Siang itu mentari seperti enggan menampakkan
cahayanya. Mendung menyelimuti kota Pekanbaru, ketika Dany berjalan menuju
sebuah pemakaman umum. Dany berniat pergi pemakaman Ibunya, karena sudah cukup
lama ia tidak mengunjungi tempat tersebut. Kesibukannya menjadi wartawan
disebuah tabloid akhir-akhir ini, membuatnya hampir tak punya waktu, walau
sekedar membaca yassin dipusara Ibunya. Terakhir kali ia kesana, itu sekitar
satu tahun yang lalu.
Jarak antara tempat tinggalnya yang sekarang
dengan tempat pemakaman Ibunya, tidak terlalu jauh, hingga bisa ditempuh dengan
hanya berjalan kaki. Kebetulan sekali sepeda motornya sedang diservis dibengkel
langganannya yang berada didepan rumah kontrakannya. Dan hari ini ia tak ada
jadwal kerja, jadi ia mamfaatkan untuk pergi kepemakaman Ibunya.
Ketika sedang asyik berjalan, tanpa sadar
didekat pintu gerbang ia bertabrakan
dengan seorang Bapak-bapak berkacamata hitam.
“Maaf!” begitu ucap Dany ketika tersadar dari
lamunannya. Bapak itu menatapnya cukup lama, kemudian tersenyum.
“Sekali lagi saya minta maaf, tadi saya tidak
melihat bahwa ada orang didepan saya. Karena saya ...”
“Oh, tidak apa-apa. Tidak apa-apa!” kata Bapak
itu memotong ucapan Dany, yang mencoba menjelaskan kekeliruannya. “itu bukan
salah kamu, salah saya juga! Saya juga sedang melamun!” lanjut Bapak itu
terdengar lembut dan sopan. Dany pun balas tersenyum.
“Kalau begitu saya permisi dulu,pak!” ucap Dany
kemudian.
“Oh, ya silahkan ..” balas Bapak itu ramah.
Dany pun berlalu, berjalan menuju pusara Ibunya.
Tanpa ia sadari Bapak itu tetap menatapnya lama, sampai Basri benar-benar
hilang dari pandangannya. Bapak itu menggeleng sendiri dan tersenyum. Hingga
kemudian, ia berjalan menuju mobilnya yang diparkir tak jauh dari pintu gerbang
pemakaman.
Dany cukup kaget, ketika ia sampai dimakam
Ibunya. Meski sudah lama ia tidak datang kemakam itu, tapi makam itu tetap
bersih dan diatas makam itu terdapat seikat bunga yang masih segar. Itu berarti
bunga tersebut baru saja ditaruh disitu, pikirnya. “Tapi siapa yang menaruh
bunga disini?” gumamnya dalam kesendirian. Yang ia tahu, selain ia sendiri, tak
mungkin ada orang lain yang datang kepusara Ibunya. Karena seingatnya, semua
keluarga Ibunya tinggal dipulau Jawa sana. Dan pun, jika mereka kesini,
tentunya mereka sampai kekontrakannya. Lagi pula, sudah sangat lama, keluarga
Ibunya tidak kesini. Selain jauh, mereka juga bisa dibilang bukan keluarga
dekat.
Tiba-tiba pikiran Dany melayang kemasa dimana
Ibunya masih hidup dulu. Ia masih ingat, betapa Ibunya begitu gigih berjuang
untuk membiaya hidup mereka berdua dan membiaya sekolah Dany. Ibunya yang hanya
bekerja sebagai tukang jahit pakaian itu, masih mampu membiayai sekolah Dany
hingga tamat SMA.
Kemudian Dany mendapatkan pekerjaan sebagai
wartawan, karena Ibunya sudah tak mampu lagi bekerja seperti biasa. Ibunya
sudah mulai sakit-sakitan. Hampir enam lamanya Dany bekerja menjadi wartawan
ditabloid Gerhana, Ibunya pun akhirnya pergi.
“Dany, anakku...” suara Ibu terdengar serak. Itu
kali terakhir ia mendengar suara Ibunya. Beberapa jam menjelang sang Ibu
akhirnya menghembuskan nafas terakhir. “maafkan Ibu, nak. Mungkin Ibu tidak
mampu bertahan lebih lama lagi ...”
“Ibu ... Ibu jangan berkata seperti itu ...” potong
Dany, sambil menggenggam erat tangan Ibunya.
“Selama ini, kamu tidak pernah bertanya tentang
ayahmu.” Lanjut Ibunya kemudian. “dan Ibu pun sulit menjelaskan semuanya,
nak...”. Ibu menarik nafas cukup panjang, lalu melanjutkan,”kini sudah saatnya
kamu tahu semuanya, selagi Ibu masih ada waktu ...”
Dany terdiam, mendengarkan. Selama ini memang ia
tidak pernah bertanya tentang ayahnya. Meski kadang ia juga sebenarnya ingin
tahu. Tapi, ia tidak ingin menyinggung perasaan Ibunya, jika bertanya tentang
hal tersebut. Lagi pula, Dany merasa sangat bahagia bisa mempunyai seorang Ibu
yang sangat baik dan sayang padanya.
“Dulu, ayahmu dan ibu hidup bahagia, karena kami
saling mencintai. Walau hidup kami jauh dari kata cukup.” Ibu memulai
ceritanya. “kemudian, pada saat Ibu mengandungmu enam bulan, ayahmu
diberhentikan bekerja dari tempat kerjanya, ada pengurangan karyawan, begitu
perusahaan menjelaskan.” Sejenak Ibu memejamkan matanya, lalu menatap Dany,
kemudian melanjutkan,”seorang kenalan mengajak ayahmu bekerja kesini, ke
Pekanbaru. Ayahmu setuju, karena di Jawa sana, ayah sudah tidak punya pekerjaan
lagi. Dengan berat hati Ibu melepaskan kepergian ayahmu...” Ibu menarik nafas,
kemudian melanjutkan lagi,”ayahmu berjanji akan menjemput kita, jika ia sudah
mendapatkan pekerjaan dan tempat tinggal tetap”.
“Namun sampai usiamu dua tahun, ayahmu belum
juga datang menjemput kita. Kabarpun tak ada. Sementara itu, kakekmu yang
membiayai hidup kita selama itu, sudah meninggal. Sedangkan keluarga kita yang
lain, hidup mereka juga pas-pasan. Jangankan untuk membantu kita, untuk makan
mereka pun masih kekurangan.” Ibu mulai meneteskan air mata, dan semakin erat
memegang tangan Dany.
“Lalu, dengan modal seadanya, Ibu membawamu ke
Pekanbaru untuk mencari ayahmu. Meski Ibu tak pernah tahu dimana alamatnya.
Namun Ibu berharap bisa bertemu ayahmu disini. Hampir seminggu, pencarian Ibu
sia-sia, Ibu belum juga bertemu ayahmu. Bahkan hingga sampai saat ini.” Ibu
mengusap pipinya, yang dibasahi air matanya. Kemudian ia melanjutkan, “beruntunglah
ada seseorang yang baik hati yang mau membantu kita, ia mencarikan kita sebuah
kontrakan dan juga sebuah mesin jahit, untuk modal Ibu memulai usaha disini..”
“Bertahun-tahun lamanya, Ibu berjuang untuk
dapat bertahan hidup dan juga membesarkanmu seorang diri. Karena harapan untuk
bertemu ayahmu, sudah memudar. Namun kita harus tetap berjuang, untuk hidup dan
juga untuk masa depanmu ..” Ibu berhenti cukup lama. Kemudian ia mengambil
sesuatu dibawah bantalnya. Sebuah photo lama. Ia serahkan photo itu pada Dany,
yang masih saja bungkam.
“Ibu selalu berdo’a, semoga kelak suatu saat,
kamu bisa bertemu dengan ayahmu. Ayahmu yang ada diphoto itu. Photo itu sudah
sangat lama, itu photo ketika kami masih berpacaran dulu.” Lanjut Ibunya.
Dany menatap photo yang diberikan oleh Ibunya.
Dalam photo tersebut, terdapat gambar sepasang muda-mudi yang sedang duduk
disebuah bangku taman. Seorang wanita muda cantik, yang ia tahu itu Ibunya,
wajahnya tidak jauh berubah hingga sekarang. Didekatnya duduk seorang pria tampan,
yang tidak Dany kenal. Tapi ia yakin, itulah ayahnya, yang diceritakan Ibunya.
“Mungkin kalau bertemu dia saat ini, kamu sulit
mengenalnya.” Ibunya kembali bercerita.”Tapi, jika kamu perlihatka photo ini,
Ibu yakin ia akan mengingatnya.”
Sesaat kemudian, Ibu memegang kedua pipi Dany
dan menatapnya lama, lalu kemudian berujar, “jika kamu bertemu dengannya,
tolong maafkan dia...” ucapan Ibunya membuat Dany tersentak. Ia benar-benar
tidak tahu, apa yang harus ia lakukan, jika bertemu dengan pria yang ada dalam
photo tersebut. Lagi pula, harapan untuk bertemu orang tersebut sangat tipis.
Bukan saja, karena kota ini luas, tapi bukankah Ibunya sudah mencarinya
bertahun-tahun, namun tidak juga bertemu.
Dany masih termangu didekat makam itu, ketika
seseorang menepuk pundaknya. Dan saat ia menoleh kebelakang, seorang gadis
manis berambut panjang telah berdiri didekatnya.
“Airin ..?!” ucapnya dalam kekagetan.
“Iya, ini aku! Kenapa?!” balas gadis itu manja.
“Ada apa? Dan kenapa kamu kesini?!” tanya Dany
kemudian.
“Pake nanya lagi! Aku cari’in kamu kemana-mana,
lho! Dikantor ‘gak ada, kerumah Dino, ia bilang ‘gak tahu. Dikontrakan juga
‘gak ada, diteleponin ‘gak diangkat-angkat ..” terang cewek itu.
“Oh ya, maaf, Rin! HP-ku sengaja aku tinggal
dirumah.”
“Udah berapa lama, sih! Kamu disini?” tanya
Airin.
“Hmm ... cukup lama, oh ya ada apa?”
“Kamu kan janji, katanya hari ini kamu mau
ngajak aku nonton!”
“Ouw iya ya, maaf ya aku hampir lupa! Tapi belum
terlambat, kan?!”
“Belum. Kamu masih punya waktu 20 menit untuk
bersiap-siap, oke!” Airin berkata sambil tersenyum manja. Kemudian bersama-sama
mereka melangkah meninggalkan pemakaman itu, yang masih menyisakan tanda tanya
dibenak Dany.
Setelah mengantarkan Airin kerumahnya. Dany
langsung pamit pulang. Tadi baru saja mereka pergi nonton, naik sepeda motor
milik Dany. Mereka udah dua tahun ini saling kenal, walau hubungan mereka masih
sebatas teman, tapi Dany sangat menyayangi gadis itu yang masih duduk kelas
tiga SMU itu. Airin memang sangat baik padanya, itulah yang membuat Dany sulit
menolak ajakannya. Setelah ibunya tiada otomatis hanya Airin yang dekat dengan
Dany, selain Dino sahabatnya dan juga rekan-rekan kerjanya.
“Kamu ‘gak mampir dulu?” tanya Airin suatu
ketika Dany mengantar Airin pulang dari jalan-jalan.
“Kapan-kapan aja, ya!” jawabnya.
“Kamu ‘gak mau aku kenalin sama orangtua ku?”
tanya Airin lagi.
“Hmm ... mungkin lain kali aja, ya!” balasnya
tersenyum.
Sebenarnya bukan Dany tidak mau mampir
kerumahnya Airin, tapi Dany merasa sungkan. Karena menurutnya rumah Airin itu
sangat megah, ia takut orangtua Airin melarangnya berteman dengan Airin. Dan
itu berarti ia akan kehilangan Airin, dan Dany tidak mau hal itu terjadi.
“Kamu kenapa, sih! Setiap kali aku ajak main
kerumah, selalu ‘gak mau?” tanya Airin suatu hari mereka bertemu disekolahan
Airin.
“Aku ‘gak enak aja sama orangtua kamu,Rin!”
“Lho, emangnya kenapa? Orangtuaku ‘gak ada
masalah, kok. Mereka ‘gak melarang aku berteman dengan siapapun.” Jelas Airin.
Dany terdiam. Penjelasan itu tetap saja
membuatnya belum berani bertemu orangtua Airin. “mungkin suatu saat. Tapi bukan
sekarang.” Tegasnya pada Airin. Dan Airin maklum.
Agak gugup Dany memasuki sebuah gedung
perkantoran megah dikota itu. Ia kesini karena tugas. Ia diminta untuk
mewawancarai seorang pengusaha yang sukses, untuk dimuat ditabloid Gerhana,
tempatnya bekerja. Sekarang Dany berdiri tepat didepan pintu ruangan pengusaha
tersebut. Ia agak ragu untuk mengetuk pintu. Meskipun sudah ada perjanjian
untuk wawancara tersebut.
Dany sudah sering dan terbiasa mewawancarai
berbagai profil orang, juga beberapa orang sukses lainnya. Tapi entah mengapa
kali ini ia agak sedikit gugup. Bukan saja karena pengusaha itu meminta ia
datang langsung kekantor, karena biasanya Dany mewawancara beberapa orang
justru di cafe atau restoran, tapi juga karena nama pengusaha tersebut
kebetulan sama dengan nama ayahnya yang belum ada kabar sampai saat ini.
Meski Dany yakin, itu hanya sebuah kebetulan.
Namun tetap saja hatinya ragu, sebab pak Abdul Hamid atau yang Dany tahu lebih
akrab dipanggil pak Hamid, nama pengusaha itu tidak punya titel dan gelar
apapun.
Dengan masih diliputi kegugupan, Dany mengetuk
pintu ruangan itu.
Tok! Tok! Tok!
“Ya, masuk!” perintah suara didalam.
Dany membuka pintu dan menatap bapak tersebut
sambil tersenyum. Ketika bapak tersebut melihat padanya, Dany sedikit
terkesiap. Bapak itu juga kelihatan terkejut dengan kedatangan Dany. Namun Dany
mencoba tersenyum ramah, ia ingat bapak ini yang bertabrakan dengannya ketika
digerbang perkuburan waktu itu.
“Selamat siang, pak. Saya Dany Firmansyah dari
tabloid Gerhana. Saya diminta kesini oleh pak Sakir, bos saya. Untuk wawancara
dengan bapak.” Ucap Dany menjelaskan.
“Oh ...” Bapak itu mengangguk,”silahkan duduk,
tadi pak Sakir sudah mengabari saya..” jawab bapak itu sopan.
Lalu kemudian Dany memulai wawancara itu, ia
sengaja tidak mengungkit soal tabrakan dikuburan itu. Ia yakin bapak itu juga
masih ingat akan kejadian itu. Tapi hal itu sudah tidak penting lagi.
Selesai wawancara, Dany pamit. Namun saat Dany
hendak melangkah keluar, Dany bertabrakan dengan seorang gadis yang sudah
sangat ia kenal, sehingga berkas-berkas yang Dany bawa berserakan. Gadis itu
membantu Dany mengumpulkan berkas-berkas tersebut.
“Airin! Kenapa kamu ada disini?” tanya Dany pada
gadis itu, setelah mereka sama-sama berdiri kembali.
Airin tersenyum manis, kemudian menjawab, “mau
bertemu papaku.”
“papa kamu?” tanya Dany makin heran.
“Iya, nak Dany! Airin itu anak perempuan bapak
satu-satunya ...” ucap pak Hamid dari tempat duduknya, yang sedari tadi
menyaksikan kejadian didepan matanya.
Sejenak Dany terkesiap. Sungguh diluar
dugaannya, jika pak Hamid itu papanya Airin. Selama ini memang Dany tidak
banyak bertanya-tanya tentang keluarga Airin padanya. Namun tetap saja, ini sebuah
kebetulan yang luar biasa baginya.
“Oh, jadi ini cowok yang sering kamu ceritakan
sama mama dan papa itu ya?” tanya pak Hamid pada anak gadisnya, sambil
tersenyum menggoda.
“Iya, Pa!” jawab Airin manja.
Dany kembali terpaku, ia tak menyangka kalau
Airin sudah bercerita banyak tentangnya kepada papanya. Dengan sedikit menahan
rasa malu, Dany pamit pulang.
“assalamualaikum ...” terdengar suara seseorang
mengucapkan salam dari luar. Dany bangkit dari rebahannya dan menuju pintu.
“Waalaikumsalam ...” jawabnya sambil membuka
pintu. Dan ia sangat terkejut ketika dihadapannya telah berdiri pak Hamid, papa
Airin.
“Selamat pagi!” sapa pak Hamid.
“Pagi, pak!” jawab Dany, dalam kebengongannya.
“Ada apa ya, pak?” lanjutnya.
“Hmm, bolehkah saya masuk?” ujar pak Hamid lagi,
tanpa menghiraukan pertanyaan Dany.
“Oh, ya... tentu boleh, pak! Silahkan!” jawab
Dany selanjutnya.
Setelah mempersilahkan tamunya duduk dan
menyajikan segelas minuman juga beberapa makanan ringan, Dany duduk berhadapan
dengan pak Hamid diruang tamu kontrakannya yang sederhana.
“Apa ini milik kamu?” pak Hamid memulai
pembicaraan sambil menyerahkan selembar photo usang kepada Dany.
Dany mengambilnya dengan agak ragu, kemudian
memperhatikan photo tersebut. Ia ingat, itu adalah photo yang diberikan Ibunya
dulu.
“Iya, pak! Ini milik saya! Maaf sebelumnya, pak.
Kenapa photo ini bisa ada sama Bapak?” ucap Dany memperjelas keingintahuannya.
“Kemarin saya menemukannya didekat pintu ruangan
kantor saya. Mungkin kamu menjatuhkannya.” Jelas pak Hamid.
“Oh..” Dany menggut-manggut, ia jadi ingat,
ketika ia bertabrakan dengan Airin dikantor pak Hamid. Semua berkasnya
berserakan, dan photo ini yang selalu ia bawa bersama berkas-berkasnya mungkin
ikut terjatuh saat itu. Dan karena saat itu ia terkejut dan juga buru-buru,
bisa saja photo itu tak disadari tertinggal.
“Iya! Mungkin memang ketinggalan kemarin.” Dany
melanjutkan. “dan terima kasih ya, pak. Sudah bersedia datang kesini, hanya
untuk mengantarkan ini.”
“Tentunya photo tersebut sangat berharga bagi
kamu?” ucap pak Hamid. Dia tersenyum ramah pada Dany, kemudian berkata, “kalau
boleh saya tahu, siapa mereka? Maksud saya orang-orang didalam photo tersebut!”
“Mereka orangtua saya!”
Sesaat pak Hamid kelihatan terpaku, meski ia
sudah bisa menebak bahwa kedua orang didalam photo tersebut jelas orangtua
Dany. Namun pengakuan langsung Dany tadi tetap membuatnya terkesiap.
Lalu kemudian, dengan terlebih dahulu menarik
nafas panjang dengan sedikit ragu pak Hamid berkata lagi,”apakah hmm, maksud saya,
apakah kamu sudah pernah bertemu dengan ayah kamu?”
Dany menatap pak Hamid sesaat, lalu memalingkan
wajahnya kearah pintu yang masih terbuka. Pertanyaan pak Hamid sedikit
membuatnya kaget. Rasanya sedikit aneh pak Hamid bertanya seperti itu. Tapi
kemudian ia ingat, bahwa ia pernah bercerita pada Airin tentang ayahnya.
Mungkin saja Airin juga sudah bercerita pada papanya.
Dengan sedikit enggan Dany menggeleng, “belum.”
Katanya singkat.
“Maafkan saya!” ucap pak Hamid tiba-tiba,
setelah suasana hening tercipta sesaat.
Kembali Dany menatap bapak itu, heran. Kemudian
ia berujar, “oh, tidak apa-apa, pak! Ini bukan pertama kalinya orang
bertanya...”
“Bukan soal itu!” pak Hamid memotong.
“jadi?” tanya Dany yang semakin tidak mengerti.
“Kamu yakin, tidak pernah bertemu laki-laki
diphoto itu?” tanya pak Hamid, sambil menunjuk photo yang masih Dany pegang.
“Iya! Yakin!” balas Dany, masih dalam
ketidakmengertiannya.
“Yah, waktu mungkin telah merubah penampilan
saya.” Ucap pak Hamid kemudian. Ia menyibakkan rambutnya kebelakang.
“Maksud bapak?!” tanya Dany sedikit tegang. Ia
mulai agak kesal, karena menurutnya pak Hamid dari tadi berkata-kata penuh
misteri dan berputar-putar.
“Apakah kamu tidak pernah benar-benar
memperhatikan saya?” tanya pak Hamid selanjutnya. Yang membuat Dany semakin
kesal.
“Untuk apa?” balas Dany,”untuk apa saya
memperhatikan bapak?” Dany menyatukan kedua tangannya, mencoba menarik napas
lebih dalam. Walau sejujurnya ia akui, sejak pertemuannya dengan pak Hamid di
pemakaman, ia tidak pernah begitu berani menatap bapak itu lama-lama. Bahkan
saat wawancara dikantornya kemarin, Dany lebih sering melihat kebawah atau
kebuku catatannya. Tapi menurutnya, tetap saja pertanyaan itu aneh. Tapi
bukankah sejak awal kedatangan pak Hamid kerumahnya, pertanyaan aneh memang
sering muncul dari bapak ini. Bathinnya.
Walau demikian, dengan masih diliputi tanda
tanya dalam pikirannya, Dany tanpa sengaja menatap laki-laki dalam photo
ditangannya. Kemudian dengan sedikit ragu ia menatap pak Hamid. Kali ini agak
sedikit lama. Keningnya mulai berkerut. Ia lihat lagi photo itu, sebuah
kesimpulan hampir ditemukannya. Sedetik kemudian ia ragu. Lalu tatapannya
beralih kembali kewajah pak Hamid yang masih tersenyum padanya. Kali ini
tatapannya jauh lebih lama. Sangat lama. Lalu kemudian ia tertunduk. Tak
percaya. Ragu.
“Yah, nak. Akulah laki-laki yang ada diphoto
tersebut.” Ucap pak Hamid akhirnya, setelah lama ia terdiam. “laki-laki
pengecut yang tak bertanggungjawab.” Lanjutnya lagi. Wajahnya mulai lesuh.
Penuh penyesalan.
Dany masih terpaku. Tak percaya. Lelah. Ingin
pergi! Ingin tak percaya. Tapi lelaki itu kembali berkata,”maafkan saya untuk
itu! Maafkan saya untuk semuanya! Maafkan saya untuk sekian tahun yang
terlewatkan... “ lanjutnya mulai terisak, air mata mulai mengenang dimatanya.
Lelaki itu menyekanya.
“Saya tidak punya banyak pilihan waktu itu.” Pak
Hamid terus berbicara, tak peduli Dany tak menghiraukannya. Ia tahu, Dany
sangat terpukul, dan mungkin sangat membencinya saat ini. Tapi ia harus tahu.
Dany harus tahu, bathinnya. “saat pertama sampai kesini,” lanjutnya. “bapak dan
teman bapak kemalingan. Kami tak punya apa-apa lagi. Bahkan alamat yang akan
kami tuju pun hilang. Kami menggelandang. Berusaha bertahan hidup dikota yang
tidak kami kenal. Sampai akhirnya teman bapak mengalami kecelakaan. Ia
tertabrak oleh sebuah mobil yang melintas cepat didepan kami. Ia tak selamat.
Tapi untunglah sipenabrak mau bertanggungjawab.” Pak Hamid menarik nafasnya
perlahan. Berusaha tegar. Tak peduli air mata masih terus mengalir dipipinya.
“Pak Heru, sipenabrak bertanggungjawab
sepenuhnya. Kemudian saya menceritakan semua yang terjadi tentang kami. Dengan
penuh rasa tanggung jawab, Pak Heru membawa saya kerumahnya. Ia seorang
pengusaha sukses. Teman bapak dimakamkan secara layak. Saya juga diberikan
tempat tinggal dan pekerjaan.”
“Pak Heru telah menyelamatkan hidup saya, meski
harus mengorbankan teman saya.” Lanjut pak Hamid, ia menatap Dany yang masih
tertunduk.”Beberapa bulan kemudian, ada satu kejadian yang merubah segalanya.
Gina, putri sulung pak Heru yang kuliah diluar negeri, tiba-tiba pulang dalam
keadaan hamil. Pacarnya yang orang Australia tidak mau bertanggungjawab dan
menghilang.”
“Mau tidak mau, pak Heru harus mencari cara
untuk menyelamatkan keluarganya terutama dari rasa malu. Kemudian pak Heru
memanggil saya dan meminta saya menikahi Gina. Saya tidak bisa menolak. Meski
saya sudah mengatakan bahwa saya sudah punya istri pada pak Heru, beliau tetap
tak peduli. Baginya yang penting saat itu, ia bisa menikahkan putrinya secepatnya,
agar tidak ada orang yang tahu.”
Lama pak Hamid terdiam, menunggu reaksi Dany.
Namun Dany tetap membisu, ia tidak tahu harus berkata apa saat ini. Kemudian
pak Hamid melanjutkan,”tentunya saya tidak bisa menolak. Selain pak Heru telah
menyelamatkan saya, juga ada rasa tanggungjawab moril disitu. Kemudian
menikahlah kami, meski belum saling kenal. Lalu anak itu lahir. Airin. Yang
sudah kamu kenal. Secara biologis dia bukan anak kandung saya. Tapi Airin tidak
boleh tahu. Dan semoga tetap begitu.”
Pak Hamid menarik napas lagi, mengusap wajahnya
dan melanjutkan, “setelah itu, saya merasa terikat. Bukan tak pernah saya punya
keinginan untuk pulang. Tapi sering. Namun ketika saya punya kesempatan untuk
pulang menemui kalian. Kalian sudah tidak ada lagi dikampung, kata pamanmu,
kalian pergi kekota ini mencari saya.”
“bertahun-tahun saya mencoba mencari kalian.
Namun tidak ada hasil. Sampai suatu hari, seseorang yang saya percaya
mendapatkan info tentang kalian. Dia tahu tempat tinggal kalian. Namun ketika
saya sampai disana, dikontrakan kalian yang lama, saya diberitahu oleh
tetangga, bahwa Ibumu sudah meninggal dan dimakamkan dipemakaman yang kemarin
kita bertabrakan. Namun tetangga itu tidak tahu kemana kamu pindah. Saya sempat
putus asa untuk mencarimu. Mungkin saja kamu sudah kembali keJawa.”
“sampai akhirnya saya melihat photo itu dikantor
saya..” lanjut pak Hamid lagi. “Dan saya yakin kamu adalah anak yang selama ini
aku cari. Saya juga sudah menceritakan ini pada Airin. Dia terkejut tapi juga
senang.” Pak Hamid menarik napas kembali, seolah lega.
“Sekarang saya sudah menceritakan semuanya.”
Lanjut pak Hamid. “semua terserah kamu. Kamu berhak marah. Benci. Bahkan dendam
pada saya. Tapi yang pasti saya sangat menyesal. Dan saya tidak akan pernah
berhenti untuk meminta maaf padamu. Seperti yang saya lakukan pada Ibumu,
dimakamnya setiap akhir pekan.”
Dany masih tetap diam. Hatinya nelangsa. Dia
bingung. Dia tidak tahu harus berbuat apa. Kata-kata terakhir Ibunya terngiang
ditelinganya. Ingin rasanya ia berlari. Berlari. Tetapi untuk apa? Semua sudah
terjadi.
Kata-kata Ibunya kembali terngiang. Dia bimbang.
Dan dia biarkan takdir menjalankan tugasnya, karena selama ini itulah yang
terbaik.
*****
Mentulik,
27 Desember 2006
NB :
Buat Ibu yang telah lama pergi
Maafkan
anakmu.
Aku
bukanlah yang terbaik ...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar