Bersama mama teman ku

Aku seorang lelaki yang sudah berusia 22 tahun saat ini. Aku bekerja jadi seorang tukang parkir di sebuah mini market. Aku menjadi seorang tukang parkir sudah hampir empat tahun lamanya, setidaknya sejak aku lulus SMA.

Aku tidak kuliah, karena memang aku berasal dari keluarga yang kurang mampu. Apa lagi sejak aku lulus SMA, ayah ku sudah meninggal dunia, karena penyakit jantung yang ia derita. Sedangkan ibu ku yang sudah menua, juga mulai sering sakit-sakitan.

Sejak saat itu, aku otomatis menjadi tulang punggung keluarga ku. Aku harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup kami, dan juga untuk biaya sekolah adik-adik ku yang masih kecil-kecil. Dua adik ku masih bersekolah, dan masih butuh biaya banyak.

Menjadi tukang parkir adalah satu-satunya keahlian ku saat ini, dan juga merupakan satu-satunya sumber pendapatan ku. Meski pun sebenarnya, pendapatan ku sebagai seorang tukang parkir tidaklah pernah cukup untuk biaya hidup kami. Tapi setidaknya, aku masih punya penghasilan dan tidak harus jadi seorang pengemis.

Bertahun-tahun menjadi tukang parkir, membuat aku harus terbiasa hidup dalam kekurangan. Aku harus bisa berhemat, demi biaya hidup keluarga ku dan juga demi biaya sekolah adik-adik ku. Aku harus bisa menahan segala keinginan ku, terutama untuk hal-hal yang bersifat kemewahan.

Aku juga jadi jarang nongkrong, aku jadi hampir tidak punya teman. Dan bahkan aku belum pernah pacaran sama sekali, meski pun aku sudah sering merasa jatuh cinta pada gadis-gadis yang pernah aku kenal. Namun aku merasa cukup sadar diri, dan tidak pernah berani untuk mengungkapkan hal tersebut. Aku hanya bisa memendamnya.

Sampai pada suatu saat....

"kamu Bara kan?" suara lembut seorang wanita bertanya padaku, saat aku sedang beristirahat di teras ruko mini market tersebut.

Aku mencoba menatap wanita tersebut dengan seksama. Mencoba mengenalinya. Tapi aku tidak berhasil mengingat wanita tersebut. Apa lagi menurut ku wanita itu, sudah cukup berumur. Mungkin sudah hampir 40 tahun usianya.

"iiya... tante... saya Bara... Tapi.. maaf... tante siapa ya?" balasku akhirnya walau dengan sedikit terbata.

"oh.. kamu sudah gak ingat sama tante ya? Saya tante Caca, mama nya Derry, teman SMA kamu dulu." balas wanita tersebut, sedikit bersemangat.

Sepintas pikiran ku pun melayang ke masa-masa SMA dulu. Aku dulu memang pernah punya beberapa orang teman dekat, ketika SMA. Salah satunya ya Derry, teman ku yang paling dekat. Dulu Derry sering mengajak aku main ke rumahnya, bahkan kadang aku juga sampai menginap di rumahnya.

"oh.. iya.. tante.. sekarang saya ingat..." balasku pelan.

"kamu jadi tukang parkir sekarang?" tanya tante Caca dengan suara datar, yang membuat ku jadi tidak bisa untuk tersinggung.

"iya.. tante..." balasku masih pelan.

"kamu gak kuliah?" tante Caca bertanya kembali.

Aku hanya menggeleng menjawab pertanyaan tersebut.

"Derry gimana tante? Kuliah dimana ia sekarang?" aku mencoba bertanya untuk mengalihkan pembicaraan.

"oh.. Derry sekarang sedang kuliah di luar negeri, ikut papa nya disana.." balas tante Caca, sedikit lemah.

"sekarang tante hanya tinggal sendirian di rumah, sejak Derry dan papanya harus pindah ke luar negeri.." tiba-tiba tante Caca melanjutkan ucapannya.

"kenapa tante gak ikut kesana?" tanya blak-blakan.

Ku lihat tante Caca sedikit menghembuskan napas berat..

"panjang ceritanya, Bara..." balasnya terdengar sangat lemah.

****

Sejak saat itu, tante Caca semakin sering berbelanja di mini market tempat aku menjadi tukang parkir tersebut. Aku tidak tahu alasan apa sebenarnya yang membuat tante Caca jadi sering datang ke tempat aku bekerja. Tapi yang pasti, setiap kali ia datang, ia selalu berusaha untuk mengajak aku mengobrol. 

Dan bahkan ia juga jadi sering mengajak aku makan siang berdua dengannya. Kebetulan di samping mini market tersebut memang ada sebuah rumah makan, sehingga aku jadi tidak punya alasan untuk menolak ajakannya tersebut.

Dan semakin hari kami semakin akrab dan dekat. Tante Caca jadi sangat baik padaku. Ia jadi penuh perhatian padaku. Ia pun akhirnya dengan blak-blakan menceritakan semua kisah rumah tangganya padaku.

Tante Caca cerita, kalau dulu ia memang menikah dengan seorang bule yang berasal dari negeri Jerman. Pernikahan mereka pun menghasilkan seorang anak, yaitu Derry. Namun pernikahan mereka harus kandas, karena sang suami harus kembali ke Jerman.

Tante Caca sendiri tidak ingin ikut suaminya ke Jerman, karena ia punya bisnis sendiri yang harus ia kelola. Sementara anak mereka, Derry, setelah tamat SMA, harus kuliah di Jerman demi memenuhi keinginan papanya.

Sejak saat itu, tante Caca jadi hidup seorang diri di sebuah rumah mewah, di kawasan perumahan elit, yang berada tidak terlalu jauh dari mini market tempat aku bekerja.

Setidaknya begitulah cerita tante Caca padaku, perihal perjalanan hidup dan rumah tangganya.

"kadang... saya juga sering merasa kesepian, karena hanya tinggal sendirian di rumah..." ucap tante Caca suatu saat padaku.

"kenapa tante gak menikah lagi?" tanyaku membalas.

"tante pernah coba menjalin hubungan yang serius dengan seorang laki-laki, tapi tidak berhasil. Karena pada akhirnya tante tahu, kalau laki-laki itu hanya mengejar harta tante. Ia hanya sekedar memanfaatkan tante, bukan untuk hubungan yang serius.."

"sejak saat itu, tante jadi lebih berhati-hati dalam menjalin hubungan dengan laki-laki mana pun. Karena tante tidak ingin merasakan kekecewaan lagi. Tante memilih hidup sendiri, dari pada harus bersama laki-laki yang salah.." cerita tante Caca lagi.

"kamu sendiri gimana, Bar? Kamu udah punya pacar?" tiba-tiba tante Caca bertanya demikian, setelah suasana hening tercipta sesaat di antara kami.

"saya mana sempat mikiran soal pacar tante. Saya bisa makan dari hari ke hari saja udah syukur.." balasku pilu.

Sebenarnya, aku juga sudah cerita kepada tante Caca tentang kehidupan yang aku jalani. Tentang ibu ku yang sering sakit-sakitan, tentang ayahku yang sudah lama meninggal, dan tentang aku yang harus menjadi tulang punggung keluarga, dengan menjadi seorang tukang parkir.

"sayang loh, Bar. Kamu tu tampan, gagah.. dan punya daya tarik yang kuat. Jangan cuma karena kamu merasa kurang secara ekonomi, membuat kamu jadi kehilangan percaya diri. Padahal tante yakin, pasti banyak gadis-gadis yang suka sama kamu.." balas tante Caca.

"saya tidak bisa menjanjikan apa-apa untuk siapa pun, tante. Yang pasti saat ini, saya hanya ingin bekerja untuk membiayai hidup keluarga saya. Saya harus bisa menyekolahkan adik-adik saya, hingga mereka bisa menjadi orang sukses.." ucapku lagi, dengan nada cukup lemah.

"tante bisa bantu kamu, Bara.. Kalau kamu mau.." ucap tante Caca kemudian.

"saya jadi gak enak, tante... Tante sudah sangat baik padaku selama ini...." balasku.

"udah.. kamu santai aja... saya bisa bantu kamu untuk memenuhi semua kebutuhan hidup kamu dan juga untuk biaya sekolah adik-adik kamu. Atau bahkan kalau kamu mau, kamu gak usah jadi tukang parkir lagi, kamu kerja sama tante aja..." ucap tante Caca selanjutnya.

"tapi... saya .. cuma lulusan SMA, tante. Saya juga gak punya keahlian apa-apa.." balasku pelan.

"kamu tenang aja... kalau kamu mau bekerja sama tante, nanti akan ada yang bimbing kamu sampai kamu bisa. Dan semua biaya hidup kamu, juga biaya sekolah adik-adik kamu, bahkan biaya berobat ibu kamu juga, tante yang tanggung.. tapi.. ada syaratnya..." ucap tante Caca lagi.

"apa syaratnya, tante?" tanyaku jadi penasaran.

"nanti kamu juga pasti tahu.. sekarang, kamu bisa ikut tante dulu.." balas tante Caca sedikit misterius.

"ikut... ikut kemana?" tanya ku lagi sedikit polos.

"kita ke rumah tante dulu sekarang... setelah itu kita baru ke kantor tante, untuk bahas masalah pekerjaan baru kamu... gimana?" balas tante Caca sedikit bertanya.

"ya udah.. terserah tante aja.. saya ikut aja.." balasku akhirnya pasrah.

****

Lima belas menit kemudian, kami pun sampai ke sebuah rumah mewah milik tante Caca. Dengan perasaan sungkan, aku pun mencoba mengikuti langkah kaki tante Caca untuk memasuki rumah tersebut.

Tante Caca mempersilahkan aku duduk di ruang tamu rumahnya yang sangat mewah tersebut. Sementara ia sendiri pergi ke dapur untuk mengambil minum katanya.

Tak lama kemudian, tante Caca kembali dengan membawa dua botol air minum di tangannya. Ia pun menyerahkan sebotol minuman dingin tersebut padaku.

"jadi tante tinggal sendiri di rumah semewah ini?" tanyaku memulai pembicaraan lagi.

"iya..." balas tante Caca ringan.

"gak ada pembantu?" tanyaku lagi.

"ada sih.. tapi mereka hanya datang, jika aku membutuhkan mereka. Kalau aku tidak butuh, mereka gak bakal ada di rumah ini..." balas tante Caca lagi.

"oh. ..gitu.." ucapku sambil manggut-manggut.

"jadi gimana? Kamu bersedia kerja sama tante? Dan bersedia juga memenuhi syarat dari tante?" tanya tante Caca kemudian.

"saya bersedia tante.. tapi.. apa syaratnya?" balasku bertanya.

"syaratnya... hmmm... kamu harus mau jadi pacar tante..." suara tante Caca cukup berat.

"hah.. pacar?!" suaraku tercekat, kaget. Hampir tak percaya juga, kalau tante Caca akan berkata demikian.

"iya.. kamu mau kan jadi pacar tante? Dan jika kamu mau, selain kamu dapat pekerjaan yang layak, kamu juga akan dapatkan semua kemewahan ini.." ucap tante Caca lagi.

"tapi.. saya... saya..." suara ku masih tercekat.

"udahlah, Bara. Tante tahu, kamu pasti sudah bosan hidup menjadi orang miskin. Sekarang kamu punya kesempatan untuk merubah hidup kamu. Hanya dengan menjadi pacar tante, hidup kamu pun berubah jadi lebih baik.." ucap tante Caca lagi, yang membuat aku kian tercekat.

Aku terdiam. Sejujurnya tante Caca benar. Aku memang sudah bosan hidup dalam kemiskinan. Tapi.. apa aku harus mengorbankan harga diri ku, hanya untuk bisa hidup mewah, seperti yang aku impikan selama ini? Bathin ku meragu.

"semua terserah padamu, Bara. Tante tidak akan memaksa kamu. Pilihan ada di tangan mu. Tapi.. kalau menurut tante, tidak ada salahnya kan kalau kamu mencobanya? Toh.. semua juga demi kebaikan kamu. Kamu juga gak mungkin selamanya jadi tukang parkir, kan?" tante Caca berucap lagi.

****

Aku kembali ke rumah dengan perasaan penuh dilema. Tawaran tante Caca benar-benar mengganggu pikiran ku. Meski pun jujur saja, secara fisik, tante Caca masih cukup menarik. Tapi biar bagaimana pun, usia kami terpaut sangat jauh. Apa lagi, tante Caca juga merupakan Mama dari teman ku sendiri.

Bagaimana kalau orang-orang tahu? Bagaimana kalau ibu ku juga tahu?

Bukankah, jika aku menerima tawaran tersebut, itu berarti aku hanya memanfaatkan tante Caca. Bukan karena aku menyukainya apa lagi mencintainya?

Namun jika aku menolak, kapan lagi aku punya kesempatan untuk bisa merasakan hidup mewah seperti yang aku impikan selama ini? Aku juga tidak ingin selamanya jadi tukang parkir.

Dengan bekerja bersama tante Caca, aku jadi punya penghasilan yang besar, dan aku jadi bisa mengumpulkan uang, untuk aku jadikan modal nantinya. Setelah aku punya modal, aku akan buka usaha ku sendiri, dan setelah itu, aku akan meninggalkan tante Caca.

Setidaknya begitulah rencana ku untuk saat ini. Hanya saja, yang aku takutkan, bagaimana aku harus menjalani hari-hari ku dengan menjadi pacar tante Caca? Pasti akan sangat berat bagi ku.

Apa lagi tante Caca adalah seorang janda. Tentu saja hubungan kami bukan hanya hubungan pacaran yang biasa. Tentu saja, tante Caca, pasti akan menuntut lebih padaku. Dan sejujurnya aku belum siap untuk hal itu. Mengingat aku bahkan belum pernah pacaran sama sekali selama ini.

"justru karena kamu belum pernah pacaran, hal ini akan menjadi sangat menarik, Bara. Kamu pasti tidak akan pernah menyesalinya.." suara tante Caca sedikit mengagetkan ku, saat akhirnya, keesokan harinya, aku datang juga ke rumah tante Caca lagi.

Aku memang sudah membuat keputusan. Tapi aku juga ingin mengajukan syarat pada tante Caca.

"aku mau jadi pacar tante, tapi aku juga punya syarat.." ucapku akhirnya.

"syarat apa?" tanya tante Caca tegas.

"aku ingin hubungan kita hanya menjadi rahasia di antara kita berdua. Aku tidak ingin orang-orang tahu, kalau kita pacaran.." balasku berusaha tegas.

"oke... tante juga setuju.. Tante juga tidak ingin orang-orang tahu, kalau tante pacaran sama brondong.. Tapi yang pasti, kamu harus selalu ada kapan pun saya membutuhkan kamu.." ucap tante Caca membalas.

"saya siap untuk itu, tante.." balasku pelan.

****

Dan begitulah, sejak saat itu, aku dan tante Caca pun berpacaran. Meski pun itu semua hanya menjadi rahasia kami berdua.

Tante Caca pun memberi aku sebuah pekerjaan di kantornya. Dan aku sudah tidak lagi menjadi seorang tukang parkir. Aku juga di beri sebuah motor, agar bisa aku gunakan untuk aku berangkat kerja.

Hanya saja, hampir setiap malam, tante Caca selalu meminta aku untuk datang ke rumahnya. Bahkan kadang kala, ia juga meminta aku untuk menginap. Aku tidak bisa menolak hal tersebut. Biar bagaimana pun, itu adalah bagian dari perjanjian kami.

Aku pun mencoba menjalani itu semua. Aku mencoba memberikan yang terbaik untuk tante Caca. Aku ingin ia merasa terkesan dengan ku. Aku ingin ia yakin, kalau aku bersungguh-sungguh dengan hubungan tersebut. Sambil aku tetap menjalankan semua rencana ku dari awal.

Aku mungkin telah kehilangan harga diri ku sebagai seorang laki-laki. Tapi setidaknya, aku jadi punya kesempatan untuk bisa merubah hidupku, jadi lebih baik. Suatu saat nanti, semua ini pasti akan berlalu, dan aku pasti bisa terbebas dari tante Caca.

"kenapa harus aku?" tanya ku pada tante Caca, suatu malam, saat untuk kesekian kalinya, aku kembali berada di rumahnya.

"karena kamu sangat tampan dan gagah sekali, Bara. Sudah lama aku tidak bertemu laki-laki sesempurna kamu. Karena itu, aku rela melakukan apa saja, untuk bisa memiliki kamu.." balas tante Caca terdengar apa adanya.

Aku merasa tersanjung. Tapi tetap saja, hal itu tidak membuat aku jadi jatuh hati pada tante Caca. Aku masih merasa terpaksa melakukan itu semua. Namun aku berusaha bersikap, kalau aku juga menyukainya, terutama di depan tante Caca.

Aku hanya berharap, semua itu cepat berlalu. Aku hanya berharap, semoga aku bisa secepatnya mengumpulkan uang, agar aku bisa membuka usaha ku sendiri, dan tidak lagi bergantung pada tante Caca. Semoga saja aku mampu melewati ini semua.

Yah... semoga saja...

****

Mama Muda (Part 2)

Sejak kejadian malam itu, aku dan Aida pun semakin dekat dan akrab. Kami juga sudah saling bertukar nomor WA, dan juga sudah saling follow aku media sosial masing-masing.

Semenjak sudah punya nomor WA ku, Aida pun jadi sering menghubungiku. Sekedar menanyakan kabar, dan juga menanyakan kegiatan ku, hampir setiap harinya.

Dan bahkan Aida pernah beberapa kali mengajak aku makan malam berdua, saat aku libur kerja. Aida juga sangat terbuka padaku, terutama tentang masalah rumah tangga nya.

Aku pun sejujurnya, juga merasa senang akan hal tersebut. Aku merasa bahagia bisa menjadi dekat dengan Aida. Aku senang bisa menjadi pendengar yang baik baginya.

Hingga tanpa aku sadari, ternyata rasa kagum mulai tumbuh di hati ku untuk Aida. Aku jadi sayang padanya. Dan bahkan mungkin aku juga telah jatuh cinta padanya. Hampir setiap malam, aku selalu membayangkan senyum Aida yang manis, atau suaranya yang lembut.

Aku jadi sering rindu padanya, bila sehari saja tak jumpa dengannya, atau sekedar mendapat chat darinya. Sekarang, aku yang jadi sering berkirim pesan padanya. Sekedar bertanya kabar tentangnya, atau hanya sekedar basa-basi, untuk pelepas rindu ku padanya.

Aku tahu, kalau perasaan yang tumbuh di hati ku untuk Aida, adalah sebuah kesalahan. Biar bagaimana pun, Aida sudah menikah dan juga sudah punya dua orang anak. Tapi aku tidak bisa memungkiri itu semua. Perasaan telah berperan dalam kisah ku ini. Kisah yang aku sendiri tidak tahu, entah seperti apa akhirnya.

Namun yang pasti saat ini, aku merasa sangat bahagia, bisa menghabiskan hari-hari ku bersama Aida. Aku ingin selalu bersamanya. Meski pun kadang, aku jadi sering menelan ludah pahit, setiap kali aku mengingat asa ku tentang Aida. Asa untuk bisa memilikinya.

Cinta itu rumit. Dan saat ini, aku sedang terjebak dalam kerumitan cinta tersebut. Aku jadi dilema. Antara terus berjuang, atau mundur teratur, sebelum semuanya menjadi semakin dalam dan kacau.

Jika aku terus bertahan dengan tetap dekat dan menjalin pertemanan dengan Aida, itu artinya aku harus siap menanggung kekecewaan. Karena biar bagaimana pun, Aida jelas tidak akan mungkin bisa aku miliki.

Namun jika aku mundur, dan mulai menjaga jarak. Itu artinya, aku harus siap terluka, karena harus memendam perasaan ku dan belajar untuk melupakan orang yang telah membuat aku jatuh cinta.

Ah, cinta...

Mengapa harus menjadi serumit ini?

****

Dan sang waktu pun masih terus berputar, tanpa bisa dicegah atau pun di pacu. Aku masih dengan perasaan cinta ku terhadap Aida. Kami juga masih terus bersama, walau pun hubungan kami hanya sebatas teman biasa.

Hingga pada suatu saat, Aida sengaja mengajak aku malam malam berdua lagi, untuk kesekian kalinya. Tapi kali ini, terasa ada yang berbeda bagiku. Aida terlihat sedikit agak murung. Tidak seperti biasanya, wajahnya selalu di hiasi dengan senyum manisnya.

"ada apa, mbak Aida? Mbak Aida lagi ada masalah?" aku bertanya demikian akhirnya, setelah beberapa saat tadi pesanan kami datang.

"sebenarnya... ada yang ingin aku ceritakan sama kamu, Do. Tapi..."

"mbak cerita aja, gak usah merasa sungkan seperti itu. Saya siap mendengarkannya.."

"entah mengapa.. akhir-akhir ini, aku merasa kalau suami ku jadi semakin jarang berada di rumah. Setiap kali aku bertanya, ia selalu beralasan kalau ia lagi banyak kerjaan di luar kota. Padahal, menurut teman ku yang juga bekerja di kantornya, suami malah sebenarnya jarang ada kerjaan di luar kota."

"aku jadi curiga. Tapi.. aku tidak berani mengutarakan hal tersebut pada suami ku. Aku takut ia marah dan tersinggung..."

Begitu cerita Aida akhirnya.

"aku sangat menyayangi suami ku, meski pun ia sangat jarang berada di rumah. Dulu sebelum menikah, kami sempat pacaran selama dua tahun. Dulu, aku juga bekerja di kantor tempat suami ku bekerja saat ini. Dari situlah kami pun saling kenal."

"setelah beberapa bulan saling kenal, kami pun memutuskan untuk menjalin hubungan yang serius. Kami pacaran selama dua tahun, kemudian memutuskan untuk menikah. Namun suami ku tidak ingin aku bekerja lagi. Ia hanya ingin, agar aku menjadi ibu rumah tangga biasa saja."

"aku mencoba untuk mengikuti keinginan suami ku tersebut. Aku pun berhenti bekerja, setelah kami menikah. Pernikahan kami pun berjalan dengan sangat bahagia. Hingga kami sudah punya dua orang anak."

"namun entah mengapa, akhir-akhir ini, aku merasakan kalau suami mulai berubah. Sebagai seorang istri, aku dapat dengan jelas merasakan perubahan tersebut. Bahkan, suami ku sudah hampir dua bulan belakangan ini, tidak lagi pernah menyentuh ku."

"aku pernah coba untuk memintanya, tapi ia selalu beralasan, kalau ia sangat capek, dan tak ingin di ganggu. Aku mencoba untuk bersabar, menghadapi perubahan suami ku. Tapi... sebagai seorang wanita, dan juga sebagai seorang istri, tentu saja aku punya batas kesabaran, terutama untuk kebutuhan biologis ku."

Aida melanjutkan ceritanya dengan cukup panjang lebar.

"mbak Aida yang sabar, ya... Pasti ada alasan di balik perubahan suami mbak Aida.." hanya kalimat tersebut, yang dapat aku ucapkan, sabagai tanggapan atas cerita Aida barusan.

"iya, Do.. Terima kasih ya, udah mau mendengarkan aku bercerita.."

"santai aja, mbak. Kita kan teman. Jadi sudah sewajarnya, kalau saya bisa menjadi tempat curhat buat mbak Aida."

Kali ini Aida hanya membalas dengan senyum manisnya.

****

Setelah hari itu, tiba-tiba Aida menghilang. Pesan ku tak pernah lagi ia balas. Setiap kali aku telpon, selalu ditolaknya. Ia juga tidak pernah lagi datang ke mini market untuk berbelanja seperti biasanya.

Aku jadi bingung, kenapa Aida tiba-tiba berubah dan menghilang? Ia seakan sengaja untuk menghindari ku. Entah kenapa dan entah apa salah ku?

Dalam kebingungan ku, aku mencoba untuk bersabar dan berusaha untuk mengerti. Mungkin Aida sudah tidak ingin berteman lagi dengan ku. Mungkin ia dapat merasakan kalau aku sudah jatuh cinta padanya.

Aku merasa kecewa. Hari-hari ku jadi muram tanpa warna. Tak lagi ku baca pesan-pesan singkat darinya. Tak lagi ku dengar tawa renyahnya yang menghibur hati. Tak lagi bisa kulihat senyumnya yang manis dan menawan. Aku kehilangan semua itu, hanya dalam waktu yang sangat singkat.

Aku benar-benar tidak tahu apa maksud Aida dengan semua ini. Kenapa ia datang dalam kehidupan ku, dan membuat aku jatuh cinta padanya. Namun kemudian ia pun menghilang tanpa kabar, di saat aku benar-benar telah jatuh hati padanya. Di saat aku mulai menyayangi dan membutuhkannya.

Mimpi yang mulai aku bangun secara pelan-pelan tersebut, kini hancur berantakan. Khayalan ku tentang Aida, tidak lagi seindah dulu. Aku di himpit perasaan ku sendiri. Aku dipaksa untuk menelan kekecewaan. Aku di paksa untuk berhenti, bahkan ketika semuanya belum di mulai. Kisahku dan Aida seakan usai tanpa ada permulaan.

Kini, aku hanya bisa merajut hati ku kembali, yang menyadarkan ku, bahwa cinta ku pada Aida memang adalah sebuah kesalahan. Cinta ku pada Aida adalah mimpi yang tidak mungkin terwujud.

****

Berbulan-bulan berlalu, semenjak aku tidak lagi mendapat kabar apa pun dari Aida. Aku mencoba menjalani hari-hari ku, meski kadang itu terasa sangat berat. Aku belajar untuk melupakan Aida, meski selalu saja senyum manisnya melintas di pikiran ku.

Hingga pada suatu kesempatan, tiba-tiba Aida menghubungi ku. Ia mengajak aku ketemuan, di tempat biasa kami bertemu. Awalnya aku ingin menolak, namun aku juga merasa penasaran, kenapa Aida tiba-tiba mengajak aku bertemu, setelah berbulan-bulan ia menghilang.

"aku minta maaf..." itu kalimat pertama yang di ucapkan Aida, saat akhirnya kami bertemu di kafe tersebut.

"aku minta maaf, karena sudah berbulan-bulan aku tidak memberi mu kabar. Aku minta maaf, karena selama ini aku selalu mengabaikan pesan-pesan dari mu. Aku juga minta maaf, karena tidak bisa mengangkat telepon dari mu..."

"beberapa bulan belakangan ini, aku sibuk mengurusi persoalan rumah tangga ku. Aku sibuk mengurusi perceraian ku dengan suami ku. Aku jadi tidak punya waktu, untuk melakukan hal lain.."

Aida berucap dengan nada penuh keseriusan.

"setelah pertemuan terakhir kita hari itu, aku mencoba menyelidiki suami ku. Mencari tahu, apa yang menyebabkannya berubah. Sampai akhirnya aku tahu, kalau ternyata suami ku, telah menikah lagi. Dan itu ia lakukan, sudah hampir setahun. Bahkan istri barunya juga sedang hamil.."

"aku tentu saja merasa sangat kecewa dengan semua itu. Aku marah. Dan aku meminta cerai dari suami ku. Aku tidak sudi lagi, hidup bersama laki-laki yang telah mengkhianati ku."

"aku menuntut cerai dari suami ku. Aku meminta hak asuh anak-anak ku sepenuhnya. Tapi suami ku menolak, karena ia juga ingin memiliki hak asuh terhadap anak-anak kami. Karena itulah, proses perceraian kami berjalan sangat lama."

"walau pun akhirnya, hak asuh anak-anak jatuh padaku. Tapi suami ku tidak memberi sepersen pun harta gono gini padaku, kecuali rumah yang kami tempati selama ini. Dan rumah itu pun terpaksa aku jual, untuk biaya hidup kami."

"saat ini, untuk sementara aku dan anak-anak tinggal bersama adik ku. Untunglah aku juga sudah dapat pekerjaan. Jadi mungkin ke depannya, kami akan mencari rumah kontrakan, untuk bisa kami tempati. Karena tidak mungkin selamanya kami tinggal di rumah adik ku tersebut.."

"sekarang.. aku sudah bebas dari suami ku. Hanya saja, aku harus menata hidup ku kembali, menata hati ku juga. Mungkin akan butuh waktu yang cukup lama, tapi aku pasti bisa melewati semua ini.."

begitulah cerita Aida panjang lebar pada ku malam itu. Aku jadi merasa tersentuh mendengar ceritanya. Hati ku yang tadinya merasa marah dan kesal, kini luluh, berganti rasa iba dan bangga. Aku bangga melihat betapa tegarnya Aida menghadapi semua itu. Hal itu juga membuat aku semakin kagum padanya.

Ternyata selama ini, aku telah salah sangka pada Aida. Aku pikir, Aida sengaja menghindari dan menjauh dari ku. Tapi ternyata, ia hanya tidak ingin aku terlibat dalam persoalan rumah tangganya. Ia tidak ingin membuat aku merasa ikut terbebani dengan persoalan yang sedang ia hadapi.

****

Bersambung...

Mama Muda (part 1)

Nama ku Edo. Usia ku sudah 28 tahun. Dan saat ini aku sudah bekerja menjadi seorang karyawan di sebuah mini market. Aku seorang sarjana sebenarnya. Namun karena tidak satu pun lamaran kerja ku yang diterima oleh perusahaan-perusahaan tempat aku melamar kerja, aku pun harus berpuas diri meski hanya menjadi karyawan di sebuah mini market.

Gaji yang aku terima memang tidak seberapa, tapi masih cukup untuk biaya hidup ku sehari-hari dan untuk membayar uang kost setiap bulannya.

Aku kost sendirian di sebuah tempat kost-kost-an yang kamar nya cukup kecil, dengan harga yang murah. Karena memang aku sudah mulai merantau sejak aku kuliah. Dan aku sudah terbiasa hidup sendirian di kota yang besar ini.

Orangtua dan semua keluarga ku tinggal di kampung, yang jaraknya sangat jauh dari kota tempat aku tinggal. Sejak tinggal di kota aku memang jarang pulang, terutama setelah aku lulus kuliah. Selain karena memang tidak ada ongkos pulang, aku juga merasa malu, jika pulang dalam keadaan belum sukses seperti saat ini.

Aku anak kedua dari kami tiga bersaudara. Kakak ku yang perempuan sudah menikah dan sudah punya dua orang anak di kampung. Adik perempuan ku juga sudah menikah. Aku laki-laki satu-satunya di keluarga kami dan belum menikah. Hal itu juga menjadi salah satu alasan bagi ku, kenapa aku jadi jarang pulang.

Aku sendiri sebenarnya pernah berpacaran beberapa kali. Tapi selalu saja hubungan ku harus berakhir dengan sangat menyakitkan, dengan berbagai alasan. Terutama karena memang aku seseorang yang berasal dari keluarga kurang mampu, dan belum memiliki masa depan yang jelas.

Untuk saat ini pun, aku jadi kurang percaya untuk mendekati perempuan yang aku suka, karena kehidupan ku secara ekonomi masih jauh dari kata mapan. Karena itu lah, aku memilih untuk tidak berpacaran lagi, setidaknya sampai aku punya pekerjaan yang lebih baik.

****


 

Sebagai seorang karyawan di mini market, aku memang hampir setiap hari bertemu orang-orang. Baik itu orang-orang baru, mau pun orang yang sama. Dan Aku mencoba  menikmati hal tersebut, meski pun sebenarnya itu bukanlah kehidupan yang aku inginkan.

Aku punya cita-cita, aku punya keinginan. Namun untuk saat ini, yang bisa aku lakukan, hanyalah mencoba menjalani ini semua dengan berlapang dada. Aku berusaha untuk melakukan yang terbaik yang aku bisa.

Di samping itu, aku masih terus mencoba untuk mengajukan lamaran pekerjaan ke perusahaan-perusahaan yang sesuai dengan bidang dan keahlian ku. Terutama perusahaan-perusahaan yang menurutku memiliki prospek yang baik ke depannya.

Sebagai seorang laki-laki aku memang punya cita-cita yang cukup tinggi. Aku ingin punya pekerjaan dengan gaji yang fantastik, agar aku bisa mengumpulkan uang yang banyak, untuk nantinya aku jadikan modal, untuk membuka usaha ku sendiri. Lalu kemudian, aku akan bisa melamar gadis yang aku inginkan.

Setidaknya begitulah cita-cita ku untuk saat ini. Meski pun aku sadar, hal itu tidak akan mudah untuk aku wujudkan. Tapi setidaknya aku akan selalu berusaha untuk mewujudkannya.

****

Ada seorang pelanggan perempuan yang sering datang berbelanja ke mini market tempat aku bekerja saat ini. Perempuan itu sebenarnya masih cukup muda, mungkin berkisar 30 tahun usianya. Dan dia sudah menikah dan sudah punya dua orang anak. Hal itu aku ketahui, karena dia sering datang bersama suami dan dua orang anaknya, untuk berbelanja.

Perempuan itu berwajah manis, dengan hidung sedikit mancung. Tubuhnya cukup berisi, namun tidak terbilang gendut. Cukup montok sih, kalau menurut saya. Intinya secara fisik perempuan itu masih cukuup menarik. Tipe mama muda jaman sekarang.

Kami sudah pernah mengobrol beberapa kali, terutama saat ia datang sendirian ke mini market. Ia sering bertanya pada ku tentang letak barang-barang yang ia cari. Aku selalu berusaha memberikan pelayanan yang terbaik, sebagai seorang karyawan di mini market tersebut.

Aku bekerja secara shift, kadang aku masuk pagi sampai sore, kadang juga masuk sore sampai malam. Mini market tempat bekerja, memang cukup ramai, dan biasanya kami tutup sampai jam dua belas malam.

Ada beberapa orang karyawan yang bekerja di mini market tersebut. Dan semuanya sudah punya tugasnya masing-masing. Ada yang jadi kasir, ada yang bertugas menyusun barang-barang di rak-rak yang sudah ada. Dan ada juga yang bertugas mengangkut barang-barang yang datang.

Hingga pada suatu malam, saat itu hampir jam dua belas malam. Mini market sudah mau kami tutup. Tiba-tiba hujan turun sangat deras, di iringi suara gemuruh petir dari kejauhan. Saat itu, kebetulan perempuan yang aku ceritakan tadi, juga sedang berada di sana.

Aku dan perempuan itu pun duduk di kursi yang ada di teras mini market tersebut, sambil sedikit mengobrol. Sementara karyawan-karyawan lain, ada yang sudah pulang, ada yang masih berada di dalam mini market, dan ada juga yang duduk-duduk di sisi lain teras mini market itu.

Saat itulah, tanpa sengaja aku pun berkenalan dengan perempuan tersebut. Ternyata perempuan itu bernama Aida. Setidaknya begitulah pengakuannya padaku, saat kami berkenalan. Ia juga mengaku, kalau ia sudah hampir delapan tahun menikah, dengan suaminya yang sekarang.

Suaminya adalah seorang kontraktor alat berat, yang tentu saja jarang berada di rumah. Karena suaminya lebih banyak menghabiskan waktu di tempat kerja. Terutama saat suaminya harus bekerja di luar kota, karena ada proyek di sana.

Kedua anaknya juga masih kecil-kecil. Yang satu sudah berusia tujuh tahun, dan yang bungsu baru berusia, dua tahun. Mereka tinggal di sebuah perumahan elit, tak jauh dari mini market tersebut. Di rumahnya yang cukup besar itu, Aida sering tinggal hanya bertiga bersama anak-anaknya, karena suaminya jarang pulang.

Setidaknya begitulah cerita Aida padaku, malam itu. Entah mengapa ia begitu gamblangnya menceritakan hal tersebut padaku. Padahal kami baru saja saling berkenalan, meski pun selama ini kami sudah sering bertemu di mini market tersebut.

Aku juga berusaha untuk menjadi pendengar yang baik bagi Aida malam itu. Mungkin ia memang butuh seseorang untuk bisa mendengarkan ia bercerita. Apa lagi, saat itu, hujan belum juga reda.

****

"jadi sekarang anak-anak mbak Aida tinggal berdua di rumah, dong?" tanya ku, ketika Aida berhenti bercerita sesaat.

"kalau malam ini, suami ku ada di rumah. Tapi karena tadi, anak ku kehabisan susu, mau tidak mau aku harus keluar sendirian untuk membeli susu ke mini market ini.." balas Aida santai.

"oh gitu.." ucapku kemudian, "kalau mbak Aida mau pulang cepat, saya ada bawa baju hujan di motor, mbak Aida bisa pakai. Siapa tahu, anak mbak Aida sudah menangis karena ingin minum susu..." lanjutku menawarkan.

"tapi.. kamu sendiri gimana? Kamu juga butuh baju hujan itu untuk pulang kan?"

"iya sih, tapi gak apa-apa, karena mbak Aida lebih butuh. Saya sudah biasa pulang dalam keadaan hujan-hujan. Lagi pula, tempat kost saya gak jauh kok dari sini.."

"oh.. jadi kamu kost?"

"iya, mbak..."

"saya kira kamu asli orang sini..."

"gak kok, mbak. Saya perantau dan hanya tinggal sendiri di kota ini.."

Untuk beberapa saat suasana hening.

"emangnya kamu kost dimana?" tanya Aida tiba-tiba.

Aku pun menyebutkan nama daerah tempat aku kost, yang memang jaraknya tidak terlalu jauh dari mini market tersebut.

"ya udah, kalau kamu memang bersikeras untuk meminjamkan aku baju hujan, saya mau pulang sekarang aja. Karena hujan sepertinya masih lama turunnya.." ucap Aida lagi.

"iya, mbak. Gak apa-apa. Pakai aja. Saya ambilkan baju hujannya sebentar ya..." balasku sambil mulai berdiri dan melangkah menuju motor ku yang terparkir tak jauh dari situ.

Setelah mendapatkan baju hujan tersebut, aku pun menyerahkannya kepada Aida. Ia pun segera memakai baju hujan tersebut, lalu kemudian ia pun pamit untuk segera pulang.

****

Keesokan malamnya, tanpa aku duga sama sekali, tiba-tiba saja Aida datang ke tempat kost ku. Aku cukup kaget menyambut kedatangannya.

"ada apa mbak Aida kesini?" tanya ku dalam kekagetan ku.

"saya mau antar baju hujan yang malam kemarin saya pinjam.."

"ah, mbak. Gak usah repot-repot loh sebenarnya, mbak. Gak diantar juga gak apa-apa, kok. Lagi pula mbak Aida kan bisa antar ke mini market aja, kalau pun saya gak ada di sana bisa titip aja sama yang lain.."

"iya sih.. aku juga sebenarnya sekalian pengen tahu tempat kost kamu. Tadi kebetulan juga aku lewat sini, jadi ingat kalau kamu kost di sini, sekalian mau mampir..." balas Aida, sambil memamerkan senyum manisnya.

Lalu kemudian, tanpa menunggu basa-basi dari ku, dan tanpa rasa canggung, Aida pun masuk ke kamar kost ku yang kecil tersebut. Untuk masih jam tujuh, jadi masih boleh bertamu.

"yah.. beginilah keadaan kost saya, mbak. Kecil." ucapku dengan perasaan sungkan.

"gak apa-apa kecil, Do. Yang penting nyaman, dan tahan lama..."

"ah, mbak Aida bisa aja.. Emangnya seperti apa kamar kost yang tahan lama, mbak?"

"yah.. seperti kamar kost kamu ini, kecil, tapi temboknya terlihat kokoh. Jadi bisa tahan lama bangunannya. Kamu juga bisa bertahan lama untuk tetap nge-kost di sini.." jelas Aida entah untuk tujuan apa.

"iya, mbak. Saya memang sudah bertahun-tahun nge-kost di sini, sudah sejak aku masih kuliah.." balasku sekedar memberitahunya.

"tapi... mbak Aida datang kesini dak takut suaminya marah?" tanyaku tiba-tiba, setelah untuk beberapa saat suasana hening tercipta diantara kami.

"dia kan gak tahu, kalau aku kesini. Lagi pula malam ini, suami ku tidak sedang di rumah, ia dapat tugas lagi ke luar kota.."

"loh.. jadi anak mbak Aida sekarang dimana?" tanyaku dengan nada sedikit heran.

"tadi anak-anak saya titip di rumah adik saya. Rumahnya gak jauh kok, dari rumah saya. Saya juga sudah sering menitipkan anak-anak di sana.." Aida menjelaskan dengan suara yang terdengar sangat pelan.

Kami duduk di tepian ranjang kecil yang ada di dalam kamar tersebut. Meski pun masih merasa canggung, tapi mencoba untuk tetap rileks dan berusaha sesantai mungkin.

Terus terang selama aku kost disini, baru kali ini ada perempuan masuk ke kamar kost ku, apa lagi ini malam hari. Pikiranku jadi sedikit terganggu. Mengingat Aida sudah punya suami dan anak. Rasanya ada yang terasa aneh akan hal tersebut.

Tapi aku coba mengabaikannya, karena mungkin saja Aida memang lagi butuh teman untuk bercerita. Dan aku harus siap akan hal tersebut, setidaknya untuk menghargai usahanya mengantarkan baju hujan yang ia pinjam, malam-malam seperti ini.

"kamu sudah punya pacar?" tiba-tiba Aida bertanya demikian.

"belum.." balasku jujur dan terdengar sangat polos.

"baguslah..." suara Aida terdengar sedikit berbisik.

"maksudnya, mbak?"

"yah.. bagus.. itu artinya gak bakal ada yang cemburu, kalau saya berlama-lama disini.."

Berlama-lama di sini? Bathin ku jadi tak karuan tiba-tiba mendengar kalimat Aida barusan.

Tiba-tiba Aida menatapku lama, sambil ia tersenyum manis padaku.

****

Bersambung...

Akibat Kawin Kontrak (kisah nyata)

Nama ku Ben. Begitu biasa orang-orang memanggil ku. Saat ini aku sudah berusia 38 tahun. Aku sudah menikah dan sudah punya dua orang anak. Anak pertama ku laki-laki dan anak kedua ku perempuan.

Pernikahan ku berjalan dengan baik-baik saja. Apa lagi secara ekonomi kehidupan kami sudah cukup mapan. Aku bekerja di sebuah perusahaan konstruksi yang cukup besar. Aku bekerja sebagai seorang kontraktor di bidang pekerjaan sipil.

Pekerjaan ku biasanya berkaitan dengan pembangunan jalan, jembatan, jalur kereta api, landasan pesawat, terowongan, bendungan dan berbagai pembangunan lainnya.

Saat mendapatkan proyek yang cukup besar dan berada di luar daerah, kadang aku sering tidak bisa pulang ke rumah. Karena selain jauh, aku juga harus fokus pada pekerjaan ku, agar hasilnya tidak mengecewakan.

Meski pun sering tidak berada di rumah, hubungan ku dengan istri dan anak-anak ku tetap terjalin dengan baik. Apa lagi di zaman sekarang, jarak bukan lagi menjadi penghalang untuk sebuah hubungan. Kita tetap bisa terhubung dengan orang terdekat kita, meski pun terpisah ribuan kilo jauh nya.

Namun pada suatu kesempatan, aku pernah mendapatkan proyek yang cukup besar. Proyek pembangunan sebuah jalan, di daerah yang cukup jauh dan kebetulan di sana belum ada sinyal sama sekali. Hal itu jadi sedikit menghambat komunikasi ku dengan istri dan anak-anak ku.

Lama pengerjaan proyek tersebut di perkirakan kurang lebih selama tiga bulan. Dan aku untuk sementara harus tinggal di sana, bersama tenaga kerja lainnya.

Proyek tersebut merupakan pembangunan sebuah jalan, menuju sebuah desa yang cukup terpencil. Jarak desa tersebut dari jalan poros kecamatannya sekitar 25 kilo meter. Dan selama ini masyarakat di sana sangat jarang keluar kampung, karena kondisi jalannya yang cukup parah, dan hanya bisa ditempuh oleh sepeda motor.

Kehidupan masyarakat di desa tersebut memang cukup memprihatinkan secara ekonomi. Sebagian besar masyarakat hanya bekerja sebagai petani yang penghasilannya tidak seberapa, dikarenakan jalan yang buruk tersebut.

****

Hampir satu bulan aku bekerja dan tinggal di daerah tersebut. Selama itu pula, aku belum pernah pulang ke rumah. Bahkan aku hampir tidak pernah bisa menghubungi istri ku, karena jaringannya yang tidak memadai.

Jujur saja, selama itu, aku memang cukup merasa kesepian, dan sering merasa rindu, terutama kepada anak-anak ku. Meski pun sudah biasa berpisah dengan mereka, namun selama ini, setidaknya aku masih bisa menghubungi mereka. Tapi sekarang, rasanya berbeda. Karena komunikasi kami juga ikut terputus, saat ini.

Sebagai seorang laki-laki yang masih cukup muda, dan harus terpisah ribuan kilo jauhnya dari istri. Kadang aku merasa kesepian. Biar bagaimana pun, aku juga punya kebutuhan biologis yang harus aku salurkan. Dan hal itu cukup menyiksa ku.

Sampai pada suatu kesempatan, seorang laki-laki yang merupakan penduduk asli daerah tersebut, yang aku ketahui bernama Paijo, sempat menawarkan aku sesuatu yang cukup menggoda jiwa ku.

Aku mengenal Paijo sudah sejak dari awal aku tinggal di sana, kebetulan Paijo adalah salah seorang mandor pada proyek yang sedang aku kerjakan.

Aku memang sudah sering mengobrol bersama Paijo. Aku juga tidak terlalu merasa sungkan untuk menceritakan tentang rasa kesepian tersebut. Hal itu ternyata cukup menarik minat Paijo. Sehingga ia pun dengan berani menawarkan hal tersebut padaku.

"disini ada loh, pak. Perempuan muda yang bisa diajak kawin kontrak..." begitu ucap Paijo pada ku waktu itu.

"maksudnya gimana tu?" tanya ku kurang paham.

"maksudnya gini, pak.... karena pak Ben yang harus terpisah dari istri, sementara pak Ben juga butuh tempat untuk menyalurkan kebutuhan biologis pak Ben. Saya menawarkan, bagaimana kalau pak Ben kawin kontrak aja dengan gadis sini. Apa lagi proyek ini kan juga masih lama selesainya."

"pak Ben bisa kawin kontrak selama dua bulan kedepan, dengan harga yang cukup murah. Selama itu, pak Ben bebas mau ngapain aja. Dan sudah dijamin tidak akan ada tuntutan apa pun. Dan juga rahasia pak Ben pasti aman." jelas Paijo cukup panjang lebar.

"jadi makudnya, saya menikah dengan gadis sini, hanya untuk sementara waktu selama saya berada di sini?" aku bertanya sekali lagi, sekedar meyakinkan maksud Paijo sebenarnya.

"iya, pak. Dari pada bapak selalu merasa kesepian, kan?"  balas Paijo lagi.

Aku terdiam beberapa saat, memikirkan hal tersebut. Tawaran yang cukup menarik sebenarnya. Tapi.. bukankah hal itu berarti aku akan mengkhianati istri ku? Bukankah itu berarti aku tidak lagi menjadi suami yang setia?

"yah.. itu terserah pak Ben sih. Saya hanya sekedar menawarkan. Kalau memang pak Ben bersedia, saya bisa carikan gadis yang cocok buat pak Ben. Saya jamin pak Ben tak akan menyesalinya." Paijo berucap lagi melihat keterdiaman ku.

"emang... harganya berapa?" tanya ku tanpa sadar.

"harganya berkisar 2 sampai 3 juta per bulan, pak. Jadi kalau cuma dua bulan, yah.. sekitar 5 atau 6 juta lah. Itu pun tergantung gadis yang bapak pilih.." jelas Paijo.

"pilihannya banyak ya?" aku bertanya lagi.

"banyak, pak. Bapak tinggal sebutin aja, tipe seperti apa yang bapak ingin kan. Rata-rata gadis-gadis di sini, memang itu pekerjaannya. Dan mereka .. cantik-cantik loh, pak. Asal bapak jangan baper aja, dan bukan untuk di ajak serius loh..." terang Paijo kembali.

"oh.. gitu ya, Jo. Ya udah.. boleh tuh di coba. Kamu cariin aku satu ya, Jo..." ucapku akhirnya.

"pak Ben serius?" Paijo bertanya kembali.

"yah... gak tahu juga sih, Jo. Saya malah jadi bingung sebenarnya... Saya juga tidak ingin mengkhianati istri saya.... Tapi... saya juga butuh sih, Jo..." balasku pelan.

"ya udah... kalau gitu, pak Ben coba dulu aja.. Kalau rasanya nanti gak cocok atau gak nyaman, pak Ben bisa berhenti kok.." ucap Paijo kemudian.

"ya udah, Jo. Kamu atur aja, ya.. nanti kalau soal biaya, kamu minta aja berapanya sama saya.." balasku akhirnya.

"oke, pak.." ucap Paijo, sambil ia mengacungkan kedua jempol tangannya pada ku.

****

Beberapa hari kemudian, kawin kontrak itu pun akhirnya terjadi. Paijo memperkenalkan dengan seorang gadis desa, yang berparas cukup cantik, dan masih cukup muda. 21 tahun usianya, namanya Amirah. Menurut pengakuannya, ini adalah kawin kontrak pertamanya. Jadi ..Amirah belum berpengalaman dalam hal tersebut.

Ia mau melakukan semua itu, hanya karena membutuhkan uang, untuk biaya hidup, dan membantu orangtuanya. Meski pun ia tahu, kalau itu adalah sebuah kesalahan.

Pernikahan kami berlangsung sangat sederhana. Tanpa syarat dan surat-surat apa pun. Kami dinikahkan oleh penghulu kampung, dan hanya dihadiri oleh beberapa orang saksi saja, termasuk Paijo. Tidak ada pesta dan tidak ada surat nikah. Hanya sebuah surat perjanjian antara aku dan Amirah, yang berisi beberapa hal.

Setelah menikah, Amirah pun tinggal bersama ku, di sebuah rumah yang sengaja aku sewa selama aku berada di sana. Dan anehnya, penduduk di sana menganggap hal tersebut sesuatu yang biasa. Tidak ada yang peduli akan hal tersebut.

Mungkin memang karena begitulah kebiasaaan penduduk kampung itu. Dan aku juga jadi tahu, kalau aku bukan satu-satu nya pendatanga yang melakukan hal tersebut. Bahkan ada yang dengan sengaja datang kesana, hanya untuk sekedar kawin kontrak selama beberapa minggu saja.

Miris sebenarnya, tapi itu bukan urusan ku. Aku tak berhak menghakimi mereka. Setiap orang punya pilihan dalam hidup ini. Tapi.. ada banyak orang yang tidak bisa memilih jalan hidupnya, karena faktor ekonomi.

Biaya kontrak Amirah terbilag cukup mahal. Karena biar bagaimana pun, ia masih suci. Dan hal iti, menjadi nilai plus tersendiri baginya. Dan aku merasa beruntung bisa mendapatkan Amirah. Selain karena ia memang cantik dan seksi, ia juga masih perawan.

****

"mas Ben, mau saya masakin apa malam ini?" tanya Amirah pada ku suatu sore, saat itu aku baru saja pulang dari tempat kerja.

"terserah dik Amirah aja. Apa pun yang dik Amirah masak, selalu terasa enak di lidah mas." balasku sok romantis.

"masakan Amirah aja nih, yang terasa enak di lidah mas Ben?" tanya Amirah seperti sengaja memancing ku.

"yah... selain itu juga terasa enak kok, di lidah mas.." balasku.

"yang mana?" tanya Amirah dengan suara manja nya.

"yang di tengah-tengah itu loh.. " balasku sambil sedikit mengedipkan mata.

"ah.. mas Ben bisa aja..." ucap Amirah sedikit tersipu.

Begitulah kemesraan yang terjadi antara aku dan Amirah, semejak kami menikah. Amirah memang selalu bisa menghiburku. Rasa capek ku jadi hilang, saat sudah bertemu dengannya di rumah. Aku jadi semakin merasa nyaman bersamanya. Rasanya hidupku menjadi lengkap kembali dengan kehadiran Amirah menghiasi hari-hari ku.

Semakin hari, aku pun semakin terasa di manjakan oleh Amirah. Tidak sia-sia rasanya aku harus membayarnya mahal untuk hal tersebut. Aku jadi punya tujuan untuk pulang. Aku juga jadi semangat bekerja. Rasanya semua itu terlalu indah bagi ku.

Tak ku sangka aku akan mendapatkan kebahagiaan lain di sini. Di tempat terpecil ini, di tempat yang jauh dari hiruk pikuk kendaraan berlalu lalang. Di tempat yang sunyi namun penuh ketenangan, yang membuat aku jadi betah untuk berlama-lama tinggal di sini, bersama Amirah.

****

Waktu pun berlalu dengan begitu cepat. Aku menjalani pernikahan ku dengan Amirah dengan sangat baik. Kami benar-benar menjadi sepasang suami istri. Aku bahkan jadi hampir lupa, kalau aku sudah punya istri dan anak. Aku terlena dengan hubungan singkat tersebut.

Aku bahkan tidak pernah pulang selama dua bulan setelah menikah dengan Amirah. Aku juga tidak berusaha untuk menghubungi istri dan anak-anak ku. Meski pun aku yakin, mereka akan mengerti , karena kondisi jaringan di tempat aku bekerja sekarang, memang tidak memungkinkan aku untuk menghubungi mereka.

Sebagai seorang istri, Amirah memang melayani ku dengan cukup baik. Ia memask untuk ku, mencucikan pakaianku, membersihkan rumah dan tentu saja melakukan tugasnya sebagai seorang istri pada saat malam hari. Semuanya terasa sempurna bagi ku. Aku tidak lagi merasa kesepian.

Sampai akhirnya proyek ku pun selesai. Kontrak perkawinan kami pun berakhir. Amirah kembali ke rumah orangtuanya. Dan aku, dengan sangat berat hati, harus kembali ke kota tempat aku tinggal.

Meski pun singkat, namun kesan yang Amirah berikan untuk ku benar-benar membekas di hati ku. Aku jadi terbawa perasaan. Aku jadi tidak bisa melupakan Amirah. Wajahnya masih terus membayangi pikiran dan hati ku. Amirah terlalu sempurna, sebagai seorang istri.

Tapi .. semua memang harus berakhir. Aku harus bisa melupakan Amirah, dan segala kenangan bersamanya. Aku harus realistis, Pernikahan ku dengan Amirah hanya bersifat sementara. Bukan untuk selamanya. Kehadiran Amirah dalam hidupku, hanyalah sebagai selingan di saat aku merasa kesepian.

Aku harus sadar, bahwa saat ini, aku sudah punya istri dan anak, yang selalu setia menunggu pulang ke rumah. Aku harus bisa menganggap Amirah hanyalah selingan dalam hidup ku. Ia hadir hanya untuk singgah, bukan untuk menetap. Ia bukan rumah ku, karena aku sudah punya rumah lain, yang harus aku jaga keutuhannya.

Semoga saja, aku mampu melupakan Amirah. Semoga saja, aku bisa menghapus bayangannya dari pikiran ku. Dan semoga saja, istri ku tidak akan pernah mengetahui hal tersebut.

Yah... semoga saja..

***

istri adik ku

Namanya Gavella, aku biasa memanggilnya Vella. Dan dia adalah istri adik ku.

Seperti apa sebenarnya hubungan cinta kami terjalin?

Dan bagaimana pula akhir dari kisah cinta kami?

Simak kisah ini dari awal sampai akhir ya...

Terima kasih..

***

Namaku Riyadi, dan saat ini aku sudah menikah dan sudah punya dua orang anak.

Aku punya seorang adik laki-laki, namanya Royadi. Beda usia kami hanya tiga tahun.

Dulu, dulu sekali...

Saat itu aku masih kuliah.

Aku pernah pacaran dengan seorang gadis, namanya Gavella. Dia gadis manis dan juga ramah. Kami pacaran cukup lama, hampir empat tahun. Hubungan kami juga terjalin dengan indah. Karena sebenarnya kami memang saling mencintai.

Namun setelah empat tahun pacaran, tiba-tiba hubungan kami harus berakhir. Bukan karena kami sudah tidak saling cinta lagi. Tapi karena, kedua orangtua ku, saat itu, memaksa ku untuk menikah dengan gadis pilihan mereka.

Aku sudah berusaha menolak, bahkan aku juga sudah berterus terang tentang hubungan ku dengan Vella. Tapi orangtua ku tidak bisa menerima hal tersebut. Mereka tetap bersikeras untuk menikahkan aku dengan gadis pilihan mereka, yang merupakan anak rekan bisnis papa ku.

Karena tidak ingin menjadi anak yang durhaka, dan juga karena tidak ingin, perusahaan papa ku bangkrut, karena ternyata papa ku punya hutang yang sangat banyak pada rekan bisnisnya tersebut. Karena itu, aku pun akhirnya, meski dengan berat hati, harus menerima perjodohan tersebut.

Tentu saja hubungan ku dan Gavella pun berakhir. Aku kecewa, Gavella juga. Tapi kami tidak bisa berbuat apa-apa saat itu. Kami hanya harus menerima semuanya, meski dengan perasaan yang sama-sama terluka.

Gavella pun memutuskan untuk kuliah ke luar kota. Dan sejak saat itu, aku tidak pernah lagi bertemu dengan Gavella. Hubungan kami kandas, komunikasi di antara kami pun berakhir begitu saja.

Sampai beberapa tahun kemudian, Gavella kembali. Tentu saja dengan keadaan yang berbeda.

Dan yang paling membuat aku merasa sangat kaget, ternyata Gavella sudah menjalin hubungan dengan adik ku, Royadi.

Gavella tahu, kalau Royadi adalah adik ku, dan Royadi juga tahu, kalau Gavella adalah mantan pacar ku. Tapi entah mengapa mereka bisa berpacaran. Mungkin karena memang, mereka kuliah di kampus yang sama. Karena kebetulan, Royadi juga kuliah ke luar kota, tempat dimana, Gavella juga kuliah disana.

Di tambah pula, mereka memang seumuran. Tinggal jauh di rantau, dan berasal dari kota yang sama, membuat mereka menjadi dekat. Dan hingga akhirnya, mungkin, mereka pun saling jatuh cinta.

Setidaknya begitulah kesimpulan ku, tentang hubungan mereka, sampai saat itu.

****

Setelah sama-sama lulus kuliah, Royadi dan Gavella pun memutuskan untuk segera menikah. Hal itu cukup membuat aku merasa kecewa.

Bagiku tidak masalah, kalau Gavella harus menikah dengan siapa pun. Tapi tidak dengan Royadi, adikku.

Namun aku juga tidak bisa mencegah hal tersebut. Sepertinya mereka memang saling mencintai. Dan anehnya, kedua orangtua ku justru sangat mendukung pernikahan mereka.

Sebenarnya aku ingin sekali meminta penjelasan dari Gavella, mengapa ia memilih Royadi sebagai pengganti diriku?

Tapi aku tidak punya keberanian untuk memulai pembicaraan dengan Gavella, meski hanya sekedar bertanya kabar. Apa lagi, istri ku juga tahu, kalau aku dan Gavella pernah menjalin hubungan. Pasti istriku aka curiga, kalau aku coba-coba untuk mendekati Gavella.

Pada akhirnya, aku hanya bisa menerima semua itu. Meski hati ku terasa begitu sakit.

***

Setelah menikah, Gavella pun atas persetujuan papa ku, kini bekerja di perusahaan papa ku. Dimana aku juga bekerja di sana. Sementara Royadi, memilih untuk membangun bisnisnya sendiri.

Hal itu, tentu saja, membuat aku jadi punya kesempatan untuk bisa dekat lagi dengan Gavella. Apa lagi kami juga berada di divisi yang sama, yang membuat kami jadi sering bertemu.

Awalnya, aku mencoba bersikap biasa saja. Bagi ku, Gavella saat ini, hanya lah seorang rekan kerja, dan juga adik ipar ku. Aku berusaha bersikap profesional.

Meski jujur saja, sampai saat ini, masih ada getar-getar aneh, setiap kali mata kami saling bersirobok pandang. Setiap kali, aku melihat senyum manis Gavella. Aku masih merasa berdebar-debar, setiap kali aku bertemu dengannya.

Sampai suatu saat, aku punya kesempatan, untuk ngobrol berdua bersama Gavella. Saat itu, hanya ada kami berdua di dalam ruang kerja ku. Sementara para karyawan yang lain, sedang makan siang di lantai dasar.

"aku hanya mau tanya satu hal," ucapku memulai pembicaraan, "kenapa Royadi?"

"karena hanya dia yang bisa menghiburku, saat aku sedang patah.." suara Gavella pelan.

"apa kamu benar-benar mencintainya?"

"apa hal itu penting untuk di pertanyakan?"

"kalau kamu tidak mencintainya, kenapa kamu mau menikah dengannya?"

"aku mencintainya, meski mungkin tak sebesar cinta ku pada mas Riyadi.."

"maksud kamu apa? Apa kamu hanya ingin sekedar untuk mempermainkannya? Hanya untuk balas dendam padaku?"

"aku memang masih mencintai mas Riyadi, tapi aku tak pernah berharap untuk bisa bersama mas Riyadi lagi. Dan cinta Royadi terlalu besar untuk bisa aku abaikan begitu saja. Jadi aku rasa, tidak ada salahnya, kalau aku menikah dengan Royadi. Terlepas aku mencintainya atau tidak.."

"dan asal mas Riyadi tahu aja, aku tidak ingin membalas dendam. Aku hanya ingin bisa bertemu mas Riyadi setiap harinya. Karena itu, aku yang meminta pada papa, untuk aku bisa bekerja di perusahaan ini."

"aku benar-benar tidak mengerti cara berpikir kamu, Vel. Apa arti semua ini? Untuk apa?" suara ku mulai sedikit keras.

"aku juga gak tahu, mas. Aku hanya gak bisa melupakan kamu. Aku harap mas juga masih punya perasaan yang sama.."

"tapi saat ini, kita sudah punya kehidupan masing-masing, Vel. Itu jelas tidak mungkin.."

"kenapa tidak? Jika kita memang masih saling mencintai.."

"kamu jangan bodoh, Vella..

"aku sudah terlanjur bodoh oleh cinta ku kepada mu, mas. Dan aku merasa lebih bodoh lagi, jika aku harus melepaskan mas Riyadi begitu saja. Apa lagi saat ini, kita punya kesempatan yang besar untuk bisa bersama-sama lagi.."

"maksud kamu?" aku bertanya dengan nada bodoh.

"aku ingin kita bersama lagi, mas. Seperti dulu. Meski pun saat ini, semuanya telah berbeda. Tapi perasaan cinta ku pada mas Riyadi, masih sama seperti dulu. Aku masih sangat mencintai mas Riyadi.."

Kali ini aku terdiam. Aku benar-benar tidak mengerti apa yang ada dalam pikiran Gavella. Aku juga tidak mengerti, apa yang aku harapkan sebenarnya saat ini.

Sejujurnya, aku memang masih mencintai Gavella. Aku masih mengharapkannya. Tapi...

"kamu sadar kan, Vel? Aku sudah menikah dan bahkan sudah punya anak. Kamu juga sudah menikah dengan adik ku. Dan jika kita menjalin hubungan lagi, akan di bawa kemana hubungan seperti itu?"

"aku gak peduli, mas. Karena cinta memang tidak pernah ada ujungnya. Selama kita masih bisa bersama, kenapa gak? Kecuali kalau mas Riyadi sudah tidak mencintai ku lagi.."

Aku terdiam kembali. Jujur saja, aku juga sependapat tentang hal tersebut dengan Vella. Cinta memang tidak pernah ada ujungnya. Cinta hanya akan berakhir, jika salah satunya tidak lagi merasakan hal yang sama.

Dan perasaan ku terhadap Vella, belum berubah. Aku masih mencintainya.

"kamu yakin dengan semua ini, Vel? Kamu yakin mau menjalin cinta lagi dengan ku? Dengan keadaan kita seperti saat ini?" aku bertanya dengan perasaan bimbang.

"aku yakin, mas."

"meski pun kamu tahu resikonya?"

"iya.. aku siap menanggung resikonya.."

***

Dan begitulah, sejak saat itu, aku dan Vella pun, sepakat untuk menjalin hubungan secara diam-diam. Sebisa mungkin kami mengatur waktu, agar kami bisa menghabiskan waktu berdua.

Ada banyak cara yang kami lakukan, untuk bisa bersama. Terutama dengan alasan, keluar kota bersama, untuk urusan pekerjaan. Atau di sela-sela jam istirahat kerja kami.

Mulanya semua berjalan dengan lancar. Kami sangat bahagia dengan semua itu.

Namun, lama-kelamaan, kedekatan kami pun mulai menuai kecurigaan dari orang-orang di sekeliling kami, terutama dari istri ku, dan juga Royadi.

Hingga akhirnya, hubungan kami benar-benar terbongkar. Istri ku dan Royadi diam-diam pun bekerja sama, untuk bisa membongkar hubungan kami tersebut. Hingga akhirnya, mereka bisa membuktikan semuanya.

Setelah semuanya terbongkar, istri ku pun meminta cerai dari ku. Bahkan papa ku, juga memecat ku dari perusahaan. Begitu juga Gavella. Ia juga dipecat.

Gavella pun kemudian menghilang. Tanpa kabar. Dia menghilang begitu saja, setelah ia mendapatkan perlakuan kasar dari suaminya, dan di usir dari rumah.

Aku sendiri juga harus pergi dari rumah, karena orangtua ku sudah tidak mau mengakui aku sebagai anaknya. Mereka pasti sangat kecewa padaku.

Tapi aku memang harus menerima semua itu, sebagai hukuman atas segala kesalahan ku selama ini.

Aku harus kehilangan istri dan anak-anak ku, aku juga kehilangan orangtua ku, dan aku juga harus kehilangan Gavella, orang yang paling aku cintai.

Kini aku harus memulai semuanya lagi dari awal. Aku harus menata hidup ku kembali.

Aku hanya berharap, semoga aku bisa bertemu Gavella kembali. Semoga kami bisa memulainya lagi dari awal. Dan semoga Gavella juga punya harapan yang sama dengan ku.

Yah.. semoga saja..

****

Cari Blog Ini

Layanan

Translate