Gadis desa

Namaku Kamal. Setidaknya begitulah orang-orang memanggil ku. Aku terlahir dari keluarga yang sangat sederhana. Ayah ku hanya seorang kuli bangunan. Sedangkan ibu ku hanya seorang ibu rumah tangga biasa. Karena itu, aku hanya bisa bersekolah hingga tamat SMA.

Aku anak bungsu dari kami tiga bersaudara. Kami tiga bersaudara semuanya laki-laki. Kedua kakak ku, yang juga hanya lulusan SMA, sudah menikah dan sudah punya rumah sendiri. Kakak pertama ku bekerja menjadi seorang security di sebuah perusahaan. Sedangkan kakak kedua ku, punya usaha dagang kecil-kecilan di rumahnya.

Hanya aku satu-satunya yang mengikuti jejak ayah ku, dengan menjadi kuli bangunan. Aku juga sudah menikah, dan juga sudah punya dua orang anak. Saat ini, usiaku sudah 32 tahun.

Sejak lulus SMA, aku memang sudah mulai aktif ikut bersama ayahku bekerja menjadi kuli bangunan. Dan pada saat usia ku baru 24 tahun, aku pun memutuskan untuk menikah. Aku menikah dengan seorang gadis, yang juga berasal dari keluarga kuli.

Pernikahan kami berjalan dengan baik. Meski pun secara ekonomi, kami masih sering kekurangan. Namun hal itu, tidak mengurangi kebahagiaan rumah tangga kami. Apa lagi sejak anak-anak kami lahir.

Karena sudah bertahun-tahun menjadi kuli, tentu saja aku sudah sangat berpengalaman dalam hal tersebut. Aku juga sudah sering bekerja menjadi kuli bangunan di luar daerah. Aku sering bepergian, untuk beberapa bulan, mengerjakan proyek-proyek yang ditawarkan padaku.

Aku juga  punya banyak kenalan, rekan-rekan kuli lainnya, yang berasal dari daerah yang berbeda. Setiap kali aku mengerjakan sebuah proyek bangunan, maka akan berbeda pula rekan kerja ku.

Dan begitulah kehidupan yang aku jalani selama ini. Kalau ditanya bahagia, aku memang merasa bahagia. Setidaknya aku masih punya penghasilan. Dan aku juga punya seorang istri yang pengertian, dan juga dua orang anak yang mulai tumbuh besar.

Tapi kadang-kadang, aku juga sering merasa sedih dan kesepian, terutama jika aku harus bekerja jauh di luar daerah ku. Karena tentu saja, hal itu membuat aku harus berpisah sementara dari istri dan anak-anak ku. Aku harus menahan rindu untuk bisa bertemu mereka, sampai proyek bangunan yang aku kerjakan itu selesai.

Dan itu kadang-kadang, bisa sampai berbulan-bulan.

****


Sampai pada suatu ketika...

Aku dan tiga orang rekan kerja ku sesama kuli, mendapatkan sebuah proyek bangunan sekolah. Proyek bangunan sekolah tersebut, terletak di sebuah desa yang sangat jauh dari perkotaan. Bahkan sangat jauh, dari daerah tempat aku tinggal.

Jalan untuk menuju desa itu bahkan masih merupakan jalan tanah, yang sangat becek, apa lagi jika di musim hujan. Jarak desa tersebut, sekitar 25 km lebih dari ibu kota kecamatan. Dan sepanjang jalan menuju desa tersebut, terdapat hutan belantara.

Di desa tersebut, masih belum ada listrik masuk. Tidak ada jaringan untuk telpon, apa lagi jaringan internet. Penduduk desa tersebut, masih sangat primitif. Mereka masih menggunakan kayu bakar untuk memasak. Dan untuk penerangan pada malam hari, mereka masih menggunakan lampu tradisional, yang terbuat dari kaleng bekas.

Di desa itu, memang belum ada sekolah sama sekali. Gedung sekolah yang akan kami bangun, adalah gedung sekolah dasar pertama di desa tersebut. Tentu saja pembangunan gedung sekolah itu, disambut dengan baik oleh semua warga desa.

Kami sampai ke desa tersebut, sekitar jam 3 sore. Kepala desa yang kami temui, langsung mengajak kami untuk menuju rumah tempat kami tinggal sementara, selama pengerjaan proyek gedung sekolah tersebut.

Sebuah rumah kosong, yang terlihat masih cukup terawat. Di samping rumah kosong tersebut, terdapat sebuah rumah lain, yang di huni oleh sebuah keluarga yang merupakan penduduk asli desa tersebut.

Selain kami berempat, kami juga akan dibantu oleh beberapa orang tukang yang berasal dari desa tersebut. Salah seorang tukang tersebut, adalah seorang laki-laki yang tinggal di samping rumah kosong yang akan kami tempati tersebut.

Lelaki yang sudah berusia di atas 50 tahun tersebut, merupakan salah seorang tukang bangunan senior di desa tersebut. Namanya pak Dadang. Dia tinggal bersama istri dan anaknya.

"Annisa.." lembut suara gadis itu menyebut namanya, saat kami saling berkenalan.

"Kamal.." jawab ku tegas.

Annisa adalah anak gadis satu-satunya dari pak Dadang, yang ia perkenalkan kepada kami sore itu. Sebelum kami menuju rumah kosong, tempat kami akan tinggal tersebut.

Pak Dadang juga memperkenalkan istrinya kepada kami. Beliau juga sempat cerita, kalau kedua anak laki-lakinya, sudah lama pergi merantau. Sehingga hanya mereka bertiga yang tinggal di rumah tersebut.

"jadi selama mereka berempat bekerja di sini, mereka akan tinggal di rumah kosong itu.." pak Dadang mencoba menjelaskan hal tersebut kepada istri dan anaknya.

"selain itu, selama mereka bekerja disini, ibuk sama Annisa lah yang akan memasak untuk mereka.." pak Dadang melanjutkan penjelasannya.

Karena memang, seperti yang kami sepakati dari awal, kami memang meminta jasa tukang masak dari warga desa setempat. Dan karena kebetulan pak Dadang juga ikut bekerja bersama kami, kami sekalian menawarkan untuk meminta istri nya memasak untuk kami.

"ayah juga ikut kerja sama mereka, juga beberapa orang lainnya dari desa kita ini. Tapi tentu saja mereka berempat ini jauh lebih berpengalaman dalam hal pembangunan gedung sekolah. Karena itu, mereka sengaja di datangkan dari jauh.." jelas pak Dadang lagi.

"yang paling jauh itu si Kamal ini sebenarnya, pak.." ucap Banu, salah seorang teman ku, sambil mengarahkan telunjuknya kepada ku yang berdiri tepat di sampingnya.

"iya, pak. Kalau dari tempat saya berasal kesini itu, butuh waktu satu hari pak baru sampai.." aku memperjelas ucapan Banu tersebut.

"jadi mungkin selama aku mengerjakan proyek sekolah ini, aku gak bakal pulang, sebelum proyeknya selesai.." aku melanjutkan kalimat ku. Entah mengapa aku merasa harus mengatakan hal tersebut.

"oh ya.. gak apa-apa, loh nak Kamal... semoga betah di desa kami ini.. Tapi kalau boleh tahu, kira-kira berapa lama pengerjaannya?" tiba-tiba istri pak Dadang ikut berbicara.

"seharusnya empat bulan udah selesai sih.." balas bang Baron, teman ku yang paling tua diantara kami dan merupakan kepala tukang kami.

"oh, ya ... kami mau beres-beres rumahnya dulu, sekalian mau istirahat. Karena besok pagi udah mulai kerja..." bang Baron berucap kembali.

"oh, iya.. silahkan..." pak Dadang yang membalas.

"jadi ... kalau untuk makannya mulai kapan kami bisa siapkan?" tiba-tiba istri pak Dadang bertanya, sebelum kami berempat memutar tubuh.

"kalau untuk malam ini, sepertinya kami masih punya bekal, buk. Jadi mulai besok aja.." balas bang Baron.

"jadi.. yang kami siapkan itu, mulai dari sarapan, makan siang dan juga makan malam ya?" istri pak Dadang bertanya lagi.

"iya, buk.. kalau ibuk nya gak keberatan... Kalau soal harga kita bahas lagi nanti malam ya.." balas bang Baron lagi.

"iya, gak apa-apa. Kami gak keberatan kok.." ucap istri pak Dadang kemudian.

****

Begitulah perkenalan singkat ku dengan Annisa. Putri bungsu dari pak Dadang. Gadis desa yang berparas cukup cantik, dan masih terlihat sangat muda.

Entah mengapa, sejak berkenalan dengan Annisa, aku jadi sedikit memikirkannya. Aku hanya tidak menyangka akan bertemu seorang gadis cantik di desa yang masih tertinggal ini.

Apa lagi, setelah ini, kami akan semakin sering bertemu. Selain karena kami sekarang bertetangga, Annisa juga akan setiap hari ke rumah kami, untuk sekedar mengantarkan makanan buat kami berempat.

Malam itu, setelah mandi dan makan malam, kami berempat pun berkunjung ke rumah pak Dadang. Sekedar untuk mengobrol, dan juga membahas tentang harga yang harus kami bayar, untuk biaya makan selama kami berada disana.

Malam itu, aku tidak melihat Annisa. Dia sepertinya hanya mengurung diri di kamar. Di desa yang sunyi dan gelap ini, keluar malam bukanlah hal biasa bagi para penduduk di sana. Kecuali memang ada hal yang penting, yang harus mereka lakukan di malam hari.

Dari cerita pak Dadang, kami pun tahu, kalau sebagian besar penduduk di desa ini, bekerja sebagai petani karet. Namun kebun karet yang mereka kelola, bukanlah milik mereka sendiri. Sebagian besar kebun karet tersebut, adalah milik para juragan kaya di desa tersebut, dan juga dari desa tetangga.

Dari cerita pak Dadang juga, kami jadi tahu, kalau selama ini, anak-anak usia sekolah dasar, itu hanya bisa bersekolah di desa tetangga, yang jarak lebih kurang 5 km dari desa tersebut. Dan sebagian besar dari mereka, hanya bersekolah sampai lulus SD. Terutama untuk anak-anak perempuan.

Karena kalau untuk melanjutkan ke tingkat SMP, mereka harus bersekolah ke ibu kota kecamatan, yang jaraknya lebih dari 25 km tersebut. Jadi, hanya bagi mereka yang mampulah, yang bisa melanjutkan sekolah ke tingkat SMP maupun SMA.

Sementara itu, bagi anak laki-laki, yang berasal dari keluarga kurang mampu, setelah lulus SD, banyak yang memilih untuk pergi merantau ke daerah lain. Karena tidak banyak pekerjaan yang bisa mereka lakukan jika tetap berada di desa tersebut.

****

Keesokan paginya, sesuai perjanjian, Annisa pun mengantarkan sarapan ke rumah kami para kuli bangunan.

"selamat pagi, abang-abang.." sapa Annisa ramah, ketika dia sudah berada di rumah kami tersebut, "ini sarapannya ya.." lanjutnya lagi.

Aku hanya mendengar pembicaraan tersebut dari belakang, karena saat itu aku sedang mandi.

"iya, dek Annisa. Makasih ya.." ku dengar Banu membalas.

"selamat menikmati ya.. semoga kalian suka. Tapi kalau ada yang kurang, bilang aja ya.. Siapa tahu kurang pedas, kurang garam atau kurang enak. Ngomong aja. Nanti akan kami perbaiki.." ucap Annisa kemudian.

"kalau dek Annisa yang masak udah pasti enak lah.." celetuk Tegar, salah seorang temanku yang lain, yang baru keluar dari kamar.

"kalian cuma bertiga?" ku dengar lagi Annisa bertanya.

"oh, si Kamal lagi mandi.." jelas Tegar lagi.

"oh, begitu.." suara Annisa terdengar sangat pelan.

"jadi nanti piring-piring kotornya, kami yang antar atau dek Annisa yang ambil lagi?" kali ini bang baron yang bertanya.

"saya aja yang ambil nanti.." Annisa membalas dengan pelan.

Saat itu aku sudah selesai mandi, dan segera berjalan dengan sedikit terburu ke ruang depan, dengan hanya memakai handuk yang terlilit di pinggang ku.

"gak usah... biar kami aja yang antar.." aku segera membuka suara, saat aku sudah berada diantara mereka berempat.

Mataku bersirobok pandang dengan mata indah milik Annisa. Entah mengapa dada ku jadi tiba-tiba berdebar hebat saat itu. Tatapan Annisa yang tajam ke arah ku membuat ku jadi sedikit jengah. Apa lagi aku sedang berdiri tanpa baju.

Aku dapat melihat, betapa pandangan Annisa pada ku, penuh arti. Mungkin ia belum pernah melihat laki-laki bertel4njang dada berdiri sedekat itu di depannya.

"dek Annisa gak usah repot-repot mengambil kesini lagi.. kasihan juga kalau harus bolak-balik kesini.." aku mencoba menyambung ucapanku, sekedar menghilangkan grogi yang tiba-tiba aku rasakan, karena Annisa tak kunjung mengalihkan pandangannya dari ku.

"iya, bang. Tapi gak apa-apa juga sebenarnya, kalau saya yang ambil kesini. Itu kan emang tugas saya.. Tapi kalau abang berbaik hati untuk mengantar ke rumah juga gak apa-apa.." balas Annisa, sambil akhirnya ia menundukan pandangannya.

"ya udah.. kalau begitu saya pamit.." Annisa kembali berujar dengan cepat.

Aku merasa sedikit kecewa, karena Annisa harus pulang buru-buru. Padahal aku ingin ia lebih lama lagi disini.

"oke, dek Annisa.. sekali lagi terima kasih ya..." kali ini bang Baron yang membalas ucapan Annisa.

Annisa segera berlalu dari kami. Sementara kami berempat jadi saling tatap. Entah apa yang ada dalam pikiran teman-teman ku. Aku yakin, mereka juga harus mengakui akan kecantikan Annisa. Apa lagi, saat ini, kami sama-sama jauh dari istri.

Kehadiran seorang gadis seperti Annisa, itu seperti air segar bagi kami. Untuk sekedar menghilangkan kejenuhan dan juga sebagai pelepas rasa penat.

"ingat anak istri di rumah, Mal.." tiba-tiba bang Baron berucap, saat kami mulai menyantap sarapan tersebut.

"kenapa sih, bang?" tanya ku berlagak tidak paham.

"saya dapat melihat tatapan kamu sama Annisa, Mal. Dia memang gadis yang cantik, tapi... kamu harus ingat, kamu udah nikah..." bang Baron membalas pelan.

"alah... kayak kalian gak aja... tatapan kalian juga sama kok.." balas ku sedikit sengit.

 "iya... tapi cuma tatapan kamu yang dibalas sama Annisa..." kali ini Tegar yang berbicara.

"iya... kayaknya dari kemarin emang Annisa lebih sering memperhatikan kamu, Mal..." Banu ikut menimpali.

"ah.. kalian ada-ada aja..." balasku pelan, dengan perasaan yang tak karuan. Karena sebenarnya, aku juga dapat merasakan hal tersebut.

Bang Baron, Banu dan Tegar tidak lagi membalas ucapan ku. Kami sama-sama terdiam, menikmati sarapan pertama kami di desa tersebut.

****

Siang itu, aku pulang lebih awal, karena tiba-tiba perut ku sakit.

Saat itu, tiba-tiba Annisa datang, untuk mengantarkan makan siang kami.

"selamat siang, bang Kamal." sapa nya lembut. "ini makan siang nya ya, bang.." lanjutnya.

"oh, iya.. dek Annisa. Makasih ya.." balas ku, sambil aku mengambil alih makanan tersebut dari tangan Annisa

"abang sendirian aja? Yang lain mana?" tanya Annisa berbasa-basi.

"oh, yang lain masih di tempat kerja, sebentar lagi balik kok. Tadi aku sengaja pulang lebih cepat, karena tiba-tiba sakit perut.." jelas ku pelan.

"abang sakit perut kenapa?" tanya Annisa terdengar merasa khawatir.

"gak apa-apa, kok. Cuma sesak mau BAB aja.." balas ku jujur.

"oh.." gumam Annisa membulatkan bibir.

"gimana sarapannya tadi, bang? Enak gak?" Annisa bertanya lagi.

Terus terang aku merasa senang bertemu Annisa siang itu, apalagi ia mau mengobrol dengan ku, mumpung aku juga lagi sendirian.

"enak, kok." aku membalas singkat.

"kamu usia berapa sih, dek Annisa? Kok udah pintar masak?" aku melanjutkan dengan bertanya.

"saya masih 19 tahun, bang. Tapi sejak kecil emang udah diajarin masak sama Ibu.." balas Annisa pelan.

"kalau bang Kamal sendiri, udah berapa usianya?" tanya Annisa melanjutkan.

"oh, saya? Saya udah 32 tahun.." balas ku apa adanya.

"masa' iya sih, bang. Padahal masih kelihatan muda loh, masih kayak 25 tahun.." ucap Annisa terdengar jujur.

Akun tertawa ringan, "dek Annisa bisa aja.. Mana ada kuli bangunan terlihat lebih muda dari usianya, kami kan pekerja keras.." ucapku.

"tapi benar kok, bang. Bang Kamal masih terlihat muda.." ucap Annisa seperti berusaha meyakinkanku.

"tapi abang emang udah 32 tahun, dek Annisa." jelasku lagi.

"jadi abang udah nikah?" tanya Annisa sedikit berani.

Terus terang aku merasa kaget Annisa bertanya demikian.

"iya.. abang udah nikah, malahan abang udah punya dua anak sekarang.." balas ku berusaha untuk jujur.

"oh, gitu.." Annisa berguman dengan nada kecewa.

Entah itu hanya perasaan ku saja, atau memang Annisa merasa kecewa, karena mengetahui kalau aku sudah menikah dan sudah punya anak. Tapi terlihat jelas di raut wajahnya, yang memperlihatkan kekecewaan tersebut.

"iya... jadi dulu itu, saya menikah di usia saya yang baru 24 tahun, sekarang anak pertama saya udah kelas 1 SD, dan yang kecil masih 2 tahun usianya.." aku berucap lagi, seakan berusaha untuk meyakinkan Annisa akan status ku saat ini.

"jadi sudah berapa lama bang Kamal kerja bangunan seperti ini?" Annisa bertanya lagi, seperti mencoba mengalihkan pembicaraan.

"dari sejak abang lulus SMA. Sejak itu abang sering ikut ayah abang jadi kuli bangunan. Karena gak punya biaya untuk kuliah, karena ayah abang juga hanya kuli bangunan. Jadi abang ikut-ikutan jadi kuli bangunan juga.." ceritaku.

"abang anak tunggal?" tanya Annisa kemudian.

"gak. Abang anak ketiga dari kami tiga bersaudara. Abang pertama ku, jadi security sekarang. Abang kedua ku punya usaha dagang di rumahnya. Hanya aku yang mengikuti jejak ayah ku. Jadi kuli bangunan.." aku menjelaskan lagi.

Entah mengapa, aku jadi begitu terbuka pada Annisa.

"tapi kok bisa sampai kesini ya, bang?" Annisa bertanya kembali, dia sepertinya benar-benar ingin mengenal ku lebih dekat lagi. Sekali pun aku sudah mengatakan kalau aku sudah menikah dan sudah punya anak. Tapi sepertinya hal itu tidak menyurutkan langkah Annisa untuk tetap menjadi dekat denganku.

"jadi teman abang yang paling tua itu, dulu nya adalah rekan kerja ayah abang, beliau sering di ajak ayah abang, untuk ikut bekerja dengannya. Nah, ketika dapat proyek ini, teman abang tadi juga mau ajak ayah abang. Tapi karena ayah abang udah cukup tua, ia menolak, karena udah gak mampu pergi jauh-jauh. Karena itu, ia menyerahkannya pada abang.." jelas ku panjang lebar.

"tapi katanya tempat tinggal bang Kamal jauh ya dari sini?" tanya Annisa kemudian.

"iya.. karena abang lagi nganggur, abang terima aja, walau pun agak jauh. Yang penting ada kerjaan.." balas ku lagi.

Dan tak lama kemudian, ketiga temanku tadi pun datang. Annisa pun segera pamit pulang ke rumahnya kembali. Aku jadi merasa tak karuan. Aku dapat merasakan, betapa Annisa memang sengaja berlama-lama ngobrol dengan ku.

Tapi aku juga tidak bisa memungkiri, kalau aku aku juga suka mengobrol berdua dengan Annisa.

****

Sejak saat itu, aku dan Annisa jadi sering ngobrol berdua. Annisa seperti sengaja mencari-cari kesempatan untuk bisa bertemu ku, saat aku sendirian di rumah. Aku termasuk tipe lelaki yang tidak terlalu suka keluar rumah.

Sementara, ketiga temanku sering keluar rumah untuk sekedar berjalan-jalan di sepanjang kampung. Tapi aku lebih memilih untuk berdiam diri di rumah. Karena itu, Annisa jadi punya banyak kesempatan untuk bisa sekedar mengobrol berdua denganku.

Kami jadi sering ngobrol berdua. Dan hal itu sepertinya mampu membuat Annisa merasa bahagia. Semua itu dapat aku rasakan, dari raut wajah yang diperlihatkan dengan jelas oleh Annisa. Aku dan Annisa pun terasa semakin dekat. Annisa juga begitu terbuka padaku. Semua cerita tentang hidupnya, ia cerita kan pada ku. Dan aku dengan senang hati mau mendengarkannya.

Hingga pada suatu malam, saat itu sudah sebulan aku tinggal dan bekerja di desa tersebut. Aku dan Annisa juga sudah sangat dekat. Saat itu, hanya aku sendiri di rumah. Ketiga temanku sudah pulang kampung, karena sudah sebulan kami berada di desa tersebut.

"bang Kamal gak ikut pulang?" tanya Annisa.

"kan abang udah pernah bilang, kalau tempat tinggal abang tuh jauh. Jadi abang emang gak bakal pulang, sebelum proyeknya selesai. Selain karena jauh, abang juga mau hemat, karena ongkos untuk pulang itu mahal.." jelas ku.

"jadi bang Kamal bakal tidur sendirian malam ini?" Annisa bertanya lagi.

"yah.. begitulah..." balasku singkat.

"saya juga sendirian di rumah, bang. Ayah sama ibu pergi ke desa tetangga, ada acara kenduri keluarga disana, kemungkinan pulangnya juga tengah malam. Karena mereka perginya kan cuma pakai sepeda.." ucap Annisa seakan sengaja memberi tahu ku akan hal tersebut.

"dek Annisa gak takut sendirian di rumah?" tanya ku.

"sebenarnya takut sih, bang. Tapi mau gimana lagi. Saya juga udah terbiasa di tinggal sendirian di rumah. Apa lagi sejak kedua abang-abang ku pergi merantau. Aku jadi sering tinggal sendiri di rumah, terutama kalau ayah dan ibu ada acara kenduri seperti sekarang ini.." jelas Annisa terdengar apa adanya.

"kalau bang Kamal gak takut sendirian?" Annisa bertanya kemudian.

"yah... sebenarnya agak takut juga sih, apa lagi abang kan baru disini. Tapi gak apa-apa lah. Abang berani-berani in aja..." balasku.

"kalau saya temanin abang disini, sampai ayah dan ibu pulang gimana? Abang keberatan gak?" tanya Annisa cukup berani.

"emangnya dek Annisa mau?" tanya ku.

"yah mau aja sih, bang. Kan saya juga takut di rumah sendirian.." balas Annisa pelan.

"ya udah... dek Annisa disini aja dulu, sampai ayah dan ibu nya pulang.." ucap ku.

"gak apa-apa nih, bang?" tanya Annisa seperti berusaha meyakinkan dirinya sendiri, kalau ia tidak salah dengar.

Berada berdua bersama Annisa di rumah ini, dalam keadaan yang sepi dan gelap seperti ini, adalah salah satu hal yang aku inginkan selama ini sebenarnya. Aku sudah lama menunggu saat-saat seperti ini. Terus terang, sejak sering ngobrol bersama Annisa, aku jadi merasa nyaman.

Jujur saja, sebagai laki-laki normal, tidak bisa aku pungkiri, kalau Annisa adalah gadis yang menarik. Selain cantik, ia  juga ramah dan terlihat selalu ceria. Meski kadang, ia juga suka blak-blakan kalau lagi ngomong.

Kehadiran Annisa mengisi hari-hari ku, satu bulan ini, telah mampu membuat ku merasa terhibur. Segala kerinduan dan rasa sepi ku, seakan hilang saat bersama Annisa. Apa lagi, aku juga tidak bisa menghubungi istri dan anak ku, karena memang disini tidak ada jaringan apa pun sama sekali.

Kehadiran Annisa menghiasi hari-hari ku dengan indah. Meski pun aku sadar, tak semestinya aku merasakan hal tersebut. Mengingat aku sudah punya istri dan anak. Tapi, harus aku akui, kalau Annisa terlihat sangat berjuang untuk bisa dekat dengan ku. Dan aku harus menghargai hal tersebut.

"yah .. gak apa-apa lah dek Annisa. Abang malah senang ada dek Annisa disini.." balas ku akhirnya, yang membuat Annisa tersenyum senang.

"emangnya bang Kamal gak takut berduaan sama saya, malam-malam begini?" tanya Annisa tiba-tiba.

"kenapa harus takut? Emangnya dek Annisa ini vampir ya suka menghisap darah?" balasku, dengan nada canda.

"harusnya dek Annisa yang takut... Takut abang apa-apain.." aku melanjutkan ucapanku, masih dengan nada canda.

"diapa-apain juga gak apa-apa, bang.." balas Annisa spontan.

"ah, yang benar?" ucapku.

"benar, bang.." balas Annisa terdengar yakin.

"saya sebenarnya emang suka sama bang Kamal, bahkan sejak pertama kali kita berkenalan.." Annisa melanjutkan ucapannya, tanpa rasa ragu lagi. Ia seperti sengaja ingin memberitahu ku, akan perasaannya padaku. Mungkin karena memang ada kesempatan. Mungkin karena hanya ada kami berdua malam ini.

"tapi ... abang udah nikah loh, dek.." balasku, berusaha menyadarkan Annisa akan kenyataan tersebut.

"iya.. saya tahu, bang. Tapi saya udah terlanjur jatuh cinta sama bang Kamal. Saya ingin sekali bisa memiliki bang Kamal, walau hanya untuk sementara.." ucap Annisa lagi dengan gaya ceplas-ceplosnya.

"emangnya dek Annisa gak punya pacar?" aku bertanya kemudian.

"saya bahkan belum pernah pacaran sama sekali, bang.." jawab Annisa terdengar jujur.

"berarti dek Annisa ini masih polos ya.." tanyaku lagi.

"iya, bang. Saya masih polos, dan belum pernah diapa-apain sama sekali. Makanya saya ingin bang Kamal yang melakukannya pertama kali.." ucap Annisa lagi, sepertinya ia sudah tidak mampu lagi menahan diri. Suasananya benar-benar mendukung.

Aku juga mulai merasa terbawa suasana tersebut. Malam, gelap, sepi dan dingin.

Ah, laki-laki mana yang mampu mengendalikan dirinya, di saat seperti ini.

"dek Annisa yakin, ingin melakukan hal itu bersama abang?" aku bertanya kemudian.

"iya, bang. Saya sangat yakin, bang. Saya ingin sekali mempersembahkan mahkota yang sangat berharga dalam diri ku ini untuk bang Kamal. Saya ingin bang Kamal yang mendapatkannya. Saya tulus memberikannya, bang.." Annisa berucap, dengan nada penuh harap.

"tapi... abang ini udah nikah, dek. Abang gak bisa janji apa-apa sama dek Annisa. Abang disini hanya sampai proyek nya selesai, setelah itu abang tidak akan lagi ada disini. Abang harap dek Annisa bisa mengerti posisi abang saat ini.." balasku pelan, masih berusaha manyadarkan Annisa akan hal tersebut.

"tapi masih lama kan bang Proyek nya, masih tiga bulan lagi. Itu artinya, kita masih punya banyak kesempatan untuk menjalin hubungan cinta, selama abang berada disini. Dan saya sudah sangat siap untuk segala hal yang akan terjadi setelahnya. Yang penting abang mau menerima cinta saya.." ucap Annisa, masih berusaha meyakinkan ku.

"apa kamu gak bakal menyesal, menyerahkan sesuatu yang berharga tersebut kepada abang? Kepada lelaki yang sudah menikah dan juga sudah cukup tua?" aku bertanya kembali, saat keraguan masih menyelimuti hati ku.

"justru saya akan sangat menyesal, kalau abang menolaknya. Saya tulus memberikannya untuk bang Kamal. Saya benar-benar menginginkannya, bang.." ucap Annisa lagi, masih dengan nada penuh harap.

"baiklah, dek Annisa. Jika hal itu yang dek Annisa inginkan. Abang bersedia melakukannya bersama dek Annisa. Karena sebenarnya abang juga suka sama dek Annisa. Tapi karena jarak usia kita yang jauh, dan juga karena abang udah menikah, abang gak mau berharap lebih sama dek Annisa selama ini. Tapi karena sekarang, dek Annisa sendiri yang menginginkannya, abang tentu saja dengan senang hati melakukannya.." ucapku akhirnya.

"tapi sebelumnya, abang mau tanya satu hal sama dek Annisa." ucapku melanjutkan.

"bang Kamal mau tanya apa?" suara Annisa lembut.

"apa yang membuat dek Annisa suka sama abang?" tanyaku, sebenarnya hanya sekedar ingin tahu.

"abang itu lelaki yang sangat tampan, bang. Selain itu abang juga gagah dan kekar. Aku belum pernah bertemu laki-laki seperti abang sebelumnya. Apa lagi, selama ini, aku jarang sekali dekat dengan laki-laki. Tapi sejak mengenal abang, aku jadi ingin sekali merasakan hal tersebut, bersama abang.." balas Annisa terdengar apa adanya.

Terus terang, aku merasa bangga mendengar hal tersebut. Sudah sangat lama aku tidak mendengar kalimat pujian seperti itu. Setidaknya sejak aku menikah. Istri ku jarang sekali memuji ku. Dan kalimat yang dilontarkan Annisa barusan, benar-benar membuat ku tersanjung.

Dan begitulah, malam itu, Annisa berusaha mempersembahkan sesuatu yang sangat berharga tersebut kepada ku, lelaki cinta pertamanya. Annisa terlihat tulus memberikannya. Ia terlihat sangat menginginkan hal tersebut. Dan aku, tak ingin membuang kesempatan tersebut begitu saja. Aku ingin membuat Annisa merasa bahagia.

Aku melakukannya dengan begitu pelan dan lembut. Aku berusaha membuat Annisa merasa terkesan. Kesan pertama yang tidak akan pernah ia lupakan. Aku ingin, Annisa tidak akan pernah menyesali semua ini. Aku ingin, ia merasa, telah memberikan hal tersebut kepada orang yang tepat.

Annisa juga berusaha untuk membuat merasa terkesan. Ia berusaha untuk memberikan yang terbaik padaku. Ia persembahkan semua itu dengan sepenuh hati. Tanpa rasa ragu. Tanpa rasa takut. Sepertinya ia sudah sangat siap akan hal tersebut. Raut bahagia, terpancar dari wajahnya yang cantik.

Terus terang, aku juga merasa bahagia. Entah mengapa semua itu terasa indah bagiku. Semuanya terasa begitu luar biasa dan sempurna. Semuanya jauh lebih indah dari apa yang aku harapkan.

Sebulan aku terpisah dari istri ku. Sebulan aku menahan rasa dahaga ku, akan hal tersebut. Kini aku menemukan setetes air di tengah gurun gersang. Rasa dahaga ku pun terlepaskan sudah. Aku merasa lega. Aku merasa bahagia.

Namun jujur saja, aku juga sedikit merasa bersalah.

Aku merasa bersalah pada istri ku. Ini pertama kalinya, aku melakukan hal tersebut, dengan orang lain. Selama ini, aku selalu mampu menahan berbagai godaan. Tapi kali ini, aku kalah.

Aku juga merasa bersalah pada Annisa. Biar bagaimana pun, tak seharusnya aku melakukan hal tersebut padanya. Bukan saja karena ia masih suc!, tapi juga karena aku ini seorang lak-laki yang sudah beristri.

Tapi semua sudah terjadi. Annisa tak terlihat menyesal sama sekali. Ia terlihat sangat bahagia. Ia bahkan terkesan bangga telah mempersembahkan keindahan tersebut padaku.

"terima kasih ya, bang Kamal..." bisiknya, di sela napasnya yang masih belum teratur.

"yah... sama-sama dek Annisa.." balasku pelan.

****

Sejak malam itu, aku dan Annisa pun resmi menjalin hubungan asmara. Sebuah hubungan rahasia, yang hanya kami berdua yang tahu. Sebuah hubungan yang mampu membuat ku merasa bahagia. Meski rasa bersalah terus menghantui ku. Namun kebahagiaan yang diperlihatkan Annisa, mampu menghapus rasa bersalah tersebut.

Hari-hari pun berlalu dengan penuh keindahan. Kami selalu mencari-cari kesempatan untuk bisa menghabiskan waktu berdua. Annisa selalu berusaha untuk bisa mencuri-curi waktu, dan mencari seribu alasan, untuk bisa keluar rumah malam-malam. Hanya untuk bertemu ku.

Kami sering bertemu di gedung sekolah yang belum jadi tersebut, untuk sekedar melepas rindu dan memadu kasih berdua. Rasanya semua itu terasa indah bagi ku. Kami juga kadang-kadang sering bertemu di rumah Annisa, terutama saat ayah dan ibu nya sedang tidak berada di rumah.

Cinta kami terjalin dengan begitu indah. Walau pun kami sadar, semua ini hanya bersifat sementara. Aku hanya bisa singgah di dalam hidup Annisa. Aku tidak bisa menetap selamanya. Tapi sepertinya Annisa tidak peduli dengan hal tersebut, selama kami masih punya waktu untuk bersama.

Cinta Annisa memang terasa begitu besar bagiku. Begitu banyak pengorbanan yang telah ia lakukan untuk ku. Dan harus aku akui, kalau hal itu mampu membuat ku terasa berat untuk meninggalkannya.

Hingga tiga bulan pun berlalu, sejak kami menjalin hubungan tersebut.

Proyek gedung sekolah yang kami bangun akhirnya selesai tepat pada waktunya. Dan itu artinya, kami semua akan segera pergi dari desa ini. Itu artinya, aku dan Annisa akan segera berpisah.

"jadi abang pulang besok?" tanya Annisa, ketika malam terakhir kami bertemu.

"iya, dek.." balasku pelan.

"apa ada kemungkinan, kalau abang akan datang lagi kesini?' tanya Annisa, sepertinya ia berusaha untuk menguatkan dirinya sendiri, karena ia pasti sadar sekali, kalau hal itu jelas tidak mungkin terjadi.

"seperti yang abang pernah katakan pada dek Annisa, kalau abang disini hanya sampai proyek ini selesai. Dan abang gak mungkin lagi kembali kesini. Bukan saja karena jaraknya yang begitu jauh, tapi juga karena abang sudah punya istri dan anak disana, dek. Abang harap dek Annisa bisa mengerti.." balasku hati-hati.

"iya, bang. Saya sangat mengerti. Tapi saya harap, abang jangan pernah melupakan saya disini. Ingatlah, bahwa ada seorang gadis disini, yang begitu tulus mencintai abang. Meski pun pada akhirnya, kita memang tidak akan bisa selamanya bersama. Tapi saya akan tetap mencintai bang Kamal, selamanya.." ucap Annisa dengan nada sendu.

"abang juga mencintai dek Annisa. Tapi... abang harus memilih. Dan ini bukan pilihan yang mudah bagi abang. Karena abang juga cukup sadar, jika abang mempertahankan dek Annisa, akan terlalu besar resiko yang harus kita hadapi, akan begitu banyak hati yang akan terluka. Terutama karena abang yakin, kedua orangtua dek Annisa pasti tidak akan setuju dengan semua ini.." aku berucap kemudian.

"iya, bang. Saya paham, maksud abang. Walau pun semua ini terasa begitu menyakitkan, tapi setidaknya saya pernah merasakan semua keindahan bersama lelaki yang saya cintai... Dan itu akan menjadi kenangan terindah dalam hidup saya.." timpal Annisa akhirnya.

Terlihat sekali ia berusaha untuk menahan air matanya sendiri. Dan aku merasa tersentuh akan hal tersebut. Biar bagaimana pun, aku juga merasa berat harus berpisah dengan Annisa. Kebersamaan kami selama beberapa bulan ini, tak mungkin bisa aku lupakan begitu saja.

****

Dan keesokan harinya, aku dan rekan-rekan kuli yang lain, pun akhirnya benar-benar pergi dari desa tersebut. Rasanya hal itu terasa berat bagiku. Berpisah dengan orang yang sudah memberikan sesuatu yang paling berharga untuk ku, telah mampu memberikan sebuah luka tersendiri di hati ku.

Tapi aku memang harus pergi. Aku tak bisa berbuat apa-apa. Aku memang harus memilih. Dan setiap pilihan memang selalu punya resiko. Aku harus menanggung resiko tersebut. Meski itu terasa sakit bagiku.

Annisa adalah gadis yang baik. Ia hanya telah salah tempat untuk jatuh cinta. Dan sebagai laki-laki, aku telah memanfaatkan hal tersebut. Aku telah memanfaatkannya, untuk kesenangan diri ku sendiri. Walau pun aku tahu, kalau Annisa tulus memberikannya padaku. Ia tulus mencintai ku.

Seandainya saja, aku belum menikah, tentu saja aku akan memperjuangkan Annisa untuk ku. Aku akan berusaha bertahan untuknya, meski hubungan kami akan ditentang oleh kedua orangtuanya.

Tapi... kenyataannya, saat ini aku sudah punya istri dan anak. Memperjuangkan Annisa adalah sesuatu yang sangat rumit. Selain karena akan menyakiti hati istri ku, tapi juga akan menyakiti hati kedua orangtua Annisa.

Kini kami telah berpisah. Namun segala kenangan indah bersama Annisa, akan aku ingat selamanya. Akan aku simpan kenangan itu, di suatu sudut hatiku yang terdalam. Hingga tiada siapa pun yang akan tahu. Terutama istri ku.

Kenangan ku bersama Annisa, hanya akan menjadi rahasia seumur hidupku. Sebuah rahasia yang tidak akan pernah aku ungkap kepada siapa pun. Karena biar bagaimana pun, hal itu adalah sebuah kesalahan. Sebuah kesalahan terindah dalam perjalanan hidup ku.

Kami mungkin tidak akan pernah bertemu lagi. Aku juga tidak akan mungkin berusaha untuk menemuinya. Bagiku semua itu telah berlalu.

Aku hanya berharap, semoga Annisa bisa menemukan laki-laki yang jauh lebih baik dari ku. Laki-laki yang tidak lari dari tanggungjawabnya. Laki-laki yang belum punya ikatan apa pun.

Aku selalu berharap, semoga Annisa menemukan kebahagiaannya yang lain. Kebahagiaan akan cinta yang tak terhalang oleh apa pun. Kebahagiaan yang utuh.

Semoga kejadian ini, mampu memberikan pelajaran tersendiri bagiku. Semoga tidak ada lagi Annisa Annisa lain yang akan mampu menggoyahkan kesetiaan ku.

Yah... semoga saja..

****

Bersama abang kuli bangunan

Nama ku Annisa. Aku tinggal di sebuah desa yang masih terisolir. Sebuah desa tertinggal yang berada jauh dari perkotaan. Di desa kami ini belum ada listrik masuk. Bahkan jalan menuju desa kami ini masih berupa jalan tanah yang becek, apa lagi jika musim hujan.

Di desa kami ini juga belum ada sekolah sama sekali. Sekolah terdekat itu berada di desa tetangga yang jaraknya lebih kurang 5 km dari desa kami, itu pun hanya sekolah dasar.

Jadi biasanya, anak-anak usia sekolah dasar akan bersekolah di sekolah dasar desa tetangga tersebut, dengan hanya berjalan kaki, atau menggunakan sepeda. Dan bagi keluarga yang mampu, ada yang menggunakan motor.

Bagi orangtua di desa kami ini, sekolah bukanlah hal yang utama. Bagi mereka pendidikan itu tidaklah terlalu penting, karena mengingat jarak sekolah yang jauh dan juga karena biaya yang cukup mahal.

Karena itu, kebanyakan dari kami hanya bersekolah sampai tamat SD, terutama bagi anak perempuan. Dan kalau anak laki-laki biasanya, setamat SD banyak yang pergi merantau ke luar daerah.

Kehidupan masyarakat di desa kami masih sangat primitif. Kami masih menggunakan kayu bakar untuk memasak. Dan untuk penerangan di malam hari, kami masih menggunakan jenis lampu tradisional, yang terbuat dari kaleng bekas di beri sumbu dengan masih memakai minyak tanah.

Memang ada beberapa keluarga yang mampu, yang sudah punya mesin diesel sendiri untuk penerangan rumah mereka, tapi hanya beberapa keluarga saja. Selebihnya masih sangat ketinggalan.

Kami juga tidak punya ponsel, selain karena memang tidak ada jaringan sama sekali di desa kami, tapi juga karena ponsel merupakan barang mewah bagi kami. Tentu saja kami tidak akan mampu membelinya.

Mata pencaharians sebagian besar masyarakat desa kami adalah petani karet. Kebun karet yang kami kelola, bukanlah milik kami. Tapi milik para juragan kaya di desa kami dan desa tetangga. Kami hanya mendapatkan upah yang tak seberapa dari hasil kerja kami di kebun karet tersebut.

Setidaknya begitulah kehidupan yang aku jalani selama ini di desa kami ini. Aku tumbuh dari keluarga yang kurang mampu. Aku hanya sekolah sampai kelas 5 SD, kemudian harus berhenti, karena kedua orangtua ku menganggap sekolah bagi anak perempuan itu tidak penting dan hanya buang-buang biaya.

Aku punya dua orang abang laki-laki, dan mereka juga hanya sekolah sampai tamat SD. Setelah itu, mereka ikut merantau ke luar daerah bersama teman-teman sebaya nya yang lain. Seperti pada umumnya yang di lakukan oleh para pemuda di desa kami.

Sejak kedua abang-abang ku pergi merantau, aku hanya tinggal bertiga bersama ibu dan ayah ku di rumah. Ibu dan ayah ku bekerja di sebuah kebuh karet milik seorang juragan kaya di desa kami. Aku lah yang harus mengerjakan pekerjaan rumah, seperti memasak, mencuci pakaian dan juga membersihkan rumah setiap harinya.

Sekarang aku sudah berusia 19 tahun. Aku tumbuh sebagai gadis yang ceria dan suka ceplas-ceplos kalau kalau lagi ngomong. Kegiatan ku sehari-hari hanyalah mengerjakan pekerjaan rumah. Dan sekali-kali aku juga ikut ibu dan ayah untuk bekerja di kebun karet. Aku juga suka berkumpul-kumpul bersama para gadis-gadis lain yang ada di desa kami.

Dan begitulah kehidupan yang aku jalani hingga saat ini.

Sampai pada suatu saat.

Sebuah kabar gembira tersebar di desa kami. Yah.. bagi kami itu merupakan sebuah kabar yang gembira. Kabar jika di desa kami akan didirikan sebuah gedung sekolah dasar. Sebuah kabar yang sudah sangat lama kami nantikan.

Karena biar bagaimana pun, anak-anak usia sekolah yang harus menempuh perjalanan sejauh 5 km untuk bisa bersekolah, sudah sangat banyak di desa kami. Memang sudah seharusnya sekolah dasar tersebut di buka di desa kami ini.

Mendengar kabar tersebut, kami tentu saja menyambutnya dengan senang hati. Setidaknya jika sekolah tersebut jadi dibangun, tentu saja anak-anak usia sekolah, tidak lagi harus ke desa tetangga untuk bersekolah. Dan hal itu cukup meringankan beban para orangtua di desa kami.

*****

"Kamal.." tegas lelaki itu menyebut namanya, ketika kami berjabat tangan.

"Annisa.." balasku pelan.

"mereka berempat ini adalah para tukang bangunan yang akan mengerjakan proyek pembangunan sekolah dasar di desa kita ini.." begitu suara ayah ku menjelaskannya pada aku dan ibu.

Kami berdiri tepat di halaman rumah kami. Memang ada empat orang laki-laki yang ayah perkenalkan kepada aku dan ibu. Tapi jujur saja, dari keempat laki-laki tersebut, hanya laki-laki terakhir yang ayah perkenalkan itu yang membuat aku merasa cukup terkesan. Laki-laki yang mengaku bernama Kamal tersebut.

Sebenarnya keempat laki-laki yang merupakan tukang bangunan tersebut, rata-rata sudah berusia diatas 35 tahun, kecuali laki-laki yang bernama Kamal itu, mungkin masih dibawah 30 tahun usianya.

Namun yang membuat aku merasa terkesan dengan Kamal, ialah bentuk tubuhnya yang sangat kekar dan gagah serta di dukung oleh wajahnya yang tampan. Aku benar-benar terpesona pada pandangan pertama.

"selama mereka mengerjakan proyek tersebut, mereka akan tinggal di rumah kosong yang berada di samping rumah kita itu.." ayah kembali menjelaskan, sambil mengarahkan pandangannya ke rumah kosang yang memang berada tepat di samping rumah kami.

Rumah itu memang sudah lama tidak di huni, karena pemiliknya sudah pindah ke kota. Tapi rumahnya masih cukup bagus dan masih layak untuk ditempati. Biasanya pemilik rumah tersebut, masih sering berkunjung, untuk merawat dan membersihkannya.

"selain itu, selama mereka tinggal disini, mereka juga minta tolong untuk dimasakin sama ibu dan Annisa.." ayah melanjutkan penjelasannya.

"ayah juga ikut kerja sama mereka, juga beberapa orang lainnya dari desa kita ini. Tapi tentu saja mereka berempat ini jauh lebih berpengalaman dalam hal pembangunan gedung sekolah. Karena itu, mereka sengaja di datangkan dari jauh.." jelas ayah lagi.

"yang paling jauh itu si Kamal ini sebenarnya, pak.." ucap salah seorang tukang tersebut, sambil mengarahkan telunjuknya kepada lelaki gagah di sampingnya.

"iya, pak. Kalau dari tempat saya berasal kesini itu, butuh waktu satu hari pak baru sampai.." Kamal memperjelas ucapan temannya tersebut.

"jadi mungkin selama aku mengerjakan proyek sekolah ini, aku gak bakal pulang, sebelum proyeknya selesai.." si Kamal ini melanjutkan kalimatnya.

"oh ya.. gak apa-apa, loh nak Kamal... semoga betah di desa kami ini.. Tapi kalau boleh tahu, kira-kira berapa lama pengerjaannya?" tiba-tiba ibu ku ikut berbicara.

"seharusnya empat bulan udah selesai sih.." balas salah seorang tukang yang paling tua, mungkin lelaki itu adalah kepala tukangnya.

"oh, ya ... kami mau beres-beres rumahnya dulu, sekalian mau istirahat. Karena besok pagi udah mulai kerja..." lelaki itu berucap kembali.

"oh, iya.. silahkan..." ayah ku yang membalas.

"jadi ... kalau untuk makannya mulai kapan kami bisa siapkan?" tiba-tiba ibu ku bertanya, sebelum mereka berempat memutar tubuh.

"kalau untuk malam ini, sepertinya kami masih punya bekal, buk. Jadi mulai besok aja.." jelas lelaki si kepala tukang tadi.

"jadi.. yang kami siapkan itu, mulai dari sarapan, makan siang dan juga makan malam ya?" ibu ku bertanya lagi.

"iya, buk.. kalau ibuk nya gak keberatan... Kalau soal harga kita bahas lagi nanti malam ya.." balas laki-laki tersebut.

"iya, gak apa-apa. Kami gak keberatan kok.." ucap ibu kemudian.

****

Sejak perkenalan ku dengan bang Kamal, si lelaki gagah tersebut, entah mengapa aku selalu membayangkan wajahnya yang tampan itu. Aku selalu memikirkannya. Aku mungkin memang telah jatuh hati padanya.

Meski pun aku baru mengenalnya. Meski pun aku belum tahu siapa dia sebenarnya. Mungkin juga ia sudah menikah. Atau setidaknya ia sudah punya pacar di tempat asalnya. Tapi aku gak peduli. Aku benar-benar ingin mengenalnya lebih dekat lagi.

Apa lagi aku punya banyak kesempatan untuk itu. Selain ia tinggal di samping rumah ku, aku juga akan setiap hari ke rumahnya untuk mengantarkan makanan mereka berempat.

Malam itu, aku benar-benar tidak bisa tidur dibuatnya. Wajah tampan bang Kamal dan juga tubuhnya yang gagah selalu menghantui fantasi ku, setiap kali aku coba memejamkan mata.

Sebagai seorang gadis yang mulai beranjak dewasa, rasanya wajar kalau aku mulai menyukai sosok seorang laki-laki dalam hidupku. Mengingat selama ini, belum ada seorang laki-laki pun yang coba mendekati ku.

Bukan karena aku tidak cantik, tapi memang di desa kami, tidak banyak laki-laki yang masih lajang. Para pemuda di usia ku ini, kebanyakan sudah lama pergi merantau. Dan lagi pula, selama ini aku terlalu sibuk dengan pekerjaan rumah ku, sehingga aku tidak terlalu memikirkan tentang laki-laki.

Tapi entah mengapa, sejak bertemu bang Kamal sore tadi, aku jadi suka memikirkannya. Mungkin karena selama ini, aku memang jarang bertemu laki-laki. Apa lagi laki-laki setampan dan segagah bang Kamal. Dia benar-benar telah mampu membuat aku terpesona dengan segala kelebihannya tersebut.

Ah, sebegitu kesepiannya kah hidup ku selama ini? Sebegitu membosankannya kah hidup ku selama ini?

Sehingga aku dengan begitu mudahnya jatuh cinta kepada seorang laki-laki yang baru aku kenal.

Tapi begitulah yang aku alami saat ini. Aku jatuh cinta pada pandangan pertama. Dan itu baru pertama kali juga aku alami. Rasa cinta itu tumbuh begitu saja di hati ku. Tanpa bisa aku cegah. Dan tak mungkin juga aku pungkiri.

****

Keesokan paginya, sesuai perjanjian, aku pun mengantarkan sarapan ke rumah para tukang tersebut.

"selamat pagi, abang-abang.." sapa ku ramah, ketika aku sudah berada di rumah tersebut, "ini sarapannya ya.." lanjutku lagi.

"iya, dek Annisa. Makasih ya.." balas salah seorang dari mereka.

"selamat menikmati ya.. semoga kalian suka. Tapi kalau ada yang kurang, bilang aja ya.. Siapa tahu kruang pedas, kurang garam atau kurang enak. Ngomong aja. Nanti akan kami perbaiki.." ucapku kemudian.

"kalau dek Annisa yang masak udah pasti enak lah.." celetuk seorang lelaki yang baru keluar dari kamarnya.

"kalian cuma bertiga?" tanya ku melihat hanya mereka bertiga yang ada disana, tanpa bang Kamal.

"oh, si Kamal lagi mandi.." jelas lelaki tadi lagi.

"oh, begitu.." gumam ku sedikit kecewa. Padahal aku berharap bisa bertemu bang Kamal pagi itu.

"jadi nanti piring-piring kotornya, kami yang antar atau dek Annisa yang ambil lagi?" tanya lelaki yang paling tua.

"saya aja yang ambil nanti.." balas ku pelan, aku hanya berharap, nanti bisa bertemu bang Kamal.

"gak usah... biar kami aja yang antar.." tiba-tiba bang Kamal muncul dari belakang, ia kelihatn habis mandi dan hanya memakai handuk yang terlilit dipinggangnya.

Deg! Dadaku berdegup kencang melihat pemandangan tersebut. Aku menelan ludah beberapa kali. Sungguh pemandangan yang sangat indah. Seumur hidup baru kali ini, aku melihat laki-laki tanpa baju berdiri di depan ku.

Apa lagi bang Kamal terlihat sangat kekar. Otot-otot dadanya sangat atletis dan maskulin. Itu adalah pemandangan yang luar biasa. Aku jadi sedikit tertegun.

"dek Annisa gak usah repot-repot mengambil kesini lagi.. kasihan juga kalau harus bolak-balik kesini.." bang Kamal menyambung ucapannya.

"iya, bang. Tapi gak apa-apa juga sebenarnya, kalau saya yang ambil kesini. Itu kan emang tugas saya.. Tapi kalau abang berbaik hati untuk mengantar ke rumah juga gak apa-apa.." balasku, sambil menahan debaran di dada ku yang kian menjadi.

"ya udah.. kalau begitu saya pamit.." aku kembali berujar dengan cepat. Walau pun sebenarnya aku ingin sekali berlama-lama di situ. Aku ingin sekali berlama-lama menatap keindahan tersebut. Tapi aku merasa gak enak hati. Karena itu, aku pun memutuskan untuk kembali ke rumah.

"oke, dek Annisa.. sekali lagi terima kasih ya..." kali ini bang Kamal yang kembali membalas ucapan ku.

Aku segera berlalu dari sana. Sambil menahan gejolak di hati ku. Bang Kamal memang benar-benar mengagumkan. Di mata ku ia begitu sempurna. Benar-benar sosok laki-laki yang aku idamkan selama ini.

Sesampai di rumah aku langsung masuk ke kamar ku, berusaha menenangkan pikiran dan gemuruh di dada ku, yang terus saja berdebar hebat membayangkan hal tersebut.

Oh, bang Kama... Betapa kamu begitu gagah dan tampan. Aku ingin sekali bisa memiliki mu. Bathin ku penuh harap.

****

Siang itu, aku mengantarkan makan siang ke rumah para tukang tersebut. Dan kebetulan saat itu, hanya ada bang Kamal di rumah.

"selamat siang, bang Kamal." sapa ku lembut. "ini makan siang nya ya, bang.." lanjut ku.

"oh, iya.. dek Annisa. Makasih ya.." balas bang Kamal, sambil ia mengambil alih makanan tersebut dari tangan ku.

"abang sendirian aja? Yang lain mana?" tanya ku mencoba berbasa-basi.

"oh, yang lain masih di tempat kerja, sebentar lagi balik kok. Tadi aku sengaja pulang lebih cepat, karena tiba-tiba sakit perut.." jelas bang Kamal.

"abang sakit perut kenapa?" tanyaku merasa khawatir.

"gak apa-apa, kok. Cuma sesak mau BAB aja.." balas bang Kamal.

"oh.." gumam ku membulatkan bibir.

"gimana sarapannya tadi, bang? Enak gak?" aku bertanya lagi, aku benar-benar tidak ingin segera pergi dari situ, mumpung bang Kamal lagi sendirian.

"enak, kok." bang Kamal membalas singkat.

"kamu usia berapa sih, dek Annisa? Kok udah pintar masak?" bang Kamal melanjutkan dengan bertanya.

"saya masih 19 tahun, bang. Tapi sejak kecil emang udah diajarin masak sama Ibu.." balasku pelan.

"kalau bang Kamal sendiri, udah berapa usianya?" tanya ku melanjutkan.

"oh, saya? Saya udah 32 tahun.." balas bang Kamal.

"masa' iya sih, bang. Padahal masih kelihatan muda loh, masih kayak 25 tahun.." ucapku apa adanya.

Bang Kamal tertawa ringan, "dek Annisa bisa aja.. Mana ada kuli bangunan terlihat lebih muda dari usianya, kami kan pekerja keras.." ucapnya.

"tapi benar kok, bang. Bang Kamal masih terlihat muda.." ucapku meyakinkan.

"tapi abang emang udah 32 tahun, dek Annisa." jelas bang Kamal lagi.

"jadi abang udah nikah?" tanya ku memberanikan diri.

"iya.. abang udah nikah, malahan abang udah punya dua anak sekarang.." balas bang Kamal.

"oh, gitu.." aku berguman dengan rasa kecewa.

Padahal aku berharap, kalau bang Kamal belum menikah. Jadi peluang ku untuk bisa mendapatkannya jauh lebih besar. Tapi kalau ia sudah menikah, peluang aku untuk bisa memilikinya, jadi semakin sulit.

"iya... jadi dulu itu, saya menikah di usia saya yang baru 24 tahun, sekarang anak pertama saya udah kelas 1 SD, dan yang kecil masih 2 tahun usianya.." bang Kamal berucap lagi, seakan merasa bangga dengan semua itu.

"jadi sudah berapa lama bang Kamal kerja bangunan seperti ini?" aku bertanya lagi, mencoba mengalihkan pembicaraan.

"dari sejak abang lulus SMA. Sejak itu abang sering ikut ayah abang jadi kuli bangunan. Karena gak punya biaya untuk kuliah, karena ayah abang juga hanya kuli bangunan. Jadi abang ikut-ikutan jadi kuli bangunan juga.." jelas bang Kamal.

"abang anak tunggal?" tanyaku kemudian.

"gak. Abang anak ketiga dari kami empat bersaudara. Abang pertama ku, jadi satpam sekarang. Abang kedua ku jadi buruh pabrik. Hanya aku yang mengikuti jejak ayah ku. Sedangkan adik bungsu ku yang perempuan satu-satunya, sekarang sedang kuliah.." bang Kamal menjelaskan lagi.

Aku cukup merasa senang, karena bang Kamal begitu terbuka padaku, tentang keluarganya.

"tapi kok bisa sampai kesini ya, bang?" aku bertanya kembali, aku benar-benar ingin mengenal bang Kamal lebih dekat lagi. Sekali pun ia sudah mengatakan kalau ia sudah menikah dan sudah punya anak. Tapi sepertinya hal itu tidak menyurutkan langkah ku untuk tetap menjadi dekat dengannya.

"jadi teman abang yang paling tua itu, dulu nya adalah rekan kerja ayah abang, beliau sering di ajak ayah abang, untuk ikut bekerja dengannya. Nah, ketika dapat proyek ini, teman abang tadi juga mau ajak ayah abang. Tapi karena ayah abang udah cukup tua, ia menolak, karena udah gak mampu pergi jauh-jauh. Karena itu, ia menyerahkannya pada abang.." jelas bang Kamal panjang lebar.

"tapi katanya tempat tinggal bang Kamal jauh ya dari sini?" tanya ku kemudian.

"iya.. karena abang lagi nganggur, abang terima aja, walau pun agak jauh. Yang ada kerjaan.." balas bang Kamal.

Dan tak lama kemudian, ketiga teman bang Kamal tadi pun datang. Aku pun segera pamit pulang ke rumah kembali, dengan perasaan yang begitu bahagia. Aku merasa bahagia, bisa bercerita berdua bersama bang Kamal. Rasanya begitu indah, bisa mengenal bang Kamal lebih dekat lagi.

****

Sejak saat itu, aku dan bang Kamal jadi sering ngobrol berdua. Aku selalu mencari-cari kesempatan untuk bisa bertemu bang Kamal saat ia sendirian di rumahnya. Bang Kamal termasuk tipe lelaki yang tidak terlalu suka keluar rumah.

Terbukti, ketiga temannya sering keluar rumah untuk sekedar berjalan-jalan di sepanjang kampung. Tapi bang Kamal lebih memilih untuk berdiam diri di rumah. Karena itu, aku jadi punya banyak kesempatan untuk bisa sekedar mengobrol berdua dengannya.

Kami jadi sering ngobrol berdua. Dan hal itu mampu membuat aku benar-benar merasa bahagia. Aku dan bang Kamal terasa semakin dekat. Aku juga begitu terbuka padanya. Semua cerita tentang hidupku, aku cerita kan pada bang Kamal. Dan dia dengan senang hati mau mendengarkannya.

Hingga pada suatu malam, saat itu sudah sebulan bang Kamal tinggal dan bekerja di desa kami. Kami juga sudah sangat dekat. Saat itu, hanya bang Kamal sendirian di rumah. Ketiga temannya sudah pulang kampung, karena sudah sebulan mereka di desa kami.

"bang Kamal gak ikut pulang?" tanya ku.

"kan abang udah pernah bilang, kalau tempat tinggal abang tuh jauh. Jadi abang emang gak bakal pulang, sebelum proyeknya selesai. Selain karena jauh, abang juga mau hemat, karena ongkos untuk pulang itu mahal.." jelas bang Kamal.

"jadi bang Kamal bakal tidur sendirian malam ini?" aku bertanya lagi.

"yah.. begitulah..." balas bang Kamal singkat.

"saya juga sendirian di rumah, bang. Ayah sama ibu pergi ke desa tetangga, ada acara kenduri keluarga disana, kemungkinan pulangnya juga tengah malam. Karena mereka perginya kan cuma pakai sepeda.." ucapku seakan sengaja memberi tahu bang Kamal akan hal tersebut.

"dek Annisa gak takut sendirian di rumah?" tanya bang Kamal.

"sebenarnya takut sih, bang. Tapi mau gimana lagi. Saya juga udah terbiasa di tinggal sendirian di rumah. Apa lagi sejak kedua abang-abang ku pergi merantau. Aku jadi sering tinggal sendiri di rumah, terutama kalau ayah dan ibu ada acara kenduri seperti sekarang ini.." jelasku apa adanya.

"kalau bang Kamal gak takut sendirian?" aku bertanya kemudian.

"yah... sebenarnya agak takut juga sih, apa lagi abang kan baru disini. Tapi gak apa-apa lah. Abang berani-berani in aja..." balas bang Kamal.

"kalau saya temanin abang disini, sampai ayah dan ibu pulang gimana? Abang keberatan gak?" tanyaku sedikit berani.

"emangnya dek Annisa mau?" tanya bang Kamal.

"yah mau aja sih, bang. Kan saya juga takut di rumah sendirian.." balas ku pelan.

"ya udah... dek Annisa disini aja dulu, sampai ayah dan ibu nya pulang.." ucap bang Kamal.

"gak apa-apa nih, bang?" tanya ku sekedar meyakinkan diriku sendiri, kalau aku tidak sedang bermimpi.

Berada berdua bersama bang Kamal di rumah ini, dalam keadaan yang sepi dan gelap seperti ini, adalah hal yang aku inginkan selama ini. Aku sudah lama menunggu saat-saat seperti ini.

"yah .. gak apa-apa lah dek Annisa. Abang malah senang ada dek Annisa disini.." balas bang Kamal, yang membuat ku merasa melambung.

"emangnya bang Kamal gak takut berduaan sama saya, malam-malam begini?" tanya ku.

"kenapa harus takut? Emangnya dek Annisa ini vampir ya suka menghisap darah?" balas bang Kamal dengan nada candanya.

"harusnya dek Annisa yang takut... Takut abang apa-apain.." bang Kamal melanjutkan ucapannya, masih dengan nada candanya.

"diapa-apain juga gak apa-apa, bang.." balasku spontan.

"ah, yang benar?" ucap bang Kamal.

"benar, bang.." balasku yakin.

"saya sebenarnya emang suka sama bang Kamal, bahkan sejak pertama kali kita berkenalan.." aku melanjutkan ucapan ku, tanpa rasa ragu lagi. Bang Kamal harus tahu perasaan ku padanya. Mumpung ada kesempatan. Mumpung hanya kami berdua malam ini.

"tapi ... abang udah nikah loh, dek.." balas bang Kamal.

"iya.. saya tahu, bang. Tapi saya udah terlanjur jatuh cinta sama bang Kamal. Saya ingin sekali bisa memiliki bang Kamal, walau hanya untuk sementara.." ucap ku lagi ceplas-ceplos.

"emangnya dek Annisa gak punya pacar?" bang Kamal bertanya kemudian.

"saya bahkan belum pernah pacaran sama sekali, bang.." jawabku jujur.

"berarti dek Annisa ini masih polos ya.." tanya bang Kamal lagi.

"iya, bang. Saya masih polos, dan belum pernah diapa-apain sama sekali. Makanya saya ingin bang Kamal yang melakukannya pertama kali.." ucapku lagi, hampir tak mampu menahan diriku sendiri. Suasananya benar-benar mendukung.

"dek Annisa yakin, ingin melakukan hal itu bersama abang?" bang Kamal bertanya kemudian.

"iya, bang. Saya sangat yakin, bang. Saya ingin sekali mempersembahkan mahkota yang sangat berharga dalam diri ku ini untuk bang Kamal. Saya ingin bang Kamal yang mendapatkannya. Saya tulus memberikannya, bang.." aku berucap dengan penuh harap.

"tapi... abang ini udah nikah, dek. Abang gak bisa janji apa-apa sama dek Annisa. Abang disini hanya sampai proyek nya selesai, setelah itu abang tidak akan lagi ada disini. Abang harap dek Annisa bisa mengerti posisi abang saat ini.." balas bang Kamal pelan.

"tapi masih lama kan bang Proyek nya, masih tiga bulan lagi. Itu artinya, kita masih punya banyak kesempatan untuk menjalin hubungan cinta, selama abang berada disini. Dan saya sudah sangat siap untuk segala hal yang akan terjadi setelahnya. Yang penting abang mau menerima cinta saya.." ucapku berusaha meyakinkan bang Kamal.

"apa kamu gak bakal menyesal, menyerahkan sesuatu yang berharga tersebut kepada abang? Kepada lelaki yang sudah menikah dan juga sudah cukup tua?" bang Kamal bertanya kembali, sepertinya ia masih ragu.

"justru saya akan sangat menyesal, kalau abang menolaknya. Saya tulus memberikannya untuk bang Kamal. Saya benar-benar menginginkannya, bang.." ucapku dengan nada penuh harap.

"baiklah, dek Annisa. Jika hal itu yang dek Annisa inginkan. Abang bersedia melakukannya bersama dek Annisa. Karena sebenarnya abang juga suka sama dek Annisa. Tapi karena jarak usia kita yang jauh, dan juga karena abang udah menikah, abang gak mau berharap lebih sama dek Annisa selama ini. Tapi karena sekarang, dek Annisa sendiri yang menginginkannya, abang tentu saja dengan senang hati melakukannya.." ucap bang Kamal akhirnya.

Ucapan yang membuat aku merasa lega. Ucapan yang membuat aku merasa bahagia.

Dan begitulah, malam itu, aku berusaha mempersembahkan sesuatu yang sangat berharga tersebut kepada bang Kamal, lelaki cinta pertama ku tersebut. Lelaki tampan dengan tubuhnya yang gagah. Lelaki yang aku impikan selama ini.

Bang Kamal melakukannya dengan begitu pelan dan lembut. Aku dibuatnya terbuai, dalam ayunan cinta yang indah. Ku persembahkan semuanya, untuk bang Kamal. Ku persembahkan dengan penuh perasaan, seluruh jiwa raga ku ini untuknya.

Betapa hal itu terasa sangat indah bagi ku. Semuanya terasa begitu luar biasa dan sempurna. Semuanya jauh lebih indah dari semua khayal ku selama ini, tentang bang Kamal.

Dia benar-benar lelaki yang luar biasa dan perkasa. Dan aku jadi semakin rela untuk memberikan semuanya. Ku biarkan lelaki gagah itu, mengambil hal tersebut. Aku berikan semuanya dengan sepenuh jiwaku. Dan aku merasa sangat bahagia dan lega. Benar-benar terasa lega. Seakan aku mendapatkan setetes air di tengah gurun gersang.

Rasa dahaga yang selama ini aku tahan, kini terlepaskan sudah. Dan hal itu benar-benar memberikan kesan yang sangat indah bagi ku. Begitu indah. Dan begitu sempurna.

****

Sejak malam itu, aku dan Kamal pun resmi menjalin hubungan asmara. Sebuah hubungan rahasia, yang hanya kami berdua yang tahu. Sebuah hubungan yang mampu membuat ku merasa sangat bahagia. Akhirnya, aku bisa memiliki lelaki aku cintai sepenuh hati tersebut.

Hari-hari pun berlalu dengan penuh keindahan. Kami selalu mencari-cari kesempatan untuk bisa menghabiskan waktu berdua. Aku selalu berusaha untuk bisa mencuri-curi waktu, dan mencari seribu alasan, untuk bisa keluar rumah malam-malam. Hanya untuk bertemu bang Kamal.

Kami sering bertemu di gedung sekolah yang belum jadi tersebut, untuk sekedar melepas rindu dan memadu kasih berdua. Rasanya semua itu terasa indah bagi ku. Kami juga kadang-kadang sering bertemu di rumah ku, terutama saat ayah dan ibu ku sedang tidak berada di rumah.

Cinta kami terjalin dengan begitu indah. Walau pun aku sadar, semua ini hanya bersifat sementara. Bang Kamal hanya singgah di dalam hidupku, bukan untuk tinggal selamanya. Tapi aku tidak peduli dengan hal tersebut, selama kami masih punya waktu untuk bersama.

Dan tiga bulan pun berlalu, sejak kami menjalin hubungan tersebut.

Proyek gedung sekolah yang mereka bangun akhirnya selesai tepat pada waktunya. Dan itu artinya, mereka semua akan segera pergi dari desa kami. Itu artinya, aku dan bang Kamal akan segera berpisah.

"jadi abang pulang besok?" tanyaku, ketika malam terakhir bang Kamal berada di desa ku.

"iya, dek.." balas bang Kamal pelan.

"apa ada kemungkinan, kalau abang akan datang lagi kesini?' tanyaku sekedar menguatkan diri ku sendiri, karena aku sadar sekali, kalau hal itu jelas tidak mungkin terjadi.

"seperti yang abang pernah katakan pada dek Annisa, kalau abang disini hanya sampai proyek ini selesai. Dan abang gak mungkin lagi kembali kesini. Bukan saja karena jaraknya yang begitu jauh, tapi juga karena abang sudah punya istri dan anak disana, dek. Abang harap dek Annisa bisa mengerti.." balas bang Kamal.

"iya, bang. Saya sangat mengerti. Tapi saya harap, abang jangan pernah melupakan saya disini. Ingatlah, bahwa ada seorang gadis disini, yang begitu tulus mencintai abang. Meski pun pada akhirnya, kita memang tidak akan bisa selamanya bersama. Tapi saya akan tetap mencintai bang Kamal, selamanya.." ucapku dengan nada sendu.

"abang juga mencintai dek Annisa. Tapi... abang harus memilih. Dan ini bukan pilihan yang mudah bagi abang. Karena abang juga cukup sadar, jika abang mempertahankan dek Annisa, akan terlalu besar resiko yang harus kita hadapi, akan begitu banyak hati yang akan terluka. Terutama karena abang yakin, kedua orangtua dek Annisa pasti tidak akan setuju dengan semua ini.." bang Kamal berucap kemudian.

"iya, bang. Saya paham, maksud abang. Walau pun semua ini terasa begitu menyakitkan, tapi setidaknya saya pernah merasakan semua keindahan bersama lelaki yang saya cintai... Dan itu akan menjadi kenangan terindah dalam hidup saya.." timpal ku akhirnya, sambil berusaha menahan air mata ku sendiri.

****

Dan keesokan harinya, bang Kamal dan rekan-rekannya pun akhirnya benar-benar pergi dari desa kami. Rasanya hal itu begitu menyakitkan bagiku. Berpisah dengan orang yang paling aku cintai, telah menumbuhkan sebuah luka yang teramat dalam di hati ku.

Semalam, setelah bertemu bang Kamal, aku hanya mengurung diri di kamar. Padahal orang-orang begitu ramai di rumah tempat bang Kamal tinggal. Para warga yang sudah merasa dekat dengan para tukang tersebut, sengaja membuat sedikit acara perpisahan.

Tapi enggan ikut bersama mereka. Hatiku begitu pilu. Aku merasa sangat sedih. Pertama kali aku jatuh cinta pada seorang laki-laki, dan pertama kali juga aku merasakan keindahan bersama lelaki yang aku cintai tersebut, justru semuanya kini harus berakhir, dengan begitu menyakitkan bagi ku.

Tapi aku tidak pernah menyesalinya. Aku justru merasa bangga melakukan semua itu. Aku bangga bisa mempersembahkan yang terbaik untuk bang Kamal. Aku bahagia bisa menjadi bagian penting dalam hidupnya, walau hanya sementara saja.

Cinta ku kepada bang Kamal begitu besar. Tapi takdir mempertemukan kami, bukan untuk bersama selamanya, hanya untuk memberi sedikit kebahagiaan dalam perjalanan hidupku yang sepi.

Kini bang Kamal telah pergi, hari-hari ku kembali terasa sunyi. Rasa sakit dan luka yang aku rasakan begitu dalam dan pedih. Namun segala keindahan yang aku rasakan selama beberapa bulan tersebut, mampu menyembuhkan semua luka itu.

Kebahagiaan yang aku rasakan bersama bang Kamal, memang tidak sebanding dengan kekecewaan yang aku rasakan karena kepergiannya dari hidupku.

Tapi setidaknya, semua keindahan itu telah mampu memberi ku sejuta kenangan untuk aku ingat, sebagai bagian terindah dalam perjalanan hidupku.

Semoga saja, aku mampu melanjutkan hidupku, meski tanpa bang Kamal lagi.

Semoga saja, di suatu saat nanti, aku bisa bertemu laki-laki yang mungkin jauh lebih indah dari pada bang Kamal...

Yah.... Semoga saja..

*****

Air Mata Dara

Lelaki itu menatap mata gadis yang duduk dihadapannya. Ia menatap mata itu, seakan mencari setitik kejujuran dari kalimat yang baru saja dilontarkan oleh gadis tersebut.

"aku ingin kita putus, Jo..." gadis itu mengulang kalimatnya.

Kali ini lebih tegas. Gadis itu mengulang kalimatnya, seakan berusaha meyakinkan lelaki dihadapannya tersebut.

Gadis itu tahu, kalau kalimat tersebut sudah melukai hati lelaki yang masih menatapnya itu. Bahkan ia juga tahu, kalau kalimat tersebut juga melukai hatinya sendiri.

"kenapa?" lelaki itu mengeluarkan suara juga akhirnya.

"aku lelah, Jo. Sangat lelah...." balas gadis tersebut.

"lelah?" lelaki yang dipanggil Jo tersebut, sedikit mengerutkan dahinya, pertanda ia belum mengerti sepenuhnya.

"iya, Jo. Aku lelah mengejar bayang-bayang mu... Aku lelah berpura-pura kalau semuanya baik-baik saja. Aku lelah untuk selalu berusaha, untuk tetap terlihat sepadan dengan mu..."

"maksud kamu apa sih, Dar?" lelaki itu, Jo, semakin mengerutkan dahinya.

Wanita itu, Dara, berusaha membalas tatapan penuh tanya milik Jo.

"kamu pasti ngerti maksud ku apa, Jo." ucapnya.

"karena kamu dari keluarga miskin? yatim piatu?" Jo berucap, sambil mengalihkan pandangannya menatapi jalanan yang mulai sepi.

"bukankah kita sudah sepakat untuk tidak lagi membahas hal tersebut? Bukankah kita sudah sepakat untuk tidak lagi mempermasalahkannya?" Jo menyambung kalimatnya.

"iya... aku tahu, tapi.... aku sudah tidak sanggup lagi, Jo. Kita terlalu jauh berbeda. Kamu adalah keturunan ningrat yang punya segalanya, sedangkan aku ...." Dara sengaja menggantung kalimatnya. Karena ia tahu, kalimat selanjutnya hanya akan membuat ia semakin sakit.

"aku tidak pernah mempermasalahkan hal tersebut, Dar. Bahkan sejak awal. Tapi kamu yang selalu mengungkitnya..."

"aku percaya hal itu, Jo. Tapi bagaimana dengan keluarga kamu?"

"mereka bisa menerima kamu apa adanya, kok. Buktinya, beberapa kali kamu aku ajak ke rumah, mereka semua menyambut kamu dengan baik.."

"iya... tapi dengan kalimat-kalimat sindiran yang mereka lontarkan, setiap kali aku berkumpul bersama keluarga mu, benar-benar membuat aku terluka, Jo. Belum lagi, kalau mereka semua, terutama kakak-kakak ipar mu, selalu membahas tentang kehidupan mereka yang mewah. Dan aku merasa bukan siapa-siapa diantara mereka.."

Kali ini, Dara menghempaskan napas berat.

Ingatannya kembali memutar semua memory yang terjadi dalam hidupnya tiga tahun belakangan ini.

Jo, lelaki tampan yang ia kenal di kampus, yang mampu merebut hatinya, adalah seorang lelaki kaya, dari keluarga terpandang.

Jo, memiliki dua orang kakak laki-laki yang sudah menikah. Jo merupakan anak bungsu, dari tiga bersaudara, yang semuanya laki-laki.

Sementara Dara hanyalah seorang gadis miskin dan yatim piatu. Selama ini, Dara dibesarkan oleh pamannya yang hanya seorang pedagang keliling. Karena tidak memiliki anak, paman Dara cukup mampu untuk membiayai kuliah Dara. Meski kehidupan mereka sangat pas-pasan.

Setelah sama-sama salin jatuh cinta, Jo dan Dara, memutuskan untuk menjalin hubungan yang serius.

Dara sangat mencintai Jo, begitu juga sebaliknya.

Bahkan bagi Jo, Dara sangatlah istimewa.

Setahun pacaran, Jo mulai berani memeperkenalkan Dara kepada keluarganya. Meski pun ia tahu, tidak akan mudah bagi keluarganya untuk menerima kehadiran Dara yang hanya gadis biasa.

Tapi Jo tetap bertekad untuk meyakinkan keluarganya, terutama orangtuanya, bahwa Dara adalah gadis yang terbaik untuknya.

Tapi bagi Dara, apa yang dilakukan Jo tersebut, justru membuatnya merasa terluka.

Dara merasa, ia tidak bisa berbaur dengan keluarga Jo yang mewah.

Namun selama tiga tahun Dara berusaha untuk tetap bertahan.

Dara berusaha untuk menjaga perasaan Jo dan juga perasaannya sendiri.

Selama tiga tahun, ia berusaha untuk tetap terlihat baik-baik saja. Meskipun ia sadar, keluarga Jo tidak benar-benar menerimanya. Bahkan mereka sering dengan sengaja melontarkan kalimat-kalimat sindiran atas kemiskinannya.

Awalnya Dara mencoba untuk tidak peduli. Dia coba mengabaikannya. Demi Jo. Demi cinta mereka..

Tapi....

"kamu seharusnya sadar diri, Dara. Jo itu gak sebanding sama kamu. Apalagi Jo adalah anak bungsu kami. Kedua kakaknya sudah menikah dengan gadis yang tepat. Dan kami berharap, Jo juga akan mendapatkan gadis yang sepadan dengannya, terutama dari taraf kehidupanya secara ekonomi. Jadi tante harap kamu bisa mengerti, dan bisa meninggalkan Jo secepatnya..."

Begitu kalimat pahit yang diucapkan mama Jo kepada Dara, saat dengan sedikit memaksa, mama Jo meminta Dara untuk menemuinya di sebuah kafe mewah.

Sejak saat itu, Dara selalu berusaha untuk mencari cara agar bisa melepaskan Jo tanpa harus melukainya.

****

"kamu jangan mendramatisir keadaan ini dong, Dar..." kalimat Jo membuat Dara tersentak dari lamunannya.

"aku tidak mendramatisir, Jo. Aku berbicara fakta. Dan fakta itu tidak bisa kita pungkiri..."

"tapi aku sangat mencintai kamu, Dara..."

"aku juga sangat mencintai kamu, Jo. Tapi kita berdua juga tahu, kalau persoalannya bukan disitu. Bukan di cinta kita..."

"lalu apa?" pertanyaan itu terlontar begitu saja dari mulut Jo.

"haruskah aku mengulanginya lagi?" Dara balas bertanya.

Kali ini Jo terdiam. Ia sangat mengerti apa yang Dara maksud.

Tapi mengapa Dara harus menyerah?

Mengapa ia harus memilih untuk putus?

"aku pamit, Jo. Mulai hari ini kita sudah tidak punya hubungan apa-apa lagi. Dan aku harap, kamu jangan lagi menemui ku..."

Setelah berucap demikian, Dara bangkit dari duduknya. Lalu melangkah pergi. Meninggalkan Jo yang masih berusaha mencari jawaban dari semua pertanyaan yang ada dibenaknya saat itu.

****

Dara meraih ponselnya, yang sudah berdering sejak tadi. Ia menatap layar ponsel tersebut, dan melihat sebuah nomor baru sedang melakukan panggilan padanya.

Dengan malas Dara mengangkatnya...

"hallo.." sapa Dara lembut.

"Dara... ini tante, mama Jo, tante harap kami bisa datang sekarang ke rumah sakit, Jo mengalami kecelakaan..." suara itu terdengar serak.

Dara terdiam sejenak. Ia benar-benar shock mendengar kabar tersebut. Hatinya merintih.

"rumah... rumah sakit.... mana...?" ucapnya akhirnya.

"nanti tante serlok, ya..." balas mama Jo pelan.

"iya... tante..." suara Dara sendiri mulai parau.

Dan setengah jam kemudian, Dara tiba di sebuah rumah sakit mewah. Ia disambut mama Jo dengan isak tangis.

"tadi malam Jo mengalami kecelakaan, sempat koma selama beberapa jam, dan pagi tadi ia sadar, tapi yang keluar dari mulutnya hanyalah nama kamu, Dara. Karena itu tante menghubungi mu. Tante berharap, kamu mau membantu Jo untuk sembuh. Setidaknya begitulah yang disarankan oleh dokter..." jelas mama Jo dalam isak tangisnya.

Dara masih tercenung. Terngiang kembali ucapan-ucapan pahit mama Jo yang dilontarkannya pada Dara. Jika mengingat semua itu, enggan rasanya Dara untuk menemui Jo. Karena Dara sudah bertekad untuk pergi selama-lamanya dari hidup Jo.

Tapi mengingat kondisi Jo saat ini, Dara harus menekan kuat-kuat ego-nya sendiri. Biar bagaimana pun, Jo adalah laki-laki baik. Jo adalah lakia-laki yang ia cintai.

Setidaknya, Dara akan berusaha untuk membantu Jo sembuh. Setelah itu, ia akan kembali pada keputusannya dari awal, yaitu pergi meninggalkan Jo untuk selamanya.

****

Seminggu di rumah sakit, keadaan Jo sudah membaik. Tentu saja, Dara selalu hadir disitu, menemani Jo melewati masa kritisnya.

Namun keadaan Jo yang membaik, tidak berlangsung lama. Benturan keras di kepala Jo akibat kecelakaan tersebut, ternyata belum sembuh sepenuhnya.

Di hari ke tujuh Jo dirawat, terjadi pendarahan di otaknya, yang membuat Jo kembali tidak sadarkan diri.

Dokter dan perawat berusaha memberikan pertolongan yang terbaik. Tapi takdir berkata lain, Jo justru menghembuskan napas terakhirnya saat itu.

Isak tangis nan histeris, bergema di ruang rumah sakit tersebut. Semua keluarga berduka. Semuanya. Tak terkecuali Dara.

"aku mohon padamu, Dar. Kamu jangan pergi dari hidupku. Aku sangat membutuhkan mu, aku.... aku tidak bisa hidup tanpa kamu, Dara..."

Terngiang kembali ucapan Jo di ingatan Dara.

Beberapa hari menemani Jo di rumah sakit, mereka memang punya banyak kesempatan untuk menghabiskan waktu berdua.

Dara selalu berusaha untuk menghibur Jo, agar ia bisa lekas sembuh.

Tapi kenyataannya, Jo justru pergi untuk selama-lamanya.

Dan kali ini Dara benar-benar terluka.

Meski pun Dara sudah ikhlas, untuk berpisah dengan Jo, dan tidak berharap untuk bisa memilikinya lagi.

Tapi tidak dengan cara seperti itu. Dara tidak bisa menerimanya. Dara belum siap kehilangan Jo dengan cara seperti itu. Tidak dengan cara seperti itu.

Cara yang membuat Dara terluka jauh lebih dalam, dari cara apa pun, yang ingin ia coba selama ini.

Lalu air mata Dara pun, tak kunjung berhenti menetes, meratapi kepergian Jo.

Ia merasa tidak sanggup lagi menjalani hari-hari selanjutnya, tanpa Jo...

****

Sekian...

Bapak kost

Namaku Nirmala, dan aku seorang mahasiswi tingkat awal. Aku baru berusia 18 tahun saat ini. Aku berasal dari kampung. Selulus dari SMA, aku mendapat beasiswa untuk kuliah di sebuah kampus ternama di kota.

Karena kota tempat aku kuliah berada sangat jauh dari kampung tempat aku tinggal selama ini, aku terpaksa mengambil sebuah kamar kost, untuk tempat aku tinggal selama aku kuliah.

Orangtua ku hanyalah petani biasa di kampung. Penghasilan mereka jauh dari cukup untuk biaya hidup kami sehari-hari. Apa lagi aku masih punya dua orang adik yang saat ini masih bersekolah.

Sebenarnya aku enggan untuk melanjutkan kuliah, namun karena dorongan dari kedua orangtua ku dan juga karena aku mendapatkan beasiswa, aku pun memutuskan untuk tetap kuliah, meski ekonomi keluarga ku sangat kekurangan.

Orangtua ku berusaha keras, untuk dapat mengirimkan uang padaku setiap bulannya, untuk membayar kost dan juga untuk biaya hidup ku sehari-hari. Meski pun untuk biaya kuliah ku sendiri, aku tidak perlu lagi mengeluarkan biaya apa-apa.

Tapi, untuk bisa hidup di kota besar ini, aku tetap saja masih membutuhkan biaya, terutama untuk membayar kost dan untuk makan ku sehari-hari.

Lima bulan pertama, semuanya berjalan dengan lancar, meski aku harus sangat berhemat karena uang yang dikirimkan orangtua ku tidaklah pernah cukup. Biaya hidup di kota besar ini sangat tinggi.

Aku juga sudah berusaha untuk mencari pekerjaan paroh waktu, agar aku bisa meringankan beban orangtua ku. Namun sampai saat ini, tidak ada satu pun pekerjaan yang bisa aku dapatkan.

Memasuki bulan keenam, orangtua ku tidak bisa lagi mengirimkan uang untuk ku, karena pendapatan mereka menurun, dan juga  kedua adik-adik ku sedang butuh biaya banyak untuk sekolah mereka.

Dengan sangat terpaksa, aku benar-benar harus berhemat. Aku hanya bisa makan sekali sehari, itu pun dengan lauk seadanya. Dan sudah dua bulan pula aku menunggak uang kost.

Buk Ros, pemilik kost, sudah beberapa kali mendatangi ku, dan meminta uang kost. Aku berusaha untuk meminta pengertiannya. Meski pun buk Ros, masih memberi aku waktu untuk bisa melunasi uang kost ku tersebut, namun tetap saja, aku harus segera mendapatkan uang untuk bisa melunasinya.

Aku masih tetap berusaha untuk mencari pekerjaan setiap harinya. Namun, sangat sulit untuk mendapatkan pekerjaan paroh waktu di kota besar ini.

Sampai pada suatu waktu, pak Dadang, suami buk Ros, pemilik kost ini, datang menemui ku.

"aku dengar kamu sudah dua bulan belum bayar uang kost.." ucap pak Dadang terdengar santai.

Aku tahu, buk Ros pasti udah cerita pada suaminya, tentang hal tersebut.

Buk Ros dan pak Dadang memang sepasang suami istri yang memiliki usaha kost ini, dan juga sebuah toko harian di depan rumah mereka. Setahu ku, mereka berdua sudah lama menikah, tapi belum mempunyai anak.

Kalau aku perkirakan, pak Dadang mungkin sudah berusia 45 tahun lebih, sedangkan buk Ros sendiri sudah lebih dari 42 tahun usianya. Dan rasanya sudah tidak mungkin lagi bagi mereka untuk bisa memiliki anak.

"iya, pak. Dan saya sudah minta waktu pada buk Ros, mungkin minggu depan akan saya bayar, pak.." ucapku akhirnya, membalas ucapan pak Dadang barusan.

"kamu yakin, bisa melunasi sampai minggu depan?" tanya pak Dadang kemudian.

Kali ini aku terdiam. Karena sebenarnya aku tidak yakin, akan bisa melunasinya hanya dalam waktu seminggu. Apa lagi, orangtua ku sudah memastikan kalau untuk bulan depan, mereka masih belum bisa mengirimkan uang untuk ku.

"pasti saya usahakan, pak.." balasku setengah ragu.

Pak Dadang terdiam sesaat, tatapannya tajam menatapku.

Pak Dadang memang sering menggantikan buk Ros untuk meminta uang kost kepada kami para anak kost, apa bila buk Ros sibuk dengan kegiatan lainnya.

"kalau ternyata kamu tidak bisa melunasinya sampai minggu depan, bagaimana? Apa kamu udah siap untuk di usir dari sini?" ucap pak Dadang selanjutnya.

"tolong jangan usir saya, pak. Orangtua saya lagi banyak kebutuhan lain di kampung, jadi saya mohon pengertiannya.." balasku sedikit menghiba.

"saya bisa mengerti kesulitan kamu. Dan saya juga bisa bantu kamu, kalau kamu mau.. Tapi ada syaratnya.." suara pak Dadang sedikit bergetar.

"maksudnya, pak?" tanyaku heran.

"saya bisa melunasi semua tunggakan kost kamu selama dua bulan ini, tapi kamu harus mau memenuhi keinginan saya.." balas pak Dadang terdengar blak-blakan.

"keinginan bapak?" tanyaku, kening ku sedikit berkerut.

"iya... kamu pasti ngerti maksud saya apa.." balas pak Dadang.

"saya benar-benar tidak mengerti, pak. Apa yang bapak inginkan dari saya?" suara ku sedikit tercekat, aku mulai memahami kemana arah pembicaraan pak Dadang.

"kamu hanya perlu melay4.ni saya satu kali saja, dan semua tunggakan kost kamu saya anggap lunas.." ucap pak Dadang tegas.

Dan aku benar-benar tercekat mendengar semua itu. Sungguh aku tidak pernah menyangka, kalau pak Dadang akan menawarkan hal tersebut padaku.

"maaf, pak. Saya bukan perempuan mur4han seperti itu. Saya masih punya harga diri. Saya belum pernah melakukan hal tersebut seumur hidup saya.." suara ku sedikit parau berucap demikian.

"yah... terserah kamu sih. Saya hanya coba membantu. Lagi pula, kalau mau hidup di kota besar ini, kamu harus mau sedikit berkorban.." balas pak Dadang.

"itu bukan pengerbonan yang sedikit, pak. Itu pengorbanan yang sangat besar. Saya masih suci. Dan saya hanya akan memberikannya pada suami saya kelak..." ucapku lagi.

"lagi pula, apa bapak gak takut, kalau buk Ros tahu, dia pasti akan sangat marah.." lanjutku.

"buk Ros tidak perlu tahu, selama kamu tidak buka mulut. Dan kalau pun kamu coba-coba cerita pada buk Ros, kamu bakal tahu akibatnya. Lagi pula, dia pasti tidak akan percaya akan hal tersebut.." balas pak Dadang lagi.

Kali ini aku hanya bisa terdiam. Aku tidak tahu lagi harus berkata apa. Kalau pun aku cerita pada buk Ros tentang kelakuan pak Dadang tersebut, aku pasti akan dianggap mengada-ngada, demi untuk bisa membayar tunggakan kost.

"oke... saya akan kasih kamu waktu seminggu lagi, untuk memikirkan hal tersebut. Dan jika dalam waktu seminggu, kamu tidak bisa melunasinya, kamu mestinya tahu apa yang harus kamu lakukan.." ucap pak Dadang lagi.

Dan setelah berkata demikian, pak Dadang pun pergi meninggalkan aku sendirian.

Sementara aku sendiri hanya bisa menangis mengingat semua itu.

Mengapa aku harus mengalami semua ini?

Mengapa pilihan hidupku begitu sulit?

Haruskah aku mengorbankan segalanya, hanya untuk bisa bertahan hidup di kota besar ini?

Ah.. aku benar-benar dilema.

****

Seminggu ini, aku mencoba bertahan dengan keadaan uang seadanya. Aku masih berusah untuk mencari pekerjaan. Bahkan aku juga berusaha untuk meminjam uang kepada teman-teman kuliah ku. Tapi mereka tidak bisa membantu banyak.

Aku tidak tahu lagi harus bagaimana. Sepertinya perjalanan hidupku memang harus seperti ini.

Ingin rasanya kau berhenti kuliah, tapi aku takut orangtua kecewa. Aku juga tidak ingin, beasiswa yang diberikan padaku jadi sia-sia.

Dan seminggu pun berlalu, tanpa aku bisa berbuat apa-apa untuk hidupku.

Malam itu, aku termangu sendiri di kamar ku. Meratapi perjalanan hidupku yang malang.

Hingga ku dengar suara ketukan di pintu. Aku mencoba melangkah untuk membuka pintu kamar kost tersebut. Di depan pintu telah berdiri pak Dadang, dengan senyum seringainya.

"udah seminggu, kamu udah punya uangnya?" suara pak Dadang tegas.

"maaf, pak. Saya bisa minta waktu beberapa hari lagi?" aku membalas dengan sedikit memelas.

"sesuai perjanjian kita dari awal, waktu kamu hanya seminggu. Sekarang kamu hanya punya dua pilihan, pergi dari kost ini malam ini juga, atau... kamu bisa terima tawaran saya..." ucap pak Dadang masih dengan suara tegas.

"saya gak mungkin pergi dari kost ini, pak. Saya tidak punya tempat lain di kota ini.." suaraku mulai serak.

"kalau begitu, kamu bisa pilih pilihan kedua.. gampang kan.." balas pak Dadang.

"saya... saya... gak mungkin melakukan hal itu sama pak Dadang, bagaimana kalau buk Ros tahu?" ucapku kemudian.

"udah... kamu tenang aja, buk Ros lagi ke pasar malam, dan dia gak bakal tahu.." balas pak Dadang lagi.

"tapi.. pak...." suara ku terputus.

"kalau kamu gak mau juga gak apa-apa, saya gak bakal maksa, kok. Tapi kamu harus pergi malam ini juga dari sini..." pak Dadang kembali berucap tegas.

Aku terdiam. Hening.

Tiba-tiba pak Dadang masuk dan langsung menutup pintu kamar.

"bapak mau apa?" tanyaku bergetar.

"kamu udah gak punya pilihan lain, Nirmala. Kamu harus menerima tawaran saya. Jika kamu tidak ingin di usir dari kost ini. Dan saya yakin, kamu juga tidak ingin berhenti kuliah, hanya karena tidak bisa membayar kost.." pak Dadang berucap, sambil terus mendekat.

"oke..." jawabku akhirnya, "saya mau, tapi... semua tunggakan kost saya harus lunas. Dan bapak harus memberi saya uang tambahan. Karena saya sangat butuh uang saat ini.." lanjutku.

"uang tidak masalah bagi saya, Nirmala. Kamu tenang aja, kalau kamu mau, kamu bebas kost disini selama apa pun yang kamu mau, dan saya akan beri kamu uang tambahan setiap kali kamu bisa memenuhi keinginan saya tersebut.." balas pak Dadang penuh semangat.

"tapi... saya hanya mau melakukan semua itu, selama saya belum dapat pekerjaan. Jika saya sudah dapat pekerjaan, saya tidak sudi lagi melakukannya. Dan saya akan pindah kost dari sini.." ucapku lagi.

"itu semua terserah kamu, tapi selama kamu belum punya uang untuk bayar kost, kamu harus mau memenuhi keinginan saya, kapan saya menginginkannya. Dan jangan coba-coba ceritakan hal tersebut kepada siapa pun, terutama kepada istri saya..." balas pak Dadang kemudian, dengan nada sedikit mengancam.

Dan setelah berkata demikian, pak Dadang pun mulai melakukan aksinya. Sementara aku hanya bisa terdiam. Terpaku. Dan pasrah.

Aku biarkan semuanya terjadi begitu saja. Meski rasa perih begitu tajam menggores hatiku. Aku menangis. Tapi pak Dadang tak pedulikan hal itu. Ia tetap saja melakukan aksinya.

Hingga akhirnya malam itu, pak Dadang pun berhasil mendapatkan sesuatu yang sangat berharga dalam hidupku. Sesuatu yang berusaha aku pertahankan selama ini.

****

Keesokan harinya, aku terbangun dengan perasaan penuh kesedihan dan rasa penyesalan. Aku menangis lagi, untuk kesekian kalinya. Aku benar-benar tidak berdaya menghadapi semua kenyataan ini.

Pagi itu, aku bertemu buk Ros, dan dia dengan penuh senyum menyapa ku.

"terima kasih ya, Nirmala..." ucapnya pelan.

"terima kasih... untuk apa, buk?" tanyaku ragu.

"terima kasih karena tadi malam kamu sudah melunasi semua tunggakan kost kamu, dan bahkan kamu juga sudah membayarnya untuk bulan depan..." ucap buk Ros menjelaskan.

"oh.." aku hanya membulatkan bibir, dan berusaha untuk tersenyum, walau rasa pedih masih menggores di hatiku.

Pak Dadang memang menepati janjinya. Untuk melunasi semua tunggakan kost ku, dan juga memberi aku uang tambahan. Tapi aku tidak menyangka, kalau ia juga membayar uang kost ku untuk bulan depan.

Namun apa pun itu, begitulah kehidupan yang harus aku jalani saat ini. Kehidupan yang tidak pernah aku inginkan sama sekali.

Aku tidak menyangka, kalau aku akan jadi korban dari bapak kost ku sendiri. Meski pun akhirnya aku tahu, aku bukan satu-satunya yang pernah jadi korban pak Dadang. Ia sudah terbiasa melakukan hal tersebut, kepada anak kost lainnya. Terutama bagi mereka, yang memiliki ekonomi rendah seperti ku.

Aku mencoba menerima semua itu. Mencoba menjalaninya dengan ikhlas. Setidaknya, untuk saat ini, aku tidak perlu lagi memikirkan tentang bagaimana caranya memdapatkan uang untuk membayar kost.

Sejak kejadian itu juga, pak Dadang semakin sering mendatangi ku. Ia semakin sering meminta 'jatah' padaku, terutama saat aku belum juga mendapatkan uang untuk membayar kost.

Berbulan-bulan hal itu terus terjadi. Aku tidak pernah bisa untuk menghindarinya. Aku merasa terjebak dengan semua itu. Orangtua ku memang sudah mulai kembali mengirimkan uang padaku, tapi jumlah uang yang mereka kirim jauh lebih sedikit dari biasanya.

Aku masih mencoba mencari pekerjaan yang layak. Aku masih terus berusaha memperbaiki hidupku. Tapi sepertinya, nasib memang tidak pernah memihak padaku. Dan aku harus menerima semua itu. Meski hatiku hancur karenanya.

Entah sampai kapan semua ini harus aku jalani. Entah sampai kapan, aku hidup seperti ini. Aku benar-benar hanya bisa pasrah.

Aku hanya berharap, aku bisa segera mendapatkan pekerjaan. Aku hanya berharap, semua ini cepat berlalu. Agar aku tidak lagi menjadi korban seorang laki-laki seperti pak Dadang.

Semoga saja, aku kuat menjalani semua ini. Semoga saja, ada keajaiban yang datang padaku, untuk bisa mengubah nasib ku.

Yah... semoga saja...

****

Kisah lainnya :

Anak tiri ku 

Anak tiri ku

Aku lahir dari keluarga yang kurang mampu. Ibu ku hanya seorang buruh cuci keliling, sedangkan ayah ku adalah seorang pengangguran, yang tak punya pekerjaan tetap. Selain itu, ayah ku juga suka berjudi.

Saat usia ku 15 tahun, ayahku akhirnya harus melanjutkan hidupnya di penjara, karena kasus judi dan juga KDRT. Ternyata selama ini, uang hasil kerja keras ibu ku, sebagian besarnya di minta paksa oleh ayahku, yang ia gunakan untuk berjudi.

Dan ternyata selama ini, ibu ku juga kerap mendapatkan perlakuan kasar dari ayah ku, yang membuat ibu ku akhirnya memutuskan untuk melaporkan ayah ku ke pihak berwajib.

Sejak saat itu, aku pun hidup tanpa sosok seorang ayah. Meski pun aku tidak tahu bedanya dimana, antara masih hidup bersama ayah tapi tak pernah diperhatikan, atau hidup tanpa ayah. Semuanya terasa sama bagi ku.

Sejak saat itu pula, ibu ku berusaha sendiri untuk memperbaiki kehidupan ku. Ia berusaha agar aku bisa sekolah dan mendapatkan pendidikan yang layak. Meski aku sendiri tidak menginginkan hal tersebut. Karena aku memang tidak suka sekolah.

Sebagai anak tunggal, aku memang berwatak sedikit keras. Hal itu tidak terlalu mengherankan, karena aku tercipta dari sosok seorang ayah yang hampir tidak punya hati nurani. Dan hal itu pula lah, yang membuat aku jadi tidak punya keinginan untuk sekolah, dan juga tidak punya cita-cita.

Keinginan ku cuma, aku ingin menjadi orang kaya. Karena aku sudah capek hidup miskin. Dan orangtua ku tidak mampu memenuhi keinginan ku tersebut.

Aku sekolah, hanya sampai tamat SMA. Meski pun ibuku bersikeras agar aku bisa kuliah, tapi aku dengan sangat terpaksa harus menolak keinginan ibu tersebut. Bukan apa-apa, aku hanya tidak ingin ibu membuang-buang uangnya, untuk membiayai aku kuliah, sementara aku sendiri tidak menginginkan hal tersebut.

Setelah lulus SMA, aku pun akhirnya terjerumus pada sebuah pergaulan bebas. Aku mulai mengenal dunia hitam. Aku mulai mabuk-mabukan. Aku jadi jarang berada di rumah. Aku lebih sering menghabiskan waktu bersama teman-teman sepergaulan ku.

Sudah teramat sering ibu ku menasehati ku, dan meminta aku untuk segera berubah menjadi laki-laki baik. Tapi aku selalu mengabaikannya. Karena sejujurnya, aku merasa kecewa dengan kehidupan ini.

Aku kecewa, terlahir dari keluarga miskin dan banyak masalah. Aku kecewa punya ayah seorang pengangguran dan penjudi, bahkan akhirnya di penjara. Aku kecewa karena tidak bisa memenuhi keinginan ibu ku.

Hingga pada akhirnya, saat usia ku beranjak 22 tahun, ibu ku pun akhirnya meninggal. Ibu ku meninggal karena sakit jantung yang ia derita. Dan sejak saat itu, dunia ku pun hancur lebur. Kekecewaan ku terhadap hidup semakin mendalam. Aku benci hidup ku.

Ayah ku sudah keluar dari penjara, tapi ia memilih untuk menghilang dari hidup ku. Ia bahkan tidak pernah berusaha untuk menemui ku lagi. Aku memang tak pernah dianggap ada oleh ayah ku.

****

Setelah kepergian ku ibu ku, hidup ku terasa semakin hancur. Aku kehilangan pegangan. Aku merasa sangat kesepian. Aku tidak punya siapa-siapa lagi. Dan hal itu mampu membuat ku merasa putus asa.

Hingga akhirnya aku pun memutuskan untuk pergi merantau ke kota besar. Aku ingin melarikan semua kesedihan ku, dan aku juga ingin melupakan semua kenangan masa lalu ku. Aku harus terbiasa hidup dengan kesendirian ku.

Sesampai di kota, aku mulai melakukan banyak pekerjaaan, dari jadi tukang parkir, buruh angkut, sampai buruh bangunan. Semua itu aku lakukan, hanya untuk bertahan hidup.

Sampai akhirnya aku bertemu mbak Yuni. Seorang wanita yang sudah berusia 40 tahun lebih, dan mempunyai seorang putri yang masih berusia 16 tahun waktu itu.

Mbak Yuni adalah seorang wanita karir yang sukses. Ia memiliki usaha kuliner yang cukup maju, dan sudah mempunyai banyak cabang. Mbak Yuni mengelola usahanya sendiri, karena memang mbak Yuni adalah seorang janda.

Ia bercerai suaminya sejak lebih dari lima tahun yang lalu. Karena suaminya memilih untuk menikah lagi dengan perempuan lain, yang jauh lebih muda darinya. Setidaknya begitulah cerita mbak Yuni pada ku waktu itu.

Aku mengenal mbak Yuni, karena kebetulan aku sempat bekerja di salah satu kafe nya jadi pelayan. Entah mengapa aku bisa menjadi pusat perhatian mbak Yuni waktu itu. Sehingga ia nekat untuk mengajak aku mengobrol berdua dengannya.

Semakian hari, mbak Yuni semakin penuh perhatian padaku. Aku merasa di istimewakan olehnya. Bahkan ia jadi sering mengajak aku makan malam berdua.

Awalnya mbak Yuni hanya sekedar mengobrol biasa dengan ku. Menceritakan semua kisah hidupnya padaku. Aku juga menjadi sangat terbuka padanya. Aku bahkan juga menceritakan perjalanan hidupku pada mbak Yuni. Hal itu justru membuat ia merasa iba padaku.

****

Setahun mengenal mbak Yuni dan menjadi dekat dengannya, membuat hidup ku jadi lebih punya makna. Segala perhatian mbak Yuni padaku, membuat aku merasa berharga. Merasa di penting.

Hingga akhirnya pada suatu kesempatan...

"saya mau ngomong sesuatu yang serius sama kamu, Shapta..." begitu ucap mbak Yuni awalnya, saat kami untuk kesekian kalinya, makan malam berdua di sebuah restoran mewah.

"mbak Yuni mau ngomong apa?" tanya ku setenang mungkin.

"sejak awal melihat kamu, saya sudah merasa tertarik sama kamu, Shapta. Karena itulah saya selalu berusaha untuk mendekati kamu. Saya tahu, saya sudah tidak muda lagi, tapi saya masih punya perasaan. Saya masih seorang wanita normal, yang punya rasa ketertarikan pada laki-laki..." ucap mbak Yuni.

"dan entah mengapa, semakin mengenal kamu, saya semakin suka sama kamu, Shapta. Saya merasa nyaman saat bersama kamu. Dan harus saya akui, kalau saya memang telah jatuh cinta sama kamu." mbak Yuni menarik napas sejenak.

"saya sayang sama kamu, Shapta. Apa kamu mau menjadi suami ku?" mbak Yuni mengakhiri kalimatnya dengan sebuah pertanyaan, yang membuat aku merasa jadi serba salah.

Aku memang terlahir dari keluarga miskin dan juga urakan, tapi aku juga pernah jatuh cinta dan pacaran. Aku pernah pacaran beberapa kali. Namun selama itu, selalu aku yang memulai duluan. Meski pun pada akhirnya, kisah cinta ku selalu kandas.

Tapi kali ini rasanya berbeda. Selain karena mbak Yuni jauh lebih tua dari ku, ia juga seorang janda yang sudah punya satu orang anak. Dan mbak Yuni juga yang memulai semuanya. Bahkan ia yang mengungkapkan perasaannya duluan.

Dan bukan cuma itu, mbak Yuni bukan hanya sekedar mengungkapkan perasaannya padaku, ia juga mengajak untuk menikah dengannya. Tentu saja hal itu, cukup membuat kaget dan merasa tak percaya.

Aku memang merasa nyaman saat bersama mbak Yuni, apa lagi dengan segala perhatiannya padaku selama ini. Mbak Yuni juga masih terlihat cantik dan seksi, meski sudah berusia kepala empat. Dan jujur saja, aku memang sering menjadikan mbak Yuni sebagai salah satu bahan fantasi ku selama ini.

Tapi untuk menikah dengannya, hal itu masih belum pernah terlintas di benak ku. Aku hanya tidak menduga, kalau mbak Yuni akan menawarkan hal tersebut. Aku benar-benar belum siap.

"kamu gak harus jawab sekarang kok, Shapta. Saya tahu, kamu pasti belum siap dengan semua ini..." ucap mbak Yuni kemudian, setelah melihat aku hanya terdiam.

"iya, mbak... Saya... saya masih butuh waktu untuk memikirkannya..." balasku akhirnya, dengan suara sedikit tergagap.

****

Sejak saat itu, aku pun mulai mempertimbangkan hal tersebut. Aku mulai mempertimbangkan semuanya.

Mbak Yuni adalah sosok wanita yang baik dan penuh perhatian. Dan yang paling penting dari semua itu, ia adalah wanita sukses yang kaya raya.

Bukankah sejak dulu, aku memang ingin sekali menjadi orang kaya?

Dan mungkin inilah kesempatan ku.

Karena itulah, akhirnya aku pun memutuskan untuk menerima tawaran mbak Yuni untuk menikah dengannya.

"tapi... apa anak mbak Yuni sudah mengizinkannya?" tanya ku, setelah menyatakan persetujuan ku pada mbak Yuni, saat seminggu kemudian kami bertemu lagi.

"iya... Gladis sudah mengizinkannya. Meski pun awalnya ia merasa keberatan, karena mengingat jarak usia kita yang sangat jauh. Tapi saya berhasil meyakinkannya..." balas mbak Yuni dengan raut bahagianya.

Gladis, anak tunggal mbak Yuni, yang saat itu sudah berusia 17 tahun tersebut, pernah beberapa kali bertemu dengan ku. Sepertinya ia gadis yang baik dan sopan.

"baiklah, mbak. Kalau begitu saya sudah siap untuk menikah dengan mbak Yuni. Mengenai waktu, tempat dan semuanya, saya serahkan sepenuhnya kepada mbak Yuni, karena saya tidak punya keluarga di kota ini.." ucapku kemudian.

"kalau untuk itu, kamu tenang aja, Shapta. Saya sudah mengatur semuanya." balas mbak Yuni tegas.

****

Aku dan mbak Yuni pun akhirnya menikah. Dan setelah menikah aku pun tinggal serumah dengan mereka. Mbak Yuni dan juga anaknya, Gladis.

Setelah menikah, mbak Yuni juga mempercayakan salah satu cabang kafe nya untuk aku kelola. Setidaknya untuk menutupi, kalau aku ini bukan seorang pengangguran.

Kalau ditanya apa aku bahagia? Yah.. aku bahagia.

Hidup di rumah mewah, dengan perabotan mewah. Semuanya sudah di siapkan oleh pembantu. Punya mobil mewah, dan istri yang baik. Bukankah hal itu sudah aku impikan sejak lama?

Meski pun sebagai laki-laki, aku merasa sedikit tidak nyaman, karena semua kemewahan ini bukan milik ku. Aku hanya hidup dalam kemewahan orang lain. Tapi aku coba untuk tidak peduli. Selama aku bisa melakukan apa pun yang aku suka, gak salahnya untuk menjalani semua ini.

Yang penting aku merasa bahagia, dan aku tidak perlu lagi harus bekerja keras hanya untuk bisa bertahan hidup. Aku mendapatkan semua yang aku inginkan. Meski pun di mata orang-orang agak terlihat sedikit aneh, saat aku harus pergi berdua dengan istri ku.

Biar bagaimana pun perbedaan usia kami sangatlah jauh. Tapi sekali lagi, aku pun mengabaikannya.

****

Setahun pernikahan berjalan. Semuanya berjalan dengan baik-baik saja. Hubungan ku dengan mbak Yuni, istri ku, terjalin dengan baik. Tidak pernah ada masalah yang berarti diantara kami. Mbak Yuni juga masih mampu menjalankan perannya sebagai seorang istri. Aku juga berusaha untuk menjadi suami yang baik baginya.

Sekarang Gladis, anak tiriku, sudah berusia 18 tahun. Ia juga sudah mulai kuliah. Dan ia juga tumbuh menjadi seorang gadis yang cantik.

Sebagai seorang laki-laki muda, yang masih berusia 25 tahun, aku masih punya jiwa muda yang penuh gejolak. Aku masih punya rasa ketertarikan pada gadis yang lebih muda dari ku. Dan terkadang aku tidak bisa menutupi hal tersebut.

Gladis, yang hampir setiap hari bertemu dengan ku, salah satu gadis yang berhasil menyentuh jiwa muda ku. Aku mulai merasa kagum dengannya. Aku mulai sering memikirkannya. Dan tanpa aku sadari, aku telah jatuh cinta padanya.

Yah... perasaan itu tumbuh begitu saja, tanpa aku rencanakan dan tanpa bisa aku cegah. Aku jatuh cinta pada Gladis, anak tiri ku.

Sekuat mungkin aku berusaha memendam semua perasaan itu. Aku tidak ingin terlarut di dalamnya. Biar bagaimana pun, Gladis adalah anak tiri ku. Aku tidak mungkin bisa memilikinya.

Tapi... takdir ternyata berkata lain.

Gladis, yang sejak remaja sudah kehilangan sosok seorang ayah, sudah kehilangan kasih sayang seorang ayah, dan sudah kehilangan sosok laki-laki panutan dalam hidupnya. Membuat ia cukup membuka diri kepada ku.

Kami menjadi cepat dekat dan akrab. Dan sebagai seorang ayah, aku juga berusaha untuk memberi perhatian dan kasih sayang kepada Gladis.

Semua perhatian dan kasih sayang yang aku berikan kepada Gladis, ternyata menjadi bumerang dalam hubungan kami berdua. Gladis jadi salah paham akan semua itu. Ia mulai merasa nyaman menghabiskan waktu bersama ku. Ia selalu berusaha untuk mendapatkan perhatian dari ku.

Karena sering menghabiskan waktu bersama, dan sama-sama merasa tertarik. Hal yang paling aku takutkan itu pun akhirnya terjadi. Aku dan Gladis saling jatuh cinta. Kami juga sudah saling terbuka akan perasaan kami masing-masing.

Sampai akhirnya, kami pun sepakat untuk menjalin hubungan diam-diam. Bahkan lebih parahnya lagi, aku pun berhasil merenggut sesuatu yang paling berharga milik Gladis. Kami melakukannya atas dasar suka sama suka. Dan hubungan kami sudah sangat melampaui batas.

****

Awalnya semua berjalan baik-baik saja. Kami masih mampu menyimpan semua rahasia itu. Kami masih mampu bertemu secara diam-diam, tanpa sepengetahun siapa pun, terutama mbak Yuni.

Apa lagi mbak Yuni, orang yang sangat sibuk, membuat ia hampir tidak punya waktu, untuk mencurigai hubungan ku dan Gladis. Hal itu membuat kami jadi semakin merasa leluasa, untuk melakukannya.

Tapi... sepandai apa pun tupai melompat, pada akhirnya akan jatuh juga.

Begitulah yang terjadi diantara kami. Sepandai apa pun aku dan Gladis menyembunyikan hubungan kami, pada akhirnya ketahuan juga.

Yah... mbak Yuni, istri ku, akhirnya menyadari akan kedekatan kami yang sudah di batas kewajaran. Karena merasa sudah mulai curiga, mbak Yuni pun diam-diam mulai meminta salah seorang orang kepercayaannya, untuk mengawasi kami. Sampai akhirnya kami benar-benar ketahuan, dengan segala bukti yang tidak bisa kami pungkiri lagi.

Mbak Yuni tentu saja sangat marah. Ia mengusirku dari rumahnya.

Aku dengan sangat terpaksa, harus pergi dari rumah tersebut. Aku tidak bisa membela diri lagi. Aku memang bersalah. Meski pun aku melakukan semua itu, karena Gladis juga memberikan kesempatan padaku.

Namun biar bagaimana pun, apa yang aku lakukan tersebut, bukanlah sesuatu yang bisa di maklumi. Apa yang kami lakukan, jelas adalah sebuah kesalahan besar, yang tidak bisa lagi di maafkan.

Kini aku harus menerima akibat dari semua perbuatan ku tersebut. Aku harus kehilangan Gladis, aku harus kehilangan istriku, dan aku juga harus kehilangan kehidupan mewah yang beberapa tahun ini telah aku nikmati.

Kini aku harus memulai hidupku yang baru. Meski aku tidak tahu harus memulainya dari mana. Aku kembali kehilangan semangat. Aku kembali kehilangan tujuan. Aku benar-benar tidak tahu lagi, harus melakukan apa.

Aku hanya berharap, semoga ke depannya aku bisa jadi lebih baik. Semoga aku tidak lagi melakukan kesalahan yang sama.

Yah... semoga saja..

****

Kisah lainnya :

Bersama sopir truck gagah

Cari Blog Ini

Layanan

Translate