Aku jatuh cinta pada orang yang salah .... (part 3)

Pak Anggo menatapku tajam tanpa kedip. Matanya melotot. Aku tak sanggup menatapnya lama. Aku kemudian tertunduk. Namun tiba-tiba aku merasa sebuah pukulan mengenai rahangku dalam keadaan aku belum siap. Aku terjerembab. Aku mendengar Resti berteriak.
Belum sempat aku menyentuh rahangku yang terasa sakit, tiba-tiba lagi sebuah tendangan menghantam tulang rusuk kiriku.


"argh..." aku menjerit kesakitan. Kemudian sebuah hantaman lagi diperutku. Pak Anggo benar-benar marah. Ia tak memberikanku kesempatan untuk membela diri. Aku tak bisa melawan. Ada begitu banyak orang disana. Hampir semua pekerja berada di sana. Bahkan orang-orang dari desaku pun sudah banyak berada disana.
Berita tentang hubunganku dengan Resti sudah menyebar begitu cepat. Pak Anggo yang memergoki kami tanpa sengaja, karena sebenarnya ia sudah mulai curiga, sejak Resti sering pergi sendirian ke perkebunan.

Aku meringis menahan sakit. Namun pukulan bertubi-tubi selanjutnya yang aku rasakan. Tak ada seorangpun yang mau menolongku. Tak ada seorangpun yang berani. Aku hanya mendengar suara teriakan histeris Resti. Tapi itu tidak membuat pak Anggo menghentikan tindakannya untuk memukuliku berkali-kali.
Sayup-sayup aku mendengar suara tangisan Resti yang histeris. Suara itu kian lama kian hilang dan menjauh. Aku berusaha mengumpulkan kesadaranku, namun rasa sakit di seluruh tubuhku membuatku begitu lemah. Sampai akhirnya aku benar-benar tidak sadarkan diri.

************

Aku memutuskan untuk pergi dari desaku. Apa yang aku lakukan adalah sebuah kesalahan. Aku tak sanggup menanggungnya.
Aku tak pernah bertemu Resti lagi sejak kejadian siang itu. Aku juga tidak tahu apa yang terjadi dengannya, setelah kejadian itu. Namun melihat kemarahan pak Anggo waktu itu, sangat besar kemungkinan kalau Resti akan mendapatkan siksaan yang berat.

Orang-orang kampung memandangku dengan sinis. Bahkan orang tua dan keluargaku juga sangat marah padaku.
Aku telah membuat malu orang tua dan keluargaku. Aku tidak bisa lagi terus berada disini.
Aku harus pergi, meski aku sendiri tidak tahu harus kemana.

Ada banyak penyesalan yang harus aku tanggung. Tapi semua sudah terjadi. Aku tak ingin menyalahkan siapa-siapa.
Namun aku juga tidak bisa memungkiri semua itu. Aku memang jatuh cinta kepada Resti.
Aku tahu itu salah, tapi aku tidak bisa begitu saja menghindar dari semua rasa itu.
Dan kini aku harus kehilangan Resti. Untuk pertama kali nya, aku merasakan kebahagiaan dalam hidupku, namun itu semua tidak berlangsung lama.
Aku kehilangan Resti, aku kehilangan keluarga ku dan bahkan aku kehilangan semuanya.

Aku melangkah dalam ketidakpastian hidup ku. Aku harus menerima konsekwensi dari perbuatanku. Hukuman dari semua kesalahanku.
Aku tak menyalahkan Resti, tak ingin menyalahkan siapa-siapa.
Bahkan aku tidak berhak menyalahkan takdir.
Aku hanya manusia biasa, yang tak luput dari kesalahan.
Aku tahu, Resti juga mencintai ku. Tapi kami tidak bisa berbuat apa-apa, untuk memperjuangkan cinta kami. Bahkan untuk mempertahankannya saja, kami sudah tidak mampu.

Aku melangkah gontai menelusuri jalan tanpa tujuan. Entah kemana aku harus melangkah.
Hidup tiba-tiba terasa begitu berat bagiku. Semua kenyaman yang dulu aku rasakan kini telah tiada. Aku harus bisa menjalani semua ini sendiri.
Tiba-tiba bayangan Resti melintas di pikiranku. Rasa iba menyerangku tiba-tiba. Entah seperti apa kondisinya saat ini. Resti sudah cukup menderita selama ini. Dan sekarang ia harus menanggung penderitaan yang lebih parah lagi.
Aku yakin, setelah semua kejadian ini, Resti akan mendapat perlakuan yang sangat buruk dari pak Anggo. Tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa saat ini.
Aku bahkan tidak bisa menolong diriku sendiri.
Mungkin kisah kami memang harus berakhir seperti ini. Cinta yang tumbuh diantara kami adalah sebuah cinta yang salah. Meski kami tidak pernah menginginkannya.

Bersambung ...

Aku jatuh cinta pada orang yang salah .... (part 2)

"aku menikah dengan pak Anggo hanya karena terpaksa..." suara Resti tertahan. "aku tak pernah mencintainya, dan tak berniat juga untuk mencintainya." lanjutnya, ia menarik napas sejenak.
"Ayahku punya hutang yang sangat banyak pada pak Anggo. Ayah sudah tidak sanggup lagi membayarnya, apa lagi Ayah sudah sering sakit-sakitan. Begitu juga Ibu. Mereka hanya petani biasa. Ayah berhutang karena harus membiayai operasi Ibu. Dan jalan satu-satunya untuk melunasi hutang Ayah, ialah dengan menerima lamaran pak Anggo..." kali ini Resti berkata dengan mata berkaca.
Aku hanya terdiam dan menatap penuh hiba. Tak kusangka Resti berani jujur padaku. Ceritanya sungguh membuatku merasa sangat tersentuh.

"aku anak tertua dari keluarga kami. Tiga adik-adikku masih sekolah. Aku dengan sangat terpaksa memenuhi permintaan Ayah. Adik-adikku butuh biaya untuk sekolah, Ayahku butuh biaya untuk berobat. Aku sendiri tidak punya pekerjaan, karena aku hanya lulusan SMA." Resti terus bercerita dengan suara bergetar. Air matanya jatuh menetes.
Aku merasa kasihan melihatnya. Ingin rasanya aku menghapus tetesan air mata itu. Tapi aku tak sanggup. aku hanya terdiam dan tertunduk. Tidak tahu harus berkata apa. Tidak tahu juga harus berbuat apa.

Beberapa saat kemudian, kulihat Resti mengusap air matanya sendiri lalu ia berdiri.
"aku kesini hanya ingin mengungkapkan perasaanku padamu, Zam. Aku tak peduli kamu suka atau tidak. Tapi setidaknya kamu sudah tahu sekarang.." ucapnya pelan. Ia menatapku tajam.
Aku sedikit tengadah, memberanikan diri menatap mata indah milik Resti.
"aku...." suaraku terbata.
"kamu tak perlu mengatakan apa pun, Zam. Kamu tak harus menjawabnya.." Resti memotong ucapanku cepat.
"kenapa?" tanyaku.
"aku takut. Aku takut mendengar jawabanmu..."
"aku belum menjawab apa-apa.."
"iya. Apa pun jawabanmu, pasti akan membuatku sakit..." suara Resti terdengar lemah, ia masih berdiri menatapku.

"aku juga suka sama kamu, Res.." kali ini aku berkata dengan tegas. Aku tak ingin menutupi perasaanku sendiri. Kalau Resti berani untuk jujur, kenapa aku tidak. Karena terus terang aku memang menyukai Resti sejak pertama kali kami saling kenal. Hanya saja selama ini aku berusaha memendam rasa itu, karena aku sadar itu semua adalah sebuah kesalahan. Meski hampir setiap malam aku memikirkan Resti. Membayangkan senyumnya yang begitu manis. Kadang aku merasa bersalah dengan semua itu, tapi aku begitu menikmati perasaanku pada Resti. Dan sekarang aku tahu, kalau Resti juga punya perasaan yang sama denganku.
Meski tetap saja, ini semua adalah sebuah kesalahan.

Resti masih berdiri membisu. Ia seakan tak percaya dengan ucapanku.
"aku serius. Aku juga suka sama kamu, Res.." ulangku lagi, hanya untuk meyakinkan Resti tentang perasaanku.
Resti menyunggingkan senyum, "kamu tahu ini sebuah kesalahan kan, Zam?" ucapnya.
Aku mengangguk, "yah, aku tahu. Untuk itu selama ini aku hanya diam, meski aku sangat ingin mengungkapkannya.." suaraku parau.
Resti menatapku lagi. Tiba-tiba ia duduk kembali.
"lalu sekarang gimana?" tanyanya.
"aku... aku gak tahu, Res. Kamu yang memulainya...."
"awalnya aku kesini, hanya sekedar mengungkapkan perasaanku. Hanya sekedar ingin kamu tahu. Aku pikir kamu akan mengabaikanku, karena statusku. Tapi sekarang aku tahu perasaan kamu. Aku... aku seperti punya sedikit harapan..." Resti berujar dengan sedikit terbata.

***************

"akan banyak resiko dan halangan yang akan kita hadapi ke depannya, Res. Jika kita tetap memaksakan diri untuk menempuh jalan ini..." ucapku kepada Resti, tiga minggu kemudian. Tiga minggu setelah akhirnya kami memutuskan untuk bersama, meski kami tahu itu sebuah kesalahan. Kami memutuskan untuk mencobanya. Kami saling mencintai. Resti sudah ketiga kalinya datang ke barak sendirian untuk menemuiku.
"cepat atau lambat, orang-orang akan tahu tentang hubungan kita, Res..." lanjutku lagi.
Resti meremas jemariku lembut, kami duduk di bangku barak seperti biasa.
"aku tahu." suara Resti ringan, "aku hanya sedang berusaha mencari jalan keluar terbaik dari semua ini, Zam. Aku tak ingin menyakiti siapa pun. Terutama orang tuaku." lanjutnya, sambil dengan pelan ia melepaskan tanganku.

"untuk apa semua ini, Res. Jika setiap kali kita bertemu hanya akan menimbulkan rasa bersalah yang berkepanjangan..."
"terdengar egois sih, Zam. Tapi bukankah kita merasa bahagia saat bersama seperti ini. Aku merasa bahagia, Zam. Saat berada dekat dengan kamu. Aku hanya ingin merasakan bahagia. Lalu salahkah aku? Tak berhakkah aku?" Resti berkata sambil menutupi wajahnya dengan kedua tangannya.
Aku merasa pilu. Sejujurnya aku memang merasa bahagia saat bersama Resti. Tapi rasa takut dan rasa bersalah lebih sering menghantuiku.

"tapi sampai kapan kita akan seperti ini, Res?" tanyaku lirih, lebih kepada diriku sendiri.
Resti hanya menggeleng, ia sibakkan rambutnya keatas.
"entahlah, Zam. Seandainya saja aku tidak membiarkan pintu hatiku terbuka begitu saja. Mungkin semua ini tidak perlu terjadi.."
"dan kamu membiarkan dirimu sendiri hidup menderita dengan pernikahan yang tak pernah kamu inginkan?"
"yah. Itu mungkin lebih baik. Setidaknya aku tidak menyakiti siapa pun..."
Aku terdiam kembali. Rasanya sangat sulit menemukan jalan keluar dari semua ini.
"aku yakin, pada akhirnya kita memang harus saling melupakan, Res. Tapi setidaknya kita sudah mencoba..."
"yah. aku tahu..." Resti berdiri, "aku akan pikirkan lagi hal ini. Sekarang aku pamit.." lanjutnya sambil melangkah menuju mobilnya.

*****

Bersambung ....

Aku jatuh cinta kepada orang yang salah... (part 1)

Nama ku Azzam. Umurku 23 tahun.
Aku tinggal di sebuah desa yang cukup jauh dari perkotaan. Sebuah desa yang boleh dibilang masih jauh ketinggalan.
Di desa kami belum ada listrik masuk, dan jalan menuju desa kami masih berupa jalan batu yang rusak dan terdapat banyak lobang di sepanjang jalan.
Namun di desa kami terdapat banyak perkebunan sawit, beberapa adalah milik masyarakat setempat.
Meski sebagian besar nya adalah milik seorang juragan kaya.
Nama nya, pak Anggo, begitu biasanya kami memanggilnya. Ia mempunyai kebun sawit yang sangat luas. Kebun sawit nya hampir separoh dari sepanjang jalan menuju desa kami.
Kalau di perkirakan mungkin hampir 600 hektar luas kebun sawit milik pak Anggo secara keseluruhan.

Aku hanya mengenyam pendidikan sampai tamat SD, karena memang di desa kami satu-satu nya sekolah yang ada ya cuma SD.
Bagi mereka yang memiliki ekonomi yang mapan, maka mereka akan menyekolahkan anak nya keluar.
Bagi kami yang kurang mampu, maka setelah tamat SD kami akan langsung bekerja setidaknya membantu orang tua kami.
Desa kami terletak di pinggiran sebuah sungai, untuk itu, sebagian besar warga bekerja sebagai nelayan di sungai. Sebagian lagi ada yang berkebun, dan selebihnya ialah bekerja di perkebunan sawit milik pak Anggo.
Ada yang jadi tukang panen, tukang bongkar muat, dan ada juga yang bekerja dibagian perawatan kebun. Tentu saja kami semua bekerja di bagian lapangannya, karena kami terutama penduduk asli desa, hanya lulusan Sekolah Dasar.

Aku sendiri bekerja di bagian tukang panen. Aku sudah hampir lima tahun menjadi tukang panen sawit di perkebunan sawit milik pak Anggo. Sebelumnya aku bekerja serabutan di sungai.
Karena sudah cukup lama bekerja di kebun pak Anggo, aku menjadi salah seorang orang kepercayaan pak Anggo untuk mengurus beberapa hektar kebun nya.
Aku dipercaya untuk merawat dan memanen lebih kurang 10 hektar kebun sawit pak Anggo, yang posisi nya memang berada tidak jauh dari desa kami, bersama tiga orang pekerja lainnya.
Di kebun itu terdapat tiga buah barak, satu barak kami gunaka untuk tempat pupuk dan peralatan kerja kami. Satu barak kami gunakan untuk tempat kami istirahat dan memasak. Dan satu barak lagi kami gunakan untuk semacam kantor dan juga untuk tempat istirahat pak Anggo apa bila ia datang berkunjung ke tempat kami.
Aku memang tidur di barak tersebut, karena aku memang masih lajang. Sedangkan ketiga teman ku yang lain, mereka akan pulang ke rumah mereka di desa karena mereka sudah menikah dan mempunyai tempat tinggal sendiri.
Jadi kalau malam hari aku hanya sendirian di kebun itu.

Pak Anggo sudah berumur berkisar 56 atau 57 tahun, beliau mempunyai tiga orang anak. Ketiga anaknya sudah besar, ada yang sudah bekerja dan ada juga yang masih sekolah dan kuliah.
Istri pak Anggo sudah meninggal beberapa tahun lalu. Sekarang pak Anggo sudah menikah lagi, dengan seorang gadis yang seusia anak pertama nya, kira-kira 29 tahun.
Seorang wanita muda yang cantik dan seksi. Mereka menikah sudah hampir setahun.
Aku pernah sudah sering bertemu istri muda pak Anggo, nama nya Resti, ia sudah sering datang ke barak kami menemani pak Anggo.
Kami sempat berkenalan dan ngobrol beberapa kali.
Setiap kali berkunjung ke barak kami, Resti, selalu tersenyum dengan ramah. Terus terang aku kadang sedikit salah tingkah bila harus bertatap muka dengannya.

Pada suatu hari, waktu itu hari minggu pagi. Seperti biasa semua pekerja libur. Aku hanya sendirian di barak, karena memang aku juga di tugas kan oleh pak Anggo untuk sekalian menjaga kebun, terutama kalau semua pekerja libur.
Seperti biasa, aku sedikit bersantai di hari minggu itu. Sambil berbaring di tempat tidur. Tiba-tiba aku melihat sebuah mobil memasuki pekarangan barak. Aku tahu, itu salah satu mobil milik pak Anggo yang biasa ia pakai. Yang membuat aku sedikit heran, tumben pak Anggo datang pada hari minggu.
Belum habis rasa heran ku, tiba-tiba dari dalam mobil keluarlah sesosok perempuan cantik dan anggun.
Perempuan itu ternyata Resti, istri muda pak Anggo, dan ia datang sendirian. Membuat aku semakin heran dan sedikit kaget.
Aku keluar dari barak dan menatap Resti yang berjalan santai menuju barak.

"ada apa, mbak Resti?" tanyaku sedikit gugup, ketika Resti sudah berdiri di hadapanku.
Resti tersenyum tipis, "gak usah panggil mbak, panggil Resti aja. Kita kan seumuran.." ucapnya santai.
Tak lama kemudian, Resti duduk di sampingku. Di depan barak memang terdapat sebuah bangku, tempat biasa kami, para pekerja nongkrong.
"kamu sendirian?" tanya Resti selanjutnya.
Aku hanya mengangguk. Jantungku berdebar-debar hebat. Resti hanya berjarak lebih kurang setengah meter dariku. Aroma tubuhnya yang wangi tercium di hidungku.
Resti memang gadis yang sempurna. Pak Anggo sungguh beruntung menjadikannya istri. Dan menurutku, Resti menikah dengan pak Anggo sudah jelas bukan karena cinta.
Pak Anggo seorang yang sangat kaya, jadi wajar kalau gadis secantik Resti mau menikah dengannya.

"aku hanya ingin terus terang sama kamu, Zam.." ucap Resti terdengar akrab, setelah kami terdiam beberapa saat.
Aku beranikan diri menoleh wajah cantik itu sesaat.
"terus terang tentang apa?" tanyaku, suaraku bergetar menahan debaran di dadaku.
"aku suka sama kamu, Zam. Bahkan sejak pertama kali aku datang kesini..." suara Resti terdengar tegas.
Dan aku kaget. Benar-benar kaget. Tak percaya dengan apa yang barusan aku dengar. Tapi suara Resti cukup jelas. Aku hanya terdiam. Tiba-tiba bibirku terasa kaku. Aku tak tahu harus berkata apa.
"aku tahu ini salah..." Resti berkata lagi setelah melihat aku hanya terdiam. "tapi aku tidak bisa lagi membohongi perasaanku sendiri, Zam. Aku jatuh cinta padamu, dan itu adalah kenyataannya.."
"tapi..."
"ya, aku tahu." potong Resti cepat. "tapi seperti yang aku katakan, aku hanya ingin berterus terang sama kamu, Zam. Aku tak sanggup lagi memendamnya..."

****

Bersambung ...

Kisah nyata : Ketika cinta tumbuh di tempat yang salah (part 2)

Bi Endah menghela napas panjang, kemudian berucap, "aku h4mil.." suaranya bergetar.
Aku kaget dan untuk sesaat hanya terdiam.
Tapi kupikir, tak ada yang salah dengan hamilnya bi Endah. Toh, ia punya suami, jadi wajar kalau ia hamil. Orang-orang juga gak bakal berpikir macam-macam. Bahkan seharusnya menurut saya, ini merupakan kabar yang menggembirakan bagi bi Endah maupun paman Jo, mengingat sampai saat ini mereka belum punya anak.
Apa lagi, menurut ku, mereka mungkin sudah sangat lama ingin memiliki anak.
Tapi justru bi Endah sangat ketakutan dan menangis ketika bercerita kepada ku tentang kehamilannya.

"mengapa Bibi sedih? Harusnya ini merupakan sebuah kabar yang gembira?" aku berkata dengan kening berkerut.
"ada satu hal yang kamu tidak tahu tentang pamanmu.." ucap bi Endah sedikit tenang.
"apa?" tanyaku penasaran.

Akhirnya bi Endah bercerita padaku, kalau ternyata paman Jo itu sudah di vonis mandul oleh dokter.
Paman Jo mandul! Ya, pada saat enam tahun pernikahan mereka, karena mereka belum juga memiliki anak, meski sudah menjalani berbagai terapi, pengobatan tradisional maupun modern.
Mereka pun sepakat untuk mendatangi dokter ahli dan menjalani pemeriksaan kesehatan mereka. Yang hasilnya membuktikan bahwa paman Jo mandul. Paman Jo sudah di vonis mandul.
Jadi kalau ia tahu bi Endah hamil, jelas akan menjadi sebuah tanda tanya besar baginya.

Menurut cerita bi Endah, dulu ketika di vonis mandul, paman Jo sempat frustasi dan tak punya gairah hidup. Paman Jo memberi pilihan kepada bi Endah waktu itu, untuk tetap mempertahankan rumah tangganya meski tanpa anak atau pergi memilih kehidupan bi Endah sendiri.
Tentu saja bi Endah memilih untuk tetap bersama paman Jo waktu itu, karena bi Endah mencintai paman Jo tulus, sekalipun paman Jo sudah di vonis tidak bisa memiliki keturunan.
Mereka sempat sepakat untuk mengangkat anak, tapi bi Endah pikir, itu jelas akan semakin melukai perasaan paman Jo.
Itulah ternyata mengapa selama ini, paman Jo selalu menyibukkan dirinya dengan bekerja. Karena ia tidak ingin merasa frustasi dengan kondisinya. Ia juga sangat memberi kebebasan kepada bi Endah.
Paman Jo sadar, kalau ia tidak bisa memberikan keturunan kepada bi Endah. Ia sadar kehidupan rumah tangga mereka akan terasa hambar. Namun bi Endah selalu setia mendampinginya selama ini.

Tapi sebagai wanita normal, bi Endah juga kadang menginginkan punya anak dari rahimnya sendiri. Namun bi Endah tak mungkin meninggalkan paman Jo yang sudah begitu baik padanya.
Hingga segala kesepiannya, ia tumpahkan dengan tangis.
Dan sekarang, bi Endah hamil. bi Endah h4mil olehku. Bi Endah h4mil oleh ponaan paman Jo yang tidak tahu terima kasih. Padahal paman Jo selama ini sudah sangat baik padaku.
Justru sekarang aku yang semakin terpukul.
Aku benar-benar tidak tahu, apa yang harus aku lakukan saat ini...
Sementara bi Endah masih menangis tersedu-sedu di sampingku.
Segala penyesalan menyeruak masuk ke dalam hatiku. Dadaku terasa sesak.
Tak ku sangka, semua akan berakhir seperti ini. Hubungan cinta terlarang kami telah membuat semuanya berantakan.

Biar bagaimanapun, kami harus jujur! Kami harus mengatakan semua ini kepada paman Jo!
Tapi bagaimana caranya? bathinku. Aku meringis. Dadaku semakin sesak dan terasa teriris.
Terpikir untuk menggugurkan saja kandungan bi Endah, tapi bi Endah tegas menolak, selain rasa takut, ia juga sangat menginginkan anak itu.

*********
Akhirnya dengan sangat berat dan penuh air mata, kami menceritakan semuanya kepada paman Jo. Mendengar semua cerita kami, paman Jo hanya diam tanpa suara. Tapi raut muka nya jelas memperlihatkan amarah yang begitu besar. Wajahnya merah padam, tubuhnya gemetaran menahan marah. Tangannya menggenggam erat, tatapan matanya begitu tajam. Aku tak sanggup menatapnya lama, aku hanya tertunduk. Sementara bi Endah menangis sambil menutup wajahnya dengan kedua tangannya.
Tiba-tiba paman Jo, mengangkat pinggiran meja keluarga itu, lalu menghempaskannya keras. Suara pecahan kaca berserakan terdengar sangat keras. Paman Jo kemudian berdiri dan masih tanpa suara pergi keluar dari rumah itu dan mengendarai mobilnya melaju menuju jalan. Aku hanya berdiri memperhatikan kepergian paman Jo, dan bi Endah yang masih saja menangis tersedu di ruang keluarga itu. Pikiran ku benar-benar kacau!

Beberapa hari kemudian paman Jo pulang dengan wajah sangat kusut. Beberapa hari ini, bi Endah hanya mengurung diri di kamar, aku sendiri hanya seperti orang gila di rumah itu, mondar-mandir tak jelas, masuk keluar kamar dan kadang ke dapur.
Sesampainya di dalam rumah paman Jo langsung menuju kamarnya. Tak lama kemudian, ia keluar dengan bi Endah. Ia menyuruhku duduk di ruang tamu. Hatiku tak karuan, aku tak tahu hukuman apa yang akan diberikan paman Jo kepada kami.
Tapi ternyata paman Jo, hanya meminta kami untuk tidak menceritakan semua kejadian tersebut kepada siapa pun. Menurutnya, yang tahu ia mandul, hanya bi Endah, untuk itu orang-orang hanya akan tahu kalau anak yang ada dalam kandungan bi Endah adalah anaknya.

Tapi tentu saja dengan syarat, aku harus segera pergi dari rumah itu. Aku harus pindah kuliah dan pindah tempat tinggal ke kota lain. Dan paman Jo yang akan mengurus semua itu, termasuk memberi alasan kepada orang tua ku di kampung.
Kami tidak boleh bertemu lagi dimana pun dan dengan alasan apa pun.
Setengah hatiku merasa sedikit lega, setidaknya paman Jo memberikan hukuman yang masih bisa aku terima. Namun setengah hatiku yang lain sangat tidak rela, karena biar bagaimana pun, anak yang bi Endah kandung adalah anakku. Aku punya hak atasnya, setidaknya kelak ia harus tahu siapa ayah kandungnya.
Tapi hati kecilku mencoba menerima semuanya, semoga, ini adalah jalan yang terbaik! 
 
*****
Sekian ...

Kisah nyata : Ketika cinta tumbuh di tempat yang salah (part 1)

Setamat SMA, aku kuliah di sebuah Universitas di kota. Sebuah universitas yang tak begitu populer.
Ya, karena hanya disitu lah batas kemampuan otakku.
Waktu sekolah, aku terkenal sebagai anak yang bandel dan nakal. Waktu SD sempat dua kali tinggal kelas. Waktu SMP, orang tua ku sering mendapat surat panggilan, karena ulahku. Begitu juga ketika aku SMA. Orang tua ku sering memarahi ku karena kelakuanku. Tapi tetap saja tidak membuatku jera. Meski telah berbagai hukuman diberlakukan padaku.

Tapi sebagai orang tua, mereka tetap berusaha keras agar aku bisa menyelesaikan sekolah. Dan mereka yang bersikeras agar aku bisa kuliah, meski hasil ujianku pas-pasan.
Sebagai anak tunggal dari keluarga yang cukup berada, aku memang sangat nakal. Aku terbiasa di manja sejak kecil. Semua keinginanku selalu dipenuhi oleh orang tua ku. Semua kebutuhan ku selalu terpenuhi.
Aku tamat SMA sudah berusia 20 tahun, karena sering tinggal kelas. Pada usia itu, aku mulai berpikir sedikit dewasa. Apalagi sekarang, Ibu ku sering sakit-sakitan. Untuk itu, aku bersedia ketika mereka memintaku untuk kuliah. Meski sebenarnya, aku tak pernah menginginkannya.

Aku tinggal di kota, dirumah pamanku. Paman Jo, begitu aku menyebutnya.
Paman Jo, adik sepupu Ibu ku. Sekarang tinggal di kota dan menjadi seorang dokter. Usianya kira-kira 36 tahun. Punya seorang istri yang berusia 34 tahun.
Istri paman Jo, Bi Endah, begitu biasa aku memanggilnya, hanyalah seorang Ibu rumah tangga biasa. Sejujurnya, bi Endah memang terlihat cantik dan seksi. Apalagi kehidupan mereka yang serba berkecukupan, membuat kecantikan bi Endah tetap terjaga dan terawat dengan baik.
Hidup mereka memang terbilang mewah, mereka hampir punya segalanya, rumah gedong, mobil mewah, dan harta benda yang banyak. Karena selain sebagai dokter, paman Jo juga memiliki usaha kuliner yang cukup maju.

Satu hal yang mereka belum miliki saat ini, ialah seorang anak. Ya, hampir 12 tahun pernikahan mereka, mereka belum mempunyai keturunan. Aku tidak tahu penyebabnya, dan aku pun tidak berani mempertanyakan hal itu.
Aku tinggal disana atas permintaan Ibuku. Paman Jo juga bi Endah, sangat senang aku tinggal disana. Aku diberi sebuah kamar yang cukup luas dengan perabotan yang lengkap dan mewah. Aku tinggal dirumah itu, benar-benar layaknya rumahku sendiri.

Paman Jo adalah orang yang cukup sibuk. Jadwal tugasnya cukup padat, kadang paman Jo tidak pulang sampai pagi, apalagi kalau di rumah sakit, tempat ia bekerja, sedang banyak pasien.
Dan bi Endah sendiri, sering menyibukkan dirinya dengan membuat kue-kue yang ia jual secara online.
Aku tahu, bi Endah sering merasa kesepian. Aku sering memergoki bi Endah menangis sendirian.
Dirumah itu memang ada pembantu yang mengerjakan pekerjaan rumah, tapi mereka hanya berada di rumah itu saat siang hari, karena kalau malam mereka berada di belakang. Ada rumah khusus tempat tinggal pembantu disana.

Kadang aku merasa kasihan melihat bi Endah, karena paman Jo jarang dirumah, apa lagi beliau tidak memiliki anak.
Tapi aku mencoba bersikap biasa saja. Kadang aku berusaha mengajak bi Endah ngobrol dan membantunya membuat kue.
Lama kelamaan kami menjadi kian dekat. Saya sering mendiskusikan pelajaran kuliah dengan bi endah, ternyata beliau cukup pintar meski hanya lulusan SMA.
Bi Endah dulunya hanya seorang gadis desa, ia pacaran dengan paman Jo sejak paman Jo mulai kuliah.
Beberapa tahun setelah lulus kuliah dan menjadi dokter, paman Jo menikahi bi Endah dan membawanya pindah ke kota. Saat itu bi Endah merasa sangat senang dan bahagia, dan menjalani kehidupan rumah tangganya dengan baik.

Bi Endah menceritakan pengalamannya kepada ku. Aku selalu mendengarkannya dengan penuh perhatian.
Bi Endah sendiri, sangat perhatian padaku. Dia sering membantuku mengerjakan tugas kuliah dan menyiapkan sarapan atau pun makan malam.
Entah karena sering bersama, tiba-tiba kami menjadi begitu dekat. Aku merasa nyaman bersama bi Endah. Begitu juga sebaliknya.
Kedekatan kami telah menumbuhkan rasa yang tidak bisa kami hindari. Hari-hari kebersamaan kami terasa begitu indah.
Bahkan bi Endah terang-terangan mengungkapkan perasaannya padaku. Aku dengan senang hati menyambutnya. Kami pun akhirnya resmi menjalin hubungan asmara secara diam-diam.
Kami saling cinta dan saling menyayangi, meski kami tahu itu adalah sebuah kesalahan.

Hubungan kami teramat dekat. Kesempatan kami untuk bertemu sangat besar, karena paman Jo memang jarang berada di rumah. Hingga akhirnya hubungan kami sudah melampaui batas.
 
****
 
Bersambung ...

Cari Blog Ini

Layanan

Translate