Cerpen : Meraih asa, Menggapai senja ... (part 1)

"kamu sudah 36 tahun Jhon. Teman-teman sebayamu sudah momong anak semuanya. Bahkan adik-adik kamu juga sudah berkeluarga. Kamu kapan?" Emak mengomel lagi. Kali ini sambil mencuci piring kotor yang barusan kami pakai. Aku duduk termangu di lantai dapur kecil rumah kami.
Aku hanya tinggal berdua dengan Emak, karena semua adik-adik ku sudah menikah dan sudah tinggal di rumahnya masing-masing. Meski masih ngontrak.
Ayah sudah lama meninggal.
Emak sudah terlalu sering mengomel seperti itu, sudah tidak ke hitung. Tapi aku hanya selalu diam. Aku capek jika harus berdebat dengan Emak, soal jodoh.
"kamu tunggu apa lagi sih, Jhon? Kamu juga sudah kerja." lanjut Emak lagi.

Bukan cuma Emak yang sering ngomong seperti itu. Teman-teman, adik-adik dan rekan kerja ku juga sering membicarakan hal itu. Aku biasanya hanya menanggapinya dengan senyum.
"tampang oke. Gaji lumayan. Tapi masih belum laku.." celetuk Doni, salah satu teman kerja ku.
"bukan tak laku, Don. Tapi Jhon memang terlalu pemilih." balas Rika dari meja kerjanya.
"iya. Saya sudah kenalkan dengan beberapa orang teman cewekku, tak ada satu pun yang membuat Jhon tertarik.." Dila ikut menimpali.
Aku hanya pura-pura sibuk dengan pekerjaanku. Aku sudah terbiasa mendengar semua itu. Meski harus aku akui kadang aku merasa kesal juga dengan ucapan-ucapan mereka.
Tapi kenyataannya sampai saat ini, aku memang masih belum laku. Aku tak bisa menyangkalnya. Tak ingin menyangkalnya juga.
"sudah! sudah! jangan ngeledek Jhon terus. Kalian gak tahu kisah cinta masa lalu Jhon, sih." kali ini Hendra angkat bicara.
Hendra sahabatku sejak kecil. Dia tahu sedikit banyak tentang cerita kehidupanku.

Aku pernah pacaran beberapa kali, bahkan beberapa kali juga pernah mencoba menjalani hubungan yang serius. Tapi semua kisah cintaku selalu kandas. Selalu berakhir dengan menyakitkan.
Pacar pertamaku namanya Dewi. Waktu itu kami masih sangat muda, masih SMA. Hubungan kami hanya bertahan enam bulan. Hubungan kami berakhir hanya karena masalah sepele. Hanya karena aku tidak bisa mengajak Dewi nonton di bioskop. Karena memang kondisi keuanganku saat itu tidak memungkinkan.
"aku tuh cari pacar, biar ada yang ngajak aku jalan-jalan, traktir aku makan, ngajakin nonton. Kalau cuma pacaran di taman kayak gini buat apaan.." ucap Dewi waktu itu.
Setelah itu Dewi tak mau lagi aku ajak ngomong. Dia bahkan dengan terang-terangan jalan berdua di depanku dengan pacar barunya yang memang tajir.

Waktu kuliah aku juga pernah pacaran. Namanya Nani. Gadis cantik dan lembut. Tapi hubungan kami harus kandas, setelah hampir dua tahun pacaran. Aku tak sengaja memergoki Nani selingkuh dengan pria yang jauh lebih dewasa.
Aku patah hati. Kecewa. Dan jadi sedikit takut mendekati wanita.
Namun sebagai manusia normal, aku tetap bisa kembali pulih. Bisa jatuh cinta lagi.
Aku jatuh cinta lagi dengan seorang gadis, namanya Juwita. Sesuai dengan namanya, orangnya memang cantik.

Aku dan Juwita pacaran kurang lebih tiga tahun. Kisah kasih kami sangat indah. Juwita gadis yang baik dan pengertian. Dia benar-benar mampu membuat aku bahagia. Semua terasa indah bagiku.
Namun apa hendak dikata, kami ternyata tidak berjodoh. Meski pun kami saling cinta.
Juwita dipaksa menikah oleh orangtuanya dengan seorang pengusaha kaya. Juwita tak kuasa menolak. Dia terpaksa menerima perjodohan tersebut, karena ingin membahagiakan orangtuanya. Yang mengakibatkan aku patah hati berkepanjangan. Setahun lebih aku menyendiri, setelah ditinggal nikah oleh Juwita.

Aku sibukkan diriku dengan bekerja. Aku hampir tak percaya pada yang namanya cinta sejati. Aku menikmati kesendirianku, merasa damai dengan sepiku.
Yang aku pikirkan hanyalah bekerja, bekerja dan bekerja. Aku larut dengan kesibukkanku. Tanpa sadar usiaku sudah menginjak kepala tiga waktu itu.
Saat itulah aku bertemu Novi. Gadis manis nan seksi. Seorang gadis ramah yang mampu mengembalikan rasa percaya diriku yang sempat hilang.
Novi mampu membuatku bangkit dari kekecewaanku terhadap cinta. Meski usia kami terpaut cukup jauh, tapi Novi punya pemikiran yang dewasa. Hubungan kami sangat serius, apa lagi mengingat usiaku yang tidak lagi muda. Kami bahkan sudah mendapat restu dari kedua keluarga kami.

"jadi kapan nih lanjut ke jenjang berikutnya?" tanya emak suatu hari.
"maksudnya apa sih, mak?" tanyaku pura-pura tidak paham.
"kapan kamu nikahin Novi, Jhon.." balas emak, beliau memang yang paling bahagia dengan hubungan kami.
"Novi kan masih kuliah, mak. Ya, nunggu dia selesai kuliah dulu." jawabku ringan.
"udah! Nikah aja dulu, Jhon. Novi kan tetap bisa lanjut kuliah..." ucap Mak lagi.
Aku hanya terdiam. Aku memang pernah membicarakan hal tersebut dengan Novi. Tapi Novi tetap bersikeras untuk menyelesaikan kuliahnya. Aku pun setuju. Aku hanya harus sabar. Toh, kuliah Novi juga tinggal setahun lagi.

Namun semua tidak berjalan seindah yang kuharapkan. Belum sempat Novi menyelesaikan kuliahnya. Tiba-tiba Novi mengalami kecelakaan yang sangat fatal. Kecelakaan yang akhirnya merenggut nyawanya. Merenggut kebahagiaanku. Merenggut semua harapanku.
Hatiku terasa hancur berkeping-keping. Dunia seakan runtuh.
Aku sangat mencintai Novi. Tapi ternyata Tuhan lebih mencintainya. Dan aku kembali terpuruk. Meratapi bayang-bayang Novi yang tak pernah mau hilang dari benakku. Aku tenggelam dalam kesedihanku.
Bertahun-tahun aku larut dalam kesedihan yang mendalam.

*****
Bersambung ...

Sebuah cerpen : Cinta dua warna... (part 1)

Sejenak Aris menarik napas, dadanya terasa sesak. Dengan setengah tak percaya ia menoleh sekilas ke arah samping kirinya. Seorang gadis manis dengan wajah yang imut tersenyum padanya.
"kamu yakin?" tanya Aris ragu.
Gadis imut itu hanya mengangguk dengan sedikit malu.
"Mia... kamu kan tahu, kalau usia kita terpaut sangat jauh." ucap Aris lembut, "lagi pula kamu masih SMP, Mia..." lanjutnya hati-hati.
"Mia tahu, kak. Tapi apa salah, kalau Mia suka sama kak Aris..." suara lembut Mia membuat Aris sedikit tertunduk.

Sudah setahun Aris menjadi guru les private. Dan Mia adalah salah satu muridnya. Aris biasanya datang ke rumah Mia setiap sore rabu dan sore sabtu, sesuai jadwal.
Sejak lulus kuliah setahun yang lalu, Aris memang belum mendapatkan pekerjaan yang cocok, dan menjadi guru les private adalah pilihan terakhirnya.
Ada beberapa orang murid, rata-rata semuanya adalah anak-anak SMP.

Memang harus Aris akui, kalau belakangan ini, Mia memperlakukannya agak berbeda dari biasanya. Mulai dari menyediakan makanan atau minuman untuk Aris saat les. Mia sering ngajakin Aris makan di luar atau juga ngajak Aris nonton. Beberapa kali Aris coba menolak, tapi Mia terus memaksa.
Mia juga kadang berdandan secara menor, atau bahkan terkesan berlebihan.
Tapi Aris mencoba menanggapinya biasa saja. Aris hanya berpikir, mungkin Mia memang lagi puber, seperti kebanyakan remaja lainnya. Apa lagi mengingat usia Mia yang baru beranjak remaja.
Tapi tadi...
Dengan jelas Aris mendengar kalau Mia mengungkapkan perasaan sukanya secara terang-terangan.
Mereka duduk di sebuah kafe, dan Mia juga yang memaksanya untuk datang tadi.

"gimana? Kak Aris mau gak jadi pacar Mia?" ucapan Mia yang polos, membuat Aris kembali menarik napas. Ia hanya tidak tahu bagaimana cara menjawabnya.
Aris tahu betul bagaimana watak Mia. Seorang gadis manja yang selalu terpenuhi keinginannya.
Jika ia menolak dengan terang-terangan, sudah pasti Mia akan marah dan membencinya.
Tapi Aris juga tidak mungkin pacaran dengan gadis ABG itu. Ia masih terlalu kecil.
Walau harus Aris akui, kalau Mia memang imut dan cantik. Aris memang menyukai Mia. Tapi hanya sebatas seorang guru kepada muridnya, atau seorang kakak terhadap adiknya. Tak lebih!

"kamu masih terlalu kecil, Mia. Belum boleh pacaran.." ucap Aris akhirnya masih dengan hati-hati.
"siapa bilang?!" potong Mia sedikit ketus.
"ya... siapa aja... lagi pula kalau mama papa kamu tahu, mereka pasti bakal marah.." Aris sedikit tergagap. Terus terang seumur-umur, ini baru pertama kalinya bagi Aris, seorang cewek mengungkapkan perasaannya duluan. Dan lebih parahnya lagi, cewek itu justru seorang gadis yang baru tumbuh remaja. Aris benar-benar dibuat kebingungan.

"yah, jangan sampai mereka tahu lah, kak..." balas Mia datar. "lagi pula yang Mia tanyakan itu, kak Aris mau gak jadi pacar Mia?" lanjutnya lagi.
"kalau kak Aris jawab gak mau...?"
"yah, Mia harus tahu dulu, kak Aris gak maunya kenapa.."
"karena itu tadi.."
"karena Mia masih SMP?!"
Spontan Aris mengangguk.
"berarti kalau Mia sudah SMA, kak Aris mau?"
"yah, belum tentu juga, Mia.."
"berarti bukan karena Mia masih SMP dong.." Mia berkata lagi sambil sedikit melotot.

Aris menarik napas kembali, kali ini lebih dalam.
"gini loh, Mia." ucapnya pelan, "kamu masih lima belas tahun, sedangkan kak Aris sudah dua puluh lima tahun. Beda usia kita itu sangat jauh loh. Sepuluh tahun. Kalau pun nanti Mia udah SMA, mungkin saja kak Aris sudah menikah.."
"emangnya kak Aris punya pacar sekarang?" tanya Mia penasaran.
"yah... belum sih.." jawab Aris terdengar sangat pelan.
"itu artinya masih ada kesempatan untuk Mia, kak.." Mia berkata dengan suara polosnya lagi.
"kak Aris gak harus jawab sekarang, kok. Mia bakal tunggu sampai kapan pun...." lanjutnya.
Aris menatap Mia lama. Ia tidak tahu lagi harus berkata apa. Mia sepertinya memang sangat serius dengan ucapannya.
"kak Aris orangnya ganteng, baik dan juga sangat pintar. Mia jatuh cinta sama kak Aris. Cinta pertama Mia." Mia berujar lagi. "Mia bakal tunggu, sampai kapan pun. Bahkan jika harus bertahun-tahun.." lanjutnya terdengar tegas.

**************

"ooh, sekarang pacarannya sama anak ABG ya?" Sebuah suara mengganggu gendang telinga Aris yang sedang sibuk memainkan laptop-nya.
Aris menoleh ke arah suara itu, ia lihat di sampingnya sudah berdiri seorang gadis dengan rambut panjangnya yang dibiarkan tergerai.
"Lisa?" kening Aris berkerut, "maksud kamu apa?"
Lisa duduk dihadapan Aris sambil berkata, "gak usah belagak bego deh, Ris. Saya lihat kok kamu kemarin di kafe.."
"oh... dia Mia..."
"saya juga gak peduli dia siapa!" potong Lisa sedikit sinis.
"Mia itu salah seorang murid les private-ku, Lis. Emang kenapa?"
"oh, jadi les-nya di kafe, ya?!"
"gak!" jawab Aris tegas. "kebetulan aja kami ketemu disana dan ngobrol. Lagi pula apa urusannya sama kamu, Lis. Saya mau ngobrol sama siapa! Kita kan sudah tidak punya hubungan apa-apa lagi.."
"iya, sih. Tapi saya kasihan aja sama kamu. Masa' pacarannya sama anak SMP, sih. Kayak gak ada cewek yang lebih dewasa aja.." suara Lisa semakin terdengar ketus.
"kamu jangan ngarang, Lis. Saya dan Mia tidak pacaran. Lagian kamu kenapa, sih? Kamu cemburu?" balas Aris sedikit sengit.
Lisa menatap Aris dengan sedikit melotot. "ngapain aku cemburu sama anak ABG! Kayak kurang kerjaan aja.." ucapnya tak kalah ketus.
"yah udah, kalau kamu gak cemburu. Lantas ngapain kamu kesini?"

Lisa terdiam sejenak. Lalu dari dalam tasnya ia mengeluarkan sebuah undangan.
"aku hanya mau ngasih ini sama kamu.." ucapnya.
Dengan sedikit ragu Aris menerima undangan itu.
"minggu besok saya dan mas Reyhan bakal nikah..."
"oh.." Aris hanya membulatkan bibir, dan meletakkan undangan tersebut di atas meja. Ia menelan ludah, tenggorokannya terasa kering.
"ya udah, aku pamit..." ucap Lisa lagi, sambil ia berdiri.
Aris menatap Lisa yang melangkah pelan keluar dari kamar kost-nya. Lisa memang sudah sering main ke kost Aris. Terutama saat mereka masih pacaran dulu.
Lima tahun mereka pacaran. Lima tahun hubungan mereka baik-baik saja. Sampai suatu hari...

"aku ingin kita putus, Ris.." begitu ucap Lisa waktu itu, sekitar enam bulan yang lalu.
Aris terdiam sesaat. Ia masih berpikir, kalau Lisa hanya bercanda. Ia tatap wajah gadis itu cukup lama. Tapi Lisa benar-benar serius dengan ucapannya.
"kenapa?" tanya Aris akhirnya. Perasaannya merasa tidak enak.
"aku gak bisa jelaskan, Ris. Tapi yang pasti, aku gak bisa lagi meneruskan semua ini. Melanjutkan hubungan kita.."
"setelah hampir lima tahun?" suara Aris tercekat.
"saya tidak berpikir tentang itu, Ris. Tapi rasanya hubungan kita terlalu datar dan terasa hambar. Saya tidak melihat masa depan yang baik untuk kita.."
"karena saya belum bekerja?"
"mungkin. Salah satunya.."
"aku akan cari kerja, Lis..."
"sudah terlambat, Ris.'
"maksud kamu?"
"nanti kamu juga bakal tahu..."

Aris menarik napas panjang, hatinya terasa sangat perih mengingat semua itu. Begitu mudahnya Lisa mencampakkannya. Sampai akhirnya Aris tahu, kalau Lisa sudah menjalin hubungan serius dengan Reyhan, sahabatnya sendiri. Dan bahkan sekarang mereka akan menikah.
Aris hanya sedang berusaha untuk terlihat tegar. Meski hatinya sangat sakit dan begitu terluka. Tapi ia tak mungkin memaksa Lisa untuk terus bersamanya. Biar bagaimana pun, Lisa benar, ia memang tidak punya masa depan yang jelas. Dan Reyhan punya segalanya. Lisa pantas untuk bahagia. Rintih hati Aris dalam kepasrahannya.

*****
Bersambung ...

Aku jatuh cinta pada orang yang salah .... (part 3)

Pak Anggo menatapku tajam tanpa kedip. Matanya melotot. Aku tak sanggup menatapnya lama. Aku kemudian tertunduk. Namun tiba-tiba aku merasa sebuah pukulan mengenai rahangku dalam keadaan aku belum siap. Aku terjerembab. Aku mendengar Resti berteriak.
Belum sempat aku menyentuh rahangku yang terasa sakit, tiba-tiba lagi sebuah tendangan menghantam tulang rusuk kiriku.


"argh..." aku menjerit kesakitan. Kemudian sebuah hantaman lagi diperutku. Pak Anggo benar-benar marah. Ia tak memberikanku kesempatan untuk membela diri. Aku tak bisa melawan. Ada begitu banyak orang disana. Hampir semua pekerja berada di sana. Bahkan orang-orang dari desaku pun sudah banyak berada disana.
Berita tentang hubunganku dengan Resti sudah menyebar begitu cepat. Pak Anggo yang memergoki kami tanpa sengaja, karena sebenarnya ia sudah mulai curiga, sejak Resti sering pergi sendirian ke perkebunan.

Aku meringis menahan sakit. Namun pukulan bertubi-tubi selanjutnya yang aku rasakan. Tak ada seorangpun yang mau menolongku. Tak ada seorangpun yang berani. Aku hanya mendengar suara teriakan histeris Resti. Tapi itu tidak membuat pak Anggo menghentikan tindakannya untuk memukuliku berkali-kali.
Sayup-sayup aku mendengar suara tangisan Resti yang histeris. Suara itu kian lama kian hilang dan menjauh. Aku berusaha mengumpulkan kesadaranku, namun rasa sakit di seluruh tubuhku membuatku begitu lemah. Sampai akhirnya aku benar-benar tidak sadarkan diri.

************

Aku memutuskan untuk pergi dari desaku. Apa yang aku lakukan adalah sebuah kesalahan. Aku tak sanggup menanggungnya.
Aku tak pernah bertemu Resti lagi sejak kejadian siang itu. Aku juga tidak tahu apa yang terjadi dengannya, setelah kejadian itu. Namun melihat kemarahan pak Anggo waktu itu, sangat besar kemungkinan kalau Resti akan mendapatkan siksaan yang berat.

Orang-orang kampung memandangku dengan sinis. Bahkan orang tua dan keluargaku juga sangat marah padaku.
Aku telah membuat malu orang tua dan keluargaku. Aku tidak bisa lagi terus berada disini.
Aku harus pergi, meski aku sendiri tidak tahu harus kemana.

Ada banyak penyesalan yang harus aku tanggung. Tapi semua sudah terjadi. Aku tak ingin menyalahkan siapa-siapa.
Namun aku juga tidak bisa memungkiri semua itu. Aku memang jatuh cinta kepada Resti.
Aku tahu itu salah, tapi aku tidak bisa begitu saja menghindar dari semua rasa itu.
Dan kini aku harus kehilangan Resti. Untuk pertama kali nya, aku merasakan kebahagiaan dalam hidupku, namun itu semua tidak berlangsung lama.
Aku kehilangan Resti, aku kehilangan keluarga ku dan bahkan aku kehilangan semuanya.

Aku melangkah dalam ketidakpastian hidup ku. Aku harus menerima konsekwensi dari perbuatanku. Hukuman dari semua kesalahanku.
Aku tak menyalahkan Resti, tak ingin menyalahkan siapa-siapa.
Bahkan aku tidak berhak menyalahkan takdir.
Aku hanya manusia biasa, yang tak luput dari kesalahan.
Aku tahu, Resti juga mencintai ku. Tapi kami tidak bisa berbuat apa-apa, untuk memperjuangkan cinta kami. Bahkan untuk mempertahankannya saja, kami sudah tidak mampu.

Aku melangkah gontai menelusuri jalan tanpa tujuan. Entah kemana aku harus melangkah.
Hidup tiba-tiba terasa begitu berat bagiku. Semua kenyaman yang dulu aku rasakan kini telah tiada. Aku harus bisa menjalani semua ini sendiri.
Tiba-tiba bayangan Resti melintas di pikiranku. Rasa iba menyerangku tiba-tiba. Entah seperti apa kondisinya saat ini. Resti sudah cukup menderita selama ini. Dan sekarang ia harus menanggung penderitaan yang lebih parah lagi.
Aku yakin, setelah semua kejadian ini, Resti akan mendapat perlakuan yang sangat buruk dari pak Anggo. Tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa saat ini.
Aku bahkan tidak bisa menolong diriku sendiri.
Mungkin kisah kami memang harus berakhir seperti ini. Cinta yang tumbuh diantara kami adalah sebuah cinta yang salah. Meski kami tidak pernah menginginkannya.

Bersambung ...

Aku jatuh cinta pada orang yang salah .... (part 2)

"aku menikah dengan pak Anggo hanya karena terpaksa..." suara Resti tertahan. "aku tak pernah mencintainya, dan tak berniat juga untuk mencintainya." lanjutnya, ia menarik napas sejenak.
"Ayahku punya hutang yang sangat banyak pada pak Anggo. Ayah sudah tidak sanggup lagi membayarnya, apa lagi Ayah sudah sering sakit-sakitan. Begitu juga Ibu. Mereka hanya petani biasa. Ayah berhutang karena harus membiayai operasi Ibu. Dan jalan satu-satunya untuk melunasi hutang Ayah, ialah dengan menerima lamaran pak Anggo..." kali ini Resti berkata dengan mata berkaca.
Aku hanya terdiam dan menatap penuh hiba. Tak kusangka Resti berani jujur padaku. Ceritanya sungguh membuatku merasa sangat tersentuh.

"aku anak tertua dari keluarga kami. Tiga adik-adikku masih sekolah. Aku dengan sangat terpaksa memenuhi permintaan Ayah. Adik-adikku butuh biaya untuk sekolah, Ayahku butuh biaya untuk berobat. Aku sendiri tidak punya pekerjaan, karena aku hanya lulusan SMA." Resti terus bercerita dengan suara bergetar. Air matanya jatuh menetes.
Aku merasa kasihan melihatnya. Ingin rasanya aku menghapus tetesan air mata itu. Tapi aku tak sanggup. aku hanya terdiam dan tertunduk. Tidak tahu harus berkata apa. Tidak tahu juga harus berbuat apa.

Beberapa saat kemudian, kulihat Resti mengusap air matanya sendiri lalu ia berdiri.
"aku kesini hanya ingin mengungkapkan perasaanku padamu, Zam. Aku tak peduli kamu suka atau tidak. Tapi setidaknya kamu sudah tahu sekarang.." ucapnya pelan. Ia menatapku tajam.
Aku sedikit tengadah, memberanikan diri menatap mata indah milik Resti.
"aku...." suaraku terbata.
"kamu tak perlu mengatakan apa pun, Zam. Kamu tak harus menjawabnya.." Resti memotong ucapanku cepat.
"kenapa?" tanyaku.
"aku takut. Aku takut mendengar jawabanmu..."
"aku belum menjawab apa-apa.."
"iya. Apa pun jawabanmu, pasti akan membuatku sakit..." suara Resti terdengar lemah, ia masih berdiri menatapku.

"aku juga suka sama kamu, Res.." kali ini aku berkata dengan tegas. Aku tak ingin menutupi perasaanku sendiri. Kalau Resti berani untuk jujur, kenapa aku tidak. Karena terus terang aku memang menyukai Resti sejak pertama kali kami saling kenal. Hanya saja selama ini aku berusaha memendam rasa itu, karena aku sadar itu semua adalah sebuah kesalahan. Meski hampir setiap malam aku memikirkan Resti. Membayangkan senyumnya yang begitu manis. Kadang aku merasa bersalah dengan semua itu, tapi aku begitu menikmati perasaanku pada Resti. Dan sekarang aku tahu, kalau Resti juga punya perasaan yang sama denganku.
Meski tetap saja, ini semua adalah sebuah kesalahan.

Resti masih berdiri membisu. Ia seakan tak percaya dengan ucapanku.
"aku serius. Aku juga suka sama kamu, Res.." ulangku lagi, hanya untuk meyakinkan Resti tentang perasaanku.
Resti menyunggingkan senyum, "kamu tahu ini sebuah kesalahan kan, Zam?" ucapnya.
Aku mengangguk, "yah, aku tahu. Untuk itu selama ini aku hanya diam, meski aku sangat ingin mengungkapkannya.." suaraku parau.
Resti menatapku lagi. Tiba-tiba ia duduk kembali.
"lalu sekarang gimana?" tanyanya.
"aku... aku gak tahu, Res. Kamu yang memulainya...."
"awalnya aku kesini, hanya sekedar mengungkapkan perasaanku. Hanya sekedar ingin kamu tahu. Aku pikir kamu akan mengabaikanku, karena statusku. Tapi sekarang aku tahu perasaan kamu. Aku... aku seperti punya sedikit harapan..." Resti berujar dengan sedikit terbata.

***************

"akan banyak resiko dan halangan yang akan kita hadapi ke depannya, Res. Jika kita tetap memaksakan diri untuk menempuh jalan ini..." ucapku kepada Resti, tiga minggu kemudian. Tiga minggu setelah akhirnya kami memutuskan untuk bersama, meski kami tahu itu sebuah kesalahan. Kami memutuskan untuk mencobanya. Kami saling mencintai. Resti sudah ketiga kalinya datang ke barak sendirian untuk menemuiku.
"cepat atau lambat, orang-orang akan tahu tentang hubungan kita, Res..." lanjutku lagi.
Resti meremas jemariku lembut, kami duduk di bangku barak seperti biasa.
"aku tahu." suara Resti ringan, "aku hanya sedang berusaha mencari jalan keluar terbaik dari semua ini, Zam. Aku tak ingin menyakiti siapa pun. Terutama orang tuaku." lanjutnya, sambil dengan pelan ia melepaskan tanganku.

"untuk apa semua ini, Res. Jika setiap kali kita bertemu hanya akan menimbulkan rasa bersalah yang berkepanjangan..."
"terdengar egois sih, Zam. Tapi bukankah kita merasa bahagia saat bersama seperti ini. Aku merasa bahagia, Zam. Saat berada dekat dengan kamu. Aku hanya ingin merasakan bahagia. Lalu salahkah aku? Tak berhakkah aku?" Resti berkata sambil menutupi wajahnya dengan kedua tangannya.
Aku merasa pilu. Sejujurnya aku memang merasa bahagia saat bersama Resti. Tapi rasa takut dan rasa bersalah lebih sering menghantuiku.

"tapi sampai kapan kita akan seperti ini, Res?" tanyaku lirih, lebih kepada diriku sendiri.
Resti hanya menggeleng, ia sibakkan rambutnya keatas.
"entahlah, Zam. Seandainya saja aku tidak membiarkan pintu hatiku terbuka begitu saja. Mungkin semua ini tidak perlu terjadi.."
"dan kamu membiarkan dirimu sendiri hidup menderita dengan pernikahan yang tak pernah kamu inginkan?"
"yah. Itu mungkin lebih baik. Setidaknya aku tidak menyakiti siapa pun..."
Aku terdiam kembali. Rasanya sangat sulit menemukan jalan keluar dari semua ini.
"aku yakin, pada akhirnya kita memang harus saling melupakan, Res. Tapi setidaknya kita sudah mencoba..."
"yah. aku tahu..." Resti berdiri, "aku akan pikirkan lagi hal ini. Sekarang aku pamit.." lanjutnya sambil melangkah menuju mobilnya.

*****

Bersambung ....

Aku jatuh cinta kepada orang yang salah... (part 1)

Nama ku Azzam. Umurku 23 tahun.
Aku tinggal di sebuah desa yang cukup jauh dari perkotaan. Sebuah desa yang boleh dibilang masih jauh ketinggalan.
Di desa kami belum ada listrik masuk, dan jalan menuju desa kami masih berupa jalan batu yang rusak dan terdapat banyak lobang di sepanjang jalan.
Namun di desa kami terdapat banyak perkebunan sawit, beberapa adalah milik masyarakat setempat.
Meski sebagian besar nya adalah milik seorang juragan kaya.
Nama nya, pak Anggo, begitu biasanya kami memanggilnya. Ia mempunyai kebun sawit yang sangat luas. Kebun sawit nya hampir separoh dari sepanjang jalan menuju desa kami.
Kalau di perkirakan mungkin hampir 600 hektar luas kebun sawit milik pak Anggo secara keseluruhan.

Aku hanya mengenyam pendidikan sampai tamat SD, karena memang di desa kami satu-satu nya sekolah yang ada ya cuma SD.
Bagi mereka yang memiliki ekonomi yang mapan, maka mereka akan menyekolahkan anak nya keluar.
Bagi kami yang kurang mampu, maka setelah tamat SD kami akan langsung bekerja setidaknya membantu orang tua kami.
Desa kami terletak di pinggiran sebuah sungai, untuk itu, sebagian besar warga bekerja sebagai nelayan di sungai. Sebagian lagi ada yang berkebun, dan selebihnya ialah bekerja di perkebunan sawit milik pak Anggo.
Ada yang jadi tukang panen, tukang bongkar muat, dan ada juga yang bekerja dibagian perawatan kebun. Tentu saja kami semua bekerja di bagian lapangannya, karena kami terutama penduduk asli desa, hanya lulusan Sekolah Dasar.

Aku sendiri bekerja di bagian tukang panen. Aku sudah hampir lima tahun menjadi tukang panen sawit di perkebunan sawit milik pak Anggo. Sebelumnya aku bekerja serabutan di sungai.
Karena sudah cukup lama bekerja di kebun pak Anggo, aku menjadi salah seorang orang kepercayaan pak Anggo untuk mengurus beberapa hektar kebun nya.
Aku dipercaya untuk merawat dan memanen lebih kurang 10 hektar kebun sawit pak Anggo, yang posisi nya memang berada tidak jauh dari desa kami, bersama tiga orang pekerja lainnya.
Di kebun itu terdapat tiga buah barak, satu barak kami gunaka untuk tempat pupuk dan peralatan kerja kami. Satu barak kami gunakan untuk tempat kami istirahat dan memasak. Dan satu barak lagi kami gunakan untuk semacam kantor dan juga untuk tempat istirahat pak Anggo apa bila ia datang berkunjung ke tempat kami.
Aku memang tidur di barak tersebut, karena aku memang masih lajang. Sedangkan ketiga teman ku yang lain, mereka akan pulang ke rumah mereka di desa karena mereka sudah menikah dan mempunyai tempat tinggal sendiri.
Jadi kalau malam hari aku hanya sendirian di kebun itu.

Pak Anggo sudah berumur berkisar 56 atau 57 tahun, beliau mempunyai tiga orang anak. Ketiga anaknya sudah besar, ada yang sudah bekerja dan ada juga yang masih sekolah dan kuliah.
Istri pak Anggo sudah meninggal beberapa tahun lalu. Sekarang pak Anggo sudah menikah lagi, dengan seorang gadis yang seusia anak pertama nya, kira-kira 29 tahun.
Seorang wanita muda yang cantik dan seksi. Mereka menikah sudah hampir setahun.
Aku pernah sudah sering bertemu istri muda pak Anggo, nama nya Resti, ia sudah sering datang ke barak kami menemani pak Anggo.
Kami sempat berkenalan dan ngobrol beberapa kali.
Setiap kali berkunjung ke barak kami, Resti, selalu tersenyum dengan ramah. Terus terang aku kadang sedikit salah tingkah bila harus bertatap muka dengannya.

Pada suatu hari, waktu itu hari minggu pagi. Seperti biasa semua pekerja libur. Aku hanya sendirian di barak, karena memang aku juga di tugas kan oleh pak Anggo untuk sekalian menjaga kebun, terutama kalau semua pekerja libur.
Seperti biasa, aku sedikit bersantai di hari minggu itu. Sambil berbaring di tempat tidur. Tiba-tiba aku melihat sebuah mobil memasuki pekarangan barak. Aku tahu, itu salah satu mobil milik pak Anggo yang biasa ia pakai. Yang membuat aku sedikit heran, tumben pak Anggo datang pada hari minggu.
Belum habis rasa heran ku, tiba-tiba dari dalam mobil keluarlah sesosok perempuan cantik dan anggun.
Perempuan itu ternyata Resti, istri muda pak Anggo, dan ia datang sendirian. Membuat aku semakin heran dan sedikit kaget.
Aku keluar dari barak dan menatap Resti yang berjalan santai menuju barak.

"ada apa, mbak Resti?" tanyaku sedikit gugup, ketika Resti sudah berdiri di hadapanku.
Resti tersenyum tipis, "gak usah panggil mbak, panggil Resti aja. Kita kan seumuran.." ucapnya santai.
Tak lama kemudian, Resti duduk di sampingku. Di depan barak memang terdapat sebuah bangku, tempat biasa kami, para pekerja nongkrong.
"kamu sendirian?" tanya Resti selanjutnya.
Aku hanya mengangguk. Jantungku berdebar-debar hebat. Resti hanya berjarak lebih kurang setengah meter dariku. Aroma tubuhnya yang wangi tercium di hidungku.
Resti memang gadis yang sempurna. Pak Anggo sungguh beruntung menjadikannya istri. Dan menurutku, Resti menikah dengan pak Anggo sudah jelas bukan karena cinta.
Pak Anggo seorang yang sangat kaya, jadi wajar kalau gadis secantik Resti mau menikah dengannya.

"aku hanya ingin terus terang sama kamu, Zam.." ucap Resti terdengar akrab, setelah kami terdiam beberapa saat.
Aku beranikan diri menoleh wajah cantik itu sesaat.
"terus terang tentang apa?" tanyaku, suaraku bergetar menahan debaran di dadaku.
"aku suka sama kamu, Zam. Bahkan sejak pertama kali aku datang kesini..." suara Resti terdengar tegas.
Dan aku kaget. Benar-benar kaget. Tak percaya dengan apa yang barusan aku dengar. Tapi suara Resti cukup jelas. Aku hanya terdiam. Tiba-tiba bibirku terasa kaku. Aku tak tahu harus berkata apa.
"aku tahu ini salah..." Resti berkata lagi setelah melihat aku hanya terdiam. "tapi aku tidak bisa lagi membohongi perasaanku sendiri, Zam. Aku jatuh cinta padamu, dan itu adalah kenyataannya.."
"tapi..."
"ya, aku tahu." potong Resti cepat. "tapi seperti yang aku katakan, aku hanya ingin berterus terang sama kamu, Zam. Aku tak sanggup lagi memendamnya..."

****

Bersambung ...

Cari Blog Ini

Layanan

Translate