Meraih asa, menggapai senja (part 2)

"mohon perhatian semuanya!" suara pak Nardi, bos kami, menggema di ruang kerja kami, spontan kami semua mengalihkan pandangan ke arah beliau.
"hari ini saya mau memperkenalkan seorang gadis cantik nan menawan, namanya Arini. Dan mulai hari ini ia akan magang di kantor kita..." lanjutnya dengan senyum sumringah.
Seorang gadis yang memang cantik berdiri di sampingnya juga ikut tersenyum.
"dan... saya mohon kerja sama semua pihak untuk bisa membimbing Arini, terutama kamu Jhon..." kali ini ia mengarahkan telunjuk kanannya padaku.
Sesaat aku hanya terpaku. Bukan karena pak Nardi mengarahkan telunjuknya padaku. Terlebih kepada senyum Arini yang memikat. Aku terpana. Jantungku berdetak lebih kencang dari biasanya.

"oke... siap bos!" suara Doni memecah keheningan yang tercipta sejenak. "Jhon pasti akan bimbing Arini dengan sebaik-baiknya pak.." Doni melanjutkan, seperti biasa dengan nada sindirannya.
Mendengar itu, hampir semua orang yang berada dalam ruangan itu tertawa, kecuali saya tentunya.
"sudah! sudah! cukup tertawanya!" pak Nardi berkata dengan suara tinggi, "sekarang lanjutkan bekerja.. Dan kamu Arini, selamat datang di kantor kami dan semoga nyaman.." lanjutnya lagi.
Kulihat Arini mengangguk anggun dengan bibir yang masih tersenyum.
"baik pak.. terima kasih.." ucapnya lembut dengan suara yang ehm merdu.
Deg! jantungku berdetak lagi lebih kencang.

************

Hampir dua minggu Arini melaksanakan magang di kantor kami. Tentunya kami sudah sedikit akrab. Dan seperti biasa teman-teman kantor, sibuk memperhatikan dan mengomentari kami berdua. Yah, mau gimana lagi, di kantor ini, terutama di ruang ini, satu-satunya laki-laki yang lajang ya cuma saya. Jadi mau gak mau saya harus terima konsekuensi-nya.
Namun berkat itu semua juga, akhirnya Arini tahu kalau saya masih lajang. Meski awalnya ia sempat tak percaya, mengingat usia saya yang menurutnya sudah sangat matang.
Tapi saya berhasil meyakinkannya, dengan sedikit drama tentunya. Dan dengan menceritakan beberapa bagian kisah kasih masa lalu saya.
Saya mulai menyukai Arini. Bukan. Saya semakin menyukai Arini, karena dari pertama kali melihatnya saya sudah menyukainya.
Selain wajahnya yang cantik dan senyumnya yang menawan, Arini juga seorang gadis yang sopan dan ramah. Meski untuk beberapa hal ia sering terlihat ceroboh...


"maaf bang Jhon, saya gak bisa..." itu jawaban Arini, setelah lebih dari sebulan kami saling akrab. Setelah, tentu saja, dengan cukup berani aku mengungkapkan perasaanku padanya.
"kenapa?" tanyaku lesuh.
Arini hanya terdiam.
"karena saya udah tua..."
"bukan!" Arini spontan menjawab, "bukan karena itu..." lanjutnya terdengar hati-hati. Suasana kafe memang sedikit ramai saat itu. Saya memang sengaja mengajak Arini makan malam, yah untuk mengungkapkan perasaanku padanya.
"tapi karena...?"
"saya harus menyelesaikan kuliah dulu, bang. Saya ingin menjadi wanita karir yang sukses. Dan itu butuh waktu bertahun-tahun. Saya rasa bang Jhon gak harus menunggu selama itu untuk berkeluarga.." balas Arini dengan nada terkesan datar.
Yah, itu sama saja dengan 'aku masih terlalu muda untukmu, bang Jhon.' bathinku lirih.

Arini menolak saya dengan sangat sopan, menurut saya sih. Tapi tetap saja masih terasa menyakitkan bagi saya.
Tapi saya coba menerimanya dengan lapang dada. Jarak usia kami memang terlalu jauh. Arini masih 23 tahun, perjalanannya masih sangat panjang.
Tapi aku menyukainya! Aku menyukai Arini.
Setelah hampir lima tahun, pintu hati saya tertutup. Setelah bertahun-tahun hati saya membeku.
Dan kehadiran Arini telah mampu mencairkan hatiku, membukanya perlahan-lahan.
Namun apa hendak dikata, Arini tidak punya perasaan apa-apa padaku.
Untuk kesekian kalinya aku merasa terluka.....

*********

"Jhon, kamu masih ingat Gadis?" tanya Emak, saat kami makan malam.
"Gadis mana sih, mak?" tanyaku sedikit menggerutu, Mak pasti mau bahas soal jodoh lagi.
"Gadis, anak paman Akom, yang dulu kuliah dan jadi guru di Bandung. Sekarang sudah pindah lagi kesini. Pindah tugas, katanya."
Aku berpikir sejenak, mengingat Gadis, teman masa kecilku. Ketika kecil Gadis sangat dekil dan sedikit jorok. Tapi anaknya asyik, gak neko-neko. Periang dan selalu gembira. Dulu kami sering main bersama. Sungguh, masa-masa yang indah untuk di kenang.
"kamu masih ingat, gak?" suara Mak mengagetkanku.
Spontan aku mengangguk, "ingat, Mak. Emang kenapa sih, Mak? Dia sudah menikah juga? Terus kenapa saya masih belum?" gerutuku sedikit kesal.
"itu dia masalahnya, Jhon. Ternyata Gadis sama dengan kamu. Masih belum laku juga.." suara Mak terdengar sedikit riang.

"ya iyalah, Mak. Gadis kan orangnya emang sedikit jorok dekil. Mana ada yang mau.." ucapku kasar.
"lah, kamu sendiri juga belum laku toh.." balas Mak, tak kalah kasar.
"saya bukannya gak laku, Mak. Tapi memang belum ketemu jodoh aja..." timpalku cepat.
"apa bedanya, Jhon... Jhon... sama aja kamu belum laku. Itu intinya." balas Mak.
Aku terdiam kembali. Aku tahu Mak gak bermaksud meledekku. Ia hanya coba memotivasi, meski dengan cara yang tidak aku inginkan.
"nanti malam kamu jalan ke rumah paman Akom ya..." ucap Mak lagi. "ketemu sama Gadis, mana tahu kalian cocok.." lanjut Mak.
Aku menatap Mak dengan sedikit melotot.
"udah kamu tenang saja. Mak gak maksa kamu untuk menikah dengan Gadis, kok. Tapi kalau kamu nanti tertarik, Mak sangat setuju..." ujar Mak sambil ia berdiri.
Aku menghempaskan napas. Perjuangan Mak untuk membuatku segera menikah, memang tak pernah pudar.

************

Tok! tok! tok!
Aku mengetuk pintu rumah paman Akom. Seperti permintaan Mak, aku akhirnya setuju untuk sekedar bersilahturrahmi ke rumah paman Akom. Sudah cukup lama juga aku tidak datang ke sini. Rasanya kangen juga mendengar pituah dari paman Akom yang memang bijak.
Seorang perempuan tiba-tiba membukakan pintu. Perempuan itu memakai hijab yang cukup panjang terurai ke bawah. Dan ia tersenyum dengan sedikit mengernyitkan kening.
"Jhon?" ucapnya setengah ragu.
Aku mengangguk pelan, "kamu..?" ucapku sangat ragu.
"Gadis!" balas perempuan itu tegas. "kenapa? udah lupa?" tanyanya.
"hmm... iya, sih. Sedikit pangling. Kamu sekarang berhijab?" aku berucap sambil menatap Gadis lama. Aku masih tak percaya, kalau Gadis sekarang sudah sangat jauh berbeda.
Gadis udah gak kelihatan jorok dan dekil lagi. Wajahnya terlihat bersih terawat. Sangat cantik malah.

"masuk, Jhon.." tawar Gadis mengagetkanku.
Dengan sedikit canggung aku melangkah masuk ke ruang tamu rumah itu.
"paman Akom ada?" tanyaku berbasa-basi.
"Ayah dan Ibu lagi pergi ke pasar, Jhon. Dirumah hanya ada saya dan Bi Ijah.." jawab Gadis terlihat santai, "oh, ya. Kamu mau minum apa, sambil nunggu Ayah pulang? Sebentar lagi saya rasa mereka akan datang.." lanjutnya sambil melangkah menuju dapur.
"apa aja. Yang penting dingin..." balasku mengeraskan suara, karena kulihat Gadis sudah masuk ke dalam.
"oke... tunggu sebentar ya..." ku dengar suara Gadis sayup-sayup.

"kamu apa kabar sekarang?" tanyaku, Gadis duduk di hadapanku, setelah menghidangkanku segelas minuman dingin.
"Alhamdulillah baik. Kamu sendiri gimana kabarnya?"
"yah... baik juga sih.." jawabku sedikit tergagap.
"syukurlah ... " ucap Gadis pelan.
"kamu katanya pindah tugas kesini ya..?"
Gadis mengangguk, "yah, pengen deket aja sama keluarga, Jhon. Udah bertahun-tahun aku hidup di rantau. Rasanya kangen aja pengen bareng keluarga lagi.." ucapnya.
"baguslah..." suaraku pelan.
"kamu sendiri gimana, Jhon? Udah berapa anaknya?" pertanyaan Gadis membuatku terdiam beberapa saat.
"saya belum nikah, Dis..." suaraku perlahan.
"oh..." Gadis itu hanya membulatkan bibir.

*********

Bersambung lagi...

Sebuah cerpen : Cinta dua warna .... (part 2)

"kak Aris?" Mia mengerutkan dahi, menatap laki-laki yang berdiri dihadapannya.
"inikan bukan jadwal Mia les...?" ucapnya lagi.
"ya. Kak Aris tahu." jawab Aris dengan senyum yang mengembang.
"lalu ngapain kak Aris kesini?" tanya Mia dengan rasa penasaran.
"kak Aris cuma mau pamit...."
"pamit? emangnya kak Aris mau kemana?"
"kak Aris dapat tawaran kerja di kota Batam. Besok pagi kak Aris berangkat. Jadi mulai rabu depan kak Aris sudah tidak bisa mengajar les untuk Mia lagi..."


Wajah Mia tiba-tiba muram. Ia menunduk lesuh.
"berarti mulai besok Mia gak bisa ketemu kak Aris lagi?" suaranya parau.
"yap!" jawab Aris tegas, "tapi kamu jangan sedih gitu dong. Nanti kamu bakal dapat guru les yang baru, kok.." lanjutnya, mencoba menghibur.

Mia masih saja menekuk wajahnya, ia enggan menatap sekilas pun ke arah Aris.
Aris menyentuh lembut bahu Mia, "kamu belajar yang rajin ya, Mia!" ucapnya, "kak Aris pamit dulu.."
seusai berkata demikian, Aris memutar tubuhnya dan mulai melangkah pelan.
"kak Aris! Tunggu!" suara Mia, membuat Aris mengurungkan langkahnya. Aris memutar tubuhnya lagi. Ia menatap Mia yang berjalan menuju ke arahnya. Kali ini Mia menatapnya.

"Mia... Mia sayang sama kak Aris.." ucap Mia pelan, setelah ia berdiri hanya setengah meter dari Aris.
Aris tersenyum kembali. "kak Aris juga sayang sama Mia.."
Mia sedikit melebarkan senyumnya, "sebagai murid dan juga adik yang baik..." lanjut Aris cepat, yang membuat Mia membatalkan senyumnya.
"Mia pasti akan sangat merindukan kak Aris.." ucap Mia semakin pelan, matanya mulai berkaca.
Aris merasa kasihan melihat gadis itu, "iya. kak Aris juga pasti akan merindukan Mia..." ucapnya, kali ini lebih tulus.
"sebagai adik?" balas Mia.
Aris hanya mengangguk pelan.
"yah. Mia tahu kok, kak. Tapi Mia boleh minta sesuatu sama kak Aris?" Mia berucap dengan sedikit menunduk.
"apa?" tanya Aris.
"Mia... Mia boleh peluk kak Aris?"

Untuk sesaat Aris masih terdiam.
"sebagai adik.." ucap Mia mayakinkannya.
Tiba-tiba Aris tersenyum lebar. "oke! Boleh.." ucapnya.
Mia melangkah mendekat, kedua tangannya segera mendekap tubuh kokoh milik Aris.
Aris mencoba membalas pelukan itu dengan lembut. Dadanya tiba-tiba bergemuruh tak karuan.
Dengan segera ia melepaskan pelukan itu, ia lihat Mia meneteskan air matanya.
"kamu kenapa menangis?" tanya Aris.
Mia tidak menjawab. Ia hanya memutar tubuh dan segera berlari masuk ke dalam rumah.
Aris terdiam melongo. Tidak tahu harus berbuat apa saat itu. Lalu kemudian ia berjalan pelan keluar pekarangan rumah mewah itu.

************

"hei! kak Aris, kan?" sebuah suara mengagetkan Aris yang sedang menunggu antrian di sebuah pusat perbelanjaan.
Aris menoleh ke arah suara itu. Keningnya berkerut. Setengah tak percaya ia berseru, "Mia?!"
Gadis itu, Mia, mengangguk berkali-kali dengan senyum kegembiraan.
Dengan sedikit tergesa Aris melangkah mendekati gadis itu, ia meninggalkan barisan antriannya.
"hei... " ucapnya sambil menjabat tangan lembut milik Mia.
"apa kabar?" ucap mereka hampir serentak.
"hmmm.. oh, ya. Saya baik.. kamu?" Aris menjawab terlebih dulu, dengan sedikit canggung.
"baik...." jawab Mia singkat.

"ada apa dan kenapa bisa sampai ke Batam?" tanya Aris ringan, setelah mereka memesan sedikit cemilan dan minuman dingin. Mereka duduk di sebuah kafe yang berada di pusat perbelanjaan tersebut.
"ada tugas penelitian dari kampus..."
"oh.." Aris membulatkan bibir, "semester berapa sekarang?"
"lima.."
"Jurusan?"
"kedokteran. Seperti nasehat kak Aris.." jawab Mia tegas. Ia melirik sekilas.
Aris tersenyum menatapnya.
"berapa lama?" tanya Aris lagi.
"apanya?"
"penelitiannya..."
"oh. Sepuluh hari, kak.." kali ini Mia justru merasa gugup.

"gak terasa ya, udah lebih dari lima tahun kita gak ketemu.." Aris berbicara lagi, setelah pesanan mereka datang.
"iya. Tapi kak Aris gak berubah. Masih seperti dulu.." Mia sengaja menekan kalimatnya.
"masa' sih. Perasaan saya makin tua deh.."
"gak kok, masih terlihat muda.."
"kamu yang kayaknya banyak berubah, ya.."
"berubah apanya?" tanya Mia sedikit tertunduk.
"yah, makin dewasa, makin pintar dan makin .... cantik..." balas Aris canggung. Ia segera meneguk minumannya.
"ah, kak Aris bisa aja.." Mia masih menunduk, mukanya memerah.
"iya, bener. Tadi saya sempat pangling, loh.."
Mia mengambil cemilannya dan mengunyahnya perlahan. Ia berusaha bersikap wajar.

"selama lima tahun, kak Aris emang gak pernah pulang?"
Aris hanya menggeleng ringan.
"kenapa? Betah ya disini? Atau karena sudah punya seseorang disini? Atau malah sudah menikah?" tanya Mia penasaran.
Aris tersenyum simpul. Ia mengunyah cemilannya kembali.
"saya sudah tidak punya siapa-siapa lagi disana, Mia. Kamu kan tahu sendiri, kalau kedua orang tuaku sudah lama tiada. Kakak-kakakku juga sudah pindah kesini semuanya.." Aris menarik napas. "tapi saya masih belum laku, kok.." lanjutnya tegas.
"oh. Kenapa? Karena mbak Lisa?" tanya Mia lagi, kali ini lebih santai.
"kok kamu tahu?"
"tahu apa? tentang kak Aris yang belum bisa melupakan mbak Lisa...?"
"bukan!" jawab Aris cepat, "saya sudah lama melupakan tentang Lisa. Maksud saya, kok kamu tahu tentang Lisa?"

"apa sih yang Mia gak tahu tentang kak Aris dulu? Mia juga tahu, kalau mbak Lisa ninggalin kak Aris dan menikah dengan orang lain..."
Aris menatap Mia cukup lama. Aris tersadar, ternyata diam-diam dulu, Mia selalu menggali info tentang dirinya. Aris pikir, perasaan Mia padanya dulu, hanyalah sebuah rasa kagum.
Aris meneguk minumannya lagi.
"ya sudahlah. Semua itu sekarang hanyalah masa lalu. Lisa juga sudah bahagia dengan pilihannya.."
"siapa bilang.."
"maksud kamu?"
"dua tahun setelah kepergian kak Aris ke Batam ini, mbak Lisa dan mas Reyhan pun bercerai. Mia gak tahu pasti apa penyebabnya. Tapi menurut kabar yang beredar, mereka bercerai, karena mas Reyhan ketahuan berselingkuh.."
Aris membelalak. Setengah tak percaya mendengar cerita Mia barusan.

*****

Bersambung ...

Cerpen : Meraih asa, Menggapai senja ... (part 1)

"kamu sudah 36 tahun Jhon. Teman-teman sebayamu sudah momong anak semuanya. Bahkan adik-adik kamu juga sudah berkeluarga. Kamu kapan?" Emak mengomel lagi. Kali ini sambil mencuci piring kotor yang barusan kami pakai. Aku duduk termangu di lantai dapur kecil rumah kami.
Aku hanya tinggal berdua dengan Emak, karena semua adik-adik ku sudah menikah dan sudah tinggal di rumahnya masing-masing. Meski masih ngontrak.
Ayah sudah lama meninggal.
Emak sudah terlalu sering mengomel seperti itu, sudah tidak ke hitung. Tapi aku hanya selalu diam. Aku capek jika harus berdebat dengan Emak, soal jodoh.
"kamu tunggu apa lagi sih, Jhon? Kamu juga sudah kerja." lanjut Emak lagi.

Bukan cuma Emak yang sering ngomong seperti itu. Teman-teman, adik-adik dan rekan kerja ku juga sering membicarakan hal itu. Aku biasanya hanya menanggapinya dengan senyum.
"tampang oke. Gaji lumayan. Tapi masih belum laku.." celetuk Doni, salah satu teman kerja ku.
"bukan tak laku, Don. Tapi Jhon memang terlalu pemilih." balas Rika dari meja kerjanya.
"iya. Saya sudah kenalkan dengan beberapa orang teman cewekku, tak ada satu pun yang membuat Jhon tertarik.." Dila ikut menimpali.
Aku hanya pura-pura sibuk dengan pekerjaanku. Aku sudah terbiasa mendengar semua itu. Meski harus aku akui kadang aku merasa kesal juga dengan ucapan-ucapan mereka.
Tapi kenyataannya sampai saat ini, aku memang masih belum laku. Aku tak bisa menyangkalnya. Tak ingin menyangkalnya juga.
"sudah! sudah! jangan ngeledek Jhon terus. Kalian gak tahu kisah cinta masa lalu Jhon, sih." kali ini Hendra angkat bicara.
Hendra sahabatku sejak kecil. Dia tahu sedikit banyak tentang cerita kehidupanku.

Aku pernah pacaran beberapa kali, bahkan beberapa kali juga pernah mencoba menjalani hubungan yang serius. Tapi semua kisah cintaku selalu kandas. Selalu berakhir dengan menyakitkan.
Pacar pertamaku namanya Dewi. Waktu itu kami masih sangat muda, masih SMA. Hubungan kami hanya bertahan enam bulan. Hubungan kami berakhir hanya karena masalah sepele. Hanya karena aku tidak bisa mengajak Dewi nonton di bioskop. Karena memang kondisi keuanganku saat itu tidak memungkinkan.
"aku tuh cari pacar, biar ada yang ngajak aku jalan-jalan, traktir aku makan, ngajakin nonton. Kalau cuma pacaran di taman kayak gini buat apaan.." ucap Dewi waktu itu.
Setelah itu Dewi tak mau lagi aku ajak ngomong. Dia bahkan dengan terang-terangan jalan berdua di depanku dengan pacar barunya yang memang tajir.

Waktu kuliah aku juga pernah pacaran. Namanya Nani. Gadis cantik dan lembut. Tapi hubungan kami harus kandas, setelah hampir dua tahun pacaran. Aku tak sengaja memergoki Nani selingkuh dengan pria yang jauh lebih dewasa.
Aku patah hati. Kecewa. Dan jadi sedikit takut mendekati wanita.
Namun sebagai manusia normal, aku tetap bisa kembali pulih. Bisa jatuh cinta lagi.
Aku jatuh cinta lagi dengan seorang gadis, namanya Juwita. Sesuai dengan namanya, orangnya memang cantik.

Aku dan Juwita pacaran kurang lebih tiga tahun. Kisah kasih kami sangat indah. Juwita gadis yang baik dan pengertian. Dia benar-benar mampu membuat aku bahagia. Semua terasa indah bagiku.
Namun apa hendak dikata, kami ternyata tidak berjodoh. Meski pun kami saling cinta.
Juwita dipaksa menikah oleh orangtuanya dengan seorang pengusaha kaya. Juwita tak kuasa menolak. Dia terpaksa menerima perjodohan tersebut, karena ingin membahagiakan orangtuanya. Yang mengakibatkan aku patah hati berkepanjangan. Setahun lebih aku menyendiri, setelah ditinggal nikah oleh Juwita.

Aku sibukkan diriku dengan bekerja. Aku hampir tak percaya pada yang namanya cinta sejati. Aku menikmati kesendirianku, merasa damai dengan sepiku.
Yang aku pikirkan hanyalah bekerja, bekerja dan bekerja. Aku larut dengan kesibukkanku. Tanpa sadar usiaku sudah menginjak kepala tiga waktu itu.
Saat itulah aku bertemu Novi. Gadis manis nan seksi. Seorang gadis ramah yang mampu mengembalikan rasa percaya diriku yang sempat hilang.
Novi mampu membuatku bangkit dari kekecewaanku terhadap cinta. Meski usia kami terpaut cukup jauh, tapi Novi punya pemikiran yang dewasa. Hubungan kami sangat serius, apa lagi mengingat usiaku yang tidak lagi muda. Kami bahkan sudah mendapat restu dari kedua keluarga kami.

"jadi kapan nih lanjut ke jenjang berikutnya?" tanya emak suatu hari.
"maksudnya apa sih, mak?" tanyaku pura-pura tidak paham.
"kapan kamu nikahin Novi, Jhon.." balas emak, beliau memang yang paling bahagia dengan hubungan kami.
"Novi kan masih kuliah, mak. Ya, nunggu dia selesai kuliah dulu." jawabku ringan.
"udah! Nikah aja dulu, Jhon. Novi kan tetap bisa lanjut kuliah..." ucap Mak lagi.
Aku hanya terdiam. Aku memang pernah membicarakan hal tersebut dengan Novi. Tapi Novi tetap bersikeras untuk menyelesaikan kuliahnya. Aku pun setuju. Aku hanya harus sabar. Toh, kuliah Novi juga tinggal setahun lagi.

Namun semua tidak berjalan seindah yang kuharapkan. Belum sempat Novi menyelesaikan kuliahnya. Tiba-tiba Novi mengalami kecelakaan yang sangat fatal. Kecelakaan yang akhirnya merenggut nyawanya. Merenggut kebahagiaanku. Merenggut semua harapanku.
Hatiku terasa hancur berkeping-keping. Dunia seakan runtuh.
Aku sangat mencintai Novi. Tapi ternyata Tuhan lebih mencintainya. Dan aku kembali terpuruk. Meratapi bayang-bayang Novi yang tak pernah mau hilang dari benakku. Aku tenggelam dalam kesedihanku.
Bertahun-tahun aku larut dalam kesedihan yang mendalam.

*****
Bersambung ...

Sebuah cerpen : Cinta dua warna... (part 1)

Sejenak Aris menarik napas, dadanya terasa sesak. Dengan setengah tak percaya ia menoleh sekilas ke arah samping kirinya. Seorang gadis manis dengan wajah yang imut tersenyum padanya.
"kamu yakin?" tanya Aris ragu.
Gadis imut itu hanya mengangguk dengan sedikit malu.
"Mia... kamu kan tahu, kalau usia kita terpaut sangat jauh." ucap Aris lembut, "lagi pula kamu masih SMP, Mia..." lanjutnya hati-hati.
"Mia tahu, kak. Tapi apa salah, kalau Mia suka sama kak Aris..." suara lembut Mia membuat Aris sedikit tertunduk.

Sudah setahun Aris menjadi guru les private. Dan Mia adalah salah satu muridnya. Aris biasanya datang ke rumah Mia setiap sore rabu dan sore sabtu, sesuai jadwal.
Sejak lulus kuliah setahun yang lalu, Aris memang belum mendapatkan pekerjaan yang cocok, dan menjadi guru les private adalah pilihan terakhirnya.
Ada beberapa orang murid, rata-rata semuanya adalah anak-anak SMP.

Memang harus Aris akui, kalau belakangan ini, Mia memperlakukannya agak berbeda dari biasanya. Mulai dari menyediakan makanan atau minuman untuk Aris saat les. Mia sering ngajakin Aris makan di luar atau juga ngajak Aris nonton. Beberapa kali Aris coba menolak, tapi Mia terus memaksa.
Mia juga kadang berdandan secara menor, atau bahkan terkesan berlebihan.
Tapi Aris mencoba menanggapinya biasa saja. Aris hanya berpikir, mungkin Mia memang lagi puber, seperti kebanyakan remaja lainnya. Apa lagi mengingat usia Mia yang baru beranjak remaja.
Tapi tadi...
Dengan jelas Aris mendengar kalau Mia mengungkapkan perasaan sukanya secara terang-terangan.
Mereka duduk di sebuah kafe, dan Mia juga yang memaksanya untuk datang tadi.

"gimana? Kak Aris mau gak jadi pacar Mia?" ucapan Mia yang polos, membuat Aris kembali menarik napas. Ia hanya tidak tahu bagaimana cara menjawabnya.
Aris tahu betul bagaimana watak Mia. Seorang gadis manja yang selalu terpenuhi keinginannya.
Jika ia menolak dengan terang-terangan, sudah pasti Mia akan marah dan membencinya.
Tapi Aris juga tidak mungkin pacaran dengan gadis ABG itu. Ia masih terlalu kecil.
Walau harus Aris akui, kalau Mia memang imut dan cantik. Aris memang menyukai Mia. Tapi hanya sebatas seorang guru kepada muridnya, atau seorang kakak terhadap adiknya. Tak lebih!

"kamu masih terlalu kecil, Mia. Belum boleh pacaran.." ucap Aris akhirnya masih dengan hati-hati.
"siapa bilang?!" potong Mia sedikit ketus.
"ya... siapa aja... lagi pula kalau mama papa kamu tahu, mereka pasti bakal marah.." Aris sedikit tergagap. Terus terang seumur-umur, ini baru pertama kalinya bagi Aris, seorang cewek mengungkapkan perasaannya duluan. Dan lebih parahnya lagi, cewek itu justru seorang gadis yang baru tumbuh remaja. Aris benar-benar dibuat kebingungan.

"yah, jangan sampai mereka tahu lah, kak..." balas Mia datar. "lagi pula yang Mia tanyakan itu, kak Aris mau gak jadi pacar Mia?" lanjutnya lagi.
"kalau kak Aris jawab gak mau...?"
"yah, Mia harus tahu dulu, kak Aris gak maunya kenapa.."
"karena itu tadi.."
"karena Mia masih SMP?!"
Spontan Aris mengangguk.
"berarti kalau Mia sudah SMA, kak Aris mau?"
"yah, belum tentu juga, Mia.."
"berarti bukan karena Mia masih SMP dong.." Mia berkata lagi sambil sedikit melotot.

Aris menarik napas kembali, kali ini lebih dalam.
"gini loh, Mia." ucapnya pelan, "kamu masih lima belas tahun, sedangkan kak Aris sudah dua puluh lima tahun. Beda usia kita itu sangat jauh loh. Sepuluh tahun. Kalau pun nanti Mia udah SMA, mungkin saja kak Aris sudah menikah.."
"emangnya kak Aris punya pacar sekarang?" tanya Mia penasaran.
"yah... belum sih.." jawab Aris terdengar sangat pelan.
"itu artinya masih ada kesempatan untuk Mia, kak.." Mia berkata dengan suara polosnya lagi.
"kak Aris gak harus jawab sekarang, kok. Mia bakal tunggu sampai kapan pun...." lanjutnya.
Aris menatap Mia lama. Ia tidak tahu lagi harus berkata apa. Mia sepertinya memang sangat serius dengan ucapannya.
"kak Aris orangnya ganteng, baik dan juga sangat pintar. Mia jatuh cinta sama kak Aris. Cinta pertama Mia." Mia berujar lagi. "Mia bakal tunggu, sampai kapan pun. Bahkan jika harus bertahun-tahun.." lanjutnya terdengar tegas.

**************

"ooh, sekarang pacarannya sama anak ABG ya?" Sebuah suara mengganggu gendang telinga Aris yang sedang sibuk memainkan laptop-nya.
Aris menoleh ke arah suara itu, ia lihat di sampingnya sudah berdiri seorang gadis dengan rambut panjangnya yang dibiarkan tergerai.
"Lisa?" kening Aris berkerut, "maksud kamu apa?"
Lisa duduk dihadapan Aris sambil berkata, "gak usah belagak bego deh, Ris. Saya lihat kok kamu kemarin di kafe.."
"oh... dia Mia..."
"saya juga gak peduli dia siapa!" potong Lisa sedikit sinis.
"Mia itu salah seorang murid les private-ku, Lis. Emang kenapa?"
"oh, jadi les-nya di kafe, ya?!"
"gak!" jawab Aris tegas. "kebetulan aja kami ketemu disana dan ngobrol. Lagi pula apa urusannya sama kamu, Lis. Saya mau ngobrol sama siapa! Kita kan sudah tidak punya hubungan apa-apa lagi.."
"iya, sih. Tapi saya kasihan aja sama kamu. Masa' pacarannya sama anak SMP, sih. Kayak gak ada cewek yang lebih dewasa aja.." suara Lisa semakin terdengar ketus.
"kamu jangan ngarang, Lis. Saya dan Mia tidak pacaran. Lagian kamu kenapa, sih? Kamu cemburu?" balas Aris sedikit sengit.
Lisa menatap Aris dengan sedikit melotot. "ngapain aku cemburu sama anak ABG! Kayak kurang kerjaan aja.." ucapnya tak kalah ketus.
"yah udah, kalau kamu gak cemburu. Lantas ngapain kamu kesini?"

Lisa terdiam sejenak. Lalu dari dalam tasnya ia mengeluarkan sebuah undangan.
"aku hanya mau ngasih ini sama kamu.." ucapnya.
Dengan sedikit ragu Aris menerima undangan itu.
"minggu besok saya dan mas Reyhan bakal nikah..."
"oh.." Aris hanya membulatkan bibir, dan meletakkan undangan tersebut di atas meja. Ia menelan ludah, tenggorokannya terasa kering.
"ya udah, aku pamit..." ucap Lisa lagi, sambil ia berdiri.
Aris menatap Lisa yang melangkah pelan keluar dari kamar kost-nya. Lisa memang sudah sering main ke kost Aris. Terutama saat mereka masih pacaran dulu.
Lima tahun mereka pacaran. Lima tahun hubungan mereka baik-baik saja. Sampai suatu hari...

"aku ingin kita putus, Ris.." begitu ucap Lisa waktu itu, sekitar enam bulan yang lalu.
Aris terdiam sesaat. Ia masih berpikir, kalau Lisa hanya bercanda. Ia tatap wajah gadis itu cukup lama. Tapi Lisa benar-benar serius dengan ucapannya.
"kenapa?" tanya Aris akhirnya. Perasaannya merasa tidak enak.
"aku gak bisa jelaskan, Ris. Tapi yang pasti, aku gak bisa lagi meneruskan semua ini. Melanjutkan hubungan kita.."
"setelah hampir lima tahun?" suara Aris tercekat.
"saya tidak berpikir tentang itu, Ris. Tapi rasanya hubungan kita terlalu datar dan terasa hambar. Saya tidak melihat masa depan yang baik untuk kita.."
"karena saya belum bekerja?"
"mungkin. Salah satunya.."
"aku akan cari kerja, Lis..."
"sudah terlambat, Ris.'
"maksud kamu?"
"nanti kamu juga bakal tahu..."

Aris menarik napas panjang, hatinya terasa sangat perih mengingat semua itu. Begitu mudahnya Lisa mencampakkannya. Sampai akhirnya Aris tahu, kalau Lisa sudah menjalin hubungan serius dengan Reyhan, sahabatnya sendiri. Dan bahkan sekarang mereka akan menikah.
Aris hanya sedang berusaha untuk terlihat tegar. Meski hatinya sangat sakit dan begitu terluka. Tapi ia tak mungkin memaksa Lisa untuk terus bersamanya. Biar bagaimana pun, Lisa benar, ia memang tidak punya masa depan yang jelas. Dan Reyhan punya segalanya. Lisa pantas untuk bahagia. Rintih hati Aris dalam kepasrahannya.

*****
Bersambung ...

Aku jatuh cinta pada orang yang salah .... (part 3)

Pak Anggo menatapku tajam tanpa kedip. Matanya melotot. Aku tak sanggup menatapnya lama. Aku kemudian tertunduk. Namun tiba-tiba aku merasa sebuah pukulan mengenai rahangku dalam keadaan aku belum siap. Aku terjerembab. Aku mendengar Resti berteriak.
Belum sempat aku menyentuh rahangku yang terasa sakit, tiba-tiba lagi sebuah tendangan menghantam tulang rusuk kiriku.


"argh..." aku menjerit kesakitan. Kemudian sebuah hantaman lagi diperutku. Pak Anggo benar-benar marah. Ia tak memberikanku kesempatan untuk membela diri. Aku tak bisa melawan. Ada begitu banyak orang disana. Hampir semua pekerja berada di sana. Bahkan orang-orang dari desaku pun sudah banyak berada disana.
Berita tentang hubunganku dengan Resti sudah menyebar begitu cepat. Pak Anggo yang memergoki kami tanpa sengaja, karena sebenarnya ia sudah mulai curiga, sejak Resti sering pergi sendirian ke perkebunan.

Aku meringis menahan sakit. Namun pukulan bertubi-tubi selanjutnya yang aku rasakan. Tak ada seorangpun yang mau menolongku. Tak ada seorangpun yang berani. Aku hanya mendengar suara teriakan histeris Resti. Tapi itu tidak membuat pak Anggo menghentikan tindakannya untuk memukuliku berkali-kali.
Sayup-sayup aku mendengar suara tangisan Resti yang histeris. Suara itu kian lama kian hilang dan menjauh. Aku berusaha mengumpulkan kesadaranku, namun rasa sakit di seluruh tubuhku membuatku begitu lemah. Sampai akhirnya aku benar-benar tidak sadarkan diri.

************

Aku memutuskan untuk pergi dari desaku. Apa yang aku lakukan adalah sebuah kesalahan. Aku tak sanggup menanggungnya.
Aku tak pernah bertemu Resti lagi sejak kejadian siang itu. Aku juga tidak tahu apa yang terjadi dengannya, setelah kejadian itu. Namun melihat kemarahan pak Anggo waktu itu, sangat besar kemungkinan kalau Resti akan mendapatkan siksaan yang berat.

Orang-orang kampung memandangku dengan sinis. Bahkan orang tua dan keluargaku juga sangat marah padaku.
Aku telah membuat malu orang tua dan keluargaku. Aku tidak bisa lagi terus berada disini.
Aku harus pergi, meski aku sendiri tidak tahu harus kemana.

Ada banyak penyesalan yang harus aku tanggung. Tapi semua sudah terjadi. Aku tak ingin menyalahkan siapa-siapa.
Namun aku juga tidak bisa memungkiri semua itu. Aku memang jatuh cinta kepada Resti.
Aku tahu itu salah, tapi aku tidak bisa begitu saja menghindar dari semua rasa itu.
Dan kini aku harus kehilangan Resti. Untuk pertama kali nya, aku merasakan kebahagiaan dalam hidupku, namun itu semua tidak berlangsung lama.
Aku kehilangan Resti, aku kehilangan keluarga ku dan bahkan aku kehilangan semuanya.

Aku melangkah dalam ketidakpastian hidup ku. Aku harus menerima konsekwensi dari perbuatanku. Hukuman dari semua kesalahanku.
Aku tak menyalahkan Resti, tak ingin menyalahkan siapa-siapa.
Bahkan aku tidak berhak menyalahkan takdir.
Aku hanya manusia biasa, yang tak luput dari kesalahan.
Aku tahu, Resti juga mencintai ku. Tapi kami tidak bisa berbuat apa-apa, untuk memperjuangkan cinta kami. Bahkan untuk mempertahankannya saja, kami sudah tidak mampu.

Aku melangkah gontai menelusuri jalan tanpa tujuan. Entah kemana aku harus melangkah.
Hidup tiba-tiba terasa begitu berat bagiku. Semua kenyaman yang dulu aku rasakan kini telah tiada. Aku harus bisa menjalani semua ini sendiri.
Tiba-tiba bayangan Resti melintas di pikiranku. Rasa iba menyerangku tiba-tiba. Entah seperti apa kondisinya saat ini. Resti sudah cukup menderita selama ini. Dan sekarang ia harus menanggung penderitaan yang lebih parah lagi.
Aku yakin, setelah semua kejadian ini, Resti akan mendapat perlakuan yang sangat buruk dari pak Anggo. Tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa saat ini.
Aku bahkan tidak bisa menolong diriku sendiri.
Mungkin kisah kami memang harus berakhir seperti ini. Cinta yang tumbuh diantara kami adalah sebuah cinta yang salah. Meski kami tidak pernah menginginkannya.

Bersambung ...

Cari Blog Ini

Layanan

Translate