Lelaki penjaga villa

Panggil aku Andi, dan ini adalah kisahku.

Aku seorang anak tunggal dari pasangan seorang pengusaha kaya dan seorang wanita karir.

Kehidupanku memang terbilang cukup mewah dan serba berkecukupan.

Tinggal di rumah gedongan dan punya mobil mewah pribadi, hadiah ulang tahun ke 20 dari papaku.

 

Lelaki penjaga villa

Mama dan papa memang cukup memanjakanku, meski sebenarnya aku tidak terlalu menyukai hal tersebut.

Sebagai seseorang yang mulai beranjak dewasa, aku butuh yang namanya kebebasan.

Dan  dibalik kehidupanku yang serba wah tersebut, aku punya suatu rahasia.

Rahasia yang selama ini hanya aku pendam sendiri.

Sampai akhirnya aku bertemu dengan Arkan.

Arkan adalah seorang laki-laki sempurna di mataku. Wajahnya tampan dengan postur tubuh yang atletis.

Sejak pertama kali bertemu dan berkenalan dengan Arkan, aku sudah jatuh hati padanya.

Gayung pun bersambut, Arkan juga ternyata seorang yang sakit sepertiku. Dan dia juga tertarik padaku.

Kami pun akhirnya menjalin hubungan asmara secara diam-diam.

Arkan adalah salah seorang karyawan di perusahaan papaku.

Usianya sudah mendekati kepala tiga.

Sejak berpacaran dengan Arkan, aku jadi punya tujuan hidup.

Aku sangat menyayangi Arkan, hingga aku rela melakukan apa saja untuknya.

Aku ingin selalu membuat Arkan merasa bahagia dan nyaman saat bersamaku.

Aku bahkan sering memberi Arkan hadiah-hadiah mewah, tentu saja dari uang jajan yang di jatahkan papa untukku.

Bahkan barang-barang mewah yang aku hadiahkan untuk Arkan, harganya bisa mencapai jutaan rupiah, bahkan melebihi dari gaji Arkan sebulan.

Segala pengorbananku itu, aku lakukan hanya untuk membuktikan bahwa betapa aku sangat mencintai Arkan.

"motorku sekarang sudah sering mogok-mogok, Ndi. Kayaknya aku butuh motor baru deh.." ucap Arkan suatu malam, saat kami bertemu di sebuah kamar hotel.

"sabar ya, bang. Nanti aku coba minta uang sama papa. Kalau dapat, aku belikan bang Arkan motor baru ya.." balasku manja.

"gak usah, Ndi. Aku cuma sekedar pengen cerita, kok. Gak ada maksud apa-apa.." Arkan berujar lagi.

"gak apa-apa, bang. Yang penting bang Arkan bahagia. Aku pasti akan rela melakukan apa pun demi abang.." balasku lagi.

"kalau memang kamu bersikeras, ya apa boleh buat, Ndi. Tapi aku gak minta loh.." ucap Arkan, sambil ia meraih jemariku lembut.

Aku tahu, Arkan tidak meminta secara langsung hal tersbebut. Tapi aku juga tahu, kalau Arkan sangat ingin aku membelikannya motor baru.

Dan aku tidak merasa keberatan, selama hal itu bisa membuat Arkan bahagia.

*****

Waktu terus berputar, dan sudah lebih dari setahun aku dan Arkan berpacaran.

Sudah sangat banyak juga pengorbanan yang aku lakukan untuk Arkan.

Namun akhirnya semua itu hanyalah sebuah pengorbanan yang sia-sia.

Aku akhirnya mengetahui, kalau ternyata diam-diam Arkan juga menjalin hubungan dengan seorang wanita.

Mereka pacaran bahkan sudah hampir setahun.

Selama ini, Arkan ternyata hanya memanfaatkanku, untuk menguras uangku.

Aku sangat kecewa mengetahui hal tersebut.

Tidak pernah aku sangka sebelumnya, kalau Arkan tega menipuku.

Ia hanya berpura-pura mencintaiku, untuk mendapatkan hadiah-hadiah mewah dariku.

Aku terhempas kecewa. Untuk pertama kalinya aku merasakan indahnya berpacaran, justru semua harus berakhir dengan luka yang sangat dalam.

Beberapa hari aku hanya mengurung diri di kamar. Aku kehilangan gairah.

Tak mudah bagiku untuk melupakan Arkan. Cintaku padanya sudah terlalu amat dalam.

"Andi pengen pergi liburan, Ma.." ujarku kepada mama, saat kami makan malam.

"liburan? bukannya sekarang belum musim liburan, Ndi?" tanya mama.

"Andi lagi suntuk dikota, Ma. Andi pengen sekedar menenangkan pikiran, kok. Boleh ya ma..?" pintaku sedikit memohon.

Aku memang berencana untuk pergi beberapa hari dari kota ini. Aku tidak ingin terus berada di sini. terlalu banyak kenangan yang terjadi disini.

Aku berharap, dengan pergi liburan beberapa hari, aku bisa belajar untuk melupakan Arkan.

"kalau kamu memang ingin menenangkan pikiran, mama cuma kasih izin sama kamu, untuk liburan di villa kita yang berada di puncak.." mama berucap juga akhirnya.

Sebenarnya aku ingin pergi liburan ke tempat yang belum pernah aku kunjungi sama sekali.

Tapi aku tahu mama, jika ia sudah berkata demikian, maka tidak akan ada yang bisa mengubah keputusannya.

Jadi lebih baik aku setuju saja dengan permintaan mama tersebut. Setidaknya itu jauh lebih baik, dari pada aku terus berasa di sini.

"mama akan telpon mas Gandhi, untuk mengabari kalau kamu akan kesana.." ucap mama lagi, setelah aku menyetujui permintaannya.

"mas Gandhi siapa, ma?" tanyaku penasaran.

"mas Gandhi yang menjaga villa kita disana, ia penjaga baru.." jawab mama, sambil mulai memainkan handphone-nya.

Aku gak tahu, kalau penjaga villa kami sudah diganti.

Dulu penjaga villa kami bernama pak Udin, seorang laki-laki tua.

Tapi memang sudah lebih dari tiga tahun, aku tidak pernah ikut mama dan papa pergi liburan ke villa kami tersebut.

*****

Aku menyetir mobilku sendiri, menuju puncak tempat villa kami berada.

Setelah menempuh perjalanan kurang lebih tujuh jam, aku akhirnya sampai ketujuan.

Lebih dari tiga tahun, aku tidak pernah lagi datang kesini.

Suasananya masih sama seperti dulu. Sepi, sejuk dan terasa nyaman.

Saat aku keluar dari mobil, seorang laki-laki paroh baya menghampiriku.

"mas Andi, ya?" tanya laki-laki tersebut.

"iya, mas. Dan mas, pasti mas Gandhi ya?" balasku ringan.

Laki-laki tersebut bertubuh sedikit jangkung. Kulitnya sawo matang.

Matanya coklat, dengan hidung yang sedikit mancung. Rahangnya terlihat kokoh.

Mas Gandhi terlihat kekar dan gagah. Ia jauh lebih muda dari yang aku bayangkan.

Meski tidak terlalu tampan, namun wajah mas Gandhi tidak membosankan untuk dilihat.

Mas Gandhi kemudian membantuku membawa barang bawaanku masuk ke dalam villa.

"mas Gandhi tinggal di sini?" tanyaku. ketika sudah berada di dalam.

"gak, mas. Tapi rumahku gak jauh kok dari sini. Nanti kalau mas Andi ada perlu apa-apa panggil aja saya.." balas mas Gandhi terdengar sangat sopan.

"mas Gandhi udah nikah?" tanyaku lagi, sekedar ingin tahu.

"udah, mas. Saya malah udah punya dua anak.." jawab mas Gandhi.

"kalau boleh tahu, mas Gandhi usia berapa sekarang?" aku bertanya kembali.

"udah 33 tahun, mas." jawab mas Gandhi.

Aku kemudian hanya manggut-manggut. Padahal menurutku mas Gandhi masih kelihatan seperti baru berusia 25 tahun.

"kalau gak ada lagi yang ditanyakan, saya permisi, mas.." ucap mas Gandhi kemudian.

Aku merenung sejenak. Awalnya aku memang pengen sendirian, dan tak ingin diganggu oleh apa pun dan oleh siapa pun.

Namun dari awal melihat mas Gandhi tadi, aku tiba-tiba berubah pikiran.

Mas Gandhi cukup menarik secara fisik. Meski aku tahu ia sudah menikah dan sudah punya anak.

Tapi gak salahnya, kalau aku meminta mas Gandhi untuk menemaniku, meski hanya sekedar untuk teman ngobrol.

"mas Gandhi sibuk gak?" tanyaku akhirnya.

"emang kenapa, mas?" mas Gandhi balik bertanya.

"saya lagi butuh teman buat ngobrol, kalau mas Gandhi mau kita ngobrol-ngobrol disini dulu ya.." ucapku meminta.

"kalau mas Andi yang minta seperti itu, saya mana berani menolak, mas. Mama mas udah pesan tadi, agar saya bisa memenuhi apa pun permintaan mas Andi selama disini.." balas mas Gandhi.

"ya udah, kita ngobrol di belakang aja ya, lebih adem kayaknya.." ujarku, sambil mulai melangkan menuju bagian belakang villa tersebut.

Di bagian belakang villa, memang terdapat semacam teras tempat duduk-duduk dengan pemandangan alam yang indah.

*****

"seperti yang mas Gandhi katakan tadi, kalau mama meminta mas untuk memenuhi apa pun permintaan saya selama disini, itu artinya saya boleh meminta beberapa hal pada mas Gandhi?" aku berujar setelah kami duduk di teras belakang villa.

"iya, mas. Selagi saya mampu, pasti saya penuhi, kok.." balas mas Gandhi.

"ada beberapa permintaan saya sama mas Gandhi.." ucapku pelan.

"permintaan apa, mas?" tanya mas Gandhi cepat.

"pertama, saya pengen mas Gandhi jangan memanggil saya pakai mas, cukup Andi saja.." ujarku sedatar mungkin.

"baik, mas. eh... Ndi.." jawab mas Gandhi terdengar kaku.

"anggap saja saya ini temannya mas Gandhi, atau anggap adik juga boleh.." ucapku mulai santai.

Bertemu dengan mas Gandhi, membuatku jadi sedikit bisa melupakan tentang Arkan.

Rasa sakit itu terasa mulai berkurang, apa lagi mas Gandhi sangat asyik untuk diajak ngobrol.

"kedua, saya ingin mas Gandhi menemani saya tidur malam ini. Karena saya merasa takut harus tidur sendirian di villa ini.." aku berucap lagi, sambil melirik mas Gandhi yang duduk tak jauh di sampingku.

"baik, Ndi. Berarti malam ini saya harus tidur di sini?" balas mas Gandhi sedikit bertanya, seperti meyakinkan dirinya sendiri.

"bukan hanya tidur disini saja, tapi juga mas Gandhi harus tidur seranjang dengan saya.." ucapku lagi.

"tapi, Ndi. Saya.. saya.. " suara mas Gandhi terbata.

"udah.. mas Gandhi ikuti saja perintah saya. Saya gak bakal gigit, kok. Paling gigit-gigit dikit aja.." ujarku dengan nada sedikit bercanda.

"ah, kamu bisa aja, Ndi. Tapi emang gak apa-apa, saya tidur seranjang sama kamu? Saya tidur di bawah aja gak apa-apa. Atau di ruang tengah juga gak apa-apa.." balas mas Gandhi terdengar mulai akrab.

"pokoknya, saya pengen mas Gandhi tidur seranjang dengan saya malam ini..." ucapku berusaha tegas.

Kali ini mas Gandhi hanya terdiam, kemudian mengangguk pelan.

*****

Malam pun datang, mas Gandhi muncul kembali ke villa, setelah ia pamit pulang sebentar untuk memberi tahu keluarganya, sekaligus membawakan makan malam untuk kami.

Setelah mandi dan makan malam, saya langsung mengajak mas Gandhi untuk masuk ke kamar.

"saya lumayan capek, mas. Jadi mau langsung istirahat aja.." ucapku ringan.

Mas Gandhi yang masih kelihatan sungkan, mengikutiku masuk ke dalam kamar tersebut.

Sesampai di dalam, aku langsung merebahkan tubuhku di atas ranjang yang empuk tersebut.

"kamu mau saya pijit gak?" tanya mas Gandhi tiba-tiba, saat ia mulai duduk di sisi ranjang.

"mas Gandhi bisa mijit?" tanyaku.

"dikit-dikit bisa lah, mas.." jawab mas Gandhi mantap.

"ya udah, saya senang malah kalau ada yang mau mijat.." aku berujar, sambil mulai bangkit untuk melepaskan sebagian pakaianku.

Dengan hanya memakai celana pendek, aku mulai tengkurap di ranjang. Sesuai dengan instruksi mas Gandhi.

Mas Gandhi pun mulai memijat bagian kakiku. Pijatannya terasa enak dengan tekanan yang pas.

Aku merasa nyaman dan rileks. Pikiranku jadi terasa lebih ringan.

Mas Gandhi benar-benar pandai memijat. Setiap pijatannya di tubuhku membuatku semakin terasa nyaman.

Sentuhan-sentuhannya benar-benar terasa, bukan seperti tukang pijat abal-abal yang banyak aku temukan di kota.

"makasih ya, mas Gandhi.." ucapku pelan, ketika mas Gandhi mengakhiri pijatannya.

"iya, Ndi. Sama-sama. Sekarang udah rileks kan?" balas mas Gandhi sedikit bertanya.

"udah, mas. Udah enakan rasanya badanku.." balasku.

Mas Gandhi kemudian berbaring di sampingku. Tubuh kami hampir berdempetan.

"saya mau cerita sesuatu sama mas Gandhi. Tapi mas Gandhi jangan kaget, ya. Dan jangan ceritakan hal ini pada siapa pun.." ucapku kemudian.

Aku memang berniat untuk bercerita tentang Arkan kepada mas Gandhi. Aku mungkin memang butuh tempat untuk berbagi cerita.

Aku berharap, dengan meluahkan semua perasaanku tentang Arkan bisa sedikit mengurangi rasa sakit dihatiku.

Setidaknya dengan begitu, bebanku akan menjadi sedikit berkurang.

"cerita aja, Ndi. Saya siap kok mendengarkannya.." balas mas Gandhi.

Aku menatap mas Gandhi beberapa saat, sekedar meyakinkan diriku sendiri, kalau mas Gandhi adalah orang yang tepat untukku berbagi cerita. Apa lagi ini sebuah cerita rahasia.

Setelah merasa cukup yakin, aku pun memulai ceritaku.

Aku melihat reaksi keterkejutan pada wajah mas Gandhi, saat aku mengatakan kalau aku adalah seorang gay.

Tapi aku coba mengabaikan hal tersebut, dan memilih untuk tetap melanjutkan ceritaku.

*****

Pada malam kedua aku di villa tersebut, aku masih meminta mas Gandhi untuk menemaniku tidur.

Meski aku tahu, mas Gandhi mulai risih untuk dekat-dekat denganku, setelah mengetahui siapa aku sebenarnya.

Namun aku tahu, mas Gandhi tidak akan bisa menolak permintaanku.

"saya suka sama mas Gandhi.." ucapku nekat.

Aku memang menyukai sosok mas Gandhi. Bukan saja karena ia sangat menarik secara fisik.

Tapi terlebih, saat ini hatiku benar-benar sedang rapuh. Kekecewaanku terhadap Arkan, membuatku lebih rentan untuk tertarik pada laki-laki lain.

Apa lagi mas Gandhi memang sosok yang menarik.

Kehampaan dan kekosongan hatiku telah membuat kehadiran mas Gandhi menjadi istimewa bagiku.

"tapi saya bukan gay, Ndi. Saya juga sudah menikah dan punya anak.." balas mas Gandhi akhirnya.

"iya, aku tahu, mas. Tapi ketertarikanku pada mas Gandhi sudah tidak bisa aku sembunyikan lagi. Aku menginginkan mas Gandhi malam ini.." ucapku membalas.

"bagaimana kalau saya gak mau, Ndi?" tanya mas Gandhi kemudian.

"itu hak mas gandhi. Saya hanya mencoba untuk jujur, mas. Meski saya tahu, saya akan menelan kepahitan untuk yang kedua kalinya.." balasku terdengar lemah.

"mungkin sudah nasib saya seperti ini, mas. Punya pacar, tapi hanya dimanfaatkan. Menyukai seseorang, tapi malah ditolak.." lanjutku masih dengan nada lemah.

Mas Gandhi menatapku beberapa saat, kemudian berujar ..

"saya... saya... saya... hanya tidak tahu.. harus ngapain, mas.." suara mas Gandhi terbata.

"mas gak harus ngapa-ngapain, kok. Dan mas juga gak harus memaksakan diri.." balasku ringan.

"saya.. saya juga penasaran sih sebenarnya, Ndi. Bagaimana rasanya melakukan hal tersebut dengan seorang laki-laki.." suara mas Gandhi sedikit parau.

"mas yakin mau mencobanya?" tanyaku, sambil menatap wajah mas Gandhi.

"kalau itu bisa membuat kamu merasa senang dan bahagia, Ndi. Saya mau mencobanya.." balas mas Gandhi.

Aku tak melepaskan tatapan dari wajah yang tiba-tiba saja terlihat sangat tampan dimataku malam itu.

Aku tahu, mas Gandhi bersedia melakukan hal tersebut denganku, bukan hanya karena rasa penasarannya, tapi juga karena rasa kasihannya melihatku.

"ya udah, mas. Kalau gitu kita coba ya.." ucapku akhirnya.

Aku tak ingin menyia-nyiakan kesempatan tersebut, terlepas dari apa pun alasan mas Gandhi untuk melakukannya.

Dan malam itu, untuk pertama kalinya dalam hidupku melakukan hal tersebut dengan seorang laki-laki normal dan sudah menikah.

Ada banyak perbedaan yang aku rasakan malam itu. Ada banyak perubahan yang aku rasakan malam itu.

Segala bayangan tentang Arkan tiba-tiba memudar. Hatiku tiba-tiba merasa lega.

Rasa sakit karena ditipu oleh Arkan, telah terganti dengan rasa indah yang diberikan mas Gandhi.

Tidak sia-sia aku datang ke villa ini. Bukan saja aku akhirnya berhasil melupakan Arkan, tapi aku juga mendapatkan sebuah sensasi keindahan yang luar biasa.

Meski aku cukup menyadari, bahwa keindahan yang aku rasakan dari mas Gandhi bisa saja hanya bersifat sementara.

Tapi paling tidak sekarang aku punya tujuan baru dalam hidupku.

Ya, mas Gandhi telah mampu merasuki jiwa dan pikiranku. Aku semakin terlena dengan buaian cintaku kepada mas Gandhi, si penjaga villa tersebut.

*****

Malam-malam selanjutnya aku dan mas Gandhi semakin sering melakukannya.

Mas Gandhi tidak lagi merasa canggung saat bersamaku. Ia sepertinya juga turut larut dalam keindahan cinta yang aku curahkan untuknya.

Sampai seminggu kemudian, mama pun memintaku untuk segera pulang.

Dengan perasaan berat harus berpisah dengan mas Gandhi aku pun kembali ke kota.

Aku kembali ke kota, dengan perasaan yang berbeda.

Aku punya semangat baru. Aku punya tujuan baru. Dan aku punya cinta baru di hatiku.

Segala hal tentang Arkan kini telah berlalu. Ia hanyalah sepenggal cerita pilu di masa laluku.

Kini aku akan memulai hidupku yang baru.

Aku sekarang juga punya rutinitas baru, yakni mengunjungi mas Gandhi di setiap sabtu sore.

Aku menginap dan tidur bersama mas Gandhi setiap malam minggu, dan sore minggu aku baru kembali ke kota.

Aku tak tahu, entah sampai kapan hubungan terlarangku dengan mas Gandhi akan terus berjalan.

Namun selama mas Gandhi bersedia untuk menerima kehadiranku, maka aku akan selalu setia mengunjunginya.

"aku mulai menyukai kamu, Ndi. Aku berharap hubungan kita tetap bertahan selamanya.." begitu ucapan mas Gandhi suatu malam padaku.

Ucapan yang membuatku kian berbunga. Yang membuatku kian mencintai sosok mas Gandhi.

Aku hanya berharap, semoga mas Gandhi tidak cuma untuk memanfaatkanku. Seperti Arkan dulu.

Semoga ia benar-benar mencintaiku, meski aku harus berbagi dengan istrinya.

Semoga hubungan kami tetap bertahan selamanya...

Ya, semoga saja...

******

Sekian ...

Pamanku yang tampan ...

Namaku Ridho. Dan aku berasal dari sebuah desa yang cukup jauh dari kota.

Aku lahir, tumbuh dan besar di desa, hingga aku lulus SMA.

Sang Penuai mimpi

Saat kuliah, atas permintaan kedua orangtuaku, aku akhirnya harus tinggal di kota.

Di kota aku tinggal bersama pamanku yang masih lajang.

Pamanku namanya Benny Saputra, tapi aku biasa memanggilnya paman Ben.

Paman Ben dan ibuku adalah saudara sepupu.

Paman Ben sudah bekerja di kota menjadi seorang dosen, sejak lima tahun yang lalu.

Paman Ben sudah berusia 33 tahun saat ini.

Namun ia belum juga menikah.

Paman Ben sudah punya rumah sendiri di kota, meski masih dalam masa kredit.

Rumah paman Ben cukup sederhana, hanya ada dua kamar tidur dan satu kamar mandi serta ada dapur kecil dan ruang tamu di bagian depannya.

Aku sendiri adalah anak sulung dari tiga bersaudara. Kedua adikku perempuan. Keduanya masih sekolah di desa. Yang satu masih SD dan yang satu lagi masih SMP.

Paman Ben sendiri adalah anak bungsu dari lima bersaudara.

Semua kakak-kakak paman Ben sudah menikah dan sudah punya rumah sendiri di desa.

Sementara kedua orangtua paman Ben sudah lama meninggal.

Paman Ben masih sering pulang ke desa, untuk menjenguk kakak-kakaknya.

Paman Ben memang sejak kuliah sudah biasa tinggal sendirian di kota.

Karena itu juga, ayah dan ibuku mempercayakan aku tinggal bersama paman Ben.

"paling tidak bisa untuk mengurangi biaya sewa kost.." begitu ucap ibu beralasan.

Ya, karena aku tinggal bersama paman Ben, ayah dan ibu tidak perlu lagi mengeluarkan uang untuk membayar kost.

Paman Ben sendiri sangat senang aku tinggal bersamanya.

"saya jadi punya teman di rumah..." ucap paman Ben, ketika ibu menawarkan aku tinggal bersamanya.

Paman Ben juga tidak meminta bayaran apapun kepada kami, bahkan paman Ben bersedia membantu biaya makan dan juga biaya kuliahku.

"mumpung saya masih lajang, sih. Tapi nanti kalau saya udah nikah, mungkin saya tidak bisa membantu terlalu banyak lagi..." ucap paman Ben terdengar santai.

"terima kasih ya, Ben. Saya titip Ridho, ya.." pesan Ibu, ketika pertama kali melepaskan kepergianku bersama paman Ben.

Paman Ben memang juga sudah punya mobil sendiri.

Kehidupan paman Ben secara ekonomi memang sudah sangat mapan. Saya gak tahu, kenapa paman Ben belum juga menikah, meski usianya sudah cukup matang.

Aku dan paman Ben sebenarnya tidak begitu dekat, namun aku mengenal beliau sudah sejak kecil.

Secara fisik paman Ben sebenarnya sangat menarik.

Wajahnya diatas rata-rata. Hidungnya mancung, bibirnya terlihat seksi dan memerah, karena setahu saya paman Ben tidak merokok.

Matanya terlihat indah, ditambah pula dengan sebuah belahan tipis ditengah-tengah dagunya, yang membuat ia sangat manis, terutama saat ia tersenyum.

Tubuhnya kekar dan berotot. Benar-benar tipe laki-laki sempurna.

Hal ini justru menimbulkan tanda tanya besar dalam benakku. Kenapa paman Ben masih betah melajang?

Bukankah seharusnya, dengan semua kelebihannya tersebut, sangat mudah baginya untuk mencari calon istri.

Dan inilah kisahku bersama paman Ben.

******

Hari pertama..

Setelah menempuh perjalanan lebih kurang lima jam naik mobil bersama paman Ben, akhirnya kami sampai ke rumah paman Ben di kota.

Rumah paman Ben berada tidak jauh dari kampus tempat aku kuliah dan juga tempat paman Ben jadi dosen.

"kalau naik mobil, paling hanya sekitar sepuluh menit kita udah sampai ke kampus.." jelas paman Ben, ketika aku mempertanyakan hal tersebut.

Aku memang belum pernah ke rumah paman Ben sebelumnya. Dan bahkan aku sebenarnya sangat jarang ke kota.

Bukan saja karena jaraknya yang jauh, tapi juga karena aku tidak punya kendaraan dan juga jarang punya uang yang banyak.

Berada di kota rasanya berbeda. Terlalu bising dan cukup panas.

Paman Ben segera mengajakku masuk ke rumahnya.

"ini kamar kamu.." ucap paman Ben, sambil membuka pintu kamar bagian belakang, yang berada di samping kamarnya.

"semua perabotannya sudah lengkap.." lanjutnya. Lalu kemudian mempersilahkan aku masuk.

Aku membawa tas ransel tempat pakaianku masuk. Kamar itu cukup luas, apa lagi jika harus di bandingkan dengan kamarku di kampung.

"kamu istirahat aja dulu, ya. Habis mandi nanti kita makan malam. Saya udah pesan makanan secara online.." paman Ben berucap lagi, sambil melangkah keluar menuju kamarnya.

Hari memang sudah mulai gelap. Kami berangkat sekitar jam dua siang tadi dari desa.

Saat aku berniat hendak mandi, aku kembali bersirobok dengan paman Ben, yang ternyata juga pengen mandi.

"sayangnya kamar mandi hanya ada satu. Jadi kita harus antri ya, kalau mau mandi." ucap paman Ben.

"atau kamu mau mandi bareng?!" paman Ben melanjutkan, dengan diakhiri sebuah tawa ringan.

Aku tersenyum kecil mendengar kelakar ringan paman Ben barusan.

Sebagai seseorang yang belum merasa begitu dekat, aku tidak bisa membalas ucapan bernada canda tersebut.

"kamu duluan aja.." suara paman Ben terdengar lagi, melihat aku hanya tersenyum tipis.

"paman aja yang duluan.." tawarku membalas.

"udah kamu aja duluan.." balas paman Ben bersikeras.

Karena merasa malas berdebat dengan paman Ben, aku pun akhirnya melangkah memasuki kamar mandi kecil tersebut.

Sebenarnya aku tidak begitu biasa mandi di dalam kamar mandi.

Di desa aku lebih suka mandi di kali. Selain karena airnya yang lebih jernih dan dingin, kami juga sebenarnya belum punya kamar mandi.

Namun sepertinya mulai sekarang, aku harus terbiasa mandi di kamar mandi.

******

Hari kedua ...

Ini adalah hari pertama aku ke kampus.

Sebenarnya paman Ben sudah mengurus semua keperluanku untuk kuliah, termasuk mendaftarkanku secara online.

"nanti kalau ada yang coba ganggu kamu di kampus, bilang aja kalau kamu ponaannya bapak Benny Saputra.." ucap paman Ben, ketika aku hendak turun dari mobil.

Aku hanya mengangguk. Aku tak berharap akan ada yang menggangguku.

Tapi jika dengan hanya menyebut nama paman Ben, bisa melepaskanku dari masalah, tak ada salahnya aku mencobanya.

Namun karena ini adalah tahun ajaran baru, tentu saja aku bukan satu-satunya mahasiswa baru di kampus ini.

Aku mulai berkenalan dengan beberapa orang mahasiswa baru tersebut. Ada beberapa orang dari mereka yang juga berasal dari kampung.

Untuk selanjutnya, kami para mahasiswa baru, mulai menghadapi beberapa orang mahasiswa senior di kampus tersebut.

Tentu saja dengan rutinitas tahunan yang biasa dilakukan oleh para senior.

Kami para mahasiswa baru harus menghadapi berbagai pertanyaan dan juga tantangan dari para senior tersebut.

Hingga jam kuliah pun berakhir. Paman Ben ternyata sudah menungguku di parkiran.

Paman Ben segera memacu mobilnya menuju rumah.

"kamu udah makan siang?" tanya paman Ben di perjalanan.

"belum sempat paman. Tadi banyak sekali kegiatannya.." balasku dengan suara lelah.

"kalau gitu kita mampir di warung makan dulu ya.." ucap paman Ben.

Tak lama kemudian, mobil kami pun berbelok menuju salah satu rumah makan yang ada di pinggiran jalan menuju arah rumah paman Ben tersebut.

Sehabis makan siang, kami pun segera pulang ke rumah.

Sesampai di rumah aku langsung menuju kamarku untuk tertidur. Aku merasa lelah dan sangat mengantuk.

Kulihat paman Ben juga melakukan hal yang sama.

*****

Hari kesepuluh ...

Masa orientasi telah usai. Kini kami mulai mengikuti mata kuliah.

Aku dan paman Ben juga semakin dekat dan akrab.

Paman Ben sangat baik padaku. Dia benar-benar menganggap aku seperti adik kandungnya sendiri.

Karena jarak usia kami yang tidak terlalu jauh, dan juga paman Ben masih kelihatan muda, membuat kami jadi lebih nyambung ketika bercerita.

"paman Ben kenapa belum nikah?" tanyaku suatu malam memberanikan diri.

Saat itu kami ngobrol sambil menonton TV di ruang tengah.

Paman menatapku sekilas, kemudian ia berucap,

"karena saya sebenarnya tidak suka sama perempuan.." suara paman Ben datar.

Namun mampu membuatku merasa begitu kaget.

Aku kaget bukan saja karena mendengar kalimatnya, tapi juga karena keberaniannya untuk jujur padaku.

"maksudnya paman Ben seorang gay?" tanyaku sekedar meyakinkan.

Paman Ben hanya mengangguk.

"kenapa? Kamu jijik ya mendengarnya?" tanyanya kemudian.

Aku terdiam sesaat, sambil memikirkan jawaban yang tepat.

"saya... saya... saya juga sebenarnya seorang gay, paman.." ucapku terbata.

Kalau paman Ben berani untuk jujur, kenapa saya harus menyembunyikan siapa saya yang sebenarnya?

Setidaknya dengan begitu, kami bisa lebih saling terbuka.

"kamu serius?" tanya paman Ben, keningnya berkerut.

"iya, paman. Tapi saya belum pernah pacaran sama sekali. Walau saya sudah beberapa kali jatuh cinta sama laki-laki. Namun selama ini, saya hanya memendamnya.." jawabku mulai berani.

"kamu suka gak sama yang tua seperti saya ini?" paman Ben bertanya lagi.

"suka, sih. Tapi paman kan paman saya. Jadi kita gak mungkin kan menjalin hubungan?" jawabku setengah bertanya.

"kenapa tidak? kalau memang kita saling tertarik, bisa saja kan? Lagi pula hubungan kekeluargaan kita sebenarnya tidak terlalu dekat kan?" balas paman Ben.

Benar sih sebenarnya apa yang diucapkan paman Ben. Paman Ben hanya saudara sepupu jauh ibuku.

Tapi....

"apa paman Ben juga sama saya?" tanyaku akhirnya.

"sebenarnya sudah sangat lama saya suka sama kamu, Dho. Makanya ketika ibu kamu ingin kamu tinggal bersama saya, saya merasa sangat senang."

"setidaknya saya merasa punya kesempatan untuk bisa dekat sama kamu.." balas paman Ben terdengar jujur.

"saya juga suka sama paman Ben.." ucapku berusaha tegas.

"kalau gitu, kita pacaran ya?!" tawar paman Ben kemudian.

Oh, aku merasa bahagia mendengar semua itu. Paman Ben yang tampan akhirnya bisa aku miliki.

Aku juga penasaran sih sebenarnya, bagaimana rasanya punya pacar seorang laki-laki.

"kalau paman Ben mau, saya juga mau, paman.." ucapku dengan nada riang.

"oke. Jadi mulai malam ini, kita tidur sekamar aja ya.." tawar paman Ben lagi.

"tapi saya belum pernah melakukan hal tersebut, paman. Saya masih merasa takut.." ujarku kemudian.

"udah.. kamu tenang aja, yang penting kita nikmati saja semuanya.." balas paman Ben ringan.

"paman Ben sudah sering ya tidur sama laki-laki?" tanyaku ingin tahu.

"sering sih gak. Tapi pernah sih beberapa kali. Saya juga pernah pacaran hingga bertahun-tahun. Tapi semua hubungan cintaku selalu kandas.." jawab paman Ben, terdengar parau.

*****

Hari berlalu, bulan berganti. Sudah lebih dari setahun aku dan paman Ben menjalin hubungan asmara.

Kami bahagia melewati hari-hari bersama.

Tiada hari yang kami lewati tanpa kebersamaan.

Semuanya terasa indah. Bahkan terlalu indah bagiku.

Namun sebagaimana kebanyakan kisah cinta para kaum gay, hubungan kami juga tidak bertahan lebih lama dari yang kami harapkan.

Kami berpisah bukan karena kami tidak lagi saling cinta.

Tapi karena paman ben akhirnya memilih untuk menikah dengan seorang perempuan rekan kerjanya.

Aku sendiri sebenarnya tidak masalah jika paman Ben menikah. Aku bersedia tetap menjalin hubungan dengannya, meski secara diam-diam.

"saya takut, saya tidak bisa membagi waktu dengan baik, Dho. Saya juga takut, kalau hubungan kita diketahui oleh istriku. Jadi lebih baik kita akhiri saja semua ini."

"lagi pula kamu masih sangat muda, Dho. Perjalanan kamu masih panjang..."

begitu alasan paman Ben, untuk mengakhiri kisah kami.

Aku kecewa sebenarnya. Tapi paman Ben benar. Apa lagi paman Ben juga sudah cukup tua. Mungkin sudah saatnya ia menjadi laki-laki yang seutuhnya.

Menikah, punya anak dan menjadi kepala rumah tangga.

Aku masih tinggal di rumah paman Ben. Tapi tentu saja, tidak lagi satu kamar dengan paman Ben.

Karena sekarang, paman Ben sudah punya istri yang menemaninya tidur.

Kisahku bersama paman Ben, adalah sebuah kisah cinta yang indah.

Paman Ben adalah pacar pertamaku, meski ia bukan cinta pertamaku.

Sakit sih sebenarnya melihat paman Ben bersama istrinya. Tapi aku harus bisa ikhlas.

Aku kadang lebih sering tidak berada di rumah.

Aku juga pernah mengajukan pindah kepada ibu. Tapi tentu saja ibu tidak setuju.

Dan aku tidak punya alasan yang kuat, untuk pindah dari rumah paman Ben.

Untuk itu, aku berusaha sekuat mungkin menahan perasaanku.

Untuk itu juga, aku mulai mencari cinta lain di luar sana.

Semoga saja, aku segera bisa menemukan pengganti paman Ben.

Ya, semoga saja...

******

Sekian...

Guru les private-ku

Namaku Andri Marto Saputra. Biasa dipanggil Aan.

Sekarang aku masih duduk di kelas 12. Aku sekolah di sebuah sekolah negeri yang cukup populer di kota tempat aku tinggal.

Sekolah tersebut termasuk salah satu sekolah favorit. Untuk bisa masuk kesitu, setidaknya kita harus punya nilai yang tinggi dan prestasi yang menonjol.

Sang penuai mimpi

 

Atau seperti saya, bisa masuk kesana, karena kebetulan kepala sekolahnya merupakan sahabat lama papaku.

Aku tidak pintar dan tidak juga punya prestasi yang menonjol. Namun papaku merupakan salah seorang yang cukup berpengaruh di kota.

Jadi aku masuk sekolah tersebut, bukan karena lulus tes. Tapi karena papaku yang berusaha keras agar aku bisa diterima disana, meski daya otakku hanya pas-pasan.

Dari tahun pertama sampai tahun kedua, aku selalu rangking terakhir di kelasku. Meski aku sudah berusaha untuk belajar melebihi kemampuanku.

Hingga pada tahun terakhir ini, papa akhirnya mendatangkan seorang guru les pribadi untukku.

"papa ingin kamu jadi anak yang pintar, An." begitu ucap papa, ketika aku coba protes.

Dan aku dengan sangat terpaksa harus menerima tambahan belajar di rumah, yang membuatku jadi hampir tidak punya waktu untuk bermain.

Aku diharuskan les private setiap tiga kali seminggu, yakni setiap sore selasa, kamis dan sabtu.

Meski dengan ogah-ogahan awalnya, aku mencoba menuruti keinginan papa dan mama.

Namun ketika hari pertama guru les private-ku datang, aku cukup terkesan.

Ya, karena ternyata guru les ku tersebut, adalah seorang laki-laki muda yang sangat tampan dan terlihat atletis.

"Asrul.." begitu guru les tersebut menyebut namanya ketika kami berkenalan.

"Andri, pak.." balasku sambil tersenyum.

"panggil bang Asrul aja, ya. Saya masih 27 tahun, kok." guru tersebut berucap lagi.

Bang Asrul memang masih kelihatan muda. Wajahnya bersih terawat. Tubuhnya tegap dan kekar.

Terus terang aku mulai menyukai bang Asrul, setidaknya secara fisik dia sangat menarik.

"bang Asrul udah nikah?" tanyaku, di sela-sela pembelajaran kami.

"baru sekitar enam bulan yang lalu saya menikah, sekarang istri saya sedang hamil muda.." jelas bang Asrul.

"jadi selain ngajar les seperti ini, bang Asrul kerja apa?" aku bertanya lagi.

"saya seorang guru di sebuah sekolah swasta.." jawab bang Asrul.

Dan aku terkesan. Sosok bang Asrul mulai memenuhi dunia khayalku.

Aku mulai berimajinasi tentang bang Asrul. Dia benar-benar telah menyita perhatianku.

Hari-hari selanjutnya aku jadi semakin semangat mengikuti les bersama bang Asrul.

Bukan karena aku menyukai pelajaran yang diberikannya, tapi karena aku merasa bahagia bisa dekat-dekat dengan bang Asrul.

Menatap wajahnya yang tampan, tubuhnya yang kekar dan mendengar suaranya yang maskulin.

Oh, aku jatuh cinta pada bang Asrul. Dan aku merasa bahagia dengan semua itu.

Namun aku menyadari, bahwa cintaku hanya bertepuk sebelah tangan.

Biar bagaimana pun, bang Asrul jelas seorang laki-laki normal. Dia sudah menikah dan akan segera punya anak.

Karena itu aku hanya bisa memendam perasaanku, setidaknya sampai aku punya kesempatan dan keberanian untuk mengungkapkannya.

******

Papa dan mama merupakan orang yang super sibuk, mereka lebih sering menghabiskan waktu di luar untuk bekerja, dari pada berada di rumah.

Papa dan mama pulang selalu hampir larut malam.

Aku di rumah hanya ditemani beberapa orang pembantu.

Ketika bang Asrul datang untuk memberi les padaku, aku sengaja mengajaknya belajar di kamar.

Setidaknya dengan begitu, aku merasa lebih leluasa menikmati indahnya pemandangan wajah tampan bang Asrul.

"kamu kanapa sering menatap saya seperti itu?" tanya bang Asrul suatu sore, ketika ia mengakhiri pembelajarannya.

"bang Asrul sangat tampan.." ucapku tanpa sadar. Aku kemudian buru-buru menunduk, karena merasa malu sudah keceplosan berbicara.

"kalau saya tampan, emang kenapa?" bang Asrul bertanya, nada suaranya seakan memancing kejujuranku.

"saya jadi suka sama bang Asrul.." jawabku cukup nekat. Aku sudah terlanjur mengungkapkan kekagumanku kepada bang Asrul, mungkin sudah saatnya aku untuk jujur tentang perasaanku.

"maksudnya?" tanya bang Asrul, keningnya berkerut.

Saya beranikan diri untuk menatap kembali wajah tampan itu.

"saya.. saya mungkin sudah jatuh cinta pada bang Asrul.." ucapku terbata.

"kamu jatuh cinta sama saya?! Kok bisa?!" suara bang Asrul sedikit meninggi.

"saya juga gak tahu kenapa saya bisa jatuh cinta pada bang Asrul. Namun yang pasti hal itulah yang saya rasakan saat ini.." jawabku semakin berani.

"kamu gay?" bang Asrul bertanya lagi.

"mungkin, bang. Dulu ketika SMP saya juga jatuh cinta sama salah seorang guru laki-laki saya. Tapi saya hanya bisa memendamnya. Dan ketika pertama kali saya melihat bang Asrul, saya kembali merasakan perasaan itu.." ceritaku.

"tapi saya belum pernah pacaran loh, bang. Apa lagi sama laki-laki. Jika jatuh cinta pada seorang laki-laki bisa disebut sebagai gay. Maka iya, saya gay, bang.." lanjutku, dengan suara sedikit bergetar.

"ini gak boleh terjadi, An. Kamu gak boleh jatuh cinta sama saya. Itu sebuah kesalahan.." ucap bang Asrul pelan.

"iya. Saya tahu, bang. Tapi ini sudah terjadi, dan saya tidak bisa menghindarinya.." balas saya lebih pelan.

Kali ini bang Asrul terdiam.

Kemudian ia segera membenahi buku-bukunya, lalu kemudian pergi tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

*****

"saya punya penawaran buat kamu, An." ucap bang Asrul, ketika akhirnya ia datang lagi untuk memberiku les, setelah dua kali pertemuan ia tak datang, sejak aku mengungkapkan perasaanku padanya.

"penawaran apa?" tanyaku tanpa semangat.

Sejujurnya sejak kepergian bang Asrul dan ketidakdatangannya selama dua kali pertemuan, membuatku kehilangan gairah.

Aku merasa patah dan kecewa.

"saya akan memberi kamu kesempatan untuk menjalin hubungan denganku, namun ada syarat yang harus kamu penuhi.." bang Asrul berucap kembali.

"syarat? syarat apa?" tanyaku penasaran.

"jika pada ujian semester ini, kamu bisa masuk lima besar, saya bersedia jadi pacar kamu.." suara bang Asrul terdengar cukup tegas.

"lima besar? ya jelas gak bisa lah, bang. Selama ini saya selalu rangking terakhir loh.." balasku cepat.

"makanya kamu belajar lebih giat lagi, An. Dan lagi pula kamu serius kan suka sama saya?" ucap bang Asrul.

"iya. Saya serius, bang. Tapi syaratnya terlalu berat, saya pasti gak bisa.." jawabku.

"terserah kamu, sih. Kalau kamu memang benar-benar menginginkan saya, kamu harus bisa membuktikannya.." bang Asrul berucap tegas lagi.

Aku merenung sejenak. Memikirkan tawaran dari bang Asrul.

Terus terang aku memang sangat mencintai bang Asrul dan sangat berharap bisa berpacaran dengannya.

Tapi untuk bisa memenuhi syarat yang di berikannya, jelas hal terasa sangat mustahil bagiku.

"gak ada yang gak mungkin, An. Asal kamu percaya dan mau berusaha lebih keras lagi, kamu pasti bisa, kok.." suara bang Asrul mengagetkanku, ia seolah-olah bisa membaca jalan pikiranku.

Aku menarik napas berat seketika. Mungkin bang Asrul, aku memang harus berusaha lebih keras lagi.

Setidaknya dengan begitu, aku sudah berusaha untuk membuktikan kepada bang Asrul, bahwa betapa aku sangat menginginkannya.

"jadi gimana? Kamu bersedia kan, menerima tawaran dari saya?" suara bang Asrul terdengar lagi.

"kalau memang itu sudah menjadi syarat dari bang Asrul, saya akan berusaha semampu saya, bang. Tapi tentu saja, saya juga ingin bang Asrul lebih rutin lagi memberi saya les." jawabku ringan.

"iya, An. Saya juga akan berusaha untuk memberikan yang terbaik buat kamu.." ucap bang Asrul.

****

Sejak perjanjian tersebut, aku jadi semakin sering menghabiskan waktu untuk belajar. Aku harus bisa membuktikan kepada bang Asrul, kalau aku benar-benar mencintainya.

Aku jadi semakin fokus pada setiap pelajaran yang diberikan oleh bang Asrul. Aku tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini.

Bang Asrul terlalu tampan, terlalu gagah. Aku terlalu mencintainya. Ia terlalu sempurna untuk tidak dimiliki.

"jika saysa nantinya bisa memenuhi syarat dari bang Asrul, bang Asrul yakin bisa menyukai saya, karena setahu saya bang Asrul kan bukan seorang gay?" tanyaku suatu sore, di sela-sela les kami.

"kamu tenang aja. Saya bukan orang yang suka ingkar janji. Kamu fokus aja belajar, dan buktikan pada saya hal tersebut." balas bang Asrul.

Hasil-hasil dari ulangan harian saya, sebenarnya sudah mulai meningkat. Tapi tentu saja, aku masih harus belajar lebih giat lagi, untuk mendapatkan hasil yang optimal.

Kadang ada rasa ingin menyerah, namun setiap kali membayangkan wajah tampan bang Asrul, segala rasa lelah dan perasaan ingin menyerah tersebut segera kutepis.

Aku harus bisa mendapatkan bang Asrul, meski aku harus mengorbankan waktu bermainku.

Papa dan mama juga mulai terlihat bangga melihat semangat belajarku.

Bang Asrul juga selalu memberikan support yang lebih padaku.

Aku tak tahu pasti, kenapa bang Asrul begitu ingin aku bisa memenuhi syarat darinya.

Jika ia tak menyukaiku, seharusnya ia justru melakukan hal sebaliknya.

Tapi untuk saat ini, aku tak perlu memikirkan hal tersebut. Aku harus fokus belajar.

*****

Berbulan-bulan berlalu, hingga akhirnya masa ujian semester pun tiba.

Tak seperti biasanya, kali ini aku menghadapi ujian semester dengan perasaan campur aduk dan hati yang berdebar-debar hebat.

Ada banyak hal yang harus aku perjuangkan disini.

Pertama, aku harus bisa membuktikan kepada papa dan mama bahwa aku juga bisa berprestasi.

Kedua, aku juga tidak ingin waktu yang telah aku habiskan hanya untuk belajar menjadi sia-sia, jika hasilnya tidak memuaskan.

Dan yang paling terpenting, ini adalah kesempatanku untuk bisa memiliki bang Asrul, guru les private-ku yang tampan tersebut.

Ujian pun berakhir, tibalah saatnya untuk pembagian hasil nilai raport semester ini.

Dadaku bergemuruh saat membuka isi raport tersebut.

Untuk peringkat satu, dua dan tiga sudah pasti bukan saya, karena sudah diumumkan di depan kelas tadi.

Sekarang hanya tersisa dua peringkat yang aku harapkan, yakni peringkat empat atau peringkat lima.

Dan aku kecewa, karena ternyata aku hanya berhasil berada diperingkat sembilan.

Meski sebenarnya itu jauh lebih baik dari hasil-hasil ujianku di tahun-tahun sebelumnya. Namun itu belum memenuhi syarat untuk aku bisa memiliki bang Asrul.

"selamat ya, nak. Mama dan papa bangga sama kamu. Gak sia-sia kamu menghabiskan waktu untuk belajar selama ini.." suara mama, dengan nada bangganya.

Tapi aku tidak memperlihatkan raut kebanggaan sedikitpun. Meski hasilnya cukup memuaskan, namun tidak cukup untuk membuktikan pada bang Asrul akan betapa besarnya cintaku padanya.

"kamu gak perlu merasa kecewa seperti itu.." ucap bang Asrul, ketika kami bertemu di sebuah kafe.

Aku memang sengaja mengundang bang Asrul untuk makan, sebagai bentuk ucapan terima kasihku padanya.

"tapi aku sudah berusaha dengan keras, bang. Dan bukan berarti juga, cintaku pada abang tidak cukup besar." ucapku terdengar lemah.

"iya, aku tahu. Kamu sudah berusaha, An. Karena itu juga, aku ingin memberi kamu kesempatan." balas bang Asrul.

"kesempatan? Kesempatan apa, bang?" tanyaku penasaran.

"jika kamu memang ingin memiliki saya, saya bersedia, kok. Tapi hanya untuk satu kali saja, ya. Setelah itu, kamu harus belajar melupakanku." ucap bang Asrul ringan.

"maksudnya, bang?" tanyaku lagi.

"kamu pasti penasaran kan sama saya? Karena itu, saya bersedia untuk tidur satu malam saja bersama kamu. Namun setelah itu, kita tidak punya hubungan apa-apa lagi."

"saya bersedia melakukan hal tersebut, bukan karena saya suka sama kamu, An. Tapi ini bentuk penghargaan saya atas perjuangan kamu selama ini." jelas bang Asrul.

Saya merenung sejenak. Memikirkan tawaran bang Asrul.

Bukan itu yang saya inginkan sebenarnya. Saya ingin bang Asrul benar-benar menjadi pacar saya selamanya, bukan hanya untuk satu malam.

Tapi, jika bang Asrul bersedia seperti itu, aku rasa tidak ada salahnya aku mencoba. Setidaknya aku bisa merasakan kehangatan dari orang yang aku cintai, meski ia tak mencintaiku.

"ok, bang. Saya setuju.." ucapku akhirnya.

Dan kami pun sepakat untuk membuat janji bertemu di sebuah hotel pada malam berikutnya.

****

"sebelum kita melakukannya, ada satu hal yang ingin aku ceritakan sama kamu, An." ucap bang Asrul, ketika keesokan malamnya, kami akhirnya bertemu di sebuah kamar hotel.

"cerita apa, bang?" tanyaku pelan.

"sebenarnya, ketika saya memberi syarat supaya kamu bisa meraih lima besar waktu itu, saya juga punya tanggungjawab besar kepada papa kamu, An."

"ketika kamu mengungkapkan perasaanmu padaku waktu itu, sebenarnya aku kemudian mengajukan pengunduran diri pada papamu, An. Meski aku tidak mengatakan alasan ku yang sebenarnya."

"karena itu aku tidak datang selama dua kali pertemuan. Namun papamu terus mendesak agar aku tetap mengajarkan les sama kamu."

"beliau juga tidak bersedia membayarku, jika aku berhenti saat itu. Karena itu, aku akhirnya kembali memberi les untuk kamu."

"lalu kemudian papa kamu, memberi tantangan untukku, yang aku sendiri tidak yakin bisa memenuhinya."

bang Asrul menarik napas cukup panjang, sambil ia menatapku tajam.

"tantangan apa, bang?" tanyaku tiba-tiba.

"jika saya berhasil membuat kamu meraih sekurang-kurangnya sepuluh besar, maka beliau akan membayarku dua kali lipat. Namun jika aku gagal, maka beliau tidak akan membayarku sepeser pun." jelas bang Asrul lagi.

Aku cukup kaget mendengar semua cerita bang Asrul barusan. Meski aku juga tidak begitu paham akan semua hal tersebut.

"jadi sebenarnya kita saling bantu, An. Saya bantu kamu untuk belajar, dan kamu bantu saya untuk membuktikan kepada papa kamu, kalau saya berhasil membuat kamu lebih baik." ucap bang Asrul kembali.

"dan karena itu juga, malam ini aku bersedia tidur sama kamu. Sebagai bentuk ucapan terima kasih sekaligus penghargaan buat keberhasilan kamu bisa masuk sepuluh besar.." lanjutnya.

"jadi bang Asrul, benar-benar tidak punya perasaan apa-apa padaku?" tanyaku penasaran.

"terus terang aku salut dengan perjuangan kamu, An. Tapi itu belum bisa membuatku jatuh cinta padamu. Apa lagi aku sudah menikah dan juga sudah punya anak."

"jadi setelah malam ini, saya harap kamu bisa belajar untuk melupakanku. Saya yakin kamu bisa, kok. Seperti kamu bisa meningkatkan hasil belajarmu, dari rangking terakhir menjadi rangking sembilan."

kalimat bang Asrul benar-benar membuatku terpuruk.

Aku bisa saja setuju dengan permintaan bang Asrul, untuk tidur dengannya malam ini, lalu kemudian belajar untuk melupakannya.

Namun sekali lagi, bukan itu yang aku inginkan.

Aku tidak ingin melakukannya, jika bang Asrul hanya terpaksa.

Aku memang mencintai bang Asrul, dan aku ingin ia juga mencintaiku.

Namun jika ia melakukan semua ini hanya karena terpaksa, aku lebih memilih untuk tidak melakukannya.

Aku memang penasaran, seperti apa rasanya semua itu. Tapi aku tidak ingin melakukannya, dengan orang yang tidak menginginkannya sepertiku. Apa lagi ini adalah pertama kalinya dalam hidupku.

Aku ingin hal pertama tersebut, aku lakukan dengan orang yang aku cintai dan juga mencintaiku.

"maaf, bang Asrul. Aku tidak bisa melakukannya sekarang. Aku ingin pengalaman pertamaku dengan orang yang juga mencintaiku. Jika bang Asrul tidak menginginkan ku, aku tidak bisa melanjutkan ini.." ucapku akhirnya.

Setelah berkata demikian, aku segera bangkit lalu melangkah untuk segera keluar dari kamar tersebut.

"bang Asrul gak usah khawatir, aku akan belajar melupakan abang.." ucapku lagi, sambil mulai melangkah keluar.

Aku sadar, mungkin keputusanku ini salah. Aku seharusnya tetap mencoba hal tersebut.

Tapi aku takut, jika aku tetap nekat melakukannya, aku justru semakin tidak bisa melupakan bang Asrul.

Jadi lebih baik, aku tidak pernah merasakannya sama sekali, dari pada harus membuatku semakin terluka parah.

Semoga saja kelak suatu saat, aku bisa bertemu dengan orang yang juga mencintaiku.

Ya, semoga saja....

****

Sekian ...

Sang nelayan...

Namaku Angga. Saat ini usia ku sudah dua puluh enam tahun lebih.

Aku bekerja di sebuah perusahaan, sebagai salah seorang karyawan swasta, sudah hampir dua tahun.

Aku belum menikah, dan belum punya rencana juga untuk segera menikah. Meski secara ekonomi kehidupanku sudah lumayan mapan.

Sang nelayan

 

Aku anak kedua dari tiga bersaudara.

Kakak pertama laki-laki, sudah menikah dan sudah punya dua orang anak. Sedangkan adik bungsuku juga seorang laki-laki dan masih kuliah.

Mamaku sudah lama meninggal, saat aku masih berusia belasan tahun. Sedangkan papa baru dua tahun yang lalu menyusul mama.

Aku tinggal berdua dengan adik bungsuku di rumah. Meski sebenarnya kami lebih jarang berada di rumah.

Sebagai laki-laki yang masih lajang, kami memang lebih sering menghabiskan waktu di luar.

Rumah peninggalan orangtua kami memang cukup luas, untuk kami tempati berdua. Sementara kakak sulungku, sudah tinggal di rumah mereka sendiri.

Kehidupanku sebenarnya biasa-biasa aja. Tidak ada hal istimewa yang bisa aku ceritakan.

Hidupku terlalu mudah. Kadang aku merasa hambar dengan hidupku.

Terlalu datar. Tidak pernah ada tantangan yang berarti.

Semua yang terjadi dalam perjalana hidupku, benar-benar biasa.

Aku lahir, tumbuh, sekolah, kuliah dan kemudian mendapatkan pekerjaan dengan mudah.

Dan berbicara tentang pacaran, aku belum pernah pacaran sama sekali.

Tapi aku pernah beberapa kali jatuh cinta, hanya saja aku selama ini selalu jatuh cinta kepada orang yang salah. Karena itu aku tidak pernah berani mengungkapkannya apa lagi mewujudkannya.

Segala rasa cintaku hanya bisa aku pendam, tanpa mampu aku ungkapkan.

Aku hanya bisa berimajinasi tentang sebuah hubungan dengan orang yang aku cintai.

Sebagian besar hidupku, lebih sering aku habiskan di dunia khayalku.

Tapi itulah aku, dan aku tidak merasa menyesal terlahir seperti ini. Setidaknya ada begitu banyak hal yang masih bisa aku syukuri dalam hidupku.

Aku tidak punya banyak teman, kecuali teman-teman kerja yang hanya bertemu ketika jam kerja.

Selebihnya aku lebih sering menghabiskan waktu sendiri, menikmati indahnya dunia khayalku.

*****

Untuk mengisi kekosongan hari-hariku, terutama saat hari libur, aku punya sebuah hobi yang aku lakoni sejak kecil.

Yakni memancing. Bukan memancing keributan, ya...

Memancing seperti sebuah hobi keturunan bagiku. Karena sejak kecil aku paling sering diajak papa untuk ikut dengannya pergi memancing.

Hal itu terus berlanjut hingga aku dewasa dan papa akhirnya pun meninggal.

Sejak papa meninggal, aku tetap menjalankan hobiku tersebut. Hanya saja, aku selalu pergi sendirian.

Jarak desa tempat aku memancing, dengan kota tempat aku tinggal hanya lebih kurang 60 km. Atau sekitar satu jam perjalanan naik mobil.

Setiap minggu aku selalu rutin pergi memancing. Hingga aku punya langganan sendiri untuk menyewa pompong di desa tersebut.

Oh, ya. Bagi yang belum tahu, pompong itu adalah sejenis kendaraan air yang digunakan oleh masyarakat desa untuk trasportasi mereka di sungai.

Pompong adalah sejenis kapal kecil, yang menggunakan mesin diesel. Pompong terbuat dari kayu yang diolah sendiri oleh masyarakat desa.

Pompong memiliki rumah di bagian atasnya, untuk tempat berteduh.

Biasanya pompong bermuatan untuk empat atau lima orang.

Tapi karena aku yang lebih suka pergi memancing sendiri, aku hanya berdua dengan supir pompong tersebut untuk pergi memancing di sepanjang sungai.

Biasanya pompong tersebut di sewa oleh para pemancing dari kota, beserta sopirnya.

Karena sudah teramat sering datang ke desa tersebut untuk memancing, aku punya sebuah pompong langganan setiap minggunya.

Pemilik sekaligus sopir pompong tersebut sudah sangat kenal denganku, bahkan juga dengan almarhum papa.

Pemilik pompong tersebut memang sudah cukup tua, tapi beliau masih kelihatan sehat dan bugar.

Sebagian besar penduduk di desa tersebut memang bekerja sebagai nelayan di sungai.

*****

Pada suatu minggu, seperti biasa aku berniat untuk pergi memancing sendiri.

Namun kali ini aku tidak pergi dengan bapak pemilik pompong yang biasa aku sewa.

Karena pada saat itu, beliau sedang berada di rumah sakit, untuk menemani istrinya berobat.

Untuk menggantinya membawa pompong tersebut, beliau sengaja meminta seorang pemuda yang masih merupakan keluarganya, untuk menemaniku memancing.

Pemuda tersebut berperawakan sedang, denga kulit sawo matangnya.

"Dani, bang." begitu pemuda tersebut menyebut namanya, ketika kami berkenalan.

"Angga.." jawabku ringan.

Dani memiliki belahan tipis di dagunya, yang membuat ia jadi manis dilihat.

Tubuhnya cukup kurus tapi sangat berotot, terlihat kekar.

Dani kalau kuperkirakan, baru berusia 20 tahun.

"kamu masih kuliah?" tanyaku berbasi-basi, ketika akhirnya pompong tersebut berlabuh di pinggiran sungai tempat biasa aku memancing.

"saya gak kuliah, bang." jawab Dani datar.

"oh.." ucapku manggut-manggut, sambil mulai mengeluarkan peralatan mancingku.

"jadi kegiatan kamu sehari-hari apa?" tanyaku lagi.

"ya, seperti kebanyakan penduduk disini, bang. Cari ikan di sungai, atau sekali-kali bawa orang mancing seperti ini.." jelas Dani.

Aku mulai memasang pancingku. Suasana sungai pagi itu cukup sunyi.

Biasanya memang seperti itu. Karena kami pergi memancing agak sedikit jauh dari pemukiman penduduk.

Dengan menggunakan pompong, kami para pemancing memang bisa pergi sejauh yang kami inginkan sepanjang sungai tersebut.

Dalam satu hari, kami biasanya berpindah-pindah untuk mencari lubuk ikan yang banyak.

Disepanjang aliran sungai tersebut, masih dikelilingi hutang belantara di pinggiran sungainya.

Penduduk di desa tersebut sangat jarang berlalu lalang di sungai, apa bila sudah terlalu jauh dari perkampungan.

Biasanya para penduduk yang bekerja mencari ikan, lebih sering berada di anak-anak sungai.

Dani terlihat santai berbaring di bagian dalam pompong, sambil menungguku memancing.

Di dalam pompong juga tersedia peralatan memasak, seperti kompor, kuali dan peralatan lainnya.

Namun biasanya, aku lebih memilih membawa nasi yang aku beli di rumah makan terdekat.

"bang Angga mau saya bikinin kopi?" tanya Dani tiba-tiba, ia sudah duduk di belakangku.

"boleh, kalau kamu gak keberatan, sih.." jawabku ringan.

Dani bersegera untuk membuat kopi untuk kami berdua. Biasanya si pemilik pompong juga melakukan hal tersebut, setiap kali aku pergi memancing dengannya.

Itu memang sudah menjadi salah satu tugas dari mereka, untuk melayani kami para pemancing, selagi masih dalam batas kewajaran.

"kamu gak suka mancing?" tanyaku berbasa-basi lagi, setelah Dani menyediakan secangkir kopi di sampingku.

"gak terlalu suka, bang. Kalau kami kan sudah hampir setiap hari, berususan dengan ikan. Meski kami menangkapnya dengan cara yang berbeda.." jawab Dani lugas.

"kamu udah nikah?" aku bertanya lagi, sekedar menghilangkan kejenuhanku, karena ikan agak jarang makan pagi itu.

"belumlah, bang. Kan masih 20 tahun. Bang Angga sendiri udah nikah?" balas Dani bertanya balik.

"belum." jawabku singkat.

"kenapa? bang Angga kayaknya udah cukup mapan untuk berumah tangga." balas Dani lagi.

"bukan kenapa-kenapa, sih. Memang lagi belum kepengen aja..." aku menjawab pelan.

"emang bang Angga udah berapa usianya?" tanya Dani.

"saya udah 26 tahun.." jawabku.

Suasana kembali hening, aku sedikit menyibukkan diriku dengan mengangkat pancing dan mengganti umpannya.

"mau pindah, bang?" Dani bertanya, melihat aku belum mendapatkan satu ekor ikan pun.

"gak usah. Di sini aja. Memancing itu memang butuh kesabaran lebih.." jawabku ringan.

"sama seperti halnya hidup ini ya, bang. Butuh kesabaran.." ucap Dani, yang membuatku meliriknya.

"emang hidup kamu seperti apa?" tanyaku.

"yah, beginilah, bang. Saya harus bekerja keras, agar tetap bisa bertahan hidup." suara Dani pelan.

"orang tua kamu gimana?" aku bertanya lagi, aku mulai penasaran dengan Dani.

"Ayahku sudah meninggal, sejak aku masih kecil. Aku dan kedua adikku, dibesarkan oleh ibuku sendirian. Karena itu juga, aku hanya bisa sekolah hingga lulus SMP."

"setelah lulus SMP, aku sudah mulai bekerja sebagai nelayan.." suara Dani masih pelan.

Tiba-tiba aku merasa tersentuh dengan cerita kehidupan Dani. Hidupnya jauh lebih berantakan dari yang aku jalani.

"sekarang saya harus bisa mengumpulkan uang yang banyak, untuk biaya berobat Ibuku." Dani melanjutkan.

"emangnya Ibu kamu sakit apa?" tanyaku benar-benar ingin tahu.

"gagal ginjal, bang. Ia harus menjalani cuci darah, setidaknya sekali dalam seminggu. Sementara penghasilanku sebagai nelayan hanya pas-pasan."

"selain itu, kedua adikku masih butuh biaya banyak untuk sekolah.." jawab Dani, dengan nada terdengar lemah.

Aku tersentuh kembali mendengarnya. Di usianya yang masih cukup muda, Dani sudah harus menanggung beban seberat itu.

*****

Terus terang, aku terkesan dengan Dani. Bukan saja karena cerita hidupnya yang pilu, tapi juga karena sejujurnya Dani cukup menarik secara fisik. Dan hatinya juga lembut.

Aku mulai berpikir untuk bisa membantu Dani. Setidaknya dengan begitu, aku jadi punya tujuan.

Hanya saja, aku agak ragu menawarkan bantuan kepada Dani. Aku takut ia tersinggung.

"saya akan melakukan apa pun, bang. Asal Ibu bisa sembuh." cerita Dani lagi.

"kata dokter, Ibu bisa sembuh, jika ia segera dioperasi. Namun biaya untuk operasi sangat besar. Aku tak sanggup membayarnya." lanjut Dani.

Aku terdiam, sambil terus memikirkan cara paling tepat untuk menawarkan bantuan kepada Dani.

"saya punya penawaran buat kamu, Dan." ucapku akhirnya.

"penawaran apa, bang?" tanya Dani, keningnya berkerut penuh tanya.

"tapi kamu jangan tersinggung, ya.." balasku.

Dani hanya mengangguk. Sepertinya ia memang benar-benar ingin tahu.

"aku... aku.. aku ingin membantu kamu, Dan. Aku ingin menawarkan pinjaman tanpa bunga sama kamu, untuk biaya operasi ibu kamu. Kebetulan saya masih punya banyak tabungan." ucapku sedikit ragu.

"gak usah, bang. Saya cerita ini, bukan untuk dikasihani. Tapi saya cerita hanya sekedar, untuk meluahkan perasaan saya.." ucap Dani pelan.

Seperti yang aku duga, tidak mudah menawarkan bantuan kepada orang seperti Dani.

"ini bukan karena aku kasihan sama kamu, Dan. Saya hanya coba membantu kamu, karena menurut saya, saya mampu. Kamu gak perlu merasa sungkan. Saya tulus, kok. Kamu bisa membayarnya dengan di cicil, Dan..." ucapku lagi, dengan sedikit penuh harap.

Kali ini Dani terdiam. Aku yakin, Dani sangat membutuhkan bantuan. Namun karena kami yang baru saja saling kenal, tentu saja Dani masih merasa ragu.

"saya setiap minggu pasti datang kesini, Dan. Jadi kamu usah khawatir. Lagi pula, kamu bisa menyicilnya seberapa pun kamu mampu, setiap minggunya atau bahkan sebulan sekali juga gak apa-apa.." jelasku lagi, mencoba meyakinkan Dani.

Dani masih terdiam. Ia terlihat sedang berpikir keras.

"kenapa bang Angga tiba-tiba ingin membantu saya? Padahal kita baru saja saling kenal. Dan kenapa bang Angga bisa percaya sama saya, dengan meminjamkan uang sebanyak itu?" Dani bertanya juga akhirnya.

"saya juga seorang yatim, Dan. Seorang yatim piatu malah. Meski saya baru kehilangan orangtuaku ketika saya sudah besar, tapi saya tahu persis bagaimana rasanya hidup tanpa orangtua.." balasku dengan nada lirih.

"dan lagi pula tabungan saya juga belum ingin saya gunakan untuk apa-apa. Jadi lebih baik saya gunakan untuk membantu orang yang membutuhkan." lanjutku.

****

"makasih ya, bang Angga.." pelan suara Dani.

"bang Angga sudah sangat membantu saya. Sekarang Ibu sudah selesai di operasi, dan sudah bisa kembali ke rumah. Beliau juga tidak perlu lagi melakukan cuci darah. Setidaknya itu sudah cukup mengurangi biaya hidup kami.." Dani melanjutkan.

Kali ini kami bercerita, di dalam pompong seperti biasa.

Sejak Dani akhirnya memutuskan menerima tawaran pinjaman uang dariku, sebulan yang lalu, aku memang semakin sering pergi memancing bersama Dani.

Bahkan ketika bukan hari libur pun, saya masih menyempatkan diri untuk pergi memancing.

Ya, harus saya akui, Dani telah mampu menyita perhatianku.

Aku mulai menyukai sosoknya. Aku diam-diam mulai mengagumi Dani. Bunga-bunga cinta mulai tumbuh perlahan di hatiku.

Tapi hingga saat ini, aku hanya mampu memendamnya. Membayangkan wajah manis Dani hampir setiap malam. Memimpikannya di setiap tidurku.

"udah.. santai aja, Dan. Selama hal itu bisa membuatmu merasa senang, saya turut senang, kok." ucapku membalas ucapan Dani barusan.

Aku memang terkadang harus berusaha sekuat mungkin, untuk bisa menutupi perasaanku yang sebenarnya kepada Dani.

"kenapa bang Angga begitu baik padaku, bang?" Dani bertanya lagi.

Aku terdiam. Terus terang aku tidak tahu harus menjawab apa saat itu. Aku tidak mungkin jujur pada Dani tentang perasaanku. Setidaknya tidak untuk saat ini.

Namun aku juga tidak punya alasan yang kuat, untuk bisa meyakinkan Dani.

"aku... aku... sebenarnya aku suka sama kamu, Dan." ucapku akhirnya.

Dani menatapku setengah tak percaya. Dahinya mengerut.

"apa yang membuat bang Angga begitu menyukai saya. Padahal saya hanya seorang nelayan miskin.." suara Dani terdengar lirih.

"saya juga gak tahu kenapa, Dan. Tapi yang pasti sejak pertama kali melihat kamu, aku mulai tertarik sama kamu." jawabku pelan.

"dimataku kamu begitu manis. Kamu juga terlihat kekar. Dan terlepas dari itu semua, kamu juga punya hati yang lembut.." lanjutku masih terdengar pelan.

"tapi, bang. Aku bukan siapa-siapa, bang. Aku yakin begitu banyak orang yang tertarik pada abang, terutama orang-orang kota. Kenapa abang justru memilih aku?" suara Dani terdengar lemah.

"cinta adalah sesuatu yang rumit, Dan. Kita tidak pernah tahu kapan dan kepada siapa kita akan jatuh cinta. Dan ketika cinta itu tumbuh, kita tidak bisa begitu saja menghindar.." ucapku.

"pertanyaannya adalah, apa kamu juga menyukaiku?" lanjutku bertanya.

Kali ini Dani terdiam. Ia terlihat berpikir keras. Dahinya mengerut dua kali lipat dari biasanya.

"aku gak tahu pasti apa yang aku rasakan terhadap bang Angga. Namun bang Angga begitu baik padaku. Bang Angga juga tampan. Dan terlepas dari itu semua, aku juga merasa nyaman bisa dekat dengan abang.." Dani berucap juga akhirnya.

"aku belum bisa menyimpulkan bahwa apa yang aku rasakan terhadap bang Angga adalah sebuah perasaan cinta. Namun yang pasti, aku tetap bersedia kok, untuk menjalin hubungan cinta dengan bang Angga.." Dani melanjutkan.

Dan aku merasa bahagia mendengarnya. Setidaknya aku punya sedikit harapan, untuk bisa menjalin hubungan dengan Dani, sang nelayan manis tersebut.

*****

Dua bulan berlalu, aku dan Dani sudah sepakat untuk menjalin hubungan asmara.

Setiap malam minggu, aku selalu datang ke desa Dani, dan mengajaknya pergi memancing dengan pompongnya.

Di dalam pompong itulah kami melakukan hubungan intim.

Aku bahagia dengan semua itu, dan sepertinya Dani juga sangat menikmati hubungan kami.

Aku benar-benar tidak menyangka, kalau aku akhirnya bisa merasakan bagaimana rasanya punya pacar.

Aku akhirnya bisa merasakan dicintai oleh orang yang aku cintai. Merasakan indahnya sebuah jalinan asmara.

Hingga hubungan kami terus terjalin sampai saat ini.

Semoga saja hubunganku dengan Dani, bisa terus bertahan selamanya..

Ya, semoga saja...

******

Sekian...

Bersama pak Kades muda nan tampan

"katanya pak Kades itu, orangnya masih muda dan masih lajang.." bisik salah seorang perempuan rekan sesama KKN ku, kepada seorang rekan perempuan yang duduk di sampingnya.

Aku duduk tepat dibelakang mereka berdua.

Pembicaraan dua orang cewek teman KKN ku itu terdengar sayup-sayup di kupingku.

Sang penuai mimpi

 

Beberapa menit kemudian seorang laki-laki gagah masuk ke ruang aula tersebut.

Laki-laki tersebut tersenyum menatap kami semua. Senyum yang sungguh sempurna di mataku.

"perkenalkan nama saya Jaka Putra, saya kepala desa di sini.." suara laki-laki itu lantang dan terdengar sangat maskulin.

Setelah ia duduk di barisan meja depan menghadap kami.

"saya ucapkan selamat datang kepada adik-adik KKN semuanya di desa kami ini, semoga kita bisa bekerja sama ke depannya.." lanjutnya.

Selanjutnya sang Kades mulai menjelaskan beberapa hal kepada dan juga sekaligus memperkenalkan para perangkatnya, yang juga sudah hadir sejak tadi di ruangan aula desa tersebut.

Sepanjang penjelasan pak Kades tersebut, saya memperhatikan pria tampan itu dengan perasaan kagum.

Ya, harus saya akui, kalau pak Jaka, sang kades tersebut, memang sangat tampan.

Hidungnya mancung dengan dagu yang sedikit lancip. Rahangnya kokoh.

Di tambah pula dengan postur tubuhnya yang terlihat atletis dan kekar.

Aku terpesona pada pandangan pertama terhadap sang kades.

Hingga akhirnya sesi perkenalan tersebut berakhir. Kemudian kami diantar oleh salah seorang staff kantor menuju rumah tempat kami tinggal selama KKN.

Rumah tersebut ternyata bersebelahan dengan rumah kediaman pak kades.

Rumah tempat kami tinggal merupakan rumah salah seorang warga, yang ditempati oleh hanya sepasang suami istri tua, yang menurut keterangan mereka, ketiga anaknya sudah berkeluarga dan sudah punya rumah sendiri di desa tersebut.

Rumah itu cukup luas, dengan tiga kamar tidur.

Kami mahasiswa KKN berjumlah sepuluh orang, tujuh orang cewek dan tiga orang cowok.

Satu kamar ditempati oleh pasangan tua si pemilik rumah tersebut, satu kamar disediakan untuk para cewek dan satu kamar lagi untuk kami para cowok.

Kami melaksanakan KKN selama lebih kurang dua bulan ke depan.

Dan kebetulan saya di tunjuk sebagai ketua dalam rombongan kami.

Sebagai ketua, tentu saja saya harus lebih aktif dan lebih sering berurusan dengan perangkat desa dan juga pak kades.

Dan karena itu jugalah, aku akhirnya bisa sering-sering dekat dan ngobrol bersama pak kades.

Bahkan pak kades sering memintaku untuk menemaninya keluar, untuk belanja keperluan kantor.

"kamu udah punya pacar?" tanya pak kades suatu saat, ketika ia kembali memintaku menemaninya belanja.

"belum pak.." jawabku lugas.

"gak usah bapaklah, emang saya kelihatan tua banget ya?" ucap pak kades kemudian.

"bukan kelihatan tua, pak. Tapi kan bapak seorang kepala desa. Jadi lebih sopan aja kalau dipanggil bapak.." balasku diplomatis.

"iya, kalau lagi di depan orang-orang gak apa-apa panggil bapak, tapi kalau lagi berdua seperti ini, panggil abang ajalah.." pak kades berucap, sambil sesekali melirikku, dengan tetap berfokus menyetir mobilnya.

"emangnya pak kades ehh bang Jaka udah berapa usianya?" tanyaku mencoba sedikit akrab.

"kalau menurut kamu usia saya berapa?" pak kades balik bertanya.

"hmm.. menurut saya... mungkin sekitar dua puluh delapan tahun.." jawabku setengah ragu.

"hampir benar, sih. Tepatnya saya udah tiga puluh tahun.." ucap pak kades masih dengan suara maskulinnya.

"masih muda ya bang Jaka, udah bisa jadi kades.." ucapku lagi.

"iya, alhamdulillah perjalanan hidup saya cukup lancar. Tapi sayang untuk urusan jodoh saya masih jauh ketinggalan.." suara itu sedikit memelan.

"padahal bang Jaka orangnya tampan, gagah, keren dan juga sudah sukses. Kenapa bang Jaka belum menikah?" tanyaku memberanikan diri.

"karena... karena saya.... mungkin belum ketemu yang cocok.." jawab pak kades terdengar ragu.

"mungkin bang Jaka terlalu pemilih orangnya.." ucapku selanjutnya.

"gak juga sih sebenarnya. Hanya saja, saya memang tipe orang yang susah jatuh cinta.." balas pak kades lagi.

"atau mungkin..." ucapku sengaja menggantung kalimatku.

"atau mungkin apa?" balas pak kades cepat, "kamu curiga kalau saya tidak suka perempuan?" lanjutnya, sambil sekali lagi melirikku.

"gak, kok. Bukan itu maksud saya.." aku berucap cepat, takut kalau pak kades tersinggung.

"emangnya kalau saya gak suka perempuan, kamu mau kalau saya malah suka sama kamu?"

ucapan pak kades kali ini membuatku menatapnya lama.

"ah, bang Jaka bisa-bisa aja. Emangnya apa yang bisa membuat bang Jaka tertarik sama saya?" tanyaku memancing.

"ya, mungkin karena kamu terlihat menarik secara fisik. Kamu tampan dan manis. Kulit kamu putih dan terawat. Saya suka melihat cowok yang berkulit putih. Kesannya orangnya bersih.."

jawaban pak kades benar-benar membuatku tersanjung. Jarang-jarang ada cowok setampan dan segagah pak kades memujiku.

******

"kamu suka gak sama saya?" tanya pak kades, setelah untuk beberapa saat kami terdiam.

Aku kembali menatap wajah tampan pak kades, mencoba mencari makna dari pertanyaannya tersebut.

Aku tak ingin segera menjawab. Aku harus tahu dulu, apa maksud dari pertanyaan tersebut.

Kalau pak kades hanya sekedar menguji perasaanku, aku tak ingin menjawabnya jujur.

Tapi kalau ia benar-benar ingin tahu perasaanku padanya, aku akan menjawab jujur.

"tergantung sih bang. Suka nya seperti apa?" tanyaku akhirnya.

"suka seperti rasa ingin memiliki..?!" balas pak kades dengan nada bertanya.

"saya suka sih bang, melihat bang Jaka. Abang orangnya tampan dan kekar. Dan yang pasti abang orangnya baik.." jawabku akhirnya, mencoba untuk jujur.

"kamu mau gak tidur sama saya malam ini?" tanya pak kades kemudian.

"tidur? tidur sama bang Jaka? maksudnya?" tanyaku dengan kening berkerut. Bukan karena pertanyaannya, tapi lebih karena aku hampir tak percaya dengan kalimatnya tersebut.

"iya,tidur sama saya. Lalu kita melakukan hal tersebut hingga pagi.." jawab pak kades tegas.

Akh, aku terkesima. Tak pernah terpikir olehku, jika pak kades akan menawarkan hal tersebut.

Itu merupakan penawaran yang sangat menggiurkan. Aku tidak mungkin menolaknya. Terlepas apa pun tujuan pak kades dari semua itu.

"bang Jaka serius?" tanyaku meyakinkan.

"iya. Saya serius. Kalau kamu mau kita bisa cari hotel sekarang. Mumpung kita lagi di kota.." jawab pak kades terdengar sangat yakin.

"saya mau, bang. Saya gak mungkin bisa menolak ajakan abang. Abang sangat menarik. Saya malah sejak awal sering mengkhayalkan hal tersebut." balasku jujur.

"oke. Kita segera cari hotel sekarang. Tapi ada beberapa syarat yang ingin saya ajukan sebelum kita melakukannya.." ucap pak kades.

"syarat? syarat apa itu?" tanyaku penasaran.

"pertama, kamu gak boleh ceritakan hal ini kepada siapa pun. Karena biar bagaimanapun nama baik saya yang menjadi taruhannya."

"kedua, ini tidak boleh berlanjut lebih lama lagi. Ini hanya akan terjadi selama kamu melaksanakan KKN di desa kami, setelah kamu selesai KKN nanti, hubungan kita juga selesai sampai di situ.."

jelas pak kades terdengar tegas.

Aku terdiam beberapa saat. Sepintas persyaratan dari pak kades terdengar mudah. Karena memang setahu saya, hubungan seperti ini memang tidak pernah bertahan lama.

Namun yang aku takutkan, bagaimana kalau pada akhirnya aku justru benar-benar jatuh cinta pada pak Kades. Hal itu tentu saja, akan membuatku sedikit sulit untuk berpisah dengannya, dan juga melupakannya.

Tapi untuk apa aku harus memikirkan hal itu sekarang. Yang penting saat ini, aku punya kesempatan untuk bisa merasakan kehangata dari pak kades muda yang tampan dan gagah itu.

"oke. Saya setuju dengan syarat tersebut.." ucapku tegas.

****

Satu jam kemudian, kami berdua sudah berada di dalam sebuah kamar hotel.

Pak kades terlihat sudah biasa memasuki hotel tersebut.

Aku yakin, ini bukanlah pertama kali nya bagi pak kades melakukan pertemuan dengan para lelaki di hotel.

Ia pasti sudah sangat sering melakukannya. Apa lagi di kota yang saya ketahui, banyak laki-laki bayaran yang selalu siap sedia untuk dibayar, untuk sekedar menemani tidur.

"kamu sudah pernah melakukan hal ini sebelumnya?" tanya pak kades, ketika kami sudah sama-sama duduk di ranjang hotel.

"sejujurnya aku pernah melakukannya dulu dengan pacarku, tapi itu sudah sangat lama, sudah hampir dua tahun yang lalu.." jawabku jujur.

"setelah itu?" tanya pak kades lagi.

"itu pertama dan terakhir kali aku melakukannya. Sejak putus dengan pacarku, aku tidak pernah lagi melakukannya.." jawabku lagi.

"bang Jaka sendiri, pasti sudah sering ya melakukan ini?" tanyaku setelah beberapa saat kami saling terdiam.

"sering sih gak, tapi pernah sih beberapa kali dengan laki-laki bayaran. Tapi saya tidak pernah pacaran dengan laki-laki, karena takut ketahuan." jawab pak kades terdengar jujur.

Kami kembali terdiam.

Sebagai seseorang yang masih awam dengan hal tersebut, aku memilih untuk tetap berdiam diri.

Aku menunggu pak kades melakukan aksinya.

Dan ternyata pak kades sangat mengerti akan hal tersebut.

Ia pun akhirnya memulai aksinya. Aku tetap memilih untuk pasrah dan membiarkan pak kades melakukan apa pun yang ingin ia lakukan padaku malam ini.

Aku memang menginginkan hal tersebut, bahkan sejak pertama melihat pak kades.

Dan malam ini semua khayalku tentang pria kekar nan tampan itu, telah menjadi nyata.

Tapi aku tidak ingin larut dengan perasaanku. Biar bagaimana pun aku ingat syarat yang diajukan oleh pak kades tadi.

Karena itu aku memutuskan untuk bermain aman, tanpa perasaan yang terlalu dalam.

Malam itu, untuk pertama kalinya aku dan pak kades melakukan hal tersebut.

Bahkan kami melakukannya beberapa kali sebelum akhirnya kami tertidur pulas.

*****

Sejak kejadian malam itu, aku dan pak kades jadi semakin sering ke kota, sekedar melepaskan hasrat kami.

Selama dua bulan aku melaksanakan KKN di sana, setidaknya hampir setiap malam minggu kami melakukan hal tersebut.

Dan seperti yang aku takutkan dari awal, aku akhirnya memang jatuh cinta kepada pak kades muda itu.

Ya, perasaanku sudah terlalu dalam padanya. Aku semakin kagum padanya. Aku semakin mencintai dan menyayangi sang kades tampan itu.

Tapi sesuai perjanjian kami dari awal, aku harus bisa menepis semua rasa itu.

Hingga ketika masa KKN ku selesai, perasaan berat berpisah dengan pak kades justru menghantuiku.

Tapi sekali lagi, aku tidak boleh larut. Aku harus bisa menganggap semua kejadian tersebut, hanyalah sebuah sensasi sesaat yang akan segera berlalu.

"apa kita memang tidak akan pernah bertemu lagi, bang?" tanyaku pada pak kades, saat malam terakhir kami bersama.

"sesuai kesepakatan kita dari awal, Rul. Saat KKN mu selesai, hubungan kita juga selesai." jawab pak kades tegas.

"dan lagi pula, dalam tahun ini saya akan segera menikah.." lanjutnya.

Entah mengapa mendengar kalimat tersebut, hatiku terasa perih.

Sakit rasanya, harus berpisah dengan orang yang sudah terlanjur membuatku jatuh cinta.

Tapi mau gimana lagi, pak kades sudah menentukan pilihan hidupnya.

Dan aku tidak berhak untuk meminta apa pun padanya.

Mungkin semua memang harus seperti ini.

Kami bertemu, saling tertarik, dan saling mencoba untuk menikmati hubungan singkat tersebut.

Lalu kemudian, kami akhirnya harus saling melupakan.

Setidaknya saya pernah merasakan berhubungan dengan seorang kades muda yang tampan dan gagah.

Setidaknya kegiatan KKN saya jadi punya warna dan punya cerita tersendiri yang hanya menjadi rahasia antara aku dan sang kades.

Semoga kelak, aku kemudian dipertemukan dengan orang yang tepat dan di waktu yang tepat.

Ya, semoga saja..

****

bersambung..

Cari Blog Ini

Layanan

Translate