Sebuah cerpen jadul : Flamboyan yang gugur

Dengan menaiki sebuah angkot, aku menuju pulang kekampung halamanku. Setelah hampir lima tahun aku merantau. Lima tahun lamanya, aku mencoba merubah hidupku dirantau orang.

“Pulang kampung, Bang?” suara cewek disampingku, sedikit mengagetkanku.

“Iya...” jawabku sedikit gugup. Karena aku tak mengenali cewek itu.

“Kalau boleh tahu, kampungnya dimana, Bang?” tanyanya lagi.

“Mentulik.” Jawabku singkat.

“Oh...berarti tetanggaan, dong!” ucapnya lagi. “Aku dibangun sari.” Lanjutnya.

Aku manggut-manggut, desa Bangun sari memang dekat banget dengan desaku. Kira-kira hanya berjarak lima kilo meter.

“Kok gak pernah liat abang, ya. Di Mentulik. Saya sering main kesana..”

“Iya. Saya udah hampir lima tahun gak pernah pulang..”

Cewek itu tersenyum. Manis.

“Oh, ya..” kataku kemudian, mencoba akrab, “kamu tadi dari mana?”

“Aku dari Pekanbaru, kerumah kakak!”

Aku manggut-manggut lagi. Jarak kota Pekanbaru dengan desa kami lebih kurang 100 Kilo meter. Cukup jauh perjalananku hari ini. Subuh tadi aku baru sampai keloket di Pekanbaru, setelah perjalananku dua hari dua malam naik bus dari Jakarta, tempat aku merantau selama ini.

Badanku sudah sangat capek dan lelah. Namun perjalanan masih beberapa jam lagi. Sebenarnya aku ingin sedikit tiduran didalam angkot ini. Tapi gadis disampingku masih mengajak aku ngobrol. Dengan sedikit terpaksa aku mencoba beramah tamah.





Kutatap gadis itu cukup lama. Gadis yang cantik. Bathinku. Kalau tersenyum lesung pipinya kelihatan manis. Sebagai cewek, gadis ini pasti banyak yang suka. Dan satu hal, tiba-tiba gadis ini mengingatkanku akan seseorang dimasa lalu ku.

“Oh, ya. Dari tadi kita ngobrol, tapi kita belum kenalan, ya.” Ucapku beberapa saat kemudian. Sementara penumpang-penumpang lain, sedang asyik dengan lamunannya masing-masing atau ada juga yang tertidur pulas.

Sesaat cewek itu tersenyum, kemudian menyambut uluran tanganku, “ namaku, Selarina Dewi, panggil aja Sela.” Ujarnya ramah.

“Aku Bastian, boleh panggil Bas, aja!” balasku, sambil perlahan melepaskan tanganku.

Sesaat kulihat Sela keheranan, matanya sedikit melotot. Dengan cepat juga melepaskan tangannya dan kembali menatap jalan. Sela duduk disisi jendela mobil, hingga ia bebas menatap keluar. Keheranan Sela barusan membuatku bertanya-tanya dalam hati. Tapi kemudian pertanyaan itu aku tepis sendiri. Karena mobil sudah memasuki desaku, dan aku bersiap-siap untuk turun.

“Aku duluan, ya!” ucapku akhirnya pada Sela. Dan kulihat Sela sedikit kaget, sepertinya lamunannya buyar.

“Ya.” Jawabnya ringan. Setelah membayar ongkos, aku langsung turun dari mobil. Angkot itupun terus melaju menuju desa berikutnya, juga desa Sela, yang berjarak lima kilo meter lagi.

**********





Tak banyak yang berubah didesa ini, juga rumah ini. Rumah kosong yang sudah lima tahun tak dihuni oleh siapapun. Tentunya sangat kotor sekali. Seharian ini bahkan sampai malam, aku sibuk membersihkan rumah dan halamannya. Aku masih belum bisa istirahat. Sampai sekitar pukul sepuluh malam, aku baru bisa mandi dan membeli makanan diwarung. Aku jadi ingat, hampir seharian aku belum makan, kecuali subuh tadi sebelum aku naik angkot. Habis makan aku langsung tertidur.

Esoknya, baru aku jalan-jalan, menemui sanak famili dan juga kawan-kawan lama. Teman-temanku sebagian besar sudah berleluarga, kecuali itu tak banyak yang berubah dikampung ini. Semua orang mungkin sudah melupakan masa lalu. Namun aku sendiri masih dibayangi masa lalu. Masa lalu yang sulit dilupakan, namun pahit untuk dikenang.

Tiba-tiba aku ingat kembali kejadian itu, ketika tak sengaja aku melewati serumpun pohon flamboyan, yang membuat pikiranku kembali kemasa lalu. Masa lima tahun silam, kejadian yang membuatku harus pergi dari kampungku ini.

Sebut saja namanya Meli, seakan tak pernah hilang nama itu dihatiku. Gadis cantik, kembang desa itu telah membawa perubahan besar dalam hidupku. Meli seorang gadis manis anak kepala desa kami waktu itu, berpacaran denganku yang hanya seorang anak yatim piatu.

Orang tua ku sudah lama meninggal dunia, dalam usia 15 tahun aku harus berjuang sendiri untuk memenuhi kebutuhan hidupku. Orang tua ku hanya meinggalkan sebuah rumah sederhana yang aku huni selama ini. Untungnya masih ada keluarga ayah dan keluarga ibu ku yang masih mau membantu, walau hanya sekedarnya saja.






Setelah sekian tahun berjuang dalam hidup, sebagai kuli. Karena aku hanya punya ijazah SMP, tak banyak pekerjaan yang bisa aku lakukan. Sampai akhirnya aku bertemu Meli tanpa sengaja, di suatu rapat karang taruna di desa kami. Beriring berjalannya sang waktu, kami pun akhirnya saling jatuh cinta. Waktu itu usia kami sudah 18 tahun. Meski banyak laki-laki lain yang mengejarnya, Meli lebih memilih aku untuk jadi kekasihnya. Ini suatu keberuntungan bagi ku.

Aku jadi lebih semangat bekerja. Aku ingin membuat Meli bangga memiliki ku. Meli yang selalu memperhatikan ku. Banyak hal yang telah dia perbuat untukku. Yang membuat aku semakin menyayanginya.

Setahun hubungan kami baik-baik saja. Walaupun hubungan kami belum diketahui oleh kedua orang tua Meli, tapi kami tetap berjalan dan berharap suatu saat nanti, kami bisa hidup bahagia.

“Apa kamu gak takut menyesal memilih aku jadi pacarmu, Mel?” tanyaku suatu ketika.

“Kenapa harus menyesal?” Meli balik bertanya.

“Yaah, kamu tahu kan, siapa aku? Sementara masih banyak laki-laki lain yang menantikan mu dan mereka semua melebihi segala nya dari aku..”

“Bagiku, kamu adalah yang terbaik Bas. Aku merasa bahagia dan nyaman bersama mu, dan itu lebih dari cukup..” ucap Meli serius.

“Lalu bagaimana dengan orang tua mu, Mel? Mereka gak mungkin dengan begitu saja membiarkan anak semata wayangnya hidup bersama seorang laki-laki miskin dan yatim piatu seperti aku ini…” balasku lirih.

“Aku akan mencoba memberi pengertian kepada mereka, Bas. Apapun yang akan terjadi, kita akan menghadapinya bersama..” ucapannya meyakini ku.

Sampai saat itu aku masih kuat, untuk tetap memiliki Meli. Tapi tampaknya nasib belum memihak pada ku. Suatu hari, ayah Meli, Pak Rus, Kepala Desa kami itu datang kerumah ku sendirian. Duduk diruang tamu butut rumahku, yang tentunya jauh berbeda dengan rumahnya yang mewah.

Setelah berbasa-basi, akhirnya pak Rus berbicara tentang hubungan kami. Banyak hal yang dikatakannya, terutama tentang perbedaan kami yang sangat menjolok. Semua tentang hal yang menyakitkan, intinya pak Rus ingin aku meninggalkan Meli. Aku merasa terhina, aku merasa semakin tak pantas.

“Meli itu anak Bapak satu-satunya, Bas. Bapak ingin dia bahagia, dan sebagai ayah, aku tahu apa yang bisa membuatnya bahagia. Yaitu hidup dengan orang yang sepadan dengannya, terutama secara materi. Dan tentunya punya masa depan yang jelas. Jadi, Bapak minta dengan sangat, tolong tinggalkan Meli demi kebahagiaannya. Tolong jauhi Meli demi saya. Bapak tahu, kamu orang baik. Tapi itu saja tidak cukup, Bas. Meli butuh lebih dari itu. Kamu paham kan, maksud Bapak, Bas..?”





Ya! Aku paham! Bahkan sangat paham. Biar bagaimana pun aku masih punya harga diri. Dan itu satu-satu nya yang aku punya saat ini, untuk itu aku akan menjaga harga diriku. Cinta memang tak selalu mesti bersatu. Meski berat dan sakit, aku putuskan untuk pergi, bukan hanya dari hati Meli. Tapi juga dari hidupnya, dari kampung ini. Aku ingin Meli bahagia, meski bukan dengan ku.

Aku pergi tanpa memberi tahu siapapun, terutama Meli. Aku hanya gak mau masalah ini semakin rumit. Aku tahu, aku pengecut. Tapi sebagai laki-laki dan tentu saja demi mempertahankan harga diri ku yang hampir runtuh, aku harus pergi.

Yah, yang terpikir oleh ku saat itu hanya pergi. Hanya itu satu-satunya jalan, agar aku bisa melupakan Meli, meski takkan pernah seutuhnya.

“Hai, Bas!” seseorang menepuk pundak ku. Aku kaget, lamunanku pun tersentak. Aku pandangi orang itu, aku coba mengingat-ingat. “udah lupa ya sama aku?!” ucapnya lagi.

Tiba-tiba aku ingat, lalu aku berkata, “oh… Jo?! Apa kabar?”

“Baik! Kamu sendiri gimana? Setelah menghilang cukup lama, kemana aja, sih?”

“He..he.. biasa aja kok, aku bukan menghilang, tapi pergi..” balasku pelan.

“Yah, aku sudah tahu kok, kenapa kamu harus pergi.” Lanjut Jo, lelaki itu berbicara dengan nada serius.

“Oh ya, emangnya kamu tahu dari mana?” tanyaku sedikit penasaran.

“Sebelum meninggal, Meli udah cerita semuanya sama aku, bahwa..”

“Apa?! Meli meninggal?! Kamu serius Jo?” potongku sangat kaget.

“Oh, jadi kamu belum tahu, Bas?!” Tanya Jo balik.

Aku menggeleng lesu. Seperti ada yang tergores di hatiku tiba-tiba.

“Meli meninggal beberapa bulan setelah kepergianmu yang tiba-tiba..” lanjut Jo lagi.

Aku tersentak kembali. Ada rasa bersalah yang hadir dihatiku. Meli tentunya sangat kecewa dengan keputusanku. Oh, maafkan aku, Mel. Bathinku.

“Meli juga berpesan, kalau kamu kembali nanti, dia berharap kamu udah menemukan gantinya. Dan satu hal yang harus kamu ketahui, Meli adalah sepupuku yang baik, dia bunuh diri karena dia menolak dijodohkan oleh ayahnya. Dia hanya ingin kamu yang jadi suaminya. Tapi ternyata kamu seorang pengecut, Bas…” ucapan Jo yang tegas semakin membuatku merasa berdosa.

Jo akhirnya pamit. Dia pulang dengan masih menyimpan kekesalan dihatinya. Dan jo berhak marah, aku memang pengecut. Andai saja waktu itu, aku punya sedikit keberanian untuk mempertahankan cinta kami. Mungkin semuanya akan berbeda.

Namun apa daya, semuanya sudah terlambat. Meli telah tiada. Dia pergi dengan membawa cinta kami. Dia pergi untuk selama-lamanya dan tak akan pernah kembali.

Esoknya aku pergi ke makamnya Meli. Diperjalanan pulang aku bertemu pak Rus, ayah Meli.

“Maafkan Bapak, nak…” pak Rus angkat bicara, setelah lama kami bersitatap muka. “Bapak yang menyebabkan kematian Meli….” Lanjutnya lagi dengan raut penuh penyesalan.

“sudahlah pak…” balasku. “semua pasti ada hikmahnya..” lanjut ku lagi, mencoba menghibur diriku sendiri.

***************************





Aku duduk sendirian dibawah sebuah pohon rindang. Disini kami dulu sering bertemu. Terlalu banyak kenangan disini. Dipohon flamboyant ini, terukir indah nama Meli dan nama ku. Akh, ternyata aku belum berhasil melupakan Meli, meskipun dia telah tiada.

“Hei ..!” sebuah suara mengganggu gendang telinga ku, lamunanku buyar. Aku berpaling ke belakang, kulihat seruat wajah manis, seorang gadis tersenyum memandang padaku.

“Hmm.., Sela?!” tanyaku sedikit ragu. Gadis itu, Sela, mengangguk. Senyumnya semakin lebar.

“Ternyata bang Bas masih ingat namaku..” ucapnya, sambil berjalan menuju tempat duduk disampingku.

“Dari mana kamu tahu, aku disini?!” tanyaku lagi sedikit heran, setelah Sela berhasil duduk pas disampingku, seperti yang sering Meli lakukan dulu.

“Kak Meli!” jawabnya tegas, yang membuat mataku melotot penuh Tanya. Sela tersenyum santai melihat kebingunganku.

“Kamu? Kenal Meli?” tanyaku lagi akhirnya. Sela masih tersenyum penuh arti. Lalu kemudian berkata pelan, “sebenarnya Meli itu saudara sepupu ku…” Sela memeluk kedua lututnya pelan, kemudian melanjutkan, “sebelumnya kami sekeluarga tinggal di Kota lain, cukup jauh dari sini, jadi kami jarang bertemu. Namun lima tahun lalu kami pindah kesini, tepatnya ke desa sebelah. Itu mungkin bertepatan dengan menghilangnya bang Bas dari desa ini…”

“Kita mungkin belum pernah bertemu, kecuali saat di angkot kemarin, namun kak Meli pernah bercerita tentang bang Bas beberapa tahun lalu, sebelum akhirnya dia memutuskan untuk mengakhiri hidupnya…” sejenak Sela berhenti, menarik nafasnya dalam-dalam kemudian menghempaskannya pelan. Tanpa sengaja aku turut melakukannya, ada perih yang tiba-tiba menyirami luka ku yang berdarah.

Sela menatapku sepintas, lalu berpaling, kemudian melanjutkan lagi, “terakhir kali kak Meli pesan, sehari sebelum ia meninggal, ia meminta aku agar aku menunggu bang Bas pulang dan dia pun minta agar aku mau menjaga bang Bas untuknya..”

Kutatapi wajah Sela dalam-dalam, mencoba mengambil kesimpulan dari ceritanya barusan.

“Bertahun-tahun aku menunggu bang Bas pulang, walau aku tak pernah tahu bagaimana rupa bang Bas. Tapi aku tetap ingin menjalankan amanah kak Meli yang terakhir…” Kembali Sela melanjutkan ceritanya, setelah melihat aku hanya terdiam membisu. “Aku baru tahu, kalau bang Bas yang ku kenal di angkot itu adalah orang yang selama ini diceritakan kan Meli. Bang Jo yang memberitahu aku..”

Aku masih terpaku, bingung dan rasa tak percaya. Namun Sela menatapku mengangguk, seakan membaca pikiranku. Tapi tetap saja semua ini diluar dugaanku.

“Lalu bagaimana kamu tahu, kalau aku disini?!” tanyaku akhirnya.

“Kak Meli pernah cerita, katanya kalau bang Bas lagi sedih atau kalau lagi ada masalah, bang akan datang kesini di bawah pohon flamboyant ini. Lalu kemudian kak Meli akan datang menghibur…” jawab Sela panjang lebar. “Seperti juga saat terakhir dia menunggu bang Bas disini. Setelah bang Bas menghilang tanpa kabar…”

“Maafkan aku, Sel..!” ucapku kemudian, karena aku gak tahu lagi harus ngomong apa lagi. Semuanya sungguh diluar dugaanku. Seandainya saja pada saat itu aku lebih berani berjuang untuk cinta kami, tidak hanya mementingkan harga diriku. Mungkin semua tidak akan berakhir seperti ini.

Tapi terlambat. Semua sudah terlambat. Meli telah pergi dan tak kan pernah kembali. Penyesalan memang selalu datang terlambat.





“Tak ada yang terlambat bang, kalau bang Bas mau memperbaiki diri,” ucapan Sela seperti bisa membaca apa yang aku pikirkan. “Dan penyesalan tidak akan merubah apapun, tapi setidaknya ada begitu banyak pelajaran pada setiap peristiwa yang terjadi dalam hidup ini..” lanjutnya.

Yah, aku terhenyak. Meli memang telah pergi, tapi tidak dihatiku.

Namun kehadiran Sela disini, mampu membuatku sedikit kuat. Ada banyak persamaan diantara mereka. Aku menatapi Sela dengan penuh senyum.

Pohon flamboyant ini telah menjadi saksi bagaimana perjalanan cintaku bersama Meli. Dan akan menjadi saksi bagaimana hidupku selanjutnya, meski bukan bersama Meli.

Meli boleh saja telah tiada, namun cinta ini masih ada. Hati ini masih bisa terbuka untuk hal-hal baru yang datang dalam hidupku.

Terima kasih, Meli, kau telah mengajarkan banyak hal dalam hidupku.

*****

Mentulik, 09 April 2009

By,

Basri Psyd

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini

Layanan

Translate