Cowok penjual Tissue ...

Lampu merah lagi!

Aku mengumpat kesal dalam hati. Aku turunkan kaca mobil setengah, untuk mengurangi panas di mobil.

Aku terus menggerutu panjang - pendek di dalam hati.

Bakalan telat lagi, nih! Padahal minggu lalu aku juga terlambat untuk mata kuliah yang satu ini. Sehingga dengan amat terpaksa aku harus mengikuti kuliah kewiraan dari luar kelas.

Cowok penjual tissue

"Tissue, mas.." sebuah suara mengagetkanku tiba-tiba.

Hampir saja aku memaki cowok penjual tissue di lampu merah itu. Kalau saja aku tidak melihat tampang cowok itu.

"jeff!" desisku setengah tak percaya. Kekucelan cowok itu sedikit meragukanku.

Cowok itu menatapku sesaat, lalu tergesa meninggalkanku. Hal tersebut semakin meyakinkanku, kalau cowok itu memang Jeff.

Tapi kenapa penampilan Jeff begitu berbeda. Kurus, hitam dan tak terawat.

Dua tahun memang bukan waktu yang singkat. Rentang waktu selama itu bisa merubah penampilan seseorang, tapi tidak sedrastis itu.

"Jeff! Jeff!" aku berteriak mengeluarkan separoh badan dari mobil. Tapi Jeff menoleh pun tidak, justru langkahnya semakin lebar.

Sayang sudah lampu hijau, kalau tidak aku akan nekat mengejar Jeff.

****

Esok siangnya, aku tidak ada kuliah.

Aku putuskan untuk datang lagi ke perempatan kemarin. Agar lebih mudah, sengaja aku tidak membawa mobil.

Semalam aku tidak bisa tidur. Pertemuanku dengan Jeff kemarin telah membangkitkan kenangan lama yang telah dengan susah payah aku timpah di dasar hatiku.

Tapi pertemuan tak terduga itu telah mengobrak-abrik semuanya. Siapa sangka mereka justru bertemu di sini.

Saat Jeff menghilang, seluruh pelosok Pekanbaru sudah aku jelajahi. Pantas gak ketemu. Gak tahunya ia di Medan.

Aku berbaur diantara pedagang asongan yang banyak itu. Mataku jelalatan mencari Jeff. Matahari tepat berada di atas kepala. Tapi aku tidak peduli, asal aku dapat bertemu dengan Jeff.

Nah itu dia! Bathinku saat melihat Jeff dari kejauhan.

Langkahku lebar. Jeff berdiri di pinggir jalan dengan tumpukan tissue di tangan. Menunggu lampu merah tiba, lalu akan bergerak cepat menjajakan dagangannya dari mobil ke mobil, begitu lampu kuning berganti merah.

Sekarang Jeff ada di depanku.

Lampu merah. Aku mengurungkan niatku untuk memanggilnya.

Ku perhatikan Jeff yang menawarkan dagangannya ke beberapa mobil yang kacanya terbuka. Bukan membeli, justru kaca itu semakin menutup penuh.

Tak satu pun dagangan Jeff terjual.

Jeff mengusap peluh di wajahnya yang hitam. Tersentuh rasa hatiku melihat hal tersebut.

Aku tahu siapa Jeff, cowok pemalu yang tak biasa hidup keras dan susah.

"Jeff.." aku memanggil pelan.

Jeff menatapku. Mengernyit sesaat lalu membuang muka. Langkahnya berbalik menjauhiku.

Aku berusaha mengejar dari belakang, "Jeff!" seruku lagi.

Ku sentuh pundak Jeff dari belakang. Cowok itu berbalik menatapku lagi.

"maaf, kamu salah orang. Aku bukan Jeff!" parau suara laki-laki itu.

"kalau bukan Jeff, lalu kamu siapa?" tanyaku meyakinkan.

 "kurasa itu bukan urusan kamu," ujar Jeff tanpa menatapku. Lalu kemudian ia berbalik dan berjalan menjauh.

"kamu pengecut, Jeff! Pergi tanpa pamit. Lalu sekarang kamu pura-pura gak kenal. Apa salahku?" teriakku parau.

Di luar dugaanku, Jeff berhenti, berbalik menatapku.

******

"kamu gak salah. Aku juga gak salah. Keadaanlah yang memaksaku harus pergi..." pelan suara Jeff. Kami duduk di halte tak jauh dari lampu merah tersebut.

"berarti kamu tak mengenal aku seutuhnya. Perbuatan papamu itu tak akan mengubah hubungan kita.." balasku selembut mungkin.

"bagimu mungkin. Tapi tidak dengan keluargamu..." suara Jeff masih pelan.

"apa maksudmu?" keningku berkerut.

"lupakan saja..." balas Jeff, lebih terdengar seperti sebuah desahan.

"jangan membuatku bingung, Jeff." timpalku.

"tak ada gunanya, Jim! Jika ku katakan, tak akan merubah apapun yang sudah terjadi.." lirih suara itu.

"tapi setidaknya bisa membuatku mengerti mengapa kamu harus pergi tanpa pamit." balasku lagi.

"aku tak ingin mengingat semua itu lagi. Bagiku itu merupakan masa lalu yang sudah terkubur dalam-dalam.."

Miris hatiku mendengarnya. Tragis sekali. Bagi Jeff diriku cuma masa lalu yang sudah terkubur. Sementara aku selalu mengais-ngais masa lalu itu. Berharap suatu hari kami akan kembali bertemu.

"semudah itu kamu melupakanku?" tanyaku akhirnya, suaraku terdengar serak.

"kita sudah berbeda, Jim. Lihat saja, aku bagai gelandangan dekil. Sementara kamu bagai sang pangeran..." Jeff membalas ringan.

"semua mungkin sudah berubah. Tapi tidak dengan hatiku.." ucapku pelan.

"waktu akan mengubah segalanya, Jim..." Jeff membalas lagi.

"takkan ada yang mampu merubah perasaanku padamu Jeff.." balasku sengit.

Ku lihat Jeff menghela napas berat.

Aku menatap wajah Jeff dalam. Wajah itu masih sangat tampan, meski sekarang terbalut kulit yang menghitam.

Mencintai Jeff adalah hal yang menyenangkan, dan memiliki cinta cowok itu merupakan hal terindah dalam hidupku.

Tapi itu dulu. Sebelum semuanya berubah.

Bukan salah Jeff, jika semuanya harus berakhir seperti ini.

Bukan salah papanya Jeff, yang memanipulasi uang perusahaan, yang menyebabkan Jeff jadi hina di mata siapa saja.

Jeff tak berhak menghakimi papanya. Sudah terlalu banyak yang menghakiminya. Apa lagi papa Jeff sudah menebusnya dengan masuk bui, dan akhirnya memutuskan untuk mengakhiri hidupnya, karena tidak tahan hidup di dalam sel.

Bukan salah mamanya Jeff juga, yang memilih mengakhiri hidupnya dan meninggalkan Jeff sendirian, karena tak sanggup hidup melarat dan menanggung malu.

Bukan salah siapa-siapa sebenarnya. Dan aku juga tidak peduli dengan semua itu.

Aku tetap mencintai Jeff, seperti apa pun kondisinya.

Namun ternyata bagi Jeff, semuanya telah berbeda.

Perbedaan di antara kami, kian terasa, saat papa justru menunjukkan ketidaksukaannya akan hubunganku dengan Jeff.

Tapi kami coba mengabaikannya. Kami diam-diam terus menjalin hubungan asmara.

Namun tiba-tiba Jeff menghilang tanpa kabar. Dan di sini lah akhirnya aku bertemu Jeff kembali.

"aku sayang kamu, Jeff! Selalu dan untuk selamanya.." ucapku tegas.

"jangan katakan itu, Jim. Terlalu sakit buatku.." Jeff berucap sambil menggeleng dengan pandangan miris.

"kenapa?" tanyaku pelan.

"karena papamu sudah menegaskan padaku, Jim. Bahwa aku harus menjauhi kamu. Dan sampai kapan pun beliau tidak akan pernah rela, menerima aku sebagai bagian dari hidupmu..."

Setelah berucap demikian, Jeff berdiri, memutar langkah dengan cepat pergi meninggalkanku, yang masih kebingungan mendengar penuturannya.

Aku tahu, semenjak papa mengetahui tentang keluarga Jeff yang berantakan, papa memang tidak mengizinkanku untuk sekedar berteman dengan Jeff.

Hanya saja, aku tidak menyangka, kalau papa akan mengatakannya langsung kepada Jeff. Yang membuat Jeff akhirnya pergi.

******

Lebih dari seminggu aku tak lagi pernah melihat Jeff berjualan di lampu merah tempatnya biasa berjualan.

Pikiranku mulai tak enak. Memikirkan hal buruk yang bisa saja terjadi pada Jeff.

"kamu kenal, Jeff?" tanyaku pada seorang penjual rokok di lampu merah itu.

"yang hitam tinggi itu?" tanya remaja itu balik.

"yang agak kurusan." tambahku, "kamu ada liat dia?"

Remaja itu menggeleng.

"kamu tahu rumahnya?" tanyaku lagi.

"dia kost di Juanda baru. Dekat jembatan itu." jawab remaja itu, sambil mengarahkan telunjuknya.

"bisa antar saya. Saya temannya di Pekanbaru dulu.." pintaku.

Remaja itu membulatkan bibir.

Kami hanya berjalan kaki, karena katanya tempat kost Jeff tak jauh dari situ. Lagi pula jalannya sempit dan becek. hingga mobil takkan bisa masuk.

Kami melewati rumah-rumah kecil dan sembrawut. Tiang-tiang jemuran melintang tak teratur. Beberapa bocah bertelanjang dada penuh ingus di hidung saling berlarian.

"masih jauh?" tanyaku sambil terus melangkah pelan, menghindari jalan yang becek dan tergenang air.

"itu rumahnya. Yang cat hijau.." jawab remaja itu. Yang ditunjuknya merupakan rumah paling jelek dari rumah lainnya

"perlu saya tunggu, mas?" tanya remaja itu selanjutnya.

Aku mengangguk. Aku merasa tak nyaman berada sendirian di tempat seperti ini.

"assalamualaikum..." ucapku sedikit berteriak.

Tak ada sahutan. Aku mengetuk pintu yang terbuat dari tripleks itu pelan, sambil mengucapkan salam. Sepi.

Aku menoleh ke belakang. Ke tempat remaja pria itu berdiri. "benar ini rumahnya?" tanyaku meyakinkan.

"benar, mas! Coba panggil lebih keras." balas remaja itu lagi.

"assalamu ..."

"cari siapa?" belum usai salam ku, seorang Ibu keluar dari rumah sebelahnya.

"ada Jeff, Bu?" tanyaku dalam kekagetan.

Wanita tua itu menatapku dengan mata memicing. Membuatku berdiri kian kikuk.

"benar ini tempat kost Jeff, Bu?" ulangku memastikan.

"Jeff udah pergi seminggu yang lalu." jawab wanita itu.

Aku tercekat. "pergi kemana?" suaraku serak.

"saya kurang tahu. Tapi dia bilang ingin mencoba mengadu nasib ke Batam atau Jakarta." wanita itu menjawab lagi.

Lemas seluruh tubuhku. Untuk kedua kalinya Jeff pergi tanpa kata perpisahan. Teganya!

Padahal, asaku yang selama ini sudah berkarat, baru saja aku asah kembali. Tapi ternyata...

Setelah mengucapkan kata permisi, aku berbalik langkah. Sekuat hati, aku menahan agar tangisku tak tumpah.

"nak, tunggu dulu!" wanita tua itu menahan langkahku.

"Ibu sepertinya sering melihat kamu. Tapi entah dimana," wanita itu terlihat seperti berpikir keras, lantas mengambil sebuah kunci dari balik bajunya yang usang.

"kemari, nak!" panggilnya setelah membuka pintu kamar kost Jeff.

Aku melangkah masuk. Mataku terbelalak. Photo-photo yang aku berikan pada Jeff waktu di Pekanbaru, tertempel di segala sisi.

"ini photo-photo kamu, kan?" tanya wanita itu lagi.

Aku hanya mengangguk.

"Jeff pernah cerita, karena orang di photo inilah dia tetap semangat untuk hidup." wanita itu melanjutkan.

"tapi kenapa dia pergi lagi?" suaraku serak.

"saya juga heran. Jeff pergi begitu tiba-tiba. Ketika saya tanya kenapa dia tak membawa photo-photo ini, dia bilang; dia juga pergi untuk melupakannya. Karena dia semakin sadar, katanya bagai mengharap bintang untuk kembali memiliki orang itu."

Aku terisak. Berkelebat bayangan wajah Jeff dimataku.

Tak ada yang berubah, Jeff.

Andai saja kamu terbuka padaku. Rintihku dalam hati.

****

Sekian ...

Menunggu saat romantis tiba...

Aku pacaran dengan bang Ilham, sudah hampir setahun.

Namun jujur saja, selama setahun hubungan kami hanya berjalan biasa saja.

Tidak ada hal istimewa yang terjadi selama ini.

 

Cerpen gay (menunggu saat romantis tiba)

Kami hanya sekedar bertemu seminggu sekali, yakni setiap malam minggu. Dan itu pun kami cuma mengobrol, makan bareng, atau sekali-kali nonton bareng.

Sungguh sebuah hubungan yang sangat membosankan.

Mungkin tidak ada yang akan percaya, jika kami bahkan belum pernah berciuman sama sekali.

Bang Ilham terlalu sopan. Ia bahkan tidak berani walau hanya sekedar menyentuh tanganku.

Sebenarnya aku sangat menyayangi bang Ilham. Selain tampan dan kekar, bang Ilham juga sangat baik padaku.

Bang Ilham seorang pilot. Karena itu juga kami jadi jarang bertemu.

Namun bang Ilham selalu menyempatkan waktu untuk bertemu denganku setiap malam minggu, kecuali ketika ia sedang bertugas.

Bang Ilham tidak romantis. Ia amat jarang mengucapkan kalimat-kalimat indah tentang perasaannya padaku. Tapi aku tahu, kalau ia juga menyayangiku.

Hubungan kami yang terkesan datar dan sedikit hambar, tidak membuatku mencoba berhenti mencintainya.

Mencintai bang Ilham adalah sebuah keindahan tersendiri dalam perjalanan hidupku.

Dan memilikinya adalah sebuah anugerah.

Aku bertemu bang Ilham, melalui media sosial.

Berawal dari saling komen status, lalu kemudian chatingan dan kami pun melakukan pertemuan di sebuah kafe.

"Sandi.." ucapku pelan, ketika kami saling berjabat tangan.

Bang Ilham menyebutkan namanya dengan tegas, dengan karakter suara yang terdengar maskulin.

Pertemuan pertama itu, telah menumbuhkan rasa suka ku pada bang Ilham. Aku terkesan dengan penampilan bang Ilham yang sederhana.

Dan aku pun jatuh cinta padanya.

Gayung bersambut. Bang Ilham ternyata juga menyukaiku, bahkan sejak kami saling chating di media sosial.

Aku sendiri yang masih kuliah semester awal, mencoba menyambut kehadiran bang Ilham.

Jujur, bang Ilham adalah pacar pertamaku. Meski ia bukan cinta pertamaku.

Sebagai seseorang yang baru pertama kali berpacaran dengan sesama jenis, tentu saja aku masih sangat awam dalam menjalin hubungan tersebut.

Bang Ilham sendiri, sepertinya juga tidak ingin terburu-buru melangkah lebih jauh lagi dalam hubungan kami.

Ia seperti sengaja menjaga jarak denganku. Dan aku juga tidak berani untuk memulai apa lagi meminta bang Ilham, walau hanya sekedar untuk sebuah ciuman.

Namun sebagai laki-laki yang mulai tumbuh dewasa, aku juga ingin merasakan hal tersebut.

Aku juga ingin merasakan kehangatan cinta dari bang Ilham. Aku juga ingin memeluknya, mengecupnya dan bahkan aku juga ingin melakukan hal yang lebih dari itu.

Aku selalu menunggu bang Ilham mengajakku melakukannya. Menunggu bang Ilham, setidaknya mengajakku bertemu di hotel atau pun di tempat kost-ku.

Aku selalu menunggu untuk bisa berduaan dengan bang Ilham di tempat yang sepi.

Tapi setelah hampir setahun berjalan, penantianku seakan sia-sia.

Bang Ilham tak kunjung menyentuhku. Padahal aku sangat menginginkannya.

"apa bang Ilham gak bosan dengan hubungan kita saperti ini?" tanyaku memberanikan diri, ketika suatu malam kami bertemu lagi di sebuah bangku taman.

"bosan bagaimana maksud kamu?" bang Ilham bertanya balik.

"yaa.. bosan.." ucapku hati-hati, "kita bertemu hanya sekali seminggu, dan hanya sekedar mengobrol seperti ini.." lanjutku masih dengan nada hati-hati.

"jadi kamu maunya gimana?" tanya bang Ilham lagi.

"aku juga pengen bermesraan kayak orang-orang, bang. Berduaan di tempat sepi, dan saling berpelukan.." jawabku berusaha santai.

"kamu yakin ingin melakukan hal tersebut?" bang Ilham bertanya kembali.

"yaa... yakin gak yakin sih, bang. Tapi apa salahnya kita mencoba hal tersebut. Kita udah setahun loh bang pacaran. Masa' iya, kita bahkan belum pernah berciuman.." jawabku mulai sedikit berani.

Aku memang harus lebih berani. Aku tidak ingin hubungan kami hanya berlalu begitu saja, tanpa ada kesan yang lebih mendalam lagi.

"aku bukannya gak mau, San. Tapi aku tidak ingin kamu menyesal akhirnya nanti.." ucap bang Ilham selanjutnya.

"menyesal kenapa, bang? Kenapa aku harus menyesal?" tanyaku penasaran.

"hubungan di dunia pelangi ini, tidak ada yang bertahan lama, San. Apa lagi jika tujuannya hanya sekedar kepuasan lahir."

"apa yang kamu inginkan tersebut, semua hanyalah karena rasa penasaran. Nanti jika kamu sudah bisa merasakannya, aku takut kamu akhirnya tetap merasa bosan."

ucapan bang Ilham barusan, membuatku terpana seketika.

Tak kusangka bang Ilham punya pemikiran sejauh itu. Seakan ia sudah pernah mengalami hal tersebut.

"keinginan dan rasa penasaranmu itu, hanya akan membawa kamu pada penyesalan akhirnya. Karena bisa saja semua itu, tidak seindah yang kamu harapkan.." bang Ilham melanjutkan.

"tapi apa aku salah, bang. Jika aku hanya sekedar ingin merasakan sebuah pelukan hangat dari abang.." ucapku membalas.

"tidak. Itu tidak salah. Hanya saja, sebuah pelukan biasanya adalah awal untuk melakukan sesuatu yang lebih dari itu. Dan aku tidak ingin kamu terjerumus di dalamnya..." balas bang Ilham ringan.

"lalu, sebenarnya bang Ilham ingin hubungan kita ini seperti apa?" tanyaku.

"entahlah, San. Aku kadang juga bingung dengan semua ini. Aku sangat menyayangi kamu. Dan seperti halnya kamu, aku juga ingin merasakan hal tersebut bersama kamu." bang Ilham menarik napas sejenak.

"tapi aku tidak ingin menodai hubungan kita. Aku ingin mencoba menjalin hubungan yang bersih, tanpa ada unsur seks di dalamnya." lanjut bang Ilham pelan.

"aku ingin kita saling support, saling dukung dan tetap menjaga kesetiaan kita. Dan yang paling kita tetap bisa menjaga hubungan kita agar tetap berada di jalur yang seharusnya." kali ini bang Ilham menarik napas lagi.

"kalau boleh jujur, sebenarnya aku ingin kita bisa menikah, San. Tapi kamu sendiri tahu, kalau hal itu jelas tidak mungkin terjadi." bang melanjutkan kalimatnya lagi.

Dan aku masih terdiam. Aku terpaku, mendengar penuturan bang Ilham. Cara berpikirnya tentang hubungan kami, benar-benar di luar nalarku.

Yang aku pikirkan, tentang hubungan sejenis ialah hubungan yang menghadirkan kepuasan lahir dan bathin. Tentang bagaimana kita bisa bermesraan dengan orang yang kita cintai dan kita inginkan.

Karena jelas hubungan seperti ini, tidak akan pernah sampai kemana-mana. Jadi lebih baik kita menikmatinya, dan jika pun harus berakhir nantinya, setidaknya aku pernah merasakan hal tersebut.

Namun jelas bang Ilham tidak menginginkan hal tersebut.

Mudah bagi bang Ilham mungkin, untuk mencoba membangun hubungan yang bersih. Karena aku yakin, bang Ilham sudah pasti pernah melakukan hal tersebut dengan orang lain.

Setidaknya sebelum ia bertemu denganku.

Tapi aku? Aku bahkan belum pernah dipeluk oleh laki-laki manapun. Walau aku sangat menginginkannya.

Aku bisa saja melakukan hal tersebut dengan laki-laki lain. Tapi aku tidak cukup berani, untuk mengkhianati bang Ilham.

*****

Setahun hubunganku dengan bang Ilham yang berjalan sangat datar.

Aku mencoba untuk tetap bersabar dan menunggu sampai bang Ilham mau melakukannya denganku.

Tapi sepertinya penantianku tidak berujung. Bang Ilham masih bertahan dengan segala prinsipnya.

Dan aku akhirnya menyerah...

Suatu malam aku dengan cukup berani, mengajak bang Ilham bertemu di sebuah kamar hotel.

"kenapa kamu mengajak aku bertemu di sini?" tanya bang Ilham, ketika akhirnya kami sudah masuk ke dalam kamar hotel tersebut.

"aku ingin merasakan suasana yang berbeda, bang. Bosan juga kita selalu bertemu di taman.." jawabku santai.

Bang Ilham tak berkata apa-apa lagi. Ia kemudian duduk di sampingku di sisi ranjang.

Aku sudah bertekad, malam ini aku harus mendapatkan kehangatan dari bang Ilham. Dan jika ia menolak, aku akan meminta ia memutuskanku.

Karena itu, aku pun memberanikan diri, untuk mulai meraih tangan bang Ilham dan menggenggamnya erat.

Bang Ilham terlihat kaget, tapi ia masih membiarkannya.

"aku ingin memeluk abang. Boleh?" ucapku dengan hati-hati.

Sementara tanganku berusaha meremas jemari bang Ilham yang kekar itu.

"kalau hanya sekedar peluk, gak apa-apa, San. Tapi jangan minta lebih ya.. karena aku gak bisa.." jawab bang Ilham akhirnya, setelah untuk sesaat ia terlihat berpikir.

Aku pun segera melingkarkan tangaku di tubuh kekar nan atletis itu. Tubuh itu terasa begitu hangat dan menenangkan.

Aku semakin terbuai dengan perasaanku. Aku semakin memberanikan diri untuk mulai mendekatkan wajahku ke wajah tampan milik bang Ilham.

Melihat tindakanku tersebut, bang Ilham spontan mendorong tubuhku agar menjauh.

"kamu sudah janji untuk tidak melakukan hal lebih dari itu, San.." suara bang Ilham sedikit meninggi.

"tapi aku menginginkannya, bang..." suaraku sedikit mendesah.

"maaf, San. Aku gak bisa. Aku harus pergi sekarang, sebelum semuanya semakin parah.." suara bang Ilham masih tinggi.

"tapi kenapa bang Ilham gak mau? Apa bang Ilham tidak mencintaiku?" tanyaku berusaha pelan.

"justru karena aku sangat mencintai kamu, San. Aku tidak ingin membuat kamu semakin terluka nantinya.." kali ini suara bang Ilham mulai memelan.

"maksud bang Ilham apa?" tanyaku dengan sedikit mengerutkan kening.

"nanti juga kamu pasti mengerti. Yang jelas saat ini, aku tidak bisa melakukan hal tersebut dengan kamu, San. Aku harap kamu mengerti.." suara itu semakin pelan.

"aku benar-benar gak ngerti, bang. Aku benci bang Ilham..." suaraku bergetar.

"aku gak bisa menjelaskannya sekarang, San. Tapi aku harap, kamu jangan memaksaku melakukannya." balas bang Ilham.

Aku tak mengeluarkan suara lagi. Aku benar-benar kecewa dengan sikap bang Ilham.

"maaf, San. Tapi aku benar-benar harus pergi sekarang..."

setelah berucap demikian, bang Ilham pun melangkah untuk segera keluar dari kamar tersebut.

Aku masih terpaku. Aku pun tak berniat untuk mencegah kepergian bang Ilham.

Aku memang tidak bisa memaksa bang Ilham. Meski aku tak bisa mengerti mengapa bang Ilham begitu keras untuk menolakku malam itu.

Aku masih terpaku dalam kesendirianku, setelah kepergian bang Ilham.

Rasa lapar menyerangku tiba-tiba. Untuk itu aku pun mencoba menghubungi petugas hotel untuk mengantar makanan ke kamarku.

Setengah jam kemudian, sebuah ketukan ringan terdengar di pintu kamarku.

Dengan rasa malas aku pun membukakan pintu. Seorang laki-laki paroh baya berdiri di depan pintu.

Laki-laki itu terlihat tersenyum. Wajahnya sangat tampan, dengan postur tubuh yang sangat atletis dan gagah.

"pesanannya mas.." suara laki-laki itu sedikit parau.

"eh.. iya.. taruh aja di meja.." ucapku setengah kaget.

Laki-laki itu melangkah masuk, dan meletakkan pesanan makananku diatas meja.

"ada lagi yang bisa saya bantu, mas?" tanya laki-laki itu ramah, masih dengan senyum khas-nya.

Aku menatap laki-laki itu lama. Tidak tahu juga harus mengucapkan apa saat itu.

"jika mas butuh teman untuk sekedar mengobrol, saya bisa menemani mas.." laki-laki itu melanjutkan lagi, melihat aku yang hanya terdiam.

"biasanya banyak tamu yang meminta aku untuk menemaninya mengobrol, atau bahkan ada yang ..." lanjut laki-laki itu, seperti sengaja menggantung kalimatnya.

"ada yang apa?" tanyaku penasaran.

"ada juga yang meminta ditemani tidur, dan minta pelayanan plus.." suara parau itu terdengar tegas.

"pelayana plus maksudnya?" tanyaku masih belum begitu mengerti.

"ya. .pelayanan plus.. seperti.... seperti berhubungan intim misalnya.." jawab laki-laki itu dengan sedikit ragu.

"oh.." aku membulatkan bibir. Aku hanya tidak menyangka kalau pelayan tersebut akan menawarkan hal tersebut.

"tapi kalau mas nya gak mau, juga gak apa-apa. Kalau begitu saya permisi.." laki-laki itu berucap lagi.

"eh.. tunggu.. " cegatku cepat.

"mas... siapa namanya?" lanjutku bertanya.

"Nama saya Derry. Dan saya seorang room service di sini. Saya sudah sering melayani para tamu laki-laki yang meminta pelayanan lebih padaku. Karena itulah salah satu kelebihan hotel ini.." jelas laki-laki itu.

Aku terdiam kembali. Aku mulai mengerti maksud dari tawaran laki-laki yang bernama Derry tersebut.

Hasratku yang terlanjur terpacu bersama bang Ilham tadi, tiba-tiba menemukan tempat untuk berlabuh.

Kehadiran mas Derry benar-benar tepat pada waktunya. Jika aku tidak bisa menumpahkan segala gejolakku kepada bang Ilham, mungkin bersama mas Derry aku bisa menyalurkannya.

"oke. Aku mau mas Derry menemani saya mengobrol.." ucapku akhirnya.

"tapi untuk mendapatkan pelayanan lebih, mas harus membayar lebih juga.." balas mas Derry.

"iya, aku mengerti. Tapi panggil Sandi aja ya, gak usah panggil mas, karena aku masih muda." ucapku pelan.

Mas Derry pun mulai melangkah mendekat. Ia pun duduk di sampingku di sisi ranjang.

Sepertinya mas Derry memang sudah sangat biasa menghadapi para tamu, ia terlihat sangat rileks.

"sejujurnya aku belum pernah melakukan hal ini dengan siapa pun, jadi aku pengen mas Derry melakukannya pelan-pelan saja.." ucapku kemudian.

"oke. Saya cukup mengerti. Karena kamu bukan satu-satunya tamu, yang mengaku baru pertama kali melakukannya." balas mas Derry masih terdengar santai.

*****

Aku menahan napas. Tubuhku terasa bergetar, saat akhirnya mas Derry mulai mendekatkan wajahnya.

Selain bersama bang Ilham, aku belum pernah sedekat ini dengan laki-laki.

Tapi mas Derry seperti tak pedulikan reaksiku yang sedikit ketakutan. Ia terus saja kian mendekat, hingga akhirnya bibir itu pun mendarat di tujuannya.

Aku menahan napas sekali lagi. Kali ini aku pun memejamkan mata. Mencoba menikmati sesuatu yang memang baru pertama kali aku rasakan tersebut.

Mas Derry sangat pandai membuatku terbuai. Aku semakin terbuatnya terlena.

Kekecewaanku terhadap bang Ilham, seakan menemukan tempat untuk aku menumpahkannya.

Kekecewaanku terhadap bang Ilham, membuatku jadi semakin memasrahkan diri kepada mas Derry.

Jika aku tidak bisa merasakannya dari bang Ilham, orang yang sangat aku cintai tersebut, setidaknya aku bisa melakukannya dengan mas Derry, yang harus aku akui tidak kalah menariknya dari bang Ilham.

Mas Derry juga sangat tampan dan juga sangat kekar.

Dan yang paling penting, ia mau melakukannya denganku, meski aku harus membayarnya.

Dan yang paling penting lagi, ia memperlakukanku dengan sangat baik dan penuh perasaan.

Mas Derry mengajariku banyak hal malam itu. Hal-hal yang selama ini hanya ada dalam anganku, akhirnya bisa aku rasakan secara nyata.

Dan harus aku akui, kalau semua itu terasa begitu indah.

"pelan-pelan ya, mas.." ucapku yang lebih terdengar seperti sebuah desahan tersebut, ketika akhirnya mas Derry berusaha menembus dinding pertahananku.

Mas Derry sepertinya sangat mengerti. Seperti yang ia katakan tadi, aku bukan satu-satunya yang belum pernah melakukan hal tersebut.

Pelan namun pasti, pertahananku pun akhirnya berhasil di tembus dengan lembut oleh mas Derry.

Ada rasa perih yang aku rasakan. Rasa perih seperti sayatan luka kecil.

Namun mas Derry mampu membuatku melupakan rasa perih itu, dengan permainan indahnya.

Dan lama kelamaan, aku pun mulai bisa menikmati hal tersebut.

Aku mulai merasakan sensasi keindahan yang tiada tara. Sungguh semua itu, jauh lebih indah dari yang pernah aku khayalkan selama ini.

Aku pun mulai mengikuti gerakan demi gerakan yang di lakukan mas Derry.

Gerakan-gerakan itu, benar-benar membuatku melayang. Mas Derry benar-benar sangat berpengalaman. Dan aku menyukainya.

Setelah pelayaran yang hampir setengah jam tersebut, kami pun akhirnya sama-sama berlabuh di tepian mahligai keindahan itu.

Sebuah pelayaran yang indah, yang memberikan kesan yang sangat dalam padaku.

Seandainya saja, aku melakukannya dengan bang Ilham, pasti semua ini akan jauh lebih indah. Aku membathin, saat akhirnya mas Derry terhempas di sampingku.

Dan seperti yang di ucapkan bang Ilham, bahwa sebenarnya aku hanya penasaran. Saat akhirnya aku bisa merasakan hal tersebut, dan berhasil mencapai tujuannya, yang tersisa hanyalah sebuah penyesalan.

Aku menyesal, bukan saja karena rasa penasaranku telah terjawab, tapi juga karena aku merasa telah mengkhianati bang Ilham.

Namun semua sudah terjadi. Dan aku berusaha untuk tidak menyesalinya.

Setidaknya apa yang mas Derry berikan padaku malam itu, terasa cukup indah dan berkesan.

*****

"aku minta maaf soal semalam, San.." suara bang Ilham parau, ketika keesokan sorenya, ia datang menemuiku ditempat kost-ku.

Aku tidak tahu, entah bagian yang mana yang membuat bang Ilham harus meminta maaf. Untuk itu, aku hanya terdiam.

"sekarang aku ingin jujur sama kamu, San. Dan semoga saja kejujuranku bisa menjawab pertanyaan-pertanyaanmu selama ini, tentang mengapa aku tidak mau melakukan hal tersebut.." bang Ilham melanjutkan ucapannya, melihat aku yang hanya terdiam.

"bang Ilham mau jujur tentang apa?" aku mengeluarkan suara juga akhirnya.

"sebenarnya.... sebenarnya aku sudah ditunangkan oleh orangtuaku di kampung. Dan beberapa hari lagi aku akan segera menikah, dengan gadis pilihan orangtuaku.." pelan suara itu, namun mampu menembus relung hatiku yang terdalam.

Aku benar-benar merasa terluka mendengarnya.

"aku minta maaf, San. Karena tidak berani untuk jujur sama kamu selama ini.." bang Ilham melanjutkan lagi.

"sebenarnya saat pertama kali kita bertemu setahun yang lalu, aku sudah bertunangan. Tapi aku sengaja menutupinya dari kamu, karena sejujurnya aku masih berharap pertunanganku akan dibatalkan.." bang Ilham menarik napas berat.

"aku sejak awal tidak menginginkan pertunangan tersebut, tapi orangtuaku terus memaksaku, mengingat usiaku yang semakin dewasa."

"dan akhirnya aku tidak bisa menolak lagi. Padahal aku sudah terlanjur jatuh cinta sama kamu, San."

"karena itu juga, aku tidak ingin menodai hubungan kita. Aku takut, jika kita berhubungan terlalu dalam, dan akhirnya kamu tahu, kalau aku akan menikah, kamu pasti akan sangat berat melepaskanku."

"aku tahu kamu pasti akan terluka, tapi setidaknya jika hubungan kita tetap bersih, kamu tidak akan terluka terlalu parah.."

bang Ilham mengakhiri ceritanya dengan sebuah helaan napas yang sangat berat.

Ah... aku memang terluka. Hatiku terasa begitu perih.

Aku tidak ingin mempercayainya, tapi tak ada alasan bang Ilham untuk membohongiku.

"aku sangat mencintai kamu, San. Aku berharap bisa bersama kamu selamanya. Tapi aku juga tidak kuasa menolak keinginan orangtuaku.." bang Ilham berucap lagi, kali ini suara kian parau kudengar.

Suara parau itu membuat hatiku kian pedih.

Mengapa kisah cinta pertamaku harus berakhir sesakit ini? Bathinku meringis menahan tangis.

"aku mencintai kamu, San. Aku mencintai kamu secara sederhana. Seperti hasrat yang tak tersampaikan oleh kayu kepada api yang menjadi abu, seperti hasrat yang tak tersampaikan oleh awan kepada hujan yang menjadi butiran-butiran mutiara di dasar lautan.."

"aku mencintaimu secara sederhana. Seperti lilin yang rela hancur demi menerangi kegelapan, atau seperti mentari yang selalu setia menanti pagi."

"tapi semua itu hanya ada dalam anganku, karena aku tidak mampu mewujudkannya..."

Kalimat puitis bang Ilham barusan, membuatku akhirnya meneteskan air mata.

"cinta tak selamanya harus menyatu, San. Karena tidak semua harapan harus menjadi nyata. Mungkin hanya satu dari seribu mimpi yang bisa terwujud. Dan mimpiku tentang kamu, tidak termasuk dalam golongan yang satu tersebut.."

Dan akhirnya aku pun terisak. Aku tak sanggup lagi menahan perih di hatiku.

Bukan saja karena aku akan kehilangan orang yang paling aku cintai, tapi juga karena aku telah mengkhianati cinta tulus seorang Ilham.

Tiba-tiba saja aku merasa jahat.

Dan karena itu juga, aku harus merelakan bang Ilham untuk hidup bersama orang lain.

Bukan saja karena kami memang tidak mungkin bersatu. Tapi juga karena aku memang tidak pantas untuk orang sebaik bang Ilham.

Meski berat, aku harus bisa mengikhlaskannya.

Dan seperti yang bang Ilham katakan, bahwa aku bisa saja akan terluka lebih parah lagi, jika saja hubungan kami menjadi lebih dalam.

Setidaknya dengan tidak merasakan kehangat dari bang Ilham, rasa sakit yang aku rasakan bisa sedikit lebih terasa ringan.

"mungkin ini adalah pertemuan terakhir kita, San. Aku harap kamu tidak membenciku karena ini.." ucap bang Ilham selanjutnya, setelah cukup lama kami saling terdiam.

Setelah berucap demikian, bang Ilham pun berdiri lalu segera berlalu dari hadapanku.

Aku merasa hatiku kian perih. Aku belum sanggup kehilangan bang Ilham.

Aku terlalu mencintainya.

Namun semua memang harus terjadi. Aku harus bisa mengikhlaskannya.

Karena biar bagaimana pun, bang Ilham memang tidak ditakdirkan untukku.

Seperti yang pernah dikatakannya, bahwa hubungan percintaan di dunia pelangi, memang tidak akan pernah sampai kemana-mana.

Dan disinilah akhirnya. Akhir dari sebuah kisah cinta yang terasa datar awalnya, namun meninggalkan luka yang teramat dalam.

Setahun lebih aku menunggu saat romantis itu tiba, tapi yang aku dapatkan hanyalah segumpal rasa perih yang begitu  menyakitkan.

Semoga saja, aku bisa melanjutkan hidupku, meski tanpa bang Ilham di sisiku lagi.

Ya, semoga saja...

****

Kisah sang room service (bersama sang pilot)

Namanya Kevin.

Dan dia adalah seorang pilot.

Kevin masih cukup muda, usianya kira-kira masih 28 tahun. Lima tahun lebih muda dariku.

Malam itu, Kevin memintaku untuk menemani tidur, karena kebetulan ia menginap di hotel tempat aku bekerja sebagai seorang room service.

 

Kisah sang room service (bersama sang pilot)

"aku tahu, kalau di hotel ini ada pelayanan plus. Manager hotel ini yang cerita padaku.." ucap Kevin mengawali pembicaraan kami, setelah kami melakukan perkenalan singkat.

"awalnya aku hanya berniat untuk sekedar beristirahat malam ini di hotel ini. Namun mendengar cerita manager tentang adanya pelayanan plus di hotel ini, saya menjadi tertarik untuk mencobanya. Apa lagi menurut cerita sang manager, pelayannya juga ada yang laki-laki.." lanjut Kevin kemudian.

Secara fisik Kevin terlihat sangat atletis dan jantan. Sungguh tidak ada yang akan menduga kalau Kevin adalah seorang gay.

Tapi Kevin sudah berterus terang tentang siapa dirinya padaku.

Dan Kevin bukanlah tamu pertama yang menggunakan jasaku untuk memberi pelayanan plus.

Aku bahkan tidak ingat lagi, sudah berapa banyak sebenarnya tamu yang harus aku beri servis terbaik.

Selain karena memang kontrak kerjaku seperti itu, aku juga mendapatkan bonus uang yang sangat banyak dari para tamu yang ku beri pelayanan plus.

Aku sudah lebih setengah tahun bekerja di hotel ini, sebagai seorang room service.

Selama ini semua berjalan baik-baik saja. Istri dan anak-anakku masih mampu aku nafkahi, meski aku memperolehnya dari hasil aku jual diri.

Selama enam bulan ini, aku masih berusaha untuk mencari pekerjaan lain. Namun karena pandemi yang masih belum berakhir ini, aku juga masih belum mendapatkan pekerjaan lain.

Jadi mau tidak mau, suka tidak suka, aku meman masih harus menjalani profesi ku saat ini.

Dan beriring berjalannya waktu, aku mulai terbiasa dengan semua ini.

Rasa geli dan jijikku, karena harus melayani laki-laki, perlahan mulai tak ku rasakan lagi.

Aku mulai bisa menikmati hal tersebut.

Aku sudah melayani banyak tamu, dengan berbagai karakter dan tipe yang berbeda-beda. Dan juga dengan berbagai posisi yang berbeda.

Aku tidak punya kriteria khusus dalam melayani tamu. Yang penting bagiku, mereka mau membayarku mahal.

Dan Kevin adalah tamu ku yang kesekian, yang harus aku beri pelayanan plus.

Dan aku juga yakin, kalau Kevin juga akan membayarku mahal. Apa lagi jika aku bisa memberi kesan yang indah padanya.

Ada beberapa orang tamuku, yang kembali lagi menginap di hotel ini, hanya untuk mendapatkan kembali pelayanan terbaik dariku.

"kamu sangat hebat, Derry..." bisik salah seorang tamuku, yang sudah tiga kali menginap di hotel ini dan mendapatkan pelayanan khusus dariku.

Dia seorang laki-laki tua, yang sudah cukup berumur. Tapi ia mengaku ketagihan denganku.

"menurut cerita manager hotel ini juga, katanya mas Derry adalah pelayan favorit di hotel ini.." suara Kevin membuyarkan lamunanku barusan.

"ah, kamu bisa aja, Vin. Saya hanya mencoba melakukan tugasku dan memberikan pelayanan yang terbaik untuk para tamu.." balasku berusaha santai.

"justru karena itu, saya jadi penasaran, mas. Dan saya pun memutuskan untuk memilih menggunakan jasa mas Derry malam ini.." ucap Kevin lagi.

Kali ini aku hanya terdiam. Kalimat seperti itu bukan pertama kalinya aku dengar. Hampir semua tamu yang aku hadapi selalu mengatakan hal yang sama.

Kisahku yang sebenarnya adalah laki-laki normal yang sudah punya istri dan anak, selalu menarik perhatian para tamu, untuk menggunakan jasaku.

"sebenarnya saya punya seorang pacar di kota lain. Tapi sejujurnya, kami bahkan belum pernah walau hanya sekedar berciuman." cerita Kevin tiba-tiba, memecahkan keheningan yang tercipta sesaat tadi.

"pacar kamu cowok?" tanyaku penasaran.

"iya, mas. Kami sudah pacaran hampir setahun. Tapi saya belum berani berbuat lebih padanya." jawab Kevin ringan.

"kenapa?" tanyaku masih penasaran.

"saya juga gak tahu kenapa, mas. Menurut pengakuan pacarku, aku adalah pacar pertamanya. Yang berarti ia juga belum pernah melakukan hal tersebut dengan siapa pun. Aku jadi takut untuk memulainya, walau pun aku sangat menyayanginya.." jawab Kevin lagi.

"saya hanya mencoba menjalin hubungan yang sehat dengan pacarku. Tapi sebagai laki-laki biasa, terkadang keinginan untuk melakukan hal itu muncul begitu saja. Dan biasa nya saya lebih memilih untuk melakukannya dengan para lelaki bayaran.." Kevin melanjutkan ceritanya.

"lelaki bayaran seperti saya?" tanyaku memancing.

"boleh dibilang seperti itu, mas.." jawab Kevin lugas.

"apa kamu gak takut kena penyakit?" tanyaku lagi.

"kan selalu pakai pengaman, mas." jawab Kevin. "dan bagaimana dengan mas Derry sendiri, apa mas gak takut kena penyakit juga?" tanya Kevin melanjutkan.

"terus terang terkadang ada kecemasan akan hal itu. Tapi seperti yang kamu katakan, saya juga selalu pakai pengaman." jawabku sambil sedikit menarik napas.

"dan lagi pula sebenarnya tuntutan hidup yang membuatku harus memilih pekerjaan ini, meski aku tidak pernah menginginkan hal ini..." lanjutku kemudian.

"boleh tahu, kenapa mas Derry bisa terjebak di sini?" tanya Kevin lagi.

Aku kembali menarik napas dalam, kali ini lebih lama.

Lalu perlahan, aku pun mulai menceritakan, bagaimana akhirnya aku bisa berada di sini.

Sebuah cerita tentang perjalanan hidupku. Cerita yang sudah sering aku ceritakan pada para tamuku yang sebenarnya hanya sekedar ingin tahu. Mereka tak pernah benar-benar peduli.

Namun begitulah perjalanan hidupku. Aku tak ingin lagi menyesalinya.

Meski terkadang, aku juga lelah dengan semua ini.

*****

"oh, jadi mas Derry sudah punya istri dan anak?" tanya Kevin meyakinkan, setelah aku mengakhiri ceritaku.

Aku hanya mengagguk ringan. Aku tak terlalu berupaya untuk meyakinkan Kevin. Karena berdasarkan pengalamanku selama ini, hal itu sebenarnya tidak membuat perbedaan apa pun.

Para tamu yang mengetahui hal tersebut, tetap akan memintaku untuk memberikan pelayanan terbaik.

Untuk beberapa saat, kami terdiam kembali.

Kevin kemudian merebahkan tubuhnya di atas ranjang empuk itu, sementara aku masih duduk termangu di pinggiran ranjang.

Tiba-tiba aku merasakan tangan Kevin melingkar di pinggangku.

Aku terkaget, tapi aku tetap membiarkannya. Karena untuk itulah aku berada di sini. Untuk itulah aku akan di bayar.

"mas Derry udah siap untuk berlayar bersamaku malam ini?" bisik Kevin pelan.

Aku memutar kepalaku, lalu manatap Kevin dengan menyinggungkan senyum.

"bukankah aku di sini memang untuk itu?!" ucapku sepelan mungkin.

Kevin membalas tersenyum. Tangannya kian erat mendekapku.

Perlahan wajah kami pun saling mendekat.

Aku sudah teramat sering melakukan hal ini. Ini bukan lagi sesuatu yang asing bagiku.

Tugasku adalah membuat Kevin terkesan, hingga ia akan memberiku tip yang sangat besar.

Lagi pula harus aku akui, kalau Kevin cukup menarik secara fisik. Setidaknya itu sedikit mengurangi rasa geliku.

Karena sudah sama-sama berpengalaman, kami sudah saling mengerti posisi kami masing-masing dan apa yang harus kami lakukan selanjutnya.

Permainan itu berlangsung cukup lancar. Kevin sangat mengerti dengan apa yang harus ia lakukan.

Kelihaiannya cukup membuktikan kalau ia memang sudah memiliki jam terbang yang tinggi dalam hal tersebut.

Aku pun berusaha membuktikan diri, kalau aku juga punya jam terbang yang tinggi dalam memberi pelayanan terbaik kepada para tamu.

Keringat dingin mulai membanjiri tubuh kami, namun itu tidak mengurangi keindahan yang kami rasakan.

Pelayaran indah itu pun akhirnya di mulai. Aku mulai mengayunkan dayung di atas biduk-biduk keindahan itu.

Kevin pun berusaha mengikuti setiap gerakanku, dalam upayanya untuk menuju pelabuhan yang penuh warna tersebut.

Setelah berlayar cukup lama, kami pun sepakat untuk segera berlabuh.

Dan akhirnya kami pun menyatu dalam buaian rasa indah yang tak terhingga.

Di iringi jeritan-jeritan kecil dari bibir Kevin, aku pun akhirnya terhempas dan berlabuh pada saat yang sama, ketika Kevin juga memutuskan untuk segera berlabuh.

Sungguh sebuah pelayaran yang begitu indah.

Kevin berhasil membuktikan dirinya, kalau ia memang sudah berpengalaman.

"makasih, mas..." bisik Kevin, setelah aku terbaring letih di sampingnya.

Aku hanya tersenyum tipis, menjawab ucapan tersebut.

Sekali lagi, itu bukan pertama kalinya, seorang tamu mengucapkan hal tersebut, setiap kali kami menuntaskan pelayaran kami.

*****

"jadi kapan kamu akan mencoba hal ini dengan pacar kamu yang lugu itu?" tanyaku berbasi-basi, sesaat sebelum kami memulai lagi pertempuran kami.

"entahlah, mas. Saya juga bingung bagaimana cara memulainya. Saya hanya takut, kalau pacar saya sebenarnya tidak menginginkan hal tersebut.." jawab Kevin dengan nada ragunya.

Aku memejamkan mata. Sebenarnya aku juga hanya sekedar bertanya, aku tidak benar-benar ingin tahu.

Aku hanya sekedar mengingatkan Kevin, tentang status nya yang sudah punya pacar tersebut.

Kevin pun sepertinya mengerti hal itu, karena itu akhirnya ia bangkit dari rebahannya lalu berjalan pelan menuju kamar mandi, untuk membersihkan diri.

Aku masih saja memejamkan mata, mencoba untuk tertidur.

Pertarunganku dengan Kevin tadi, benar-benar membuatku kelelahan.

Karena kelelahan, aku akhirnya pun tertidur dengan pulas.

Saat terbangun, aku melihat Kevin masih terjaga di depan laptopnya, dengan menghisap sebatang rokok.

Sepertinya Kevin memang tidak tertidur sejak tadi.

"kamu gak tidur?" tanyaku ringan.

Kevin memutar kepala menatapku, lalu menggeleng ringan.

"aku masih belum ngantuk, mas.." ucapnya datar.

"kamu masih mau berlayar lagi gak?" tanyaku lagi.

"kenapa? mas menginginkannya lagi?" Kevin balik bertanya.

"bukan itu maksudku. Kalau kamu gak membutuhkan aku lagi, aku mau permisi pulang. Sudah hampir seminggu aku gak pernah tidur di rumah..." jawabku jujur.

Karena memang selama seminggu ini, ada saja tamu yang memakai jasaku. Dan mereka semua memintaku untuk tidur bersama mereka sampai pagi.

Kevin terlihat berpikir sejenak mendengar penjelasanku tersebut.

"tapi kalau kamu masih membutuhkanku di sini, juga gak apa-apa, kok. Aku gak apa-apa tidur di sini.." ucapku lagi, tak ingin Kevin merasa tersinggung.

Kevin kembali menatapku, lalu berucap...

"kita coba sekali lagi ya, mas. Setelah itu terserah mas Derry, kalau mau pulang juga gak apa-apa.." suara Kevin pelan.

Aku melirik jam di ponselku, masih jam sebelas malam.

Setidaknya kalau aku bertempur sekali lagi dengan Kevin, pasti nanti sampai jam dua belas tengah malam. Setidaknya aku masih punya waktu untuk pulang. Aku membathin.

"oke. gak apa-apa.." jawabku akhirnya setuju.

Kevin kembali melangkah menuju ranjang. Aku menyambutnya dengan senyum mengembang.

Rasa lelahku sudah menghilang, dan aku sudah siap untuk berlayar kembali bersama Kevin.

Untuk ke dua kali nya malam itu, kami pun melakukan pendakian bersama.

Sebuah pendakian yang masih terasa sangat indah dan begitu berkesan.

Hingga untuk yang ke duanya lagi, kami pun terhempas bersama.

*****

Seperti kesepakatanku dengan Kevin, setelah mandi dan membersihkan diri, aku pun pamit untuk pulang.

Jam memang sudah hampir jam satu malam. Aku melangkah pelan keluar kamar hotel tersebut, setelah tentu saja Kevin membayarku lebih banyak dari yang aku harapkan.

Sepanjang perjalanan pulang, aku masih terus memikirkan pertarunganku dengan Kevin barusan.

Setiap tamu yang aku temani, selalu punya kesan yang berbeda.

Mereka selalu punya cerita kehidupan yang berbeda, dan hal itu membuatku menjadi tidak jenuh menjalani proses kehidupan ini.

Melakukan rutinitas yang sama, dengan orang-orang yang berbeda, membuatku jadi sedikit menikmati pekerjaanku.

Segala lelah yang aku rasakan, terbayar dengan upah yang aku peroleh.

Pengalaman-pengalaman para lelaki gay yang aku temui, membuat aku punya kesimpulan tersendiri tentang dunia gay itu sendiri.

Tidak ada seorang pun dari mereka yang ingin terlahir sebagai laki-laki yang berbeda. Tapi mereka tidak begitu saja bisa menghindar dari semua itu.

Sebagian besar dari mereka, sebenarnya adalah laki-laki baik, yang terombang-ambing oleh kodratnya sendiri.

Mereka hanya mencoba menjalani takdir yang sudah di tentukan untuk mereka. Walau sebenarnya mereka bisa saja berhenti dari semua itu. Tapi jelas hal itu tidak semudah membalikkan telapak tangan.

Butuh kemauan yang besar untuk bisa berubah. Dan tidak semua orang punya kemauan yang besar.

Setidaknya begitulah yang aku ketahui sampai saat ini, tentang dunia gay.

Dan sekali lagi aku berharap, semoga aku bisa segera keluar dari semua ini.

Semoga kehidupan ku akan kembali normal.

Ya, semoga saja...

****

Istri Simpanan sang juragan (Kisah sang tukang pijat)

Sebagai seorang tukang pijat, aku memang punya banyak pelanggan, dengan berbagai karakter dan tipe yang berbeda-beda.

Pelangganku ada yang perempuan dan ada juga dari kaum laki-laki.

Sebagai seorang tukang pijat panggilan, aku memang terkadang di tuntut untuk memberi palayanan terbaik pada setiap pelangganku.

Istri simpanan sang juragan

Dan bahkan ada banyak dari pelangganku yang meminta dengan terang-terangan untuk memberi pelayanan plus.

Aku tidak sembarangan memberi pelayanan plus pada pelanggan. Ada beberapa kriteria pelanggan yang bisa aku beri pelayanan plus.

Kriteria pertama adalah pelanggan yang memiliki banyak uang alias orang kaya raya.

Orang kaya biasanya akan memberi bonus uang yang sangat banyak, apa lagi jika pelayananku mampu membuat mereka merasa puas.

Selain kaya, aku juga bersedia memberi pelayanan plus kepada pelangganku yang menurutku sangat menarik secara fisik, terutama yang masih muda dan terlihat bersih.

Salah seorang pelanggan yang sering aku beri kesempatan untuk mendapat pelayanan plus dariku, ialah seorang wanita bernama mbak Widya.

Mbak Widya adalah seorang wanita cantik nan seksi.

Ia tinggal di sebuah rumah mewah di kawasan perumahan elite.

Dari cerita mbak Widya, aku tahu, kalau ia adalah seorang istri simpanan.

Suaminya yang seorang juragan emas, yang memiliki banyak toko emas di kota tersebut, memang sengaja membelikan sebuah rumah untuk mbak Widya.

Sebagai istri simpanan, tentu saja mbak Widya dinikahi oleh suaminya secara diam-diam atau lebih sering di sebut nikah sirih.

Suami mbak Widya hanya mengunjunginya seminggu sekali. Dan hal itu tentu saja menjadikan mbak Widya sebagai seorang istri yang cukup kesepian.

Secara ekonomi kehidupan mbak Widya memang terbilang mewah dan serba ada.

Tapi sebagai seorang perempuan yang sudah bersuami, tentu saja mbak Widya selalu merasa kesepian.

Apa lagi ia tidak di perbolehkan hamil oleh sang suami. Sehingga setelah hampir dua tahun menikah, mbak Widya belum juga memiliki keturunan.

"suami ku takut, kalau aku punya anak, aku pasti tidak akan bisa melayaninya lagi dengan baik. Dan bisa saja ia akan mencari perempuan lain.." begitu cerita mbak Widya suatu malam padaku, saat ia memintaku untuk memijatnya lagi.

"mbak Widya sendiri pengen gak punya anak?" tanyaku berbasa-basi.

"sebagai seorang perempuan tentu saja aku menginginkannya, tapi aku juga tak ingin suamiku meninggalkanku. Karena segala biaya hidupku selama ini suamiku yang menanggungnya. Dan aku masih belum mau melepaskan kehidupan yang mewah ini.." ucap mbak Widya menjelaskan.

Mbak Widya sendiri sebenarnya masih sangat muda, masih 25 tahun.

Mbak Widya berasal dari keluarga yang kurang mampu di desa. Kehidupannya yang selalu kekurangan selama ini lah yang membuat mbak Widya memutuskan untuk menjadi istri simpanan.

"aku bukanlah wanita baik-baik. Dan aku juga ingin merasakan kehidupan yang mewah seperti orang-orang. Dan suamiku mampu memberikan itu semua, meski tentu saja aku harus kehilangan kebebasanku.." cerita mbak Widya lagi.

Sejak sering menggunakan jasaku sebagai tukang pijat, mbak Widya memang selalu terbuka padaku.

Aku juga sangat suka akan keterbukaan mbak Widya tersebut. Setidaknya aku merasa semakin akrab dengannya.

Semakin lama, kami semakin dekat, hingga pelayanan plus yang aku berikan, bukan lagi sekedar hubungan seorang tukang pijat dengan pelanggannya.

Tapi kami melakukan hal itu, berdasarkan rasa suka sama suka. Kami sama-sama menginginkannya.

Sekurangnya hampir dua kali dalam seminggu kami melakukan hal tersebut.

Segala kesepian mbak Widya, di tumpahkannya padaku. Dan aku sangat suka melakukan hal itu bersama mbak Widya.

Selain karena mbak Widya memang cantik dan seksi, ia juga sangat mahir dalam permainan tersebut.

Kami sama-sama menjadi ketagihan. Rasanya sangat puas, ketika kami sama-sama berhasil mencapai puncak keindahan itu.

"kamu sangat hebat, Riki. Aku selalu kalah dalam permainanmu yang penuh sensasi itu ..." ucap mbak Widya setelah kami melakukan pendakian untuk yang kesekian kalinya.

"aku menemukan sesuatu yang tidak ak dapatkan dari suamiku.." lanjutnya.

"mbak Widya juga hebat.." balasku jujur.

Untuk selanjutnya kami akan beristirahat sejenak, lalu kemudian akan memulai lagi permainan tersebut.

Kami memang melakukan hal tersebut, selalu lebih dari satu kali, dan bahkan aku kadang harus menginap di tempat mbak Widya, karena kelelahan.

Mbak Widya juga selalu memberiku tip yang sangat banyak, setiap kali kami selesai melakukan hal tersebut.

Yang membuatku semakin tidak bisa menolak, setiap kali mbak Widya meminta jatah padaku.

Aku semakin terlena dengan hubunganku dengan mbak Widya, demikian juga dengan mbak Widya sendiri.

Hubungan itu semakin lama semakin dalam.

*****

Hampir setahun hubungan terlarang kami berjalan.

Awalnya semua berjalan dengan indah tanpa ada kendala apa pun. Kami selalu bisa mengatur jadwal pertemuan kami, agar tidak di curigai oleh suami mbak Widya.

Tapi setelah hampir setahun, suami mbak Widya mulai curiga.

Seorang pembantu sengaja sang suami titipkan di rumah tersebut, untuk mengawasi gerak-gerik mbak Widya.

Tentu saja hal ini, membuat kami semakin sulit untuk bertemu.

Namun kami tidak kehabisan akal. Hotel adalah alternatif kami untuk bertemu.

Meski tentu saja, intensitas pertemuan kami semakin berkurang, namun tidak mengurangi kepuasan yang kami dapatkan.

Tapi tetap saja, hubungan kami sudah tidak aman lagi.

Sampai akhirnya suami mbak Widya, dengan sengaja memergoki kami yang sedang berada di dalam kamar hotel.

Suami mbak Widya telah mengutus seorang mata-mata, untuk mengawasi hubungan kami tersebut.

Dan pada suatu kesempatan, sang suami pun sengaja mendatangi kamar hotel tempat kami bertemu.

Sang suami pun memerintahkan beberapa orang anak buahnya untuk menghajarku habis-habisan, hingga aku bahkan harus masuk rumah sakit.

Mbak Widya sendiri tidak bisa berbuat banyak. Ia juga di paksa oleh sang suami untuk segera ikut pulang dengannya.

Sejak saat itu aku tidak lagi mendapat kabar dari mbak Widya.

Terakhir aku mendapat kabar, kalau mbak Widya akhirnya memutuskan untuk meninggalkan sang suami dan kembali ke kampung halamannya.

Aku sendiri kembali menjalani kehidupanku sebagai seorang tukang pijat panggilan, karean itulah profesiku.

Dan kisahku bersama mbak Widya, hanyalah sepenggal cerita yang pernah terjadi dalam perjalanan hidupku.

Semua memang harus berlalu, dan aku harus bisa menerima semuanya.

Demikianlah kisahku bersama mbak Widya, istri simpanan dari sang juragan tersebut.

Semoga kisah sederhana ini, bisa memberi pelajaran tersendiri bagi siapa pun yang mendengarkannya.

Bahwa sebuah hubungan yang terlarang, tidak akan pernah ada yang akan bertahan lama.

Karena sebenarnya itu semua bukanlah cinta, tapi hanya rasa ketertarikan secara fisik.

Dan hal itu seharusnya tidak membuat kita, terlalu tenggelam di dalamnya...

****

Special part : Antara aku, Vino dan papanya

Adam ...

Namaku Adam.

Jika masih ada yang ingat akan kisahku bersama Vino dan om Hardi, papanya Vino.

Sebuah kisah yang ingin ku hapus dalam perjalanan hidupku.

 

Antara aku, Vino dan papanya part 4

Aku tidak ingin menyalahkan siapa-siapa. Tak ingin membenci siapa pun juga.

Bukan salah Vino, yang tiba-tiba saja jatuh cinta padaku, namun aku belum bisa membalasnya karena Vino masih sangat muda dan dia sudah aku anggap seperti adikku sendiri.

Bukan salah om Hardi juga, papanya Vino, yang ternyata juga seorang gay dan diam-diam menaruh perasaan suka padaku, dan bahkan beliau nekat memaksaku untuk berhubungan intim dengannya.

Hingga hubungan terlarangku bersama om Hardi akhirnya di pergoki oleh Vino, yang membuat ia harus mengalami kecelakaan dan bahkan mengalami lupa ingatan.

Meski aku tahu, kalau Vino hanya berpura-pura lupa ingatan.

Aku tidak tahu mengapa Vino harus melakukan hal tersebut.

Mungkin saja ia bermaksud untuk menyelamatkan harga diri papanya, yang diketahuinya adalah seorang gay.

Atau mungkin ia hanya sekedar ingin menghibur dirinya sendiri dan berusaha lari dari kenyataan pahit yang harus ia hadapi.

Entahlah, aku juga tidak tahu.

Namun yang pasti, aku akhirnya memutuskan untuk pergi dari kehidupan mereka berdua.

Aku memang harus pergi. Aku tidak ingin berada di antara dua orang yang sama-sama menginginkanku.

Tapi salahkah aku?

Aku tidak pernah meminta mereka berdua untuk tertarik padaku.

Aku juga tidak pernah meminta untuk bertemu dengan Vino apa lagi dengan papanya.

Tapi takdir yang membawaku untuk masuk dalam kehidupan mereka berdua.

Hingga kisah pilu itu pun akhirnya terjadi.

Dan aku tidak ingin menyesalinya.

*****

Sudah lebih dari dua bulan, sejak aku memutuskan untuk pergi dari rumah Vino, aku tidak mendapat kabar apapun dari mereka berdua.

Aku sengaja kembali ke Mesjid tempat dulu aku bekerja.

Beruntunglah pengurus mesjid belum mendapatkan pengganti marbot yang baru, sehingga kehadiranku di sana, di sambut cukup baik oleh para pengurus.

Dan aku pun akhirnya kembali bekerja sebagai seorang marbot mesjid. Profesi yang sudah bertahun-tahun pernah aku jalani dulu, sebelum akhirnya aku bertemu Vino.

Di sini aku merasa sedikit lebih baik. Meski pun hampir setiap saat, rasa bersalah ku kepada Vino, masih terus menghantui.

Apa lagi di tempat ini, aku dan Vino dulu pernah tinggal dan bahkan tidur satu ranjang.

Segala kenagan itu, terkadang melintas di pikiranku.

Aku masih ingat bagaimana hampir setiap malam, aku dan Vino tidur saling berdekapan.

Semua kenangan itu, membuat rasa rinduku kepada Vino kian memuncak.

Tapi aku harus bisa menahan diri. Aku tidak ingin terjebak lagi dengan perasaanku sendiri.

Apa lagi, saat ini, aku yakin, Vino pasti sangat membenciku. Setelah ia mengetahui hubunganku dengan papanya.

Dua bulan lebih aku berusaha melupakan semua kejadian itu.

Dan perlahan aku mulai terbiasa hidup dalam kesendirianku kembali.

Namun saat aku mulai terbiasa dengan semua itu, tiba-tiba om Hardi muncul di tempatku.

"dari mana om Hardi tahu, kalau aku tinggal di sini?" tanyaku memulai pembicaraan, ketika akhirnya om Hardi ku persilahkan masuk.

"sudah sejak lama aku tahu, kamu tinggal di sini. Salah seorang anak buahku yang cerita.." jawab om Hardi terlihat santai.

"lalu untuk apa om menemui saya lagi?" tanyaku kemudian.

"saya ingin menawarkan kamu untuk kuliah kembali, Dam. Dan saya akan membiayai kuliah dan juga kehidupan kamu ke depannya. Tapi tentu saja untuk itu semua, kamu harus tinggal bersamaku.." jelasa Om Hardi selanjutnya.

"om ingin saya kembali ke rumah om?" tanyaku lagi yang masih belum mengerti maksudnya.

"bukan ke rumah om. Tapi ke rumah kita. Saya akan membelikan kamu rumah, tempat kamu tinggal sendirian, dan sekali-kali om akan berkunjung ke sana.." jelas om Hardi lagi.

Sebuah tawaran yang sangat menarik. Tapi aku tidak mungkin dengan begitu saja menerima hal tersebut.

"lalu bagaimana dengan Vino, om? Apa om tidak pernah memikirkan perasaannya?" aku bertanya kembali, yang membuat om Hardi menatapku tajam.

"kamu juga tahu, Dam. Vino mengalami lupa ingatan, dan sekarang ia sedang di rawat di Jerman. Jadi Vino juga gak bakal tahu tentang hubungan kita.." om Hardi menjelaskan lagi.

Kali ini aku terdiam. Aku bahkan baru tahu, kalau Vino justru melarikan diri ke Jerman.

"ada beberapa rahasia Vino, yang om Hardi tidak tahu sampai saat ini.." ucapku akhirnya, setelah cukup lama aku merenungkan hal tersebut.

Mungkin memang lebih baik aku berbicara jujur kepada om Hardi tentang siapa Vino sebenarnya.

"rahasia apa maksud kamu?" tanya Om Hardi dengan tatapan penuh rasa ingin tahu.

Aku menarik napas panjang. Berat rasanya menceritakan semua ini kepada om Hardi, tapi beliau memang harus tahu.

"Vino sebenarnya tidak sedang lupa ingatan, om. Ia hanya berpura-pura..." suaraku bergetar.

Om Hardi menatapku tajam, mendengar ucapanku barusan.

"kenapa Vino mesti melakukannya?" tanyanya akhirnya.

"saya juga tidak tahu pasti kenapa. Tapi saya rasa om bisa menyimpulkannya sendiri. Apa lagi jika om tahu, siapa Vino sebenarnya, dan bagaimana perasaannya padaku.." ucapku lagi.

Kali ini om Hardi kian tajam menatapku.

"maksud kamu apa sih, Dam?" tanyanya lagi.

"maksud saya..... maksud saya.... sebenarnya Vino juga sama dengan om...." kalimatku terbata.

"maksud kamu, Vino juga seorang gay?!" suara om Hardi sedikit meninggi.

"iya, om.." jawabku berusaha tegas, "dan Vino juga sudah berterus terang padaku, kalau ia juga telah jatuh cinta padaku..." lanjutku lagi.

Kali ini, om Hardi menarik napas sangat panjang. Sepertinya ia benar-benar merasa syok mengetahui hal tersebut.

Om Hardi mengusap wajahnya beberapa kali, sambil terus menarik napas berkali-kali.

"kenapa kamu baru cerita sekarang?" suara om Hardi terdengar parau.

Ia terlihat seperti berusaha menahan tangisnya.

"maafkan saya, om. Tadinya saya pikir, semua tidak akan jadi seperti ini.." balasku lemah.

"dan kalian sudah pernah berhubungan intim?" tanya om Hardi selanjutnya.

"belum, om. Hubungan kami masih hanya sebatas saling mengagumi. Kami berusaha untuk saling menjaga perasaan kami, agar tidak terjatuh terlalu dalam.." jawabku jujur.

"tapi apa kamu mencintai Vino?" tanya om Hardi kemudian, yang membuatku terdiam seketika.

Sejujurnya aku tidak tahu pasti, bagaimana perasaaanku kepada Vino sebenarnya.

Terus terang, aku memang mengagumi sosok Vino. Aku juga merasa nyaman saat bersamanya, apa lagi saat berada dalam dekapannya.

Tapi aku tidak berani untuk memikirkan hal itu lebih dalam lagi.

"kenapa kamu diam, Dam? Saya ingin kamu jujur sama om.." suara om Hardi cukup membuatku kaget tiba-tiba.

"saya.. saya... saya bingung, om. Terus terang, selama bersama Vino, saya memang selalu merasa nyaman. Dan saya merasa bahagia, setiap kali melihat Vino tersenyum." jawabku akhirnya.

Om Hardi kembali terdiam. Ia terlihat sedang berpikir keras.

"maafkan om ya, Dam. Andai saja om tahu dari awal, mungkin semua ini tidak akan pernah terjadi.." suara om Hardi terdengar pelan dan serak.

Setelah berucap demikian, om Hardi pun pamit untuk segera pulang.

Aku masih terpaku. Tak tahu apa yang aku rasakan saat ini.

Ada rasa lega, karena sudah berterus terang kepada om Hardi.

Yang artinya, tawaran om Hardi untuk membelikan aku rumah sudah pasti tidak akan berlaku lagi.

Tapi mungkin ini jauh lebih baik. Setidaknya aku tidak akan terjerumus lagi dalam dunia kelam itu.

Semoga saja, om Hardi juga menyadari kekeliruannya, dan mulai memperbaiki diri.

Ya, semoga saja...

*****

Om Hardi

Aku benar-benar terpukul mengetahui, kalau ternyata Vino, anakku satu-satunya itu, ternyata juga seorang gay.

Dan yang membuatku semakin terpukul, ialah mengetahui kalau kami menyukai lak-laki yang sama.

Aku mencoba untuk tidak percaya dengan semua cerita Adam padaku. Tapi tidak ada alasan bagiku untuk tidak mempercayainya.

Untuk itu, aku pun memutuskan untuk menemui Vino di Jerman.

Aku ingin berbicara dari hati ke hati bersama Vino. Selain tentu saja, aku ingin memohon maaf padanya, atas tindakanku kepada Adam.

Sesampai di sana, Vino menyambutku dengan wajah datarnya. Ia masih bersikap seolah-olah ia memang lupa ingatan.

"papa tahu, kalau kamu hanya pura-pura Vino.." suaraku parau memulai pembicaraan kami.

"papa minta maaf. Papa bukanlah seorang papa yang baik buat kamu. Kamu mungkin kecewa mengetahui kalau papa adalah seorang gay..." aku melanjutkan masih dengan suara yang semakin parau.

Tanpa sadar air mataku pun menetes.

Sampai saat itu, Vino masih terdiam.

Aku pun menceritakan tentang hubungan ku bersama Adam yang sebenarnya.

"sebenarnya Adam terpaksa melakukan hal tersebut, itu bukan keinginannya.." ucapku mengakhiri ceritaku.

Meski masih terdiam, namun sepertinya Vino mulai memahami maksud dari ceritaku barusan.

"jadi papa sudah tahu, kalau aku pura-pura lupa ingatan? Dan papa juga sudah tahu, kalau aku juga seorang gay?" Vino pun akhirnya membuka suara.

Aku merasa sedikit lega. Setidaknya Vino mulai membuka diri, untuk bisa menerima siapa aku sebenarnya.

"iya, Vin. Papa sudah tahu. Dan papa harap Vino mau memaafkan papa.." jawabku terdengar lirih.

"Vino gak tahu harus marah sama siapa sebenarnya, Pa. Vino juga bingun dengan semua ini.." ucapan Vino terdengar lemah.

Untuk beberapa saat, kami pun saling terdiam.

Terus terang aku merasa kasihan melihat Vino. Biar bagaimana pun ia masih sangat muda, untuk menerima semua kenyataan ini.

Semenjak aku mengetahui semua ceritanya dari Adam, aku mulai bertekad untuk berubah.

Aku memang harus berubah, mengingat usiaku yang sudah tidak muda lagi.

Apa lagi aku juga punya istri yang sangat menyayangiku.

Aku memang harus berubah, setidaknya demi Vino. Aku harus jadi Ayah yang baik untuk Vino.

Tapi semua itu butuh waktu dan proses yang sangat panjang.

Apa lagi, mengingat aku sampai saat ini masih mencintai Adam.

Pemuda manis itu, benar-benar membuatku tergila-gila padanya.

Namun biar bagaimana pun, aku cukup sadar diri. Adam jelas tidak punya perasaan apa-apa padaku.

Selama ini, Adam hanya terpaksa untuk memenuhi keinginanku padanya.

Dan aku semakin merasa bersalah, karena ternyata Vino, juga menyukai Adam. Dan Adam sepertinya juga menginginkan Vino.

Dan aku, harus berhenti mengharapkan Adam.

"apa kamu mencintai Adam?" pertanyaan itu terlontar juga akhirnya, setelah dengan susah payah aku berusaha mengucapkannya sejak tadi.

Kali ini, Vino menatapku dengan kening berkerut.

"apa bedanya sekarang, Pa. Mas Adam sudah menjadi milik papa. Dan aku tidak berhak hadir di dalamnya..." suara Vino terdengar menghiba.

"bukankah tadi sudah papa katakan, kalau Adam sebenarnya terpaksa melakukan itu semua. Dan sekarang papa dan Adam sudah tidak punya hubungan apa-apa lagi.." jawabku berusaha tegar.

"tapi mas Adam hanya menganggapku sebagai adik, tidak lebih.. Ia tidak punya perasaan tertarik padaku.." ucap Vino lag, masih dengan suara lemah.

"Adam sebenarnya juga menyukai kamu, Vin. Hanya saja ia terlalu gengsi mengakui hal itu. Mungkin lebih baik, kalian membicarakan ini lagi dari hati ke hati." aku berucap lagi, kalai ini berusaha terdengar bijak.

"emangnya papa mengizinkan aku dengan mas Adam?' tanya Vino kemudian.

Aku terdiam sesaat memikirkan hal tersebut.

Sejujurnya aku juga tidak rela, Vino menjalin hubungan dengan Adam.

Bukan karena aku yang juga sangat mencintai Adam, tapi biar bagaimana pun, tidak ada seorang ayah pun di dunia ini, yang rela anaknya menjalin hubungan dengan sesama jenis.

"anggap saja, ini sebagai permintaan maaf papa sama kamu..." begitu ucapku akhirnya.

Meski aku tidak tahu, apa hal itu cukup setimpal dengan resiko yang harus aku hadapi ke depannya.

Namun sebagai laki-laki yang pernah merasakan seperti yang di rasakan Vino saat ini, aku mungkin memang harus memberi kesempatan kepada Vino, untuk menjadi dirinya sendiri.

"tapi .... jika kalian hidup bersama nantinya, papa harap kalian tetap tinggal di negara Jerman ini. Karena jika kalian tinggal di negara kita, jelas hal itu akan sangat beresiko nantinya.." lanjutku lagi.

Aku melihat senyum Vino mengembang, setelah lebih setengah tahun ini, aku tidak melihat senyum itu.

Ya, sejak Vino memergoki ku dengan Adam, secara otomatis senyum itu juga lenyap.

Dan sekarang aku melihatnya lagi. Semoga saja ini adalah awal yang baik, untuk semuanya.

******

"om yakin, mengizinkanku hidup bersama Vino di Jerman sana?" Adam mengulang kembali pertanyaannya.

Saat aku akhirnya, seminggu kemudian, mengutarakan keinginanku, tentang harapan ku untuk Vino.

"iya. Om yakin. Anggap saja ini semua untuk menebus kesalahan om, karena telah berusaha membuat kalian terpisah selama ini.." jawabku meyakinkannya lagi.

"tapi ... apa Vino nya bersedia, om..?" Adam bertanya lagi.

"kamu tenang aja, om sudah bicarakan ini dengan Vino. Dan om akan urus segala keperluanmu ke luar negeri. Yang penting kamu bersedia. Setidaknya biarkan Vino merasakan kebahagiaan hidupnya..." jelasku lagi.

Adam terdiam cukup lama. Sepertinya ia ragu. Tapi aku yakin, kalau Adam sebenarnya juga mencintai Vino. Dan ini adalah kesempatannya untuk membuktikan hal tersebut.

"om akan beri kamu waktu seminggu untuk memikirkan hal ini. Nanti kalau kamu sudah punya keputusan, kamu tahu harus menghubungi om dimana.." ucapku kemudian, sambil mohon pamit untuk pulang.

******

Vino...

Berbulan-bulan aku tinggal sendirian di Jerman. Aku benar-benar merasa kesepian.

Tadinya aku berharap, dengan pindah ke Jerman, aku bisa melupakan segala kejadian menyakitkan tersebut.

Tapi ternyata itu semua tidak semudah yang aku pikirkan.

Bayangan papa dan mas Adam yang sedang bergumul, terus melintas di benakku.

Rasanya begitu sakit menyaksikan orang yang aku cintai tidur bersama papaku sendiri. Dan yang paling menyakitkan dari itu semua, ialah mengetahui kalau papaku ternyata adalah seorang gay.

Aku tidak bisa menerima kenyataan itu. Aku ingin melupakan semuanya.

Dan karena itu juga, aku memutuskan untuk berpura-pura lupa ingatan, dan meminta mama untuk mengirimku ke Jerman untuk berobat.

Walau sebenarnya tujuanku ke sini, adalah untuk mengobati rasa sakit di hatiku karena papa dan mas Adam.

Namun setelah berbulan-bulan, tiba-tiba papa muncul.

Ia datang dengan segala penyesalannya dan dengan segala pengakuannya.

Papa menceritakan tentang hubungannya dengan mas Adam, yang sebenarnya hanyalah sebuah keterpaksaan.

Awalnya aku mencoba untuk mengabaikan hal tersebut. Karena biar bagaimana pun dan apa pun alasannya, mereka berdua jelas telah membuat aku sangat kecewa dan terluka.

Namun melihat kesungguhan papa meminta maaf, dan dari kejujurannya, akhirnya hatiku pun luluh.

Apa lagi, papa dengan terang-terangan memberikan aku kesempatan untuk bisa hidup bersama mas Adam, orang yang sangat aku cintai.

"papa hanya ingin kamu bahagia, Vin. Walau sebenarnya ini bukanlah yang terbaik.." ucap papa waktu itu.

"lalu bagaimana dengan mas Adam, pa? Apa ia akan bersedia?" tanyaku kemudian.

Biar bagaimana pun, aku memang berharap bisa hidup bersama mas Adam. Namun aku juga tahu mas Adam, selama ini ia hanya menganggapku sebagai adik.

Dan aku juga tahu, mas Adam adalah orang yang alim.

Tapi mengingat apa yang telah mas Adam lakukan bersama papa, rasanya sangat mungkin kalau mas Adam sebenarnya juga punya perasaan yang sama denganku.

"sebenarnya Adam juga menyukai kamu, Vin. Hanya saja ia terlalu gengsi mengakui hal tersebut.." terngiang kembali ucapan papa tempo hari.

"nanti biar papa yang ngomong langsung sama Adam. Kamu tunggu saja kedatangannya di sini.." lanjut papa ringan.

Setelah itu, papa pun pamit kembali ke Indonesia.

*****

Sudah dua minggu berlalu semenjak kepulangan papa ke Indonesia.

Aku masih berharap, papa menepati janjinya untuk mengirim mas Adam ke sini.

Sejujurnya aku memang tidak bisa melupakan mas Adam. Ia adalah cinta pertamaku.

Dan aku berharap ia akan menjadi pelabuhan terakhirku.

Saat aku sedang memikirkan mas Adam, tiba-tiba saja ia muncul di hadapanku.

Aku mengusap mataku berkali-kali, sekedar meyakinkan diriku sendiri, kalau semua itu bukanlah mimpi.

"mas Adam?" suaraku tertahan.

"iya, Vin. Aku jauh-jauh datang ke sini, hanya untuk minta maaf sama kamu..." suara sendu mas Adam berucap.

Kami bertemu di teras depan rumahku.

Ternyata papa telah memberi petunjuk yang cukup jelas kepada mas Adam, sehingga ia bisa sampai dengan selamat ke sini.

"bagaimana mas Adam bisa sampai ke sini?" tanyaku berpura-pura bodoh.

"panjang ceritanya, Vin. Tapi saat ini, itu tidak penting lagi. Yang penting adalah apa kamu bersedia memaafkan aku?" mas Adam berucap lagi, kali ini ia duduk di sampingku.

"aku bersedia memaafkan mas Adam. Tapi ada syaratnya.." ucapku dengan memesang senyum manis.

"apa syaratnya?" tanya mas Adam, dengan tatapan penuh tanya.

"pertama, mas Adam harus berjanji untuk menetap di sini bersamaku. Kedua, mas Adam tidak boleh lagi menolak keinginanku untuk memeluk mas Adam.." balasku penuh keyakinan.

"yakin, hanya di peluk saja?" tanya mas Adam lagi, dengan nada sedikit menggoda.

"hmmm.... mau nya sih pengen lebih, tapi takutnya mas Adam gak mau..." balasku mulai merasa rileks.

"aku memang gak mau, kok. Gak mau nolak maksudnya..." mas Adam berucap masih dengan nada menggodanya.

Oh, entah mengapa tiba-tiba saja aku merasa lega. Hatiku yang selama ini terbalut rindu, tiba-tiba saja merasa berbunga.

Berada di samping mas Adam kembali, membuat semua mimpiku seakan nyata.

"aku sangat mencintaimu, mas Adam.." desahku akhirnya, setelah untuk pertama kalinya mas mengecup bibirku lembut.

"aku juga sangat mencintaimu, Vino. Dan aku berharap kita tetap bersama selamanya.." balas mas Adam, sambil kali ini ia menyentuh kedua pipiku.

Sekali lagi bibirnya pun mendarat di keningku.

"aku mencintai mas Adam secara sederhana, seperti mentari yang selalu setia menanti pagi, seperti lilin yang rela hancur demi menerangi kegelapan, atau seperti ombak yang selalu kembali ke pantai..."

Kalimat itu, muncul begitu saja dari bibirku, sesaat sebelum akhirnya mas Adam merangkul tubuhku dalam dekapan hangatnya.

Aku segera menarik tubuh mas Adam untuk masuk ke dalam rumah.

Meski berada di negara Jerman, aku tetap saja merasa tidak nyaman harus melakukan hal tersebut di teras rumah.

Sesampai di ruang tamu, kami kembali berpelukan.

Kami benar-benar seperti orang yang sudah tidak bertemu bertahun-tahun.

Saling dekap, dan tak ingin saling melepaskan.

"kamu yakin hanya ingin di peluk seperti ini?" bisik mas Adam lebih terdengar seperti sebuah desahan.

"emangnya mas Adam mau melakukan yang lebih dari ini?" aku bertanya balik.

"kamu siap gak melakukannya dengan mas?" mas Adam bertanya lagi.

"aku siap, mas. Aku sudah siap sejak lama. Mas Adam saja yang selalu menolak selama ini.." balasku ikut berbisik.

"mas bukannya menolak, Vin. Mas hanya gak tega melihat kamu melakukannya pada mas. Apa lagi, kamu belum pernah melakukannya sebelumnya.." ucap mas Adam kemudian.

"sekarang mas Adam mau, kan?" aku bertanya kemudian.

Mas Adam tidak mengeluarkan suara, tapi ia perlahan pun mengangguk.

Dan dengan perlahan pulan, wajah kami saling mendekat.

Debaran di jantungku kian tak beraturan. Ini adalah pertama kalinya aku melakukan hal tersebut.

Sebuah kesan pertama yang begitu indah. Bahkan jauh lebih indah dari yang pernah aku bayangkan selama ini.

Mas Adam benar-benar luar biasa. Ia begitu pandai membuatku terhanyut.

Pelan namun pasti, kami pun mulai terbuai dalam permainan yang begitu indah.

Entah bagaimana caranya, tiba-tiba saja kami sudah berada di dalam kamarku.

Dan di dalam kamar itulah semuanya terjadi.

Mas Adam berhasil menembus dinding pertahananku.

Aku menjerit menahan sakit. Rasanya begitu perih.

Namun mas Adam berusaha membangkitkan gairahku kembali, yang membuatku akhirnya pasrah.

Dalam kepasrahanku itulah, mas Adam mulai mendayung biduk cinta kami. Dan lama kelamaan aku pun mulai menikmati permainan tersebut.

Aku berusaha mengimbangi permainan liar mas Adam. Aku juga ingin membuat mas Adam terkesan.

Cukup lama kami berusaha mendaki bersama, mencoba menggapai puncak kebahagiaan yang selama ini hanya ada dalam anganku.

Hingga akhirnya kami pun secara bersamaan, terhempas di pelabuhan keindahan yang penuh warna tersebut.

Segenap raga kami pun menyatu, tenggelam dalam lautan penuh makna.

Tubuhku memgejang seketika, saat mas Adam melepaskan hentakannya untuk yang terakhir kali.

Rasanya begitu indah. Sangat indah.

Aku seperti tak ingin mengakhirinya.

"nanti kita ulang lagi, ya.." bisik mas Adam kemudian, sambil ia mulai terbaring di sampingku.

Aku tersenyum membalas ucapan tersebut. Ucapan yang juga sangat ingin aku ungkapan.

Aku merasa sangat bahagia dengan semua itu.

Semoga saja hubunganku dengan mas Adam, bisa tetap bertahan untuk selamanya.

Semoga saja, tidak ada lagi orang yang berusaha untuk memisahkan cinta kami.

Ya, semoga saja...

***

Cari Blog Ini

Layanan

Translate