Namaku Kamal. Setidaknya begitulah orang-orang memanggil ku. Aku terlahir dari keluarga yang sangat sederhana. Ayah ku hanya seorang kuli bangunan. Sedangkan ibu ku hanya seorang ibu rumah tangga biasa. Karena itu, aku hanya bisa bersekolah hingga tamat SMA.
Aku anak bungsu dari kami tiga bersaudara. Kami tiga bersaudara semuanya laki-laki. Kedua kakak ku, yang juga hanya lulusan SMA, sudah menikah dan sudah punya rumah sendiri. Kakak pertama ku bekerja menjadi seorang security di sebuah perusahaan. Sedangkan kakak kedua ku, punya usaha dagang kecil-kecilan di rumahnya.
Hanya aku satu-satunya yang mengikuti jejak ayah ku, dengan menjadi kuli bangunan. Aku juga sudah menikah, dan juga sudah punya dua orang anak. Saat ini, usiaku sudah 32 tahun.
Sejak lulus SMA, aku memang sudah mulai aktif ikut bersama ayahku bekerja menjadi kuli bangunan. Dan pada saat usia ku baru 24 tahun, aku pun memutuskan untuk menikah. Aku menikah dengan seorang gadis, yang juga berasal dari keluarga kuli.
Pernikahan kami berjalan dengan baik. Meski pun secara ekonomi, kami masih sering kekurangan. Namun hal itu, tidak mengurangi kebahagiaan rumah tangga kami. Apa lagi sejak anak-anak kami lahir.
Karena sudah bertahun-tahun menjadi kuli, tentu saja aku sudah sangat berpengalaman dalam hal tersebut. Aku juga sudah sering bekerja menjadi kuli bangunan di luar daerah. Aku sering bepergian, untuk beberapa bulan, mengerjakan proyek-proyek yang ditawarkan padaku.
Aku juga punya banyak kenalan, rekan-rekan kuli lainnya, yang berasal dari daerah yang berbeda. Setiap kali aku mengerjakan sebuah proyek bangunan, maka akan berbeda pula rekan kerja ku.
Dan begitulah kehidupan yang aku jalani selama ini. Kalau ditanya bahagia, aku memang merasa bahagia. Setidaknya aku masih punya penghasilan. Dan aku juga punya seorang istri yang pengertian, dan juga dua orang anak yang mulai tumbuh besar.
Tapi kadang-kadang, aku juga sering merasa sedih dan kesepian, terutama jika aku harus bekerja jauh di luar daerah ku. Karena tentu saja, hal itu membuat aku harus berpisah sementara dari istri dan anak-anak ku. Aku harus menahan rindu untuk bisa bertemu mereka, sampai proyek bangunan yang aku kerjakan itu selesai.
Dan itu kadang-kadang, bisa sampai berbulan-bulan.
****
Sampai pada suatu ketika...
Aku dan tiga orang rekan kerja ku sesama kuli, mendapatkan sebuah proyek bangunan sekolah. Proyek bangunan sekolah tersebut, terletak di sebuah desa yang sangat jauh dari perkotaan. Bahkan sangat jauh, dari daerah tempat aku tinggal.
Jalan untuk menuju desa itu bahkan masih merupakan jalan tanah, yang sangat becek, apa lagi jika di musim hujan. Jarak desa tersebut, sekitar 25 km lebih dari ibu kota kecamatan. Dan sepanjang jalan menuju desa tersebut, terdapat hutan belantara.
Di desa tersebut, masih belum ada listrik masuk. Tidak ada jaringan untuk telpon, apa lagi jaringan internet. Penduduk desa tersebut, masih sangat primitif. Mereka masih menggunakan kayu bakar untuk memasak. Dan untuk penerangan pada malam hari, mereka masih menggunakan lampu tradisional, yang terbuat dari kaleng bekas.
Di desa itu, memang belum ada sekolah sama sekali. Gedung sekolah yang akan kami bangun, adalah gedung sekolah dasar pertama di desa tersebut. Tentu saja pembangunan gedung sekolah itu, disambut dengan baik oleh semua warga desa.
Kami sampai ke desa tersebut, sekitar jam 3 sore. Kepala desa yang kami temui, langsung mengajak kami untuk menuju rumah tempat kami tinggal sementara, selama pengerjaan proyek gedung sekolah tersebut.
Sebuah rumah kosong, yang terlihat masih cukup terawat. Di samping rumah kosong tersebut, terdapat sebuah rumah lain, yang di huni oleh sebuah keluarga yang merupakan penduduk asli desa tersebut.
Selain kami berempat, kami juga akan dibantu oleh beberapa orang tukang yang berasal dari desa tersebut. Salah seorang tukang tersebut, adalah seorang laki-laki yang tinggal di samping rumah kosong yang akan kami tempati tersebut.
Lelaki yang sudah berusia di atas 50 tahun tersebut, merupakan salah seorang tukang bangunan senior di desa tersebut. Namanya pak Dadang. Dia tinggal bersama istri dan anaknya.
"Annisa.." lembut suara gadis itu menyebut namanya, saat kami saling berkenalan.
"Kamal.." jawab ku tegas.
Annisa adalah anak gadis satu-satunya dari pak Dadang, yang ia perkenalkan kepada kami sore itu. Sebelum kami menuju rumah kosong, tempat kami akan tinggal tersebut.
Pak Dadang juga memperkenalkan istrinya kepada kami. Beliau juga sempat cerita, kalau kedua anak laki-lakinya, sudah lama pergi merantau. Sehingga hanya mereka bertiga yang tinggal di rumah tersebut.
"jadi selama mereka berempat bekerja di sini, mereka akan tinggal di rumah kosong itu.." pak Dadang mencoba menjelaskan hal tersebut kepada istri dan anaknya.
"selain itu, selama mereka bekerja disini, ibuk sama Annisa lah yang akan memasak untuk mereka.." pak Dadang melanjutkan penjelasannya.
Karena memang, seperti yang kami sepakati dari awal, kami memang meminta jasa tukang masak dari warga desa setempat. Dan karena kebetulan pak Dadang juga ikut bekerja bersama kami, kami sekalian menawarkan untuk meminta istri nya memasak untuk kami.
"ayah juga ikut kerja sama mereka, juga beberapa orang lainnya dari desa kita ini. Tapi tentu saja mereka berempat ini jauh lebih berpengalaman dalam hal pembangunan gedung sekolah. Karena itu, mereka sengaja di datangkan dari jauh.." jelas pak Dadang lagi.
"yang paling jauh itu si Kamal ini sebenarnya, pak.." ucap Banu, salah seorang teman ku, sambil mengarahkan telunjuknya kepada ku yang berdiri tepat di sampingnya.
"iya, pak. Kalau dari tempat saya berasal kesini itu, butuh waktu satu hari pak baru sampai.." aku memperjelas ucapan Banu tersebut.
"jadi mungkin selama aku mengerjakan proyek sekolah ini, aku gak bakal pulang, sebelum proyeknya selesai.." aku melanjutkan kalimat ku. Entah mengapa aku merasa harus mengatakan hal tersebut.
"oh ya.. gak apa-apa, loh nak Kamal... semoga betah di desa kami ini.. Tapi kalau boleh tahu, kira-kira berapa lama pengerjaannya?" tiba-tiba istri pak Dadang ikut berbicara.
"seharusnya empat bulan udah selesai sih.." balas bang Baron, teman ku yang paling tua diantara kami dan merupakan kepala tukang kami.
"oh, ya ... kami mau beres-beres rumahnya dulu, sekalian mau istirahat. Karena besok pagi udah mulai kerja..." bang Baron berucap kembali.
"oh, iya.. silahkan..." pak Dadang yang membalas.
"jadi ... kalau untuk makannya mulai kapan kami bisa siapkan?" tiba-tiba istri pak Dadang bertanya, sebelum kami berempat memutar tubuh.
"kalau untuk malam ini, sepertinya kami masih punya bekal, buk. Jadi mulai besok aja.." balas bang Baron.
"jadi.. yang kami siapkan itu, mulai dari sarapan, makan siang dan juga makan malam ya?" istri pak Dadang bertanya lagi.
"iya, buk.. kalau ibuk nya gak keberatan... Kalau soal harga kita bahas lagi nanti malam ya.." balas bang Baron lagi.
"iya, gak apa-apa. Kami gak keberatan kok.." ucap istri pak Dadang kemudian.
****
Begitulah perkenalan singkat ku dengan Annisa. Putri bungsu dari pak Dadang. Gadis desa yang berparas cukup cantik, dan masih terlihat sangat muda.
Entah mengapa, sejak berkenalan dengan Annisa, aku jadi sedikit memikirkannya. Aku hanya tidak menyangka akan bertemu seorang gadis cantik di desa yang masih tertinggal ini.
Apa lagi, setelah ini, kami akan semakin sering bertemu. Selain karena kami sekarang bertetangga, Annisa juga akan setiap hari ke rumah kami, untuk sekedar mengantarkan makanan buat kami berempat.
Malam itu, setelah mandi dan makan malam, kami berempat pun berkunjung ke rumah pak Dadang. Sekedar untuk mengobrol, dan juga membahas tentang harga yang harus kami bayar, untuk biaya makan selama kami berada disana.
Malam itu, aku tidak melihat Annisa. Dia sepertinya hanya mengurung diri di kamar. Di desa yang sunyi dan gelap ini, keluar malam bukanlah hal biasa bagi para penduduk di sana. Kecuali memang ada hal yang penting, yang harus mereka lakukan di malam hari.
Dari cerita pak Dadang, kami pun tahu, kalau sebagian besar penduduk di desa ini, bekerja sebagai petani karet. Namun kebun karet yang mereka kelola, bukanlah milik mereka sendiri. Sebagian besar kebun karet tersebut, adalah milik para juragan kaya di desa tersebut, dan juga dari desa tetangga.
Dari cerita pak Dadang juga, kami jadi tahu, kalau selama ini, anak-anak usia sekolah dasar, itu hanya bisa bersekolah di desa tetangga, yang jarak lebih kurang 5 km dari desa tersebut. Dan sebagian besar dari mereka, hanya bersekolah sampai lulus SD. Terutama untuk anak-anak perempuan.
Karena kalau untuk melanjutkan ke tingkat SMP, mereka harus bersekolah ke ibu kota kecamatan, yang jaraknya lebih dari 25 km tersebut. Jadi, hanya bagi mereka yang mampulah, yang bisa melanjutkan sekolah ke tingkat SMP maupun SMA.
Sementara itu, bagi anak laki-laki, yang berasal dari keluarga kurang mampu, setelah lulus SD, banyak yang memilih untuk pergi merantau ke daerah lain. Karena tidak banyak pekerjaan yang bisa mereka lakukan jika tetap berada di desa tersebut.
****
Keesokan paginya, sesuai perjanjian, Annisa pun mengantarkan sarapan ke rumah kami para kuli bangunan.
"selamat pagi, abang-abang.." sapa Annisa ramah, ketika dia sudah berada di rumah kami tersebut, "ini sarapannya ya.." lanjutnya lagi.
Aku hanya mendengar pembicaraan tersebut dari belakang, karena saat itu aku sedang mandi.
"iya, dek Annisa. Makasih ya.." ku dengar Banu membalas.
"selamat menikmati ya.. semoga kalian suka. Tapi kalau ada yang kurang, bilang aja ya.. Siapa tahu kurang pedas, kurang garam atau kurang enak. Ngomong aja. Nanti akan kami perbaiki.." ucap Annisa kemudian.
"kalau dek Annisa yang masak udah pasti enak lah.." celetuk Tegar, salah seorang temanku yang lain, yang baru keluar dari kamar.
"kalian cuma bertiga?" ku dengar lagi Annisa bertanya.
"oh, si Kamal lagi mandi.." jelas Tegar lagi.
"oh, begitu.." suara Annisa terdengar sangat pelan.
"jadi nanti piring-piring kotornya, kami yang antar atau dek Annisa yang ambil lagi?" kali ini bang baron yang bertanya.
"saya aja yang ambil nanti.." Annisa membalas dengan pelan.
Saat itu aku sudah selesai mandi, dan segera berjalan dengan sedikit terburu ke ruang depan, dengan hanya memakai handuk yang terlilit di pinggang ku.
"gak usah... biar kami aja yang antar.." aku segera membuka suara, saat aku sudah berada diantara mereka berempat.
Mataku bersirobok pandang dengan mata indah milik Annisa. Entah mengapa dada ku jadi tiba-tiba berdebar hebat saat itu. Tatapan Annisa yang tajam ke arah ku membuat ku jadi sedikit jengah. Apa lagi aku sedang berdiri tanpa baju.
Aku dapat melihat, betapa pandangan Annisa pada ku, penuh arti. Mungkin ia belum pernah melihat laki-laki bertel4njang dada berdiri sedekat itu di depannya.
"dek Annisa gak usah repot-repot mengambil kesini lagi.. kasihan juga kalau harus bolak-balik kesini.." aku mencoba menyambung ucapanku, sekedar menghilangkan grogi yang tiba-tiba aku rasakan, karena Annisa tak kunjung mengalihkan pandangannya dari ku.
"iya, bang. Tapi gak apa-apa juga sebenarnya, kalau saya yang ambil kesini. Itu kan emang tugas saya.. Tapi kalau abang berbaik hati untuk mengantar ke rumah juga gak apa-apa.." balas Annisa, sambil akhirnya ia menundukan pandangannya.
"ya udah.. kalau begitu saya pamit.." Annisa kembali berujar dengan cepat.
Aku merasa sedikit kecewa, karena Annisa harus pulang buru-buru. Padahal aku ingin ia lebih lama lagi disini.
"oke, dek Annisa.. sekali lagi terima kasih ya..." kali ini bang Baron yang membalas ucapan Annisa.
Annisa segera berlalu dari kami. Sementara kami berempat jadi saling tatap. Entah apa yang ada dalam pikiran teman-teman ku. Aku yakin, mereka juga harus mengakui akan kecantikan Annisa. Apa lagi, saat ini, kami sama-sama jauh dari istri.
Kehadiran seorang gadis seperti Annisa, itu seperti air segar bagi kami. Untuk sekedar menghilangkan kejenuhan dan juga sebagai pelepas rasa penat.
"ingat anak istri di rumah, Mal.." tiba-tiba bang Baron berucap, saat kami mulai menyantap sarapan tersebut.
"kenapa sih, bang?" tanya ku berlagak tidak paham.
"saya dapat melihat tatapan kamu sama Annisa, Mal. Dia memang gadis yang cantik, tapi... kamu harus ingat, kamu udah nikah..." bang Baron membalas pelan.
"alah... kayak kalian gak aja... tatapan kalian juga sama kok.." balas ku sedikit sengit.
"iya... tapi cuma tatapan kamu yang dibalas sama Annisa..." kali ini Tegar yang berbicara.
"iya... kayaknya dari kemarin emang Annisa lebih sering memperhatikan kamu, Mal..." Banu ikut menimpali.
"ah.. kalian ada-ada aja..." balasku pelan, dengan perasaan yang tak karuan. Karena sebenarnya, aku juga dapat merasakan hal tersebut.
Bang Baron, Banu dan Tegar tidak lagi membalas ucapan ku. Kami sama-sama terdiam, menikmati sarapan pertama kami di desa tersebut.
****
Siang itu, aku pulang lebih awal, karena tiba-tiba perut ku sakit.
Saat itu, tiba-tiba Annisa datang, untuk mengantarkan makan siang kami.
"selamat siang, bang Kamal." sapa nya lembut. "ini makan siang nya ya, bang.." lanjutnya.
"oh, iya.. dek Annisa. Makasih ya.." balas ku, sambil aku mengambil alih makanan tersebut dari tangan Annisa
"abang sendirian aja? Yang lain mana?" tanya Annisa berbasa-basi.
"oh, yang lain masih di tempat kerja, sebentar lagi balik kok. Tadi aku sengaja pulang lebih cepat, karena tiba-tiba sakit perut.." jelas ku pelan.
"abang sakit perut kenapa?" tanya Annisa terdengar merasa khawatir.
"gak apa-apa, kok. Cuma sesak mau BAB aja.." balas ku jujur.
"oh.." gumam Annisa membulatkan bibir.
"gimana sarapannya tadi, bang? Enak gak?" Annisa bertanya lagi.
Terus terang aku merasa senang bertemu Annisa siang itu, apalagi ia mau mengobrol dengan ku, mumpung aku juga lagi sendirian.
"enak, kok." aku membalas singkat.
"kamu usia berapa sih, dek Annisa? Kok udah pintar masak?" aku melanjutkan dengan bertanya.
"saya masih 19 tahun, bang. Tapi sejak kecil emang udah diajarin masak sama Ibu.." balas Annisa pelan.
"kalau bang Kamal sendiri, udah berapa usianya?" tanya Annisa melanjutkan.
"oh, saya? Saya udah 32 tahun.." balas ku apa adanya.
"masa' iya sih, bang. Padahal masih kelihatan muda loh, masih kayak 25 tahun.." ucap Annisa terdengar jujur.
Akun tertawa ringan, "dek Annisa bisa aja.. Mana ada kuli bangunan terlihat lebih muda dari usianya, kami kan pekerja keras.." ucapku.
"tapi benar kok, bang. Bang Kamal masih terlihat muda.." ucap Annisa seperti berusaha meyakinkanku.
"tapi abang emang udah 32 tahun, dek Annisa." jelasku lagi.
"jadi abang udah nikah?" tanya Annisa sedikit berani.
Terus terang aku merasa kaget Annisa bertanya demikian.
"iya.. abang udah nikah, malahan abang udah punya dua anak sekarang.." balas ku berusaha untuk jujur.
"oh, gitu.." Annisa berguman dengan nada kecewa.
Entah itu hanya perasaan ku saja, atau memang Annisa merasa kecewa, karena mengetahui kalau aku sudah menikah dan sudah punya anak. Tapi terlihat jelas di raut wajahnya, yang memperlihatkan kekecewaan tersebut.
"iya... jadi dulu itu, saya menikah di usia saya yang baru 24 tahun, sekarang anak pertama saya udah kelas 1 SD, dan yang kecil masih 2 tahun usianya.." aku berucap lagi, seakan berusaha untuk meyakinkan Annisa akan status ku saat ini.
"jadi sudah berapa lama bang Kamal kerja bangunan seperti ini?" Annisa bertanya lagi, seperti mencoba mengalihkan pembicaraan.
"dari sejak abang lulus SMA. Sejak itu abang sering ikut ayah abang jadi kuli bangunan. Karena gak punya biaya untuk kuliah, karena ayah abang juga hanya kuli bangunan. Jadi abang ikut-ikutan jadi kuli bangunan juga.." ceritaku.
"abang anak tunggal?" tanya Annisa kemudian.
"gak. Abang anak ketiga dari kami tiga bersaudara. Abang pertama ku, jadi security sekarang. Abang kedua ku punya usaha dagang di rumahnya. Hanya aku yang mengikuti jejak ayah ku. Jadi kuli bangunan.." aku menjelaskan lagi.
Entah mengapa, aku jadi begitu terbuka pada Annisa.
"tapi kok bisa sampai kesini ya, bang?" Annisa bertanya kembali, dia sepertinya benar-benar ingin mengenal ku lebih dekat lagi. Sekali pun aku sudah mengatakan kalau aku sudah menikah dan sudah punya anak. Tapi sepertinya hal itu tidak menyurutkan langkah Annisa untuk tetap menjadi dekat denganku.
"jadi teman abang yang paling tua itu, dulu nya adalah rekan kerja ayah abang, beliau sering di ajak ayah abang, untuk ikut bekerja dengannya. Nah, ketika dapat proyek ini, teman abang tadi juga mau ajak ayah abang. Tapi karena ayah abang udah cukup tua, ia menolak, karena udah gak mampu pergi jauh-jauh. Karena itu, ia menyerahkannya pada abang.." jelas ku panjang lebar.
"tapi katanya tempat tinggal bang Kamal jauh ya dari sini?" tanya Annisa kemudian.
"iya.. karena abang lagi nganggur, abang terima aja, walau pun agak jauh. Yang penting ada kerjaan.." balas ku lagi.
Dan tak lama kemudian, ketiga temanku tadi pun datang. Annisa pun segera pamit pulang ke rumahnya kembali. Aku jadi merasa tak karuan. Aku dapat merasakan, betapa Annisa memang sengaja berlama-lama ngobrol dengan ku.
Tapi aku juga tidak bisa memungkiri, kalau aku aku juga suka mengobrol berdua dengan Annisa.
****
Sejak saat itu, aku dan Annisa jadi sering ngobrol berdua. Annisa seperti sengaja mencari-cari kesempatan untuk bisa bertemu ku, saat aku sendirian di rumah. Aku termasuk tipe lelaki yang tidak terlalu suka keluar rumah.
Sementara, ketiga temanku sering keluar rumah untuk sekedar berjalan-jalan di sepanjang kampung. Tapi aku lebih memilih untuk berdiam diri di rumah. Karena itu, Annisa jadi punya banyak kesempatan untuk bisa sekedar mengobrol berdua denganku.
Kami jadi sering ngobrol berdua. Dan hal itu sepertinya mampu membuat Annisa merasa bahagia. Semua itu dapat aku rasakan, dari raut wajah yang diperlihatkan dengan jelas oleh Annisa. Aku dan Annisa pun terasa semakin dekat. Annisa juga begitu terbuka padaku. Semua cerita tentang hidupnya, ia cerita kan pada ku. Dan aku dengan senang hati mau mendengarkannya.
Hingga pada suatu malam, saat itu sudah sebulan aku tinggal dan bekerja di desa tersebut. Aku dan Annisa juga sudah sangat dekat. Saat itu, hanya aku sendiri di rumah. Ketiga temanku sudah pulang kampung, karena sudah sebulan kami berada di desa tersebut.
"bang Kamal gak ikut pulang?" tanya Annisa.
"kan abang udah pernah bilang, kalau tempat tinggal abang tuh jauh. Jadi abang emang gak bakal pulang, sebelum proyeknya selesai. Selain karena jauh, abang juga mau hemat, karena ongkos untuk pulang itu mahal.." jelas ku.
"jadi bang Kamal bakal tidur sendirian malam ini?" Annisa bertanya lagi.
"yah.. begitulah..." balasku singkat.
"saya juga sendirian di rumah, bang. Ayah sama ibu pergi ke desa tetangga, ada acara kenduri keluarga disana, kemungkinan pulangnya juga tengah malam. Karena mereka perginya kan cuma pakai sepeda.." ucap Annisa seakan sengaja memberi tahu ku akan hal tersebut.
"dek Annisa gak takut sendirian di rumah?" tanya ku.
"sebenarnya takut sih, bang. Tapi mau gimana lagi. Saya juga udah terbiasa di tinggal sendirian di rumah. Apa lagi sejak kedua abang-abang ku pergi merantau. Aku jadi sering tinggal sendiri di rumah, terutama kalau ayah dan ibu ada acara kenduri seperti sekarang ini.." jelas Annisa terdengar apa adanya.
"kalau bang Kamal gak takut sendirian?" Annisa bertanya kemudian.
"yah... sebenarnya agak takut juga sih, apa lagi abang kan baru disini. Tapi gak apa-apa lah. Abang berani-berani in aja..." balasku.
"kalau saya temanin abang disini, sampai ayah dan ibu pulang gimana? Abang keberatan gak?" tanya Annisa cukup berani.
"emangnya dek Annisa mau?" tanya ku.
"yah mau aja sih, bang. Kan saya juga takut di rumah sendirian.." balas Annisa pelan.
"ya udah... dek Annisa disini aja dulu, sampai ayah dan ibu nya pulang.." ucap ku.
"gak apa-apa nih, bang?" tanya Annisa seperti berusaha meyakinkan dirinya sendiri, kalau ia tidak salah dengar.
Berada berdua bersama Annisa di rumah ini, dalam keadaan yang sepi dan gelap seperti ini, adalah salah satu hal yang aku inginkan selama ini sebenarnya. Aku sudah lama menunggu saat-saat seperti ini. Terus terang, sejak sering ngobrol bersama Annisa, aku jadi merasa nyaman.
Jujur saja, sebagai laki-laki normal, tidak bisa aku pungkiri, kalau Annisa adalah gadis yang menarik. Selain cantik, ia juga ramah dan terlihat selalu ceria. Meski kadang, ia juga suka blak-blakan kalau lagi ngomong.
Kehadiran Annisa mengisi hari-hari ku, satu bulan ini, telah mampu membuat ku merasa terhibur. Segala kerinduan dan rasa sepi ku, seakan hilang saat bersama Annisa. Apa lagi, aku juga tidak bisa menghubungi istri dan anak ku, karena memang disini tidak ada jaringan apa pun sama sekali.
Kehadiran Annisa menghiasi hari-hari ku dengan indah. Meski pun aku sadar, tak semestinya aku merasakan hal tersebut. Mengingat aku sudah punya istri dan anak. Tapi, harus aku akui, kalau Annisa terlihat sangat berjuang untuk bisa dekat dengan ku. Dan aku harus menghargai hal tersebut.
"yah .. gak apa-apa lah dek Annisa. Abang malah senang ada dek Annisa disini.." balas ku akhirnya, yang membuat Annisa tersenyum senang.
"emangnya bang Kamal gak takut berduaan sama saya, malam-malam begini?" tanya Annisa tiba-tiba.
"kenapa harus takut? Emangnya dek Annisa ini vampir ya suka menghisap darah?" balasku, dengan nada canda.
"harusnya dek Annisa yang takut... Takut abang apa-apain.." aku melanjutkan ucapanku, masih dengan nada canda.
"diapa-apain juga gak apa-apa, bang.." balas Annisa spontan.
"ah, yang benar?" ucapku.
"benar, bang.." balas Annisa terdengar yakin.
"saya sebenarnya emang suka sama bang Kamal, bahkan sejak pertama kali kita berkenalan.." Annisa melanjutkan ucapannya, tanpa rasa ragu lagi. Ia seperti sengaja ingin memberitahu ku, akan perasaannya padaku. Mungkin karena memang ada kesempatan. Mungkin karena hanya ada kami berdua malam ini.
"tapi ... abang udah nikah loh, dek.." balasku, berusaha menyadarkan Annisa akan kenyataan tersebut.
"iya.. saya tahu, bang. Tapi saya udah terlanjur jatuh cinta sama bang Kamal. Saya ingin sekali bisa memiliki bang Kamal, walau hanya untuk sementara.." ucap Annisa lagi dengan gaya ceplas-ceplosnya.
"emangnya dek Annisa gak punya pacar?" aku bertanya kemudian.
"saya bahkan belum pernah pacaran sama sekali, bang.." jawab Annisa terdengar jujur.
"berarti dek Annisa ini masih polos ya.." tanyaku lagi.
"iya, bang. Saya masih polos, dan belum pernah diapa-apain sama sekali. Makanya saya ingin bang Kamal yang melakukannya pertama kali.." ucap Annisa lagi, sepertinya ia sudah tidak mampu lagi menahan diri. Suasananya benar-benar mendukung.
Aku juga mulai merasa terbawa suasana tersebut. Malam, gelap, sepi dan dingin.
Ah, laki-laki mana yang mampu mengendalikan dirinya, di saat seperti ini.
"dek Annisa yakin, ingin melakukan hal itu bersama abang?" aku bertanya kemudian.
"iya, bang. Saya sangat yakin, bang. Saya ingin sekali mempersembahkan mahkota yang sangat berharga dalam diri ku ini untuk bang Kamal. Saya ingin bang Kamal yang mendapatkannya. Saya tulus memberikannya, bang.." Annisa berucap, dengan nada penuh harap.
"tapi... abang ini udah nikah, dek. Abang gak bisa janji apa-apa sama dek Annisa. Abang disini hanya sampai proyek nya selesai, setelah itu abang tidak akan lagi ada disini. Abang harap dek Annisa bisa mengerti posisi abang saat ini.." balasku pelan, masih berusaha manyadarkan Annisa akan hal tersebut.
"tapi masih lama kan bang Proyek nya, masih tiga bulan lagi. Itu artinya, kita masih punya banyak kesempatan untuk menjalin hubungan cinta, selama abang berada disini. Dan saya sudah sangat siap untuk segala hal yang akan terjadi setelahnya. Yang penting abang mau menerima cinta saya.." ucap Annisa, masih berusaha meyakinkan ku.
"apa kamu gak bakal menyesal, menyerahkan sesuatu yang berharga tersebut kepada abang? Kepada lelaki yang sudah menikah dan juga sudah cukup tua?" aku bertanya kembali, saat keraguan masih menyelimuti hati ku.
"justru saya akan sangat menyesal, kalau abang menolaknya. Saya tulus memberikannya untuk bang Kamal. Saya benar-benar menginginkannya, bang.." ucap Annisa lagi, masih dengan nada penuh harap.
"baiklah, dek Annisa. Jika hal itu yang dek Annisa inginkan. Abang bersedia melakukannya bersama dek Annisa. Karena sebenarnya abang juga suka sama dek Annisa. Tapi karena jarak usia kita yang jauh, dan juga karena abang udah menikah, abang gak mau berharap lebih sama dek Annisa selama ini. Tapi karena sekarang, dek Annisa sendiri yang menginginkannya, abang tentu saja dengan senang hati melakukannya.." ucapku akhirnya.
"tapi sebelumnya, abang mau tanya satu hal sama dek Annisa." ucapku melanjutkan.
"bang Kamal mau tanya apa?" suara Annisa lembut.
"apa yang membuat dek Annisa suka sama abang?" tanyaku, sebenarnya hanya sekedar ingin tahu.
"abang itu lelaki yang sangat tampan, bang. Selain itu abang juga gagah dan kekar. Aku belum pernah bertemu laki-laki seperti abang sebelumnya. Apa lagi, selama ini, aku jarang sekali dekat dengan laki-laki. Tapi sejak mengenal abang, aku jadi ingin sekali merasakan hal tersebut, bersama abang.." balas Annisa terdengar apa adanya.
Terus terang, aku merasa bangga mendengar hal tersebut. Sudah sangat lama aku tidak mendengar kalimat pujian seperti itu. Setidaknya sejak aku menikah. Istri ku jarang sekali memuji ku. Dan kalimat yang dilontarkan Annisa barusan, benar-benar membuat ku tersanjung.
Dan begitulah, malam itu, Annisa berusaha mempersembahkan sesuatu yang sangat berharga tersebut kepada ku, lelaki cinta pertamanya. Annisa terlihat tulus memberikannya. Ia terlihat sangat menginginkan hal tersebut. Dan aku, tak ingin membuang kesempatan tersebut begitu saja. Aku ingin membuat Annisa merasa bahagia.
Aku melakukannya dengan begitu pelan dan lembut. Aku berusaha membuat Annisa merasa terkesan. Kesan pertama yang tidak akan pernah ia lupakan. Aku ingin, Annisa tidak akan pernah menyesali semua ini. Aku ingin, ia merasa, telah memberikan hal tersebut kepada orang yang tepat.
Annisa juga berusaha untuk membuat merasa terkesan. Ia berusaha untuk memberikan yang terbaik padaku. Ia persembahkan semua itu dengan sepenuh hati. Tanpa rasa ragu. Tanpa rasa takut. Sepertinya ia sudah sangat siap akan hal tersebut. Raut bahagia, terpancar dari wajahnya yang cantik.
Terus terang, aku juga merasa bahagia. Entah mengapa semua itu terasa indah bagiku. Semuanya terasa begitu luar biasa dan sempurna. Semuanya jauh lebih indah dari apa yang aku harapkan.
Sebulan aku terpisah dari istri ku. Sebulan aku menahan rasa dahaga ku, akan hal tersebut. Kini aku menemukan setetes air di tengah gurun gersang. Rasa dahaga ku pun terlepaskan sudah. Aku merasa lega. Aku merasa bahagia.
Namun jujur saja, aku juga sedikit merasa bersalah.
Aku merasa bersalah pada istri ku. Ini pertama kalinya, aku melakukan hal tersebut, dengan orang lain. Selama ini, aku selalu mampu menahan berbagai godaan. Tapi kali ini, aku kalah.
Aku juga merasa bersalah pada Annisa. Biar bagaimana pun, tak seharusnya aku melakukan hal tersebut padanya. Bukan saja karena ia masih suc!, tapi juga karena aku ini seorang lak-laki yang sudah beristri.
Tapi semua sudah terjadi. Annisa tak terlihat menyesal sama sekali. Ia terlihat sangat bahagia. Ia bahkan terkesan bangga telah mempersembahkan keindahan tersebut padaku.
"terima kasih ya, bang Kamal..." bisiknya, di sela napasnya yang masih belum teratur.
"yah... sama-sama dek Annisa.." balasku pelan.
****
Sejak malam itu, aku dan Annisa pun resmi menjalin hubungan asmara. Sebuah hubungan rahasia, yang hanya kami berdua yang tahu. Sebuah hubungan yang mampu membuat ku merasa bahagia. Meski rasa bersalah terus menghantui ku. Namun kebahagiaan yang diperlihatkan Annisa, mampu menghapus rasa bersalah tersebut.
Hari-hari pun berlalu dengan penuh keindahan. Kami selalu mencari-cari kesempatan untuk bisa menghabiskan waktu berdua. Annisa selalu berusaha untuk bisa mencuri-curi waktu, dan mencari seribu alasan, untuk bisa keluar rumah malam-malam. Hanya untuk bertemu ku.
Kami sering bertemu di gedung sekolah yang belum jadi tersebut, untuk sekedar melepas rindu dan memadu kasih berdua. Rasanya semua itu terasa indah bagi ku. Kami juga kadang-kadang sering bertemu di rumah Annisa, terutama saat ayah dan ibu nya sedang tidak berada di rumah.
Cinta kami terjalin dengan begitu indah. Walau pun kami sadar, semua ini hanya bersifat sementara. Aku hanya bisa singgah di dalam hidup Annisa. Aku tidak bisa menetap selamanya. Tapi sepertinya Annisa tidak peduli dengan hal tersebut, selama kami masih punya waktu untuk bersama.
Cinta Annisa memang terasa begitu besar bagiku. Begitu banyak pengorbanan yang telah ia lakukan untuk ku. Dan harus aku akui, kalau hal itu mampu membuat ku terasa berat untuk meninggalkannya.
Hingga tiga bulan pun berlalu, sejak kami menjalin hubungan tersebut.
Proyek gedung sekolah yang kami bangun akhirnya selesai tepat pada waktunya. Dan itu artinya, kami semua akan segera pergi dari desa ini. Itu artinya, aku dan Annisa akan segera berpisah.
"jadi abang pulang besok?" tanya Annisa, ketika malam terakhir kami bertemu.
"iya, dek.." balasku pelan.
"apa ada kemungkinan, kalau abang akan datang lagi kesini?' tanya Annisa, sepertinya ia berusaha untuk menguatkan dirinya sendiri, karena ia pasti sadar sekali, kalau hal itu jelas tidak mungkin terjadi.
"seperti yang abang pernah katakan pada dek Annisa, kalau abang disini hanya sampai proyek ini selesai. Dan abang gak mungkin lagi kembali kesini. Bukan saja karena jaraknya yang begitu jauh, tapi juga karena abang sudah punya istri dan anak disana, dek. Abang harap dek Annisa bisa mengerti.." balasku hati-hati.
"iya, bang. Saya sangat mengerti. Tapi saya harap, abang jangan pernah melupakan saya disini. Ingatlah, bahwa ada seorang gadis disini, yang begitu tulus mencintai abang. Meski pun pada akhirnya, kita memang tidak akan bisa selamanya bersama. Tapi saya akan tetap mencintai bang Kamal, selamanya.." ucap Annisa dengan nada sendu.
"abang juga mencintai dek Annisa. Tapi... abang harus memilih. Dan ini bukan pilihan yang mudah bagi abang. Karena abang juga cukup sadar, jika abang mempertahankan dek Annisa, akan terlalu besar resiko yang harus kita hadapi, akan begitu banyak hati yang akan terluka. Terutama karena abang yakin, kedua orangtua dek Annisa pasti tidak akan setuju dengan semua ini.." aku berucap kemudian.
"iya, bang. Saya paham, maksud abang. Walau pun semua ini terasa begitu menyakitkan, tapi setidaknya saya pernah merasakan semua keindahan bersama lelaki yang saya cintai... Dan itu akan menjadi kenangan terindah dalam hidup saya.." timpal Annisa akhirnya.
Terlihat sekali ia berusaha untuk menahan air matanya sendiri. Dan aku merasa tersentuh akan hal tersebut. Biar bagaimana pun, aku juga merasa berat harus berpisah dengan Annisa. Kebersamaan kami selama beberapa bulan ini, tak mungkin bisa aku lupakan begitu saja.
****
Dan keesokan harinya, aku dan rekan-rekan kuli yang lain, pun akhirnya benar-benar pergi dari desa tersebut. Rasanya hal itu terasa berat bagiku. Berpisah dengan orang yang sudah memberikan sesuatu yang paling berharga untuk ku, telah mampu memberikan sebuah luka tersendiri di hati ku.
Tapi aku memang harus pergi. Aku tak bisa berbuat apa-apa. Aku memang harus memilih. Dan setiap pilihan memang selalu punya resiko. Aku harus menanggung resiko tersebut. Meski itu terasa sakit bagiku.
Annisa adalah gadis yang baik. Ia hanya telah salah tempat untuk jatuh cinta. Dan sebagai laki-laki, aku telah memanfaatkan hal tersebut. Aku telah memanfaatkannya, untuk kesenangan diri ku sendiri. Walau pun aku tahu, kalau Annisa tulus memberikannya padaku. Ia tulus mencintai ku.
Seandainya saja, aku belum menikah, tentu saja aku akan memperjuangkan Annisa untuk ku. Aku akan berusaha bertahan untuknya, meski hubungan kami akan ditentang oleh kedua orangtuanya.
Tapi... kenyataannya, saat ini aku sudah punya istri dan anak. Memperjuangkan Annisa adalah sesuatu yang sangat rumit. Selain karena akan menyakiti hati istri ku, tapi juga akan menyakiti hati kedua orangtua Annisa.
Kini kami telah berpisah. Namun segala kenangan indah bersama Annisa, akan aku ingat selamanya. Akan aku simpan kenangan itu, di suatu sudut hatiku yang terdalam. Hingga tiada siapa pun yang akan tahu. Terutama istri ku.
Kenangan ku bersama Annisa, hanya akan menjadi rahasia seumur hidupku. Sebuah rahasia yang tidak akan pernah aku ungkap kepada siapa pun. Karena biar bagaimana pun, hal itu adalah sebuah kesalahan. Sebuah kesalahan terindah dalam perjalanan hidup ku.
Kami mungkin tidak akan pernah bertemu lagi. Aku juga tidak akan mungkin berusaha untuk menemuinya. Bagiku semua itu telah berlalu.
Aku hanya berharap, semoga Annisa bisa menemukan laki-laki yang jauh lebih baik dari ku. Laki-laki yang tidak lari dari tanggungjawabnya. Laki-laki yang belum punya ikatan apa pun.
Aku selalu berharap, semoga Annisa menemukan kebahagiaannya yang lain. Kebahagiaan akan cinta yang tak terhalang oleh apa pun. Kebahagiaan yang utuh.
Semoga kejadian ini, mampu memberikan pelajaran tersendiri bagiku. Semoga tidak ada lagi Annisa Annisa lain yang akan mampu menggoyahkan kesetiaan ku.
Yah... semoga saja..
****