Mata Mita menerawang sesaat, merasakan apa yang baru saja dialaminya tadi sore. Sakit sekali rasanya. Setega itukah Afis menyakiti hatinya? Gadis itu tergugu sendiri dikamarnya. Kepercayaan yang dibangunnya pada Afis, kini mulai goyah. Gadis mana yang bisa bertahan dengan kondisi seperti ini?
Kalau saja Mita tidak mendengarkan kejadian tadi sore... ketika ia sudah tak sabar lagi menunggu Afis yang sedang menelpon pak Nasrun, akhirnya gadis itu naik kelantai dua. Disana ia mendengar segalanya.
“Masa sih, aku ngelupain kamu. Aku selalu merindukan kamu, sayang... Apa? Ada yang lain? Kata siapa, sih? Hahaha... kamu masih percaya sama aku, kan..? ‘Gak percaya? Wulan... kenapa kamu selalu meragukan kesetiaanku? ‘Gak semua cowok. Kapan? Oh ... dia itu cuma teman biasa. Bener. Kamu pengen denger lagi? Aku selalu cinta kamu, Wulan. Sampai kapan pun ...”
Susah payah Mita, menahan gejolak didadanya. Ia merasa tak sanggup lagi mendengar percakapan memuakkan itu. Ingin rasanya ia beranjak pergi dari tempat itu. Tapi sisi hatinya yang lain menuduhnya pengecut. Haruskah aku berlari sambil menangis karena orang yang selama ini aku cintai, kini telah menghianatiku? Tentu saja semua itu tindakan pengecut. Mita mencoba membentengi dirinya, agar bendungan dimatanya tidak pecah.
Akhirnya dengan langkah goyah, Mita melangkah masuk. Selanjutnya wajah Afis pucat pasi, dan suaranya mulai terbata begitu Mita muncul tiba-tiba didepannya. Wajah Afis persis seperti seorang maling yang tertangkap basah, sesaat sedang beraksi.
“Afis...?” Mita muncul didepan Afis dengan wajah memerah. Ada letup api yang mengaris dimatanya.
“Mita..” Afis mendadak menjadi salah tingkah. Ia buru-buru menutup telpon. “teman cowok saya, kebetulan udah lama ‘gak ketemu, Ta ...”
“Begitu?!” Mita tersenyum mencibir. “dengan seorang teman cowok kamu bisa ngomong dengan penuh kemesraan? Penuh bahasa rindu dan cinta ...?!”
“Mita ...” wajah Afis tambah pucat.
“Aku ‘gak nyangka, kamu setega itu, Fis !”
“Mita ...”
“Lima menit aku mendengarnya, Fis. Cukup banyak. Sampai aku ‘gak sanggup mendengarnya lagi ..”
“Jadi ..” Afis berdiri, terkejut, dan ‘gak tahu harus ngomong apa lagi?
“Saya udah curiga sejak awal, kamu ternyata bukan menelpon pak Nasrun, kan?”
Selesai dengan kalimatnya, Mita langsung bergegas meninggalkan Afis yang masih terpaku ditempatnya. Namun dengan sigap, ia mengejar langkah Mita yang menuruni tangga.
“Mita ... biar kujelaskan!” dilantai bawah, Afis berhasil mengejar langkah Mita.
Namun ketika Afis hendak meraih tangan Mita, gadis itu menepis tangannya dengan kasar. “tak ada yang perlu dijelaskan lagi! Semuanya sudah cukup jelas, Fis!”.
“itu semua tadi cuma main-main, Ta. Aku orangnya suka iseng. Kamu masih percaya aku, kan ...”
“Saya ..”
Plak! Sebuah tamparan diwajah Afis. Mita berdiri dan melangkah keluar.
Afis mengusap pipinya. Seakan tak percaya dengan apa yang barusan terjadi. Belum pernah sebelumnya ia menerima tamparan dari seorang gadis. Cepat tersadar dari lamunannya, Afis menyusul keluar. Bersamaan dengan itu didepan kantor sebuah taksi berhenti. Dan tubuh Mita lenyap didalam taksi itu.
Afis terlongong sendiri. Sekali lagi ia mengusap pipinya.
***************
Mita mengusap pipinya yang basah. Tak ada yang perlu dipertahankan lagi, bathinnya nelangsa. Ini adalah kedua kalinya ia dikecewakan cowok. Dan itu betapa sangat menyakitkan.
Mita bangkit dari rebahannya. Langkahnya menuju kearah laci meja belajar. Diputarnya kunci sekali kekanan. Tangan gadis itu meraih segopok sampul surat. Sedetik kemudian, surat-surat itu telah bertumpuk diatas meja belajar. Lalu matanya beralih keujung meja. Disana matanya menangkap seraut wajah dengan rahang kukuh, yang dibingkai dengan warna kuning gading. Seraut wajah seorang cowok, Al Hafis dalam ukuran 5R, tersenyum kearahnya. Senyum itu begitu memikat. Namun, Mita merasakan senyum itu kini berubah bagai seringai yang paling menjijikkan. Mita benci sekali.
Diraihnya photo itu. Tangan mungilnya terangkat keudara, dan ketika siap menghempaskannya ke lantai ...
“Mita .. ada telpon buat kamu. Cepatan gih!” suara bang Bas menghentikan gerakan tangan Mita. Bingkai photo yang masih ada ditangannya, dicampurkan keatas tumpukan surat. Buk!
“Dari siapa, sih!” tanya Mita kesal. Walaupun hatinya telah menebak bahwa yang menelpon pasti ...
“Siapa lagi. Biasa ... Arjuna kamu!”
“Afis!” nada suara Mita meninggi. Biasanya, begitu mendengar nama itu disebut sama orang rumah, ia bagai seekor kijang yang sedang berlari dihutan. Langsung menyambar gagang telpon. Lalu percakapan pun, seringkali tidak pernah dibawah 15 menit. Hal ini pula yang sering bikin orang rumah ngedumel. Tidak kurang dari papa yang biasanya orang yang paling sabar, harus berdehem-dehem kalau sudah kelewat lama. Sebab papa sering menunggu telpon dari para relasi.
“Bilang aku ‘gak ada!” sahut Mita enggan.
“Hei ... jangan bilang kamu ‘gak suka lagi kedia!”
“Memang!”
Bang Bas terdiam sesaat. Ditatapnya wajah adik semata wayangnya itu. “Ada masalah?”
“Tolong, bang. Katakan aku ‘gak ada!” mohon Mita.
“Oke, aku ‘gak ngerti masalah kalian.”
“Terima kasih, bang.”
“Jangan gembira dulu. Aku ‘gak katakan kamu ‘gak ada. Tapi kamu menolak menerimanya.”
“Kumohon. Sekali ini saja, bang!” suara itu mengandung iba.
Bang Bas melangkah kemeja telpon. “Halo, besok kita bicara, Fis. Dikantin kampus, pukul 10 pagi. Mita lagi sakit, oke?”
“Jangan campuri urusan kami, bang Bas!” Mita yang mendengar percakapan itu jadi meradang. Ditutupnya pintu kamar dengan keras.
Bang Bas terbengong didepan pintu. “separah inikah keadaannya?”
************
Dua cowok itu duduk berhadap-hadapan. Mereka sengaja duduk dipojok kantin. Afis berkali-kali menyeka keringat dikeningnya. Bastian meneguk es colanya.
“Aku ‘gak ingin melihat Mita kecewa, Fis.” Bastian menatap Afis.
“Aku juga!”
“Tapi tadi malam Mita marah sekali. Sejak kalian berhubungan, baru tadi malam Mita semarah itu. Jangan bilang kamu ‘gak punya salah, Fis!”
“Bas ... aku. Mita cuma salah pengertian!”
“Apa yang terjadi, Fis? Aku pengen kamu jujur!”
Afis menghela nafas panjang. Meneguk minumannya.
“Kita sudah lama berteman, Fis. Kamu ‘gak ingin kita jadi musuh, kan?”
“Aku ‘gak mungkin mutusin Mita, itu jawabanku.”
“Jawab dulu pertanyaanku, Fis!”
“Oke. Mestinya aku bisa menyelesaikan persoalan ini dengan Mita sendiri ...”
“Dia adikku. Aku punya tanggungjawab padanya.”
Akhirnya Afis menceritakan semua yang terjadi. Wajah Bastian mengeras. Tapi ia menahan gejolak emosinya untuk tidak meledak. Hati kecilnya tidak bisa menerima apa yang dilakukan Afis terhadap adiknya. Lama ia terdiam.
Ponsel disaku Afis berbunyi. Terjadi percakapan singkat.
“Maaf, aku harus pergi, Bas. Ada keperluan mendadak!” ucap Afis ringan.
“Aku juga!” Bastian bangkit dari duduknya. Berjalan kekasir.
**************
Kalau saja Mita tidak mendengarkan kejadian tadi sore... ketika ia sudah tak sabar lagi menunggu Afis yang sedang menelpon pak Nasrun, akhirnya gadis itu naik kelantai dua. Disana ia mendengar segalanya.
“Masa sih, aku ngelupain kamu. Aku selalu merindukan kamu, sayang... Apa? Ada yang lain? Kata siapa, sih? Hahaha... kamu masih percaya sama aku, kan..? ‘Gak percaya? Wulan... kenapa kamu selalu meragukan kesetiaanku? ‘Gak semua cowok. Kapan? Oh ... dia itu cuma teman biasa. Bener. Kamu pengen denger lagi? Aku selalu cinta kamu, Wulan. Sampai kapan pun ...”
Susah payah Mita, menahan gejolak didadanya. Ia merasa tak sanggup lagi mendengar percakapan memuakkan itu. Ingin rasanya ia beranjak pergi dari tempat itu. Tapi sisi hatinya yang lain menuduhnya pengecut. Haruskah aku berlari sambil menangis karena orang yang selama ini aku cintai, kini telah menghianatiku? Tentu saja semua itu tindakan pengecut. Mita mencoba membentengi dirinya, agar bendungan dimatanya tidak pecah.
Akhirnya dengan langkah goyah, Mita melangkah masuk. Selanjutnya wajah Afis pucat pasi, dan suaranya mulai terbata begitu Mita muncul tiba-tiba didepannya. Wajah Afis persis seperti seorang maling yang tertangkap basah, sesaat sedang beraksi.
“Afis...?” Mita muncul didepan Afis dengan wajah memerah. Ada letup api yang mengaris dimatanya.
“Mita..” Afis mendadak menjadi salah tingkah. Ia buru-buru menutup telpon. “teman cowok saya, kebetulan udah lama ‘gak ketemu, Ta ...”
“Begitu?!” Mita tersenyum mencibir. “dengan seorang teman cowok kamu bisa ngomong dengan penuh kemesraan? Penuh bahasa rindu dan cinta ...?!”
“Mita ...” wajah Afis tambah pucat.
“Aku ‘gak nyangka, kamu setega itu, Fis !”
“Mita ...”
“Lima menit aku mendengarnya, Fis. Cukup banyak. Sampai aku ‘gak sanggup mendengarnya lagi ..”
“Jadi ..” Afis berdiri, terkejut, dan ‘gak tahu harus ngomong apa lagi?
“Saya udah curiga sejak awal, kamu ternyata bukan menelpon pak Nasrun, kan?”
Selesai dengan kalimatnya, Mita langsung bergegas meninggalkan Afis yang masih terpaku ditempatnya. Namun dengan sigap, ia mengejar langkah Mita yang menuruni tangga.
“Mita ... biar kujelaskan!” dilantai bawah, Afis berhasil mengejar langkah Mita.
Namun ketika Afis hendak meraih tangan Mita, gadis itu menepis tangannya dengan kasar. “tak ada yang perlu dijelaskan lagi! Semuanya sudah cukup jelas, Fis!”.
“itu semua tadi cuma main-main, Ta. Aku orangnya suka iseng. Kamu masih percaya aku, kan ...”
“Saya ..”
Plak! Sebuah tamparan diwajah Afis. Mita berdiri dan melangkah keluar.
Afis mengusap pipinya. Seakan tak percaya dengan apa yang barusan terjadi. Belum pernah sebelumnya ia menerima tamparan dari seorang gadis. Cepat tersadar dari lamunannya, Afis menyusul keluar. Bersamaan dengan itu didepan kantor sebuah taksi berhenti. Dan tubuh Mita lenyap didalam taksi itu.
Afis terlongong sendiri. Sekali lagi ia mengusap pipinya.

***************
Mita mengusap pipinya yang basah. Tak ada yang perlu dipertahankan lagi, bathinnya nelangsa. Ini adalah kedua kalinya ia dikecewakan cowok. Dan itu betapa sangat menyakitkan.
Mita bangkit dari rebahannya. Langkahnya menuju kearah laci meja belajar. Diputarnya kunci sekali kekanan. Tangan gadis itu meraih segopok sampul surat. Sedetik kemudian, surat-surat itu telah bertumpuk diatas meja belajar. Lalu matanya beralih keujung meja. Disana matanya menangkap seraut wajah dengan rahang kukuh, yang dibingkai dengan warna kuning gading. Seraut wajah seorang cowok, Al Hafis dalam ukuran 5R, tersenyum kearahnya. Senyum itu begitu memikat. Namun, Mita merasakan senyum itu kini berubah bagai seringai yang paling menjijikkan. Mita benci sekali.
Diraihnya photo itu. Tangan mungilnya terangkat keudara, dan ketika siap menghempaskannya ke lantai ...
“Mita .. ada telpon buat kamu. Cepatan gih!” suara bang Bas menghentikan gerakan tangan Mita. Bingkai photo yang masih ada ditangannya, dicampurkan keatas tumpukan surat. Buk!
“Dari siapa, sih!” tanya Mita kesal. Walaupun hatinya telah menebak bahwa yang menelpon pasti ...
“Siapa lagi. Biasa ... Arjuna kamu!”
“Afis!” nada suara Mita meninggi. Biasanya, begitu mendengar nama itu disebut sama orang rumah, ia bagai seekor kijang yang sedang berlari dihutan. Langsung menyambar gagang telpon. Lalu percakapan pun, seringkali tidak pernah dibawah 15 menit. Hal ini pula yang sering bikin orang rumah ngedumel. Tidak kurang dari papa yang biasanya orang yang paling sabar, harus berdehem-dehem kalau sudah kelewat lama. Sebab papa sering menunggu telpon dari para relasi.
“Bilang aku ‘gak ada!” sahut Mita enggan.
“Hei ... jangan bilang kamu ‘gak suka lagi kedia!”
“Memang!”
Bang Bas terdiam sesaat. Ditatapnya wajah adik semata wayangnya itu. “Ada masalah?”
“Tolong, bang. Katakan aku ‘gak ada!” mohon Mita.
“Oke, aku ‘gak ngerti masalah kalian.”
“Terima kasih, bang.”
“Jangan gembira dulu. Aku ‘gak katakan kamu ‘gak ada. Tapi kamu menolak menerimanya.”
“Kumohon. Sekali ini saja, bang!” suara itu mengandung iba.
Bang Bas melangkah kemeja telpon. “Halo, besok kita bicara, Fis. Dikantin kampus, pukul 10 pagi. Mita lagi sakit, oke?”
“Jangan campuri urusan kami, bang Bas!” Mita yang mendengar percakapan itu jadi meradang. Ditutupnya pintu kamar dengan keras.
Bang Bas terbengong didepan pintu. “separah inikah keadaannya?”

************
Dua cowok itu duduk berhadap-hadapan. Mereka sengaja duduk dipojok kantin. Afis berkali-kali menyeka keringat dikeningnya. Bastian meneguk es colanya.
“Aku ‘gak ingin melihat Mita kecewa, Fis.” Bastian menatap Afis.
“Aku juga!”
“Tapi tadi malam Mita marah sekali. Sejak kalian berhubungan, baru tadi malam Mita semarah itu. Jangan bilang kamu ‘gak punya salah, Fis!”
“Bas ... aku. Mita cuma salah pengertian!”
“Apa yang terjadi, Fis? Aku pengen kamu jujur!”
Afis menghela nafas panjang. Meneguk minumannya.
“Kita sudah lama berteman, Fis. Kamu ‘gak ingin kita jadi musuh, kan?”
“Aku ‘gak mungkin mutusin Mita, itu jawabanku.”
“Jawab dulu pertanyaanku, Fis!”
“Oke. Mestinya aku bisa menyelesaikan persoalan ini dengan Mita sendiri ...”
“Dia adikku. Aku punya tanggungjawab padanya.”
Akhirnya Afis menceritakan semua yang terjadi. Wajah Bastian mengeras. Tapi ia menahan gejolak emosinya untuk tidak meledak. Hati kecilnya tidak bisa menerima apa yang dilakukan Afis terhadap adiknya. Lama ia terdiam.
Ponsel disaku Afis berbunyi. Terjadi percakapan singkat.
“Maaf, aku harus pergi, Bas. Ada keperluan mendadak!” ucap Afis ringan.
“Aku juga!” Bastian bangkit dari duduknya. Berjalan kekasir.
**************
Telah dua kali Afis gagal mengajak Mita bicara. Pertama ketika ia menjumpai gadis itu dikampus lima hari lalu. Mita langsung menghindar, begitu melihat Afis muncul.
Kedua, ketika ia nekat datang kerumah. Mita mengurung dirinya dikamar. Papa yang berusaha membujuknya untuk keluar juga gagal.
Dan ini kali ketiga, Afis ‘gak mau gagal lagi. Ia sengaja mengekori Mita keperpustakaan fakultas. Walaupun sebenarnya hari ini ‘gak ada mata kuliah, tapi Afis kekampus juga. Dikantorpun, ia mencari alasan, kalau hari ini ada mata kuliah. Padahal kemarin Afis sudah bilang ke pak Nasrun, kalau hari ini tidak ada kuliah.
Ketika Afis melihat Mita pergi keperpustakaan sendirian, hatinya sedikit menjadi lega. Berarti tidak banyak rintangan yang bakal dihadapinya. Tak ada alasan buat gadis itu, untuk mengajak temannya hengkang nanti.
Afis berada dibalik rak Kesusastraan Daerah. Dari sana sambil memilih-milih buku, tapi matanya tak pernah lepas dari Mita yang berada tepat dibalik rak buku Afis.
Nah, sekarang saatnya, pikir Afs, penuh pertimbangan. Dengan lagak seorang yang tengah serius mengamati isi buku, ia terus melangkah kearah meja baca panjang. Bersamaan dengan itu, Mita juga tengah melangkah sambil membolak-balik buku ditangan menuju kemeja baca.
Bruk!
“Eh ... maaf ..!” refleks Mita mundur kebelakang selangkah, begitu menyadari ia telah menabrak orang.
“Maaf juga ..”
“Kamu ...!” Mita mendongak, menatap siapa orang yang tegak dihadapannya. Wajahnya bersemu merah. Ia siap memutar langkah, ketika dengan sigap, Afis mencekal lengannya.
“Kita harus bicara, Mita!” sergah Afis.
“Lepaskan tanganku, kalau kamu ‘gak ingin aku berteriak.”
“Terserah kamu. Aku cuma minta waktu lima menit. Disini mungkin lebih bagus!”
“Jangan nekat, Fis. ‘Gak ada lagi yang perlu kita bicarakan. Semuanya sudah jelas. Kita ‘gak ada hubungan apapun lagi!”
“Kamu punya waktu lima menit?”
Mita menghela nafas dalam. “Tiga menit!” akhirnya Mita mengalah. Ia juga tak ingin ada anak-anak yang memergoki adegan konyol ini. Sebab, sejauh ini, teman-temannya, masih menganggap ia dan Afis masih pacaran.
“Oke, tiga menit!” hati Afis bersorak girang. Sudut bibirnya mengukir senyum. Mita melangkah terlebih dahulu kemeja baca yang terletak dipojok. Kalau biasanya Afis selalu memilih duduk disamping Mita. Tapi untuk kali ini ia duduk diseberang meja.
“Tiga menit. Selesai ‘gak aku pergi dari sini!” ingat Mita.
“Baru juga dua puluh detik.”
“Jangan melucu, Fis.”
“Oke. Kalau kamu percaya. Aku bakal mengatakan yang sebenarnya. Wulan sekarang ada dikantin. Akan kukenalkan kalian ...”
“Bukan urusanku!”
“Aku belum selesai!” Afis menatap bola mata gadis didepannya. Ia melihat ada letup cemburu disana. “yang kutelpon hari itu, Wulan. Dia adik kandungku. Baru kemarin tiba dikota ini, aku sengaja ingin memancing kecemburuan kamu. Aku ingin melihat , gimana reaksi orang yang kusayangi, kalo lagi cembokor. Cuma itu. Dan nyatanya aku berhasil. Kamu marah dan benci keaku. Aku tahu, kamu ada dibalik pintu saat itu. Dan yang menelpon kekantor Wulan. Bukan aku. Makanya aku terus mengajak ngomong ngalor-ngidul dengan Wulan. Maksudnya cuma pengen memancing reaksi kamu.”
Mita masih menjadi pendengar. Wajahnya merunduk. Sedangkan hatinya mencoba untuk menarik satu kesimpulan tentang cerita Afis tadi. Cowok yang dikenalnya hampir setahun yang lalu. Afis yang sebelum kejadian itu selalu jujur berkata, kesetiaannya juga terjaga. Mita merasakan, selama hampir setahun hubungan mereka, cowok yang nyambi kerja sebagai wartawan ini, belum pernah menyakiti hatinya. Tak pernah terjadi perselisihan yang berarti diantara mereka.
Gadis itu terkadang juga heran dengan hubungan mereka yang begitu mulus. Tanpa riak, apalagi gelombang yang mampu memporak-porandakan kisah kasih mereka. Kadang kala, Mita juga merindukan ada saat-saat tertentu, ia ingin Afis marah padanya. Lalu mereka bertengkar. Lalu tak jumpa selama beberapa hari. Empat lima hari mungkin cukup, lalu bertemu kembali dengan saling meminta maaf. Bukankah semua itu akan lebih punya warna?
“Itulah maksudku yang sesungguhnya, Mita.” Afis mengulirkan tangan diatas meja. Menyentuh jemari lentik milik Mita. “kadang aku juga rindu suasana yang kian hadir diantara kita. Sehingga hubungan kita ‘gak melulu datar dan lurus. Tapi juga ada kelokan dan tanjakan. Tapi, yang terpenting adalah gimana kita saling menjaga kesetiaan dan kejujuran kita.” Afis meremas jemari Mita lembut.
Mita membiarkan tangannya berada dalam rangkuman tangan Afis.
“Maaf, kalo kamu masih merasa marah, benci dan juga mungkin pengen mengakhiri hubungan kita. Aku mengaku salah. Katakan sekarang, Mita, apakah kamu memang pengen memutuskan hubungan kita?”
Mita mendongak. Menatap sepasang telaga teduh milik Afis.
“Kita sudah lebih sepuluh menit malah disini. Kamu pergi?!”
“Aku pengen berkenalan sama Wulan, adik kamu. Mungkin aku dan dia bisa lebih akrab nantinya. Astaga, sudah berapa lama ia menunggu sendiri disana, Fis?” Mita tidak mengubris pertanyaan Afis. “aku mengusulkan, gimana kalo kita makan siang bersama di Resto Lamnyong? Disana kupikir tempatnya lebih romantis.”
Afis mengangguk mantap. “Wulan pasti setuju!”
Mentulik, 21 Juli 2005.
Terima kasih buat sesorang disana ...
Kedua, ketika ia nekat datang kerumah. Mita mengurung dirinya dikamar. Papa yang berusaha membujuknya untuk keluar juga gagal.
Dan ini kali ketiga, Afis ‘gak mau gagal lagi. Ia sengaja mengekori Mita keperpustakaan fakultas. Walaupun sebenarnya hari ini ‘gak ada mata kuliah, tapi Afis kekampus juga. Dikantorpun, ia mencari alasan, kalau hari ini ada mata kuliah. Padahal kemarin Afis sudah bilang ke pak Nasrun, kalau hari ini tidak ada kuliah.
Ketika Afis melihat Mita pergi keperpustakaan sendirian, hatinya sedikit menjadi lega. Berarti tidak banyak rintangan yang bakal dihadapinya. Tak ada alasan buat gadis itu, untuk mengajak temannya hengkang nanti.
Afis berada dibalik rak Kesusastraan Daerah. Dari sana sambil memilih-milih buku, tapi matanya tak pernah lepas dari Mita yang berada tepat dibalik rak buku Afis.
Nah, sekarang saatnya, pikir Afs, penuh pertimbangan. Dengan lagak seorang yang tengah serius mengamati isi buku, ia terus melangkah kearah meja baca panjang. Bersamaan dengan itu, Mita juga tengah melangkah sambil membolak-balik buku ditangan menuju kemeja baca.
Bruk!
“Eh ... maaf ..!” refleks Mita mundur kebelakang selangkah, begitu menyadari ia telah menabrak orang.
“Maaf juga ..”
“Kamu ...!” Mita mendongak, menatap siapa orang yang tegak dihadapannya. Wajahnya bersemu merah. Ia siap memutar langkah, ketika dengan sigap, Afis mencekal lengannya.
“Kita harus bicara, Mita!” sergah Afis.
“Lepaskan tanganku, kalau kamu ‘gak ingin aku berteriak.”
“Terserah kamu. Aku cuma minta waktu lima menit. Disini mungkin lebih bagus!”
“Jangan nekat, Fis. ‘Gak ada lagi yang perlu kita bicarakan. Semuanya sudah jelas. Kita ‘gak ada hubungan apapun lagi!”
“Kamu punya waktu lima menit?”
Mita menghela nafas dalam. “Tiga menit!” akhirnya Mita mengalah. Ia juga tak ingin ada anak-anak yang memergoki adegan konyol ini. Sebab, sejauh ini, teman-temannya, masih menganggap ia dan Afis masih pacaran.
“Oke, tiga menit!” hati Afis bersorak girang. Sudut bibirnya mengukir senyum. Mita melangkah terlebih dahulu kemeja baca yang terletak dipojok. Kalau biasanya Afis selalu memilih duduk disamping Mita. Tapi untuk kali ini ia duduk diseberang meja.
“Tiga menit. Selesai ‘gak aku pergi dari sini!” ingat Mita.
“Baru juga dua puluh detik.”
“Jangan melucu, Fis.”
“Oke. Kalau kamu percaya. Aku bakal mengatakan yang sebenarnya. Wulan sekarang ada dikantin. Akan kukenalkan kalian ...”
“Bukan urusanku!”
“Aku belum selesai!” Afis menatap bola mata gadis didepannya. Ia melihat ada letup cemburu disana. “yang kutelpon hari itu, Wulan. Dia adik kandungku. Baru kemarin tiba dikota ini, aku sengaja ingin memancing kecemburuan kamu. Aku ingin melihat , gimana reaksi orang yang kusayangi, kalo lagi cembokor. Cuma itu. Dan nyatanya aku berhasil. Kamu marah dan benci keaku. Aku tahu, kamu ada dibalik pintu saat itu. Dan yang menelpon kekantor Wulan. Bukan aku. Makanya aku terus mengajak ngomong ngalor-ngidul dengan Wulan. Maksudnya cuma pengen memancing reaksi kamu.”
Mita masih menjadi pendengar. Wajahnya merunduk. Sedangkan hatinya mencoba untuk menarik satu kesimpulan tentang cerita Afis tadi. Cowok yang dikenalnya hampir setahun yang lalu. Afis yang sebelum kejadian itu selalu jujur berkata, kesetiaannya juga terjaga. Mita merasakan, selama hampir setahun hubungan mereka, cowok yang nyambi kerja sebagai wartawan ini, belum pernah menyakiti hatinya. Tak pernah terjadi perselisihan yang berarti diantara mereka.
Gadis itu terkadang juga heran dengan hubungan mereka yang begitu mulus. Tanpa riak, apalagi gelombang yang mampu memporak-porandakan kisah kasih mereka. Kadang kala, Mita juga merindukan ada saat-saat tertentu, ia ingin Afis marah padanya. Lalu mereka bertengkar. Lalu tak jumpa selama beberapa hari. Empat lima hari mungkin cukup, lalu bertemu kembali dengan saling meminta maaf. Bukankah semua itu akan lebih punya warna?
“Itulah maksudku yang sesungguhnya, Mita.” Afis mengulirkan tangan diatas meja. Menyentuh jemari lentik milik Mita. “kadang aku juga rindu suasana yang kian hadir diantara kita. Sehingga hubungan kita ‘gak melulu datar dan lurus. Tapi juga ada kelokan dan tanjakan. Tapi, yang terpenting adalah gimana kita saling menjaga kesetiaan dan kejujuran kita.” Afis meremas jemari Mita lembut.
Mita membiarkan tangannya berada dalam rangkuman tangan Afis.
“Maaf, kalo kamu masih merasa marah, benci dan juga mungkin pengen mengakhiri hubungan kita. Aku mengaku salah. Katakan sekarang, Mita, apakah kamu memang pengen memutuskan hubungan kita?”
Mita mendongak. Menatap sepasang telaga teduh milik Afis.
“Kita sudah lebih sepuluh menit malah disini. Kamu pergi?!”
“Aku pengen berkenalan sama Wulan, adik kamu. Mungkin aku dan dia bisa lebih akrab nantinya. Astaga, sudah berapa lama ia menunggu sendiri disana, Fis?” Mita tidak mengubris pertanyaan Afis. “aku mengusulkan, gimana kalo kita makan siang bersama di Resto Lamnyong? Disana kupikir tempatnya lebih romantis.”
Afis mengangguk mantap. “Wulan pasti setuju!”
Mentulik, 21 Juli 2005.
Terima kasih buat sesorang disana ...