Kisah Sedih : Istriku memilih untuk pergi saat aku sedang terpuruk... (part 1)

Aku menghembuskan napas berat, hatiku terasa teriris. Dengan rasa tak percaya, kutatap raut wajah istriku.
"kenapa?" tanyaku akhirnya, dengan suara pelan.
"aku lelah, mas. Aku sudah memikirkan ini satu bulan lebih. Ibu juga sudah setuju." jawab istriku, raut mukanya menunjukkan keseriusan.
Aku meremas jemariku, mencoba menahan gejolak emosi. "lalu bagaimana dengan Azzam?" suaraku bergetar.
"Azzam akan baik-baik saja. Ibu dan Bapak sangat menyayanginya."

Aku menarik napas lagi, lebih panjang. Kutatap kembali lembaran kertas, yang istriku letakkan diatas meja reot ruang tamu kami.
"dan kalau aku gak mau?" aku membesarkan volume suaraku.
"terserah kamu, mas. Tapi yang pasti keputusanku sudah bulat. Tak peduli kamu mau atau tidak." istriku menjawab dengan sinis. Ia duduk diatas kursi tamu, menatapku yang duduk tersandar ke dinding.
Sekali lagi kutatap wajah cantik istriku. Wajah cantik dengan senyum manisnya, yang dulu membuat aku jatuh cinta padanya. Aku masih ingat waktu pertama kali kami berjumpa, kurang lebih tujuh tahun yang lalu. Waktu itu aku masih berusia 21 tahun, masih sangat muda. Demikian juga istriku waktu itu, baru berusia 19 tahun. Kami bertemu di acara pesta pernikahan seorang teman. Berawal dari saling lirik, saling senyum dan kemudian saling tertarik. Istriku yang waktu itu, bekerja pada sebuah wedding Organizer, yang kebetulan pada saat itu, menghandle pernikahan temanku.

"Dewi.." lembut ia menyebut namanya, saat kami saling berjabat tangan berkenalan.
"Alif!" aku membalas dengan tegas.
Sejak saat itu, kami menjadi dekat dan sering bertemu. Dewi yang seorang perantau, baru satu tahun ia tinggal di kota ini.
Aku sendiri juga baru beberapa bulan tinggal dikota ini, kebetulan aku baru mendapatkan pekerjaan sebagai seorang satpam disalah satu Bank swasta.
Sebagai sama-sama perantau dan jauh dari keluarga, membuat kami bisa saling mengisi. Kami benar-benar saling tertarik dan jatuh cinta.

Karena sudah merasa cocok, belum genap tiga bulan kami berpacaran, kami sepakat untuk melanjutkan hubungan kami ke jenjang pernikahan.
"kamu yakin, Lif? Kamu kan masih 21 tahun." Terdengar suara berat Ibu, ketika aku menyampaikan keinginanku. Dewi dan aku memang sepakat untuk segera menikah, untuk itu kami pun memutuskan untuk pulang ke kampung halaman masing-masing, untuk menyampaikan niat kami.
"Alif yakin, Buk." jawabku tegas, sambil menatap gambar Bapak yang terpajang rapi di dinding, kulihat Bapak tersenyum. Bapak meninggal dua tahun lalu, saat aku baru lulus SMA. Karena itu, aku tidak bisa melanjutkan kuliah. Aku harus mencari pekerjaan, setidaknya untuk membantu Ibu.
Kemudian seorang teman, mengajak aku bekerja sebagai seorang satpam di kota, dengan berat hati Ibu melepaskan kepergianku.

"ya, gak apa-apa toh, Buk. Lagian Alif juga sudah kerja di kota. Biar ada yang ngurus dia juga." kak Ning, kakakku satu-satunya itu, ikut menimpali. Ia sendiri menikah pada umur 19 tahun dan sekarang sudah punya dua anak.
"ya, Ibu sih, terserah kamu, Lif. Kalau kamu memang sudah merasa cocok dan siap. Ibu dan keluarga pasti merestui."
"iya, Buk." jawabku lugas.

Begitulah akhirnya, aku dan Dewi menikah dengan cara sangat sederhana. Kami terpaksa menikah dikota, karena orangtua Dewi sebenarnya tidak menyetujui pernikahan kami. Namun kami sudah sepakat, apa pun yang terjadi kami harus menikah. Pernikahan kami hanya dihadiri oleh beberapa orang teman, dan dari pihak keluargaku sendiri, hanya ada kak Ning dan Ibu yang bisa datang, karena keterbatasan ekonomi dan juga jarak yang sangat jauh.

Setelah menikah, kami menyewa sebuah rumah kontrakan kecil tak jauh dari tempat aku bekerja. Dewi sendiri memutuskan untuk behenti bekerja, ia ingin fokus mengurus keluarga katanya. Selain itu, upah yang ia terima dari tempat ia bekerja juga tidak seberapa. Aku setuju saja, toh gajiku sebagai satpam sudah cukup untuk membiayai kehidupan keluarga baru kami. Kehidupan kami sangat sederhana, namun kami sangat bahagia. Kami saling mencintai dan saling menyayangi. Hari-hari yang kami lalui terasa indah dan membahagiakan.
Setahun kemudian Dewi melahirkan anak pertama kami, Azzam. Kebahagiaan kami semakin terasa lengkap. Kehadiran Azzam membuat rumah tangga kami, semakin berwarna. Meski tak bisa kupungkiri, kadang ada pertengkeran-pertengkaran kecil terjadi diantara kami. Namun selama itu, kami masih bisa saling mengerti.
Satu hal yang aku tahu, namun Dewi tak pernah mengungkapkannya padaku. Bahwa ia rindu kedua orangtuanya, tapi keputusannya untuk nekat menikah denganku, telah membuat ia harus menahan semua kerinduan itu.
Aku selalu berusaha menghibur Dewi, agar ia tidak terlalu larut dalam kesedihannya. Aku yakin, suatu saat nanti, kedua orang tua Dewi akan merestui juga pernikahan kami.

Satu tahun usia Azzam, aku mendapat kabar dari kampung, kalau Ibuku sakit parah dan akhirnya wafat. Aku pulang kampung, namun tak sempat melihat wajah terakhir Ibuku. Aku hanya bisa menangis dipusaranya. Sekali lagi, aku harus kehilangan orang yang aku sayang. Rasanya hatiku begitu perih. Air mata ku tak sadar pun menetes. Apa lagi mengingat, bahwa aku bahkan belum bisa membahagiakan Ibu.
"kamu yang sabar ya, dik.." lembut suara kak Ning ditelingaku. Ia mengusap air matanya sendiri. Biar bagaimanapun, kak Ning lah orang yang paling dekat dengan Ibu selama ini, ia pasti sangat kehilangan.
Aku hanya mengangguk, namun air mataku terus menetes. Aku seakan enggan beranjak dari pusara itu, namun bang Afwan, suami kak Ning, segera menarik tanganku lembut. Aku pun melangkah tertatih menuju rumah.

Aku hanya berada beberapa hari dikampung, karena aku harus segera masuk kerja. Lagi pula istri dan anakku tidak bisa ikut, karena mengingat jarak yang jauh dan keterbatasan keuangan yang kami miliki.
Aku kembali ke kota, dan berusaha tegar menjalani hari-hariku lagi. Keberadaan Dewi dan Azzam cukup membuatku terhibur dan nyaman.

Hari-hari berlalu seperti biasa. Azzam tumbuh dengan lincah, sekarang usianya sudah hampir empat tahun. Semuanya baik-baik saja, meski kehidupan kami cukup sederhana, dan masih tinggal dirumah kontrakan kecil.

Namun hari-hari indah ternyata tidak berlangsung lama. Tiba-tiba Bank tempat aku bekerja jadi satpam, mengalami masalah dan akhirnya harus tutup. secara otomatis aku harus kehilangan pekerjaanku. Dunia terasa berputar kurasa saat itu, aku kehilangan arah.
Sebagai seseorang yang hanya lulusan SMA dan tidak punya skill apa-apa, tidaklah mudah mendapatkan pekerjaan dikota. Dan begitulah kondisi yang aku alami saat ini. Satu bulan menganggur, semua masih bisa teratasi. Istriku masih punya simpanan, untuk bayar kontrakan dan biaya makan kami bertiga. Namun memasuki bulan kedua, keadaan rumah menjadi berubah. Kami sering bertengkar tanpa sebab. Aku kadang sengaja pergi selama beberapa hari tak pulang, hanya untuk menghindari perdebatan dengan istriku.

"sampai kapan kamu seperti ini, mas? luntang lantung gak jelas.." ucap istriku suatu hari.
Aku hanya diam. "Sudah hampir tiga bulan kamu nganggur dan tak menghasilkan apa-apa," lanjutnya. "aku sudah tidak punya simpanan lagi. Buk Ros, pemilik kontrakan sudah dua kali datang kerumah. Katanya dia hanya akan beri kita waktu sampai minggu depan..."
Aku hanya tergugu, mendengar itu semua. Aku bukannya tak berusaha. Berbagai tempat telah aku jelajahi untuk mencari pekerjaan. Dari mencari pekerjaan jadi kuli, pelayan rumah makan atau tukang parkir pun, aku tetap tidak mendapatkannya.
Aku bahkan sempat terpikir untuk mencuri atau bahkan merampok, tapi untunglah aku tidak punya bakat untuk itu.

Sekarang aku benar-benar tidak tahu harus berbuat apa lagi. Aku tidak pernah memikirkan hal ini sebelumnya. Aku pikir semuanya akan lancar dan baik-baik saja. Aku pikir hidup akan semulus itu.
"aku ingin pulang ke tempat Ibu, mas.." istriku akhirnya berujar lagi, setelah melihat keterdiamanku.
Pelan aku melirik istriku. Keningku berkerut.
"kenapa?" tanyaku.
"aku malu, mas. aku gak sanggup lagi menghadapi ini semua..." suara istriku parau.
"kita akan menghadapinya bersama-sama, Wi.." bujukku.
"kamu enak, mas. Bisa pergi-pergi.."
"tapi aku kan cari kerjaan.."
"tapi gak dapet-dapet sampai sekarang kan, mas. Orang-orang sudah mulai ngomongin kita. Aku malu. Kita tidak punya apa-apa lagi sekarang..."
"jangan pedulikan omongan orang-orang.." ucapku mengalihkan pandangan ke depan.
"tapi aku kepikiran, mas. Pokoknya aku ingin ke rumah Ibu saja.." suara istriku mulai meninggi.
Aku hanya membanting pintu masuk ke kamar, aku dengar istriku menggerutu gak jelas.

Esok paginya, aku lihat istriku sudah membawa koper dan beberapa tas keluar. "kamu mau kemana?" tanyaku, sambil mencekal langkah istriku yang sedang menggandeng tangan Azzam.
"aku sudah bilang, aku mau pulang kampung saja.."
"sekarang?"
istriku mengangguk.
"emang kamu punya uang untuk ongkos?"
"aku sudah jual handphone ku, mas.."
Aku tertunduk lesuh, keputusan istriku sudah bulat. Percuma juga aku mencegahnya. Aku tahu betul tabiat istriku.
"kamu akan cerita tentang kita sama orangtua kamu?" tanyaku berusaha lembut.
"jika terpaksa.."
"aku ikut ya?" balasku sedikit menghiba. Aku merasa begitu rapuh, saat ini aku benar-benar butuh dukungan, terutama dari orang-orang terdekatku. Saat ini aku tidak punya siapa-siapa lagi, kecuali mereka berdua, istri dan anakku.
"mas tahu, kan. Dari awal pernikahan kita, Ibu dan Bapakku sudah tidak setuju. Kalau kamu ikut, itu akan menambah runyam keadaan. Aku juga pulang, belum tentu diterima, kok."
Kembali aku terdiam. Istriku benar. Mungkin lebih baik baginya, untuk kembali ke orangtua nya saat ini. Setidaknya sampai aku mendapatkan pekerjaan, sampai keadaan ini membaik.
Aku menatap kepergian istri dan anakku dengan mata berkaca. Biar bagaimanapun ini salahku. Aku yang harus bertanggungjawab untuk mereka. Tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku benar-benar tidak berdaya. Tanpa sadar air mata ku pun menetes.

*******

Pagi sekali, pintu kontrakanku digedor-gedor. Dengan rasa malas aku bangun dan menuju pintu depan.
"sudah ada uangnya?" suara kasar buk Ros menyemprotku.
Aku hanya menggeleng.
"ya udah. Kamu silahkan beres-beres barang kamu sekarang.."
"tapi buk, aku..."
"gak ada tapi-tapian. Kamu belum bayar sewa sudah tiga bulan, lho."
"Dua bulan, buk.." suaraku pelan.
"iya, seminggu lagi jadi tiga bulan.." suara buk Ros semakin meninggi.
"saya janji, buk. Seminggu lagi saya bayar semuanya.." ucapku berusaha meyakinkan buk Ros.
"aku tuh, sebenarnya kasihan sama kamu, Lif. Tapi kalau seminggu lagi gak bayar sepersenpun, maka dengan sangat terpaksa aku akan bawa orangku untuk mengusir kamu dari kontrakan ini!" buk Ros nyerocos sambil berlalu pergi.

Aku menarik napas panjang, sudah sebulan istriku pergi, buk Ros sudah tiga kali datang kerumah. Aku bertahan hidup dengan bekerja jadi kuli cucian motor di tempat mang Rohim, cukup untuk makanku sehari-hari, tapi tetap tak cukup buat bayar kontrakan.
Aku berjalan gontai menuju kamar mandi, tiba-tiba aku dengar lagi ketukan dipintu kontrakan. Aku berbalik lagi, kupikir buk Ros balik lagi. Kubuka pintu perlahan, bersiap-siap terkena makian lagi.
"Dewi?" keningku berkerut, tak percaya. Aku melihat Dewi berdiri di depan pintu, keadaannya jauh lebih baik dari sejak kepergiannya sebulan lalu. Aku menatap sekelilingnya, "mana Azzam?" tanyaku lagi, melihat Dewi hanya berdiri sendirian. Tiba-tiba aku merasa kangen dengan anakku, sudah sebulan aku tak mendengar celotehannya.
"Azzam gak ikut. Ia tinggal disana, dirumah mbahnya." Dewi akhirnya menjawab, ia beranikan menatap kearah wajahku yang berantakan. "aku kesini hanya mau bicara."
"maksud kamu?"
Dewi menyerahkan sebuah map, berisi selembar surat, ia duduk dikursi tamu rotan rumah kontrakan kami. Aku membuka map itu dan membaca isi suratnya,
"aku ingin cerai, mas." belum selesai aku membaca isi surat itu, Dewi sudah memperjelas isinya. Untuk sesaat, aku hanya terpaku. Tak percaya. Tak tahu juga harus berkata apa. Seisi dunia seakan runtuh bagiku. Aku terduduk dilantai. Menyandarkan punggungku di dinding. Berharap dinding itu bisa membantuku memikul semua beban ini.

"sekali lagi terserah kamu, mas. Aku juga tidak peduli. Tapi jika kamu tidak tanda tangani surat cerai itu, jangan harap kamu bisa bertemu Azzam lagi.." suara tegas Dewi kembali mencabik hatiku. Aku ingin marah. Tapi dengan kondisi seperti ini, aku sadar betul, kemarahanku justru hanya akan memperburuk keadaan. "aku tinggalkan surat ini, nanti kalau kamu sudah tanda tangan, kamu bisa kirim lewat pos, alamatnya ada disitu.." Tiba-tiba Dewi bangkit, ia melangkah keluar dari rumah dan berjalan menuju taksi yang sudah menunggunya dari tadi.

******

Seminggu aku hanya mengurung diri di kamar. Hatiku benar-benar hancur. Hidupku kacau. Sekarang aku bahkan tidak punya apa-apa. Aku juga tidak punya semangat dan harapan. Semuanya benar-benar berantakan. Tak kusangka pernikahanku akan berakhir dengan setragis ini. Berkali-kali kutatap surat yang ditinggalkan Dewi. Rasa rindu menyeruak di dadaku. Aku rindu anakku, aku rindu istriku, aku rindu suasana bahagia dirumah sederhana ini. Air mataku menetes lagi, entah sudah berapa kali aku menangis dalam seminggu ini. Hatiku perih.
Aku merasa lemah, tak berdaya untuk mempertahankan rumah tangga kami.
Suara ketukan terdengar sangat keras dipintu, aku bergegas berdiri. Aku tahu itu buk Ros, sudah seminggu, dia pasti ingin menagih.
Wajah garang buk Ros menatapku. Aku hanya terdiam.
"sudah seminggu. Jika kamu belum punya uang juga, kamu boleh kemasi barang-barangmu dan silahkan pergi dari sini." Suara buk Ros, lantang. Beberapa tetangga nongol keluar.

Aku masuk ke dalam, tidak ada barang apa-apa dirumah ini sekarang. Semua sudah terjual, TV, kulkas, kipas angin, semuanya. Aku hanya mengemasi pakaianku yang sudah sebulan tidak dicuci. Aku masukan pakaian itu ke dalam tas bututku. Aku memang harus pergi, aku tak berhak lagi tinggal disini. Lagi pula Dewi juga sudah pergi, ia tidak akan pernah kembali lagi.
Aku melangkahkan kakiku pelan, meninggalkan rumah kontrakan penuh kenangan itu. Diiringi tatapan para tetangga yang sebagian sudah tahu cerita pilu keluarga kami.
"ingat, ya. Kamu masih punya hutang 3 bulan, lho.." suara buk Ros terdengar lagi. Aku tak menghiraukannya, aku terus saja melangkah meski aku tidak tahu, harus kemana.

********

Langkah ku gontai, kaki ku terasa mulai keram dan kesemutan. Aku sudah berjalan cukup jauh, tanpa arah. Aku benar-benar terpuruk. Aku hempaskan pantatku diatas sebuah bangku taman, yang ada dipinggiran jalan. Kepala ku nyut-nyutan, cacing dalam perutku sudah dari tadi berperang meminta makan. Aku tidak punya uang sepersen pun.
Terpikir olehku, untuk pulang ke kampung. Tapi di kampung aku juga tak punya siapa-siapa, selain kak Ning. Dan aku tahu betul, bagaimana kehidupan ekonomi kak Ning, suaminya hanya seorang buruh. Aku tak ingin menambah beban mereka. Lagi pula aku pun toh, tak punya uang untuk ongkos pulang.
Aku memejamkan mataku, mencoba menahan segala perih yang ada. Perihnya rasa lapar, perihnya luka yang menggores hatiku. Badanku terasa lemas tak berdaya.

Beberapa menit aku terlelap, saat tiba-tiba aku merasa ada cipratan air diwajahku. Aku membuka mata, ternyata hari sudah mulai hujan, makin lama makin lebat. Aku berlari menuju teras ruko yang berjejeran, senja mulai meremang. Aku berteduh di teras sebuah kafe, yang membuat rasa laparku kian menjadi.
"Hei! Ngapain kamu disitu?!" sebuah suara lantang menahan gerakanku untuk duduk, aku berpaling menatap kearah suara itu. Seorang laki-laki tua berpakaian satpam berdiri tak jauh dari situ.
"aku hanya mau numpang berteduh, pak..." balasku ringan.
"Iya. Tapi jangan disitu!" suara itu masih lantang.
Aku hendak melangkah pergi menempuh hujan yang sangat lebat itu, sampai tiba-tiba seorang laki-laki keluar dari balik pintu masuk kafe.
"ada apa, pak Kardi?" tanya laki-laki  itu, pada satpam tersebut.
"orang ini, pak. Ia berteduh disini.." balas satpam itu dengan sedikit hormat, suaranya pelan.
"biarkan aja, pak. gak apa-apa. Hujan lebat gini, kan?!" laki-laki itu berujar, sambil melangkah mendekati kami.
Mendengar perkataan laki-laki tersebut, aku urungkan langkahku.

"kamu gak apa-apa?" tanya laki-laki itu padaku, ia mendekat.
Aku hanya menggeleng. Kemudian dengan sedikit berani aku melihat kearah laki-laki yang baik itu.
Laki-laki itu mengerutkan kening, seperti sedang mengingat sesuatu. Tangan kanannya terangkat, dan diacungkannya jari telunjuk kearahku, sambil berkata, "Alif? Kamu Alif, kan?"
Kembali aku menatap laki-laki itu, mencoba mengenalinya. Tapi pikiranku memang sedang tidak fokus. Aku tak mengenalinya. Tapi refleks aku pun mengangguk.
"kamu gak ingat saya?" laki-laki itu bertanya lagi, dia melangkah semakin dekat, dia hanya berdiri satu langkah lagi didepanku. Aku tatap wajah itu, lalu menggeleng.
"Saya Bayu!" ucapnya. Puluhan nama Bayu berkeliaran dibenakku, tapi tidak ada satupun yang menggambarkan orang didepanku. "Bayu teman SMA mu, Lif!" laki-laki itu melanjutkan, melihat aku hanya terbengong.

"Bayu! Bayu Prawijaya?!" suaraku lantang. Laki-laki itu mengangguk.
"Alif Budiman! Ha..ha..a" laki-laki itu tertawa, sambil melangkah mendekat, tiba-tiba ia mendekapku. Aku spontan kaget, tapi berusaha membalas dekapannya.
"apa kabar kamu, Lif?" tanyanya setelah melepaskan dekapannya.
Aku berusaha bersikap tenang. "baik.." jawabku singkat. Aku berusaha tersenyum, namun suasana hatiku tidak berhasil membuatku benar-benar tersenyum. "kamu?" tanyaku.
"Alhamdulillah, beginilah keadaanku sekarang. Sangat baik.." Bayu menyentuh bahuku pelan, "aku senang bisa bertemu kamu akhirnya, Lif." ia melanjutkan.
"aku juga.." balasku. Tapi seharusnya tidak dalam keadaan seperti ini. Bathinku.

"kamu mau kemana?" tanya Bayu lagi, menatap tas yang ada dilantai teras.
Aku tergagap, tak bisa menjawab.
"kita ngobrol di dalam aja yuk, Lif!" Bayu menawarkan. Kemudian tanpa menunggu jawabanku, ditariknya tanganku masuk ke dalam kafe. "tasnya dibawa aja.." lanjutnya.

Kami duduk di salah satu meja yang berada di sudut kafe. Bayu menawarkanku beberapa menu hidangan makanan dan minuman, "udah tenang aja, aku yang traktir, kok!" ucapnya melihat aku hanya menatap menu tersebut. Aku kemudian memilih beberapa makanan dan minuman yang menurutku tidak terlalu mahal.
"sudah berapa tahun kita gak ketemu?" Bayu memulai pembicaraan, sambil menunggu pesanan kami datang. "delapan atau sembilan tahun?" lanjutnya. "cukup lama, ya?"
Aku hanya tertunduk. Bukannya aku tak senang bertemu Bayu. Namun kondisi ku saat ini, benar-benar membuatku merasa tak nyaman. Perutku terasa melilit menahan lapar. Aku merasa pesanan kami terlalu lama datang.

"kamu kenapa, Lif?" suara Bayu mengagetkanku lagi.
"oh. gak apa-apa, Bay." timpalku cepat, aku takut Bayu menyadari akan ketidaknyamananku. Sekuat mungkin aku menahan rasa laparku dan mencoba tersenyum.
"kamu udah nikah?" tanya Bayu lagi.
Aku mengangguk.
"punya anak?"
"satu" jawabku singkat.
"baguslah!" ucapan Bayu membuatku mengernyitkan kening. "kupikir kamu gak laku, ha...ha.." Bayu melanjutkan sambil tertawa.
"Brengsek kamu, Bay." balasku mulai merasa nyaman. "kamu?"
"aku baru menikah setahun yang lalu, sekarang istriku lagi hamil besar.."
"oh. Berarti aku lebih duluan, ya..he..he.." ucapku sedikit bercanda.
"Iya. Kamu dari dulu memang selalu duluan, kan..?"

Bayu adalah sahabat karibku, semasa SMA. Ya, kami sangat dekat. Tak ada hari yang kami lewati tanpa bersama, baik disekolah maupun diluar sekolah. Bayu anak seorang pengusaha kaya, tapi dia tidak manja. Bayu tidak suka memamerkan harta orangtuanya. Dia selalu tampil sederhana. Aku suka berteman dengan Bayu, karena orangnya asyik. Suka bercanda. Dan yang paling penting ia suka membantu. Hanya saja, kalau urusan belajar, Bayu paling malas. Dia selalu berada dirangking paling bawah. Dan dia selalu mengandalkan aku untuk mendongkrak nilainya. Aku memang sering memberinya contekan. Maklum kamu duduk sebangku.
Kabar terakhir yang aku tahu, Bayu kuliah di Singapur. Tak kusangka kami akan bertemu disini, dengan keadaanku yang seperti sekarang ini.

"Bapak Ibu gimana kabar, Lif?" pertanyaan Bayu membuyarkan lamunanku.
"Bapak dan Ibu sudah meninggal, Bay." balasku pelan. Kulihat Bayu mengernyitkan kening.
"kapan?" tanyanya.
Sebelum aku sempat menjawab, pelayan sudah datang membawakan pesanan kami.
"bapak meninggal tujuh tahun lalu, Ibu udah empat tahun.."
"oh. Turut berduka cita ya, Lif.." aku menganggukkan kepala, pelayan telah selesai menyajikan hidangan kami. Bayu dulu memang sering main kerumah, sering nginap dan makan juga.
"ayok, Lif. Dimakan" tawar Bayu.
Aku yang sudah menahan lapar dari tadi, segera menyantap hidangan tersebut. Dalam hatiku merasa bersyukur, setidaknya malam ini aku tidak akan kelaparan.

"ini kafe kamu?" tanyaku sekedar berbasa-basi. Aku melihat cara pelayan tadi memperlakukan kami.
Bayu mengangguk. "Iya. Inilah usahaku sekarang, Lif.." ucapnya. "aku udah punya lebih dua puluh cabang sekarang. Ada rencana mau buka satu cabang lagi, tapi masih dalam proses. Bangunan udah ada, cuma lagi cari orang yang bisa mengelolanya.."
Aku hanya menggangguk-angguk kecil, sambil menyantap makanan. Bayu memang selalu beruntung, terlahir dari keluarga kaya, dan sekarang punya usaha sendiri.
"tapi kamu jangan salah. Ini murni usahaku sendiri, tidak ada campur tangan papa. Kalau perusahaan papa, kan udah ada bang Hadi yang mengambil alih." ucap Bayu menjelaskan.
"tapi bukannya kamu kuliah diluar negeri ya?" tanyaku penasaran.
"Iya. Itu kan keinginan papa. Aku kuliah empat tahun di Singapur, kemudian lima tahun lalu aku balik ke Indonesia. Dan mulai buka usaha dari nol. Papa sempat tak setuju sih, awalnya. Tapi melihat keinginanku yang kuat dan usahaku yang cukup gigih, papa akhirnya memberikan aku kesempatan untuk berusaha sendiri. Dan sekarang papa sudah mengakui kehebatanku."

Aku mengunyah makanan terakhirku dan meneguk air putih yang aku pesan tadi. Bayu menatapku cukup lama. Kemudian berujar, "kamu belum jawab pertanyaanku yang tadi, Lif"
"pertanyaan yang mana?"
"kamu mau kemana?" tiba-tiba terasa ada yang menggores hatiku. Masalah perutku memang sudah teratasi, tapi masih begitu banyak masalah yang harus kuhadapi. Aku bimbang. Haruskah aku cerita sama Bayu. Meskipun kami dulu adalah sahabat, tapi setelah sekian tahun tak bertemu, rasanya sulit untuk terbuka lagi pada Bayu.

Dulu kami memang selalu terbuka dalam segala hal. Hampir tidak ada rahasia diantara kami. Tapi sekarang tentu semuanya sudah berbeda. Aku menarik napas panjang. Sulit untuk menjawab pertanyaan Bayu barusan.
"kamu ada masalah, Lif?" Bayu bertanya lagi, melihat aku hanya diam.
Aku tetap bungkam. Mulutku tiba-tiba kaku. Rasanya aku ingin manangis.

"kamu ingat Iren?' Tiba-tiba Bayu mengalihkan pembicaraan. Sepertinya dia paham, kalau aku tak bisa menjawab pertanyaannya.
"Iren?"
"Iya. Iren. Adik kelas yang sama-sama kita taksir."
"oh. ya. Ingat!" jawabku.
"dia sekarang kerja sama saya, jadi kasir di salah satu cabang kafe saya.."
Aku hanya membulatkan bibir. Aku tahu Bayu mengharapkan reaksi lebih. Tapi pikiranku benar-benar lagi kacau.

"selama sembilan tahun gak ketemu kamu, aku selalu ingat kamu, Lif. Kamu satu-satunya sahabat yang tak pernah aku lupakan." ucap Bayu pelan. "Kamu tahu, apa yang paling tidak bisa aku lupakan tentang kamu?" lanjutnya.
"apa?"
"papa selalu marah kalau aku mendapatkan nilai jelek, dan aku selalu dibanding-bandingkan dengan bang Hadi yang pintar. Karena kamu sering kasih aku contekan, nilaiku jadi bagus dan papa tak pernah marah-marah lagi, apa lagi membanding-bandingkanku dengan bang Hadi."

"kamu hebat, Bay." ucapku tanpa sadar, mengingat apa yang sudah dicapai Bayu saat ini.
"kamu harusnya lebih hebat lagi, Lif" balas Bayu, "kamu itu pintar, sejak kecil selalu juara kelas.."
Aku menggeleng lemah, "tapi aku tak seberuntung kamu, Bay." suaraku pelan. "aku gak bisa kuliah, karena bapak keburu meninggal. Aku hanya lulusan SMA. Apa yang bisa aku lakukan dengan ijazah itu?" keluhku, lebih kepada diriku sendiri.
"jadi kamu kerja apa sekarang?"
"sempat jadi satpam sih, Bay. Tapi karena Bank tempat aku bekerja ada masalah dan akhirnya tutup, aku sekarang jadi pengangguran.." tiba-tiba aku merasa lega, mengungkap itu semua.
Bayu menatapku lagi, dengan tatapan iba. Sebenarnya aku tak ingin dikasihani, tapi saat ini tak ada apa-apa yang bisa kupertahankan, sekalipun cuma sebuah gengsi atau pun harga diri.
"jadi sekarang kamu mau kemana?"  tanya Bayu lagi.
"entahlah Bay. Aku juga gak tahu harus kemana. Istriku memilih untuk pergi dan kembali ke orangtuanya, dia bawa anak kami. Dia memilih untuk pergi disaat aku benar-benar terpuruk dan butuh dukungan."
Bayu menatapku semakin iba. Tapi segera dia memalingkan wajahnya, melihat aku yang meliriknya.

"kamu mau kerja dengan saya?" Bayu bertanya setelah cukup lama kami terdiam.
Spontan aku menatap Bayu. Aku lihat ketulusan dimatanya.
"aku kenal kamu, Lif. Aku tahu bagaimana kamu. Kamu laki-laki hebat. kemiskinan tidak membuatmu menyerah untuk belajar. Kamu pintar. Kamu salah satu inspirasiku untuk belajar." suara Bayu terdengar datar, namun aku tahu ia tulus. "aku rasa kamu hanya belum menemukan passion kamu yang sebenarnya." lanjutnya.
"entahlah, Bay. Aku bingung. Aku tak tahu harus ngapain sekarang." keluhku.
"kalau kamu mau, kamu bisa mulai kerja sama saya. kebetulan saya mau buka cabang baru. Dan butuh banyak karyawan. Kamu bisa belajar disana. Dan kalau kamu nanti mampu, kamu bisa menjadi manager disana.."

Aku terharu mendengar penuturan Bayu. Tak kusangka Bayu masih begitu baik padaku, setelah kami terpisah sekian tahun.
"terima kasih, Bay. Saat ini aku tidak punya pilihan, selain menerima tawaran kamu. Gak harus jadi manager sih, jadi pelayan juga gak apa-apa. Yang penting aku punya penghasilan." ucapku parau. Mataku mulai berkaca. Jika tidak mengingat keadaan kafe yang mulai ramai, ingin rasanya aku menangis saat itu juga.

"Sekarang kamu tinggal dimana?" tanya Bayu pelan.
Aku hanya menggeleng, menahan haru dihatiku.
"kalau begitu untuk sementara kamu bisa tinggal dikamar atas. Diatas ada kamar kosong. Kamu bisa tinggal disana, sampai cabang kafe ku yang baru benar-benar udah buka. Dan untuk sementara, kamu bisa bantu-bantu disini. Nanti aku suruh pak Darman, mengurus segala keperluan kamu.."
Ucapan Bayu, benar-benar membuatku lega. Setidaknya aku sekarang sudah punya tujuan, meski belum begitu jelas.
Aku hanya bertekad untuk bangkit lagi. Dan mengembalikan semua yang telah pergi dariku. Aku yakin Dewi akan mau menerima aku kembali, kalau aku sudah punya penghasilan yang tetap.

Bersambung...

Sebuah Cerpen Jadul : Surat Cinta untuk Sandra ...

"Dear Arya ..."

Makasih ya, atas kiriman suratnya. Tapi maaf, Arya. Aku gak bisa. Bagiku kamu hanyalah sebatas seorang teman....
from ; Sandra.

Arya meremas surat itu dan melemparkannya ke keranjang sampah kamarnya. Sudah dua kali ia membacanya. Hatinya terasa perih. Singkat surat itu, namun mampu membuat Arya terluka cukup dalam. Hatinya terasa tercabik-cabik. Untuk pertama kalinya ia jatuh cinta, tapi justru rasa sakit yang harus ia terima.

Sungguh Arya tak menyangka, kalau selama ini Sandra menganggapnya hanya sebatas seorang teman. Padahal sudah berbagai cara Arya lakukan untuk bisa membuat Sandra suka padanya. Kedekatan mereka selama dua tahun ini juga sudah cukup untuk membuktikan kalau sebenarnya mereka berdua saling suka.

Perjumpaan mereka berawal sejak dua tahun lalu, saat mereka sama-sama terlambat pada hari pertama mereka masuk SMA Cendikia. Mereka mendapat hukuman untuk membersihkan seluruh toilet sekolah, dari senior mereka.
"Arya!" tegas ia menyebut namanya, saat akhirnya mereka berhasil menyelesaikan hukuman tersebut, mereka berjalan beriringan menuju kantin sekolah, dengan perasaan lapar dan capek. Hampir tiga jam mereka baru bisa menyelesaikan hukuman tersebut.
"Sandra.." Sandra membalas lembut, dan segera menarik tangannya. Sambil terus berjalan disamping Arya yang tinggi tegap.

Berawal dari perkenalan itulah, akhirnya membuat mereka menjadi akrab, meski mereka tidak satu kelas. Namun Arya merasa Sandra telah mampu memikat hatinya, bahkan sejak pertama melihat gadis itu. Sandra yang manis, baik, ramah dan juga pintar. Arya senang bisa berteman dengan Sandra.

Dan satu tahun belakangan ini, mereka kian dekat, karena sama-sama jadi pengurus OSIS di sekolah. Mereka sering jalan bareng, belajar bareng, dan main bareng. Arya merasa kedekatan mereka sudah cukup membuat ia yakin, kalau Sandra juga mencintainya. Untuk itu Arya nekat mengirimkan sebuah surat cinta untuk Sandra, yang isinya menyatakan kalau Arya telah jatuh cinta pada Sandra. Tapi balasan yang ia dapat, justru teramat sangat menyakitkan.

"kamu yakin, Arya?" Hadi teman satu kelas Arya bertanya padanya, saat ia meminta bantuan Hadi untuk memberikan surat tersebut pada Sandra.
Arya mengangguk pasti. Ia sengaja meminta tolong Hadi untuk memberikannya pada Sandra, karena ia tahu, rumah Hadi satu arah dengan Sandra. Lagi pula, hanya Hadi yang bisa ia percaya untuk urusan begituan.
"kenapa? kamu gak mau bantu saya?" tanya Arya akhirnya, setelah melihat Hadi hanya diam dan menatap surat itu cukup lama.
"ah. oh. gak, kok. Saya mau.." gelagap Hadi tiba-tiba.
"oke. sebelumnya makasih ya..." ucap Arya sambil beranjak pergi menuju kelas, meninggalkan Hadi yang masih menatapi surat di tangannya. Hadi segera menghabiskan sisa makanannya, kemudian tersenyum sendiri penuh makna.



*****************



"hei.." suara lembut Sandra menyapa Arya yang sedang duduk sendirian di bangku taman sekolah, dia sengaja memilih untuk menyendiri, karena hatinya masih terasa sakit. Arya mendongak menatap ke wajah tanpa rasa bersalah milik Sandra. Hatinya bergejolak. ngapain lagi nih cewek, masih harus pura-pura baik, bathin Arya. Udah jelas ia bikin saya kecewa seperti ini, masih juga berani mendatangi saya. Rintih hatinya lagi.
Sandra duduk disampingnya, tersenyum ramah. Arya hanya menarik napas, mencoba menenangkan hatinya. Ingin rasanya ia pergi dari situ, tapi hati kecilnya menahannya.
"kamu kenapa, sih. Arya?" Sandra mengerutkan keningnya menatap Arya yang terlihat murung.
Huh! pakai nanya lagi! udah jelas ia sudah bikin saya patah hati. Pura-pura tidak tahu pula. Gerutu hati Arya.

Arya akhirnya bangkit dan segera beranjak pergi tanpa mengeluarkan satu kata pun, hatinya terlalu sakit.
"Arya! tunggu!" Sandra ikut memacu langkahnya, berusaha berjalan disamping Arya. "kamu kenapa, sih?" lanjutnya, setelah berhasil berada disamping Arya.
Tiba-tiba Arya menghentikan langkahnya, ia kemudian menatap Sandra cukup lama. Sandra merasa jengah ditatapi seperti itu, tapi Arya dapat melihat dengan jelas di mata itu, kalau tidak ada rasa bersalah sedikitpun disana.

"kamu benar-benar ingin tahu, atau sebenarnya kamu pura-pura tidak tahu!" tinggi suara Arya, membuat beberapa pasang mata yang lewat memperhatikan mereka sejenak.
"Maksud kamu?" Sandra menatap Arya bingung. Tanpa pedulikan tatapan orang-orang disekitar mereka.
Huh! Arya menghempaskan napasnya kuat. Hatinya bimbang. Kenapa Sandra bisa bersikap seolah biasa saja. Seakan tidak terjadi sesuatu diantara mereka.
Segera Arya mengambil surat Sandra yang ada disaku celananya, surat itu behasil ia pungut lagi pagi tadi dari tong sampahnya. Dia pikir dengan menyimpan surat tersebut, setidaknya bisa mengingatkan ia, untuk tidak berharap apapun lagi kepada Sandra.

"nih!" Arya menyodorkan surat itu kepada Sandra.
"ini surat apa?" Sandra meraih surat itu dari tangan Arya dengan tatapan penuh tanya.
"saya tidak tahu, apa kamu pura-pura lupa, atau memang sudah lupa. Tapi yang pasti, ini adalah balasan surat dari kamu.." Arya berujar lagi, "beberapa hari yang lalu, aku mengirimkan surat buat kamu, surat itu aku titipkan pada Hadi. Dan kemarin aku mendapatkan balasan surat dari kamu, Hadi juga yang memberikan surat ini padaku. Isi suratnya cukup jelas! Cukup jelas juga untuk menjelaskan aku kenapa?" Arya melanjutkan dengan nada parau, kemudian ia memacu langkahnya kembali.

Sandra terlongo mendengar apa yang barusan Arya jelaskan padanya, perlahan ia baca isi surat itu. Hatinya tiba-tiba bergejolak. Ia menahan amarahnya sendiri. Pantas saja Arya murung, pikirnya.

***********

"apa maksud kamu dengan semua ini.." Sandra berujar dengan nada tinggi, sambil melemparkan surat yang barusan ia dapat dari Arya, keatas meja kantin.
Hadi kaget bukan main. Ia mendongak menatap Sandra yang sudah berdiri di depannya dengan berkacak pinggang. Kemudian matanya ia alihkan menatap surat yang barusan dilempar Sandra. Dengan sedikit bergetar Hadi mengambil surat itu, "ini surat apa?" tanya nya.
"kamu gak usah pura-pura gak tahu, Di. Kamu kan yang ngasih surat ini ke Arya? kamu bilang ke Arya kalau itu surat dari saya!" Sandra masih berdiri, penuh emosi.

Hadi gelagapan tak karuan. Dengan perasaan penuh rasa bersalah dia segera berdiri. "maaf, Sand.." ucapnya akhirnya dengan wajah memelas.
"kenapa?" tanya Sandra mulai tenang.
"aku...aku.. hanya tak rela kalian sampai jadian..." Hadi menjawab pelan, "karena aku... aku juga mencintai kamu, Sand.." lanjut Hadi dengan suara bergetar.
Sandra terperangah. Sungguh semua itu diluar dugaannya. Selama ini Hadi memang cukup baik padanya. Hadi sering memberinya tumpangan, kalau ia tidak menemukan angkot menuju rumahnya.
Tapi ia tak menyangka kalau Hadi memiliki perasaan suka padanya.

"aku tahu, jika aku memberikan surat untuk kamu dari Arya, kamu pasti akan menerima Arya. Karena selama ini kalian sangat dekat. seluruh sekolah juga tahu, kalau sebenarnya kalian saling suka. Dan aku merasa cemburu, Sand. Aku tak rela kamu jadi milik Arya. Karena aku menyayangimu.."
"cukup, Di!" suara Sandra meninggi lagi. "kamu pikir dengan memanipulasi surat itu, akan mengubah keadaan? akan membuat aku tiba-tiba jatuh cinta padamu? Tidak, Di! justru dengan kejadian ini, aku semakin tahu bagaimana sifat kamu sebenarnya.."
"maafkan aku, Sand.." Hadi tertunduk.
"teman macam apa kamu, Di? tak ku sangka.." Sandra menghentakkan kakinya dan segera melangkah dengan cepat, meninggalkan Hadi yang masih tertunduk.
"Sandra! tunggu!" Hadi mengeraskan suaranya, melihat Sandra semakin jauh.
Sandra berpaling sejenak, lalu berucap, "jangan panggil aku lagi, Di. Aku muak sama kamu! Aku tak ingin melihat muka mu lagi!" Sandra berbalik lagi dan melanjutkan langkahnya.


************************


"Arya. Tunggu!" Suara merdu milik Sandra, memaku langkahnya. Sudah hampir seminggu ia tak berbicara dengan Sandra. Hatinya belum bisa menerim semuanya. Perasaannya merasa dipermainkan.
"kita harus bicara.." lanjut Sandra, setelah ia berhasil berdiri disamping Arya.
Arya hanya mengangguk. Setuju.

"aku sudah terima surat dari kamu.." Sandra mulai bicara, mereka duduk di bangku taman sekolah. "meski sudah cukup terlambat, sih. Hadi baru memberikannya pagi tadi padaku. Dia juga berpesan untuk menyampaikan permintaan maafnya padamu.." lanjut Sandra sambil memperlihatkan sebuah surat berwarna jingga milik Arya.
"ya. Aku tahu. Hadi datang ke rumah tadi malam, dan menceritakan semuanya. Tapi aku belum bisa memaafkan Hadi. Tindakannya sudah keterlaluan." ucap Arya dengan suara datar. "oh, ya. Kamu sudah baca suratnya?" lanjutnya.
Sandra mengangguk, dan tersenyum menatap Arya.
"jadi gimana?" tanya Arya penasaran.
"gimana apanya?" Sandra balik nanya.
"ya, jawaban suratnya.."
Sesaat Sandra terdiam, ia tatapi surat itu, "kamu mau aku jawabnya gimana? harus melalui suratkah atau aku jawab langsung sekarang.." ujarnya kemudian, tatapannya beralih ke mata indah milik Arya. Mata mereka saling tatap.
"jawab sekarang aja, ya.." Arya tersenyum penuh arti.
Sandra membalas senyum Arya, "iya. aku akan jawab. Tapi ada syaratnya." Sandra bicara sambil tertunduk malu.
"apa syaratnya?" tanya Arya lagi.
"kamu harus bacakan surat ini untukku, sekarang.." Sandra berucap sambil menyerahkan surat tersebut.
Dengan sedikit ragu, Arya mengambil surat itu. Pelan ia membukanya,

Teruntuk Sandra yang manis...
Sebelumnya aku mohon maaf, jika kehadiran surat ini mengganggu aktivitas hari-hari indah mu.
 Sandra yang selalu manis,
Tak pernah terpikir olehku, kalau aku akan mencintaimu begitu dalam. Semua itu baru aku sadari, setelah lama kita bersama. Kerbersamaan kita, telah mampu membuatku bisa mendefinisikan sikapmu. Kamu orang yang sangat baik, hanya saja terkadang sikapmu yang cuek, membuatku harus menelan ludah pahit. Setiap kali aku mengingat asa ku. Asa untuk memilikimu!
Namun pada akhirnya harus kuakui, bahwa sejujurnya aku telah jatuh hati padamu. Dimulai dari awal perkenalan kita, sering belajar bareng, jalan bareng dan maen bareng. Membuat aku semakin yakin, kalau aku benar-benar sayang padamu.
Aku ingin hubungan kita, lebih dari sekedar teman biasa, best friend atau apa pun istilah mu untuk itu. Aku ingin kita menjadi sepasang kekasih, saling menyayangi dan saling mencintai. Aku ingin kamu menjadi belahan jiwaku.
Maukah kamu menjadi pendampingku, melewati hari-hari indah bersama penuh cinta? Maukah kamu menerima cintaku yang apa adanya ini?
 Balas ya, Sand... kutunggu lho!
By, Arya.
 
 
"Jadi gimana?" Arya bertanya lagi, setelah selesai membaca surat itu.
Kali ini Sandra hanya mengangguk.
"kamu serius?" Arya semakin penasaran.
Sandra mengangguk lagi beberapa kali.
"berarti sekarang kita pacaran?"
"iya.." Jawab Sandra akhirnya.
"Alhamdulillah..." tiba-tiba Arya bersorak dan bangkit berdiri sambil menggoyangkan tubuhnya, bak anak kecil yang baru mendapatkan mainan baru.
Sandra ikut berdiri dalam kekagetannya, "kamu apaan sih, Arya!"
"kan lagi senang.." jawab Arya, sambil terus menggerakkan badannya.
"tapi gak segitu nya juga kali, Arya.." Sandra berusaha menghentikan gerakan Arya. "Malu tau, dilihatin orang-orang.." lanjutnya.
Arya menghentikan gerakannya, ia melihat disekeliling, beberapa pasang mata menatap mereka dengan penuh penasaran.
"biarin aja!" jawab Arya, sambil meraih kedua tangan Sandra dan memegangnya erat. Arya tersenyum lebar menatap gadis manis di depannya. Sandra membalas senyum itu. Mereka tahu, setelah ini, hari-hari yang mereka lalui akan jauh berbeda.

Sekian...

Sebuah cerpen : Diantara dua hati.

"ada yang bisa saya bantu, mbak?" sebuah suara mengagetkan Lala. Spontan ia berpaling kearah suara itu. Seorang pemuda tampan berdiri tak jauh di sampingnya. Pemuda itu memakai seragam mini market. Lala menatap pemuda itu cukup lama, ia belum pernah melihat pemuda ini sebelumnya. Lala sudah sering berbelanja di mini market ini, bahkan hampir setiap hari.
Pemuda itu masih tersenyum, "mbak mau cari apa? bisa saya bantu?" suara renyah pemuda itu terdengar lagi, melihat Lala hanya terbengong. Lala pun terkesiap.
"oh. ya.. saya mau cari peralatan mandi. Ada dimana ya?" ucap Lala sekenanya, sekedar menghilangkan groginya. Meski sebenarnya ia tahu persis dimana letak barang yang ia cari.
"oh. Peralatan mandi ya. Itu di ujung sana, mbak.." pemuda itu menunjuk kearah tempat peralatan mandi berada dengan sopan dan tetap tersenyum.
"oke. Terima kasih.." balas Lala cepat, sambil berlalu pergi.

"itu pegawai baru ya, mbak?" tanya Lala dengan penasaran, kepada kasir mini market itu. Setelah ia berhasil mendapatkan barang yang ia cari.
"Iya, mbak.." jawab kasir itu santai. "baru dua hari disini.." lanjutnya.
Lala hanya manggut-manggut.
"namanya Bayu. Cakep ya, mbak?" kasir yang sudah terbiasa dengan Lala itu berujar lagi, sambil menyerahkan uang kembalian dan struk belanja Lala.
Kembali Lala tersenyum. Harus ia akui, kalau pemuda tersebut memang cakep dan manis. Selain tentu saja, ramah!
Lala pun kemudian beranjak hendak keluar dari mini market langganannya itu. Namun sekilas ia masih sempat melirik ke arah pemuda tampan itu, pemuda itu pun tersenyum padanya.

Ketika Lala hendak melangkah keluar, tiba-tiba ia mendengar suara hujan yang turun cukup deras. Langkahnya terhenti. Ia mencoba berteduh di teras mini market tersebut. Sekarang memang lagi musim hujan. Pikir Lala. Sewaktu ia berangkat dari rumah tadi, sebenarnya cuaca memang sudah mendung. Tapi Lala pikir, karena ia hanya berbelanja sebentar dan lagi pula jarak dari rumahnya ke mini market itu cukup dekat, maka ia pergi hanya berjalan kaki.
Sambil duduk dikursi teras mini market itu, Lala melirik jam di tangannya. Hampir jam enam sore. Lala menghembuskan napasnya perlahan. Hawa dingin mulai terasa menyentuh kulitnya. Sialnya ia hanya memakai baju kaos pendek dan celana pendek. Sehingga cuaca kian dingin menyentuh kulitnya.
Lala mendekap tubuhnya sendiri, saat tiba-tiba ia merasakan seseorang melingkarkan jaket di tubuhnya. Spontan ia terperanjat dan menatap orang tersebut. Sesosok pemuda tampan tadi telah berdiri di dekatnya.
"maaf. Saya melihat mbak kedinginan. Makanya saya beranikan diri untuk memberikan jaket ini.." ucap pemuda itu sedikit keras, mengimbangi suara hujan yang semakin deras.
"terima kasih.." ucap Lala, sambil menarik jaket itu, agar menutupi seluruh tubuhnya. Ia merasa hangat.
Pemuda itu pun duduk di sampingnya, karena kebetulan mini market memang lagi sepi sore itu.

"mbak rumahnya dimana?" tanyanya.
"disana. gak jauh, kok." jawab Lala, sambil menunjuk ke arah gang tempat ia tinggal.
"kalau begitu saya antar ya, mbak.."
"kan masih hujan.."
"saya ada payung, mbak. Kasihan mbaknya kedinginan, lagi pula udah hampir magrib lho, mbak.."
Untuk sesaat Lala terdiam. Ia berpikir sejenak. Tapi pemuda itu benar, sebentar lagi magrib. Ia harus segera pulang. Lala menatap pemuda itu sekilas, kemudian mengangguk.

"makasih ya..."
"Bayu, mbak. Nama saya Bayu.." pemuda itu memotong ucapan Lala cepat. Setelah mereka sampai di teras rumah mewah milik Lala.
"oh, ya. Saya Lala. " balas Lala sambil mengulurkan tangannya. "gak pake mbak, ya.." lanjutnya sedikit tersenyum.
Pemuda itu menjabat tangan lembut itu. Dan membalas tersenyum.
"kalau begitu aku pulang ya, mbak.."
Lala hanya mengangguk. Bayu pun berlalu keluar dari halaman rumah mewah itu. Lala menatap kepergian pemuda itu, dengan perasaan campur aduk. harus ia akui, kalau Bayu memang tampan. Dia juga baik. Lala benar-benar dibuat terkesan.
Hingga malamnya pun, Lala jadi susah tidur. Bayangan wajah tampan Bayu menghantui pikirannya. Lala bingung dengan hatinya. Belum pernah ia memikirkan seorang cowok seperti itu, sampai ia tidak bisa tidur. Padahal mereka baru pertama bertemu.

Lala memang sudah duduk di tahun terakhir SMA, namun selama ini ia belum pernah benar-benar dekat dengan seorang cowok, apa lagi pacaran. Tapi pertemuannya dengan Bayu sore itu, telah mampu membuka hatinya.
Lala jadi semakin sering datang ke mini market itu, lebih sering dari biasanya. Dan Bayu sendiri sangat terbuka dengan kehadiran Lala. Mereka kian dekat dan jadi sering jalan bareng.

Begitulah awalnya. Kebersamaan mereka menumbuhkan benih-benih cinta yang kian hari kian terasa mekar dihati mereka. Meski usia Bayu tiga tahun lebih tua dari Lala. Namun Lala begitu bahagia dengan kehadiran Bayu dalam hidupnya. Bayu adalah cinta pertamanya, yang mampu meluluhkan hati Lala. Meski bagi Bayu sendiri Lala bukanlah cinta pertamanya. Bayu pernah pacaran dulu dengan teman SMA nya, tapi kisah cinta pertamanya kandas karena tidak mendapat restu dari orang tua sang gadis yang dicintainya.
Karena patah hati, Bayu memutuskan untuk pergi dari kampung halamannya. Dan berusaha mencari pekerjaan di kota, meski hanya mengandalkan ijazah SMA. Bayu tidak bisa melanjutkan kuliah, karena keadaan ekonomi orang tuanya yang pas-pasan.
Sampai akhirnya ia bertemu Lala. Ada banyak alasan mengapa akhirnya Bayu membuka hatinya untuk Lala. Meski hatinya sendiri sebenarnya masih terluka. Lala gadis yang baik dan tentu saja cantik. Lala mampu membuatnya merasa nyaman. Dan perlahan Lala mampu menyembuhkan luka hatinya.


***********************************

"kamu kenal Dewi?" suara Lala sedikit bergetar. Mereka duduk berdua di warung bakso pinggiran. Seperti biasa.
"Dewi? Dewi mana?" Bayu balik bertanya.
"Dia kakak seniorku di kampus.." balas Lala.
"Iya. terus?" Bayu mencoba memahami maksud dari pertanyaan Lala barusan.
"kamu gak usah pura-pura, Bay." Suara Lala meninggi. "hampir dua tahun kita pacaran, kamu tak pernah sedikitpun cerita tentang kisah cintamu di masa lalu." lanjutnya. Bayu memalingkan muka, ketika Lala menatapnya tajam.
"aku tidak mau mengingat apa pun tentang kisah cintaku di masa lalu.." tegas suara Bayu. "lagi pula itu semua sudah berlalu, tidak perlu diungkit lagi.." lanjutnya.
"tapi bagaimana kalau ternyata, seseorang di masa lalu mu, masih mengharapkan kamu, Bay." Lala tak mau melepaskan tatapannya dari mata Bayu. Ia ingin tahu reaksi Bayu yang sejujurnya.
"maksud kamu?"
"Dewi, Bay. Kamu gak mungkin lupa nama itu.."
Bayu mengernyitkan kening, "maksud kamu apa sih, La..?"
"kemarin aku ketemu Dewi, mantan kamu, di kampus. Dia masih menyimpan poto kamu. Dan masih berusaha mencari kamu di kota ini. Dia sudah bertanya kepada teman-teman di kampus, barang kali ada yang kenal sama kamu.  Awalnya aku ingin jujur sama dia. Tapi aku takut, Bay. Aku takut kamu kembali ke masa lalu mu. Aku takut kehilangan kamu, Bay..." Lala tertunduk dan menarik napas pelan.

Meski sebenarnya Bayu cukup kaget dengan apa yang barusan dikatakan Lala. Namun ia berpura-pura bersikap biasa saja. Ia teguk lagi air putih yang masih tersisa di gelasnya, sekedar untuk menenangkan hatinya.
"aku dan Dewi sudah tidak punya hubungan apa-apa lagi. Bagiku Dewi hanya lah sepenggal cerita di masa lalu, yang tidak ingin aku ingat lagi. Yang tidak mungkin bisa terulang kembali.." Bayu berucap, sambil menggenggam erat tangan lembut Lala.
Lala hanya tersenyum membalas genggaman tangan itu. Hatinya meragu, ia tidak benar-benar yakin kalau Bayu sudah melupakan Dewi. Biar bagaimanapun Dewi adalah cinta pertama Bayu, dan mereka pacaran bahkan sampai tiga tahun.
Tapi Lala mencoba meyakinkan hatinya sendiri, kalau Bayu tidak mungkin menyakitinya.

************************




  "Bayu! tunggu!" sebuah suara memaku langkah Bayu. Ia memutar tubuhnya. Sesosok gadis manis melangkah tergesa kearahnya.
"Dewi?" serunya setengah tak percaya. Dewi tersenyum manis padanya.
"ngapain kamu kesini?" tanya Bayu, mereka duduk di sebuah bangku taman.
"Dua tahun aku berusaha mencari kamu, Bay." Dewi berucap dengan nada datar. "hampir setiap hari aku berharap bisa bertemu kamu kembali.." lanjutnya.
"untuk apa?"
"apa pun yang telah papa perlakukan terhadap kamu. Itu tidak akan mengubah perasaanku padamu, Bay."
Bayu hanya terdiam. Hatinya terlalu sakit bila mengingat semua itu. Papa Dewi bukan saja merendahkan harga dirinya, tapi juga mencabik-cabik hatinya. Dia memang mencintai Dewi, tapi untuk tetap bertahan, bagi Bayu terlalu berat. Papa Dewi bahkan mengancam akan memperkarakannya, jika tetap bersikeras menjalin hubungan dengan Dewi.

"aku ingin kita memulai semuanya dari awal lagi, Bay." pelan suara Dewi.
"maaf. Aku gak bisa, Wi.."
"kenapa?"
"karena sampai kapan pun, papa kamu gak bakalan merestui hubungan kita, Wi." Bayu menarik napas berat.
"aku yakin, Bay. Kalau kita berjuang bersama-sama, suatu saat papa juga akan luluh hatinya. Yang penting kita bisa membuktikan kalau kita bahagia." Dewi menyentuh lembut tangan Bayu. Bayu hanya membiarkannya saja.
Sejujurnya, Bayu memang masih menyangi Dewi. Namun luka hatinya terlalu dalam. Apa lagi sekarang ada Lala.
"Bertahun-tahun aku mencari kamu, Bay. Berharap kita bisa bersama lagi.." Dewi semakin erat menggengam tangan Bayu. "sekarang aku sudah menemukan kamu, Bay. Aku tak ingin kehilangan kamu lagi.."

Bayu menarik napas lagi, kali ini lebih panjang. "maaf, Wi. Aku tetap gak bisa.."
"ya. aku tahu. Kamu mungkin butuh waktu, Bay. Aku tidak meminta kamu untuk menerima aku sekarang. Kamu bisa pikirkan hal ini dulu. Tapi satu hal yang harus kamu tahu, Bay. Sampai kapanpun aku akan tetap mencintai kamu. Dan tidak akan ada yang bisa merubah itu semua..."
Bayu menatap mata Dewi. Bayu dapat merasakan betapa cinta itu masih ada. Namun perlahan Bayu melepaskan tangannya.
Dewi bangkit berdiri. Ia hendak pergi meninggalkan Bayu, sambil berucap, "aku akan menunggu jawaban kamu, Bay. Sampai kapanpun. Dan jika kamu sudah siap, kamu tahu harus mencari aku dimana.."
Dewi melangkahkan kakinya. Bayu menatap kepergian Dewi dengan perasaan campur aduk. Ia masygul. Hatinya bimbang. Ia merasa terjebak.

***********

"aku sangat mencintai kamu, Bay." suara Lala bergetar, "aku tahu kamu sudah bertemu Dewi.." lanjutnya.
Bayu menatap mata Lala, ia melihat ada banyak cinta disana. Harus ia akui, kalau ia juga sangat mencintai Lala. Tapi kehadiran Dewi telah memporak-porandakan perasaannya. Ia tahu, Dewi juga mencintainya. Meski papanya akan tetap menentang hubungan mereka. Bertahun-tahun Bayu mencoba melupakan Dewi, dan kehadiran Lala dalam hidupnya, telah mampu membuatnya sadar, kalau Dewi hanya lah cerita di masa lalunya. Namun sekarang...

"kalau kamu memang masih mencintainya," Lala berujar lagi, "aku ikhlas, Bay. Aku tahu, aku hanyalah seseorang yang hadir pada saat yang tidak tepat." lanjutnya, suaranya semakin bergetar.
Bayu menarik napas, tangannya mengepal. Ada segenap perasaan bersalah hadir di hatinya, tiba-tiba.
"aku dan Dewi pernah melewati hari-hari indah bersama. Tapi itu dulu. Jauh sebelum kita dipertemukan." Bayu akhirnya berucap, setelah cukup lama ia terdiam. "tidak bisa aku pungkiri, kalau sebenarnya kami masih saling menyayangi." lanjut Bayu dengan suara pelan, ia tidak ingin membuat Lala merasa terluka.
Namun Lala merasa, apa yang barusan Bayu ucapkan, benar-benar telah melukai hatinya. Ternyata untuk ikhlas itu tidak mudah. Rintih hati Lala perih.

"namun aku sudah memikirkan semuanya, La." lanjut Bayu lagi. Tangannya menyentuh jari jemari Lala. "semalaman aku berpikir, mencari jalan terbaik dari semua ini. Membuat pilihan yang terbaik. Aku tak ingin menyakiti siapapun. Tidak mudah memang. Tapi aku harus membuat keputusan..." Bayu semakin erat menggenggam tangan Lala.
Lala meremas tangan Bayu. Hatinya terasa kian sakit. Ia genggam tangan itu, ia merasa mungkin itu terakhir kalinya ia bisa memegang tangan kekar itu. Tangan pemuda yang sangat ia cintai. Ia harus kuat.

"Aku sudah bicarakan ini semua dengan Dewi pagi tadi. Aku tahu ia terluka. Tapi ia harus bisa menerima, kalau aku tidak bisa lagi melanjutkan hubungan dengannya. Karena aku lebih memilih kamu, La." Lala terkesiap, hampir tak percaya dengan apa yang barusan ia dengar. Bayu tersenyum dan menggenggam semakin erat tangan Lala. "aku memilih kamu, La. Untuk berjuang bersama meraih masa depan kita. Dan Dewi tetaplah hanya sebuah cerita di masa lalu." Bayu berkata tegas. Lala tersenyum penuh makna. sekali lagi ia percaya, kalau Bayu tidak mungkin menyakitinya.

Sekiaaan..

Sebuah Cerpen : Cinta Pertama Aga...

Aga selesai mengemasi barang-barangnya. Kemudian ia terduduk di atas lantai kamar kost itu. Badannya terasa capek, meski barang-barang yang ia packing tidak seberapa. Hanya beberapa pakaian dan perlengkapan aksesorisnya. Tapi bagi Aga, itu cukup membuat ia lelah.
Harusnya ini menjadi hari terakhir bagi Aga untuk tinggal di kost mungil itu. Ayahnya sudah berjanji menjemputnya hari ini. Masa-masa indah SMA nya sudah berakhir. Aga memang sudah diterima kuliah di salah satu kampus favorit di kota itu, namun untuk sementara menjelang kuliah di mulai, ia harus balik dulu ke kampung. Dan saat kuliah di mulai, ia harus pindah kost ke lokasi terdekat dengan kampus tempat ia kuliah nanti.

Aga pun berbaring di atas lantai keramik itu, sekedar melepas lelah. Ia berusaha memejamkan matanya. Sekilas bayangan masa tiga tahun ia di sini terlintas.
Berawal dari keinginan Ayah dan Ibunya, untuk memintanya melanjutkan sekolah tingkat atas di kota. Selepas SMP, Aga pun pindah ke kota, dengan menyewa sebuah kamar kost, tak jauh dari tempat ia bersekolah.
Tinggal sendirian di antara hiruk pikuknya kota besar, awalnya membuat Aga gamang dan takut. Namun beriring berjalannya waktu, ternyata semua tak seburuk yang Aga pikirkan selama ini. Apa lagi semenjak masuk SMA, Aga mulai mengenal beberapa orang teman, yang diantara mereka ada juga yang harus terpisah dari keluarga demi mendapatkan pendidikan yang lebih baik.

Seminggu masuk sekolah, Aga pun berkenalan dengan seorang gadis imut nan cantik. Namanya Desy. Gadis kota yang sopan dan baik. Kebetulan sekali mereka satu kelas, yang membuat mereka jadi cepat akrab dan saling mengenal pribadi masing-masing.
Di mata Aga, Desy seorang gadis yang baik dan ramah. Selain itu ia juga pintar dan rajin. Beberapa bulan berkenalan, Aga mulai merasakan perasaan suka dan kagum kepada Desy.
Aga senang bisa menjadi dekat dengan Desy. Ia merasa nyaman. Kehadiran Desy dalam hidupnya, membuat Aga merasakan sesuatu yang sebelumnya tidak pernah ia rasakan. Yah, Aga jatuh cinta kepada Desy. Cinta pertamanya.
Namun demikian, Aga tidak pernah berani mengungkapkan perasaannya. Ia cukup sadar, terlalu banyak cowok di sekolahnya yang mencoba mendekati Desy. Dan ia hanya seorang cowok kampung.
Baginya, bisa berteman dengan Desy sudah lebih dari cukup, untuk membuat ia merasa bahagia. Meski tak bisa ia pungkiri, dari semua sikap Desy padanya selama ini, kadang ia merasa kalau Desy juga menyukainya. Namun tetap saja, baginya Desy terlalu tinggi untuk bisa ia raih.

"Desy itu, anak seorang konglomerat bro! Anak seorang pengusaha kaya di kota ini.." celetuk Hardi, salah seorang teman Aga, pada suatu hari. "kamu beruntung bisa dekat sama dia.."
Aga hanya tersenyum menanggapi hal itu. Harus ia akui, kalau ia memang sangat beruntung. Bukan karena Desy anak orang kaya, tapi lebih karena Desy gadis yang spesial baginya.
"kamu enggak ada niat, Ga. Buat macarin dia?" ucap Hardi lagi, melihat Aga hanya tersenyum.
"ha! Apa?.." Aga cukup kaget mendengar pertanyaan Hardi, "ya enggaklah.." lanjutnya.
"kenapa? Jangan bilang kalau kamu enggak tertarik sama dia?" tanya Hardi lagi.
Kembali Aga tersenyum. "cowok mana yang enggak bakal tertarik pada cewek secantik Desy, Har." jawabnya akhirnya. "tapi saya cukup sadar diri, kok. Dia siapa dan saya ini siapa.."
"tapi keliatannya, Desy juga suka sama kamu.."
"ah, siapa bilang?"
"yah, dari perlakuannya selama ini sama kamu, Ga. Kamu enggak merasa apa. Betapa Desy begitu perhatian dan baik sama kamu selama ini. Kamu gak hadir satu hari aja, dia udah merasa kehilangan dan bertanya-tanya." Hardi berujar lagi, "dari sekian banyak cowok yang berusaha mendekatinya, dia memilih untuk tetap dekat sama kamu. Apa itu tidak membuktikan kalau Desy sebenarnya suka sama kamu!"
Aga hanya terdiam. Ia tidak bisa memungkiri semua ucapan Hardi barusan. Tapi tetap saja, ia hanya seorang anak desa. Ia merasa tidak pantas untuk cewek seperti Desy. Meski hatinya begitu ingin bisa menjadi kekasih hati Desy.

*******************************

"aku mau ngomong, Des. Boleh?" ucap Aga bergetar. Hubungannya dengan Desy kian dekat, apa lagi setelah lebih dari dua tahun mereka berteman. Sekarang mereka sudah kelas tiga. Sebentar lagi mereka akan meninggalkan sekolah ini.
"ya. ada apa, Ga? ngomong aja."
"tapi bukan disini!"
"lantas dimana?" tanya Desy dengan ekspresi herannya.
"Disana aja yuk!" Aga menunjuk kearah taman sekolah.
Desy hanya mengangguk. Di hatinya timbul berbagai pertanyaan. Tak biasanya Aga mengajaknya ke taman, berduaan lagi. Meski dalam hatinya, Desy sudah menduga apa yang ingin Aga katakan, namun tetap saja ia tidak yakin.

"mau ngomong apa sih, Ga? pakai acara di taman segala." ucap Desy setelah mereka duduk berdampingan di bangku taman. Suasana taman pagi itu memang agak sepi.
Sesaat Aga menarik napas.
"aku mau ngomong. kalau aku sebenarnya suka sama kamu, Des. Bahkan sejak pertama kali kita kenalan." Aga berkata sambil menundukkan kepalanya, ia tak berani menatap mata Desy yang indah itu. "hanya saja, selama lebih dari dua tahun ini, aku berusaha memendamnya. Karena aku takut, akan merusak persahabatan kita. Dan lagi pula, aku cukup sadar diri. Aku hanya seorang cowok kampung, yang mengharapkan cinta dari seorang bidadari secantik kamu, Des. Aku gak berani berharap lebih selama ini. Namun sekarang, aku tak kuat lagi memendam semua rasa ini. Aku hanya ingin kamu tahu, kalau aku jatuh cinta padamu, Des.." Aga melanjutkan kalimatnya panjang lebar. Tanpa melihat reaksi raut muka Desy yang berubah memerah.
Desy tahu, ini bakal terjadi. Tapi tetap saja Desy belum siap mendengarnya.
"aku tahu.." suara Desy serak.
Spontan Aga melirik kearah Desy, yang menatap jauh kedepan. "kamu tahu?" tanyanya.
"ya. aku tahu. Dua tahun lebih kita berteman, Ga. Aku tahu dari sikapmu padaku selama ini. Tapi maaf, Ga. Aku gak bisa.." balas Desy, suaranya semakin serak. Hatinya terasa sakit mendengar ucapannya sendiri.

Aga hanya terpaku mendengar ucapan Desy barusan. Tiba-tiba harapannya punah. Ternyata ia telah salah menyikapi perlakuan Desy selama ini padanya. Ia pikir selama ini, Desy juga merasakan hal yang sama dengannya. Tapi ternyata Desy tidak bisa menerima cintanya. Aga kembali menarik napas, lebih panjang. Hatinya terasa hancur. Ia hanya berharap, bisa memutar waktu kembali. Dan melupakan semua kebodohannya, tentang keinginannya mengungkapkan perasaannya pada Desy. Karena jelas, setelah ini, hubungan persahabatannya dengan Desy akan renggang.
Harusnya ia sadar, kalau Desy gak mungkin jatuh cinta kepada cowok kampung seperti dirinya.

"maaf, Ga.." Desy berujar lagi, setelah cukup lama mereka terdiam.
"ya. gak apa-apa, Des." balas Aga lirih. "aku cukup tahu diri, kok. Kamu itu siapa dan aku ini siapa.."
"bukan itu masalahnya, Ga!" spontan Desy memotong kalimat Aga.
"lantas?!"
"aku gak bisa jelasin sekarang, Ga. Tapi yang pasti ini gak seperti yang kamu pikirkan. Ini bukan karena status sosial kita yang kamu anggap berbeda. Sama sekali bukan karena itu.." Desy memalingkan wajahnya dari tatapan Aga. Suaranya bergetar. Bathinnya merintih. Ia berusaha menahan air matanya sendiri, agar tidak tumpah. Ia tidak ingin Aga tahu. Untuk itu segera ia berdiri dan berjalan cepat menuju toilet sekolah.
Aga hanya melongo bingung. Dia terdiam. Hatinya kian hancur.

Berbulan-bulan setelah kejadian itu, seperti yang Aga perkirakan, hubungan mereka menjadi renggang. Tiba-tiba saja, tercipta jarak yang begitu jauh diantara mereka. Desy selalu berusaha menghindar, setiap kali Aga berusaha mendekatinya. Aga hanya ingin meminta maaf. Itu saja!
Tapi Desy tidak pernah memberinya kesempatan. Aga semakin terluka.

Namun akhir-akhir ini, Aga sering memperhatikan Desy yang terlihat murung dan menyendiri. Kadang ingin Aga menghampirinya, tapi Aga takut itu hanya akan membuat Desy semakin membencinya.
Sampai akhirnya sudah hampir seminggu Aga tidak melihat Desy sekolah. Tiba-tiba saja Desy menghilang.
"Desy sakit, Ga." Santi salah seorang teman Desy menjawab pertanyaan Aga.
"sakit apa?" tanya Aga lagi.
"gak tahu, Ga. Ibu nya kemarin cuma bilang kalau Desy gak bisa sekolah, karena sakit. Tapi gak bilang sakit apa.." Jawab Santi sedikit cuek.

Aga merasa kehilangan sosok Desy dalam hidupnya. Semangatnya memudar. Ingin rasanya ia datang ke rumah Desy, sekedar menjenguknya. Tapi Aga takut, Desy tidak mau menerima kehadirannya.


*******************************




"Hei! Kamu Aga, kan..?!" sebuah suara menghentikan langkah kaki Aga, yang berjalan gontai menuju kostnya. Terik mentari siang itu, cukup membuat Aga gerah. Meski jarak dari sekolah ke kostnya hanya berkisar 500 meter.
Aga menoleh ke arah suara itu. Seorang pemuda tergesa melangkah menuju ke arahnya.
"maaf. Saya Dion. Abangnya Desy.." ucap pemuda itu lagi, setelah ia berdiri tepat di depan Aga, yang masih kebingungan.
"oh..." Aga membulatkan bibir. "ada apa ya?" tanyanya.
"kamu ada waktu? Saya mau ngomong! Ini tentang Desy.." pemuda itu berujar lagi.
Aga hanya mengangguk.
"oke. Kalau begitu, bagaimana kalau kita ngobrol di sana aja.." pemuda itu menunjuk sebuah kafe yang ada di ujung gang.
Aga mengangguk kembali. Ia masih bingung. Di benaknya ada seribu tanya. Namun ia mencoba melangkah mengikuti pemuda itu, Dion, abang Desy. Begitu pengakuannya.

"Desy sakit.." Dion memulai pembicaraan, setelah mereka memesan minuman dingin, untuk mengimbangi panasnya cuaca sore itu.
"ya. Aku tahu. Sudah seminggu lebih dia tidak sekolah. Ada teman yang bilang kalau dia sakit." jawab Aga.
"Maksud saya bukan itu. Desy sakit setiap hari.."
"Maksudnya?" Aga makin bingung.
"Desy menderita penyakit leukemia limfositik kronis. Sejenis kanker darah akut." ucapan Dion yang pelan, mampu menembus tulang belulang Aga. Tiba-tiba ia merasa begitu lemas. Ia hampir tak percaya dengan apa yang barusan ia dengar. "Desy sudah menderita penyakit ini sejak lama, hanya saja kami baru menyadarinya satu tahun belakangan ini. Itu karena Desy sering merasa sesak dan pendarahan pada hidungnya. Setelah melakukan pemeriksaan, akhirnya dokter memvonis kalau Desy menderita leukemia." Dion terus melanjutkan.
"Sekarang Desy dimana?" suara Aga terdengar parau, hatinya terasa perih.
"Desy sudah diberangkatkan ke Singapur pagi tadi untuk menjalani pengobatan, bersama papa mama. Sebelum berangkat Desy menitipkan surat ini padaku. Katanya aku harus memberikannya langsung padamu.." Dion menyerahkan sebuah surat berwarna ungu. Aga segera menerimanya dan hendak membacanya. "Desy berpesan, agar kamu membacanya saat kamu sendirian.." lanjut Dion lagi, yang membuat Aga mengurungkan niatnya. Segera Aga masukkan surat itu ke dalam sakunya. "oke. kalau begitu aku permisi...." Dion berdiri dan segera menuju kasir.

Aga menghempaskan tubuhnya diatas kasur tempat tidurnya. Ada yang terasa sakit dihatinya. Tangannya dimasukkan ke dalam saku tempat surat tadi ia taroh. Ia sudah tidak sabar, untuk membacanya. Segera ia buka surat itu dan mulai membacanya pelan. Hatinya semakin teriris. Matanya berkaca. Tangannya mengepal menahan gejolak di hatinya.
Ia mencoba membacanya lagi, ia tidak percaya ini semua bisa terjadi. Mengapa ia baru mengetahuinya sekarang? Mengapa Desy tak jujur padanya selama ini? bathinnya meringis.

"Dear Aga..."
Sebelumnya Desy mohon maaf. Jika kehadiran surat ini, mengganggu konsentrasi Aga untuk persiapan ujian akhir sekolah. Desy do'a kan semoga Aga lulus dengan hasil terbaik ya. Dan semoga Aga mendapatkan Beasiswa untuk melanjutkan kuliah. Aamiin.
Saat Aga membaca surat ini. Mungkin saat ini Desy sudah berada di tempat yang sangat jauh. Bahkan mungkin sudah berada di dunia yang berbeda. Maafkan Desy ya, Ga. Kalau waktu itu sempat nolak Aga, tanpa alasan yang jelas. Karena Desy bingung, harus jawab apa. Desy sebenarnya juga suka dengan Aga. Desy juga menyayangi Aga. Tapi Desy gak bisa, karena Desy sakit Ga. Dan Aga enggak boleh tahu.
Desy gak mau, nanti kalau kita jadian, justru akan terasa sangat menyakitkan. Karena Desy tidak tahu berapa lama lagi mampu bertahan dengan kondisi Desy saat ini. Desy harap Aga mengerti.
Desy mencintai Aga. Tapi Desy gak mau memberi harapan apa-apa pada Aga. Karena Desy takut, Aga akan terluka lebih parah lagi. Dan Desy gak mau Aga merasa iba dengan kondisi Desy seperti saat ini. Kini biarlah cinta Desy kepada Aga, Desy bawa pergi.
Do'a kan Desy ya, Ga. Semoga kita bisa bertemu kembali dengan waktu dan keadaan yang berbeda.
Dari :
"Desy"
Aga meremas surat itu. Hatinya terasa perih. Untuk pertama kalinya ia jatuh cinta. Tapi justru rasa sakit yang harus ia telan. Bukan karena cintanya tidak berbalas. Tapi karena ia tidak bisa berbuat apa-apa, ketika ia tahu, gadis yang dicintainya membutuhkan dukungan darinya. Maafkan aku, Des. Semoga saja kita bisa bertemu kembali. Rintih hati Aga berharap.

Sekian...

Cerpen Jadul : Akuilah Arjuna...

Aku menghela napas panjang. Seolah sebuah beban berat telah menyesakkan dadaku. Bayangan Nina melintas kembali di anganku. Itu yang membuat sesak! Itu baru melintas di angan. Ceritanya akan lebih paarah lagi jika aku mendapatkan sorot mata Nina, bukan hanya sesak napas, aku juga akan salah tingkah. Dan saat dia menyapa, aku malah bertingkah salah. Pura-pura tidak mendengar sapaannya, padahal aku tidak budek, menghindar lalu kabur dari depannya. Padahal, saat Nina tak ada aku sering berkhayal bisa berdua-duaan dengan cewek manis itu. Tak salah lagi, seonggok virus telah bersarang di hatiku. Virus cinta namanya!

"ngelamun, Rul...!" sapaan Andi mengusir sosok Nina dari lamunanku. Lamunan indah ku berserakan.
"siapa juga yang melamun," sangkalku.
Aku tak ingin dia tahu, kalau aku sering melamunkan Nina. Walaupun, Andi dengan Nina tak ada hubungan apa-apa lagi, tapi rasanya enggak mungkin untuk memilikki Nina. Andi dan Nina baru putus sebulan yang lalu.

"ngelamunin siapa, sih?" desak Andi. Tapi aku masih berkelit, berani sumpah kalau aku enggak mikirin siapa-siapa. "pasti deh, ngelamunin Nina."
Kalimat terakhir Andi membuat aku terlonjak. Kedua bola mataku membulat, seperti hendak keluar dari sarangnya.Sejak kapan Andi bisa membaca isi lamunan seseorang? bathinku. Aku menelan ludah.Mencoba membasahi kerongkonganku yang tiba-tiba kering mendengar kalimat Andi barusan.
"eh, jangan asal, yah! Itu sih fitnah namanya. Kamu kali yang sering ngelamunin Nina, tapi aku yang kamu kambing hitamkan."
Andi terkekeh, "dikambing hitamkan? kamu sih tinggal dikambingkan, toh kulitmu sudah hitam."

Aku bukannya ikut tertawa. Aku takut Andi benar-benar curiga kalau aku sering melamunkan Nina.
"benarkan, Rul. Kamu suka ngelamunin Nina?" Andi menggoda lagi.
"gak! suwer. Kamu aja yang cakep gak cocokkan sama Nina, apa lagi aku!"
"Rul. Cinta gak liat cakep apa enggaknya. Apa lagi menurutku, kamu tuh cuma punya satu kekurangan..."
"apa itu?" serangku penasaran.
"kekuranganmu cuma satu yaitu kamu gak punya kelebihan apa-apa." ucapnya yang diakhiri dengan tawa yang meledak. Dan tawa itu aku hentikan dengan melemparkan guling ke wajahnya.

"sekali lagi, Ndi. Aku enggak naksir ke Nina." tegasku saat kulihat dia mau bercerita lagi soal Nina.
"syukur deh, kalau gitu. Soalnya selama ini aku ada niat untuk balik ke Nina!"
Dinding dan langit-langit kamar seakan roboh. Dan bongkahannya menimpa tubuhku. Andi jatuh cinta lagi ke Nina? pikirku. Tanpa sadar aku melemparkan tubuhku ke tempat tidur. Seluruh tubuhku lemas. Andi ikut merebahkan diri di sampingku. Tatapan kami menerawang ke arah yang sama, ke langit-langit kamar.
"sebagai sahabat aku minta do'a restumu."
Duh, ingin rasanya aku menangis. Tatapanku belum juga lepas dari langit-langit kamar. Sementara Andi sudah sedari tadi mengalihkan pandangannya ke arahku meminta do'a restu. Tapi bagaimana mungkin aku memberi do'a restu, sementara hatiku telah terlanjur terisak karena luka. Ya, aku terluka!
"kamu gak setuju aku balik ke Nina?"
"ah, enggak. Aku setuju banget. Tapi apa kamu yakin Nina mau terima kamu lagi?" tanyaku tanpa selera.
"makanya aku minta kamu comblangin aku."
Aku tersentak. "comblangin kamu?" mataku terbelalak.
"kenapa emangnya? atau kamu memang enggak serius dengan do'a restumu tadi?"
"restu sih, restu. Tapi..."
"kala memang restu. Besok kamu antarkan suratku untuk Nina."
Aku terdiam. Terpaku menikmati pahitnya pil kecewa yang harus kutelan malam ini. Dulu aku bahagia, bisa memilikki Nina meski hanya sebatas anganku. Aku bahkan berjanji untuk membangun kekuatan sedikit demia sedikit untuk mendekati Nina. Sekaligus meminta pertimbangan Andi, itu kalau aku sudah merasa sudah aman dan Andi tidak menilai aku merasa senang dengan retaknya hubungan mereka dulu.
Tapi malam ini, angan itu bercerai berai. Bangunan kekuatan yang hampir rampung itu, kini harus ambruk. Andi sahabatku datang menengahi. Membawa cinta yang juga untuk Nina.

******
 
Pagi sekali. Sepucuk surat bersampul biru langit kini di genggamanku. Tapi aku berharap hari ini Nina tidak masuk sekolah. Aku tak sanggup menyampaikan surat cinta itu pada Nina. Cintaku untuk Nina yang tak mengijinkan untuk itu. Meskipun di depan Andi, sahabatku, untuk tulus untuk melepaskan Nina. Melepaskan? akh, kata yang kurang tepat bagiku. Bukankah aku bukan siapa-siapa bagi Nina? bathinku.

"Rul, tumben kamu datang pagi?" Nina menyapa santai.
Surat Andi yang tadi ku genggam, langsung ku masukin ke tas. Masih ada perasaan tak tega untuk melukai hatiku sendiri dengan memberikan surat itu kepada Nina.
"ngng... gimana ya. Oh iya... a...a..aku...aku ada peer fisika yang belum kuselesaikan." gugupku tanpa berani menatap Nina terlalu lama. Penyakit gagapku kambuh lagi. Dan itu hanya ada jika berhadapan dengan Nina.
"bukan peer dong namanya, kalau dikerjakan di sekolah..."
"tinggal satu nomor, kok."
Aku tersenyum malu. Bayangan surat bersampul biru langit kembali berkelebat di anganku. Melukai perasaanku. Kuserahkan apa gak ya? Sebagai sahabat yang baik, aku memang harus menyerahkannya. Tapi apa untuk menjadi sahabat yang baik harus berkorban perasaan? Akh, aku bingung.

"Nin.." ucapku menyebut namanya saat Nina hendak berlalu dariku.
Nina berbalik. Menghadiahkan tatapan untukku. "ada yang bisa aku bantu, Rul?"
Tanganku yang sudah merogoh tas untuk meraih surat dari Andi, kini terdiam. Suara lembut Nina, tatapan teduh Nina, tak bisa membuatku tulus untuk melepaskannya. Untuk siapa pun. Meski itu untuk Andi, sahabatku.
Aku sadar Nina sekarang masih menatapku, tapi sedikitpun aku tak berani untuk membalas tatapannya. Teduhnya tatapan itu malah membuat hatiku bisu diantara debaran yang tak menentu. Padahal, dulu Andi mengaku jika tatapan Nina mampu membuat hatinya tenang. Bahkan detak jantungnya berdetak tanpa suara melihat tatapan teduh itu. Lalu ada apa dengan hatiku?

"kalau kamu mau, aku bisa bantu kamu menyelesaikan peer fisika yang satu nomor itu." ucapnya menawarkan jasa.
"ng...enggak. Aku bisa selesaikan sendiri, kok."
Akh, bodoh! Kenapa aku tak serahkan saja surat Andi itu. Biar urusanku selesai! Sesalku saat Nina berlalu ke kelasnya.

Baru beberapa menit Nina berlalu, Andi telah berdiri di hadapanku. Aku sedikit gugup karena aku belum menyerahkan suratnya untuk Nina. Apa lagi tatapan Andi sepertinya sedang memendam amarah untukku.
"Ndi.."
"aku memperhatikanmu dari tadi. Sepertinya ada yang gak beres denganmu, Rul! Jangan-jangan kamu curi kesempatan untuk berdua-duaan dengan Nina."
"maksud kamu?" aku masih pura-pura gak tahu.
"gak usah pura-pura, Rul! gak nyangka, kamu yang kuanggap sahabat sejati malah gak lebih dari pagar makanan tanaman." ungkap Andi membuatku semakin tak tahu harus berucap dan bergerak.
Aku mematung! Menerima tatapan tajamnya yang seolah hendak menerkamku.
"aku minta maaf!" ucapku. Tapi Andi meninggalkanku seolah-olah tak mendengar permintaan maaf itu.

Sekolah semakin ramai. Aku memutuskan untuk kembali mencari Nina. Aku tak ingin kehilangan Andi sebagai sahabat. Bagaimana pun Andi yang pertama mengenal dan memilikki Nina, meski harus terputus ditengah jalan. Dan memang salahku jika moment itu kuambil sebagai kesempatan untuk memilikki Nina. Bagaimana pun kedekatanku dengan Nina kelak tetap akan berkesan sebagai perampas kebahagiaan sahabatku sendiri.

"Nina!" panggilku lantang. Tanpa beban! Tekadku untuk mempersatukan kembali Nina dengan Andi telah bulat, meski itu sakit!
"Surat dari siapa?" tanyanya saat aku menyerahkan surat Andi.
Tatapannya tak mampu membuatku berani menjawab pertanyaannya. Kunikmati tatapan teduh itu, mungkin untuk yang terakhir kalinya.

"kamu serius, Rul?" terlihat jelas ada bahagia terpancar dari tatapan itu, setelah membaca surat Andi.
Akh, Andi dan Nina memang mungkin tak bisa berpisah untuk selamanya. Buktinya, Nina begitu bahagia membaca surat itu.
"Rul, kamu serius?" ulangnya lagi. Aku hanya bisa mengangguk.
"tapi kenapa kamu tak pernah mengakuinya di depanku, padahal aku pun telah lama menanti kehadiranmu di hatiku."
Kalimat Nina membuatku bingung. Keningku berkerut!
"ya, aku pun mencintai kamu! Hubunganku dengan Andi retak karena aku yang tak bisa mengingkari kata hatiku bahwa aku lebih mencintai kamu."

Aku masih membisu. Ku coba meraih surat Andi yang masih di tangan Nina.

Nina,
Ternyata Arul mencintai kamu. Jika itu bisa membuatmu bahagia aku pun akan merasakan kebahagiaan itu.
Nina, jangan kecewakan sahabatku! Dia mencintaimu tulus.

Akh, ternyata Andi mengerjaiku! Membaca surat itu membuat gugupku kambuh lagi. Dadaku terasa menanggung beban yang begitu berat. Sesak! Lidahku pun keluh untuk berucap, meski itu satu kata.
"duh, gugup begitu. Akui saja, kamu mencintai Nina, kan?" Andi tiba-tiba datang menepuk bahuku. Ternyata Andi mengawasiku dari jauh.
Kuberanikan diri mengangkat kepala dan mencari sorot mata Nina. Dia tersenyum, manis sekali! Senyum itu hanya bisa aku balas dengan anggukan. Dan semoga dia mengerti jika itu adalah sebuah pengakuan bahwa aku siap untuk menjalani hari-hari cinta bersamanya.

******
Sekian ...

Cari Blog Ini

Layanan

Translate