Sebuah cerpen : Kisah cinta seorang Operator sekolah...

"besok pagi ikut pelatihan ya.." suara sangar pak Lutfi cukup mengagetkanku pagi itu.
"dimana pak?" tanyaku ringan.
Pak Lutfi menyebutkan sebuah alamat. Aku hanya mengangguk.
Ini adalah hari pertama aku mulai bekerja disini. Di sebuah sekolah dasar, tak jauh dari rumahku.
Aku bekerja sebagai seorang Operator sekolah, dan pak Lutfi adalah kepala sekolah kami.
Sebagai seorang yang baru masuk dunia pendidikan, aku masih merasa cukup canggung. Apa lagi pekerjaan yang aku terima adalah merupaka hal baru saat itu.
Tapi aku harus bisa terbiasa dengan semua itu.
Selepas mendapatkan gelar sarjana komputer, aku langsung mengajukan lamaran ke beberapa tempat, dan kebetulan sekali aku di terima di sekolah ini.

Esok, pagi-pagi sekali aku sudah mengendarai motor bututku menuju alamat yang disebutkan pak Lutfi kemarin. Ini adalah kali pertamanya aku ikut pelatihan dan tidak ada satu pun orang yang aku kenal disana.
Sesampainya ditempat pelatihan, aku melihat beberapa orang sudah hadir. Menurut cerita pak Lutfi kemarin, pelatihan diikuti oleh lebih kurang tiga puluh sekolah, yang mana setiap sekolah mengutus satu orang operator.
Pelatihan dilaksanakan di sebuah gedung serba guna milik sebuah sekolah. Aku melangkah pelan dari tempat parkir menuju ruang pelatihan, sambil sedikit memperhatikan orang-orang di sekeliling.
Aku masuk ke dalam dan duduk di salah satu bangku yang berada tidak terlalu jauh dari depan.
Beberapa orang juga sudah mulai memasuki ruangan. Karena sebentar lagi pelatihan akan segera di mulai.

Pelatihan dimulai dengan beberapa sambutan dari pihak yang berwenang. Aku memperhatikan beberapa orang yang duduk di deretan meja depan. Tiba-tiba pandanganku terpaku pada seorang pemuda.
Pemuda itu cukup menarik perhatianku, karena sepanjang acara pembukaan ia selalu menebar senyum. Dan senyumannya itu yang membuat aku terpukau, lesung pipi di kedua belah pipinya benar-benar mempesona.
Aku segera menunduk, saat mata kami saling beradu pandang. Jantungku berdegup kencang.
Pemuda dengan senyum manis itu sudah berdiri saat aku mencoba menolehnya lagi. Ternyata pemuda itu lah yang menjadi tutor kami hari itu.


operator sekolah


"nama saya Al-Hafis!" ucapnya setelah mengucapkan salam. Ia berdiri di depan sambil memegang sebuah pengeras suara. "biasa dipanggil Afis." lanjutnya.
"bagi teman-teman operator sekolah yang baru, silahkan save nomor handphone sekaligus nomor whatsapp saya, untuk bertanya seputar pekerjaan kita sebagai operator. Atau bisa juga bergabung dengan group facebook kita. Disana kita bisa saling sharing.."
Pak Afis berbicara sambil menulis di papan tulis yang ada di depan.
Aku segera mencatat di handphone dan menyimpan nomor tersebut, sekaligus mengakses group facebook yang disebutkan pak Afis.

Selanjutnya, pak Afis menjelaskan bagaimana dan apa yang harus kami kerjakan ke depannya.
Ternyata pak Afis orang yang sangat menyenangkan.
Pak Afis adalah Operator dari Dinas Pendidikan Kabupaten, yang artinya ia lah yang menghandle dan bertanggungjawab kepada semua operator sekolah yang ada di kabupaten kami.
Berkali-kali aku menatap senyum manis pak Afis, dadaku berdegup tak karuan. Pak Afis telah menyita perhatianku.
Oh, ya. Jangan salah paham dulu! Sebenarnya pak Afis itu masih sangat muda. Kami memanggilnya pak, karena secara jabatan ia satu tingkat diatas kami. Dan juga merupakan hal yang biasa, dalam dunia pendidikan, saling memanggil pak atau pun Ibuk. Itu juga berlaku buat kami sebagai sesama operator.
Karena sebagian operator juga ada yang sudah berumur diatas 30 tahun.

"baru ya?" sebuah suara mengagetkanku.
Aku melirik ke arah samping kiri ku, seorang laki-laki yang masih cukup muda tersenyum padaku.
Aku mengangguk pelan.
"sama.." ucap laki-laki itu lagi. "saya Fhandi.." lanjutnya, sambil menyebutkan tempat tugasnya.
"oh!" aku membulatkan bibir, "saya Ayu..." balasku.
Laki-laki itu, Fhandi, memang sudah sedari tadi duduk di sampingku. Dan sepertinya sudah dari tadi berusaha menegurku.
Aku dan Fhandi mulai mengobrol tentang pekerjaan baru kami, sambil terus memperhatikan ke depan.
Pak Afis masih berbicara di depan, menjelaskan banyak hal dan meminta kami membuka laptop yang memang sengaja kami bawa. Karena sebagai seorang operator sekolah kami memang diwajibkan mempunyai laptop, dan biasanya laptop memang diberikan oleh pihak sekolah. Bukan laptop pribadi.

"bagaimana? Bisa?" suara merdu pak Afis cukup mengagetkanku, karena aku sibuk mengerjakan tugas yang diberikannya di laptop.
Aku menoleh ke arah pak Afis yang sudah berdiri di sampingku. Gugupku tiba-tiba. Jantungku berdetak lebih kencang dari biasanya.
"belum pak.." jawabku sedikit bergetar.
"gak apa-apa." ucap pak Afis sambil sedikit menunduk, membuat gugupku semakin menjadi. "masih baru, kan?" lanjutnya, kali ini ia tersenyum.
Sumpah! Senyum itu sangat manis. Aku gelagapan, salah tingkah.
"coba aja terus. Pasti bisa, kok.." ucapnya lagi.
"iya, pak.." balasku, masih dengan suara bergetar.
Pak Afis melangkah ke belakang, memperhatikan pekerjaan teman-teman operator lainnya.

Pada saat makan siang, tiba-tiba pak Afis mendekatiku. Aku duduk sendirian di ujung teras ruangan.
"sendirian aja?" tanya pak Afis padaku.
Aku hanya mengangguk. Seperti tadi, gugupku pun datang.
"sudah berapa lama jadi operator?" tanyanya lagi, sambil duduk di sampingku.
"baru dua hari, pak.." jawabku.
"oh. Pantas. Gak pernah kelihatan sebelumnya."
Selanjutnya pak Afis cerita tentang pekerjaannya dan juga memberikanku beberapa masukan agar bisa menyelesaikan pekerjaanku dengan baik.
Aku sangat senang bercerita dengan pak Afis. Aku jadi tahu, kalau ternyata pak Afis memang masih lajang, seperti dugaanku.
"jangan panggil pak lah. Udah tua kali kesannya.."
"tapi memang begitu panggilan resminya, pak.."
"gak juga ah. Siapa bilang? Kan kita bukan Bapak dan Ibu guru.."
"jadi panggil apa baiknya?"
"karena usia kita hanya beda dua tahun, cukup panggil Afis aja.."
"oke lah kalau begitu," jawabku mulai terasa akrab.
Dia mengangguk dan tersenyum.

***********

Begitulah awalnya. Awal aku mengenal sosok Afis dalam hidupku. sejak saat itu, hampir setiap malam, wajah Afis menghiasi hayalku. Senyum manisnya selalu melintas di pikiranku.
Kami sering berhubungan lewat media sosial, saling koment status dan juga sering telpon-telponan.
Meski kami jarang bertemu secara langsung, karena memang jarak tempat tinggal Afis dengan rumahku cukup jauh. Tapi itu tidak membuat kami menjadi jauh.
Hari-hari berlalu terasa indah bagiku, meski hubungan kami hanya sebatas teman. Tapi setidaknya aku merasa bahagia dengan semua itu.
Aku tak tahu apa yang Afis rasakan padaku, sampai saat itu.

Setahun pertemanan kami. Afis jadi sering datang ke rumah dan mengajakku jalan-jalan, walau hanya sekedar nonton di bioskop atau makan siang di kafe. Tapi aku merasa sangat bahagia dengan semua itu.
Aku dan Afis kian dekat dan akrab. Rasanya dunia begitu indah.
Harus kuakui kalau aku telah jatuh cinta pada sosok Afis, walau aku tidak pernah tahu perasaannya padaku. Afis tak pernah membahas soal itu sekalipun. Aku pun tak cukup berani untuk mempertanyakannya.
Aku biarkan saja, persahabatan kami mengalir apa adanya.
Sampai suatu saat....

Tiba-tiba Afis menghilang! Tanpa kabar!
Tidak ada satu pun akun media sosialnya yang aktif, bahkan nomor handphone nya selalu tidak bisa dihubungi. Aku merasa cemas. Aku coba bertanya kepada beberapa orang yang ku kenal, tapi tidak ada satu pun yang tahu.
Sampai akhirnya aku tahu, kalau Afis sudah tidak bekerja lagi di Dinas Pendidikan. Pak Lutfi yang cerita. Tapi tidak ada satu pun yang tahu, kenapa Afis tiba-tiba memutuskan untuk berhenti.
Bahkan ketika pihak Dinas mendatangi rumahnya, Afis juga tidak berada di rumah. Pihak keluarganya juga bungkam, tak ingin bercerita.

Aku benar-benar kehilangan. Aku benar-benar bingung. Kemana Afis? Dimana dia sebenarnya? Apa yang terjadi dengannya, sehingga tiba-tiba ia menghilang? Bahkan saat terakhir kami bertemu pun, Afis baik-baik saja. Seperti biasa, ia selalu tersenyum. Tidak terlihat ada masalah, apa lagi pertanda kalau ia akan menghilang.
Tubuhku terasa lemas. Hatiku menangis pilu. Aku benar-benar terpukul. Sudah hampir sebulan tak ada kabar apa pun dari Afis. Air mataku sering menetes bila mengingat itu semua. Betapa aku merindukan sosok Afis dalam hidupku. Saat ini, aku merasa benar-benar rapuh dan tak berdaya.

*********

Enam bulan. Ya, enam bulan sudah Afis menghilang tanpa kabar. Aku sudah mulai terbiasa tanpa kehadirannya, tanpa membaca statusnya. Aku sudah mulai terbiasa tanpa kabar darinya. Meski harus kuakui, kalau terkadang ada saat aku begitu merindukannya. Rindu dengan candanya, ceritanya yang blak-blakan dan juga senyum yang tak pernah lepas dari bibirnya yang manis.

"hei, melamun aja dari tadi..." suara Fhandi membuyarkan lamunanku.
Fhandi duduk di sampingku, dengan membawa dua buah es krim. Dia berikan satu es krim untukku.
Siang itu Fhandi memang sengaja mengajak ku jalan-jalan ke sebuah obyek wisata alam yang cukup terkenal di daerah kami.
Aku dan Fhandi akhir-akhir ini memang menjadi dekat. Bukan saja karena kami memiliki profesi yang sama. Tapi memang sejak awal kami kenalan waktu pertama kali aku ikut pelatihan dulu, Fhandi memang sering menghubungiku. Namun karena selama ini ada Afis, aku tidak terlalu menanggapinya.
Sejak Afis menghilang, Fhandi bahkan jadi sering datang ke rumah. Karena jarak tempat tinggal kami tidak begitu jauh.

Terus terang, aku merasa sedikit terhibur dengan kehadiran Fhandi di hidupku. Cowok tampan dan jangkung itu, mampu mengisi kekosongan hari-hariku setelah kepergian Afis.
Meski Fhandi tidak benar-benar mampu menggantikan sosok Afis dalam hidupku. Tapi setidaknya Fhandi lebih jelas dan tegas. Terutama soal perasaannya padaku.
"aku jatuh cinta padamu, Yu. Bahkan sejak pertama kita saling kenal.." ucapnya suatu hari.
Saat itu, aku hanya terdiam. Aku bingung, tidak tahu harus menjawab apa. Sebagian besar hatiku masih tersimpan rapi sosok Afis dengan senyumnya yang begitu manis. Namun sosoknya telah menghilang seperti di telan bumi.
Dan Fhandi hadir, dengan cintanya yang tulus. Dengan segala kesederhanaannya. Ia mampu membuatku tersenyum kembali. Ia mampu membuatku bangkit dari kekecewaan yang mendalam. Meski itu bukan berarti aku telah membuka hatiku untuknya.
Tapi apa mungkin aku bisa menolak kehadirannya di hatiku? Mengabaikan cintanya yang begitu tulus dan jelas?

"kamu belum jawab pertanyaanku yang kemarin, Yu.." ucap Fhandi lagi, sambil membuka bungkusan es krim yang baru ia beli.
"pertanyaan yang mana?" tanyaku, lebih berlagak pura-pura tidak tahu.
Fhandi menolehku. Ia tersenyum. "kamu tahu, pertanyaan yang aku maksud, Yu. Gak usah berlagak pikun.." balasnya.
Aku tertunduk. Merasa jengah ditatap seperti itu. Jujur harus kuakui, kalau Fhandi memang memiliki mata yang indah. Tatapannya begitu teduh, namun mampu menusuk ke relung hatiku yang rapuh.
Aku menjilati es krim dan menelannya pelan. Terasa dingin melewati tenggorokanku. Kutarik napasku perlahan.
"aku... aku tidak tahu harus jawab apa, Fhan." ucapku sedikit terbata. "aku belum bisa jawab sekarang. Aku butuh waktu, Fhan." lanjutku.
"kenapa?" tanya Fhandi. Pandangannya dialihkan kearah kerumanan orang-orang yang ramai di depan kami. Mereka sibuk berpose.
Aku hanya menggeleng lemah. Aku benar-benar tidak bisa menjawabnya.

"aku gak bisa jelaskan sekarang, Fhan. Aku harap kamu mengerti.." ucapku lemah.
Kali ini Fhandi terdiam. Aku tahu ia penasaran dan bingung. Tapi saat ini aku memang belum bisa menjelaskannya. Aku takut, kalau perasaanku pada Fhandi hanyalah sebuah pelarian atas kekecewaanku terhadap Afis.

************

"hei! Tunggu!" sebuah suara memaku langkahku. Hari ini aku tidak masuk kerja. Aku pergi ke kantor Dinas Pendidikan Kabupaten, ada beberapa hal yang aku urus disana.
Seorang laki-laki paroh baya mendekatiku.
"kamu Ayu, kan?" ucap laki-laki itu sambil mengatur napas.
Aku mengangguk. Beberapa langkah lagi aku akan sampai ke pintu masuk. Orang-orang ramai berlalu lalang. Saat ini memang jam sibuk kerja.
"bisa bicara sebentar?" tanya laki-laki itu lagi.
Aku mengernyitkan kening. Aku tak mengenali lak-laki itu.
"maaf. Aku lagi ada urusan di dalam.." balasku ringan.
"ini tentang Afis.." ujar laki-laki itu pelan.
Keningku berkerut dua kali lipat dari biasanya. "bapak siapa?" tanyaku.
"saya Sabda. Abang Afis. Ada yang harus kamu ketahui tentang Afis.." laki-laki itu menatapku lama.

"Afis sakit, Yu." bang Sabda memulai pembicaraan. Kami duduk di sebuah bangku taman yang ada di depan kantor dinas. Dulu Afis sering mengajakku duduk disini.
"Afis sakit sudah lama. Bahkan jauh sebelum ia mengenal kamu. sebuah kanker telah bersarang di otaknya sudah bertahun-tahun." bang Sabda menarik napas sejenak. Aku terdiam memperhatikannya, mencoba memahami ceritanya barusan.

"awalnya Afis mencoba mengabaikan penyakitnya, karena tidak mengganggu aktivitasnya. Namun setahun belakangan, penyakitnya makin parah. Kami sempat ke luar negeri enam bulan yang lalu, untuk menjalani operasi. Selesai operasi keadaannya mulai membaik. Kami pun pulang ke Indonesia. Namun berselang satu bulan, penyakitnya kambuh lagi." bang Sabda menarik napas lagi, "sebenarnya dokter sudah menjelaskan, kalau kanker itu akan tumbuh lagi. Tapi kami tidak menyangka akan secepat itu. Berbulan-bulan Afis terbaring di rumah sakit, menjalani perawatan. Ia tidak ingin kamu tahu. Ia tidak ingin kamu merasa khawatir..."
"dengan ia menghilang tanpa kabar, itu justru membuatku lebih khawatir.." selaku bergetar. Aku menahan air mataku agar tidak tumpah saat itu.
"iya. Aku tahu, karena itu aku mencari kamu. Tapi aku tidak tahu dimana alamatmu. Sampai tadi aku melihat kamu. Dan aku ingin menceritakan ini semua sama kamu.."
"atas permintaan Afis?" suaraku semakin bergetar.
"tidak. Ini atas inisiatifku sendiri. Aku tak tega melihat Afis. Ia sepertinya sudah menyerah melawan penyakitnya. Aku tahu, ia sangat dekat dengan kamu. Aku berharap kamu mau melihat keadaannya sekarang. Mungkin dengan kehadiran kamu di dekatnya, itu bisa memberinya semangat. Selama ini ia hanya menatapi photo kamu.." ucap bang Sabda lagi, suaranya terdengar parau.

Aku mencoba memahami setiap cerita bang Sabda. Awalnya aku ingin marah. Tapi rasa iba lebih menguasai hatiku. Membayangkan Afis yang terbaring sakit, aku menjadi tak tega.
"sekarang Afis dimana?" tanyaku akhirnya, setelah cukup lama kami terdiam.
Bang Sabda menyebutkan rumah sakit tempat Afis dirawat. "keadaannya semakin parah, ia sering tak sadarkan diri.." ucapnya.

**************

Tubuh Afis terbaring lemah di sebuah dipan rumah sakit. Tubuh itu dipenuhi oleh infus. Aku semakin tak tega melihatnya. Senyum manis cowok itu telah hilang. Tubuhnya kurus kering tak berdaya. Tanpa sadar air mataku menetes menatapnya. Cowok itu membuka mata, saat aku mencoba menyentuh tangannya. Pihak keluarga memang sengaja membiarkan aku sendiri di dalam kamar rumah sakit itu.
Mata Afis terlihat kaget melihat aku berdiri di dekatnya. Aku menggenggam jemarinya yang lemah. Air mataku terus bercucuran. Namun aku mencoba tersenyum.
"hei.." suaraku pelan.
"ngapain kamu kesini?" tanya Afis suaranya terdengar lemah. "siapa yang kasih tahu aku disini?' lanjutnya.
"itu gak penting sekarang, Fis. Yang penting kamu harus lekas sembuh, ya. Aku kangen..." ucapku sambil meremas lembut tangannya. "aku kangen melihat senyum kamu lagi. Aku kangen nonton di bioskop bareng kamu lagi, Fis. Aku kangen baca status kamu..." suaraku semakin parau.

"kamu... kamu gak marah?" Afis berucap dengan terbata.
Aku menggeleng. Aku berusaha tersenyum. Aku mengusap pipiku sendiri, menghapus sisa air mataku. Berusaha untuk terlihat tegar.
"kamu harus sembuh, Fis. Kamu gak boleh menyerah. Mulai sekarang aku akan selalu mendampingi kamu..." ucapku, sambil mengelus rambutnya yang mulai memanjang.
"maafkan aku ya, Yu..." ucapnya, bibirnya berusaha menyunggingkan senyum.
Aku mengangguk dan menggenggam tangannya erat.

Hari-hari berikutnya, aku lebih sering menjenguk Afis. Menemaninya dan memberinya semangat. Jarak yang jauh tidak membuatku menyerah. Jauh dari dasar hatiku, aku masih mencintainya. Meski aku tak bisa mengungkapkannya. Bertemu dengannya kembali memberikanku sebuah harapan. Sebuah harapan yang sempat memudar. Kini hari-hari ku terasa lebih bermakna.
Aku semakin menyadari, kalau aku benar-benar mencintai Afis. Dan sosoknya tak pernah bisa tergantikan. Aku tahu, Afis juga mencintaiku. Walau pun dia tidak pernah mengucapkannya. Namun dari semua sikapnya padaku, aku tahu, dia sangat membutuhkanku.

"keadaannya sudah semakin membaik sekarang.." ucap bang Sabda suatu hari. "terima kasih ya, Yu. Sepertinya kehadiranmu benar-benar telah membuat ia bangkit."
"aku mencintai Afis, bang." balasku jujur, "aku ingin dia sembuh. Aku ingin melihat Afis yang dulu. Afis yang selalu tersenyum..."
"yah. Kita sama-sama berdo'a ya, Yu. Semoga Afis bisa sembuh kembali. Aku yakin, Afis juga sangat mencintai kamu." bang Sabda menatapku penuh keyakinan.
"minggu depan Afis akan operasi lagi. Semoga operasi kali ini, benar-benar bisa mengangkat penyakitnya dan tidak akan kambuh lagi." ucap bang Sabda lagi.
"aamiin, bang. Semoga!" jawabku tersenyum.

************

"maafkan aku, Fhan. Aku gak bisa.." aku menatap wajah Fhandi yang memperlihatkan raut kekecewaannya.
"kenapa?" tanya Fhandi lemah.
"karena sudah ada seseorang yang mengisi hatiku, Fhan. Bahkan jauh sebelum kita saling akrab."
"lalu apa arti kedekatan kita selama ini, Yu?"
"maafkan aku, Fhan. Aku tidak bermaksud mempermainkan kamu. Selama ini aku memang menyukai kamu. Tapi perasaanku tak kian berkembang, Fhan. Aku tidak bisa membohongi diriku sendiri, kalau sebenarnya aku mencintai orang lain. Meski aku sudah berusaha menerima kehadiranmu, namun tetap saja aku tidak menemukan cinta itu ada untukmu. Sekali lagi, aku minta maaf, Fhan.."
Fhandi menghempaskan napasnya berat. Kedua tangannya mengepal.
Aku tahu Fhandi terluka. Tapi akan lebih menyakitkan lagi, jika aku harus terus berpura-pura bahagia saat dengannya. Akan sangat menyakitkan, jika aku tidak berterus terang padanya.

Aku melangkah meninggalkan Fhandi yang masih duduk termangu di kafe itu. Sekelebat rasa bersalah menghantuiku. Tapi semua memang harus terjadi. Aku memang harus memilih. Dan hatiku begitu yakin, kalau aku sangat mencintai Afis, seperti apa pun kondisinya saat ini.
Hatiku telah memilih, meski harus ada hati yang tersakiti.
Fhandi sosok cowok yang baik dan sederhana. Aku yakin, banyak cewek-cewek lain di luar sana yang mengharapkannya dan bisa membuatnya bahagia.

Sekian...

Sebuah Cerpen : Rahasia Hati Indra...

"kamu kenapa, Ndra?" suara lembut Nela mengagetkanku, yang sejak tadi termenung sendiri. di bangku taman sekolah. Pikiranku menerawang, hingga aku tidak sadar, kalau Nela sudah berdiri di sampingku.
Aku menatap sekilas kearah Nela, "gak kenapa-kenapa, kok.." jawabku sedikit acuh.
"Indra. kita sudah berteman sejak kecil," ucap Nela, sambil ia ikut duduk di sampingku, "aku tahu persis bagaimana kamu. Kalau kamu udah menyendiri seperti ini, itu artinya kamu lagi ada masalah." lanjutnya, mata Nela mengawasiku yang tiba-tiba merasa sedikit kaku.
"aku gak apa-apa kok, Nel. Cuma lagi pengen sendiri aja.." balasku, menghindari tatapan Nela.

"kamu marah sama aku?" tanya Nela, setelah beberapa saat kami terdiam.
"marah? kenapa aku harus marah?" aku justru balik nanya, kali ini aku beranikan untuk menatap kearah Nela. Mata kami bertemu pandang, namun segera aku memalingkan muka.
Kudengar Nela menarik napas, "sejak aku jadian sama Andi, aku perhatikan kamu lebih sering murung dan menyendiri.." ucapnya.
Aku menatap Nela kembali, dengan sedikit susah payah aku tersenyum. "kamu apaan sih, Nel. Aku biasa aja, kok.."
"aku tahu, Ndra. sekarang kita jadi jarang jalan bareng, main bareng, gak kayak dulu lagi. Tapi kita kan tetap sahabatan, Ndra."
"iya, Nel. Kita tetap sahabatan. Gak ada yang berubah, kok. Kalau kita sekarang jadi jarang main bareng lagi, ya gak apa-apa. Kamu kan memang harus punya waktu juga buat Andi. Aku ngerti, kok!" kali ini aku sedikit menunduk. Hatiku meringis.

Cerpen : Rahasia hati Indra


Aku dan Nela, memang sudah berteman sejak kecil. Sejak kami masih sama-sama di Sekolah Dasar. Kami masuk SMP yang sama, dan sudah dua tahun kami berada di SMA yang sama.
Kami sering main bareng dan belajar bareng, karena memang rumah kami satu komplek. Hubungan kami selama ini sangat dekat, meski hanya sebatas sahabat. Aku sering main ke rumah Nela, begitu juga sebaliknya. Kami selalu bersama-sama. Melakukan banyak hal bersama. Kami tumbuh dengan persahabatan yang indah
Nela gadis yang periang, cantik dan pintar. Terus terang aku memang sangat mengagumi sosok Nela. Beranjak remaja, perasaanku justru kian berkembang. Aku bukan lagi sekedar mengagumi Nela. Tapi juga telah jatuh cinta padanya.
Namun aku tak pernah berani mengungkapkan itu semua. Aku selalu berusaha bersikap biasa saja di depan Nela. Aku sadar, kalau hubungan kami, hanya sebatas sahabat. Meski jauh dari lubuk hatiku, aku berharap suatu saat kelak aku dan Nela bisa berpacaran, bukan lagi sebatas sahabat.
Aku sering membayangkan hal itu. Bahkan hampir setiap malam.

"sebenarnya kalian itu pasangan yang cocok, loh.." seru Tina, salah seorang teman sekelas kami. "yang satu pendiam, yang satu lagi suka nyerocos! kenapa kalian gak pacaran aja, sih?" lanjutnya, yang membuat Nela tertawa ngakak. Aku hanya tersenyum kecil mendengar ucapan Tina.
Banyak sih, teman-teman yang menyangka kami pacaran, saking dekatnya. Tapi kami tak pedulikan hal itu. Terus terang aku senang dibilang pacaran sama Nela. Dan aku berharap Nela juga merasakan hal yang sama.
Nela memang selalu blak-blakan padaku. Mungkin karena ia merasa sudah tidak ada jarak antara kami. Hampir tidak ada rahasia bagi Nela buatku.
Aku yang memang pendiam, justru lebih sering jadi pendengar yang baik buat Nela. Tapi aku suka. Aku suka mendengar cerita Nela yang blak-blakan, jujur dan apa adanya. Justru itu yang membuat aku semakin mengagumi Nela.
Tapi....

"Andi nembak aku, Ndra. Ia ternyata selama ini juga suka sama aku." cerita Nela suatu sore di rumahnya.
Aku bagai mendengar suara petir di siang yang cerah itu. Akhir-akhir ini, Nela memang sering cerita tentang Andi, kakak senior kami di sekolah.
Awalnya aku menanggapinya biasa saja. Namun hampir setiap hari Nela cerita tentang Andi, dan itu membuat aku merasa cemburu. Meski aku selalu berusaha bersikap biasa saja, saat Nela bercerita tentang Andi.
"kamu terima?" tanyaku sedikit penasaran, suaraku terdengar bergetar.
Nela mengangguk dengan senyum mengembang, wajahnya memancarkan kebahagiaan.
"aku kan udah bilang, Ndra. Kalau aku memang suka sama Andi. Dia tuh dewasa banget.." ucapnya, yang semakin membuat hatiku teriris.
"jadi aku gak dewasa?" desahku pelan.
"maksud kamu?" Nela mengerutkan kening.
"gak. Gak apa-apa. Lupakan saja!" balasku, sambil berdiri. "aku pulang, ya.." lanjutku sambil melangkah keluar.

Sejak saat itu, aku memang sengaja menjaga jarak dengan Nela. Hatiku terasa hancur. Aku tak sanggup mendengar cerita Nela tentang Andi.
Tapi sepertinya Nela sangat bahagia. Aku sering memperhatikan mereka berdua.
Rasanya ada sebagian dari diriku yang hilang. Hampa!
Tapi aku harus ikhlas. Nela berhak untuk bahagia, meski bukan denganku.

"kamu benar gak marah, Ndra?" suara Nela mengagetkan aku lagi.
Aku hanya menggeleng. "selama kamu bahagia, aku juga ikut bahagia, Nel. Bukankah itu arti persahabatan, yang sering kamu katakan." balasku ringan. "lagi pula Andi anaknya baik. Dia pasti bisa bikin kamu bahagia.."
Kulihat Nela tersenyum. Senyum yang begitu manis. Matanya berbinar. Aku suka mata itu.
Huh! Aku mendengus. Entah mengapa semuanya terasa begitu berat.
Sadar, Ndra. Sadar! Nela itu hanya menganggap kamu sahabat! Bathinku.
Suara bel terdengar dari kejauhan. Nela segera bangkit dan dengan sedikit berlari ia menuju kelas.

**************

Sudah lebih delapan bulan Nela dan Andi berpacaran. Aku sudah mulai terbiasa dengan kesendirianku. Meratapi kepatah hatianku. Meski cintaku untuk Nela tak pernah luntur.
Kami memang masih bersahabat, meski tak seerat dulu. Nela sudah jarang main ke rumah, begitu juga aku. Setiap kali aku ke rumah Nela, selalu saja ada Andi di sana.
Aku masih bisa menatap Nela dari kejauhan, melihat senyumnya yang selalu mengembang. Membayangkan wajahnya yang cantik dan tatapan matanya yang berbinar indah.
Yah, aku hanya bisa membayangkannya!

Entah mengapa, desakan haru dan rasa kagum itu selalu ada. Setiap kali menatap mata beningnya dan setiap kali mendengar tawanya. Kejujuran, senyuman dan ceria yang tak pernah ia paksakan bagai air segar bagi hatiku yang tawar.
Bicaranya yang ceplas-ceplos, blak-blakan, sederhana dan jujur. Aku seperti memandang setetes embun yang bening, bersih dan belum terkotori. Berada di dekatnya, aku bagai mendapatkan setetes air di tengah gurun gersang.

Betapa kubutuh dirinya!
Kadang Ingin rasanya aku selalu berada di dekatnya, sekedar mendengar cerita dan candanya. Aku ingin selalu ada di dekatnya.
Menjaga saat suntuk menyergapnya, saat kesunyian menyelimuti hatinya. Menawarkan hatinya yang lagi gusar atau menampung curhat dan candanya, lalu berbagi suka dan duka.

Ah… Mungkinkah itu aku lakukan ..?!
Justru sebaliknya, ia yang selalu berhasil membuatku tertawa dan tersenyum. Ketika aku hampir menyerah oleh kehidupan yang kurasa mulai membosankan dan menggerogoti nafasku perlahan.
Dia selalu jadi penawar, ketika kuanggap hidupku terasa hambar dan datar. Dan ketika kuanggap hidupku sudah tiada berarti, hampa dan tak bergairah…

Dia selalu buat aku tersenyum dan merasa berarti. Kadang ingin ku menjadi bagian dari dirinya dan selalu berada disamping nya.
Tapi mustahil, ada jarak diantara kami.

Aku hanya berharap semoga dia tetap menjadi seseorang yang aku kagumi.
Moga ceria dan sinar itu gak lekang, semoga ia tetap mampu menawarkan hati orang-orang disekelilingnya, yang butuh kasih dan keceriaan.
Seperti ia mampu membuat ku tersenyum, tertawa dan kadang menangis, karena kangen mendengar tawa nya, rindu mendengar cerita nya.

Saat ini, memang ada jarak diantara kami!
Tapi rasanya hatiku selalu dekat, selalu butuh candanya yang kocak, ceritanya yang blak-blakan atau senyumnya yang tak pernah lepas dari bibirnya yang manis.

Dia seperti cahaya bagi ku ….
Dia selalu menjadi inspirasi bagiku. Masa depannya seperti guratan cat di kanvas, dia bebas mencoretnya dengan warna biru, merah atau putih sekalipun.
Aku bangga bisa menjadi sahabatnya.
Tapi tetap saja, rasa cintaku padanya membuat aku sakit.

***********

Nela menatapku tak percaya. Keningnya berkerut.
"kamu yakin?" tanyanya.
Aku menarik napas pelan, kemudian mengangguk.
"kenapa kamu tak pernah cerita?" tanya Nela lagi.
"maaf, Nel. Tadinya aku ingin cerita. Tapi menurutku percuma. Kamu juga gak bakal peduli.."
"kamu ngomong apa sih, Ndra!" Nela menyela dengan nada tinggi, "kamu pikir dengan aku pacaran sama Andi, akan merubah persahabatan kita?"
"tidak ada yang berubah, Nel. Tapi aku memang harus pergi.." suaraku pelan.
"iya. Tapi mengapa tiba-tiba, Ndra?"
"tiba-tiba apanya?"
"kamu mendadak ingin kuliah ke luar negeri, Ndra. Kamu tak pernah cerita hal ini sebelumnya. Bahkan kita pernah berjanji, kalau kita bakal tetap bersama sampai kita kuliah.."
"itu janji masa kecil, Nel. Waktu itu kita belum tahu, akan jadi apa kita setelah dewasa..."

Nela terdiam. Ia mainkan jemarinya. Aku coba menatap wajah cantik itu. Mungkin untuk yang terakhir kalinya.
"kamu sekarang sudah punya Andi, Nel. Kamu gak bakal kesepian tanpa aku." ucapku akhirnya.
"apa karena itu?"
"maksud kamu?"
"karena aku sekarang pacaran dengan Andi. Dan kamu merasa kalau aku telah melupakan persahabatan kita. Kamu merasa kalau aku telah mengabaikan kamu?"
Aku menyunggingkan senyum. Andai saja kamu tahu, Nel. Betapa aku tersiksa selama ini. Sejak kamu jadian sama Andi! Rintihku.
"ini tak ada hubungannya dengan semua itu, Nel. Keputusanku untuk kuliah ke luar negeri adalah karena aku ingin mengejar mimpiku. Ingin mengejar cita-citaku.." ucapku tertahan.
"cita-cita? Bukankah dulu kamu hanya bercita-cita untuk bisa kuliah bersama-sama? Tak pernah sekalipun kamu bercerita tentang ke luar negeri, Ndra!" suara Nela terdengar ketus. "ternyata kamu memang telah berubah, Ndra!"

Kamu yang berubah, Nel. Kamu juga yang membuat aku berubah. Bathinku pilu.
Tapi aku tak mungkin menyalahkan Nela. Aku yang terlalu pengecut untuk mengakui perasaanku. Aku yang terlalu berharap!
Seandainya saja aku tidak jatuh cinta sedalam ini pada Nela. Mungkin semuanya akan baik-baik saja. Mungkin semua tidak akan berakhir seperti ini.
Aku yang salah. Telah membiarkan benih-benih cinta itu tumbuh dengan subur di hatiku. Harusnya aku bisa mengatasi ini. Harusnya aku bisa menganggap Nela hanya sebatas sahabat, seperti yang ia lakukan padaku.

Tapi semua sudah terlambat, cinta itu telah tumbuh subur dalam hatiku. Aku tak bisa membunuhnya. Aku tak bisa membunuh perasaanku pada Nela.
Dan lebih menyakitkannya lagi, aku juga tidak bisa mengungkapkannya!
Biarlah semua hanya menjadi rahasia. Tidak akan ada siapa pun yang tahu.
Tapi aku harus pergi. Aku tak bisa terus disini. Aku harus bisa melupakan Nela. Meski aku tahu, itu butuh waktu bahkan seumur hidup...

Sekian...

Sebuah cerpen : Tentang sebuah hati

"kita baru kenal satu bulan, Rul.." ucap gadis itu, sambil menatap Arul, cowok yang berada di sampingnya.
"yah, aku tahu." timpal cowok itu, "tapi hati itu sesuatu yang unik, Mita. Kita tidak bisa menebak kapan kita akan jatuh cinta." lanjutnya pelan.
Gadis itu, Mita, memalingkan pandangannya. Menatap jauh ke tengah lautan yang membentang luas di hadapan mereka. Mereka duduk di atas pasir pantai yang memutih. Sore itu mereka bertemu lagi seperti biasa.
Sudah sebulan mereka rutin bertemu di pantai itu, sejak mereka saling kenal. Mereka bertemu pertama kali, pada hari pertama Arul memulai kegiatan KKN di desa tempat Mita tinggal. Mita yang bekerja di kantor desa hari itu mengantarkan Arul dan teman-temannya, ke tempat Arul dan teman-temannya tinggal selama mereka melakukan kegiatan KKN.

Perkenalan singkat itu telah menumbuhkan kesan yang mendalam bagi mereka berdua, sehingga membuat mereka jadi sering bertemu dan saling mengenal lebih dekat.
Mita yang bekerja di kantor desa dan juga aktif di kegiatan pemuda, sering membantu Arul dan teman-temannya, selama mereka berada di sana.

Cerpen sang penuai mimpi



Desa Mita memang terletak di tepi laut, mereka sering bertemu dan ngobrol di pantai yang terletak tidak jauh dari desa. Pertemuan-pertemuan itu, membuat Arul yakin akan perasaannya kepada Mita, hingga ia dengan cukup berani mengungkapkan perasaannya sore itu. Setelah sebulan lebih mereka saling kenal.
Tapi Mita sendiri belum yakin dengan perasaannya. Ia memang menyukai Arul yang sederhana dan juga pintar. Arul yang ia tahu, juga seorang laki-laki yang baik.
"tapi tetap saja bagi saya, ini terlalu cepat, Rul." Mita berujar lagi, setelah sejenak mereka tenggelam dengan perasaan mereka masing-masing.
"kamu gak harus jawab sekarang kok, Mit." balas Arul. "tapi setidaknya kamu sekarang sudah tahu, bagaimana perasaanku padamu." lanjutnya tegas.
Mita memainkan pasir putih itu dengan jemari lembutnya. Perasaannya tak karuan. Campur aduk!
Bagi Mita, ia dan Arul belum benar-benar saling kenal. Jika pun akhirnya, setelah satu bulan mereka saling kenal, telah menumbuhkan perasaan yang lebih dari sekedar teman biasa. Tapi tetap saja bagi Mita, itu tidak mudah.

Ada bagian dari dalam hatinya yang masih menyimpan keraguan. Bahkan bagi Mita, bukan hanya sekedar keraguan, tapi juga rasa takut.
Ya. Harus Mita akui, kalau kisah cintanya di masa lalu masih terus membayanginya sampai saat ini. Kisah cinta yang meninggalkan rasa sakit yang mendalam. Tidak mudah bagi Mita, menerima kehadiran laki-laki lain di hatinya. Mita masih sangat trauma dan sakit.

Tiba-tiba pikiran Mita menerawang jauh ke masa lalunya. Kisah cinta di masa lalunya terpapar jelas di ingatannya. Mita memejamkan mata, mencoba menenangkan hatinya. Tapi bayangan itu semakin jelas. Sesosok wajah tampan dengan senyuman manis itu kembali melintas di benaknya.
Namanya Hafis, seakan tak mau hilang nama itu di hati Mita. Laki-laki yang periang itu, telah menghiasi hari-hari indah Mita lebih dari empat tahun, sebelum akhirnya ia pergi dan meninggalkan Mita sendirian. Yang membuat Mita harus menelan pahitnya sebuah perpisahan.
"maaf, Mit. Tapi aku harus pergi..." begitu ucap laki-laki itu waktu itu. Saat Mita menatapnya dengan mata berkaca.
"kamu jangan berkata begitu, Fis. Kamu pasti bisa sembuh.." suara Mita parau, ia berusaha menahan air matanya. Tangannya mengelus lembut rambut Hafis yang mulai memanjang. Sudah tiga bulan Hafis terbaring di kamar rumah sakit itu. Mita bahkan tidak tega melihatnya. Tubuh laki-laki itu semakin kurus dan lemah.

"sakitku semakin parah, Mit. Bahkan dokter saja sudah menyerah.." suara Hafis yang terbata itu, masih terdengar jelas di telinga Mita, yang membuatnya menelan ludah pahit.
"tapi kamu gak boleh menyerah, Fis. Kamu harus kuat. Demi aku. Demi cinta kita..." hibur Mita, berusaha menguatkan hatinya sendiri.

Tapi ternyata Hafis akhirnya benar-benar pergi. Penyakit kanker hati dan komplikasi yang di deritanya, telah merenggut nyawa Hafis lebih cepat. Jauh lebih cepat dari yang Mita takutkan. Mita menangis histeris, ketika ia melihat dengan jelas, tubuh laki-laki itu yang telah di kafani, masuk ke liang lahat. Beberapa orang berusaha menenangkannya dan membawanya pulang. Tapi Mita benar-benar tidak kuat, ia akhinya tidak sadarkan diri. Lebih dari seminggu, Mita tidak melakukan apa pun. Ia hanya mengurung diri di kamar.
"Mita! Kamu harus makan, nak. Kamu tidak boleh terus begini! Hafis juga tidak ingin kamu jadi seperti ini..." suara Ibunya yang setiap hari memanggilnya dari luar kamar pun tak pernah ia hiraukan.
Sampai akhirnya ia jatuh sakit dan Ibunya dengan cemas membawanya ke rumah sakit.
"ia tidak apa-apa, hanya kelelahan dan kurang makan saja.." ucap dokter, yang membuat Ibunya sedikit tenang.

"kamu harus ikhlas, Mita. Hafis sudah tenang disana. Tuhan lebih menyayanginya, Mit." ucap Ayu, sahabat Mita, mencoba menghibur Mita.
Mita perlahan mulai bangkit. Ia berusaha sekuat mungkin untuk bisa ikhlas dan merelakan kepergian Hafis. Tapi itu tidak mudah bagi Mita. Berbulan-bulan ia hidup dalam bayangan kisah cintanya dengan Hafis. Berharap semua itu hanyalah sebuah mimpi. Berharap ia bisa bertemu Hafis kembali, walau hanya dalam mimpi. Tapi hafis tak kunjung mendatanginya. Hafis benar-benar pergi!
Mita mencoba menyibukkan diri, agar ia tidak dihantui oleh bayangan wajah Hafis lagi. Ia menerima tawaran untuk bekerja di kantor desa. Sebagai pengisi kesibukannya.
Sudah lebih dari setahun Mita bekerja disana. Pelan-pelan ia sudah bisa merelakan kepergian Hafis dari hidupnya.
"gitu, dong. Senyum. Ceria gitu kan enak liatnya.." celoteh Gian, teman kerja Mita suatu hari.
Mita hanya tersenyum.

"kata pak Kades, hari ini anak-anak KKN itu akan datang.." suara Dhea dari meja kerjanya.
"baguslah! nanti kita kenalin Mita sama mereka. Siapa tahu ada yang cocok...." timpal Gian, dengan nada menggoda.
Mita sekali lagi hanya tersenyum. Terus terang, kekonyolan rekan-rekan kerjanya memang membuat Mita sering terhibur. Mita senang berada disana. Rekan-rekan kerjanya selalu bisa membuat ia tersenyum.

************

"besok kami pulang." Arul berkata dengan nada lembut, ia manatap gadis di depannya.
Sudah hampir dua bulan, Arul dan teman-temannya melaksanakan KKN disana. Tugas KKN nya sudah selesai.
"tapi aku belum mendapatkan jawaban dari kamu, Mit." lanjutnya.
Mita hanya menghela napas berat.
"kamu belum benar-benar tahu siapa aku, Rul." ucapnya ringan.
Arul mengalihkan pandangan. "secara keseluruhan mungkin tidak, Mit. Tapi Ayu sudah cerita banyak padaku." ujar Arul.

Sekilas Mita melirik ke arah laki-laki itu. Ia cukup kaget, tapi mencoba memaklumi. Ayu pasti sudah cerita banyak pada Arul tentang masa laluku. Mengingat Arul dan teman-temannya memang tinggal di rumah Ayu. Mita menarik napas lagi. Mungkin memang lebih baik Arul tahu. Pikirnya.
"aku mungkin tidak sesempurna Hafis.." Arul berujar lagi, melihat Mita hanya terdiam. "aku juga mungkin tidak mampu, menyembuhkan rasa sakit di hatimu. Apalagi menghapus kisah cinta di masa lalumu..." Arul menarik napas sejenak, "yang aku tahu, aku mencintai kamu dengan apa adanya dirimu! Aku tak peduli dengan apa yang terjadi di masa lalumu, Mit. Aku hanya telah jatuh cinta padamu! Itu saja!" lanjut Arul dengan suara bergetar.
Mita meremas jemarinya sendiri. "tapi tetap saja, ini tidak mudah bagiku, Rul.." ucapnya.

"setiap orang punya masa lalu, Mit. Tak terkecuali saya. Tapi kita hidup untuk masa depan, Mit. Karena masa lalu itu telah kita lewati." Arul berbicara sambil ia berdiri dan menatap kearah ombak-ombak kecil air laut yang membasahi pinggiran pantai. "tidak mudah memang, melupakan sesuatu yang pernah terjadi di masa lalu. Tapi biar bagaimanapun, itu semua tetaplah hanya sebuah masa lalu. Tidak mungkin terulang atau pun kembali. Apa pun itu, kita hanya harus ikhlas..." lanjut Arul lagi, ia memunggungi Mita, yang masih saja terduduk di bangku pantai.
Mita memejamkan mata sejenak. Sedikitpun ia tidak memungkiri apa yang barusan Arul ucapkan. Arul benar, Hafis hanyalah cerita di masa lalunya.
"tapi aku takut, Rul. Aku takut, kamu hanya akan menjadi tempat pelarian dari semua kesepianku selama ini.."

"aku hanya ingin tahu, Mit. Bagaimana perasaan kamu sebenarnya padaku saat ini?" Arul memutar tubuh, ia kembali menatap Mita.
"terus terang, aku bingung  dengan perasaanku sendiri, Rul. Harus kuakui, kalau aku memang menyukaimu. Aku menyukai segala kesederhanaanmu. Aku suka, saat kamu bilang kalau kamu menyukaiku. Tapi itu belum membuat aku yakin, kalau aku telah membuka hatiku.."
"setidaknya beri aku kesempatan, Mit. Untuk aku bisa menyembuhkan rasa sakitmu."
Mita hanya terdiam. Hatinya meragu.
"kesempatan seperti apa yang kamu harapkan dari orang yang pernah patah hati seperti saya, Rul?" tanya Mita akhirnya, setelah ia terdiam cukup lama.
"aku tidak bisa menjanjikan kamu apa-apa, Mit. Aku juga tidak bisa meramal masa depan. Tapi aku yakin, dengan cinta yang aku punya saat ini. Aku bisa membuatmu selalu tersenyum dan menemukan kembali kebahagiaanmu yang sempat hilang." Arul berujar, sambil sedikit menunduk. Menatap lebih lekat wajah cantik gadis yang ada di hadapannya.

"aku hanya butuh waktu, Rul. Aku butuh waktu, untuk meyakinkan diriku sendiri, bahwa aku memang mencintai kamu." Mita menatap mata teduh milik Arul cukup lama, sekedar meyakinkan dirinya sendiri, kalau Arul akan mampu membuatnya bangkit.
Arul mengangguk pelan. "yah, aku tahu. Aku akan kembali lagi nanti. Saat kamu sudah benar-benar yakin dan siap untuk memulai masa depan yang jauh lebih baik.." ucapnya. Arul berdiri kembali. Ditariknya napasnya perlahan. Menikmati angin sore yang semilir. Deburan suara ombak bergemuruh riang. Tapi bagi Arul, itu semua hanyalah nyanyian akan sebuah harapan yang tidak pernah bisa ia tebak. Mita mungkin akan mencintainya, tapi ia yakin butuh waktu lebih lama lagi, untuk Mita bisa menghapus nama Hafis di hatinya.
Arul menarik napas lagi dan memejamkan matanya, udara sore itu benar-benar membuatnya penuh harapan. Meski hatinya meragu...

Sekian..

Sebuah cerpen : Dilema hari esok...

"kamu yakin, Nur..?" laki-laki itu bertanya dengan lembut.
Nur hanya menatap laki-laki itu sekilas. Kemudian kembali menatap jauh ke arah jalan yang semakin ramai. Sudah hampir jam empat sore, kendaraan berlalu lalang kian memadati jalan raya tersebut.
"kamu sendiri sudah siap atau belum?" Nur malah balik bertanya pada laki-laki itu.
"entahlah, Nur. Andai saja ada pilihan yang lebih mudah dari ini.." suara laki-laki itu terdengar lemah.
"tapi kenyataannya kita memang harus memilih jalan ini, Jo.." Nur berucap lagi, kali ini ia tatap laki-laki itu cukup lama.
Laki-laki yang dipanggil Jo, oleh Nur itu, hanya tersenyum sekilas. Hatinya tiba-tiba merasa berat. Ia menyadari sekali, bahwa pilihan yang akan mereka ambil penuh dengan resiko.

"saya hanya merasa, kalau kita tak lebih dari dua orang jahat, yang akan menghancurkan begitu banyak harapan." Jo menghempaskan napasnya.
"cinta terkadang memang harus egois, Jo." balas Nur.
"tapi tidak dengan mengorbankan begitu banyak perasaan.."
"lalu apa kamu punya pilihan lain?"
Jo kembali menghempaskan napasnya berat. Sebenarnya begitu banyak pilihan bagi mereka, namun pilihan apa pun yang akan mereka ambil, semua mengandung resiko yang hampir sama beratnya.

"aku tahu sedikit banyak bagaimana keluarga kamu, Nur." ucap Jo akhirnya, setelah cukup lama mereka terlarut dalam lamunan mereka masing-masing. "terutama Ayah kamu. Beliau seorang yang terpandang dan sangat taat pada ajaran agamanya." lanjutnya.
"ya, aku tahu." desah Nur.
"aku tak bisa membayangkan, bagaimana reaksi beliau, jika akhirnya ia tahu..."
"Ayah pasti akan tahu, Jo. Cepat atau lambat..." potong Nur. "demikian juga keluargamu, papa mama kamu. Mereka pasti akan tahu dan tentunya akan sangat marah besar.."
"tapi saat mereka tahu, kita seharusnya sudah berada di tempat yang sangat jauh.." Jo meneguk minumannya. Suasana kafe itu masih sunyi, hanya ada beberapa orang pengunjung. Biasanya kafe ini hanya ramai pada malam hari, terutama malam minggu.

"kalau semuanya berjalan sesuai dengan rencana kita, Jo.."
"apakah ada kemungkinan kalau rencana kita akan gagal?" Jo mengerutkan kening.
"aku hanya sedang memikirkan alasan yang paling tepat kepada Ayah, agar aku bisa pergi dengan aman..." Suara Nur pelan, hatinya merasa berat.
"bukankah tadi kamu mengatakan, kalau kamu akan beralasan untuk pergi ke tempat Yani di Batam?!"
"iya. Tapi tidak mudah meyakinkan Ayah, kecuali ia mendengarnya langsung dari Yani..."
"kamu bisa telpon Yani dan minta tolong sama dia, agar bisa menyakinkan Ayahmu.."
Nur hanya mengangguk. Bukan itu persoalan terberatnya bagi Nur. Keputusan mereka untuk pergi, Nur sadar betul, itu adalah sebuah kesalahan. Tapi Nur terlalu mencintai Jo.

Hampir empat tahun mereka pacaran. Nur tak lagi ragu dengan perasaannya terhadap Jo. Nur benar-benar mencintai Jo. Hubungan mereka selama empat tahun ini juga baik-baik saja. Meski mereka harus menjalin hubungan secara diam-diam.
Nur masih ingat, ia bertemu Jo empat tahun lalu, di kantin kampus. Pertemuan yang tak sengaja yang menghadirkan benih-benih cinta diantara mereka berdua. Mereka sering jalan bareng, ngampus bareng, hingga akhirnya mereka memutuskan untuk menjalin hubungan yang lebih serius.

"kamu yakin, Nur?" tanya Yani, sahabat Nur, ketika Nur cerita tentang hubungannya dengan Jo.
Nur mengangguk mantap waktu itu.
"tapi kalian kan..."
"iya, aku tahu." Nur memotong cepat. "tapi kami saling mencintai, Yan. Meski kami tahu, ada perbedaan diantara kami. Tapi kami yakin, itu tidak akan menjadi penghalang hubungan kami."
"saran saya sih, Nur. Lebih baik kamu pikir-pikir dulu, dari pada nanti hubungan kalian semakin serius. Dan kamu tahu, konsekuensinya apa? Pada akhirnya kamu harus memilih antara keluargamu atau Jo." Nur tersenyum kecut, ia harus akui kalau yang diucapkan Yani ada benarnya. Tapi ia dan Jo baru saja memulainya.

************

"Ayah tidak setuju!" ucap Ayah Nur, dengan muka memerah. Ketika dengan cukup berani akhirnya Nur dan Jo datang kerumahnya dan meminta restu, setelah hubungan mereka berjalan lebih dari tiga tahun.
"tapi, yah.."
"cukup, Nur!" laki-laki itu berdiri menatap tajam kearah Nur. Dia sudah menahan amarahnya dari tadi, sebelum Jo pamit pulang. "apa pun alasannya, Ayah tidak akan pernah sudi punya menantu yang tidak se aqidah dengan kita. Kamu jangan mempermalukan keluarga, Nur. Kita ini dari keluarga muslim yang taat. Kamu harusnya bisa berpikir, sebelum memutuskan untuk berhubungan dengan laki-laki itu. Laki-laki yang jelas bukan seorang muslim. Laki-laki yang tidak seagama dengan kita!" suara Ayah masih terdengar kasar. Nur hanya bisa tertunduk. Ia tahu Ayahnya akan marah, tapi Jo yang bersikeras untuk datang.
Sekarang Ayah dan keluarganya sudah tahu tentang hubungan mereka.
"pokoknya Ayah tidak mau tahu, kamu harus segera mengakhiri hubunganmu dengan laki-laki itu. Dan jangan pernah bermimpi untuk mendapat restu dari Ayah!"

Nur menangis semalaman. Hatinya hancur. Tapi cintanya pada Jo sangat besar. Ia tak mungkin memutuskan Jo. Ia tak mungkin membunuh cintanya untuk Jo. Meski ia tahu resiko yang akan ia dapat.
"Ayah sangat marah, Jo. Beliau meminta kita untuk mengakhiri hubungan ini.." cerita Nur esoknya.
Jo terdiam sesaat. Hatinya pilu.
"aku udah cerita sama mama papa tentang hubungan kita. Mereka juga memarahiku, dan meminta kita untuk putus.." Jo berkata pelan.

Tapi mereka saling mencintai. Meski tidak mendapat restu dari keluarga. Mereka tetap berhubungan. Mencuri-curi waktu agar bisa bersama. Mereka bahagia dengan semua itu. Sampai akhirnya...

"kita kawin lari aja, Nur!" ucap Jo sore itu, mengawali pembicaraan. Mereka duduk di sebuah kafe, tempat biasa mereka bertemu.
Lama Nur menatap Jo tanpa kedip. Mencoba memahami apa yang dipikirkan Jo, sampai ia bisa berkata demikian.
"sampai kapan pun mereka tidak akan pernah merestui hubungan kita, Nur. Dan aku terlalu mencintai kamu. Aku tak ingin kehilangan kamu. Aku ingin kita tetap bersama selamanya..."
"aku juga sangat mencintai kamu, Jo. Tapi apa dengan lari, itu bisa menyelesaikan masalah?"
"lalu apa kamu punya cara lain?" tanya Jo.
Nur terdiam. Jo benar. Bathinnya.
"kita bisa pergi ke Bali. Disana aku punya seorang teman. Aku yakin beliau tidak akan mempermasalahkan tentang status kita. Aku juga bisa dapat pekerjaan disana.." ujar Jo lagi.

Begitulah akhirnya. Setelah Jo berhasil meyakinkan Nur. Mereka memutuskan untuk pergi dari rumah. Mengatur rencana agar kepergian mereka tidak terlalu mencurigakan. Nur berencana meminta izin Ayahnya untuk jalan-jalan ke Batam, ke tempat sahabatnya, Yani. Dan Jo berusaha pergi secara diam-diam.

************

Nur meneguk minumannya. Ia menarik napas sangat panjang. Pikirannya menerawang. Memikirkan semua rencana mereka untuk pergi. Nur membayangkan bagaimana reaksi Ayahnya, ketika tahu kalau Nur pergi bersama Jo. Nur membayangkan betapa malunya Ibu, ketika orang-orang tahu Nur melarikan diri bersama laki-laki non Muslim. Ibunya yang sering ikut pengajian. Dan Ayahnya yang seorang Imam Mesjid. Nur akan sangat mencoreng muka keluarganya sendiri.
Nur tertunduk, matanya tiba-tiba berkaca. Tak pernah ia bayangkan sebelumnya, jika semua akan menjadi serumit ini. Yani benar, pada akhirnya ia harus memilih antara Jo atau keluarganya. Antara mempertahankan cintanya dengan Jo, atau menjaga nama baik keluarganya. Hati Nur merintih pilu.

"aku rasanya gak sanggup, Jo.." suara Nur serak.
"kalau begitu, kamu gak benar-benar mencintaiku.." balas Jo ringan.
"aku mencintai kamu, Jo. Aku bahkan sangat mencintai kamu. Tapi apa artinya semua itu, kalau kita harus kehilangan keluarga kita."
"suatu saat mereka juga akan sadar, dan memaafkan kita.." ujar Jo lagi.
"gak semudah itu, Jo..."

"kamu pikir, aku gak merasa berat berpisah dengan keluargaku?" tanya Jo, suaranya sedikit meninggi. "berat, Nur. Tidak mudah bagiku untuk membuat keputusan ini. Tapi ini semua demi kita. Demi cinta kita. Kamu sendiri yang meyakinkanku, bahwa kamu akan rela melakukan apa pun, asal kita tetap bersama. Kamu akan melakukan apa pun, untuk mempertahankan cinta kita.." lanjut Jo, suaranya justru terdengar parau.
Nur merintih lagi dalam hati. Sedikitpun ia tidak memungkiri apa yang Jo ucapkan barusan. Tapi seegois itukah cinta? tanyanya membathin. Bukankah cinta diciptakan untuk menyatukan perbedaan? Tapi mengapa cinta tak bisa berbuat apa-apa, ketika perbedaan menjadi alasan untuk tidak bisa bersatu?

"aku rasa, keputusan kita terlalu cepat, Jo." Nur akhirnya berbicara pelan, "alangkah lebih baiknya, kita selesaikan saja dulu kuliah kita. Lalu kemudian, kita bisa pikirkan apa yang harus kita lakukan ke depannya." lanjutnya.
Jo mendongak. Menatap mata Nur tajam. "lalu bagaimana dengan hubungan kita?" tanyanya.
"kita jalani seperti biasa, Jo. Kalau memang kita berjodoh, takdir pasti akan menyatukan kita." jawab Nur merasa sedikit bijak.
Jo memalingkan muka, menatap lalu lalang kendaraan. Sore sudah mulai gelap. Pengunjung kafe semakin ramai.
"cinta seharusnya mampu menciptakan keindahan, Jo. Kita bukan dua orang jahat, yang harus menghancurkan begitu banyak harapan. Kalau pun harus ada yang hancur, itu bukan harapan, Jo. Tapi mungkin hati kita.."
Setelah berucap demikian, Nur berdiri. "kita pulang, Jo. Begitu banyak cinta di rumah kita, dan cinta kita bukanlah apa-apa, dibandingkan itu semua..."

Nur melangkah pergi keluar dari kafe. Jo hanya terdiam. Terbayang olehnya senyuman tulus mamanya. "hidup ini pilihan, nak. Namun selalu ada konsekuensi dari sebuah pilihan, apa pun itu." terngiang kata-kata mamanya tiba-tiba. Jo menarik napas perlahan dan menghembuskannya berat. Mungkin memang lebih baik begini. Pikirnya, sambil melangkah pergi.
Sekian...

Cerita kehidupan : Seorang laki-laki muda dan gadis kecil penjual kue...

Gadis kecil itu melirik dagangannya sekilas. Tak satupun dagangannya laku hari ini. Meski ia sudah berkeliling sekian jauh, bahkan lebih jauh dari hari biasanya.
Matahari sudah mulai meninggi, biasanya dagangannya sudah laku lebih dari separoh. Sampai siang dagangannya akan habis.
Tapi hari ini tak ada satupun orang-orang yang mau melirik dagangannya, bahkan pelanggan yang biasanya setiap hari membeli kue nya, hari ini tidak ada yang membeli.
"maaf, dek. Tadi Ibu udah beli kue di warung.." salah seorang Ibu langganannya beralasan. Gadis kecil itu hanya menghela napas, dia melanjutkan langkahnya.

Tapi gadis kecil itu belum berputus asa. Dia terus menangkah sambil menjajakan dagangannya.
"kue, kue..." serunya disepanjang gang yang ia lewati. Namun tetap saja tidak ada satu pun yang memanggilnya untuk membeli.
Gadis kecil itu merasa lelah, kemudian ia istirahat sejenak di ujung gang, tak jauh dari jalan besar. Hiruk pikuk kendaraan terdengar sangat ramai di telinganya.
Kue-kue nya sudah mulai dingin.

Tiba-tiba seseorang menyentuh pundaknya. "adek jualan kue?" tanya orang itu pelan.
Gadis kecil itu menatap kearah orang itu, seorang laki-laki muda dengan pakaian rapi, duduk disampingnya.
Gadis itu menggangguk. "boleh saya coba?" tanya laki-laki itu lagi.
"boleh om.." balas gadis itu, sambil membuka tutup keranjang tempat kuenya.
Laki-laki itu mengambil sebuah kue tersebut dan mulai memakannya.
"hhmm.. enak kuenya.." ujar laki-laki itu, "kamu jual berapa satu bijinya?"
"seribu, om.." jawab Gadis itu tersenyum senang.
"oh.. siapa yang bikin?" tanya laki-laki itu lagi, sambil terus mengunyah.
"Ibu, om.."
"kamu gak sekolah?"
"gak, om. Kata Ibu, biar adik-adik saja yang sekolah.."
"adik kamu ada berapa?"
"dua, om. Yang kecil belum sekolah. Yang satu udah kelas dua SD."
"kamu usianya berapa?"
"sepuluh tahun.."
"selain buat kue, Ibu kamu kerja apa?"
"Ibu gak kerja. Ibu hanya bisa bikin kue."
"kenapa?"
"Ibu mengalami kecelakaan dua tahun yang lalu. Kakinya harus di amputasi. Sekarang Ibu gak bisa jalan. Ibu hanya bisa bikin kue dirumah, sambil saya bantu."
"Ayah kamu?"
"udah meninggal, om. Waktu kecelakaan sama Ibu.."
Laki-laki itu menatap gadis itu dengan rasa iba.

"kamu gak malu, jualan seperti ini?" tanya laki-laki itu lagi.
"gak, om. Kata Ibu, yang penting kita gak mengemis.."
"tadi saya lihat kamu murung. Kenapa?"
"hari ini kue saya belum ada yang beli. Padahal Ibu lagi butuh tambahan uang, buat bayar kontrakan."
Laki-laki itu manggut-manggut kecil. Rasa iba nya semakin menjadi. Ia membayangkan anak sekecil itu sudah harus bersusah payah untuk mencari uang, dengan berjualan kue keliling. Semua itu ia lakukan untuk membantu Ibunya yang cacat.
Laki-laki itu berpikir keras sejenak.

"kamu lihat toko diseberang sana?" tanya laki-laki itu kemudian.
Gadis kecil itu hanya mengangguk. Ia melihat dis seberang ada sebuah toko roti yang sedang ramai.
"itu toko om.." ujar laki-laki itu lagi.
Gadis kecil itu tertunduk, ia tatap kue-kuenya. Tentu saja, dibandingkan roti-roti yang ada di dalam toko tersebut, kuenya tidak ada apa-apanya.
"roti-roti disana pasti mahal-mahal, om. Tapi masih banyak yang beli. Saya hanya jual kue ini seribu, tetap saja tidak ada yang mau beli.." ucap gadis itu lemas.

Laki-laki muda itu menyentuh pundak gadis kecil itu. "berdagang itu, bukan hanya soal harga. Tapi juga kualitas.."
"tapi kue buatan Ibu ku enak kok, om. Banyak yang bilang begitu.." balas gadis itu sedikit sengit.
"iya. Om tahu. Kue kamu memang enak. Tapi pembeli juga melihat kemasannya. Kamu jualan kue hanya memakai keranjang begini. Orang-orang jadi ragu, kue kamu itu bersih atau tidak."
"bersih kok, om.."
"iya. Itu menurut kamu. Tapi tidak semua orang menilainya begitu.."
"selama ini orang-orang banyak yang beli kue saya, hari ini saja yang belum laku.."
"itu karena orang-orang banyak yang kasihan melihat kamu. Masih kecil begini sudah jualan kue. Lagian yang beli pasti kebanyakan orang-orang yang sudah tahu kondisi keluarga kamu.." ucap laki-laki itu pelan.

Gadis kecil itu hanya termangu. Mencoba memahami ucapan laki-laki itu barusan. Harus ia akui, kalau selama ini yang beli kuenya memang orang-orang yang tinggal di komplek perumahannya, dan sebagian besar memang orang-orang yang sudah ia kenal.
"itu namanya strategi pemasaran. Ibu kamu memanfaatkan kamu untuk menjajakan kue, agar orang merasa kasihan dan akhirnya membeli kue kamu.."
"tapi, om.."
"iya. Om tahu. Ibu kamu memang tidak bermaksud begitu. Tapi itu adalah fakta yang terjadi." potong laki-laki itu cepat. "Ibumu gak salah. Kamu juga gak salah. Keadaanlah yang memaksa kalian untuk melakukan semua itu. Om ngerti.." lanjutnya.

Gadis kecil itu terdiam kembali. Otak kecilnya mencoba memahami maksud dari semua perkataan laki-laki muda tersebut. Ada perasaan tersinggung di hati kecilnya. Tapi ia hanya tetap diam.
"lalu sampai kapan kalian akan bertahan dengan kondisi seperti itu?" tanya laki-laki itu.
Gadsi kecil itu hanya menggeleng. Ia tidak mengerti. Yang ia tahu, ia harus berjualan setiap hari, agar bisa menghasilkan uang untuk membeli keperluan hidup mereka sehari-hari. Walau hasil dagangannya hanya bisa untuk membeli bahan-bahan untuk membuat kue, dan sisanya akan habis menjelang malam. Selalu begitu setiap hari. Sementara kebutuhan mereka semakin hari semakin banyak. Tapi gadis itu tidak berpikir sampai sejauh itu. Dia hanya seorang gadis kecil yang berusaha membantu Ibu dan adik-adiknya agar tetap bisa menghasilkan uang.

"kita sama-sama menjual kue. Cuma bedanya, saya memasarkannya dengan cara yang modern. Dan kamu memasarkannya dengan cara tradisional. Tentu saja hasilnya akan jauh berbeda.." laki-laki itu berucap lagi, sambil menatap gadis itu lama.
"maafkan om, ya. Om tidak bermaksud apa-apa. Om hanya mengajarkan kamu beberapa hal dalam hidup. Selain bekerja keras, hidup juga harus cerdas.."

"dulu waktu masih sekolah, saya juga cerdas, om. Saya selalu rangking satu di kelas.." ucap gadis itu, dengan sedikit bangga.
Laki-laki itu tersenyum. "tapi nyatanya sekarang kamu hanya jualan kue, kan?"
Gadis kecil itu tertunduk lesu. "itu artinya kamu belum benar-benar cerdas.." laki-laki itu melanjutkan ucapannya.

"kamu tahu, bagaimana caranya agar kamu semakin cerdas?"
Gadis itu menggeleng lemah.
"kamu harus sekolah!" jawab laki-laki itu.
"saya pengen banget sekolah, om. Tapi kalau saya sekolah, siapa yang bantu Ibu buat jualkan kue-kue nya. Lagi pula Ibu juga tidak mampu bayar sekolah saya.." gadis kecil itu berkata lagi dengan wajah murung.
"kamu mau sekolah lagi?" tanya laki-laki itu.
Gadis itu hanya mengangguk lemah. Ia sadar betul, impiannya untuk bisa sekolah lagi tidak mungkin bisa terwujud. Meski sudah hampir dua tahun ini ia selalu berharap bisa sekolah lagi.
"kamu mau, om kasih tahu caranya, agar bisa sekolah lagi, tapi tetap bisa bantu Ibu kamu berjualan kue?" tanya laki-laki itu dengan mimik serius.
Gadis itu mengangkat kepalanya dan menatap laki-laki itu cukup lama.
"gimana caranya, om?" tanya gadis itu.

"setiap pagi kamu bawa kue jualan yang dibuat Ibu kamu ke toko seberang sana. Kamu titip kue kamu di toko itu, nanti saya suruh karyawan saya membungkus kue kamu dengan rapi, agar lebih menarik. Kue kamu saya beli seribu perbijinya. Saya jual lagi seribu lima ratus, untuk upah bungkusnya. Dan sepulang sekolah kamu bisa mampir lagi ke toko, untuk mengambil uang hasil penjualan kue kamu hari itu. Semakin banyak kue yang kamu jual, semakin besar keuntungan yang kamu dapat."
Gadis itu mengangguk kecil, mencoba memahami lagi setiap kalimat yang diucapkan laki-laki muda tersebut. Meski sedikit bingung, tapi gadis itu paham apa yang dimaksud laki-laki itu.

"lalu sekolah saya, om?" tanyanya.
"kamu gak usah kuatir. Gak usah memikirkan soal biaya sekolah kamu juga. Om yang akan urus semuanya. Om akan membiayai sekolah kamu, sampai kamu bisa mandiri. Dan tolong sampaikan sama Ibu kamu, agar membuat kue lebih banyak dari biasanya serta buatlah kue dengan berbagai jenis.." ucap laki-laki itu sambil mengusap lembut kepala gadis kecil itu.

Setelah berpikir sejenak. Gadis itu akhirnya tersenyum lebar. "ini benaran kan, om?" tanyanya, "saya bisa sekolah lagi..?" lanjutnya sedikit girang.
Laki-laki itu tersenyum lembut dan mengangguk.
"terima kasih, om.." ucap gadis kecil itu, sambil berusaha memeluk laki-laki itu.
Laki-laki muda itu merangkul gadis kecil itu, matanya berkaca. Ia terharu melihat betapa gembiranya gadis kecil itu bisa sekolah lagi.
"dan hari ini, kue kamu om borong semua, biar Ibumu bisa bayar kontrakan." ucap laki-laki itu sambil melepaskan dekapannya. "tapi kamu harus janji sama om. Kalau kamu harus belajar dengan rajin. Dan kamu harus jadi anak yang cerdas.."
"iya, om. Saya akan belajar yang rajin, agar menjadi anak yang cerdas.." Gadis itu berkata penuh semangat.

**************

Gadis kecil penjual kue itu, berlari-lari kecil menuju komplek perumahannya, sambil sedikit bersenandung riang. Hatinya begitu bahagia. Akhirnya ia bisa sekolah lagi, sambil tetap bisa bantu Ibunya berjualan. Ia ingin cepat pulang, ia ingin cepat sampai di rumah. Ia ingin segera menceritakan semua kabar gembira yang ia dapat hari ini, kepada sang Ibu.
Ibunya pasti sangat senang. Pikir gadis kecil itu, sambil terus melangkah.

Sementara itu, dari kejauhan laki-laki muda tersebut menatap kepergian sang gadis dengan perasaan  campur aduk. Air mata yang tadinya ia tahan, akhirnya menetes perlahan membasahi pipinya. Pikirannya menerawang. Ia teringat kembali peristiwa dua tahun silam. Peristiwa yang terus membebaninya selama dua tahun ini.

Peristiwa itu terjadi begitu cepat. Ketika waktu itu laki-laki muda tersebut harus buru-buru pulang kembali, walau ia baru saja sampai ke tokonya. Karena ia baru saja dapat kabar dari Ibunya, kalau Ayahnya tiba-tiba terkena serangan jantung dan harus segera di bawa ke rumah sakit.
Laki-laki muda tersebut menyetir mobilnya dengan kecepatan penuh dan dengan perasaan cemas, takut ia terlambat sampai ke rumah. Sehingga tanpa ia sadari, sebuah sepeda motor, tiba-tiba muncul dari sebuah gang yang membuat laki-laki muda itu kaget dan segera membanting stir mobilnya. Namun ternyata ia sudah terlambat, sepeda motor itu mengenai ban belakang mobilnya, sehingga mengakibatkan sepeda motor tersebut terlempar ke trotoar jalan.
Laki-laki itu semakin kaget, ia termangu beberapa saat. Namun kembali ia teringat akan Ibunya yang sedang menunggunya di rumah, untuk membawa Ayahnya ke rumah sakit.

Segera laki-laki menginjak pedal gas mobilnya lagi, tak pedulikan keadaan pengendara sepede motor yang menabrak mobilnya. Sekilas laki-laki itu melihat melalui spion mobilnya, orang-orang mulai berkerumunan mendekati pengendara sepeda motor yang mengalami kecelakaan tersebut. Laki-laki muda tersebut juga masih sempat melihat, kalau pengendara sepeda motor tersebut ialah seorang laki-laki yang membonceng seorang perempuan. Namun laki-laki itu, terus saja melaju menuju rumahnya, meski dengan perasaan penuh rasa bersalah.

Berbulan-bulan laki-laki muda itu berusaha mencari tahu, tentang korban kecelakaan pada hari itu. Akhirnya setelah dengan sangat susah payah, ia mendapatkan info tentang pengendara sepede motor tersebut, yang dikabarkan meninggal, sedangkan wanita yang diboncenginya mengalami cedera pada kakinya. Laki-laki itu tidak pernah menceritakan kejadian tersebut kepada siapa pun. Peristiwa hari itu, benar-benar membuat ia terguncang. Meski ia berhasil membawa Ayahnya ke rumah sakit, namun selang beberapa hari, Ayahnya pun akhirnya meninggal karena serangan jantung.

Perasaan sedih karena kehilangan Ayahnya, sekaligus perasaan bersalah karena telah mengakibatkan sebuah kecelakaan yang merenggut nyawa seseorang yang tidak bersalah, selalu menghantuinya sepanjang malam.
Diam-diam laki-laki muda itu, mencari tentang keberadaan wanita yang cedera tersebut. Sampai akhirnya ia tahu, kalau wanita itu ternyata mengalami cacat pada kakinya yang mengakibatkan ia tidak bisa berjalan.  Sementara wanita itu masih punya tiga anak yang harus ia besarkan tanpa suaminya yang telah meninggal.
Perasaan bersalahnya kian besar dari hari ke hari, namun ia tidak pernah tahu bagaimana caranya untuk menembus rasa bersalah tersebut.
Saat laki-laki muda itu tahu, kalau gadis kecil penjual kue tersebut adalah anak dari korban kecelakaan tersebut, ia berusaha mencari cara agar bisa membantu keluarga tersebut.

"gadis kecil penjual kue tersebut tidak boleh tahu. Mereka tidak boleh tahu, kalau aku adalah yang telah mengakibatkan gadis kecil itu kehilangan Ayahnya.." laki-laki itu membathin penuh penyesalan. "biarlah semua tetap seperti ini. Tidak ada yang perlu tahu, karena itu tidak akan merubah apa pun yang telah terjadi.." bathinnya lagi, sambil melangkah meninggalkan gang tersebut menuju tokonya.

Sekian...

Cari Blog Ini

Layanan

Translate