Kisah cinta segi tiga ...

Ini adalah kisahku. Kisah tentang hubunganku dengan sepasang suami istri.

Saat itu aku masih berumur 23 tahun.

Kisah ini berawal, ketika aku mulai bekerja dengan seorang pengusaha muda yang kaya raya.
Aku bekerja sebagai sopir pribadinya, waktu itu, sudah hampir sebulan.
Setiap pagi aku mengantarkan si pengusaha ke kantornya, lalu aku diperbolehkan pulang kerumahnya, karena istrinya kadang-kadang membutuhkan aku untuk mengantarkannya belanja ataupun pergi arisan.

Mereka memang belum memiliki anak. Meski pun mereka sudah menikah hampir lima tahun.
Usia mereka pun masih cukup muda, si pengusaha berusia kira-kira 35 tahun, dan sang istri berusia sekitar 28 tahun.

Aku sering mengantar sang istri belanja atau pun arisan.
Sang pengusaha biasanya pulang kerja sore hari, aku akan di telponnya apa bila sudah harus menjemputnya ke kantor.
Awalnya semula semua berjalan biasa saja. Sampai suatu ketika, aku diminta oleh sang istri mengantarnya bertemu temannya di sebuah cafe. Aku disuruh menunggunya, karena urusannya hanya sebentar, katanya.
Sepulang dari situ, ia tidak langsung mengajakku pulang, tapi justru ia mengajakku singgah di sebuah hotel.

Waktu itu aku hanya berpikir, kalau dia hanya ingin bertemu dengan temannya.
Tapi rupanya sang istri justru mengajakku masuk ke dalam hotel tersebut.

Waktu itu, sekitar jam satu siang.
Aku mengikuti langkah kaki sang istri menuju kamar hotel, dengan perasaan yang campur aduk. Sesampai di hotel, sang istri mengajakku masuk dan mengunci pintu kamar dari dalam.
Aku hanya berdiri di dekat pintu. Sampai akhirnya sang istri menarik tanganku dan mengajakku duduk di ranjang
Jantungku berdegup cukup kencang waktu itu. Sebagai laki-laki normal, aku mulai paham apa yang di inginkan sang istri padaku.

Dan dugaanku benar, sang istri memintaku untuk melakukan hal tersebut dengannya.
Aku sedikit kaget dan mencoba untuk menolak. Tapi sang istri berjanji akan memberiku sejumlah uang. Dan lagi pula jika aku menolak, ia akan meminta suaminya untuk memecatku.
Sementara aku sangat membutuhkan pekerjaan tersebut.
Dengan sangat terpaksa, aku pun memenuhi keinginan sang istri.
Jujur, itu adalah pengalaman pertamaku melakukan hal tersebut.

Aku memang pernah pacaran beberapa kali, namun aku belum pernah sampai melampaui batas dengan pacarku.

Harus aku akui, kalau sang istri memang memiliki wajah yang cantik dan tubuh yang seksi. 

Aku pun sebenarnya menyukai sang istri.

Sesuai perjanjian, aku pun diberinya uang yang cukup banyak. Dan ia memintaku untuk bisa memenuhi keinginannya kapan pun ia mau, dan ia akan memberiku uang setiap kali ia menginginkan hal tersebut.
Aku mengangguk setuju. Bukan hanya karena aku diberi uang, tapi juga aku sangat menikmati hal tersebut.

waktu terus bergulir, aku menjalani aktivitasku seperti biasa. Sampai beberapa hari kemudian, sang istri kembali mengajakku di sebuah hotel yang berbeda.

Kami pulang, ketika akhirnya si pengusaha menelponku untuk minta di jemput ke kantor.
Hari memang sudah sore, sudah hampir jam enam.
 
Aku segera mengantar sang istri pulang, lalu langsung ke kantor untuk menjemput si pengusaha, meski badanku terasa begitu capek dan lelah.

Saat diperjalanan pulang, si pengusaha mengatakan, kalau ia lusa akan mengajakku ikut melihat salah satu proyeknya di luar daerah.

Biasanya si pengusaha pergi keluar daerah sendirian naik pesawat.
Tapi kali ini, ia memintaku ikut dan memakai mobil. Katanya sekalian jalan-jalan, karena ia butuh sedikit refreshing.
Sampai hari keberangkatan, kami pun pergi dengan memakai mobil. Kami berangkat pagi dan sampai kira-kira jam 3 sore.
Sesampainya disana, kami langsung menuju sebuah hotel untuk menginap beberapa malam disana.
Aku cukup heran, karena si pengusaha hanya memesan satu kamar. Aku kira, ia akan menyuruhku tidur di mobil atau di tempat lain.
Tapi ternyata, ia memintaku tidur di kamar yang sama dengannya.
Jujur, aku merasa sedikit canggung, harus satu kamar dengan bosku sendiri.
Tapi karena si pengusaha yang meminta, aku menurutinya saja.
 
Malam itu, setelah selesai mandi dan makan malam kami masih berada di kamar.
Katanya besok pagi ia baru akan pergi melihat proyeknya.
Karena sedikit sungkan, aku hanya duduk di kursi dalam kamar hotel tersebut, dan berencana untuk tidur di kursi itu.
Tapi tak lama kemudian, si pengusaha memintaku, untuk duduk dekatnya di atas ranjang.
Aku pun menurutinya.
Si pengusaha berkata, kalau ia ingin menceritakan sesuatu kepadaku.
Aku sedikit gugup, aku pikir si pengusaha sudah tahu hubunganku dengan istrinya.

Tapi ternyata si pengusaha bercerita, kalau sebenarnya ia tidak bahagia dengan pernikahannya sekarang.
Katanya, ia menikah dengan istrinya hanya karena di jodohkan oleh orang tuanya. Ia tak pernah mencintai istrinya, begitu juga sebaliknya.
Aku hanya diam mendengarkan ceritanya, sambil terus menyimak dengan serius. Aku jadi tahu sekarang, kenapa sang istri begitu mudah berselingkuh denganku.
Kehidupan sang istri memang mewah, bergelimang harta, tapi sebenarnya sang istri sangat kesepian.

Setelah bercerita tentang rumah tangganya yang rumit. Si pengusaha, mulai menceritakan siapa dia sebenarnya.
Ya, ternyata si pengusaha adalah seorang gay. Si pengusaha adalah penyuka sesama jenis.
Menurut ceritanya, dulu ia pernah pacaran dengan laki-laki, tapi hubungannya kandas, karena ia harus menikah dengan wanita pilihan orang tuanya.

Sebenarnya aku cukup kaget mendengar ceritanya, begitu juga tentang kejujurannya padaku malam itu. Padahal ia baru beberapa bulan mengenalku.

Ia juga mengatakan, bahwa selama ia menikah, ia masih sering melakukan hal tersebut dengan sesama laki-laki. Ia membayar laki-laki panggilan, untuk bisa memenuhi keinginannya.

Sampai akhirnya ia berkata, kalau sebenarnya ia sangat tertarik padaku, sejak awal aku mulai bekerja dengannya. Dan ia pun mengakui, kalau ia menerimaku bekerja dengannya adalah karena menurutnya aku lelaki yang sangat tampan dan juga kekar.

Aku mulai merasa tidak enak. Pikiranku pun menerawang. Aku sedikit gelisah.
Namun si pengusaha masih terus bercerita.

Dan malam itu, ia memintaku untuk melakukan hal tersebut dengannya. Ia bersedia membayar sangat mahal, agar aku mau melakukannya.
Katanya lagi, dari pada ia harus membayar orang lain, lebih baik ia membayar saya, yang sebenarnya sangat disukainya dari awal.

Aku termenung cukup lama, memikirkan tawarannya. Disatu sisi, aku adalah lelaki normal yang hanya menyukai perempuan. Namun di sisi lain, uang yang ditawarkannya cukup banyak.
Dan lagi pula, jika seandainya aku menolak, sudah pasti aku akan kehilangan pekerjaanku.

Aku masih terdiam. Tapi si pengusaha rupanya sudah mulai beraksi.
Akhirnya aku hanya bisa pasrah, meski awlnya aku merasa sangat geli dan sedikit jijik.
Namun lama-kelamaan, aku mulai menikmati hal tersebut.
Ternyata si pengusaha sangat pandai membuatku melayang.
Malam itu kami pun tertidur sangat pulas karena keletihan setelah perjalanan jauh, dan juga setelah melakukan hal tersebut sebanyak dua kali.

Esoknya kami pun pergi melihat proyek si pengusaha yang berada tidak begitu jauh dari hotel tempat kami menginap.
Malam berikutnya, kami masih menginap di hotel. Dan si pengusaha meminta aku untuk mengulanginya lagi malam itu.
Bahkan malam itu, kami melakukannya berkali-kali.
Dan si pengusaha, memberi aku uang yang sangat banyak.
Aku hanya tersenyum menerima uang tersebut. Aku tidak tahu, apa yang aku rasakan saat itu.
 
Esoknya kami pun pulang, karena urusan si pengusaha sudah selesai di sana.
Diperjalanan, si pengusaha meminta aku untuk selalu menemaninya setiap kali ia ada kegiatan di luar daerah.
Katanya, ia sangat suka dengan apa yang aku lakukan padanya selama dua malam tersebut.
Dan ia sangat menginginkannya.
Aku hanya tersenyum penuh kebanggaan.

Hari-hari pun berlalu, aku tetap beraktivitas seperti biasa. Mengantar si pengusaha ke kantor, mengantar sang istri belanja atau arisan dan menjemput si pengusaha lagi sore harinya.
Mungkin yang berbeda hanyalah, kalau biasanya aku hanya mengantar sang istri belanja, sekarang akan ada saatnya sang istri mengajakku mampir sebentar di hotel. Dan memenuhi keinginannya. Aku pun mendapatkan sejumlah uang.

Sekarang kalau si pengusaha pergi ke luar daerah, aku akan selalu dimintanya untuk ikut. Kami menginap di hotel, dan selalu melakukan hal tersebut. Aku pun mendapatkan imbalan berupa uang.
Aku merasa sangat beruntung sekarang. Aku mendapatkan keuntungan dari sang istri dan juga keuntungan lain dari si pengusaha.
Serta tentu saja mendapatkan sejumlah uang dari mereka berdua

Ya, begitulah kehidupanku saat ini.
Sampai suatu saat, sang istri bercerita kepadaku, kalau ia sudah hamil sekarang. Sudah tiga bulan lebih.
Aku sedikit kaget, karena sang istri yakin, kalau anak yang ia kandung, adalah anakku.
Katanya, ia sangat jarang berhubungan dengan si pengusaha. Lagi pula katanya, si pengusaha tidak mungkin bisa membuatnya hamil.
 
Sebenarnya aku juga percaya, kalau sang istri memang mengandung anakku. Apa lagi beberapa hari yang lalu, si pengusaha juga bercerita padaku, kalau ia curiga dengan sang istri. Ia curiga kalau sang istri sedang selingkuh dengan pria lain. Ia juga sudah tahu, kalau sang istri hamil bukan karena dia, tapi karena selingkuhannya.
Namun ia tidak begitu peduli dengan semua itu, si pengusaha justru senang istrinya akhirnya hamil, meski bukan anaknya. Karena itu akan membuat orang tuanya bahagia.
Lagi pula si pengusaha, sangat menikmati hubungan kami.

Jadi saat itu, posisiku masih sangat aman. Aku tidak harus bertanggungjawab atas kehamilan sang istri saat ini. Dan aku masih bisa mendapatkan keuntungan serta uang dari mereka berdua.
Sungguh sebuah kehidupan yang luar biasa, bagiku saat itu.

Namun kehidupan yang bergelimang harta dan dosa itu tidak berlangsung lama. 

Aku dan sang istri semakin jarang bertemu, apa lagi semenjak kehamilannya yang kian membesar hingga ia melahirkan anak pertamanya.

Sementara aku dan si pengusaha masih terus berhubungan, apa lagi semenjak istrinya hamil, si pengusaha semakin sering mengajakku ke luar kota.

Karena terlalu sering ke luar kota bersama, membuat sang istri menjadi curiga. Ternyata sang istri sengaja menyuruh seseorang untuk memata-matai kami.

Hingga akhirnya hubungan kami pun diketahui oleh sang istri. Dan saat itu juga, sang istri pun mengungkapkan kepada si pengusaha, bahwa aku adalah ayah dari anak yang ia lahirkan.

Tentu saja hal ini membuat si pengusaha marah besar. Ia memecat dan mengusir saya dari rumahnya.

Dalam keadaan penuh ketakukan, saya pun meninggalkan rumah si pengusaha tersebut.

Namun saya yakin, si pengusaha tidak akan berani berbuat macam-macam. Biar bagaimana pun, hubungannya denganku selama ini, adalah sesuatu yang harus selalu ia tutupi.

Saya tidak tahu, apa yang dilakukan si pengusaha terhadap sang istri. Mungkin saja ia juga menceraikan sang istri. Tapi saya sudah tidak peduli lagi dengan kehidupan mereka.

Semua mereka yang memulai. Saya hanya mencoba menuruti keinginan mereka selama ini. Walau akhirnya saya harus terjebak dalam hidup yang penuh dengan gelimang dosa.

Kini saya sadar, apapun alasannya, saya telah melakukan kesalahan. Sebuah kesalahan besar yang memberikan banyak pelajaran bagi saya ke depannya, agar lebih berhati-hati lagi dan tidak hanya memikirkan kesenangan sesaat saja.

Semua kisah itu menjadi pengalaman yang berharga dalam hidupku. Bahwa kesenangan sesaat tidak akan membawa kita kemana-mana, kecuali kepada kehancuran.

Setidaknya saya pernah mempunyai hubungan dengan sepasang suami istri.

Dan saat ini, aku akan menata hidupku kembali. Memullainya lagi dari awal. Semoga saja, aku tidak akan pernah terjebak lagi dalam hubungan cinta terlarang.

****
Sekian ...

Sejuta cinta untuk Jeff.

Ini ketiga kalinya, aku merasakan sakitnya ditinggal mentah-mentah oleh seorang cewek. Dikhianati tanpa aku melakukan kesalahan. Rasanya begitu sakit. Meski sudah beberapa kali merasakannya, tetap saja, dikhianati itu terasa menyakitkan.

Dulu, ketika aku masih di SMA, aku pernah pacaran dengan seorang gadis, adik kelasku. Dia gadis yang cantik dan cukup populer di sekolah. Banyak cowok lain yang mengincarnya. Namun setelah perjuangan yang panjang, akhirnya aku mampu menaklukan hati gadis seksi itu. Namanya Sinta, dia menjadi pacar pertamaku, sekaligus cinta pertamaku.

Enam bulan pacaran dengan Sinta, aku merasa begitu bahagia. Banyak teman-teman yang merasa iri melihat kemesraan kami. Tapi semua kebahagiaan itu sirna dalam sekejap. Saat aku tahu, ternyata diam-diam, Sinta juga menjalin hubungan dengan salah seorang teman sekelasku. Awalnya aku mencoba untuk tidak percaya, saat gosip itu beredar. Sampai akhirnya aku mendengar sendiri kata putus dari Sinta. Ia memutuskanku tanpa alasan. Dan seminggu kemudian, aku melihat Sinta berjalan dengan teman sekelasku itu. Sungguh sebuah penghiantan yang luar biasa.

Hal itu tentu saja, membuatku merasa terpukul dan sakit. Sinta telah mengkhianati cinta suciku. Dia bahkan terlihat santai dan tanpa merasa bersalah sedikit pun.

Berhari-hari aku mengurung diri di kamar. Aku seperti kehilangan separoh napasku. Semangat hidupku memudar. Untuk pertama kalinya aku merasakan indahnya berpacaran, namun semua harus berakhir dengan sebuah pengkhianatan.

Setahun berlalu, aku pun lulus dari sekolah itu. Rasa sakit dihatiku karena dikhinati sudah memudar. Aku sudah bisa menerima semuanya. Apalagi aku tahu, ternyata Sinta pada akhirnya juga ditinggalkan cowoknya itu. Sebuah pengkhianatan akan selalu berbalas pengkhianatan pula, meski bukan oleh orang sama.

Saat kuliah, aku bertemu dan berkenalan dengan Novi. Dia gadis yang cantik dan juga sangat ramah. Sejak pertama bertemu dengan Novi, aku mulai menyukainya. Kami pun akhirnya dekat, dan aku pun jatuh cinta padanya. Gayung bersambut, ternyata Novi juga punya perasaan yang sama denganku. Kami pun akhirnya pacaran. Dunia kembali penuh warna bagiku. Maklum, sejak pengkhianatan Sinta. Hatiku seakan membeku. Namun sejak Novi hadir, hatiku mulai mencair kembali.

Aku sangat mencintai Novi. Dan aku berharap, Novi juga merasakan hal yang sama. Kami pacaran hingga hampir dua tahun. Dua tahun, hubungan kami berjalan dengan baik. Meski tentu saja, selalu ada pertengkaran-pertengkaran kecil yang terjadi. Namun kami berusaha untuk saling mengerti dan untuk saling memaafkan.

Setelah dua tahun, akhirnya aku tahu, kalau ternyata Novi sudah mengkhianatiku. Aku tak sengaja memergokinya sedang berjalan dengan cowok lain. Aku tak mengenal cowok itu, tapi saat aku melihat mereka, mereka begitu mesra. Hatiku berkecamuk melihatnya. Aku tak bisa menahan kesabaranku, sampai akhirnya aku menghampiri mereka.

Novi terlihat kaget. Mukanya pucat pasi, bak seorang pencuri yang tertangkap basah. Saat itu juga, aku langsung memutuskan Novi. Hatiku terasa tercabik-cabik. Hubungan yang sudah dua tahun terbina, harus berakhir dengan amat sangat menyakitkan bagiku.

Sejak saat itu, aku tak ingin bertemu Novi lagi. Meski berkali-kali Novi berusaha menemuiku. Aku tak ingin mendengarkan apa-apa lagi dari Novi. Apa pun alasannya, Novi telah mengkhianatiku. Dan ini adalah kedua kalinya, aku dikhianati oleh seorang cewek.

Untunglah Novi tidak satu jurusan denganku, hingga kesempatanku untuk menghindarinya sangat besar.

Sekuat apapun aku mencoba menabahkan hatiku, tapi tetap saja sebuah pengkhianatan itu akan terasa begitu menyakitkan. Aku kehilangan semangatku lagi. Tak mudah bagiku sebenarnya, untuk melupakan sosok Novi dalam hidupku. Biar bagaimanapun, aku sudah terlanjur menyayanginya. Aku sudah terlanjur berharap banyak padanya. Dan itu terasa sangat berat bagiku.

Setelah berbulan-bulan, aku akhirnya berhasil melupakan Novi. Bagiku dia hanyalah sepenggal cerita di masa lalu. Aku mulai menikmati kesendirianku lagi.

Dan setahun kemudian, aku berkenalan dengan Rara. Seorang gadis manis, yang memiliki lesung pipi di kedua pipinya. Kami berkenalan melalui media sosial. Saat kami bertemu, aku pun mulai tertarik kepada Rara. Kian hari kami pun kian dekat. Hingga beberapa bulan kemudian, kami pun jadian. Rara menerima cintaku dengan penuh kebahagiaan.

Kami pacaran cukup lama. Hingga aku lulus kuliah dan mendapatkan sebuah pekerjaan. Aku bekerja di sebuah perusahaan swasta. Sementara Rara sendiri juga sudah bekerja di sebuah rumah sakit, karena Rara memang kuliah di jurusan keperawatan.

Setelah memiliki pekerjaan, aku dan Rara jadi jarang bertemu. Kami mulai sibuk dengan pekerjaan kami masing-masing. Meski kami tetap berusaha menjaga komunikasi diantara kami.

Hubunganku dengan Rara sudah cukup serius sebenarnya, terutama bagiku. Aku bahkan telah memperkenalkan Rara kepada keluargaku. Dan aku sendiri juga sudah bertemu dengan kedua orangtua Rara. Aku sering datang ke rumahnya, terutama bila malam minggu.

Empat tahun kami pacaran. Sudah banyak hal yang kami lalui bersama. Hatiku sendiri sudah merasa mantap, untuk menjadikan Rara pendamping hidupku kelak.

Namun itu semua, ternyata hanya impianku semata. Rara ternyata tidak memiliki impian yang sama denganku. Karena setelah empat tahun itu, akhirnya Rara memilih untuk memutuskanku. Entah apa salahku padanya, hingga dengan begitu mudahnya Rara memutuskanku. Ia memutuskanku tanpa alasan dan tanpa penjelasan, meski aku sudah berusaha meminta penjelasnannya.

"aku capek, Dul. Aku ingin kita menjalani kehidupan kita masing-masing. Aku ingin mengakhiri semua ini..." begitu ucap Rara, setiap kali aku meminta penjelasannya.

Sebulan kemudian, sebuah undangan melayang di meja kerjaku. Seorang teman menyampaikannya padaku. Dalam undangan tersebut, sudah tertulis nama Rara dan calon suaminya. Aku merasa langit runtuh saat itu. Ternyata ini alasan Rara untuk mengakhiri hubungannya denganku. Aku merasa hatiku hancur berantakan. Tak kusangka Rara tega melakukan hal itu padaku. Padahal hubungan sudah berjalan empat tahun. Padahal aku tak pernah menyakitinya. Aku selalu menjaga kesetiaanku. Tapi semua itu tidak ada artinya bagi Rara. Ia justru menikah dengan orang lain.

Untuk ketiga kalinya, aku dikhianati lagi oleh seorang cewek....!!!

****

Kisah cintaku memang selalu berakhir menyakitkan. Sudah tiga kali aku dikhiantai oleh gadis yang aku cintai. Rasanya kepercayaan diriku hilang. Aku bahkan tidak percaya lagi dengan yang namanya perempuan. Bagiku wanita itu terlalu egois. Mereka tak pernah memikirkan perasaan pasangannya.

Pengkhianatan-pengkhianatan yang aku alami, membuatku lebih berhati-hati dalam mengenal wanita. Hingga bahkan aku menutup rapat hatiku, untuk kehadiran seorang wanita pun. Aku tak percaya lagi dengan yang namanya cinta sejati. Bagiku semua wanita itu sama. Sama-sama hanya bisa bikin sakit hati.

Kekecewaanku kian mendalam. Rasa sakit yang harus kutanggung terlalu besar.

Aku mulai berpikir, mungkin ada yang salah dengan diriku. Mungkin aku tidak lagi harus terlalu serius dalam menjalin sebuah hubungan.

Sampai akhirnya aku berkenalan dengan seorang rekan kerja baruku. Namanya Jeff, begitu biasa ia dipanggil. Dia seorang cowok.

Aku memang sudah bekerja sekarang. Aku bekerja di sebuah perusahaan swasta yang cukup besar. Usiaku sendiri sudah 28 tahun. Sebenarnya aku sudah ingin mencari pasangan hidup saat ini. Tapi karena sudah terlalu sering dikhianati cewek, aku jadi merasa ragu untuk memulai lagi semuanya.

Aku berkenalan dengan Jeff, dan kemudian menjadi akrab dan dekat. Jeff emang orangnya baik. Dia ramah dan pengertian.

Jeff lebih muda tiga tahun dariku. Dia seorang perantau. Ia tinggal di sebuah kost, yang berada tidak begitu jauh dari kantor tempat kami bekerja.

Karena sudah begitu dekat, aku jadi sering main ke kost Jeff. Meski hanya sekedar mampir, untuk melepas lelah sepulang kerja. Sebelum akhirnya aku pulang ke rumah.

Kadang-kadang aku juga sanpai larut malam di kost Jeff. Karena di rumah aku selalu mendengar pertanyaan yang sama hampir setiap hari dari kedua orangtuaku, terutama dari Ibu.

Pertanyaan yang membuatku merasa bosan mendengarnya.

Pertanyaan yang sama, yakni, "kapan kamu nikah, Dul?"

Rasanya aku sudah bosan menjawab pertanyaan itu, kadang aku malah sering mengabaikannya.

Padahal usiaku masih cukup muda. Tapi entah mengapa ayah dan Ibu ingin aku segera menikah.

Mungkin karena aku adalah anak mereka satu-satunya.

"kami juga pengen gendong cucu, loh, Dul." ucap Ibu lagi, untuk yang kesekian kalinya.

"Dul juga pengen nikah, Buk. Tapi Ibu sendiri kan tahu, menemukan wanita baik-baik itu susah.." balasku beralasan.

Aku jadi sering menghabiskan waktu bersama Jeff. Bukan saja saat kami di kantor, tapi juga saat hari libur, aku pun sering berjalan-jalan bersama Jeff.

Entah mengapa aku merasa nyaman saat bersamanya. Jeff memang memperlakukanku dengan baik. Dia selalu punya cara untuk membuatku selalu tersenyum.

"bang Dul orangnya baik, cakep lagi. Mungkin cewek-cewek yang ninggalin bang Dul, memang bukan cewek baik-baik. Yang tidak bisa menilai abang secara utuh..." ucap Jeff suatu ketika, saat kami sedang berjalan-jalan di sebuah mall.

"udahlah, jangan ngomongin soal cewek, saya lagi mood.." balasku sedikit malas.

"oke. Jadi kita ngomongin soal apa, nih?" tanya Jeff kemudian.

"apa aja, asal jangan tentang cewek. Bagaimana kalau kita ngomongin tentang kamu aja.." jawabku seadanya.

"tentang aku? Gak ada yang menarik tentang aku, bang.." balas Jeff terdengar kalem.

"ada, lah. pasti ada. Misalnya tentang hubungan asmara kamu..?" ucapku lagi.

"tapi abang katanya gak mau ngomongin soal cewek.." balas Jeff lagi.

"iya. Tapi ini tentang kamunya, bukan tentang ceweknya.." aku berujar pelan.

Sebenarnya aku juga tidak tahu, apa persisnya yang ingin aku ketahui tentang Jeff. Tapi...

"kamu pernah pacaran?" tanyaku akhirnya, hanya sekedar ingin tahu.

"pernah dulu waktu SMA, tapi gak bertahan lama. Namun kemudian saya lebih fokus pada study saya, jadi gak pacaran lagi, hingga sekarang.." jawab Jeff santai.

"sebenarnya aku punya rahasia, bang. Dan aku belum pernah menceritakan rahasiaku itu pada siapa pun.." ucap Jeff memecah keheningan, saat kami sudah kembali ke kost-nya.

Aku memang berencana untuk menginap di kost Jeff malam itu. Selain karena malam minggu, aku juga lagi malas di rumah.

"rahasia apa?" tanyaku pelan.

"tapi abang jangan marah ya." balas Jeff, "abang juga jangan ceritakan hal ini kepada siapapun." lanjutnya.

"iya. Abang bisa jaga rahasia, kok." ujarku lagi, sembari aku membaringkan tubuh di samping Jeff, yang sudah terbaring dari tadi di ranjang kecil itu.

Ranjang dalam kost Jeff memang cukup kecil, hingga saat kami berbaring bersama, tubuh kami sudah pasti berdempetan.

Malam itu karena gerah, aku dan Jeff memang sama-sama hanya memakai celana pendek, dan bertelanjang dada.

"gak jadilah, bang.." ucap Jeff tiba-tiba, setelah ia terlihat berpikir sejenak.

"kenapa gak jadi?" tanyaku, keningku berkerut. Sejujurnya aku mulai penasaran, rahasia apa yang dimaksud Jeff.

"takutnya nanti kalau abang tahu, bang Dul justru akan menjauh dariku.." jawab Jeff, kali ini ia menatap lurus ke arah langit-langit kost.

"ya udah, gak apa-apa. Kalau kamu nya belum siap untuk cerita sekarang gak apa-apa.." balasku seadanya. Walau sebenarnya aku juga penasaran, tapi aku gak mungkin maksa Jeff untuk cerita.

Beberapa saat kemudian, kami pun mulai tertidur. Ini pertama kalinya aku sampai menginap di kost Jeff, karena selama ini aku selalu pulang sebelum jam dua belas.

Menjelang subuh aku terbangun, suasana sudah sangat dingin. Namun aku enggan mengambil baju atau pun selimut. Rasa kantukku, membuatku berusaha menahan rasa dingin itu.

Saat beberapa menit kemudian, dalam keadaan setengah tertidur, aku merasakan tangan Jeff melingkar di tubuhku. Posisiku saat itu, memang miring kearah Jeff.

Tubuhku dan Jeff bertautan. Aku merasa hangat, untuk itu aku membiarkannya.

Namun semakin lama, Jeff semakin erat memelukku. Tangannya bahkan aku rasakan mulai mengelus-elus punggungku. Untuk sesaat aku masih membiarkannya.

Sampai akhirnya aku merasakan hembusan napas Jeff begitu dekat dengan hidungku. Dengan cukup berat aku membuka mata, dan kulihat wajah Jeff sudah berjarak hampir satu centi dari mukaku.

Segera aku dorong tubuh Jeff ringan, lalu aku memutar tubuh membelakanginya. Rasa kantuk, tidak membuatku berpikir macam-macam. Mungkin saja, Jeff hanya sedang bermimpi.

Aku kembali memejamkan mata, dan menikmari rasa kantukku yang memang terasa berat subuh itu.

Apa lagi, biasanya setiap hari minggu, aku memang selalu bangun kesiangan.

Tapi tak lama kemudian, Jeff kembali mendekapku dari belakang. Kali ini aku meronta dan bersegera untuk duduk. Aku mulai merasa ada yang salah. Jeff tak mungkin melakukan hal itu tanpa sengaja.

Melihat aku yang tiba-tiba duduk, Jeff membuka matany, lalu menatapku dengan tatapan yang tidak aku pahami.

"kamu ngapain?" tanyaku akhirnya, nada suaraku cukup tinggi.

"aku ... aku .. aku hanya ingin .. memeluk abang..." jawab Jeff terbata, ia tak berani menentang tatapanku lagi.

"kamu suka sama saya?" tanyaku spontan, terus terang aku sendiri tidak tahu, mengapa aku harus mempertanyakan hal tersebut. Tapi aku memang butuh jawaban, mengapa Jeff tiba-tiba memelukku.

"itulah rahasia saya, bang. Saya seorang gay. Dan Saya suka sama abang..." Jeff berujar, ketika akhirnya ia ikut duduk.

Aku menatapnya setengah tak percaya. Namun jika kuingat-ingat lagi, kebersamaan kami selama ini, harus aku akui, kalau Jeff memperlakukanku selama ini memang cukup istimewa.

Perlakuannya padaku, jauh berbeda dari pada ia memperlakukan teman-teman kantor yang lain. Namun selama ini aku hanya menganggapnya hal biasa. Karena diantara teman-teman yang lain, aku boleh dibilang paling dekat dengan Jeff. Jadi rasanya wajar, kalau ia memperlakukanku beda.

Tapi sekarang...

"maafkan aku, bang..." ucap Jeff kemudian, setelah kami terdiam beberapa saat, "aku tidak bermaksud apa-apa. Aku hanya tidak bisa lagi memendam semua perasaan ini. Aku terlalu sayang sama abang. Cintaku pada abang terlalu besar, untuk bisa terus aku pendam." Jeff melanjutkan kalimatnya, lalu kemudian ia menarik napas panjang.

"sejak awal, aku tahu ini salah. Karena itu aku tidak pernah berani untuk mengungkapkannya. Namun lama kelamaan kita semakin dekat dan akrab, yang membuatku justru semakin mencintai abang. Perasaanku semakin besar kepada abang." suara Jeff mulai terdengar lirih.

"lebih dari setahun kita dekat, bang. Aku bahagia dengan semua itu. Tapi aku juga ingin, hubungan kita lebih dari sekedar sahabat. Karena aku benar-benar mencintai abang, walau aku tahu, abang bukan cowok seperti aku. Namun aku hanya berharap, abang mau memberikan aku kesempatan. Setidaknya beri aku kesempatan untuk membuktikan, kalau cintaku pada abang, bukanlah cinta biasa. Kalau aku akan selalu setia sama abang dan tidak akan pernah meninggalkan abang, seperti yang dilakukan cewek-cewek abang dulu...." ucap Jeff panjang lebar, yang membuatku terus terdiam.

Jeff memang baik. Dan jujur aku pun merasa nyaman, saat bersamanya. Tapi jika ia begitu menginginkanku, aku tidak akan merasakan kenyamanan itu lagi.

Aku masih terdiam, sambil mulai memakai pakaianku satu persatu. Aku memang tidak tahu harus berkata apa saat itu. Segala perasaan berkecamuk di otakku. Tiba-tiba aku merasa aneh.

"maafkan aku, bang..." lirih suara itu terdengar di telingaku, saat aku akhirnya memutuskan untuk pulang. Aku mengabaikan permintaan maaf Jeff barusan, aku terus saja melangkah keluar dari kamar kost itu.

*****

Dulu, dulu sekali. Saat itu aku masih sangat remaja. Itu adalah hari pertama aku masuk SMP. Seorang senior cowok, melakukan pelecehan padaku secara kasar.

Itu adalah kejadian terpahit sepanjang perjalanan hidupku. Kejadian yang terus menghantuiku selama beberapa tahun.

Aku tak pernah menceritakan hal tersebut kepada siapa pun. Bahkan aku sendiri berusaha untuk melupakannya. Mencoba menganggap hal itu tidak pernah terjadi.

Aku mungkin telah berhasil melupakan hal tersebut. Namun kejadian malam itu bersama Jeff, telah mampu mengungkit kembali kenangan pahit itu. Kenangan yang sudah sekian tahun aku lupakan.

Dan aku membenci Jeff karena itu. Aku membenci Jeff, karena telah membuatku mengingat kembali kejadian menyakitkan itu.

Aku memutuskan untuk tidak lagi berhubungan apapun dengan Jeff, bahkan untuk bertegur sapa saja, aku sudah tak ingin.

Terus terang kami menjadi sangat canggung saat di kantor. Ada banyak hal berbeda yang terjadi.

Berkali-kali Jeff berusaha menghubungiku, namun aku selalu mengabaikannya.

Aku tidak membenci Jeff, karena ia seorang gay. Sama sekali tidak, itu tentang pilihan hidupnya.

Namun yang membuat aku risih, ia justru menaruh rasa suka padaku.

Tapi salahkah Jeff, bila ia jatuh cinta padaku?

Cinta memang sesuatu yang rumit. Terkadang sangat sulit untuk dipahami. Namun terkadang, justru semua hanya butuh kejujuran kepada diri sendiri.

Dan itu yang aku rasakan saat ini. Andai saja aku lebih jujur pada diriku sendiri, aku memang membutuhkan Jeff. Setidaknya sebagai sahabat.

Selama ini Jeff selalu ada untukku. Ia selalu siap menampung semua curhat dan ceritaku. Ia selalu saja punya alasan untuk membuatku selalu tersenyum.

Dan sejujurnya, aku merasa kehilangan. Hidupku terasa sepi dan begitu hampa.

Tidak bisa aku pungkiri, hampir setiap malam aku selalu memikirkan Jeff. Bukan saja tentang rasa cintanya padaku, tapi juga tentang sosok Jeff yang baik dan ramah.

Jeff orangnya cukup tampan, tubuhnya lumayan atletis. Kulitnya putih, bersih terawat. Secara fisik, Jeff memang cukup menarik.

Tapi...

Ahk, aku bingung.

Aku memang menyukai perempuan. Tapi bukan berarti aku benar-benar normal. Aku bisa saja punya kemungkinan menjadi seorang gay, mengingat aku pernah dilecehkan saat remaja oleh cowok.

Namun selama ini, setidaknya sebelum aku bertemu Jeff, aku memang selalu berfantasi tentang seorang perempuan. Dan aku bahkan sudah berkali-kali jatuh cinta dan pacaran dengan perempuan. Meski aku belum pernah melakukan hubungan intim dengan mereka.

Kejadian dengan Jeff malam itu, justru jadi sering menghantuiku. Yang membuat aku semakin sadar, kalau aku sebenarnya juga menyukai Jeff.

Namun saat aku menyadari semua itu. Jeff tiba-tiba menghilang.

Jeff tidak lagi bekerja di kantor seperti biasa. Tidak ada yang tahu, kenapa Jeff tiba-tiba berhenti bekerja. Dan tidak yang tahu juga kemana Jeff pergi. Kontak Jeff pun sudah tidak bisa dihubungi satupun. Termasuk media sosialnya.

Jeff benar-benar menghilang.

Aku yang selama ini cukup dekat dengan Jeff, juga tidak pernah tahu, dimana kampung halaman Jeff. Aku juga tidak tahu, seperti apa kehidupan Jeff, sebelum kami saling kenal.

Jeff yang menghilang tiba-tiba, membuat rasa bersalah menyelinap di hatiku. Biar bagaimanapun, aku tahu, Jeff pergi karena aku yang tak kunjung menegurnya.

Jeff pergi, karena kekecewaannya padaku.

Dan sekarang aku justru semakin merasa kehilangan.

************

Hari-hari terus berlalu, dengan perasaan bersalah yang terus menghantuiku. Aku masih terus mengingat Jeff. Bahkan aku sangat merindukannya.

Kini hari-hariku semakin terasa hampa. Aku kehilangan semangat.

Aku sudah berusaha, mencari tahu dimana Jeff berada saat ini. Tapi tidak ada satu info pun yang bisa menjelaskan dimana Jeff.

Aku hanya ingin Jeff tahu, bahwa aku juga mencintainya.

Namun aku mulai putus asa untuk menemukannya. Aku berusaha untuk tidak lagi memikirkannya.

Sudah setahun Jeff menghilang, aku tidak lagi terlalu memikirkannya. Hingga suatua saat...

"kamu Dul, kan?" sebuah suara mengagetkanku, saat aku sedang termenung sendirian di sebuah kafe.

Seorang laki-laki paroh baya, berdiri di hadapanku.

Aku mengangguk dengan sedikit mengerutkan kening. Mencoba menebak-nebak siapa laki-laki tersebut.

"boleh saya duduk?" tanya laki-laki itu lagi.

Karena penasaran, aku mempersilahkannya duduk.

"aku om Darto, dan aku pamannya Jeff. Bukan paman kandung, sih. Tapi aku dan Jeff cukup dekat..." jelas laki-laki itu, saat ia sudah duduk dihadapanku.

Mendengar nama Jeff, terus terang hatiku bergejolak.

"Jeff banyak cerita tentang kamu. Dia bahkan menyimpan poto-poto kamu di handphone-nya. Kamu gak usah kaget, aku tahu Jeff 'sakit' sudah sejak lama. Tapi aku selalu mendukungnya selama ini. Karena itu adalah pilihan hidup Jeff. Dan aku harus menghargainya..." laki-laki itu, om Darto, melanjutkan kalimatnya.

Begitu banyak yang ingin aku tanyakan pada om Darto, tentu saja semua tentang Jeff. Tapi entah mengapa bibirku rasanya kelu.

"Jeff sebenarnya sakit, Dul. Maksud saya, bukan sakit homo-nya. Tapi benar-benar sakit. Dia menderita kanker otak, sudah bertahun-tahun. Namun Jeff orangnya keras, dia tetap berusaha untuk hidup secara normal. Dia tidak ingin orang-orang merasa kasihan karena penyakitnya itu..." om Darto menghentikan ceritanya, saat seorang pelayan mengantarkan minuman yang tadi ia pesan.

Om Darto meneguk minumannya beberapa kali, lalu kemudian berujar lagi,

"semakin lama, penyakit Jeff semakin parah. Ia tidak bisa lagi menyembunyikannya. Ia harus dirawat di rumah sakit. Dan ia seharusnya di operasi. Namun Jeff selalu menolak untuk di operasi. Hingga kanker itu semakin menggerogoti otaknya. Dan Sebulan yang Jeff pun meninggal...."

Om Darto menarik napas dalam, wajahnya murung.

Aku bukan saja kaget, tapi juga syok, mendengar hal itu.

Bagaimana mungkin seorang Jeff terlihat begitu kuat, ternyata menyimpan penyakit yang begitu parah. Kenapa Jeff tak pernah cerita padaku?

Kenapa Jeff harus menutupi penyakitnya?

"Jeff tahu, umurnya tak lama, karena itu, ia dengan cukup berani mengungkapkan perasaannya padamu. Meski ia tahu, kamu laki-laki normal. Dan jeff menceritakan semua itu padaku, sebelum akhirnya ia meninggal..." om Darto melanjutkan ceritanya.

"ia menitipkan pesan padaku, untuk menyampaikan permintaan maafnya..." setelah berucap demikian, om Darto meneguk minuman terakhirnya. Lalu kemudian pamit.

Aku masih terpaku dalam diam. Hatiku yang tadinya sudah mulai mengikhlaskan kepergian Jeff. Tiba-tiba semakin terluka.

Kali ini bukan lagi karena Jeff yang menghilang tiba-tiba, tapi lebih karena aku akhirnya memang harus kehilangan Jeff untuk selama-lamanya.

Jeff pergi, tanpa ia tahu perasaanku yang sebenarnya padanya. Jeff pergi dengan meninggalkan rasa bersalah yang begitu besar padaku.

Ia pergi, padahal aku punya sejuta cinta untuknya disini....

****

Sekian ...

Kisah nyata : Rumah tanggaku hancur karena uang...

Nama saya Theo (bukan nama sebenarnya), saat ini saya sudah berusia kurang lebih 38 tahun. Saya sudah menikah dan mempunyai dua orang anak.
Anak pertama saya, perempuan, sudah berusia 9 tahun. Sedangkan anak kedua saya, laki-laki, masih berumur 5 tahun.

Istri saya, sebut saja namanya Syifa (nama samaran), seorang wanita yang cantik dan masih seksi sampai saat ini. Sebenarnya dia isteri yang baik dan juga penuh perhatian.

Awal pernikahan kami sungguh bahagia, karena memang kami menikah atas dasar saling cinta. Pernikahan kami terasa sangat manis dan indah. Semua berjalan dengan baik.

Meski kehidupan kami tidak terbilang mewah, karena saya hanya seorang pegawai honorer di sebuah sekolah swasta. Kehidupan rumah tangga kami cukup sederhana. Isteriku tak pernah mengeluh soal kebutuhan hidup kami. Alhamdulillah, gaji saya masih bisa mencukupi kebutuhan rumah tangga kami, meski tentu saja saya masih mencari tambahan dengan berjualan pulsa.

Hidup kami yang pas-pasan tidak menghalangi kami untuk tetap bahagia. Apa lagi semenjak kehadiran kedua buah hati kami. Hidup saya terasa lengkap.

Sepuluh tahun pernikahan kami, semua berjalan baik-baik saja. Tanpa ada masalah yang berarti. Hingga akhirnya suatu hari...

"mas, saya pengen kerja lagi..." ucap isteriku di sela-sela makan malam kami.

"kenapa?" tanyaku dengan kening yang berkerut.

"bosan aja di rumah, mas. Sayang juga kan, ijazah saya rasanya gak kepake..." jawab isteriku dengan suara lembutnya.

Sebenarnya, sebelum menikah denganku, isteriku adalah seorang karyawan di sebuah perusahaan yang cukup ternama. Namun setelah menikah denganku, ia memutuskan untuk berhenti bekerja dan memilih untuk menjadi ibu rumah tangga.

"apa kamu gak repot?" tanyaku akhirnya setelah kami terdiam sejenak.

"gak kok, mas. Lagian anak-anak juga sudah besar..." ia berujar sambil menatapku.

Aku tediam lagi. Mempertimbangkan keinginan istriku yang tiba-tiba saja ingin bekerja lagi, setelah lebih dari sepuluh tahun ia vakum.

"izinkan saya ya, mas. Saya janji saya akan bisa bagi waktu, terutama buat anak-anak.." isteriku berujar lagi dengan nada sedikit memohon. "sekarang Alda sudah bisa mengurus dirinya sendiri, dan Aldi juga sudah masuk TK. Mas selalu pulangnya sore, kadang saya juga kesepian di rumah.." lanjutnya.

Anak perempuanku, Alda, memang sudah kelas empat SD, ia sekolah di tempat saya bekerja sebagai guru honorer. Alda sekolah sampai sore, dan biasanya kami selalu pulang bersama. Sedangkan anak laki-lakiku, Aldi, sudah masuk TK tahun ini, sekolahnya juga berada satu yayasan dengan tempat aku mengajar. Biasanya Aldi memang aku yang mengantar pulang, karena ia sekolah hanya sampai jam sebelas siang.

"nanti kalau aku jadi kerja, Aldi gak usah mas antar pulang. Gak apa-apa dia disana aja, nungguin mas pulang kerja..." lanjut istriku lagi.


***********

Akhirnya dengan sangat terpaksa, aku mengizinkan istriku bekerja lagi. Aku hanya tak ingin membuat ia kecewa, karena tidak memenuhi keinginannya. Tentu saja dengan syarat ia tidak mengabaikan kewajibannya sebagai seorang istri dan juga sebagai seorang Ibu.

Istriku diterima bekerja di sebuah perusahaan besar. Istriku memang memiliki skill dan pengalaman kerja yang bagus. Ia juga lulusan dari kampus ternama. Sehingga ia dengan mudah mendapatkan pekerjaan.

Setelah mulai bekerja, istriku jadi jarang di rumah. Anak-anak lebih sering bersamaku.

Awalnya semua berjalan baik-baik saja. Istriku masih bisa dengan baik mengatur waktu terutama untuk anak-anak. Ia berangkat kerja saat saya dan anak-anak sudah pergi ke sekolah, dan biasanya ia pulang pada sore hari, saat kami baru saja sampai di rumah.

Semua berjalan dengan baik. Dan tentu saja, secara ekonomi penghasilan kami juga meningkat. Terlebih karena memang istriku mendapatkan gaji jauh lebih besar dari yang aku peroleh setiap bulannya. Namun hal itu tidaklah terlalu menjadi masalah awalnya. Istriku masih bisa menghargaiku sebagai seorang suami dan juga seorang ayah.

Sebenarnya istriku, berasal dari keluarga yang sederhana. Orangtuanya bekerja sebagai petani di kampung. Namun istriku seorang yang cerdas dan memiliki tingkat intelektual diatas rata-rata, sehingga ia bisa mendapatkan beasiswa dan lulus kuliah dengan hasil terbaik. Mendapatkan pekerjaan yang bagus, hingga kemudian ia memutuskan untuk berhenti bekerja ketika akhirnya ia memilih untuk menikah denganku.

Namun ternyata setelah sepuluh tahun vakum dari dunia kerja, sekarang ia memutuskan untuk memulai bekerja lagi dan mengasah bakatnya yang selama ini ia pendam.

*************

Setahun bekerja, aku mulai merasakan ada perubahan-perubahan yang terjadi pada istriku. Sikapnya tak lagi semanis dulu. Ia bahkan sekarang sering pulang hingga malam. Ia hampir tidak punya waktu untuk anak-anak kami. Istriku berangkat kerja labih pagi dari biasanya, bahkan sebelum anak-anak terbangun. Dan pulang pun saat anak-anak sudah tidur.

"saya perhatikan akhir-akhir ini, kamu sering pulang malam..." tanyaku suatu malam.

"biasalah mas, sekarang saya sering lembur..." jawabnya beralasan.

Saya pun coba mengerti.

Namun berbulan-bulan berlalu, tingkah laku istriku malah semakin parah. Ia pulang semakin larut, hampir setiap malam. Anak-anak tidak lagi ia perhatikan. Ia tidak pernah lagi makan apa lagi memasak di rumah. Ia hanya pulang untuk tidur, kemudian pergi lagi saat pagi. Perubahan-perubahannya sangat terasa bagiku. Aku tak lagi mengenali istriku. Bahkan ia selalu menolak setiap kali aku mengajaknya berhubungan badan.

"aku capek, mas..." begitu selalu alasannya.

Dan aku hanya bisa terdiam melihat itu semua.

"Ibu kemana sih, Yah?" tanya anak perempuanku suatu hari.

Aku tersenyum manatap anakku. Aku tahu anak-anakku merasa kehilangan sosok seorang Ibu dalam rumah tangga kami. Mereka lebih sering terlihat muram dan tidak bergairah. Namun aku selalu berusaha menghibur mereka, menjadi sosok ayah yang baik untuk mereka.

"Ibumu kan lagi kerja, nak..." jawabku sekenanya.

"masa' ia kerjanya sampai malam terus, Yah..." ucap anakku lagi, yang membuatku semakin terhenyak dan tak tahu harus menjawab apa.

"kamu kenapa sih, harus pulang selarut ini?" tanyaku pada istriku suatu malam, melihat ia baru saja masuk rumah, saat itu sudah jam satu malam.

"di kantor sedang banyak perkerjaan sekarang, mas. Harus lembur. Dan kadang harus bertemu klien dulu...." jawab istriku dengan nada datar.

"tapi memang harus setiap malam, ya? Dan selarut ini?" tanyaku lagi, dengan suara bergetar menahan gejolak.

"udahlah, mas. Kamu gak bakal ngerti. Pekerjaan yang aku jalani sekarang, tidak sama dengan pekerjaan mas..." balasnya sambil melangkah menuju kamar.

Aku mengikuti langkahnya dari belakang,

"maksud kamu apa?" kali ini suaraku sedikit tinggi.

"yah, kamu ngertilah mas maksudku apa.." suara istriku masih terdengar santai. "dan lagian kamu kenapa sih, mas? yang penting saya itu punya pekerjaan yang jelas dan hasilnya juga jauh lebih besar dari gaji kamu. Harusnya tuh, mas bersyukur punya istri yang punya penghasilan besar seperti saya..." lanjut istriku, yang membuat emosiku semakin memuncak.

Namun aku segera menarik napas panjang. Aku tidak ingin ribut dengan istriku, apa pagi tengah malam seperti ini. Aku tak ingin anak-anak terbangun, lalu mendengar kami bertengkar. Aku mencoba meredam emosiku. Aku melangkah ke dapur dan mengambil segelas air untuk menenangkan pikiranku.

Sebagai seorang suami, aku memang sudah mulai curiga dengan sikap istriku akhir-akhir ini. Semuanya sekarang benar-benar berubah. Rumah tangga kamu sudah jauh dari kata harmonis. Bahkan sudah berada di ujung tanduk. Setiap kali aku coba menegur istriku, setiap kali pula ia mengajakku untuk bertengkar.

Karena kecurigaanku, akhirnya suatu malam aku memutuskan untuk membuntuti istriku. Sengaja anak-anak aku titipkan pada tetangga sekaligus sepupuku malam itu. Aku harus tahu, apa yang sebenarnya istriku lakukan di luar rumah setiap malamnya.

Dengan sangat hati-hati, aku memperhatikan istriku yang baru saja keluar kantor, saat itu kira-kira jam tujuh malam. Ia berjalan santai menuju sebuah mobil mewah di tempat parkir. Di sampingnya berjalan seorang laki-laki dengan setelan yang rapi. Mereka terlihat akrab. Mereka terlihat mengobrol dengan sekali-kali terlihat tertawa riang. Hatiku semakin bergemuruh. Rasanya ingin aku melabrak mereka berdua saat itu. Namun aku masih berusaha untuk menahan diri. Bisa saja laki-laki tesebut adalah bos istriku, dan mereka sedang ngobrol tentang pekerjaan. Untuk itu aku masih diam sambil terus memperhatikan mereka dari kejauahan.

Setelah sampai di mobil, kulihat laki-laki tersebut membukakan pintu mobil untuk istriku. Istriku terlihat tersenyum. Setelah menutup pintu dengan pelan, laki-laki tersebut pun segera masuk ke mobil. Tak lama kemudian mobil itu pun melaju meninggalkan halaman parkir kantor. Aku membuntuti mobil itu dengan menggunakan motor bututku yang sengaja aku bawa dari rumah.

Mobil itu berjalan pelan menuju arah yang berlawanan dari arah menuju rumahku, yang membuatku semakin curiga. Namun aku tetap membuntuti mobil itu dengan hati-hati. Hingga kulihat mobil itu berbelok ke halaman sebuah hotel yang cukup megah. Hotel itu berada di pinggiran kota. Suasananya cukup sunyi. Mobil itu pun parkir. Kulihat istriku dan laki-laki itu keluar bersamaan, lalu melangkah masuk ke dalam hotel.

Aku masih mencoba berpikir positif, mungkin mereka akan menemui klien mereka disini. Pikirku, sambil memarkir motorku agak jauh dari hotel tersebut.

Dengan mengendap-endap, aku memperhatikan istriku dari kejauhan. Mereka menuju resepsionis, berbicara sebentar, lalu kulihat resepsionis tersebut memberikan sebuah kunci sambil tersenyum akrab.

Mereka berdua pun naik kelantai atas dengan menggunakan lift. Dengan tergesa, aku segera menuju tempat resepsionis tadi.

"oh yang barusan check-in tadi, ya?" jawab resepsionis tadi, ketika aku mempertanyakan tentang istriku dan laki-laki tersebut. "itu udah jadi langganan kami, pak. Sudah hampir tiga atau empat bulan ini, mereka sering nginap disini..." lanjut resepsionis itu lagi, yang membuat dadaku semakin bergemuruh. Aku seperti mendengar suara petir menggelegar malam itu, saat sang resepsionis tersebut menjelaskan semakin jauh. Aku tak sanggup mendengarkannya lagi, buru-buru aku menuju lift, untuk naik ke lantai atas, menuju kamar tempat istriku dan sang pria berada.

Sesampai disana, aku melihat pintu kamar tempat istriku menginap sudah tertutup rapat. Dengan emosi yang kian memuncak, kuketuk pintu kamar itu dengan cukup keras.

Tak selang beberapa saat, seorang laki-laki yang hanya bertelanjang dada, muncul dari balik pintu.

"maaf anda siapa? Dan ada keperluan apa?" tanya laki-laki itu, yang membuatku ingin memukuli wajahnya.

Aku tidak pedulikan pertanyaan laki-laki tersebut. Dengan sedikit memaksa, kudorong pintu kamar itu, hingga terbuka lebar. Laki-laki itu terdorong ke belakang, ia  menatapku tajam.

Sekali lagi aku tidak mempedulikannya. Aku menatap sekeliling, kulihat istriku sedang terbaring di ranjang, dengan pakaian yang sudah setengah terbuka.

Melihat aku yang berdiri diambang pintu, istriku tentu saja kaget dan segera bangkit. Wajahnya pucat pasi. Sambil tergesa ia memperbaiki pakaiannya.

"mas Theo?!" ucapan istriku dengan suara bergetar.

Mendengar ucapan istriku, laki-laki yang sejak tadi berdiri disampingku dan menatapku tajam, segera mundur perlahan. Dengan terburu, ia mengambil bajunya yang berserakan dilantai dan memasangnya kembali. Lalu dengan sedikit berlari, ia keluar dari kamar itu. Aku mencoba mengabaikannya. Fokusku hanya kepada istriku. Aku menatap istriku dengan tatapan tak menentu. Aku tidak tahu apa yang aku rasakan saat itu. Antara marah, benci dan rasa tak percaya.

Untuk sesaat aku hanya terdiam. Rasanya aku masih tidak percaya, istriku tega melakukan itu semua. Aku masih merasa bagai bermimpi. Namun dengan segera aku mengumpulkan semua kekuatanku. Aku mencoba mengontrol emosiku kembali. Aku tak ingin membuat keributan disini. Aku tak ingin memperburuk keadaan.

Bagiku semuanya sudah cukup jelas. Apa yang dilakukan istriku, sudah cukup untuk menjelaskan, mengapa ia berubah akhir-akhir ini. Aku tak ingin membahasnya lagi. Apapun alasannya, istriku telah menghianatiku. Dan itu terasa amat sangat menyakitkan. Tubuhku terasa lemas tak berdaya, namun aku berusaha untuk terlihat tegar.

Saat itu juga aku menceraikan istriku. Aku tak pedulikan reaksi istriku yang tiba-tiba menangis menghiba. Bahkan ia sampai bersujud memohon maaf. Isak tangisnya mengundang perhatian beberapa orang, terutama petugas hotel. Tapi aku tetap tak mempedulikannya. Apa yang telah ia lakukan adalah sesuatu yang tak bisa aku maafkan lagi. Isak tangisnya justru membuatku semakin muak melihatnya.

Setelah menjatuhkan talak, aku melangkah keluar dengan sangat tergesa, diiringi jeritan penuh hiba dari istriku. Hatiku terasa perih, namun aku sekuat mungkin menahan air mataku. Aku tak ingin menangisi semua ini, aku harus tetap kuat. Aku harus tegar menghadapi semua ini, setidaknya demi anak-anakku.

Sesampai di rumah, aku segera mengemasi barang-barangku. Aku tak ingin lagi berada di rumah ini. Aku harus pergi. Malam itu, aku memutuskan untuk menginap dirumah sepupuku. Saat aku sampai disana, untunglah anak-anak sudah tertidur. Aku pun menceritakan semua kejadian tersebut kepada sepupuku. Namun aku tak ingin anak-anakku tahu. Mereka tidak boleh tahu, apa yang telah terjadi.

Akhirnya dengan sangat berat, esoknya aku dan anak-anak pun pergi. Setelah dengan sangat susah payah, aku membujuk anak-anak, agar mau ikut denganku. Aku berusaha memberi alasan yang tepat kepada mereka. Aku harus pergi dari sini. Aku harus pergi membawa anak-anak. Pergi meninggalkan kota ini, pergi meninggalkan segala kenangan yang pernah tercipta disini.

Berkali-kali istriku coba menghubungiku, tapi aku tidak mempedulikannya lagi. Aku hanya ingin membawa anak-anak pergi jauh dari kota ini. Aku tak ingin anak-anak tahu, tapi semua kisah ini akan selalu ku kenang. Sebagai pelajaran bagiku ke depannya.

Aku tahu, ini takkan mudah bagiku. Tak akan mudah bagiku, membesarkan anak-anak sendirian. Tak akan mudah bagiku, memulainya lagi dari awal. Tak akan mudah bagiku, hidup jauh dari kota kelahiranku. Namun ini jauh lebih baik, dari pada aku harus bertemu lagi dengan istriku yang sudah menghianatiku.

Bagiku tidak ada lagi maaf untuknya. Hatiku sudah terlalu sakit, hatiku sudah terlanjur terluka sangat parah. Yang ingin aku lakukan saat ini, hanyalah melupakannya. Memulai hidupku yang baru, di tempat yang baru. Dan semoga aku akan bertemu dengan orang-orang baru, yang tidak akan pernah menghianatiku. Ya! Semoga saja!

****

Sekian ...

Aku jatuh cinta kepada sang bidan...

Aku termenung sendiri, mengingat semua kejadian yang aku alami akhir-akhir ini.
Sungguh tak pernah terpikir olehku, jika aku harus terlibat skandal dengan seorang bidan desa yang cantik.
Namanya, Yola. Dia bidan baru di desa kami. Sebenarnya Yola sudah menikah dan sudah punya seorang anak perempuan.
Namun suaminya yang seorang pelaut sangat jarang pulang.


Cerpen sang penuai mimpi

Aku mengenal Yola dan mulai dekat dengannya, semenjak Ibuku sering sakit dan harus rutin berobat.
Karena kehidupan kami yang pas-pasan, aku tak mampu membawa Ibuku berobat ke rumah sakit besar, selain biayanya yang mahal, jarak desa kami ke kota sangat jauh.
Jadi aku hanya mampu mengobati Ibu ku di Puskesmas desa.

Aku anak sulung dari tiga bersaudara dan ayahku sudah meninggal beberapa tahun lalu.
Jadi sekarang aku yang jadi tulang punggung keluargaku. Aku harus bekerja keras untuk membiayai hidup keluargaku, terutama untuk biaya sekolah adik-adikku yang masih kecil-kecil.

Aku dan Yola memang semakin dekat, karena sering bertemu dan ngobrol.
Karena kedekatan kami, Yola sering cerita padaku kalau ia sebenarnya sering merasa kesepian.
Suaminya memang jarang pulang, dan kalau pun pulang tidak pernah lama.
Aku kadang juga merasa prihatin, mendengar cerita Yola. Tapi aku selalu berusaha menjaga jarak dengannya, karena tidak ingin orang-orang di kampung merasa curiga dan berpikiran macam-macam tentang kami.

Yola seorang perempuan yang cantik, meski sudah punya anak dan sudah berumur kepala tiga, dia masih terlihat awet muda dan mempesona. Terus terang aku tidak bisa memungkiri, kalau Yola adalah seorang wanita yang sangat menarik. Meski usiaku dua tahun lebih muda darinya. Tapi di mataku, Yola wanita yang baik dan ramah.

Kian hari kami pun kian dekat. Dan aku pun jatuh cinta padanya. Entah mengapa keinginan untuk memilikinya tumbuh begitu besar di hatiku. Namun aku berusaha memendam semua rasa itu. Karena biar bagaimana pun, Yola sudah memiliki seorang suami. Meski pun, ia mengakui kalau ia tidak bahagia dengan pernikahannya.
Dan lagi pula, aku hanya seorang pemuda desa yang berasal dari keluarga tak mampu.
Secara ekonomi kami jelas jauh berbeda.

Karena kedekatan kami, orang-orang di desa pun sudah mulai membicarakan kami. Bahkan Ibuku sendiri juga sempat mempertanyakan hubunganku dengan Yola. Dan aku mencoba menjelaskan kalau kami tidak ada hubungan apa-apa.
Ibuku mungkin percaya, tapi orang-orang tidak. Gosip tentang kami, pun kian beredar.

Karena takut akan terjadi fitnah, aku dan Yola pun sepakat untuk saling menjaga jarak.
Dan selama masa jaga jarak itulah, akhirnya kami sadar, kalau ternyata kami memang saling suka dan saling tertarik. Tiba-tiba saja, ada rindu. Ada keinginan untuk tetap bertemu.
Yola pun mengakui hal itu padaku. Dan aku pun jujur padanya, kalau aku memang suka dengannya.
Meski kami tahu, kalau apa yang kami rasakan itu adalah sebuah kesalahan.
Namun kami tidak bisa menghindari datangnya rasa itu.
Dan kami hanyalah manusia biasa.

Semakin kami berusaha menolak hadirnya rasa itu, semakin besar pula ia tumbuh.
Sampai akhirnya, kami pun terjebak oleh perasaan kami sendiri.
Yola melampiaskan segala kesepiannya padaku, dan aku tidak bisa menolak kehadiran Yola dalam hatiku. Aku benar-benar telah jatuh cinta kepada Yola.
Kami pun menjalin hubungan yang cukup serius, meski hubungan kami tidak diketahui oleh siapapun. Kecuali oleh kami berdua. Namun kami begitu menikmati hubungan terlarang tesebut.
Semuanya terasa indah bagi kami.

Berbulan-bulan dan bahkan hampir dua tahun hubungan terlarang kami berjalan dengan teramat indah. Kami sering bertemu secara diam-diam, tanpa diketahui orang-orang. Kami sering bertemu diluar desa, agar orang kampung tidak merasa curiga.
Kami benar-benar telah terlena oleh cinta buta yang hadir diantara kami.

Namun setelah dua tahun, akhirnya hubungan kami pun diketahui oleh suami Yola. Beliau sangat marah dan memukuliku sampai babak belur, dan bahkan beberapa warga ikut memukuliku.
Ibu dan keluargaku tidak bisa berbuat apa-apa, karena memang apa yang aku lakukan adalah sebuah kesalahan.
Tapi sebagai laki-laki aku tak ingin lari, aku harus bertanggungjawab. Aku harus siap menerima resiko dari perbuatanku.

Namun ternyata suami Yola memilih untuk membawa Yola pergi dari desa itu. Dan aku tak bisa berbuat apa-apa.
Orang-orang sudah terlanjur membenciku, kecuali mungkin Ibuku. Meski tentu saja, beliau sangat terpukul dan malu.
Tapi semua sudah terjadi, dan aku harus menerima hukumannya.

Terus terang aku merasa sangat kehilangan Yola. Hari-hariku terasa hampa dan tak berarti.
Sudah beberapa minggu berlalu, dan aku belum mendengar kabar apa pun dari Yola.
Aku tahu, aku tak boleh berharap apa-apa lagi dari Yola. Namun aku hanya ingin tahu, seperti apa kondisinya saat ini.

Hinga beberapa bulan kemudian, aku pun mendapat kabar, kalau Yola masuk rumah sakit dan meninggal.
Ternyata setelah kejadian itu, Yola mendapat perlakuan yang sangat buruk dari suaminya.
Hampir setiap hari ia di pukuli oleh suaminya. Sampai akhirnya harus masuk rumah sakit selama beberapa hari dan akhirnya meninggal.

Tiba-tiba rasa bersalah menghantuiku. Segala penyesalan akhirnya pun datang.
Seandainya saja, aku lebih bisa menjaga perasaanku, agar tidak jatuh cinta pada Yola, tentu saja semua ini tidak akan pernah terjadi.
Namun kini semua telah terjadi, dan aku tidak bisa mencegahnya.
Yola pergi dengan membawa semua kenangan yang pernah tercipta di antara kami.
Meski tentu saja, itu semua adalah kenangan penuh dosa.
Tapi tetap saja, bagiku itu semua teramat indah. Walau harus berakhir dengan begitu menyakitkan.

**** 

Sekian ....

Dibalik air mata sang pengantin

"Ayah sangat berharap kamu bisa memenuhi permintaan Ayah. Anggaplah ini sebagai permintaan terakhir dari Ayah..." suara itu terdengar lemah di telinga Ine. Ia menatap laki-laki tua itu dengan perasaan iba.

Ayahnya sudah lebih dari dua bulan terbaring sakit. Selama dua bulan ini, Ine dan Ibunya berusaha merawat sang Ayah dengan baik. Sudah banyak pihak keluarga dan juga para tetangga yang menyarankan untuk membawa Ayahnya ke rumah sakit. Namun Ine dan Ibunya tidak punya uang yang cukup untuk membawa sang Ayah ke rumah sakit.

Biaya berobat ke rumah sakit tentunya sangatlah mahal. Sementara mereka hanyalah keluarga miskin yang tidak punya apa-apa. Ayahnya selama ini hanya bekerja sebagai buruh bangunan, sementara sang Ibu bekerja sebagai buruh cuci.

Mereka hidup di sebuah desa yang sangat jauh dari kota. Untuk biaya hidup saja, terkadang mereka harus meminjam uang dari para tetangga. Tentu saja kehidupan seperti itu sangat berat mereka jalani.

Ditambah lagi kedua adik Ine masih kecil-kecil dan masih sekolah. Tentunya biaya hidup mereka sangat besar, dibandingkan dengan penghasilan yang mereka dapat selama ini.

Apa lagi sekarang sang Ayah menderita sakit gagal ginjal, yang seharusnya dirawat di rumah sakit dan harus dioperasi. Namun karena kondisi kehidupan mereka yang sangat kekurangan, mereka hanya berusaha melakukan pengobatan tradisional yang ada di desa tersebut.

"Ayah ingin kamu menerima lamaran dari nak Martin..." sang Ayah melanjutkan lagi, kali ini suaranya sedikit terbata karena menahan rasa sakit.

Seketika Ine merasakan matanya berkaca. Ia benar-benar tak tega melihat kondisi Ayahnya saat ini. Tapi permintaan Ayahnya tersebut terlalu berat untuk Ine terima.

Ine tahu siapa Martin. Laki-laki itu adalah anak dari kepala desa, ia seorang sarjana yang sudah bekerja di sebuah perusahaan sawit yang berada tak jauh dari desa. Disana ia sudah menjadi seorang maneger. Kehidupannya memang sudah mapan, terlepas dari ia seorang anak kepala desa atau tidak.

Secara fisik, Martin sebenarnya seorang pemuda yang cukup menarik. Ia tampan, ramah dan juga terkenal cukup baik.

Namun Ine tidak mencintai pemuda tersebut. Meski Ine sudah mengenal Martin cukup lama, tapi ia tidak punya perasaan apa-apa kepada Martin. Selain teman satu kampung.

Usianya dan Martin memang terpaut cukup jauh. Martin sudah berusia 28 tahun saat ini. Usia yang sudah cukup dewasa, dan tentu saja sudah sangat siap untuk berumah tangga.

Karena itulah beberapa minggu yang lalu, kedua orangtua Martin datang ke rumah Ine untuk menyampaikan niat mereka untuk melamar Ine.

Kedua orangtua Ine tentu saja setuju bahkan sangat senang mendengar hal tersebut. Namun bagi Ine, itu merupakan pukulan yang sangat berat. Bukan saja karena ia memang tidak mencintai Martin, tapi juga karena sebenarnya Ine sudah punya seorang kekasih.

Namanya Danu. Seorang pemuda yang berasal dari desa yang sama. Namun saat ini, Danu sedang berada di kota untuk kuliah.

Danu merupakan teman sepermainan Ine sejak kecil, selain jarak rumah mereka yang cukup dekat, mereka juga seumuran. Mereka berteman sejak masih di sekolah dasar hingga sama-sama menamatkan Sekolah tingkat atas.

Sejak mulai masuk SMA mereka pun sepakat untuk menjalin hubungan asmara. Mereka memang sudah saling tertarik sejak lama. Hubungan mereka terjalin dengan indah.

Namun hubungan indah itu, harus terpisahkan oleh jarak dan waktu. Danu harus melanjutkan kuliah ke kota, sementara Ine yang memang tidak punya biaya, harus tetap tinggal di kampung dan membantu orangtuanya.

Meski terpisah ratusan kilometer, hubungan Ine dan Danu tetap berjalan. Mereka sering saling memberi kabar melalui handphone.

Dan kadang pada saat musim liburan, Danu juga kembali ke desa. Mereka bisa bertemu dan saling melepas rindu.

Danu sebenarnya juga berasal dari keluarga yang kurang mampu. Namun karena Danu anak tunggal, kedua orangtuanya sangat berharap agar Danu bisa kuliah dan menjadi orang yang sukses. Karena itulah kedua orangtua Danu harus banting tulang untuk bisa membiayai kuliah Danu.

"tak akan ada yang mampu memisahkan kita. Meski kita terpisah jarak dan waktu. Aku mencintai kamu dulu, sekarang dan selamanya. Aku ingin kamu menjaga cinta kita, hingga suatu saat nanti aku bisa melamarmu..." begitu ucap Danu kepada Ine pada suatu ketika, sebelum ia berangkat kuliah.

Ine sangat tersentuh dengan semua itu. Ia juga sangat mencintai Danu. Baginya Danu adalah cinta pertama sekaligus laki-laki terakhir yang akan mengisi hatinya.

"aku juga mencintai kamu, Dan. Tak peduli sejauh apa pun jarak yang ada diantara kita. Aku juga ingin kamu menjaga cinta ini, hingga maut memisahkan kita..." balas Ine, ia membalas remasan jemari Danu pada tangannya.

Hampir setahun Danu kuliah di kota, hubungan mereka justru semakin erat. Hampir setiap malam mereka selalu berhubungan melalui handphone. Sesekali Danu pulang, untuk sekedar saling melepas rindu. Mereka sangat bahagia dengan semua itu.

Ine masih terdiam mendengar penuturan sang Ayah, yang masih saja menunggu jawabannya.

"Ayah tahu ini berat buat kamu. Tapi Martin pemuda yang baik, masa depannya jelas. Kehidupannya juga sudah mapan. Kamu juga harus memikirkan adik-adikmu. Mereka butuh kehidupan yang lebih baik." sang Ayah berujar lagi, sambil menyentuh dengan lembut tangan sang anak.

Ine tak mampu lagi menahan air matanya. Perlahan air mata itu pun jatuh membasahi pipinya. Tak tahan dengan perasaannya sendiri, Ine pun berdiri dan berlari menuju kamarnya. Tangisnya pun tumpah. Ia terisak. Air matanya tidak bisa ia bendung lagi, ia tumpahkan segala kepedihannya dengan tangisan pilu.

Hatinya terasa teriris. Betapa begitu sulit baginya semua itu. Biar bagaimana pun, ia sangat mencintai Danu. Namun ia juga tidak mungkin menolak permintaan sang Ayah saat ini.

Dari pintu masuk sang Ibu berjalan mendekati gadis itu. Ia duduk disampingnya dan membelai rambut Ine dangan lembut.

"Ine masih belum pengen nikah, Bu..." suara Ine terbata di tengah isaknya.

"Ibu ngerti, Ne. Tapi apa kamu tega menolak keinginan Ayahmu? Apa kamu tega membuat ia semakin menderita?" ucap sang Ibu, sambil terus membelai rambut hitam panjang itu.

"tapi Ine tidak mencintai mas Martin, Bu..." suara Ine masih terisak.

"tapi kamu sayang, kan sama Ayah kamu? Sama Ibu?" ucapan sang Ibu membuat Ine semakin terisak pilu. Hatinya kian perih. Sungguh sebuah pilihan yang teramat sulit baginya. Antara memenuhi keinginan orangtuanya, yang tentu saja ia harus mengorbankan cinta sucinya. Atau ia harus berjuang demi cintanya, dan tentu saja ia harus melukai hati kedua orangtuanya. Ine meringis sakit, mengingat semua itu.

*********

"kamu tahu apa yang paling berat dari semua ini, Ne..?" suara Danu terdengar parau, saat mereka akhirnya berjumpa pada suatu sore. Setelah dengan terbata, Ine menceritakan semua kejadian yang menimpanya dan tentang perjodohannya dengan Martin kepada Danu, melalu telepon genggamnya.

Danu pun buru-buru pulang mendengar semua itu. Ia meminta Ine untuk menemuinya di tempat biasa mereka bertemu. Di sebuah pondok kecil, di tepi sawah yang membentang luas di ujung desa.

Ine tak kuasa menahan tangis ketika menyampaikan semua itu kepada Danu. Air matanya tak kunjung berhenti, sampai Danu berusaha menenangkannya.

Danu sendiri sebenarnya sangat terpukul mendengarkannya. Namun sebagai laki-laki, tentu saja ia berusaha untuk tetap tegar, meski air mata mengenang di sudut matanya yang sendu.

Ine masih terisak, dan tak berkeinginan untuk menjawab pertanyaan Danu barusan. Sekali lagi Danu menghempaskan napas. Kemudian ia berujar lagi,

"saat ini aku sedang berjuang untuk membangun masa depan kita berdua. Namun justru saat aku sedang berjuang, sebelah sayap seakan patah. Aku seakan tak punya kekuatan lagi untuk tetap berjuang. Aku merasa rapuh, saat satu-satunya alasanku untuk berjuang, justru harus terlepas..." suara Danu semakin lirih.

"maafkan aku, Dan. Aku benar-benar tak berdaya. Aku tak bisa lagi menolak satu-satunya keinginan dari orangtuaku saat ini.." suara Ine parau, ia berusaha menahan semua gejolak di hatinya.

"kamu gak salah, Ne. Kamu hanyalah korban. Korban dari sebuah ketidakadilan hidup. Dan aku tak berdaya untuk menyelamatkanmu dari semua ketidakadilan itu." Danu membersit hidungnya yang tiba-tiba berair. Matanya kian berkaca. Hatinya meringis pilu.

"mungkin memang sudah menjadi suratan untuk cinta kita, harus berakhir dengan cara seperti ini. Kita tak harus menangisinya. Kita tak harus menyesalinya....." lanjut Danu lagi.

"tapi aku sangat mencintai kamu, Dan. Aku tak bisa begitu saja melupakanmu..."

"aku juga sangat mencintaimu. Aku juga tidak bisa begitu saja, melepaskanmu. Tapi apa yang bisa kita lakukan saat ini? Selain menerima semuanya sebagai sebuah takdir yang tak bisa kita elakkan..."

Ine terisak kembali. Ia masih mengingat dengan jelas. Kejadian seminggu yang lalu. Saat sang Ayah hampir sekarat karena penyakitnya. Ine merasa sang Ayah sudah tidak bisa bertahan lagi. Di saat semua orang mulai terisak melihat kondisi Ayahnya. Tiba-tiba saja, kedua orangtua Martin datang dan menawarkan untuk membawa Ayahnya ke rumah sakit. Melihat kondisi sang Ayah yang kian parah, tentu saja dengan sangat terpaksa Ine menyetujui hal tersebut. Hari itu Ayahnya segera dilarikan ke rumah sakit dan juga segera di operasi. Segala biaya dari semua itu, sudah ditanggung penuh oleh orangtua Martin.

Ayahnya memang sudah berhasil pulih kembali, melewati masa kritisnya dan menjalani proses operasi dengan lancar. Namun tentu saja, semua itu ada konsekuensinya, terutama bagi Ine sendiri. Ia mau tidak mau harus menerima lamaran dari Martin dan keluarga.

Ine tidak punya alasan apapun lagi untuk menolaknya. Ia harus memenuhi permintaan orangtuanya.

Kedua keluarga akhirnya sepakat, untuk segera melangsungkan pernikahan antara Ine dan Martin. Setidaknya sampai sang Ayah sudah mulai sembuh kembali.

Pernikahan itu akan dilangsungkan minggu depan. Karena itu, Ine memutuskan untuk menceritakan semuanya kepada Danu. Ia tidak ingin Danu mengetahuinya dari orang lain. Ine tidak mau Danu menganggapnya sebagai penghianat dan perempuan yang tak setia. Ine harus jujur dan menjelaskan semuanya. Meski tentu saja hal itu terasa sangat berat dan begitu menyakitkan.

*******

Seminggu kemudian Ine dan Martin akhirnya melangsungkan pernikahan. Diiringi isak tangis Ine yang tak kunjung berhenti. Hatinya begitu sakit menerima semua itu. Seolah seribu sembilu menusuk-nusuk hatinya yang memang sudah hancur.

Sementara dari kejauhan, Danu menyaksikan pesta pernikahan itu dengan perasaan pilu. Luka dihatinya teramat parah dan perih. Bertahun-tahun ia menjalani cinta yang begitu indah bersama Ine. Bertahun-tahun ia berharap akan menjadi pendamping Ine selamanya. Namun sekarang, ia harus menyaksikan gadis yang ia cintai bersanding dengan laki-laki lain.

Pesta pernikahan itu memang dilaksanakan dengan sangat sederhana, namun tetap saja hal itu mampu menghancurkan perasaan Danu. Memporak-porandakan semua harapannya.

Berkali-kali ia menyeka air matanya. Ia tak kuasa lagi menahan tangisnya. Di hadapan Ine ia mungkin bisa berpura-pura tegar. Namun ketika ia sendirian seperti saat ini, ia tak bisa lagi membendung kepedihannya. Hatinya terluka parah dan tubuhnya terasa lemas tak berdaya.

Tak sanggup menyaksikan semua itu, Danu akhirnya memutuskan untuk kembali ke kota. Ia pergi untuk membawa hatinya yang terluka. Semua harapannya seolah musnah, bersama cintanya yang tak bisa menyatu.

Tak pernah terpikir olehnya, jika kisah cintanya yang indah harus berakhir dengan begitu menyakitkan. Berat bagi Danu harus melepaskan Ine, gadis yang sangat ia cintai itu.

Kini semuanya hanya tinggal kenangan. Ine bukan lagi miliknya. Ine bukan lagi gadis yang selama ini selalu bisa menghiburnya, dengan segala sikap manjanya.

Danu sudah terlalu biasa melewati hari-hari bersama Ine. Namun sekarang semuanya terasa hampa. Tidak ada lagi tawa canda gadis manis itu. Tidak ada lagi yang akan memberinya semangat ketika ia merasa lelah. Untuk siapa lagi ia berjuang? Jika satu-satunya orang yang membuatnya bahagia, kini tidak lagi bersamanya.

****

Sekian ...

Cari Blog Ini

Layanan

Translate