepaskan.

Aku siap kembali disini. Di rumah ini.

"mama harap kamu tidak pergi lagi, Khan. Kami tidak akan memberi peraturan apa-apa lagi buat kamu. Kamu tetap mendapatkan kebebasan kamu disini. Kamu bebas mengejar mimpi kamu sendiri. Kamu tidak harus menjadi pewaris perusahaan keluarga, karena sudah ada Christian." ucap mama kemudian.

Ya, mungkin memang sudah saatnya, aku kembali berada di rumah. Dan aku pun mengangguk setuju.

****

Aku kembali tinggal di rumahku. Bersama mama, papa dan juga Christian.

Aku mulai kuliah, dengan mengandalkan ijazah paket C, yang di dapatkan papaku entah dari mana.

Aku mulai mengatur ulang hidupku. Membuka hatiku kembali untuk kehadiran mama, papa dan juga Christian.

Aku dan Christian juga mulai dekat. Kami jadi sering ngobrol sekarang.

Meski pun Christian hanya kakak angkatku, tapi aku tetap merasa kalau Christian adalah saudara kandungku.

"aku jadi ingat cerita kamu lima tahun yang lalu." ujarku pada suatu kesempatan, kami ngobrol di kamar ku untuk kesekian kalinya.

"cerita yang mana?" tanya Christian.

"apa kamu sudah berhasil menggapai apa yang kamu inginkan?" tanyaku, mengingatkan Christian tentang pernyataannya lima tahun lalu.

"belum." jawabnya singkat.

"kenapa belum? Apa masih belum saatnya? Bukankah seharusnya sekarang dia sudah dewasa?" tanyaku bertubi-tubi.

"dia memang sudah dewasa sekarang, bahkan aku juga sudah sangat dekat dengannya. Tapi aku masih belum berani untuk menggapainya." jawab Christian.

"kenapa?" tanyaku penasaran.

"karena.... karena aku takut, dia tidak menyukaiku. Jika aku nekat menggapainya, aku takut dia akan menjauh dan membenciku." balas Christian.

"bagaimana kamu tahu, kalau dia menyukai kamu atau tidak, kalau kamu tidak pernah berani untuk mengungkapkannya?" ucapku lagi.

"entahlah, Khan. Aku juga bingung, bagaimana cara memulainya..." keluh Christian sendu.

"emangnya siapa orang yang telah membuat kamu mencintainya begitu dalam, bahkan hingga bertahun-tahun?" aku bertanya kembali.

"kamu yakin ingin tahu, Khan?" Christian balik bertanya.

Aku mengangguk yakin.

"tapi kamu harus janji, Khan. Bahwa kamu tidak akan marah." lanjut Christian melihat anggukanku.

"marah? kenapa aku harus marah?" tanyaku dengan kening berkerut.

"aku tidak tahu, tapi aku hanya ingin kamu tidak marah, jika aku mengatakan yang sebenarnya." balas Christian.

"katakanlah, Chris. Dan aku tidak akan marah." ucapku yakin, karena aku merasa tidak ada yang akan membuat aku marah pada Christian.

"orangnya adalah kamu, Khan..." bergetar suara Christian berucap.

"maksud kamu?" tanyaku membelalakkan mata.

"yah, aku mencintai kamu, Khan. Aku mengagumimu sejak kamu kecil. Khan yang lincah, pemberani, Khan yang penuh pemberontakan, Khan yang selalu ceria, hal yang tidak pernah bisa aku lakukan selama hidupku. Aku mengagumi kamu, Khan. Dan perlahan rasa kagum itu pun tumbuh menjadi sebuah perasaan suka, lalu kemudian aku menyadari kalau aku telah jatuh cinta padamu. Cinta pertamaku." jelas Christian, yang membuatku merasa sangat syok.

"sebenarnya aku ingin mengatakan ini sejak lima tahun lalu, Khan. Tapi saat itu kamu masih sangat muda, kamu pasti akan membenciku seumur hidup, kalau aku mengungkapkannya saat itu. Tapi sekarang, aku yakin kamu sudah cukup dewasa untuk memahaminya.." lanjut Christian lagi, yang membuatku kian syok.

Aku tertegun. Menatap Christian lama. Lalu segera bangkit dan melangkah keluar dari kamar itu. Aku sedikit membanting pintu. Entah apa yang ingin aku hempaskan.

Hatiku bingung. Ragu. Marah, dan berbagai perasaan berkecamuk di dalam benakku.

Christian mencintaiku? Tanyaku membathin.

Lalu apa yang salah dengan semua itu?

Hatiku atau cinta Christian?

Akh... aku benar-benar bingung.

*****

Part 3

Perlahan aku menghempaskan tubuhku di atas ranjang tempat tidurku. Berkali-kali aku menghempaskan napas berat.

Pernyataan Christian tentang perasaan cintanya padaku terus menghantui pikiranku.

Tak ku sangka Christian ternyata diam-diam mencintaiku selama ini.

Ku pikir perasaan itu hanya aku yang merasakannya.

Tapi ternyata Christian juga, yang membuatku jadi membencinya saat ini.

Ya, aku memang mengagumi sosok Christian selama ini.

Christian yang baik, sopan, penurut, wataknya yang berbanding terbalik denganku telah membuatku sangat mengaguminya.

Christian yang tampan, gagah, putih dan terlihat indah dimataku, telah membuatku sering memikirkannya.

Sebenarnya salah satu alasanku pergi dari rumah saat itu, adalah untuk menghindari pesona Christian yang kian hari kian menyiksaku.

Dan itu adalah rahasia terkelam ku selama ini.

Aku mencintai Christian, kakakku sendiri. Meski akhirnya aku tahu, kalau Christian hanyalah kakak angkatku. Tapi tetap saja, rasanya mustahin bisa memilikinya sebagai kekasih.

Aku berusaha memendam semua rasaku itu. Aku menyimpannya rapi di dalam lubuk hatiku yang terdalam. Aku tak ingin mengungkapkannya, aku tak ingin seorang pun mengetahuinya.

Aku tetap mencintai Christian selama bertahun-tahun, meski pun kami sempat terpisah.

Tapi aku tidak pernah berniat sekali pun untuk menyatakan pada Christian.

Rasa itu hanya untuk aku nikmati sendiri.

Tapi sekarang...

Sekarang, tiba-tiba Christian dengan terang-terangan mengungkapkan perasaan cintanya padaku.

Sungguh hal itu tidak bisa aku terima.

Rahasia hatiku yang selama ini hanya aku pendam, seakan terbongkar oleh pernyataan cinta Christian tersebut.

Dan karena itu aku membencinya.

Seharusnya Christian tidak mencintaiku. Seharusnya dia hanya menganggapku sebagai adik.

Karena dengan begitu, aku akan tetap mampu menyimpan perasaanku padanya.

Aku akan tetap menjaga rahasia hatiku selamanya.

Namun karena aku akhirnya tahu kalau Christian juga mencintaiku, aku jadi berpikir untuk tidak lagi merahasiakan hal tersebut.

Aku juga ingin mengungkapkannya pada Christian. Aku juga ingin Christian tahu, kalau aku juga sangat mencintainya.

Tapi mungkinkah aku mampu untuk berkata jujur pada Christian?

Mungkinkah aku bisa berterus terang padanya?

Tapi untuk apa?

Sekali pun kami saling cinta, hubungan kami jelas bukan sesuatu yang bisa dengan mudah dijalin.

Akan banyak halangan yang akan kami hadapi.

Akh.... aku semakin bingung.

*****

"aku minta maaf, Christian..." suara ku pelan. Ketika akhirnya aku nekat menjumpai Christian di kamarnya.

"kamu tidak salah apa-apa, Khan. Kamu tidak harus minta maaf. Aku yang harusnya minta maaf sama kamu. Aku minta maaf, karena terlanjur mencintai kamu..." balas Christian datar.

"aku minta maaf, karena aku tidak jujur padamu waktu itu. Aku justru memilih untuk pergi, karena aku takut akan sebuah penolakan.." ucapku lagi, seakan mengabaikan pernyataan Christian barusan.

"maksus kamu apa, Khan?" tanya Christian.

"aku... aku juga mencintai kamu Christian. Aku sudah jatuh cinta padamu, sudah sejak lama. Kamu adalah cinta pertamaku. Aku mencintai kamu sejak aku remaja. Dan itu adalah salah satu alasanku mengapa aku harus pergi waktu itu. Aku takut, aku tidak bisa menahan perasaanku padamu. Namun aku juga takut untuk jujur, aku takut justru kamu akan membenciku..." jelasku panjang lebar.

Christian menatapku. Ia menatapku sangat lama. Dia seperti mencoba mencerna setiap kalimatku. Dia sepertinya tidak percaya.

"lalu sekarang, apa kamu masih takut?" tanya Christian akhirnya, setelah sangat lama ia berpikir.

"entahlah, Chris. Seandainya saja kita tidak sejenis, mungkin ceritanya akan berbeda.." suaraku lirih.

"cinta itu buta, Khan. Ia tidak memandang jenis kelamin. Ia tidak memandang apa pun. Cinta adalah sesuatu yang unik, kita tidak pernah tahu, kapan ia akan datang dan kepada siapa ia akan berlabuh." balas Christian puitis.

"tapi kita juga bersaudara, Chris. Itu juga merupakan hal yang harus kita pertimbangkan, sebalum kita melangkah lebih jauh.." ucapku lagi.

"kita hanya saudara angkat, Khan. Kita tidak sedarah dan tidak serahim. Dan itu bukan alasan untuk kita menyiksa diri kita, dengan berusaha membunuh perasaan kita yang sebenarnya. Jika memang kita saling mencintai, kita berhak untuk bahagia.." balas Christian.

"tapi kebahagiaan yang ingin kita gapai, bukanlah sesuatu yang wajar, Chris. Hubungan kita tidak akan diterima. Kebahagiaan kita tidak akan pernah utuh.." ucapku membalas.

"tidak ada kebahagiaan yang utuh. Khan. Bahkan hubungan yang berbeda jenis kelamin pun, juga tidak sempurna. Kita hanya harus mencobanya, dan resiko apa pun yang akan terjadi setelah kita mencobanya, kita harus kuat menghadapinya.." suara Christian tegar.

"aku sangat mencintai kamu, Chris. Tapi aku takut kita tidak akan mampu menghadapinya. Terlalu berat, Chris..." suara ku lemah.

"bukankah kamu adalah seorang anak yang suka memberontak, Khan? Kamu selalu suka melanggar aturan. Tapi mengapa sekarang kamu lemah? Mengapa kamu takut melanggar aturan dalam dunia percintaan?" ucap Christian lagi.

"bukan aku yang aku takutkan, Chris. Tapi kamu.. Kamu adalah kebanggaan orangtua kita. Kamu adalah masa depan keluarga ini. Apa jadinya jika mama papa tahu tentang semua ini? Kamu akan kehilangan semuanya. Mereka juga akan kehilangan semuanya.." suaraku masih lemah.

"jika kehilangan semuanya, adalah harga yang harus aku bayar, untuk bisa bersama kamu, Khan. Aku rela. Karena kebahagiaanku adalah kamu, bukan semua kemewahan ini.." ucap Christian lugas.

"tapi tetap saja semua ini tidak mudah, Chris..." suaraku semakin lemah.

"perdebatan kita terlalu panjang, Khan. Dan kita tidak juga menemukan titik temu dari semuanya. Yang aku inginkan adalah kita mencobanya, tak peduli apa pun resikonya.." ucap Christian lugas lagi.

"maukah engaku berjanji, Chris. Tidak akan pernah meninggalkanku? Karena jika kita tetap nekat melanjutkan hubungan ini, kita harus bisa saling mengandalkan." ucapku, sambil mulai melangkah mendekat.

"aku akan berjanji apa pun untuk mu, Khan. Aku sangat mencintai kamu. Aku tidak akan pernah meninggalkan kamu. Kita akan saling menjaga. Kita akan selalu bersama.." balas Christian.

****

Aku berdiri tepat dihadapan Christian dengan perasaan penuh debaran di jantungku.

Aku tidak pernah sedekat ini dengan Christian. Wajahnya sungguh sangat mempesona. Dia sangat tampan.

Perlahan aku mengangkat tangan dan menyentuh pipi Christian dengan lembut. Aku mengelus wajah mulus tanpa jerawat itu.

Christian begitu indah. Sangat indah.

Christian menarik tanganku dan menenggelamkan tubuhnya ke dalam dekapanku.

"aku sayang kamu, Khan." bisiknya lembut.

Kepala Christian terbenam di dadaku. Aku memeluknya erat, seakan tak ingin melepaskannya.

Perlahan kembali mata kami saling bertemu. Wajah kami kian mendekat.

Aroma napas Christian begitu wangi tercium di hidungku. Aku menahan napas dan memejamkan mata.

Sesaat aku tersengal, tubuhku bergetar. Sebuah getaran yang indah.

Aku tidak ingin melewatkan malam itu.

Kami bersama mengarungi lautan lepas, menerobos hutan belantara. Terjun ke lembah penuh warna.

Tubuh kami diterpa angin pegunungan. Dingin namun terasa membakar.

Kami berjalan bersama, menuju puncak gunung tertinggi.

Sebuah tempat terindah yang di impikan semua orang.

Tempat dimana hanya ada aku dan Christian.

Kami tidak ingin saling mendahului. Kami ingin mencapai keindahan itu bersama-sama.

Kami berjalan beriringan, berusaha untuk saling menguatkan. Kami tak ingin terlepas.

Semuanya terasa indah. Sangat indah. Dan kami terbuai dengan keindahan itu.

Hingga kami pun sama-sama terhempas dalam guyuran air yang penuh keindahan.

Kami sama-sama tersenyum penuh kelegaan.

*****

Bersambung...

Mahasiswa ku yang tampan..

Aku pikir dengan menikah, petualanganku di dunia gay akan berakhir.

Aku pikir, aku akan bisa menjalani kehidupan sebagaimana layaknya seorang laki-laki.

Menjadi seorang suami dan juga menjadi seorang ayah.

Tapi ternyata aku salah.

Meski pun telah menikah, aku masih sering memikirkan sosok seorang laki-laki dalam hidupku.

Aku masih sering merasakan keinginan itu muncul dalam pikiranku.

Hingga akhirnya aku bertemu Lukas. Seorang laki-laki muda, yang memiliki wajah yang sangat tampan di mataku.

Aku jatuh cinta pada Lukas, sejak pertama kali melihatnya.

Aku bertemu dan kenal dengan Lukas, karena dia adalah salah seorang mahasiswa ku di kampus.

Bagaimanakah kisahku dengan Lukas terjalin?

Mungkinkah aku mampu menolak pesonanya?

Atau aku akan kembali terjerumus dalam dunia gay?

Simak kisah ini sampai selesai ya..

Namun sebelumnya bla..bla..

*****

Namaku Bastian, dan aku adalah seorang dosen di sebuah kampus yang cukup besar di kotaku.

Sebagai seorang dosen, aku memang punya banyak kenalan mahasiswa-mahasiswa muda.

Selama ini, aku menganggap mereka semua hanyalah sebagai muridku.

Aku memang punya masa lalu yang suram.

Dulu aku sering berpacaran dengan banyak pria, dan aku juga sering mengalami kisah cinta satu malam bersama beberapa pria.

Kesukaan ku terhadap pria, tumbuh sejak aku remaja.

Dan ha itu terus berlanjut hingga aku dewasa dan menjadi seorang dosen.

Demi menjaga nama baik dan juga untuk mempertahankan status ku sebagai seorang laki-laki, aku pun memutuskan untuk menikah, pada saat usiaku sudah mencapai 33 tahun.

Harapanku dengan menikah aku bisa terlepas dari semua perasaan suka ku terhadap kaum yang sejenis denganku.

Aku memang merasakan perubahan itu awalnya. Aku mulai belajar mencintai istriku, hingga kami sudah memiliki dua orang anak.

Pernikahanku yang sudah berjalan hampir lima tahun, cukup bahagia.

Istriku yang hanya ibu rumah tangga biasa, juga sangat menyayangiku dan anak-anak kami.

Kebutuhan bathinnya juga terpenuhi dengan baik olehku selama pernikahan kami.

Meski jujur saja, aku masih sering memikirkan seorang pria dalam hatiku.

Terutama saat aku melihat sosok pria yang tampan dan gagah. Jiwaku gay ku selalu meronta, meminta untuk di lepaskan.

Namun selama ini, aku selalu berusaha melawan semua rasa itu.

Aku berhasil awalnya, tapi sejak aku pertama kali melihat sosok Lukas, yang merupakan mahasiswa baru di kampus tempat aku mengajar.

Lukas adalah seorang mahasiswa pindahan, dia sudah semester empat sekarang.

Harus aku akui, kalau Lukas memang memiliki wajah yang sangat tampan, dengan postur tubuh yang terlihat sangat gagah.

Sekilas Lukas terlihat seperti seorang aktor tampan Indonesia, yang merupakan aktor favoritku.

Intinya, aku memang telah jatuh cinta kepada Lukas. Dan itu cukup menyiksa bathinku.

Sudah sangat lama aku tidak merasakan perasaan tersebut, setidaknya sejak aku memutuskan untuk menikah.

Dan sekarang, aku kembali merasakan indahnya jatuh cinta kepada seorang pria. Namun sayangnya, pria itu adalah salah seorang mahasiswaku.

****

Sejak aku jatuh cinta kepada Lukas, kehidupanku secara pribadi juga ikut berubah.

Aku jadi lebih memperhatikan penampilanku, aku semakin menjaga penampilanku.

Aku yang sudah lama tidak berolahraga, sekarang jadi kembali rajin berolahraga.

Aku bahkan mengikuti sebuah kelas fitnes di dekat rumahku.

Meski pun saat ini aku sudah berusia 38 tahun.

Jiwa mudaku kembali bergejolak. Aku selalu ingin tampil prima, terutama saat aku mengajar di kelas Lukas.

Aku ingin menarik perhatian Lukas.

Meski tentu saja, hingga saat ini, Lukas hanya menganggapku sebagai salah seorang dosennya.

Tapi aku tidak ingin menyerah. Dulu aku pernah berhasil merebut hati seorang pria, dengan perjuangan yang berat.

Dan aku berharap, kali ini aku juga akan berhasil mendapatkan hati seorang Lukas.

Aku sebenarnya tidak begitu mengenal Lukas. Aku hanya mengetahui namanya, dan juga umurnya, yang masih 20 tahun.

Namun demi mendapatkan cinta Lukas, aku pun mulai mencari-cari tentang kehidupan Lukas sehari-hari.

Mulai dari mencari tahu di mana dia tinggal, siapa keluarganya dan apa hobinya.

Dari informasi yang saya dapat, ternyata Lukas adalah anak seorang narapidana.

Ayahnya di penjara karena kasus korupsi, dan ibunya memilih untuk mengakhiri hidupnya karena malu.

Lukas sekarang hanya tinggal bersama salah seorang pamannya.

Karena itu juga ternyata Lukas pindah kuliah.

Lukas tidak berasal dari kota ini, dia berasal dari kota tetangga.

Sejak ayahnya ditahan, karena kasus korupsi dan ibunya yang akhirnya bunuh diri, Lukas diajak pamannya untuk pindah ke kota ini. Apa lagi ternyata Lukas adalah anak tunggal.

Paman Lukas sendiri, yang bernama Paman Deden, hanyalah seorang guru di sebuah sekolah swasta. Kehidupannya juga tidak terlalu baik, di tambah pula dia punya tiga orang anak yang harus dibiayainya.

Rumah paman Deden juga masih rumah kontrakan, yang cukup kecil.

Dan untuk biaya kuliahnya sendiri, serta untuk membantu keuangan pamannya, Lukas nyambi kerja sebagai seorang guru les.

Begitulah kehidupan Lukas yang aku ketahui dari sumber yang terpercaya.

****

Jarum jam terus berputar, hari-hari terus berjalan. Perasaanku kepada Lukas masih tetap sama.

Hingga hampir enam bulan, aku memendam perasaanku terhadap Lukas.

Sekarang aku sudah mulai dekat dengan Lukas. Aku yang berinisiatif untuk mendekatinya.

Berawal dari aku yang berpura-pura meminta bantuannya, untuk menjadi asistenku.

"tapi saya kan masih semester lima pak Bas. Masih banyak mahasiswa senior lainnya yang lebih baik dari saya.." begitu ucap Lukas, ketika aku menawarkan hal tersebut.

"saya tahu kamu anak yang pintar Lukas, dan saya juga tahu, kalau kamu juga seorang guru les. Jadi saya memilih kamu untuk jadi asisten saya, itu murni keinginan saya sendiri..." jelasku.

"kamu boleh memilih kok, mau tetap jadi guru les atau jadi asisten saya?" lanjutku lagi.

"saya bukannya mau menolak pak Bas. Tapi saya takut kalau saya tidak mampu, dan pak Bas pasti kecewa. Saya juga masih baru disini, pak." ucap Lukas lagi.

"saya sudah memilih kamu, itu artinya saya sudah yakin dengan kemampuan kamu.." balasku ringan.

Dan sejak itulah Lukas pun menjadi asisten ku.

Sejak itu pulalah aku dan Lukas jadi sering bertemu. Berbagai alasan yang aku buat, untuk bisa terus dekat dan bertemu dengan Lukas.

"terima kasih banyak, pak. Telah memberi saya kesempatan ini. Hal ini sangat membantu keuangan saya pak.." ucap Lukas suatu hari.

"kamu memang pantas mendapatkan ini, Lukas. Kamu anak yang pintar dan juga rajin. Saya suka cara kerja kamu.." balasku jujur.

Kian hari aku dan Lukas pun kian dekat. Kami tidak hanya berbicara soal pekerjaan, tapi juga berbicara tentang kehidupan pribadi kami.

"kamu masih sering mengunjungi ayah kamu di penjara?" tanyaku suatu saat.

Lukas menggeleng ringan.

"sampai saat ini, saya belum bisa memaafkan ayah saya pak Bas. Perbuatan ayah saya sudah mengubah segalanya. Dan saya merasa sakit bila mengingat itu semua.." ucap Lukas terdengar lirih.

Lukas memang sudah menceritakan semuanya padaku. Kami benar-benar sudah akrab.

****

"makasih ya pak Bas, untuk semuanya.." ucap Lukas pada suatu malam.

Malam itu aku memang meminta Lukas untuk datang ke rumahku. Aku memintanya untuk datang, untuk membantuku menyelesaikan perencanaan sebuah proyek.

Kami kerja dan ngobrol di ruang kerjaku. Ruang kerja itu memang sengaja aku buat di lantai dasar rumahku. Sementara kamar tidur utama kami ada di lantai atas.

"kamu gak perlu berterima kasih seperti itu, Lukas. Kamu juga sangat banyak membantu pekerjaanku.." ucapku akhirnya.

"tapi pak Bas sudah sangat baik padaku selama ini. Aku yang baru saja kehilangan sosok seorang ayah, sekarang seakan menemukan penggantinya. Selain keluarga pamanku, aku sudah tidak siapa-siapa lagi.." ucap Lukas selanjutnya.

"kamu anak yang hebat, Lukas. Kamu bisa kuat menghadapi itu semua." timpalku jujur.

"sebenarnya aku tidak sekuat itu, pak. Aku lemah. Aku lelah sebenarnya dengan hidup ini. Disaat yang hampir bersamaan, aku harus kehilangan kedua orangtuaku. Dan yang paling menyakitkan dari semua itu, aku kehilangan kedua orangtuaku dengan cara yang sangat memalukan."

"mungkin aku bisa kuat menerima semua kenyataan pahit itu, tapi aku tidak bisa kuat menanggung rasa malu ku. Aku malu punya ayah seorang koruptor, aku malu punya ibu yang berpikiran pendek. Aku malu, pak..." suara Lukas terdengar serak.

Terus terang aku memang sangat merasa perihatin mendengar semua keluhan Lukas, akan semua hal yang telah menimpa hidupnya.

"setiap orang pernah berbuat salah, Lukas. Tidak ada seorang pun yang suci di dunia ini. Aku mengerti bagaimana perasaan kamu. Tapi tidak seharusnya kamu menyimpan dendam terhadap ayahmu. Beliau berhak mendapatkan kesempatan untuk memperbaiki diri. Aku yakin, saat ini, beliau pasti sangat menyesali perbuatannya. Dan aku juga yakin, saat ini dia pasti ingin kamu datang mengunjunginya. Dia butuh dukungan kamu, Lukas.." ucapku panjang lebar.

"aku mungkin bisa memaafkan perbuatan ayahku yang memanipulasi uang perusahaan. Yang tidak bisa aku terima, akibat perbuatannya itu, aku juga harus kehilangan seorang ibu. Dan aku juga tidak bisa menerima tindakan bodoh ibuku yang memilih untuk mengakhiri hidupnya. Mereka berdua tak pernah benar-benar memikirkan perasaanku.." keluh Lukas lagi.

"aku butuh waktu, pak. Aku butuh waktu untuk bisa memaafkan semuanya. Semua itu terlalu berat bagiku.." lanjut Lukas terdengar semakin lirih.

Aku melangkah mendekat, aku duduk di samping Lukas, kemudian merangkul bahunya.

Lukas menyandarkan kepalanya di dadaku. Air matanya pun tumpah.

"selama ini aku selalu berusaha kuat, pak. Aku ingin tetap terlihat baik-baik saja. Meski aku merasa sangat rapuh.." Lukas berujar lagi di tengah isak tangisnya.

"kamu harus tetap kuat Lukas. Masa depan mu masih panjang. Kamu boleh membenci semua yang terjadi dalam hidupmu. Tapi kamu jangan membenci dirimu sendiri. Kamu manusia pilihan Lukas. Hanya manusia pilihanlah yang akan sanggup menghadapi itu semua.." ucapku mencoba meghibur.

Lukas semakin membenamkan wajahnya di dadaku. Tangannya pun turut melingkar di tubuhku.

Aku tergugah. Aku tahu, Lukas melakukan itu, karena dia menganggapku sebagai seorang ayah. Dia ingin menumpahkan segala kesedihannya yang dia pendam selama ini.

Aku pun membelai rambut Lukas dengan lembut. Aku ingin Lukas merasa nyaman bersamaku.

"aku akan selalu ada buat kamu, Lukas. Kamu tak perlu merasa bersedih lagi. Hidupmu harus tetap berjalan...." ucapku menghibur.

"terima kasih untuk semuanya, pak Bas. Aku tak tahu bagaimana membalas semua kebaikan bapak padaku selama ini.." ujar Lukas sambil melepaskan dekapannya. suaranya sudah mulai tenang kembali.

"kamu tidak perlu melakukan apapun untuk membalasnya, Lukas. Aku tulus membantu kamu..." balasku ringan.

Lukas mengusap air matanya sendiri, menarik napas beberapa kali, kemudian berusaha untuk tersenyum.

"maafkan aku, pak Bas. Tidak seharusnya aku seperti ini. Tapi selama ini aku hanya memendam semua kesedihanku sendiri. Sejak peristiwa tragis yang menimpa hidupku, semua orang menjauhiku. Aku kehilangan pegangan, aku tidak punya tempat mengadu. Dan sekarang pak Bas hadir dalam hidupku, yang membuatku jadi punya tempat untuk mencurahkan semuanya.." ucapnya kemudian.

"kamu tidak perlu merasa sungkan, Lukas. Sekarang tidak ada lagi jarak diantara kita. Jika kamu membutuhkan apapun, kamu tidak perlu merasa sungkan untuk menyampaikannya padaku.." balasku.

"aku ingin menyampaikan sesuatu pada pak Bas. Tapi aku takut pak Bas marah dan akan membenciku.." ucap Lukas tiba-tiba, setelah dia terdiam beberapa saat.

"kamu sampaikan saja, Lukas. Aku pasti tidak akan marah.." balasku cepat.

"aku... aku.. sayang sama pak Bas." ucap Lukas terbata.

"sejak peristiwa tragis yang menimpaku, aku merasa rapuh. Namun kehadiran pak Bas dalam hidupku, mampu membuatku merasa pulih kembali. Aku merasa nyaman. Aku seperti menemukan sosok yang aku butuhkan dalam diri pak Bas."

"kerapuhanku selama ini telah membuatku kehilangan semangat dan tidak punya tujuan. Tapi semenjak mengenal pak Bas, aku jadi punya semangat lagi, aku jadi merasa tujuan baru dalam hidupku. Aku sayang sama pak Bas. Aku... aku.. aku mungkin telah jatuh cinta pada pak Bas.." Lukas berkata sambil tertunduk.

"maafkan aku pak Bas. Tapi itulah yang aku rasakan saat ini. Aku membutuhkan pak Bas dalam hidupku, lebih dari seorang teman, lebih dari seorang ayah. Aku ingin menjadi bagian dari hidup pak Bas. Aku ingin dicintai. Aku butuh kasih sayang dari pak Bas. Bukan sekedar kasih sayang seorang ayah kepada anaknya. Tapi lebih kepada kasih sayang seorang kekasih..." Lukas melanjutkan kalimatnya, yang membuatku tertegun.

Sungguh tidak pernah aku sangka sama sekali, kalau Lukas akan berkata seperti itu.

"sekali lagi maafkan aku pak Bas. Dan tolong jangan membenci ku karena itu.." lanjut Lukas lagi.

Aku menarik napas sejenak, kemudian kutarik lagi tubuh Lukas ke dalam pelukanku.

"kamu tidak perlu minta maaf, Lukas. Kalau memang kamu ingin aku menjadi kekasihmu, aku siap. Aku siap menjalin apapun denganmu, Lukas. Aku juga sangat menyangi kamu. Aku... aku juga mencintai kamu, Lukas.." bisikku pelan.

Lukas tiba-tiba tengadah. Ia menatapku tajam.

"pak Bas serius?" tanyanya.

Aku hanya mengangguk ringan, sambil tersenyum.

Perlahan aku kecuk kening Lukas dengan lembut.

"aku sangat mencintai kamu, Lukas.." ucapku lagi.

Lukas semakin memelukku erat.

"aku juga sangat mencintai pak Bas..." ucapnya penuh perasaan.

****

Sejak malam itu, aku dan Lukas pun resmi menjalin hubungan asmara. Kami selalu bertemu secara diam-diam.

Cintaku kepada Lukas sangat besar. Aku tidak ingin melepaskannya.

Berbulan-bulan aku memendam perasaan cinta padanya. Dan saat ini dia sudah menjadi kekasihku.

Hubungan kami terjalin dengan indah. Lukas sangat penuh pengertian.

Dia tidak pernah menuntut apa pun padaku. Dia hanya ingin aku selalu ada untuknya, kapanpun dia membutuhkanku.

Agar pertemuan kami lebih leluasa, aku sengaja menyewakan sebuah apartemen untuk tempat Lukas tinggal, sekaligus untuk tempat kami memadu kasih.

Aku juga selalu berusaha membujuk Lukas, agar mau menjenguk ayahnya di penjara.

Namun Lukas masih bersikeras untuk tidak menjenguknya. Sepertinya Lukas masih membenci ayahnya.

"pak Bas adalah segalanya bagiku saat ini. Sebagai ayah, sahabat dan juga kekasih hatiku. Aku tidak butuh siapa-siapa lagi. Biarlah ayahku menanggung penderitaannya sendiri. Jika dia memang menyayangiku, dia pasti akan menemukanku nanti, jika dia masih punya kesempatan untuk keluar dari penjara." ucap Lukas, setiap kali aku berbicara tentang ayahnya.

"aku hanya berharap, pak Bas tidak akan pernah meninggalkanku, walau apapun yang akan terjadi.." ucap Lukas kemudian.

"aku tidak akan pernah meninggalkan kamu, Lukas. Aku sangat mencintai kamu. Tapi kamu sendiri juga tahu kalau status ku saat ini adalah seorang suami dan juga seorang ayah.." balasku pelan.

"aku tak peduli dengan status pak Bas. Selama pak Bas masih punya waktu untukku, aku sudah merasa bahagia.." ucap Lukas lagi.

Dan begitulah kisah cintaku bersama mahasiswaku yang tampan.

Semoga kisah sederhana ini, bisa memberi hiburan tersendiri bagi kalian semua.

Terima kasih..

****

Suami tetanggaku yang gagah

Namamya mas Toni, dan dia adalah tetanggaku di kampung.

Mas Toni sudah menikah dan sudah punya dua orang anak.

Cerpen sang penuai mimpi

Aku sebenarnya tidak begitu mengenal mas Toni, meski pun kami sudah bertetangga selama bertahun-tahun.

Aku sebenarnya kuliah di kota, dan hanya pulang bila musim liburan tiba.

Karena itu aku jadi tidak begitu mengenal mas Toni.

Pada suatu musim liburan, seperti biasa aku pulang ke kampung.

Suasana kampung ku memang selalu sunyi, siang hari orang-orang sibuk bekerja di kebunnya masing-masing yang berjarak cukup jauh dari perumahan penduduk.

Sementara kalau malam hari, orang-orang lebih memilih untuk berdiam diri di rumah karena merasa capek sehabis kerja seharian.

Pada suatu pagi, saat itu aku hanya sendirian di rumah. Ibu dan ayahku seperti biasa pergi ke kebun untuk bekerja. Sedangkan kedua adik-adikku sedang menikmati liburan mereka di rumah pamanku yang berada di kampung tetangga.

Saat itu tiba-tiba mas Toni datang ke rumahku. Dia hanya memakai celana pendek dan tidak memakai baju.

"saya hanya mau ngantar pompa sepeda, yang kemarin saya pinjam sama ayah kamu.." begitu alasan mas Toni, saat aku membuka pintu untuknya.

"maaf ya, saya pikir tadi hanya ayah kamu yang di rumah. Jadi saya berpakaian sedikit tidak sopan." lanjut mas Toni, melihat aku yang menatapnya.

"gak apa-apa mas Toni. Biasa aja kok." timpalku berusaha sesantai mungkin.

"kamu lagi libur kuliah ya?" tanya mas Toni berbasa-basi.

"iya nih mas. Jadi suntuk juga kalau lagi di kampung. Sepi." balasku ramah.

"emang orangtua kamu kemana?" tanya mas Toni lagi.

"biasalah mas Toni, rutinitas mereka kan memang ke kebun setiap hari, sedang adik-adikku sedang di rumah paman kami." jelasku.

"oh, jadi kamu sendirian aja nih di rumah?" ucap mas Toni lagi.

"iya nih bang. Karena itu aku jadi semakin suntuk." balasku ringan.

"mas Toni sendiri gak ke kebun?" tanyaku melanjutkan.

"saya lagi kurang enak badan. Jadi istri saya aja yang ke kebun. Sementara anak-anak sedang di rumah bibinya. Jadi saya juga sendirian di rumah." jawab mas Toni menjelaskan.

Selanjutnya mas Toni juga bercerita beberapa hal padaku, terutama tentang kejadian-kejadian yang terjadi di kampung kami.

Awalnya kami hanya ngobrol di teras rumahku, namun karena merasa tidak enak di lihat orang yang lewat, aku kemudian mengajak mas Toni ngobrol di ruang tamu kecil rumah kami.

Karena merasa suntuk, ngobrol dengan mas Toni, jadi cukup membuatku sedikit terhibur.

Saat berada di ruang tamu, mas Toni duduk di hadapanku. Aku dapat melihat dengan jelas, dada bidang mas Toni.

Mas Toni memang berkulit sedikit gelap, namun tubuhnya sangat kekar.

Wajah mas Toni juga lumayan tampan, meski sudah kelihatan sedikit tua.

Mas Toni mungkin sudah berusia kurang lebih 35 tahun.

"kamu kok melihat saya seperti itu?" tanya mas Toni, saat akhirnya dia menyadari kalau aku memperhatikannya diam-diam.

"mas Toni terlihat gagah." ucapku jujur dan terdengar polos.

Mas Toni terlihat tersenyum aneh, aku tidak mengerti arti dari senyumannya. Mungkin dia merasa bangga mendengar pujianku barusan.

Sejenak kemudian, tiba-tiba mas Toni berpindah duduk di sampingku.

"kamu suka gak?" tanyanya dengan suara menggoda.

"suka apa?" tanyaku balik, mulai merasa salah tingkah.

"katanya saya terlihat gagah. Suka gak sama saya?" mas Toni mengulang pertanyaannya.

"kalau suka benaran jelas gak lah mas. Mas Toni kan udah punya istri dan anak. Tapi kalau hanya buat senang-senang aja ayok. Aku mau." jawabku jujur.

Mas Toni pun tersenyum kembali mendengar ucapanku.

Sesaat kemudian aku pun mengajak mas Toni untuk msuk ke kmar ku.

Suasana pagi itu memang cukup dingin dan sepi. Hal itu justru membuatku jadi mudah terbawa suasana.

Apa lagi mas Toni memang cukup menarik secara fisik.

Pagi itu kami pun birsmbah kerngat melkukan sebuah pendkian.

Sebuah pendkian yyg indah.

Tak ku sangka ternyata mas Toni memiliki psang yang sngat jumbo.

Belum pernah aku melihat psang sebesar itu.

Dan aku menyukainya.

Segala rasa sepi dan rasa suntuk ku pagi itu, akhirnya terlepas dengan kehadiran mas Toni.

*****

"kamu sudah biasa ya melkukan hal tersebut?" tanya mas Toni, setelah kami selesai melaksanakan ronde pertama pagi itu.

"biasa sih gak. Tapi pernah beberapa kali dulu dengan pacarku. Setelah itu pacarku malah pergi meninggalkanku. Setelah dia dapat segalanya dariku. Karena itu aku jadi kecewa pada laki-laki. Jadi aku selalu melampiaskan kekecewaanku, dengan mengajak laki-laki yang aku suka untuk tdur bersmaku." jelasku jujur.

"jadi kita melakukannya atas dasar suka sama suka kan? Dan tidak ada ikatan apapun diantara kita?" tanya mas Toni lagi.

"Iya mas. Mas Toni tenang aja. Aku cukup tahu diri kok. Mas Toni kan udah punya istri dan anak. Jadi kita melakukannya hanya untuk bersenang-senang saja." jawabku yakin.

"jadi kapan-kapan bisa lagi dong?" mas Toni bertanya lagi.

"sekarang juga bisa lagi kok mas. Kan masih pagi. Masih panjang waktu kita." jawabku manja.

"kamu maniak juga ya." balas mas Toni.

"kalau psang mas Toni segede itu, ya aku bisa jadi maniak mas." ucapku dengan nada menggoda.

Aku memang masih menginginkan hal tersebut dari mas Toni. Selain karena karena bsar, mas Toni juga sangat berpengalaman.

Jarang-jarang aku bertemu laki-laki yang komplit seperti mas Toni.

Gagah, lumayan tampan dan gede.

Karena itu aku mulai memncing mas Toni kembali. Dan mas Toni juga tidak menolaknya.

Kami pun memlai pendkian kembli pagi itu, untuk yang kedua kalinya.

Dan begitulah kisah singkat ku bersama mas Toni sang tetanggaku yang gagah tersebut.

Hal itu masih sering kami lakukan, terutama saat aku pulang ke kampung.

Mas Toni mampu membuatku ketgihan. Dia berbeda dari kebanyakan laki-laki yang aku temui di kota.

****

Selesai..

Sahabatku ternyata seorang gay (part 1)

Namaku Indra. Saat ini aku masih duduk di kelas XI di sebuah SMA.

Aku punya seorang teman laki-laki bernama Eko. Dia satu kelas denganku dan juga satu bangku.

Cerpen gay sang penuai mimpi

Awalnya aku dan Eko tidak saling kenal. Saat tahun pertama SMA, bahkan kami tidak satu kelas.

Namun di tahun kedua, kami satu kelas dan satu bangku.

Karena hampir setiap hari bersama, aku dan Eko pun menjadi akrab.

Eko laki-laki yang baik, dia sering membantuku menyelesaikan berbagai tugas sekolah. Terutama tugas PR bahasa Inggris. Karena aku memang tidak terlalu suka dengan mata pelajaran yang satu itu.

Eko juga sering mentraktir ku makan di kantin, dan bahkan Eko juga sering mengajakku jalan-jalan keliling kota, tanpa tujuan yang jelas. Sekali-kali Eko juga mengajakku nonton di bioskop berdua.

Eko memang sangat baik padaku. Karena itu juga kami jadi cepat akrab.

Eko sering mengajakku main ke rumahnya.

Eko anak semata wayang dari seorang pengusaha kaya. Ibunya juga seorang wanita karir yang sukses.

Kehidupan Eko memang terbilang sangat mewah.

Sementara aku hanya anak seorang buruh bangunan. Aku juga masih punya dua orang adik yang masih kecil-kecil. Sebagai anak sulung dan satu-satunya laki-laki, aku memang harus lebih sering mengalah kepada adik-adikku, terutama soal keuangan.

Kadang aku merasa iri melihat kehidupan Eko yang bergelimang harta. Namun Eko begitu baik padaku. Dia juga bukan orang yang sombong dan tidak suka pamer.

Aku dan Eko memang sudah sangat dekat. Aku juga merasa sangat berhutang budi padanya, karena kebaikannya selama ini padaku.

Aku sering menghabis waktu bersama Eko. Aku bahkan sering mengabaikan pacarku, hanya demi menemani Eko.

Aku memang punya seorang pacar, namanya Nina. Dia satu sekolahan dengan ku tapi tidak satu kelas.

Aku dan Nina pacaran sudah hampir tiga tahun. Kami pacaran sejak kami masih sama-sama SMP.

Bagaimanakah akhirnya kisahku bersama Eko?

Siapakah Eko sebenarnya?

Dan bagaimana pula sebenarnya perasaanku pada Eko?

Simak kisah ini sampai selesai ya...

Namun sebelumnya ... bla...bla..

*****

Hari-hari terus berlalu, hingga sudah lebih dari setahun aku dan Eko bersahabat. Sekarang kami sudah duduk di tahun terakhir SMA.

Hubunganku dengan Nina, pacarku, masih baik-baik saja, meski aku lebih sering menghabiskan waktu bersama Eko.

Nina memang sedikit manja dan juga posesif. Orangnya suka ngambek gak jelas. Aku kadang juga merasa jenuh dengan hubungan kami yang terkesan datar tanpa warna.

Tapi aku sangat mencintai Nina. Aku sering mengalah untuknya. Dan aku bahagia bisa menjadi pacarnya hingg saat ini.

Namun akhirnya aku harus menelan sebuah kepahitan, ketika tiba-tiba Nina meminta putus dariku.

"aku ingin fokus belajar, Ndra. Apa lagi sekarang kita sudah memasuki semester terakhir. Aku harus mendapatkan nilai tinggi, agar aku bisa masuk ke kampus favoritku.." begitu alasan Nina mengakhiri hubungan kami.

Aku meski dengan perasaan sangat berat, harus menerima keputusan Nina tersebut. Aku tidak ingin mengganggu study nya. Aku harus merelakannya demi masa depannya.

Karena sudah tidak lagi berpacaran dengan Nina, aku jadi semakin punya banyak waktu bersama Eko.

Eko mampu menghiburku, akan kekecewaanku pada keputusan Nina.

Dan sebulan kemudian aku akhirnya mengetahui, kalau sebenarnya Nina memutuskan bukan karena ingin fokus belajar, tapi ternyata karena dia sudah berpacaran dengan anak SMA sebelah.

Aku semakin patah hati mengetahui hal tersebut. Tak ku sangka Nina tega mengkhianatiku selama ini.

Padahal kami sudah berpacaran selama bertahun-tahun.

Aku kecewa dan sakit. Aku mengurung diri di rumah. Aku tak ingin sekolah.

Dua hari aku tidak datang ke sekolah, tiba-tiba Eko datang mengunjungiku.

Sekali lagi ia coba menghiburku.

Aku berusaha bangkit dari kepatah hatianku.

aku harus bisa melupakan Nina. Perjalananku masih sangat panjang. Apa lagi kehadiran Eko sebagai sahabatku sangat membantu membuatku jadi lebih kuat.

****

Hari-hari masih terus berlalu. Sekarang tidak ada lagi Nina. benar-benar tidak ada. Aku berusaha untuk tidak mengingatnya.

Saat di sekolah, aku selalu menghindar untuk bertemu dengan Nina. Meski Nina juga tidak berusaha untuk menemuiku lagi.

Aku menghabiskan waktu bersama Eko hampir 24 jam. Hanya saat jam tidur saja aku kembali ke rumahku.

Hingga suatu pagi, kebetulan malam itu aku menginap di rumah Eko, atas permintaan Eko tentunya.

Pagi itu aku terbangun. Aku tak melihat Eko di kamar. Karena merasa sedikit suntuk, aku mencoba membuka lemari buku milik Eko di kamarnya.

Saat aku menemukan sebuah buku harian milik Eko di dalam lemari tersebut.

Aku jadi tertarik untuk membacanya. Tumben ada cowok pakai buku diary, pikirku.

Karena penasaran, aku pun mulai membuka lembaran buku itu satu persatu.

Dan aku tertegun saat membacanya.

Di buku harian itu, tertulis dengan jelas bagaimana perasaan Eko padaku selama ini.

Ternyata dia diam-diam mencintaiku. Dan semua yang dia lakukan selama ini padaku selama ini, adalah karena ia sangat mencintaiku.

Aku merasa bergidik tiba-tiba. Tak ku sangka sama sekali kalau Eko ternyata seorang laki-laki penyuka sesama jenis. Dan yang paling membuat aku merasa jijik, ia ternyata menyukaiku.

Dengan tergesa, aku segera keluar dari kamar itu, membiarkan buku diary itu berada di tempat tidur. Aku memang sengaja melakukannya, agar Eko tahu, kalau aku sudah tahu tentang perasaannya padaku.

Aku bahkan sengaja menulis sebuah memo untuknya.

'maafkan aku, Ndra. Aku tidak bisa menjadi kekasihmu, seperti yang kamu harapkan. Aku hanya bisa jadi sahabatmu, dan sekarang aku tidak bisa bersahabat denganmu, setelah aku tahu semuanya..'

Begitu kira-kira pesan yang aku tinggalkan untuk Eko.

Aku pergi dari rumah Eko tanpa pamit pada siapapun.

****

Sejak saat itu, aku pun mulai menjaga jarak dari Eko. Aku tidak lagi bertegur sapa dengannya, aku bahkan memutuskan untuk pindah tempat duduk.

Aku merasa geli dan jijik harus dekat-dekat dengan Eko lagi.

Meski pun terus terang, aku merasa sangat kehilangan sosok Eko. Aku merasa kesepian.

Selama ini Eko selalu ada untukku. Dia selalu bisa menghiburku. Dia selalu membantuku dalam banyak hal. Hidupku menjadi berwarna, dengan kehadiran Eko.

Sekarang semua itu tiada lagi. Dan aku merasa kehilangan. Tapi aku juga tidak mungkin terus bersahabat dengan orang yang diam-diam menginginkanku.

Aku mencoba menjalani hari-hariku sendiri. Tanpa Nina, dan tanpa Eko.

Meski pun terasa berat, namun aku harus melaluinya. Menjalani kehidupanku sendiri, dengan perasaan penuh kesepian.

Ujian akhir tinggal beberapa minggu lagi, dan itu sangat menyiksaku. Aku ingin buru-buru lulus dari sini. Terlalu menyakitkan rasanya berada di sekolah ini.

Nina, yang sudah berpacaran denganku selama bertahun-tahun telah mengkhianatiku dan dia sudah bahagia dengan pacar barunya sekarang.

Eko, yang sudah aku anggap sebagai sahabat terbaikku, sekarang justru membuat aku tak nyaman berada di dekatnya.

Ah, aku benci mereka berdua saat ini...

*****

Setahun akhirnya berlalu, aku sudah lulus dari SMA. Sekarang aku bekerja di sebuah supermarket, sebagai pelayan tentunya.

Aku tidak kuliah, aku tidak bisa kuliah karena orangtuaku tidak sanggup membiayai kuliahku.

Apa lagi, adik kedua ku sekarang sudah SMA dan adik bungsu ku juga sudah SMP, jadi mereka berdua butuh biaya banyak.

Dan untuk kesekian kalinya, aku harus mengalah kepada adik-adikku.

Setahun ini, aku sudah melupakan tentang Nina. Aku benar-benar sudah move on darinya.

Aku juga sudah melupakan tentang Eko. Aku tidak ingin mengingat mereka berdua lagi.

Aku memulai hidupku yang baru, tanpa kekasih dan tanpa sosok seorang sahabat.

Setahun aku coba menata hatiku, menata hidupku dan menata perasaanku kembali.

Aku telah melupakan masa lalu ku dan memaafkan semua yang telah terjadi.

Aku sekarang adalah Indra yang baru. Meski sampai saat ini, aku belum bisa menemukan pengganti Nina. Aku biarkan hatiku kosong, tanpa di huni siapa pun.

"Indra?!" sebuah suara mengagetkanku tiba-tiba, saat aku sedang menyusun barang-barang di etalase supermarket tempat aku bekerja.

Aku memutar kepala menatap kearah suara tersebut.

Jantungku berdegup tiba-tiba saat melihat Eko sudah berdiri di sampingku.

"Eko.." sapaku ringan, berusaha bersikap sesantai mungkin.

"kamu kerja disini sekarang?" tanya Eko kemudian.

Aku hanya mengangguk ringan menjawab pertanyaan tersebut.

Entah apa yang aku rasakan saat itu. Sebagai seseorang yang pernah bersahabat, tentu saja aku merasa senang bisa bertemu Eko kembali. Namun sesaat aku mengingat kembali tentang siapa Eko sebenarnya, yang membuatku jadi ingin segera berlalu dari situ.

Tapi Eko masih berdiri di situ. Dia sepertinya berniat untuk mengajakku untuk berbincang lebih lanjut.

"kamu ngapain kesini?" tanyaku tanpa sadar.

"ini tempat umum, Ndra. Siapa saja bisa berada di sini kan?" jawab Eko santai.

Aku terdiam kembali, dalam hatiku membenarkan ucapan Eko barusan, dan aku merasa bodoh dengan pertanyaanku sendiri.

"apa kabar kamu, Ndra?" tanya Eko selanjutnya.

"saya baik, Ko. Kamu sendiri apa kabar?" balasku dengan sedikit kaku.

"saya masih seperti yang dulu, Ndra.." jawab Eko dengan sedikit menekan suaranya.

Aku mengerti arah kalimat Eko barusan, karena itu aku ingin segera mengakhiri pembicaraan tersebut.

"maaf, Ko. Aku harus lanjut kerja lagi.." ucapku akhirnya.

"oh, iya.. aku lanjut belanja.." balas Eko tiba-tiba terdengar kaku.

Eko pun segera berlalu dari hadapanku. Aku menarik napas lega.

Setelah setahun tak pernah bertemu Eko dan aku bahkan tidak pernah tahu kabar tentangnya, aku masih merasa tidak nyaman berada di dekatnya.

Aku tak menyangka akan bertemu Eko kembali. Semoga saja itu adalah pertemuan terakhir kami.

Ya, semoga saja..

*****

Bersambung ...

Sahabatku ternyata seorang gay (part 2)

"kamu kenal orang itu?" suara mas Anton, salah seorang senior ku di tempat kerja, menanyaiku ketika Eko sudah berlalu dari hadapanku.

"dia teman SMA ku dulu.." jawabku apa adanya.

Cerpen gay sang penuai mimpi

"kamu benaran gak tahu siapa dia sebenarnya?" tanya mas Anton lagi, yang membuatku jadi penasaran.

"maksud mas Anton apa? Emang laki-laki tadi siapa sebenarnya?" tanyaku penasaran.

Mungkinkah mas Anton juga tahu, kalau Eko adalah seorang penyuka sesama jenis? Bathinku penuh keraguan.

"laki-laki itu adalah anak pemilik supermarket ini, dan dia sekarang adalah manager baru disini... " jelas mas Anton, yang membuatku merasa terhenyak.

"tapi bukannya dia masih kuliah?" tanyaku setengah tak percaya.

"dia kan anak pemilik supermarket ini, Ndra. Jadi bisa saja kan dia kerja sambil kuliah..?" balas mas Anton yakin.

Aku menjadi serba salah.

Kalau Eko adalah manager di supermarket ini, maka sudah di pastikan kami akan semakin sering bertemu.

Oh, aku merasa gamang tiba-tiba. Aku pasti tidak akan bisa menghindari Eko.

Namun aku tidak bisa berbuat apa-apa saat ini. Selain pasrah..

Dan bagaimanakah kelanjutan kisahku bersama Eko?

Mungkinkah Eko akan berhasil merebut hatiku?

Atau justru dia tidak lagi punya perasaan apa-apa padaku?

Simak kisah ini sampai selesai ya..

Jangan lupa untuk menyaksikan kisah sebelumnya di channel ini, atau bisa langsung klik link nya di deskripsi video ini.

Dan jangan lupa untuk bla...bla...

*****

Hari-hari kembali berlalu, tanpa bisa dicegah atau pun di pacu.

Dan seperti yang aku duga, aku jadi hampir setiap hari bertemu Eko. Walau aku selalu berusaha untuk menghindar.

"kenapa kamu masih menghindariku, Ndra?" tanya Eko pada suatu kesempatan, saat itu jam istirahatku. Eko mendatangiku.

"aku gak menghindar, Ko. Aku hanya merasa tidak enak kalau harus selalu ngobrol sama kamu. Aku kan kerja, dan kamu juga manager disini.." jelasku beralasan.

"iya, aku tahu. Tapi sangat terlihat sekali kalau kamu menghindariku, Ndra. Aku tahu, kalau kamu jijik melihatku. Tapi apa aku salah, bila jatuh cinta sama kamu? Aku juga tidak ingin seperti ini, Ndra. Namun aku juga tidak ingin membohongi perasaanku sendiri, kalau aku mencintai kamu, bahkan hingga saat ini.." ucap Eko panjang lebar.

"apa sebegitu bencinya kamu sama aku, Ndra?" tanya Eko melanjutkan.

Aku menatapnya sekilas. Raut wajah Eko terlihat muram.

"aku gak membenci kamu, Ko. Tapi jujur saja, aku merasa tidak nyaman saat bersama kamu. Aku harap kamu juga bisa mengerti posisiku.." ucapku akhirnya.

"aku hanya ingin tetap menjadi sahabat kamu, Ndra. Aku tak berharap bisa memiliki kamu sebagai kekasih. Tapi izinkan aku untuk tetap mencintai kamu, dan izinkan aku untuk menjadi sahabat kamu. Aku janji, aku akan selalu menjaga sikapku terhadap kamu.." Eko berucap lagi, yang membuatku merasa tersentuh.

Sebenarnya tidak ada yang salah dengan persahabatan kami. Dan Eko juga selalu memperlakukanku dengan wajar, selama kami bersahabat.

Kalau seandainya saja aku tidak dengan begitu lancang membaca buku hariannya, tentu saja kami masih bersahabat hingga saat ini.

Eko juga sangat baik padaku. Selama menjadi sahabatnya, tak pernah sekali pun Eko membuat aku kecewa. Dia selalu ada untuk menghiburku. Dia selalu membantuku.

Kadang aku merasa menyesal, telah memutuskan persahabatanku dengan Eko. Tapi apa arti persahabatan itu, bila ada cinta yang tumbuh di dalamnya.

Aku tidak mungkin bisa bertahan, sementara aku tahu, kalau Eko sangat menginginkanku.

Kalau saja, kami tidak sejenis, mungkin ceritanya akan berbeda.

****

Hari-hari selanjutnya, aku mulai menanggapi kehadiran Eko. Aku berusaha menganggapnya sebagai seorang teman. Meski itu terasa sulit bagiku.

"maafkan aku, Ndra. Seandainya saja aku bisa membatasi perasaanku padamu, dan hanya menganggap kamu sebagai sahabat, tentu saja semua ini tidak perlu terjadi.." ucap Eko, ketika kami ngobrol di kantin dalam supermarket tersebut. Eko yang mengajakku makan di sana.

"aku yang harusnya minta maaf, Ko. Tak seharusnya aku membaca buku harian kamu. Seandainya saja aku bisa sedikit menahan diri untuk tidak terlalu penasaran membaca diary kamu, tentu saja sampai saat ini kita masih bersahabat..." balasku terdengar lemah.

"kita bisa memulainya lagi dari awal, Ndra. Aku tidak akan menuntut apapun dari kamu. Selama kita tetap bersahabat, aku tidak akan macam-macam. Dan aku juga akan belajar, untuk pelan-pelan membuang perasaanku padamu." ucap Eko kemudian.

"aku akan mencari pasanganku sendiri, yang tentu saja punya selera yang sama denganku. Dan kamu bebas untuk pacaran dengan wanita mana pun yang kamu inginkan. Ndra.." lanjut Eko lagi.

"kamu yakin, Ko? Dengan keputusan kamu?" balasku bertanya.

"iya, aku yakin. Bagiku hubungan persahabatan itu, jauh lebih indah dari hubungan apapun.." timpal Eko mantap.

Aku berusaha menerima semua itu. Menjadi sahabat Eko bukanlah hal yang buruk. Selama ia tetap bisa menjaga perasaannya padaku. 

Dan lagi pula, saat ini Eko adalah manager tempat aku bekerja. Aku jelas tidak bisa menghindarinya.

Akan aku biarkan semuanya mengalir apa adanya. Jika Eko bisa menepati janjinya, untuk tidak mengharapkan apa-apa dariku, aku rasa tidaklah akan terlalu menjadi masalah.

Mungkin memang harus seperti ini. Aku punya seorang sahabat yang ternyata adalah seorang gay. Dan aku harus menerima kehadirannya sebagai sahabatku.

****

Hari-hari kembali berlalu. Aku dan Eko kembali menjalin persahabatan.

Beberapa bulan kemudian, Eko pun memperkenalkan seorang teman cowoknya, bernama Leo, yang dia akui sebagai pacarnya, padaku.

Aku juga saat ini sedang dekat dengan seorang gadis salah satu rekan kerjaku. Namanya Lisa. Dia gadis yang cantik, manis dan juga lembut.

Aku memang telah jatuh pada Lisa, dan sepertinya Lisa juga menyukaiku.

Aku pun memberanikan diri untuk mengungkapkan perasaanku pada Lisa. Gayung pun bersambut, Lisa menerima cintaku.

Aku dan Lisa pun menjalin hubungan asmara.

Sementara Eko terlihat semakin lengket dengan pacar pria-nya. Dia mungkin telah mampu menghapus perasaannya padaku.

Tapi kami tetap bersahabat. Kami sering saling curhat-curhatan tentang pasangan kami masing-masing.

Dan begitulah, akhir dari kisahku bersama Eko, sahabatku yang ternyata adalah penyuka sesama jenis.

Tidak ada yang istimewa sebenarnya dari kisah kami. Namun yang aku simpulkan adalah, bahwa persahabatan itu sangat penting, terlepas dari siapa pun yang menjadi sahabat kita.

Terlepas dari dia seorang gay atau bukan. Persahabatan tetaplah sesuatu yang indah, selama tidak ada perasaan cinta di dalamnya.

Dan aku bangga memiliki sahabat seperti Eko. Dia sangat mengerti dengan diriku. Dan dia juga tidak egois dengan tetap memaksakan perasaannya padaku.

Dia rela membunuh cintanya padaku, demi persahabatan kami.

Dan aku tidak ingin kehilangan sahabat seperti Eko.

Semoga persahabatan kami tetap terjalin selamanya....

Ya, semoga saja...

*****

Sekian ..

Cari Blog Ini

Layanan

Translate