Pak Anggo menatapku tajam tanpa kedip. Matanya melotot. Aku tak sanggup menatapnya lama. Aku kemudian tertunduk. Namun tiba-tiba aku merasa sebuah pukulan mengenai rahangku dalam keadaan aku belum siap. Aku terjerembab. Aku mendengar Resti berteriak.
Belum sempat aku menyentuh rahangku yang terasa sakit, tiba-tiba lagi sebuah tendangan menghantam tulang rusuk kiriku.
"argh..." aku menjerit kesakitan. Kemudian sebuah hantaman lagi diperutku. Pak Anggo benar-benar marah. Ia tak memberikanku kesempatan untuk membela diri. Aku tak bisa melawan. Ada begitu banyak orang disana. Hampir semua pekerja berada di sana. Bahkan orang-orang dari desaku pun sudah banyak berada disana.
Berita tentang hubunganku dengan Resti sudah menyebar begitu cepat. Pak Anggo yang memergoki kami tanpa sengaja, karena sebenarnya ia sudah mulai curiga, sejak Resti sering pergi sendirian ke perkebunan.
Aku meringis menahan sakit. Namun pukulan bertubi-tubi selanjutnya yang aku rasakan. Tak ada seorangpun yang mau menolongku. Tak ada seorangpun yang berani. Aku hanya mendengar suara teriakan histeris Resti. Tapi itu tidak membuat pak Anggo menghentikan tindakannya untuk memukuliku berkali-kali.
Sayup-sayup aku mendengar suara tangisan Resti yang histeris. Suara itu kian lama kian hilang dan menjauh. Aku berusaha mengumpulkan kesadaranku, namun rasa sakit di seluruh tubuhku membuatku begitu lemah. Sampai akhirnya aku benar-benar tidak sadarkan diri.
************
Aku memutuskan untuk pergi dari desaku. Apa yang aku lakukan adalah sebuah kesalahan. Aku tak sanggup menanggungnya.
Aku tak pernah bertemu Resti lagi sejak kejadian siang itu. Aku juga tidak tahu apa yang terjadi dengannya, setelah kejadian itu. Namun melihat kemarahan pak Anggo waktu itu, sangat besar kemungkinan kalau Resti akan mendapatkan siksaan yang berat.
Orang-orang kampung memandangku dengan sinis. Bahkan orang tua dan keluargaku juga sangat marah padaku.
Aku telah membuat malu orang tua dan keluargaku. Aku tidak bisa lagi terus berada disini.
Aku harus pergi, meski aku sendiri tidak tahu harus kemana.
Ada banyak penyesalan yang harus aku tanggung. Tapi semua sudah terjadi. Aku tak ingin menyalahkan siapa-siapa.
Namun aku juga tidak bisa memungkiri semua itu. Aku memang jatuh cinta kepada Resti.
Aku tahu itu salah, tapi aku tidak bisa begitu saja menghindar dari semua rasa itu.
Dan kini aku harus kehilangan Resti. Untuk pertama kali nya, aku merasakan kebahagiaan dalam hidupku, namun itu semua tidak berlangsung lama.
Aku kehilangan Resti, aku kehilangan keluarga ku dan bahkan aku kehilangan semuanya.
Aku melangkah dalam ketidakpastian hidup ku. Aku harus menerima konsekwensi dari perbuatanku. Hukuman dari semua kesalahanku.
Aku tak menyalahkan Resti, tak ingin menyalahkan siapa-siapa.
Bahkan aku tidak berhak menyalahkan takdir.
Aku hanya manusia biasa, yang tak luput dari kesalahan.
Aku tahu, Resti juga mencintai ku. Tapi kami tidak bisa berbuat apa-apa, untuk memperjuangkan cinta kami. Bahkan untuk mempertahankannya saja, kami sudah tidak mampu.
Aku melangkah gontai menelusuri jalan tanpa tujuan. Entah kemana aku harus melangkah.
Hidup tiba-tiba terasa begitu berat bagiku. Semua kenyaman yang dulu aku rasakan kini telah tiada. Aku harus bisa menjalani semua ini sendiri.
Tiba-tiba bayangan Resti melintas di pikiranku. Rasa iba menyerangku tiba-tiba. Entah seperti apa kondisinya saat ini. Resti sudah cukup menderita selama ini. Dan sekarang ia harus menanggung penderitaan yang lebih parah lagi.
Aku yakin, setelah semua kejadian ini, Resti akan mendapat perlakuan yang sangat buruk dari pak Anggo. Tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa saat ini.
Aku bahkan tidak bisa menolong diriku sendiri.
Mungkin kisah kami memang harus berakhir seperti ini. Cinta yang tumbuh diantara kami adalah sebuah cinta yang salah. Meski kami tidak pernah menginginkannya.
Bersambung ...