Sebuah Cerpen Jadul : Biarkan Cinta Bercerita

Mata Mita menerawang sesaat, merasakan apa yang baru saja dialaminya tadi sore. Sakit sekali rasanya. Setega itukah Afis menyakiti hatinya? Gadis itu tergugu sendiri dikamarnya. Kepercayaan yang dibangunnya pada Afis, kini mulai goyah. Gadis mana yang bisa bertahan dengan kondisi seperti ini?
Kalau saja Mita tidak mendengarkan kejadian tadi sore... ketika ia sudah tak sabar lagi menunggu Afis yang sedang menelpon pak Nasrun, akhirnya gadis itu naik kelantai dua. Disana ia mendengar segalanya.

“Masa sih, aku ngelupain kamu. Aku selalu merindukan kamu, sayang... Apa? Ada yang lain? Kata siapa, sih? Hahaha... kamu masih percaya sama aku, kan..? ‘Gak percaya? Wulan... kenapa kamu selalu meragukan kesetiaanku? ‘Gak semua cowok. Kapan? Oh ... dia itu cuma teman biasa. Bener. Kamu pengen denger lagi? Aku selalu cinta kamu, Wulan. Sampai kapan pun ...”
Susah payah Mita, menahan gejolak didadanya. Ia merasa tak sanggup lagi mendengar percakapan memuakkan itu. Ingin rasanya ia beranjak pergi dari tempat itu. Tapi sisi hatinya yang lain menuduhnya pengecut. Haruskah aku berlari sambil menangis karena orang yang selama ini aku cintai, kini telah menghianatiku? Tentu saja semua itu tindakan pengecut. Mita mencoba membentengi dirinya, agar bendungan dimatanya tidak pecah.
Akhirnya dengan langkah goyah, Mita melangkah masuk. Selanjutnya wajah Afis pucat pasi, dan suaranya mulai terbata begitu Mita muncul tiba-tiba didepannya. Wajah Afis persis seperti seorang maling yang tertangkap basah, sesaat sedang beraksi.
“Afis...?” Mita muncul didepan Afis dengan wajah memerah. Ada letup api yang mengaris dimatanya.
“Mita..” Afis mendadak menjadi salah tingkah. Ia buru-buru menutup telpon. “teman cowok saya, kebetulan udah lama ‘gak ketemu, Ta ...”
“Begitu?!” Mita tersenyum mencibir. “dengan seorang teman cowok kamu bisa ngomong dengan penuh kemesraan? Penuh bahasa rindu dan cinta ...?!”
“Mita ...” wajah Afis tambah pucat.
“Aku ‘gak nyangka, kamu setega itu, Fis !”
“Mita ...”
“Lima menit aku mendengarnya, Fis. Cukup banyak. Sampai aku ‘gak sanggup mendengarnya lagi ..”
“Jadi ..” Afis berdiri, terkejut, dan ‘gak tahu harus ngomong apa lagi?
“Saya udah curiga sejak awal, kamu ternyata bukan menelpon pak Nasrun, kan?”
Selesai dengan kalimatnya, Mita langsung bergegas meninggalkan Afis yang masih terpaku ditempatnya. Namun dengan sigap, ia mengejar langkah Mita yang menuruni tangga.
“Mita ... biar kujelaskan!” dilantai bawah, Afis berhasil mengejar langkah Mita.
Namun ketika Afis hendak meraih tangan Mita, gadis itu menepis tangannya dengan kasar. “tak ada yang perlu dijelaskan lagi! Semuanya sudah cukup jelas, Fis!”.
“itu semua tadi cuma main-main, Ta. Aku orangnya suka iseng. Kamu masih percaya aku, kan ...”
“Saya ..”
Plak! Sebuah tamparan diwajah Afis. Mita berdiri dan melangkah keluar.
Afis mengusap pipinya. Seakan tak percaya dengan apa yang barusan terjadi. Belum pernah sebelumnya ia menerima tamparan dari seorang gadis. Cepat tersadar dari lamunannya, Afis menyusul keluar. Bersamaan dengan itu didepan kantor sebuah taksi berhenti. Dan tubuh Mita lenyap didalam taksi itu.
Afis terlongong sendiri. Sekali lagi ia mengusap pipinya.




***************
Mita mengusap pipinya yang basah. Tak ada yang perlu dipertahankan lagi, bathinnya nelangsa. Ini adalah kedua kalinya ia dikecewakan cowok. Dan itu betapa sangat menyakitkan.
Mita bangkit dari rebahannya. Langkahnya menuju kearah laci meja belajar. Diputarnya kunci sekali kekanan. Tangan gadis itu meraih segopok sampul surat. Sedetik kemudian, surat-surat itu telah bertumpuk diatas meja belajar. Lalu matanya beralih keujung meja. Disana matanya menangkap seraut wajah dengan rahang kukuh, yang dibingkai dengan warna kuning gading. Seraut wajah seorang cowok, Al Hafis dalam ukuran 5R, tersenyum kearahnya. Senyum itu begitu memikat. Namun, Mita merasakan senyum itu kini berubah bagai seringai yang paling menjijikkan. Mita benci sekali.
Diraihnya photo itu. Tangan mungilnya terangkat keudara, dan ketika siap menghempaskannya ke lantai ...
“Mita .. ada telpon buat kamu. Cepatan gih!” suara bang Bas menghentikan gerakan tangan Mita. Bingkai photo yang masih ada ditangannya, dicampurkan keatas tumpukan surat. Buk!
“Dari siapa, sih!” tanya Mita kesal. Walaupun hatinya telah menebak bahwa yang menelpon pasti ...
“Siapa lagi. Biasa ... Arjuna kamu!”
“Afis!” nada suara Mita meninggi. Biasanya, begitu mendengar nama itu disebut sama orang rumah, ia bagai seekor kijang yang sedang berlari dihutan. Langsung menyambar gagang telpon. Lalu percakapan pun, seringkali tidak pernah dibawah 15 menit. Hal ini pula yang sering bikin orang rumah ngedumel. Tidak kurang dari papa yang biasanya orang yang paling sabar, harus berdehem-dehem kalau sudah kelewat lama. Sebab papa sering menunggu telpon dari para relasi.
“Bilang aku ‘gak ada!” sahut Mita enggan.
“Hei ... jangan bilang kamu ‘gak suka lagi kedia!”
“Memang!”
Bang Bas terdiam sesaat. Ditatapnya wajah adik semata wayangnya itu. “Ada masalah?”
“Tolong, bang. Katakan aku ‘gak ada!” mohon Mita.
“Oke, aku ‘gak ngerti masalah kalian.”
“Terima kasih, bang.”
“Jangan gembira dulu. Aku ‘gak katakan kamu ‘gak ada. Tapi kamu menolak menerimanya.”
“Kumohon. Sekali ini saja, bang!” suara itu mengandung iba.
Bang Bas melangkah kemeja telpon. “Halo, besok kita bicara, Fis. Dikantin kampus, pukul 10 pagi. Mita lagi sakit, oke?”
“Jangan campuri urusan kami, bang Bas!” Mita yang mendengar percakapan itu jadi meradang. Ditutupnya pintu kamar dengan keras.
Bang Bas terbengong didepan pintu. “separah inikah keadaannya?”






************
Dua cowok itu duduk berhadap-hadapan. Mereka sengaja duduk dipojok kantin. Afis berkali-kali menyeka keringat dikeningnya. Bastian meneguk es colanya.
“Aku ‘gak ingin melihat Mita kecewa, Fis.” Bastian menatap Afis.
“Aku juga!”
“Tapi tadi malam Mita marah sekali. Sejak kalian berhubungan, baru tadi malam Mita semarah itu. Jangan bilang kamu ‘gak punya salah, Fis!”
“Bas ... aku. Mita cuma salah pengertian!”
“Apa yang terjadi, Fis? Aku pengen kamu jujur!”
Afis menghela nafas panjang. Meneguk minumannya.
“Kita sudah lama berteman, Fis. Kamu ‘gak ingin kita jadi musuh, kan?”
“Aku ‘gak mungkin mutusin Mita, itu jawabanku.”
“Jawab dulu pertanyaanku, Fis!”
“Oke. Mestinya aku bisa menyelesaikan persoalan ini dengan Mita sendiri ...”
“Dia adikku. Aku punya tanggungjawab padanya.”
Akhirnya Afis menceritakan semua yang terjadi. Wajah Bastian mengeras. Tapi ia menahan gejolak emosinya untuk tidak meledak. Hati kecilnya tidak bisa menerima apa yang dilakukan Afis terhadap adiknya. Lama ia terdiam.
Ponsel disaku Afis berbunyi. Terjadi percakapan singkat.
“Maaf, aku harus pergi, Bas. Ada keperluan mendadak!” ucap Afis ringan.
“Aku juga!” Bastian bangkit dari duduknya. Berjalan kekasir.

**************
Telah dua kali Afis gagal mengajak Mita bicara. Pertama ketika ia menjumpai gadis itu dikampus lima hari lalu. Mita langsung menghindar, begitu melihat Afis muncul.
Kedua, ketika ia nekat datang kerumah. Mita mengurung dirinya dikamar. Papa yang berusaha membujuknya untuk keluar juga gagal.
Dan ini kali ketiga, Afis ‘gak mau gagal lagi. Ia sengaja mengekori Mita keperpustakaan fakultas. Walaupun sebenarnya hari ini ‘gak ada mata kuliah, tapi Afis kekampus juga. Dikantorpun, ia mencari alasan, kalau hari ini ada mata kuliah. Padahal kemarin Afis sudah bilang ke pak Nasrun, kalau hari ini tidak ada kuliah.
Ketika Afis melihat Mita pergi keperpustakaan sendirian, hatinya sedikit menjadi lega. Berarti tidak banyak rintangan yang bakal dihadapinya. Tak ada alasan buat gadis itu, untuk mengajak temannya hengkang nanti.
Afis berada dibalik rak Kesusastraan Daerah. Dari sana sambil memilih-milih buku, tapi matanya tak pernah lepas dari Mita yang berada tepat dibalik rak buku Afis.
Nah, sekarang saatnya, pikir Afs, penuh pertimbangan. Dengan lagak seorang yang tengah serius mengamati isi buku, ia terus melangkah kearah meja baca panjang. Bersamaan dengan itu, Mita juga tengah melangkah sambil membolak-balik buku ditangan menuju kemeja baca.
Bruk!
“Eh ... maaf ..!” refleks Mita mundur kebelakang selangkah, begitu menyadari ia telah menabrak orang.
“Maaf juga ..”
“Kamu ...!” Mita mendongak, menatap siapa orang yang tegak dihadapannya. Wajahnya bersemu merah. Ia siap memutar langkah, ketika dengan sigap, Afis mencekal lengannya.
“Kita harus bicara, Mita!” sergah Afis.
“Lepaskan tanganku, kalau kamu ‘gak ingin aku berteriak.”
“Terserah kamu. Aku cuma minta waktu lima menit. Disini mungkin lebih bagus!”
“Jangan nekat, Fis. ‘Gak ada lagi yang perlu kita bicarakan. Semuanya sudah jelas. Kita ‘gak ada hubungan apapun lagi!”
“Kamu punya waktu lima menit?”
Mita menghela nafas dalam. “Tiga menit!” akhirnya Mita mengalah. Ia juga tak ingin ada anak-anak yang memergoki adegan konyol ini. Sebab, sejauh ini, teman-temannya, masih menganggap ia dan Afis masih pacaran.
“Oke, tiga menit!” hati Afis bersorak girang. Sudut bibirnya mengukir senyum. Mita melangkah terlebih dahulu kemeja baca yang terletak dipojok. Kalau biasanya Afis selalu memilih duduk disamping Mita. Tapi untuk kali ini ia duduk diseberang meja.
“Tiga menit. Selesai ‘gak aku pergi dari sini!” ingat Mita.
“Baru juga dua puluh detik.”
“Jangan melucu, Fis.”
“Oke. Kalau kamu percaya. Aku bakal mengatakan yang sebenarnya. Wulan sekarang ada dikantin. Akan kukenalkan kalian ...”
“Bukan urusanku!”
“Aku belum selesai!” Afis menatap bola mata gadis didepannya. Ia melihat ada letup cemburu disana. “yang kutelpon hari itu, Wulan. Dia adik kandungku. Baru kemarin tiba dikota ini, aku sengaja ingin memancing kecemburuan kamu. Aku ingin melihat , gimana reaksi orang yang kusayangi, kalo lagi cembokor. Cuma itu. Dan nyatanya aku berhasil. Kamu marah dan benci keaku. Aku tahu, kamu ada dibalik pintu saat itu. Dan yang menelpon kekantor Wulan. Bukan aku. Makanya aku terus mengajak ngomong ngalor-ngidul dengan Wulan. Maksudnya cuma pengen memancing reaksi kamu.”
Mita masih menjadi pendengar. Wajahnya merunduk. Sedangkan hatinya mencoba untuk menarik satu kesimpulan tentang cerita Afis tadi. Cowok yang dikenalnya hampir setahun yang lalu. Afis yang sebelum kejadian itu selalu jujur berkata, kesetiaannya juga terjaga. Mita merasakan, selama hampir setahun hubungan mereka, cowok yang nyambi kerja sebagai wartawan ini, belum pernah menyakiti hatinya. Tak pernah terjadi perselisihan yang berarti diantara mereka.
Gadis itu terkadang juga heran dengan hubungan mereka yang begitu mulus. Tanpa riak, apalagi gelombang yang mampu memporak-porandakan kisah kasih mereka. Kadang kala, Mita juga merindukan ada saat-saat tertentu, ia ingin Afis marah padanya. Lalu mereka bertengkar. Lalu tak jumpa selama beberapa hari. Empat lima hari mungkin cukup, lalu bertemu kembali dengan saling meminta maaf. Bukankah semua itu akan lebih punya warna?
“Itulah maksudku yang sesungguhnya, Mita.” Afis mengulirkan tangan diatas meja. Menyentuh jemari lentik milik Mita. “kadang aku juga rindu suasana yang kian hadir diantara kita. Sehingga hubungan kita ‘gak melulu datar dan lurus. Tapi juga ada kelokan dan tanjakan. Tapi, yang terpenting adalah gimana kita saling menjaga kesetiaan dan kejujuran kita.” Afis meremas jemari Mita lembut.
Mita membiarkan tangannya berada dalam rangkuman tangan Afis.
“Maaf, kalo kamu masih merasa marah, benci dan juga mungkin pengen mengakhiri hubungan kita. Aku mengaku salah. Katakan sekarang, Mita, apakah kamu memang pengen memutuskan hubungan kita?”
Mita mendongak. Menatap sepasang telaga teduh milik Afis.
“Kita sudah lebih sepuluh menit malah disini. Kamu pergi?!”
“Aku pengen berkenalan sama Wulan, adik kamu. Mungkin aku dan dia bisa lebih akrab nantinya. Astaga, sudah berapa lama ia menunggu sendiri disana, Fis?” Mita tidak mengubris pertanyaan Afis. “aku mengusulkan, gimana kalo kita makan siang bersama di Resto Lamnyong? Disana kupikir tempatnya lebih romantis.”
Afis mengangguk mantap. “Wulan pasti setuju!”


Mentulik, 21 Juli 2005.
Terima kasih buat sesorang disana ...

Sebuah Cerpen jadul : Cinta Untuk Ibu di Surga

Siang itu mentari seperti enggan menampakkan cahayanya. Mendung menyelimuti kota Pekanbaru, ketika Dany berjalan menuju sebuah pemakaman umum. Dany berniat pergi pemakaman Ibunya, karena sudah cukup lama ia tidak mengunjungi tempat tersebut. Kesibukannya menjadi wartawan disebuah tabloid akhir-akhir ini, membuatnya hampir tak punya waktu, walau sekedar membaca yassin dipusara Ibunya. Terakhir kali ia kesana, itu sekitar satu tahun yang lalu.
Jarak antara tempat tinggalnya yang sekarang dengan tempat pemakaman Ibunya, tidak terlalu jauh, hingga bisa ditempuh dengan hanya berjalan kaki. Kebetulan sekali sepeda motornya sedang diservis dibengkel langganannya yang berada didepan rumah kontrakannya. Dan hari ini ia tak ada jadwal kerja, jadi ia mamfaatkan untuk pergi kepemakaman Ibunya.


Ketika sedang asyik berjalan, tanpa sadar didekat pintu gerbang  ia bertabrakan dengan seorang Bapak-bapak berkacamata hitam.
“Maaf!” begitu ucap Dany ketika tersadar dari lamunannya. Bapak itu menatapnya cukup lama, kemudian tersenyum.
“Sekali lagi saya minta maaf, tadi saya tidak melihat bahwa ada orang didepan saya. Karena saya ...”
“Oh, tidak apa-apa. Tidak apa-apa!” kata Bapak itu memotong ucapan Dany, yang mencoba menjelaskan kekeliruannya. “itu bukan salah kamu, salah saya juga! Saya juga sedang melamun!” lanjut Bapak itu terdengar lembut dan sopan. Dany pun balas tersenyum.
“Kalau begitu saya permisi dulu,pak!” ucap Dany kemudian.
“Oh, ya silahkan ..” balas Bapak itu ramah.
Dany pun berlalu, berjalan menuju pusara Ibunya. Tanpa ia sadari Bapak itu tetap menatapnya lama, sampai Basri benar-benar hilang dari pandangannya. Bapak itu menggeleng sendiri dan tersenyum. Hingga kemudian, ia berjalan menuju mobilnya yang diparkir tak jauh dari pintu gerbang pemakaman.
Dany cukup kaget, ketika ia sampai dimakam Ibunya. Meski sudah lama ia tidak datang kemakam itu, tapi makam itu tetap bersih dan diatas makam itu terdapat seikat bunga yang masih segar. Itu berarti bunga tersebut baru saja ditaruh disitu, pikirnya. “Tapi siapa yang menaruh bunga disini?” gumamnya dalam kesendirian. Yang ia tahu, selain ia sendiri, tak mungkin ada orang lain yang datang kepusara Ibunya. Karena seingatnya, semua keluarga Ibunya tinggal dipulau Jawa sana. Dan pun, jika mereka kesini, tentunya mereka sampai kekontrakannya. Lagi pula, sudah sangat lama, keluarga Ibunya tidak kesini. Selain jauh, mereka juga bisa dibilang bukan keluarga dekat.
Sejak Ibunya meninggal sekitar empat tahun lalu, keluarga Ibunya tak pernah lagi berkunjung kesini.


Tiba-tiba pikiran Dany melayang kemasa dimana Ibunya masih hidup dulu. Ia masih ingat, betapa Ibunya begitu gigih berjuang untuk membiaya hidup mereka berdua dan membiaya sekolah Dany. Ibunya yang hanya bekerja sebagai tukang jahit pakaian itu, masih mampu membiayai sekolah Dany hingga tamat SMA.
Kemudian Dany mendapatkan pekerjaan sebagai wartawan, karena Ibunya sudah tak mampu lagi bekerja seperti biasa. Ibunya sudah mulai sakit-sakitan. Hampir enam lamanya Dany bekerja menjadi wartawan ditabloid Gerhana, Ibunya pun akhirnya pergi.
“Dany, anakku...” suara Ibu terdengar serak. Itu kali terakhir ia mendengar suara Ibunya. Beberapa jam menjelang sang Ibu akhirnya menghembuskan nafas terakhir. “maafkan Ibu, nak. Mungkin Ibu tidak mampu bertahan lebih lama lagi ...”
“Ibu ... Ibu jangan berkata seperti itu ...” potong Dany, sambil menggenggam erat tangan Ibunya.
“Selama ini, kamu tidak pernah bertanya tentang ayahmu.” Lanjut Ibunya kemudian. “dan Ibu pun sulit menjelaskan semuanya, nak...”. Ibu menarik nafas cukup panjang, lalu melanjutkan,”kini sudah saatnya kamu tahu semuanya, selagi Ibu masih ada waktu ...”
Dany terdiam, mendengarkan. Selama ini memang ia tidak pernah bertanya tentang ayahnya. Meski kadang ia juga sebenarnya ingin tahu. Tapi, ia tidak ingin menyinggung perasaan Ibunya, jika bertanya tentang hal tersebut. Lagi pula, Dany merasa sangat bahagia bisa mempunyai seorang Ibu yang sangat baik dan sayang padanya.
“Dulu, ayahmu dan ibu hidup bahagia, karena kami saling mencintai. Walau hidup kami jauh dari kata cukup.” Ibu memulai ceritanya. “kemudian, pada saat Ibu mengandungmu enam bulan, ayahmu diberhentikan bekerja dari tempat kerjanya, ada pengurangan karyawan, begitu perusahaan menjelaskan.” Sejenak Ibu memejamkan matanya, lalu menatap Dany, kemudian melanjutkan,”seorang kenalan mengajak ayahmu bekerja kesini, ke Pekanbaru. Ayahmu setuju, karena di Jawa sana, ayah sudah tidak punya pekerjaan lagi. Dengan berat hati Ibu melepaskan kepergian ayahmu...” Ibu menarik nafas, kemudian melanjutkan lagi,”ayahmu berjanji akan menjemput kita, jika ia sudah mendapatkan pekerjaan dan tempat tinggal tetap”.
“Namun sampai usiamu dua tahun, ayahmu belum juga datang menjemput kita. Kabarpun tak ada. Sementara itu, kakekmu yang membiayai hidup kita selama itu, sudah meninggal. Sedangkan keluarga kita yang lain, hidup mereka juga pas-pasan. Jangankan untuk membantu kita, untuk makan mereka pun masih kekurangan.” Ibu mulai meneteskan air mata, dan semakin erat memegang tangan Dany.
“Lalu, dengan modal seadanya, Ibu membawamu ke Pekanbaru untuk mencari ayahmu. Meski Ibu tak pernah tahu dimana alamatnya. Namun Ibu berharap bisa bertemu ayahmu disini. Hampir seminggu, pencarian Ibu sia-sia, Ibu belum juga bertemu ayahmu. Bahkan hingga sampai saat ini.” Ibu mengusap pipinya, yang dibasahi air matanya. Kemudian ia melanjutkan, “beruntunglah ada seseorang yang baik hati yang mau membantu kita, ia mencarikan kita sebuah kontrakan dan juga sebuah mesin jahit, untuk modal Ibu memulai usaha disini..”
“Bertahun-tahun lamanya, Ibu berjuang untuk dapat bertahan hidup dan juga membesarkanmu seorang diri. Karena harapan untuk bertemu ayahmu, sudah memudar. Namun kita harus tetap berjuang, untuk hidup dan juga untuk masa depanmu ..” Ibu berhenti cukup lama. Kemudian ia mengambil sesuatu dibawah bantalnya. Sebuah photo lama. Ia serahkan photo itu pada Dany, yang masih saja bungkam.
“Ibu selalu berdo’a, semoga kelak suatu saat, kamu bisa bertemu dengan ayahmu. Ayahmu yang ada diphoto itu. Photo itu sudah sangat lama, itu photo ketika kami masih berpacaran dulu.” Lanjut Ibunya.


Dany menatap photo yang diberikan oleh Ibunya. Dalam photo tersebut, terdapat gambar sepasang muda-mudi yang sedang duduk disebuah bangku taman. Seorang wanita muda cantik, yang ia tahu itu Ibunya, wajahnya tidak jauh berubah hingga sekarang. Didekatnya duduk seorang pria tampan, yang tidak Dany kenal. Tapi ia yakin, itulah ayahnya, yang diceritakan Ibunya.
“Mungkin kalau bertemu dia saat ini, kamu sulit mengenalnya.” Ibunya kembali bercerita.”Tapi, jika kamu perlihatka photo ini, Ibu yakin ia akan mengingatnya.”
Sesaat kemudian, Ibu memegang kedua pipi Dany dan menatapnya lama, lalu kemudian berujar, “jika kamu bertemu dengannya, tolong maafkan dia...” ucapan Ibunya membuat Dany tersentak. Ia benar-benar tidak tahu, apa yang harus ia lakukan, jika bertemu dengan pria yang ada dalam photo tersebut. Lagi pula, harapan untuk bertemu orang tersebut sangat tipis. Bukan saja, karena kota ini luas, tapi bukankah Ibunya sudah mencarinya bertahun-tahun, namun tidak juga bertemu.
Dany masih termangu didekat makam itu, ketika seseorang menepuk pundaknya. Dan saat ia menoleh kebelakang, seorang gadis manis berambut panjang telah berdiri didekatnya.
“Airin ..?!” ucapnya dalam kekagetan.
“Iya, ini aku! Kenapa?!” balas gadis itu manja.
“Ada apa? Dan kenapa kamu kesini?!” tanya Dany kemudian.
“Pake nanya lagi! Aku cari’in kamu kemana-mana, lho! Dikantor ‘gak ada, kerumah Dino, ia bilang ‘gak tahu. Dikontrakan juga ‘gak ada, diteleponin ‘gak diangkat-angkat ..” terang cewek itu.
“Oh ya, maaf, Rin! HP-ku sengaja aku tinggal dirumah.”
“Udah berapa lama, sih! Kamu disini?” tanya Airin.
“Hmm ... cukup lama, oh ya ada apa?”
“Kamu kan janji, katanya hari ini kamu mau ngajak aku nonton!”
“Ouw iya ya, maaf ya aku hampir lupa! Tapi belum terlambat, kan?!”
“Belum. Kamu masih punya waktu 20 menit untuk bersiap-siap, oke!” Airin berkata sambil tersenyum manja. Kemudian bersama-sama mereka melangkah meninggalkan pemakaman itu, yang masih menyisakan tanda tanya dibenak Dany.
*******


Setelah mengantarkan Airin kerumahnya. Dany langsung pamit pulang. Tadi baru saja mereka pergi nonton, naik sepeda motor milik Dany. Mereka udah dua tahun ini saling kenal, walau hubungan mereka masih sebatas teman, tapi Dany sangat menyayangi gadis itu yang masih duduk kelas tiga SMU itu. Airin memang sangat baik padanya, itulah yang membuat Dany sulit menolak ajakannya. Setelah ibunya tiada otomatis hanya Airin yang dekat dengan Dany, selain Dino sahabatnya dan juga rekan-rekan kerjanya.
“Kamu ‘gak mampir dulu?” tanya Airin suatu ketika Dany mengantar Airin pulang dari jalan-jalan.
“Kapan-kapan aja, ya!” jawabnya.
“Kamu ‘gak mau aku kenalin sama orangtua ku?” tanya Airin lagi.
“Hmm ... mungkin lain kali aja, ya!” balasnya tersenyum.
Sebenarnya bukan Dany tidak mau mampir kerumahnya Airin, tapi Dany merasa sungkan. Karena menurutnya rumah Airin itu sangat megah, ia takut orangtua Airin melarangnya berteman dengan Airin. Dan itu berarti ia akan kehilangan Airin, dan Dany tidak mau hal itu terjadi.
“Kamu kenapa, sih! Setiap kali aku ajak main kerumah, selalu ‘gak mau?” tanya Airin suatu hari mereka bertemu disekolahan Airin.
“Aku ‘gak enak aja sama orangtua kamu,Rin!”
“Lho, emangnya kenapa? Orangtuaku ‘gak ada masalah, kok. Mereka ‘gak melarang aku berteman dengan siapapun.” Jelas Airin.
Dany terdiam. Penjelasan itu tetap saja membuatnya belum berani bertemu orangtua Airin. “mungkin suatu saat. Tapi bukan sekarang.” Tegasnya pada Airin. Dan Airin maklum.

***************





Agak gugup Dany memasuki sebuah gedung perkantoran megah dikota itu. Ia kesini karena tugas. Ia diminta untuk mewawancarai seorang pengusaha yang sukses, untuk dimuat ditabloid Gerhana, tempatnya bekerja. Sekarang Dany berdiri tepat didepan pintu ruangan pengusaha tersebut. Ia agak ragu untuk mengetuk pintu. Meskipun sudah ada perjanjian untuk wawancara tersebut.
Dany sudah sering dan terbiasa mewawancarai berbagai profil orang, juga beberapa orang sukses lainnya. Tapi entah mengapa kali ini ia agak sedikit gugup. Bukan saja karena pengusaha itu meminta ia datang langsung kekantor, karena biasanya Dany mewawancara beberapa orang justru di cafe atau restoran, tapi juga karena nama pengusaha tersebut kebetulan sama dengan nama ayahnya yang belum ada kabar sampai saat ini.
Meski Dany yakin, itu hanya sebuah kebetulan. Namun tetap saja hatinya ragu, sebab pak Abdul Hamid atau yang Dany tahu lebih akrab dipanggil pak Hamid, nama pengusaha itu tidak punya titel dan gelar apapun.
Dengan masih diliputi kegugupan, Dany mengetuk pintu ruangan itu.
Tok! Tok! Tok!
“Ya, masuk!” perintah suara didalam.
Dany membuka pintu dan menatap bapak tersebut sambil tersenyum. Ketika bapak tersebut melihat padanya, Dany sedikit terkesiap. Bapak itu juga kelihatan terkejut dengan kedatangan Dany. Namun Dany mencoba tersenyum ramah, ia ingat bapak ini yang bertabrakan dengannya ketika digerbang perkuburan waktu itu.
“Selamat siang, pak. Saya Dany Firmansyah dari tabloid Gerhana. Saya diminta kesini oleh pak Sakir, bos saya. Untuk wawancara dengan bapak.” Ucap Dany menjelaskan.
“Oh ...” Bapak itu mengangguk,”silahkan duduk, tadi pak Sakir sudah mengabari saya..” jawab bapak itu sopan.
Lalu kemudian Dany memulai wawancara itu, ia sengaja tidak mengungkit soal tabrakan dikuburan itu. Ia yakin bapak itu juga masih ingat akan kejadian itu. Tapi hal itu sudah tidak penting lagi.
Selesai wawancara, Dany pamit. Namun saat Dany hendak melangkah keluar, Dany bertabrakan dengan seorang gadis yang sudah sangat ia kenal, sehingga berkas-berkas yang Dany bawa berserakan. Gadis itu membantu Dany mengumpulkan berkas-berkas tersebut.
“Airin! Kenapa kamu ada disini?” tanya Dany pada gadis itu, setelah mereka sama-sama berdiri kembali.
Airin tersenyum manis, kemudian menjawab, “mau bertemu papaku.”
“papa kamu?” tanya Dany makin heran.
“Iya, nak Dany! Airin itu anak perempuan bapak satu-satunya ...” ucap pak Hamid dari tempat duduknya, yang sedari tadi menyaksikan kejadian didepan matanya.
Sejenak Dany terkesiap. Sungguh diluar dugaannya, jika pak Hamid itu papanya Airin. Selama ini memang Dany tidak banyak bertanya-tanya tentang keluarga Airin padanya. Namun tetap saja, ini sebuah kebetulan yang luar biasa baginya.
“Oh, jadi ini cowok yang sering kamu ceritakan sama mama dan papa itu ya?” tanya pak Hamid pada anak gadisnya, sambil tersenyum menggoda.
“Iya, Pa!” jawab Airin manja.
Dany kembali terpaku, ia tak menyangka kalau Airin sudah bercerita banyak tentangnya kepada papanya. Dengan sedikit menahan rasa malu, Dany pamit pulang.

*************



“assalamualaikum ...” terdengar suara seseorang mengucapkan salam dari luar. Dany bangkit dari rebahannya dan menuju pintu.
“Waalaikumsalam ...” jawabnya sambil membuka pintu. Dan ia sangat terkejut ketika dihadapannya telah berdiri pak Hamid, papa Airin.
“Selamat pagi!” sapa pak Hamid.
“Pagi, pak!” jawab Dany, dalam kebengongannya. “Ada apa ya, pak?” lanjutnya.
“Hmm, bolehkah saya masuk?” ujar pak Hamid lagi, tanpa menghiraukan pertanyaan Dany.
“Oh, ya... tentu boleh, pak! Silahkan!” jawab Dany selanjutnya.
Setelah mempersilahkan tamunya duduk dan menyajikan segelas minuman juga beberapa makanan ringan, Dany duduk berhadapan dengan pak Hamid diruang tamu kontrakannya yang sederhana.
“Apa ini milik kamu?” pak Hamid memulai pembicaraan sambil menyerahkan selembar photo usang kepada Dany.
Dany mengambilnya dengan agak ragu, kemudian memperhatikan photo tersebut. Ia ingat, itu adalah photo yang diberikan Ibunya dulu.
“Iya, pak! Ini milik saya! Maaf sebelumnya, pak. Kenapa photo ini bisa ada sama Bapak?” ucap Dany memperjelas keingintahuannya.
“Kemarin saya menemukannya didekat pintu ruangan kantor saya. Mungkin kamu menjatuhkannya.” Jelas pak Hamid.
“Oh..” Dany menggut-manggut, ia jadi ingat, ketika ia bertabrakan dengan Airin dikantor pak Hamid. Semua berkasnya berserakan, dan photo ini yang selalu ia bawa bersama berkas-berkasnya mungkin ikut terjatuh saat itu. Dan karena saat itu ia terkejut dan juga buru-buru, bisa saja photo itu tak disadari tertinggal.
“Iya! Mungkin memang ketinggalan kemarin.” Dany melanjutkan. “dan terima kasih ya, pak. Sudah bersedia datang kesini, hanya untuk mengantarkan ini.”
“Tentunya photo tersebut sangat berharga bagi kamu?” ucap pak Hamid. Dia tersenyum ramah pada Dany, kemudian berkata, “kalau boleh saya tahu, siapa mereka? Maksud saya orang-orang didalam photo tersebut!”
“Mereka orangtua saya!”
Sesaat pak Hamid kelihatan terpaku, meski ia sudah bisa menebak bahwa kedua orang didalam photo tersebut jelas orangtua Dany. Namun pengakuan langsung Dany tadi tetap membuatnya terkesiap.
Lalu kemudian, dengan terlebih dahulu menarik nafas panjang dengan sedikit ragu pak Hamid berkata lagi,”apakah hmm, maksud saya, apakah kamu sudah pernah bertemu dengan ayah kamu?”
Dany menatap pak Hamid sesaat, lalu memalingkan wajahnya kearah pintu yang masih terbuka. Pertanyaan pak Hamid sedikit membuatnya kaget. Rasanya sedikit aneh pak Hamid bertanya seperti itu. Tapi kemudian ia ingat, bahwa ia pernah bercerita pada Airin tentang ayahnya. Mungkin saja Airin juga sudah bercerita pada papanya.
Dengan sedikit enggan Dany menggeleng, “belum.” Katanya singkat.
“Maafkan saya!” ucap pak Hamid tiba-tiba, setelah suasana hening tercipta sesaat.
Kembali Dany menatap bapak itu, heran. Kemudian ia berujar, “oh, tidak apa-apa, pak! Ini bukan pertama kalinya orang bertanya...”
“Bukan soal itu!” pak Hamid memotong.
“jadi?” tanya Dany yang semakin tidak mengerti.
“Kamu yakin, tidak pernah bertemu laki-laki diphoto itu?” tanya pak Hamid, sambil menunjuk photo yang masih Dany pegang.
“Iya! Yakin!” balas Dany, masih dalam ketidakmengertiannya.
“Yah, waktu mungkin telah merubah penampilan saya.” Ucap pak Hamid kemudian. Ia menyibakkan rambutnya kebelakang.
“Maksud bapak?!” tanya Dany sedikit tegang. Ia mulai agak kesal, karena menurutnya pak Hamid dari tadi berkata-kata penuh misteri dan berputar-putar.
“Apakah kamu tidak pernah benar-benar memperhatikan saya?” tanya pak Hamid selanjutnya. Yang membuat Dany semakin kesal.
“Untuk apa?” balas Dany,”untuk apa saya memperhatikan bapak?” Dany menyatukan kedua tangannya, mencoba menarik napas lebih dalam. Walau sejujurnya ia akui, sejak pertemuannya dengan pak Hamid di pemakaman, ia tidak pernah begitu berani menatap bapak itu lama-lama. Bahkan saat wawancara dikantornya kemarin, Dany lebih sering melihat kebawah atau kebuku catatannya. Tapi menurutnya, tetap saja pertanyaan itu aneh. Tapi bukankah sejak awal kedatangan pak Hamid kerumahnya, pertanyaan aneh memang sering muncul dari bapak ini. Bathinnya.


Walau demikian, dengan masih diliputi tanda tanya dalam pikirannya, Dany tanpa sengaja menatap laki-laki dalam photo ditangannya. Kemudian dengan sedikit ragu ia menatap pak Hamid. Kali ini agak sedikit lama. Keningnya mulai berkerut. Ia lihat lagi photo itu, sebuah kesimpulan hampir ditemukannya. Sedetik kemudian ia ragu. Lalu tatapannya beralih kembali kewajah pak Hamid yang masih tersenyum padanya. Kali ini tatapannya jauh lebih lama. Sangat lama. Lalu kemudian ia tertunduk. Tak percaya. Ragu.
“Yah, nak. Akulah laki-laki yang ada diphoto tersebut.” Ucap pak Hamid akhirnya, setelah lama ia terdiam. “laki-laki pengecut yang tak bertanggungjawab.” Lanjutnya lagi. Wajahnya mulai lesuh. Penuh penyesalan.
Dany masih terpaku. Tak percaya. Lelah. Ingin pergi! Ingin tak percaya. Tapi lelaki itu kembali berkata,”maafkan saya untuk itu! Maafkan saya untuk semuanya! Maafkan saya untuk sekian tahun yang terlewatkan... “ lanjutnya mulai terisak, air mata mulai mengenang dimatanya. Lelaki itu menyekanya.
“Saya tidak punya banyak pilihan waktu itu.” Pak Hamid terus berbicara, tak peduli Dany tak menghiraukannya. Ia tahu, Dany sangat terpukul, dan mungkin sangat membencinya saat ini. Tapi ia harus tahu. Dany harus tahu, bathinnya. “saat pertama sampai kesini,” lanjutnya. “bapak dan teman bapak kemalingan. Kami tak punya apa-apa lagi. Bahkan alamat yang akan kami tuju pun hilang. Kami menggelandang. Berusaha bertahan hidup dikota yang tidak kami kenal. Sampai akhirnya teman bapak mengalami kecelakaan. Ia tertabrak oleh sebuah mobil yang melintas cepat didepan kami. Ia tak selamat. Tapi untunglah sipenabrak mau bertanggungjawab.” Pak Hamid menarik nafasnya perlahan. Berusaha tegar. Tak peduli air mata masih terus mengalir dipipinya.
“Pak Heru, sipenabrak bertanggungjawab sepenuhnya. Kemudian saya menceritakan semua yang terjadi tentang kami. Dengan penuh rasa tanggung jawab, Pak Heru membawa saya kerumahnya. Ia seorang pengusaha sukses. Teman bapak dimakamkan secara layak. Saya juga diberikan tempat tinggal dan pekerjaan.”
“Pak Heru telah menyelamatkan hidup saya, meski harus mengorbankan teman saya.” Lanjut pak Hamid, ia menatap Dany yang masih tertunduk.”Beberapa bulan kemudian, ada satu kejadian yang merubah segalanya. Gina, putri sulung pak Heru yang kuliah diluar negeri, tiba-tiba pulang dalam keadaan hamil. Pacarnya yang orang Australia tidak mau bertanggungjawab dan menghilang.”
“Mau tidak mau, pak Heru harus mencari cara untuk menyelamatkan keluarganya terutama dari rasa malu. Kemudian pak Heru memanggil saya dan meminta saya menikahi Gina. Saya tidak bisa menolak. Meski saya sudah mengatakan bahwa saya sudah punya istri pada pak Heru, beliau tetap tak peduli. Baginya yang penting saat itu, ia bisa menikahkan putrinya secepatnya, agar tidak ada orang yang tahu.”
Lama pak Hamid terdiam, menunggu reaksi Dany. Namun Dany tetap membisu, ia tidak tahu harus berkata apa saat ini. Kemudian pak Hamid melanjutkan,”tentunya saya tidak bisa menolak. Selain pak Heru telah menyelamatkan saya, juga ada rasa tanggungjawab moril disitu. Kemudian menikahlah kami, meski belum saling kenal. Lalu anak itu lahir. Airin. Yang sudah kamu kenal. Secara biologis dia bukan anak kandung saya. Tapi Airin tidak boleh tahu. Dan semoga tetap begitu.”


Pak Hamid menarik napas lagi, mengusap wajahnya dan melanjutkan, “setelah itu, saya merasa terikat. Bukan tak pernah saya punya keinginan untuk pulang. Tapi sering. Namun ketika saya punya kesempatan untuk pulang menemui kalian. Kalian sudah tidak ada lagi dikampung, kata pamanmu, kalian pergi kekota ini mencari saya.”
“bertahun-tahun saya mencoba mencari kalian. Namun tidak ada hasil. Sampai suatu hari, seseorang yang saya percaya mendapatkan info tentang kalian. Dia tahu tempat tinggal kalian. Namun ketika saya sampai disana, dikontrakan kalian yang lama, saya diberitahu oleh tetangga, bahwa Ibumu sudah meninggal dan dimakamkan dipemakaman yang kemarin kita bertabrakan. Namun tetangga itu tidak tahu kemana kamu pindah. Saya sempat putus asa untuk mencarimu. Mungkin saja kamu sudah kembali keJawa.”
“sampai akhirnya saya melihat photo itu dikantor saya..” lanjut pak Hamid lagi. “Dan saya yakin kamu adalah anak yang selama ini aku cari. Saya juga sudah menceritakan ini pada Airin. Dia terkejut tapi juga senang.” Pak Hamid menarik napas kembali, seolah lega.
“Sekarang saya sudah menceritakan semuanya.” Lanjut pak Hamid. “semua terserah kamu. Kamu berhak marah. Benci. Bahkan dendam pada saya. Tapi yang pasti saya sangat menyesal. Dan saya tidak akan pernah berhenti untuk meminta maaf padamu. Seperti yang saya lakukan pada Ibumu, dimakamnya setiap akhir pekan.”


Dany masih tetap diam. Hatinya nelangsa. Dia bingung. Dia tidak tahu harus berbuat apa. Kata-kata terakhir Ibunya terngiang ditelinganya. Ingin rasanya ia berlari. Berlari. Tetapi untuk apa? Semua sudah terjadi.
Kata-kata Ibunya kembali terngiang. Dia bimbang. Dan dia biarkan takdir menjalankan tugasnya, karena selama ini itulah yang terbaik.

*****
                                                               Mentulik, 27 Desember 2006

NB         :           Buat Ibu yang telah lama pergi
                           Maafkan anakmu.
                           Aku bukanlah yang terbaik ...

Sebuah cerpen jadul : Flamboyan yang gugur

Dengan menaiki sebuah angkot, aku menuju pulang kekampung halamanku. Setelah hampir lima tahun aku merantau. Lima tahun lamanya, aku mencoba merubah hidupku dirantau orang.

“Pulang kampung, Bang?” suara cewek disampingku, sedikit mengagetkanku.

“Iya...” jawabku sedikit gugup. Karena aku tak mengenali cewek itu.

“Kalau boleh tahu, kampungnya dimana, Bang?” tanyanya lagi.

“Mentulik.” Jawabku singkat.

“Oh...berarti tetanggaan, dong!” ucapnya lagi. “Aku dibangun sari.” Lanjutnya.

Aku manggut-manggut, desa Bangun sari memang dekat banget dengan desaku. Kira-kira hanya berjarak lima kilo meter.

“Kok gak pernah liat abang, ya. Di Mentulik. Saya sering main kesana..”

“Iya. Saya udah hampir lima tahun gak pernah pulang..”

Cewek itu tersenyum. Manis.

“Oh, ya..” kataku kemudian, mencoba akrab, “kamu tadi dari mana?”

“Aku dari Pekanbaru, kerumah kakak!”

Aku manggut-manggut lagi. Jarak kota Pekanbaru dengan desa kami lebih kurang 100 Kilo meter. Cukup jauh perjalananku hari ini. Subuh tadi aku baru sampai keloket di Pekanbaru, setelah perjalananku dua hari dua malam naik bus dari Jakarta, tempat aku merantau selama ini.

Badanku sudah sangat capek dan lelah. Namun perjalanan masih beberapa jam lagi. Sebenarnya aku ingin sedikit tiduran didalam angkot ini. Tapi gadis disampingku masih mengajak aku ngobrol. Dengan sedikit terpaksa aku mencoba beramah tamah.





Kutatap gadis itu cukup lama. Gadis yang cantik. Bathinku. Kalau tersenyum lesung pipinya kelihatan manis. Sebagai cewek, gadis ini pasti banyak yang suka. Dan satu hal, tiba-tiba gadis ini mengingatkanku akan seseorang dimasa lalu ku.

“Oh, ya. Dari tadi kita ngobrol, tapi kita belum kenalan, ya.” Ucapku beberapa saat kemudian. Sementara penumpang-penumpang lain, sedang asyik dengan lamunannya masing-masing atau ada juga yang tertidur pulas.

Sesaat cewek itu tersenyum, kemudian menyambut uluran tanganku, “ namaku, Selarina Dewi, panggil aja Sela.” Ujarnya ramah.

“Aku Bastian, boleh panggil Bas, aja!” balasku, sambil perlahan melepaskan tanganku.

Sesaat kulihat Sela keheranan, matanya sedikit melotot. Dengan cepat juga melepaskan tangannya dan kembali menatap jalan. Sela duduk disisi jendela mobil, hingga ia bebas menatap keluar. Keheranan Sela barusan membuatku bertanya-tanya dalam hati. Tapi kemudian pertanyaan itu aku tepis sendiri. Karena mobil sudah memasuki desaku, dan aku bersiap-siap untuk turun.

“Aku duluan, ya!” ucapku akhirnya pada Sela. Dan kulihat Sela sedikit kaget, sepertinya lamunannya buyar.

“Ya.” Jawabnya ringan. Setelah membayar ongkos, aku langsung turun dari mobil. Angkot itupun terus melaju menuju desa berikutnya, juga desa Sela, yang berjarak lima kilo meter lagi.

**********





Tak banyak yang berubah didesa ini, juga rumah ini. Rumah kosong yang sudah lima tahun tak dihuni oleh siapapun. Tentunya sangat kotor sekali. Seharian ini bahkan sampai malam, aku sibuk membersihkan rumah dan halamannya. Aku masih belum bisa istirahat. Sampai sekitar pukul sepuluh malam, aku baru bisa mandi dan membeli makanan diwarung. Aku jadi ingat, hampir seharian aku belum makan, kecuali subuh tadi sebelum aku naik angkot. Habis makan aku langsung tertidur.

Esoknya, baru aku jalan-jalan, menemui sanak famili dan juga kawan-kawan lama. Teman-temanku sebagian besar sudah berleluarga, kecuali itu tak banyak yang berubah dikampung ini. Semua orang mungkin sudah melupakan masa lalu. Namun aku sendiri masih dibayangi masa lalu. Masa lalu yang sulit dilupakan, namun pahit untuk dikenang.

Tiba-tiba aku ingat kembali kejadian itu, ketika tak sengaja aku melewati serumpun pohon flamboyan, yang membuat pikiranku kembali kemasa lalu. Masa lima tahun silam, kejadian yang membuatku harus pergi dari kampungku ini.

Sebut saja namanya Meli, seakan tak pernah hilang nama itu dihatiku. Gadis cantik, kembang desa itu telah membawa perubahan besar dalam hidupku. Meli seorang gadis manis anak kepala desa kami waktu itu, berpacaran denganku yang hanya seorang anak yatim piatu.

Orang tua ku sudah lama meninggal dunia, dalam usia 15 tahun aku harus berjuang sendiri untuk memenuhi kebutuhan hidupku. Orang tua ku hanya meinggalkan sebuah rumah sederhana yang aku huni selama ini. Untungnya masih ada keluarga ayah dan keluarga ibu ku yang masih mau membantu, walau hanya sekedarnya saja.






Setelah sekian tahun berjuang dalam hidup, sebagai kuli. Karena aku hanya punya ijazah SMP, tak banyak pekerjaan yang bisa aku lakukan. Sampai akhirnya aku bertemu Meli tanpa sengaja, di suatu rapat karang taruna di desa kami. Beriring berjalannya sang waktu, kami pun akhirnya saling jatuh cinta. Waktu itu usia kami sudah 18 tahun. Meski banyak laki-laki lain yang mengejarnya, Meli lebih memilih aku untuk jadi kekasihnya. Ini suatu keberuntungan bagi ku.

Aku jadi lebih semangat bekerja. Aku ingin membuat Meli bangga memiliki ku. Meli yang selalu memperhatikan ku. Banyak hal yang telah dia perbuat untukku. Yang membuat aku semakin menyayanginya.

Setahun hubungan kami baik-baik saja. Walaupun hubungan kami belum diketahui oleh kedua orang tua Meli, tapi kami tetap berjalan dan berharap suatu saat nanti, kami bisa hidup bahagia.

“Apa kamu gak takut menyesal memilih aku jadi pacarmu, Mel?” tanyaku suatu ketika.

“Kenapa harus menyesal?” Meli balik bertanya.

“Yaah, kamu tahu kan, siapa aku? Sementara masih banyak laki-laki lain yang menantikan mu dan mereka semua melebihi segala nya dari aku..”

“Bagiku, kamu adalah yang terbaik Bas. Aku merasa bahagia dan nyaman bersama mu, dan itu lebih dari cukup..” ucap Meli serius.

“Lalu bagaimana dengan orang tua mu, Mel? Mereka gak mungkin dengan begitu saja membiarkan anak semata wayangnya hidup bersama seorang laki-laki miskin dan yatim piatu seperti aku ini…” balasku lirih.

“Aku akan mencoba memberi pengertian kepada mereka, Bas. Apapun yang akan terjadi, kita akan menghadapinya bersama..” ucapannya meyakini ku.

Sampai saat itu aku masih kuat, untuk tetap memiliki Meli. Tapi tampaknya nasib belum memihak pada ku. Suatu hari, ayah Meli, Pak Rus, Kepala Desa kami itu datang kerumah ku sendirian. Duduk diruang tamu butut rumahku, yang tentunya jauh berbeda dengan rumahnya yang mewah.

Setelah berbasa-basi, akhirnya pak Rus berbicara tentang hubungan kami. Banyak hal yang dikatakannya, terutama tentang perbedaan kami yang sangat menjolok. Semua tentang hal yang menyakitkan, intinya pak Rus ingin aku meninggalkan Meli. Aku merasa terhina, aku merasa semakin tak pantas.

“Meli itu anak Bapak satu-satunya, Bas. Bapak ingin dia bahagia, dan sebagai ayah, aku tahu apa yang bisa membuatnya bahagia. Yaitu hidup dengan orang yang sepadan dengannya, terutama secara materi. Dan tentunya punya masa depan yang jelas. Jadi, Bapak minta dengan sangat, tolong tinggalkan Meli demi kebahagiaannya. Tolong jauhi Meli demi saya. Bapak tahu, kamu orang baik. Tapi itu saja tidak cukup, Bas. Meli butuh lebih dari itu. Kamu paham kan, maksud Bapak, Bas..?”





Ya! Aku paham! Bahkan sangat paham. Biar bagaimana pun aku masih punya harga diri. Dan itu satu-satu nya yang aku punya saat ini, untuk itu aku akan menjaga harga diriku. Cinta memang tak selalu mesti bersatu. Meski berat dan sakit, aku putuskan untuk pergi, bukan hanya dari hati Meli. Tapi juga dari hidupnya, dari kampung ini. Aku ingin Meli bahagia, meski bukan dengan ku.

Aku pergi tanpa memberi tahu siapapun, terutama Meli. Aku hanya gak mau masalah ini semakin rumit. Aku tahu, aku pengecut. Tapi sebagai laki-laki dan tentu saja demi mempertahankan harga diri ku yang hampir runtuh, aku harus pergi.

Yah, yang terpikir oleh ku saat itu hanya pergi. Hanya itu satu-satunya jalan, agar aku bisa melupakan Meli, meski takkan pernah seutuhnya.

“Hai, Bas!” seseorang menepuk pundak ku. Aku kaget, lamunanku pun tersentak. Aku pandangi orang itu, aku coba mengingat-ingat. “udah lupa ya sama aku?!” ucapnya lagi.

Tiba-tiba aku ingat, lalu aku berkata, “oh… Jo?! Apa kabar?”

“Baik! Kamu sendiri gimana? Setelah menghilang cukup lama, kemana aja, sih?”

“He..he.. biasa aja kok, aku bukan menghilang, tapi pergi..” balasku pelan.

“Yah, aku sudah tahu kok, kenapa kamu harus pergi.” Lanjut Jo, lelaki itu berbicara dengan nada serius.

“Oh ya, emangnya kamu tahu dari mana?” tanyaku sedikit penasaran.

“Sebelum meninggal, Meli udah cerita semuanya sama aku, bahwa..”

“Apa?! Meli meninggal?! Kamu serius Jo?” potongku sangat kaget.

“Oh, jadi kamu belum tahu, Bas?!” Tanya Jo balik.

Aku menggeleng lesu. Seperti ada yang tergores di hatiku tiba-tiba.

“Meli meninggal beberapa bulan setelah kepergianmu yang tiba-tiba..” lanjut Jo lagi.

Aku tersentak kembali. Ada rasa bersalah yang hadir dihatiku. Meli tentunya sangat kecewa dengan keputusanku. Oh, maafkan aku, Mel. Bathinku.

“Meli juga berpesan, kalau kamu kembali nanti, dia berharap kamu udah menemukan gantinya. Dan satu hal yang harus kamu ketahui, Meli adalah sepupuku yang baik, dia bunuh diri karena dia menolak dijodohkan oleh ayahnya. Dia hanya ingin kamu yang jadi suaminya. Tapi ternyata kamu seorang pengecut, Bas…” ucapan Jo yang tegas semakin membuatku merasa berdosa.

Jo akhirnya pamit. Dia pulang dengan masih menyimpan kekesalan dihatinya. Dan jo berhak marah, aku memang pengecut. Andai saja waktu itu, aku punya sedikit keberanian untuk mempertahankan cinta kami. Mungkin semuanya akan berbeda.

Namun apa daya, semuanya sudah terlambat. Meli telah tiada. Dia pergi dengan membawa cinta kami. Dia pergi untuk selama-lamanya dan tak akan pernah kembali.

Esoknya aku pergi ke makamnya Meli. Diperjalanan pulang aku bertemu pak Rus, ayah Meli.

“Maafkan Bapak, nak…” pak Rus angkat bicara, setelah lama kami bersitatap muka. “Bapak yang menyebabkan kematian Meli….” Lanjutnya lagi dengan raut penuh penyesalan.

“sudahlah pak…” balasku. “semua pasti ada hikmahnya..” lanjut ku lagi, mencoba menghibur diriku sendiri.

***************************





Aku duduk sendirian dibawah sebuah pohon rindang. Disini kami dulu sering bertemu. Terlalu banyak kenangan disini. Dipohon flamboyant ini, terukir indah nama Meli dan nama ku. Akh, ternyata aku belum berhasil melupakan Meli, meskipun dia telah tiada.

“Hei ..!” sebuah suara mengganggu gendang telinga ku, lamunanku buyar. Aku berpaling ke belakang, kulihat seruat wajah manis, seorang gadis tersenyum memandang padaku.

“Hmm.., Sela?!” tanyaku sedikit ragu. Gadis itu, Sela, mengangguk. Senyumnya semakin lebar.

“Ternyata bang Bas masih ingat namaku..” ucapnya, sambil berjalan menuju tempat duduk disampingku.

“Dari mana kamu tahu, aku disini?!” tanyaku lagi sedikit heran, setelah Sela berhasil duduk pas disampingku, seperti yang sering Meli lakukan dulu.

“Kak Meli!” jawabnya tegas, yang membuat mataku melotot penuh Tanya. Sela tersenyum santai melihat kebingunganku.

“Kamu? Kenal Meli?” tanyaku lagi akhirnya. Sela masih tersenyum penuh arti. Lalu kemudian berkata pelan, “sebenarnya Meli itu saudara sepupu ku…” Sela memeluk kedua lututnya pelan, kemudian melanjutkan, “sebelumnya kami sekeluarga tinggal di Kota lain, cukup jauh dari sini, jadi kami jarang bertemu. Namun lima tahun lalu kami pindah kesini, tepatnya ke desa sebelah. Itu mungkin bertepatan dengan menghilangnya bang Bas dari desa ini…”

“Kita mungkin belum pernah bertemu, kecuali saat di angkot kemarin, namun kak Meli pernah bercerita tentang bang Bas beberapa tahun lalu, sebelum akhirnya dia memutuskan untuk mengakhiri hidupnya…” sejenak Sela berhenti, menarik nafasnya dalam-dalam kemudian menghempaskannya pelan. Tanpa sengaja aku turut melakukannya, ada perih yang tiba-tiba menyirami luka ku yang berdarah.

Sela menatapku sepintas, lalu berpaling, kemudian melanjutkan lagi, “terakhir kali kak Meli pesan, sehari sebelum ia meninggal, ia meminta aku agar aku menunggu bang Bas pulang dan dia pun minta agar aku mau menjaga bang Bas untuknya..”

Kutatapi wajah Sela dalam-dalam, mencoba mengambil kesimpulan dari ceritanya barusan.

“Bertahun-tahun aku menunggu bang Bas pulang, walau aku tak pernah tahu bagaimana rupa bang Bas. Tapi aku tetap ingin menjalankan amanah kak Meli yang terakhir…” Kembali Sela melanjutkan ceritanya, setelah melihat aku hanya terdiam membisu. “Aku baru tahu, kalau bang Bas yang ku kenal di angkot itu adalah orang yang selama ini diceritakan kan Meli. Bang Jo yang memberitahu aku..”

Aku masih terpaku, bingung dan rasa tak percaya. Namun Sela menatapku mengangguk, seakan membaca pikiranku. Tapi tetap saja semua ini diluar dugaanku.

“Lalu bagaimana kamu tahu, kalau aku disini?!” tanyaku akhirnya.

“Kak Meli pernah cerita, katanya kalau bang Bas lagi sedih atau kalau lagi ada masalah, bang akan datang kesini di bawah pohon flamboyant ini. Lalu kemudian kak Meli akan datang menghibur…” jawab Sela panjang lebar. “Seperti juga saat terakhir dia menunggu bang Bas disini. Setelah bang Bas menghilang tanpa kabar…”

“Maafkan aku, Sel..!” ucapku kemudian, karena aku gak tahu lagi harus ngomong apa lagi. Semuanya sungguh diluar dugaanku. Seandainya saja pada saat itu aku lebih berani berjuang untuk cinta kami, tidak hanya mementingkan harga diriku. Mungkin semua tidak akan berakhir seperti ini.

Tapi terlambat. Semua sudah terlambat. Meli telah pergi dan tak kan pernah kembali. Penyesalan memang selalu datang terlambat.





“Tak ada yang terlambat bang, kalau bang Bas mau memperbaiki diri,” ucapan Sela seperti bisa membaca apa yang aku pikirkan. “Dan penyesalan tidak akan merubah apapun, tapi setidaknya ada begitu banyak pelajaran pada setiap peristiwa yang terjadi dalam hidup ini..” lanjutnya.

Yah, aku terhenyak. Meli memang telah pergi, tapi tidak dihatiku.

Namun kehadiran Sela disini, mampu membuatku sedikit kuat. Ada banyak persamaan diantara mereka. Aku menatapi Sela dengan penuh senyum.

Pohon flamboyant ini telah menjadi saksi bagaimana perjalanan cintaku bersama Meli. Dan akan menjadi saksi bagaimana hidupku selanjutnya, meski bukan bersama Meli.

Meli boleh saja telah tiada, namun cinta ini masih ada. Hati ini masih bisa terbuka untuk hal-hal baru yang datang dalam hidupku.

Terima kasih, Meli, kau telah mengajarkan banyak hal dalam hidupku.

*****

Mentulik, 09 April 2009

By,

Basri Psyd

Sebuah cerpen Jadul : untuk dikenang

Untuk ke sekian kalinya, Yusman menghembuskan nafas panjang. Bayangan gadis manis itu selalu menghantui pikirannya. Gadis sederhana yang bernama lengkap Keyla Putri, tapi Yusman lebih suka memanggilnya Key, lebih simple begitu alasan nya. Key yang selama ini, hampir satu tahun ini, menemani Yusman melewati hari-hari indahnya.
          Satu tahun hubungan mereka baik-baik saja, bahkan teramat manis. Tapi kejadian malam tadi, membuat Yusman sangat kecewa. Ia hampir tak percaya, kalau Key yang ia sayangi itu, tega mengakhiri cinta mereka. Padahal Yusman tidak merasa berbuat salah.



Hampir seharian ini Yusman mengurung diri di dalam kamarnya. Ia tak peduli ketika sang Mama mengetuk pintu dan memaksa nya keluar untuk makan. Yusman tak menghiraukan Mamanya, yang akhirnya pergi begitu saja setelah tahu anak semata wayang nya lagi tak ingin di ganggu, hati Yusman masih sakit.

          “Aku ingin kita udahan,Yus!”. Begitu tegas kata-kata itu keluar dari bibir mungil Keyla, seperti tanpa beban. Yusman termangu cukup lama mendengarnya. Tapi Key tetap cuek,ia kelihatan serius.

          “Tapi kenapa, Key?!”. Yusman berujar juga meski dengan suara terdengar bergetar. Tadi Key datang seusai Yusman sholat Isya, ia datang sendiri naik taksi. Key sudah biasa dirumah Yusman, jadi Mama dan Papa Yusman membiarkan mereka berdua di ruang tamu.

          “Suatu saat kamu pasti mengerti…”, Cuma itu yang diucapkan Keyla, membuat Yusman makin bingung. Key pamit pulang, tidak mau diantar seperti biasanya. Yusman termangu penuh Tanya. Kemudian dengan kesadaran penuh, ia menyusul Key kerumah orang tua Key. Mobil Tarunanya melaju dikeramaian kota Pekanbaru. Ia ingin penjelasan, ia harus ke rumah Key, begitu tekad nya.

          Mobil nya melambat, ketika hampir sampai di depan rumah Keyla. Tapi Yusman tidak jadi mematikan mesin mobilnya, karena di teras rumah Key, Yusman melihat dengan jelas Key sedang berpelukan dengan seorang laki-laki. Sebuah mobil BMW terparkir di halaman rumah Key. Itu pasti mobil laki-laki tersebut, pikir Yusman. Ia tidak kenal laki-laki itu, ia baru melihatnya sekali ini. Siapa dia? Bathin nya. Apa ini yang dimaksud Key, untuk mengakhiri hubungan mereka? Berbagai pertanyaan menghantui benak Yusman.

          Padahal ia tahu siapa Key. Gadis baik yang penuh kasih sayang. Yusman masih ingat, ketika pertama kali mereka bertemu di kampus UNRI. Mereka sama-sama mendaftar disana, kebetulan jurusan mereka juga sama. Mereka jadi sering bertemu. Dan menghadirkan perasaan cinta diantara keduanya. Betapa bahagianya Yusman, ketika Keyla menerima ungkapan cintanya, hari-harinya terasa lebih berarti dengan kehadiran Keyla di sisinya.

          Memang selama ini hubungan mereka belum diketahui oleh kedua orang tua Key. Tapi Yusman sudah memperkenalkan Keyla pada keluarganya, orang tua Yusman merestui hubungan mereka.

          “Aku boleh ga’ main kerumah kamu Key..?” Untuk yang kesekian kalinya Yusman bertanya hal yang sama.

          “Aku rasa untuk saat ini,jangan dulu ya…” Selalu begitu jawaban yang diberikan Keyla. Tanpa memberi alasan apapun, dan Yusman akan selalu mengalah, ia tidak ingin bertanya lebih lanjut. Ia takut menyinggung perasaan Key, ia coba untuk mengerti. Ia lalui hari-hari indahnya bersama Keyla, meski Key belum ingin hubungan mereka diketahui oleh kedua orang tua Key.

          Namun saat ini, Keyla makin aneh. Ia dengan begitu mudahnya menyudahi hubungan mereka. Tanpa penjelasan apapun. Membuat Yusman makin terpuruk, dan siapa laki-laki yang bersama Key malam itu? Yusman makin tak mengerti…       



***

          Pagi itu, Yusman berangkat juga kuliah, setelah dengan susah payah Mamanya memaksanya bangun. Yusman berusaha tegar, ia tidak mau terlalu lama larut dalam kekecewaannya. Meski di kampus nanti, ia akan bertemu dengan Key, yang sudah pasti acuh padanya. Ia tidak ingin kelihatan seperti orang yang terluka. Kalau Keyla bisa dengan begitu mudah mencampakkannya, mengapa ia tidak?

          Tapi sesampainya di kampus, Yusman tidak bertemu Keyla. Ia tidak kuliah hari ini. Padahal biasanya, Key paling rajin datang ke kampus. Namun hari ini Yusman tidak melihatnya. Kemana dia? Yusman bertanya sendiri dalam hatinya.

          Sudah tiga hari ini Yusman tidak melihat Key, Yusman semakin penasaran. Mulanya ia mencoba untuk tidak peduli. Tapi hati kecilnya tetap bertanya-tanya. Makanya ketika Yusman bertemu Retno, teman dekat Keyla, ia langsung mempertanyakannya.

          “Kamu benar-benar tidak tahu, Yus. Apa yang terjadi dengan Keyla..?!” Retno malah balik bertanya, ketika Yusman bertanya tentang Key. Ia bertemu Retno dikantin, setelah tadi Yusman mencarinya di perpustakaan.

          Yusman menggeleng, lalu berujar, ”Key itu orangnya agak tertutup, selama ini ia jarang sekali bercerita sama saya, apa lagi kalau masalah keluarganya…”

          “Tapi aku harap kamu jangan marah, kalau aku menceritakan semuanya sama kamu, Yus…” Ucap Retno kemudian.

          Yusman mengangguk, menyetujui. Dan ia mulai mendengarkan penuturan Retno yang panjang lebar. Yusman mendengarnya dengan penuh perasaan. Hatinya sangat terenyuh dengan kenyataan yang terjadi. Ia sangat kecewa, tapi Yusman tahu, apa pun yang di putuskan oleh Key, pasti itu terbaik buatnya.

***




          Jam 7 malam, Yusman datang ke rumah Keyla sendirian. Seperti rencananya semula, ia datang tanpa memberi tahu Key. Beruntung Key yang membukakan pintu.

          “Ada apa kamu kesini..?” Kata-kata Keyla terdengar kasar, wajahnya juga kelihatan kikuk dan salah tingkah, ketika ia melihat Yusman berdiri di depan pintu saat ia membukakan pintu.

          “Boleh saya duduk…?” Yusman balik nanya, tanpa memperdulikan reaksi Keyla, dan tanpa menunggu jawaban Key, Yusman sudah duduk di kursi teras rumah Key, ”Aku mau Ngomong.”  Lanjutnya.

          Key terdiam sesaat, kemudian ia ikut duduk. Key ga’ mungkin mengusirnya. Ia ga’ mau orang tuanya tahu, persoalannya dengan Yusman. Bisa tambah runyam jadinya, pikir Key. Makanya ia biarkan Yusman berbicara. Yusman tersenyum menang, meski pun Key kelihatan cemberut.

          “Kalau mau ngomong, ngomong aja cepat, aku ga’ punya banyak waktu..” Suara Key,masih dengan nada tinggi.

          “Oke…” Ucap Yusman sabar,” aku Cuma mau ngucapin terima kasih sama kamu, karena selama ini, kamu sudah sangat baik terhadap aku…” Yusman menatap Key, yang memandang tajam kearah jalan, tanpa reaksi. Tapi Yusman tetap berusaha untuk berbicara lebih tegas lagi, ”aku juga mau mengucapkan selamat atas pertunanganmu, walau udah terlambat. Dan meskipun kamu tidak pernah mengabari aku. Aku ngerti, kok…”.

          “Syukurlah kalau kamu udah tahu..” Jawab Key cepat.

          Yusman menatap Keyla sesaat,lalu berujar, ”kenapa kamu ga’ ngomong dari awal, tentang semua ini Key…?”

          Keyla menarik nafas panjang, kemudian menghempaskannya perlahan. Rasa bersalah itu kian menyiksanya. Meski ia selalu berusaha menutupinya di depan Yusman, ia sangat tak ingin Yusman tahu perasaannya yang sebenarnya, kalau ia masih sangat mencintai Yusman. Meski dengan sangat terpaksa ia harus memendam semua itu, karena ia sadar kalau ia sekarang sudah bertunangan dengan lelaki pilihan orang tua nya. Makanya dengan sangat terpaksa ia harus memupus semua cinta dan harapannya terhadap Yusman. Meski itu sangat menyakitkan baginya, juga bagi Yusman. Ia tahu, tapi ia tak bisa berbuat banyak. Karena kehendak orang tuanya sudah tidak bisa di tentangnya lagi.

          “Aku minta maaf, kalau itu membuatmu tersinggung atau sakit hati,” ujar Key akhirnya, masih terdengar kasar di telinga Yusman, ”aku tak ingin membuat kamu kecewa, Yus…” lanjutnya.

          “Lalu kamu pikir, dengan begini kamu ga’ membuat aku kecewa..?!” balas Yusman agak sengit.

          “Aku hanya berpikir, kamu pasti bisa mendapatkan yang lebih baik dari aku… ”Key mulai berbicara agak lembut. Ia menatap Yusman, pandangan mereka bertemu, tapi Key berpaling lebih cepat. Tak sanggup menatap lebih lama raut kekecewaan di wajah Yusman.

          “Seperti kamu yang begitu mudah mendapatkan yang ‘lebih’ dari aku…” Yusman sengaja menekan suara untuk tujuan tertentu. Hatinya perih.

          “Kamu ga’ bisa menuduh aku sembarangan, Yus. Kalau kamu belum tahu cerita sebenarnya…!!” balas Key cepat.

          “Siapa bilang aku ga’ tahu cerita sebenarnya…?!” Yusman bertanya dengan nada tinggi.

          Key terdiam sesaat, ia coba menabahkan hati. Ia tahu Yusman sangat membencinya saat ini. Tapi ini lebih baik, pikir Keyla. ”Lalu sekarang kamu mau apa kesini…?”.Tanya Key akhirnya.

          “Aku cuma mau memastikan apa kamu benar-benar bahagia, dengan pertunangan itu…?!” balas Yusman.

          “Aku tegaskan sama kamu, Yusman. Saat ini aku bahagia, jadi tolong kamu jangan ganggu kehidupanku lagi. Kita jalani kehidupan kita sendiri-sendiri…” Ucapan Keyla begitu tegas terdengar di rongga telinga Yusman yang membuatnya semakin perih. Dan Keyla sendiri sangat merasa sakit dengan ucapannya sendiri. Rasanya ingin dia menangis saat itu juga, mendekap Yusman penuh kasih. Tapi Keyla berusaha menahan diri agar tetap terlihat tegar di hadapan Yusman.

          “Ya, aku ngerti. Sekarang kamu sudah tunangan orang, aku tidak akan mengganggu kamu lagi,” Yusman berhenti sesaat, tatapannya diarahkan pada sekuntum bunga yang kelihatan layu di halaman rumah Key, karena musim kemarau yang berkepanjangan. Bunga itu ibarat hatinya, yang telah layu oleh cinta yang tak berujung. Kemudian ia berkata, ”aku hanya ingin kamu tahu, bahwa sampai saat ini aku masih sangat menyayangimu, Key…”

          Hati Keyla bergetar mendengarkannya, ia tahu. Karena ia juga merasakan hal yang sama. Tapi ia tak bisa berbuat apa-apa lagi. Ia harus merelakan semuanya berakhir seperti ini.



          Tatapan sendu Key, mengantar kepergian Yusman. Ia permisi pulang karena malam sudah semakin larut dan baginya tak ada lagi hal yang harus dibicarakan saat ini. Hatinya sudah terlanjur sakit. Yusman pulang dengan membawa sekeping luka. Namun ia sadar, cinta tak selamanya indah dan berakhir bahagia. Ia tahu, Keyla juga merasakan hal yang sama. Ia yakin hal itu.

          “Sebenarnya Key menolak perjodohan ini, Yus…” masih terngiang kata-kata Retno di telinga Yusman, ”Tapi hutang ayahnya yang sudah menumpuk membuat Key tak kuasa melawan. Ia hanya pasrah.” Lanjut Retno,  ”meski ia sangat mencintai kamu…”.

          Yusman termangu cukup lama, mengingat penuturan Retno. Yusman sadar bahwa cintanya dengan Key tak bisa dipertahankan lagi. Ia mencoba untuk mengerti.

          Sementara itu, di sebuah kamar sederhana, seorang gadis tengah menangisi nasib cintanya yang tak menyatu. Keyla menangisi kepergian Yusman dari hidupnya. Key sudah membunuh cintanya untuk Yusman. Baginya Yusman hanya masa lalu, yang akan selalu menjadi kenangan terindah dalam hidupnya.

          Malam yang begitu cerah, dihiasi bintang-bintang yang begitu indah. sangat tepat untuk melukis sebuah cerita cinta yang manis. Tapi bagi dua hati yang sama-sama terluka, tak ada lagi cerita indah. Semua telah berlalu. Semua hanya untuk di kenang, bukan untuk di ulang. Karena waktu yang akan menjawab semuanya. Dan Yusman yakin,ada cinta lain yang sedang menantinya di suatu saat kelak.
***
sekian..

Cari Blog Ini

Layanan

Translate