"apa itu benar?" tanya Nico dengan nada datar.
Arini hanya terdiam. Dia tidak tahu bagaimana harus menjelaskannya kepada Nico.
"jawab
saya, Arini. Apa benar kalau kamu mendekati saya, karena permintaan
Keyla?" Nico bertanya lagi, kali ini suaranya sedikit tinggi. "apa benar
kamu mendekati saya hanya untuk membuat saya jatuh cinta, lalu kemudian
akan kamu tinggalkan?" lanjutnya lagi.
Arini membersit hidungnya,
badannya masih terasa kurang sehat. Namun Nico memaksanya untuk bertemu.
Mereka bertemu di sebuah taman yang berada di kompleks perrumahan
tersebut.
Arini sudah menduga, jika Keyla pasti akan menceritakan hal
tersebut kepada Nico. Tapi ia tak menyangka, Keyla akan mengarang
cerita yang membuatnya terpojok.
"apa yang dikatakan Keyla itu benar?" Nico mengulang pertanyaannya. Ia menatap Arini tajam.
Arini menarik napas, ia mengangguk pelan.
"tapi
tidak semuanya, Nic. Ada bagian yang ditambah-tambahkan oleh Keyla..."
ucap Arini cepat. Ia tidak ingin Nico salah paham. Biar bagaimana pun ia
merasa cukup nyaman selama beberapa bulan jalan bareng Nico.
"saya
ingin tahu, bagian mana dari cerita Keyla yang ia karang?" tanya Nico,
setelah beberapa saat ia terdiam. Nico mencoba menahan hatinya yang
bergejolak. Ia hanya ingin tahu, apa sebenarnya yang telah terjadi.
Arini
menarik napas lagi kemudian tertunduk. Perlahan ia pun menceritakan
tentang apa yang ia sepakati dengan Keyla. Tentang bagaimana ia akhirnya
terjebak karena permintaan Keyla.
"dan kamu menerimanya begitu saja?" tanya Nico, setelah mendengar penjelasan Arini.
"saya
sudah berusaha menolak, Nic. Tapi kamu kan tahu sendiri, bagaimana
watak Keyla..." balas Arini terdengar lemah. "kamu marah sama saya,
Nic?" lanjutnya bertanya, sekedar meyakinkan dirinya sendiri kalau Nico
bisa menerima semua penjelasannya.
Sesaat Nico terdiam, kemudian menggeleng ringan.
"gak.
Saya gak bisa marah sama kamu. Saya terlanjur suka sama kamu, Rin. Saya
sudah sayang banget sama kamu. Lagi pula, jika ceritamu benar, dalam
hal ini kamu gak salah apa-apa.." ucapnya.
Arini menarik napas lega. Kemudian ia menyunggingkan senyum tipis.
"jadi apa sekarang kamu sudah punya jawabannya?" tanya Nico akhirnya setelah mereka terdiam beberapa saat.
"jawaban apa?" tanya balik Arini spontan.
"jawaban tentang...... apa kamu mau jadi pacar saya?" balas Nico dengan suara tertahan.
Arini menarik napas lagi, kali ini lebih panjang.
"kamu
terlalu sempurna buatku, Nic..." jawab Arini dengan suara yang sangat
pelan, "kamu cowok baik, kaya dan populer di sekolah. Rasanya sangat
tidak pantas jika kamu memilih saya untuk jadi pacarmu..." lanjutnya.
"apa itu artinya kamu gak suka sama saya?" tanya Nico lagi, matanya menatap lembut wajah gadis cantik yang duduk di depannya.
"saya
suka sama kamu, Nic. Sejak dulu malah. Tapi seperti yang saya bilang,
kamu itu terlalu sempurna buat saya. Saya takut nantinya akan membuat
kamu kecewa, karena saya hanya cewek miskin...."
"bisa gak, kamu gak
ngomong seperti itu." Nico memotong cepat, "dimata saya, kamu itu
sempurna, Rin. Saya juga tidak peduli tentang status kamu. Yang saya
tahu, saya jatuh cinta dengan semua kesederhanaanmu itu..."
"tapi apa kamu gak malu, punya pacar yang cuma anak seorang pembantu?"
"untuk apa saya harus malu? justru saya merasa sangat bahagia, jika bisa bersama kamu.."
"kamu
bisa ngomong gitu, Nic. Tapi bagaimana dengan teman-teman kamu? dengan
keluarga kamu? Apa mereka bisa menerima saya, seperti halnya kamu?"
"kamu
gak usah pikirkan mereka, Rin. Jika kamu mau menerima saya, mereka juga
harus bisa menerima kamu. Lagian saya juga tidak peduli dengan semua
itu. Saya benar-benar mencintai kamu, Rin. Tak peduli orang-orang
menyukainya atau tidak. Saya hanya ingin bersama kamu, Rin..."
Arini
termangu. Sejujurnya ia merasa sangat bahagia mendengar semua yang Nico
ucapkan. Namun tetap saja ia merasa semua itu terlalu berat untuk ia
jalani. Bukan karena ia tidak mencintai Nico. Tapi justru karena ia
terlalu sayang sama Nico, ia tidak ingin Nico akan menjadi bahan
olok-olokan bagi teman-temannya. Karena biar bagaimana pun, Arini tahu,
selama ini hampir seisi sekolah selalu memandang dirinya rendah.
"tapi tetap saja, saya merasa tidak pantas, Nic.." ucap Arini menahan napas.
"kamu
kenapa sih, Rin? Kenapa kamu harus merendahkan dirimu sendiri seperti
itu? Seolah-olah kamu wanita hina yang tidak pantas untuk dicintai.
Padahal kamu adalah wanita yang istimewa. Kamu punya sesuatu yang tidak
banyak dimiliki cewek lain. Kamu punya hati yang begitu lembut, kamu
pintar, dan kamu juga cantik..." ucap Nico, mencoba memberi keyakinan
kepada Arini.
Arini semakin bingung. Disatu sisi ia merasa
bahagia karena Nico mencintainya. Namun di sisi lain, ia merasa taku. Ia
takut, Keyla dan teman-temannya akan menyiksanya lagi. Ia takut, Keyla
dan semua cewek-cewek yang menginginkan Nico akan memusuhinya. Ia takut,
jika suatu saat keluarga Nico tahu tentang hubungannya dengan Nico,
mereka tentunya tidak akan begitu saja menerimanya.
"akan begitu
banyak rintangan yang harus kita hadapi, Nic. Jika saya tetap nekat
untuk bersama kamu." Arini berujar lagi, setelah cukup lama mereka
terdiam.
"saya hanya mencoba realistis, Nic. Kamu itu siapa, dan saya ini siapa. Kita tidak bisa begitu saja mengabaikan hal itu..."
"tapi
saya mencintai kamu, Rin. Dan jika kamu juga mencintai saya, kita akan
menghadapinya bersama-sama. Kita akan buktikan kepada orang-orang bahwa
kita bisa bahagia, meski dimata mereka kita ini berbeda..."
"kenyataannya
kita memang beda, Nic. Kamu jangan pernah mentiadakan hal itu. Kamu
harusnya lebih membuka mata. Tidak semua hal itu harus selalu tentang
kita. Kita juga harus memikirkan orang lain, terutama keluarga kamu."
Arini berkata sambil sesekali memainkan jemarinya sendiri. Hatinya
terasa perih. Ada beban berat yang tiba-tiba saja ia rasakan di
pundaknya.
Arini masih ingat, pembicaraannya dengan Ibunya beberapa hari yang lalu.
"kamu pacaran sama Nico?" tanya Ibunya yang sedang berbaring di sampingnya.
Arini menatap wajah tua Ibunya sekilas, lalu ia menggeleng ringan.
"emang kanapa, Bu? kalau saya pacaran sama Nico?" tanya Arini penasaran.
"bukan
kenapa-kenapa. Ibu hanya takut, kalau kamu pacaran sama orang kaya,
kamu pasti akan direndahkan oleh keluarganya. Gak ada orang kaya yang
bisa menerima orang miskin seperti kita, masuk di dalam keluarganya.
Kita memang miskin, Rin. Tapi kita jangan sampai kehilangan harga
diri.." jawab Ibunya sambil sesekali mengusap rambut panjang Arini.
"Ibu ingin kamu menjaga jarak dengan Nico, Rin." ucap Ibunya lagi.
"kenapa, Bu?" Arini mengerutkan kening.
"karena Ibu gak mau kamu mengalami apa yang pernah Ibu alami, Rin." ujar Ibunya terdengar lemah, matanya menerawang.
"maksud Ibu apa?" Arini semakin penasaran.
"mungkin sudah saatnya kamu tahu, Rin." ucap Ibunya, sambil ia berusaha duduk.
"dulu
Ibu pernah pacaran dengan anak juragan kaya di desa. Namanya Mas Seno.
Kami saling mencintai, dan berjanji akan tetap bersama, walau apa pun
yang akan terajdi." sang Ibu menghela napas, "namun semuanya tak
berjalan seindah yang Ibu harapkan. Ketika akhirnya keluarga mas Seno
tahu tentang hubungan kami, dengan serta mereka pun datang ke rumah dan
meminta Ibu untuk meninggalkan mas Seno."
"Ibu pun mencoba
menuruti keinginan keluarga mas Seno. Namun mas Seno tidak bisa
menerimanya. Ia terus saja berusaha meyakinkan Ibu, jika ia akan
membujuk keluarganya." Ibu menarik napas lagi, matanya terlihat berkaca.
"Tapi
yang terjadi selanjutnya, justru orangtua mas Seno mengusir Ibu dari
kampung. Mereka menghina dan mencaci maki Ibu, di depan keluarga Ibu.
Mereka menganggap kalau Ibu hanya mengharapkan harta mas Seno, padahal
Ibu sangat mencintai mas Seno. Orangtua Ibu tidak bisa berbuat apa-apa,
biar bagaimana pun keluarga mas Seno adalah orang yang sangat
berpengaruh di kampung." Ibu mengusap wajahnya sendiri, mencoba
menguatkan hatinya.
"akhirnya dengan sangat terpaksa Ibu harus pergi
dari kampung sendirian. Tanpa tujuan, tanpa uang..." kali ini sebulir
air mata jatuh di pipi sang Ibu.
"Ibu tidak tahu harus pergi
kemana. Ibu hanya terus melangkah tanpa tujuan, sampai akhirnya Ibu
sampai di kota ini. Namun sesampai di kota, Ibu justru jadi
korban......" bulir-bulir air mata Ibu semakin banyak. Arini mendekati
Ibunya, lalu mendekapnya dari samping.
"Ibu.... ibu.... diperkosa
oleh segerombolan preman.... kemudian mereka meninggalkan Ibu begitu
saja. Ibu merasa sangat terpukul... hingga Ibu akhirnya tidak sadarkan
diri..." sang Ibu mengusap lagi air matanya. Ia membersitkan hidung
beberapa kali. Bertahun-tahu ia mencoba melupakan hal tersebut. Mencoba
menguburnya sedalam-dalamnya. Ia tak ingin lagi mengingat semua itu.
Namun malam itu, semua bayangan pahit di masa lalu melintas kembali.
"saat
Ibu sadar, Ibu sudah berada di rumah ini. Yah, ternyata pak Abdul,
papanya pak Baskoro, menemukan saya tergeletak di pinggir jalan. Karena
merasa kasihan beliau membawa Ibu pulang ke rumahnya. Setelah
berhari-hari Ibu pun menceritakan semuanya kepada pak Abdul. Beliau
sangat perihatin melihat Ibu, lalu kemudian beliau pun mempekerjakan Ibu
di rumahnya. Sejak saat itu Ibu mulai bekerja dengan pak Abdul dan
Istrinya. Namun setelah tiga bulan, Ibu baru tahu, kalau Ibu telah hamil
akibat perkosaan tersebut." sang Ibu menghembuskan napas berat,
"Ibu
semakin terpukul, dan sempat hendak menggugurkan kandungan Ibu. Tapi
pak Abdul dan istrinya segera mencegah Ibu. Beliau ingin Ibu tetap
menjaga kandungan Ibu dan melahirkannya. Dan beberapa bulan kemudian
kamu pun lahir, Rin....." tangis sang Ibu pun pecah saat mengakhiri
ceritanya.
Arini hanya terpaku. Ia tidak ingin percaya dengan
semua yang barusan ia dengar. Ia mendekap Ibunya semakin erat. Air
matanya pun ikut tumpah.
"gak! saya gak bisa, Nic. Maaf! Tapi saya benar-benar tidak bisa..." suara Arini terbata, matanya tiba-tiba berkaca.
Nico terbengong. Dahinya berkerut. Namun sebelum ia sempat mengeluarkan suara, Arini sudah berdiri dan berjalan tergesa meninggalkannya.
"saya pulang, Nic. Dan mungkin ini terakhir kalinya kita bertemu..." ucap Arini sambil terus melangkah.
Nico yang masih sangat heran melihat tingkah Arini, spontan berdiri. Ia hendak mengejar Arini, saat ia tiba-tiba melihat Ibu Arini berdiri tak jauh dari tempat mereka mengobrol. Tatapan mata sang Ibu begitu tajam, membuat Nico merasa jengah.
Nico menghembuskan napasnya. Ia tatap langit sore itu. Sang mentari masih terlihat, meski cahayanya mulai meredup. Nico tahu, sesaat lagi sang Mentari akan meninggalkan senja. Ia pergi bersama kegelapan. Namun Nico yakin, sang mentari dan senja akan kembali bertemu. Walau dengan suasana yang berbeda.
*****
Sekian...