Karena jauh dari istri

Namaku Candra. Saat ini aku sudah berusia 32 tahun lebih. Aku sudah menikah dan sudah memiliki 2 orang anak.

Anak pertama ku perempuan, sudah berusia 7 tahun. Sedangkan anak bungsu ku laki-laki, ia baru berusia 3 tahun. Saat ini istri ku sedang mengandung anak ketiga kami, usia kandungannya baru 4 bulan.

Aku memang menikah pada saat usia ku masih 24 tahun waktu itu. Sementara istri ku sendiri saat itu masih 22 tahun usianya.

Aku dan istri ku menikah atas dasar saling cinta. Kami sempat pacaran selama hampir tiga tahun.

Setamat SMA, aku tidak melanjutkan kuliah, karena kondisi ekonomi orangtua ku yang memang hanya pas-pasan. Di tambah pula ketiga orang adik-adik ku masih butuh biaya banyak waktu itu.

Sementara istri ku sendiri juga tidak kuliah, ia hanya lulusan SMA, sama seperti ku. Orang tua istri ku juga termasuk golongan orang yang tidak mampu.

Sebenarnya aku dan istri ku berasal dari kampung yang sama, karena itulah kami sudah saling kenal sejak lama. Namun setelah menikah, kami memutuskan untuk pergi merantau ke kota. Demi mendapatkan hidup yang lebih baik. Karena di kampung aku hanya bekerja sabagai buruh tani.

Pindah ke kota, ternyata tak seindah yang kami bayangkan. Bahkan kehidupan tidak kunjung membaik, meski telah berbagai usaha kami lakukan, untuk mengubah nasib kami.

Di kota aku hanya bisa menjadi seorang kuli bangunan. Tak jarang aku lebih sering menganggur, karena tidak ada proyek yang harus aku kerjakan. Beruntunglah istri ku punya usaha katering kecil-kecilan, sehingga kami masih bisa bertahan hingga saat ini.

Sebagai seorang kuli, aku memang sering tidak berada di rumah. Mengingat, kadang, tempat kerja ku cukup jauh. Sehingga mau tidak mau, aku harus sering menginap di proyek tempat aku bekerja sebagai kuli.

Tak jarang pula, aku harus menginap di tempat kerja ku, selama berminggu-minggu, agar bisa menyelesaikan proyek tersebut tepat waktu.

Sebenarnya aku, istri ku dan anak-anak ku, sudah terbiasa dengan hal tersebut. Kami sudah terbiasa terpisah beberapa hari bahkan hingga berbulan-bulan. Apa lagi jika lokasi tempat aku bekerja berada jauh di luar kota.

Berada jauh dari istri dan anak-anak ku, sudah menjadi hal yang biasa bagi ku. Meski kadang, aku harus kuat menahan kerinduan ku kepada mereka.

Beurntunglah, aku punya banyak rekan kerja, sesama kuli. dan sama-sama jauh dari keluarga. Sehingga aku tidak terlalu merasa kesepian.

Dan begitulah kehidupan yang aku jalani selama bertahun-tahun, bahkan hingga saat ini.

*****

Pada suatu waktu, aku dan rekan-rekan sesama kuli ku, mendapatkan sebuah proyek pembangunan perumahan, di daerah yang cukup jauh dari kota tempat aku tinggal. Perjalanan untuk sampai kesana bisa memakan waktu satu hari lebih, naik bis.

Karena berada cukup jauh, kami semua memang dianjurkan untuk tinggal sementara di tempat pembangunan perumahan tersebut. Ada rumah khusus tempat kami para kuli tinggal sementara di sana.

Menurut keterangan dari mandor kami waktu itu, proyek perumahan tersebut, baru akan selesai sekitar 3 atau 4 bulan ke depan. Dan selama itu, kami hanya boleh pulang sekali dalam sebulan.

Sebenarnya hal itu tidak terlalu jadi masalah bagi kami, terutama bagi ku. Karena kami sudah terbiasa berpisah berbulan-bulan dengan istri dan anak kami.

Namun sebagai laki-laki yang sudah menikah, kadang ada kerinduan tersendiri akan istri di rumah. Sebagai seorang laki-laki normal, kami juga punya kebutuhan biologis yang harus disalurkan. Namun karena sering berada jauh dari istri, kadang kami hanya bisa menyelesaikannya sendirian.

Aku sendiri sering merindukan istri ku, terutama ketika malam mulai menjelang. Aku hanya bisa membayangkan wajah istri ku, saat menjelang tidur.

Hingga pada suatu sore, setelah selesai mandi sepulang kerja, aku sengaja berjalan kaki sendirian keliling kompleks perumahan yang masih sepi tersebut.

Tepat di depan sebuah rumah, yang merupakan satu-satunya rumah yang berpenghuni waktu itu, aku sengaja memelankan langkah ku, sambil memperhatikan rumah yang terbuka tersebut.

Tiba-tiba sesosok wanita , yang masih cukup muda, keluar dari rumah tersebut. Wanita itu pun terlihat sedikit kaget, melihat kehadiran ku di depan rumahnya. Tapi buru-buru aku mengalihkan pandangan ku ke arah jalan.

"mau kemana, mas?" di luar dugaan ku, wanita itu menegur ku.

Aku memutar kepala untuk kembali melihat ke arah wanita tadi, sambil menghentikan langkah ku. Aku pun tersenyum ramah, menatap wanita itu kembali.

"hmmm... anu.. anu mbak.. saya mau keliling-keliling aja.." balasku terbata, karena ku lihat wanita itu menatapku dengan tersenyum.

"disini sepi loh, gak takut keliling-keliling sendirian?" tanya wanita itu lagi.

"mbak sendiri gak takut sendirian di rumah?" balasku balik bertanya, mencoba untuk terndengar ramah.

"saya gak sendirian kok tinggal di rumah ini, tapi sekarang suami saya memang sedang pergi ke kota, untuk berbelanja keperluan kami.. yah... mungkin pulangnya malam.." jelas wanita itu kemudian.

"oh.. gitu.." balasku sedikit membulatkan bibir, "sekarang mbak sendirian?" tanyaku melanjutkan.

"jangan panggil mbak lah, panggil aja Nurma.." ucap wanita itu, seakan mengabaikan pertanyaanku barusan.

"oh, ya.. mas siapa namanya?" tanya wanita, yang mengaku bernama Nurma itu melanjutkan, "mampir dulu sebentar gak apa-apa kok, mas.." lanjutnya lagi menawarkan.

Aku yang memang sedang merasa haus, tentu saja tidak menolak tawaran tersebut. Mumung dia juga lagi sendiri di rumah, kan.

Nurma memang masih terlihat muda, mungkin baru berusia 25 tahun. Dia juga seorang wanita yang cukup cantik, dengan postur tubuh yang ramping.

Tanpa sungkan aku pun singgah di rumah tersebut. Nurma mempersilahkan aku duduk di kuris teras depan rumahnya itu.

"namaku Candra..." ucapku, setelah aku duduk di samping Nurma, yang hanya memakai baju daster.

"mas Candra yang kerja jadi kuli di situ ya?" tanya Nurma kemudian.

"kok dek Nurma tahu?" aku balik bertanya lagi.

"yah.. kan yang tinggal di perumahan ini, baru cuma kalian para kuli loh. Selain kami juga. Tapi ngomong-ngomong, mas Candra gak tahu ya, kalau saya ini istrinya pak Imam, mandor kalian." jelas Nurma, sambil ia sedikit melirik padaku.

"oh.." sekali lagi aku membulatkan bibir, aku benar-benar tidak tahu, kalau pak Imam, mandor kami tersebut tinggal bersama istrinya di sini. Karena selama lebih kurang satu minggu kerja disini, aku gak pernah melihat Nurma sebelumnya.

"jadi gimana, mas? Rasanya jauh dari istri? Merasa kesepian gak tuh?" tiba-tiba Nurma bertanya demikian padaku.

Aku beranikan diri untuk menatap Nurma, mata kami pun saling tatap untuk beberapa saat.  Nurma tersenyum penuh arti padaku.

"yah.. pasti kesepian lah dek Nurma, namanya juga lagi jauh dari istri. Apa lagi kalau malam menjelang tidur, pasti keingat istri terus." balasku apa adanya, dan dengan niat tertentu.

"apa lagi udah lama juga gak nyetor ya?" ucap Nurma, sambil sedikit menekan suara, dengan maksud tertentu.

"yah itu masalahnya, mau nyetor jauh, ya udah... kadang terpaksa di buang-buang aja.." balasku pelan.

"mubazir loh, mas Candra. Mending nyetor nya sama saya aja.." Nurma berucap dengan senyum yang cukup menggoda.

"emang dek Nurma mau?" tanyaku penasaran.

"kalau performa mas Candra bisa lebih baik dari suami saya, saya mau aja.. itung-itung cari pengalaman baru, iya.. kan?" balas Nurma blak-blakan.

"ya udah, ayuk kita coba. Saya jamin performa saya pasti lebih baik.." ucapku dengan penuh ambisi.

"sekarang?" tanya Nurma dengan raut heran.

"iya.. sekarang... sebelum suami kamu pulang, kan?" balasku merasa tertantang.

"oke,,, ayok kita ke dalam.." ucap Nurma, sambil ia mulai berdiri perlahan.

Aku pun dengan spontan ikut berdiri dan melangkah mengikuti Nurma dari belakang, sambil menutup pintu dengan perlahan.

******

"gimana performa saya?" tanya ku setelah pertempuran kami selesai tiga ronde.

"yah... gimana ya... sangat bagus... jauh lebih baik dari performa suami saya.. " balas Nurma terlihat tersipu.

"jadi untuk selanjutnya, saya masih bisa nyetor sama kamu kan?" tanyaku ingin tahu.

"kalau suami ku gak ada di rumah boleh aja.." balas Nurma lagi.

"kalau suami mu ada di rumah, nanti kita cari tempat lain aja. Gak usah di rumah ini." ucapku membujuk.

"gak bisa. Kalau suami ku ada disini, aku mana boleh keluar.." balas Nurma pelan.

"yah..." desahku sedikit kecewa, "semoga suami kamu sering-sering ke kota ya.." lanjutku lirih.

"biasanya sekali seminggu sih, ia belanja ke kota. Tapi kadang-kadang ia juga sering ke kota untuk menemui bos nya.." ucap Nurma kemudian.

"ya udah gak apa-apa. Yang penting kamu masih mau kan?" balasku sedikit bertanya.

"kalau performa mas Candra sebagus itu, aku pasti mau lah.." ucap Nurma lagi.

"oke. Kalau gitu saya pamit dulu, takut suami mu keburu pulang.." ucapku kemudian, sambil mulai bangkit berdiri, dan memakai pakaian ku kembali.

****

Dan begitulah, selama masa aku bekerja di proyek perumahan tersebut, aku jadi tidak  merasa kesepian lagi. Setidaknya aku punya tempat untuk mencurahkan rasa kesepian ku tersebut.

Suami Nurma, pak Imam, mandor ku tersebut, memang sering pergi ke kota. Paling tidak sekali seminggu, ia pasti tidak berada di rumah. Dan aku mulai hafal akan hal tersebut. Setiap kali, pak Imam pergi ke kota, aku akan segera diam-diam menemui Nurma di rumahnya.

Hal itu terus terjadi selama berbulan-bulan, setidaknya selama aku bekerja di proyek perumahan tersebut. 

Sebenarnya ada rasa bersalah yang bersarang di hatiku, setiap kali aku bersama Nurma. Tapi aku mencoba mengabaikan hal tersebut. Aku sadar, jika apa yang aku lakukan bersama Nurma, adalah sebuah kesalahan. Aku telah mengkhianati istri dan anak-anak ku.

Kadang aku berusaha untuk menolak keinginan tersebut, tapi setiap kali aku berusaha untuk menolaknya, setiap kali pula keinginan itu terus memaksa ku untuk melakukannya lagi.

Aku hanya laki-laki biasa. Aku tak bisa melawan keinginan tersebut. Apa lagi keadaan ku saat ini, yang berada jauh dari istri ku.

Tapi aku berjanji dalam hati ku, semua ini hanya akan terjadi, selama aku bekerja di sini. Nanti jika aku sudah kembali ke rumah, aku akan mengakhiri semuanya. Ini hanya bersifat sementara.

Dan aku berharap, hal ini tidak akan pernah terjadi lagi. Semoga saja aku mampu menahan godaan tersebut, dimana pun aku akan bekerja nantinya.

Yah.. semoga saja..

*****

Kisah lainnya :

Pembantu baru ku part 2

Pembantu baru ku yang cantik (bagian 2)

 Marni masih tertunduk. Ia seperti enggan memperlihatkan raut wajahnya padaku.

Aku memang sengaja mengajak Marni bertemu di sebuah kafe, hanya berdua. Untuk membicarakan persoalan yang sedang kami hadapi saat ini. Untuk membicarakan tentang apa yang harus kami lakukan ke depannya, terutama untuk mengatasi masalah kehamilan Marni.

"saya ingin, kamu menggugurkannya, Marni.." ucapku sedikit tegas.

Marni mendongakan kepalanya sejenak, untuk menatap ku, kemudian tertunduk lagi.

"saya akan carikan dokter terbaik, untuk melakukannya.." ucapku lagi.

"saya... saya akan tetap melahirkan anak ini, tuan. Saya tidak akan menggugurkannya.." meski sedikit terbata, Marni berucap cukup tegas.

"kamu ingin menghancurkan hidup saya?" tanya ku sedikit kasar.

"ingat, Marni! Kamu saya bayar. Jadi kehamilan kamu tidak sepenuhnya tanggungjawab saya.." lanjutku lagi.

"saya tidak berniat untuk menghancurkan hidup tuan. Saya juga tidak meminta tuan untuk menikahi saya." kali ini Marni berucap, sambil ia menatapku.

"lalu mau kamu apa?" tanyaku sedikit mengerutkan kening.

"saya akan pulang kampung. Saya akan membesarkan anak ini sendirian. Saya hanya minta agar tuan, mau membiayai hidup kami. Saya ingin tuan mengirimkan uang kepada saya di kampung, sampai anak ini tumbuh dewasa.." jelas Marni panjang lebar.

"lalu apa yang akan kamu katakan sama orangtua kamu? Tentang kehamilan mu ini?" tanya ku sedikit melunak.

"saya tidak akan mengatakan apa pun kepada mereka. Kalau pun mereka mempertanyakan hal ini, saya bisa mengarang cerita.." balas Marni cukup yakin.

"lalu bagaimana dengan masa depan kamu sendiri? Bagaimana dengan hidupmu sendiri? Apa kamu tidak ingin menikah?" tanyaku bertubi.

"tuan tidak perlu memikirkan hal itu. Selama kiriman uang dari tuan lancar, maka rahasia ini akan tersimpan selamanya. Dan tentang kehidupan ku ke depannya, mungkin aku akan menikah, tapi tidak dalam waktu dekat ini." jelas Marni lagi.

"oke.. saya setuju.." ucapku akhirnya.

Aku tidak tahu, apa ini adalah keputusan terbaik atau tidak. Apa ini pilihan terbaik atau tidak. Tapi yang pasti untuk saat ini, aku merasa sedikit lega. Meski pun Marni tidak mau menggugurkan kandungannya, tapi setidaknya tuntutannya padaku tidak terlalu memberatkan ku. Setidaknya untuk saat ini, kehidupan rumah tangga ku terselamatkan.

****

Marni akhirnya pulang ke kampung halamannya, dalam keadaan hamil. Aku gak tahu, bagaimana tanggapan orangtua Marni akan kehamilannya. Aku gak tahu, karangan cerita apa yang Marni sampaikan kepada orangtuanya.

Namun aku berusaha menepati janji ku pada Marni, untuk selalu mengirimkan uang padanya. Dan untuk sementara posisi ku masih aman.

Aku mencoba menikmati kebahagiaanku bersama keluarga kecilku. Bersama istri dan dua anak ku. Kehidupan rumah tangga ku kembali berjalan normal. Hari-hari kembali terasa indah bagi ku. Aku bahagia. Dan aku tetap mengirimkan uang kepada Marni, setiap bulannya.

Tapi ternyata hidup gak semudah itu. Tidak ada kesalahan yang tanpa resiko. Tidak ada kejahatan tanpa balasan. Kalau boleh dibilang mungkin ini adalah karma untuk ku.

Berawal dari anak kedua ku yang sering sakit-sakitan. Sering masuk rumah sakit. Sampai akhirnya anak ku pun menghembuskan napas terakhirnya, di usianya yang belum genap satu tahun. Aku benar-benar merasa kehilangan. Hatiku hancur. Begitu juga istri ku.

Kehidupan keluarga kami kembali bermuram durja. Rasa kehilangan telah membuatku merasa rapuh. Aku terlarut dalam kesedihan ku, hingga untuk beberapa bulan aku lupa mengirimkan uang kepada Marni.

Aku baru menyadarinya, saat akhirnya Marni tiba-tiba datang ke rumah dengan membawa anaknya yang baru berusia beberapa bulan.

"sudah hampir tiga bulan, tuan tidak mengirimkan uang padaku, karena itu saya datang kesini.." ucap Marni memulai pembicaraan di ruang tamu rumah ku, di depan istri ku.

Marni datang beberapa menit yang lalu, dan dia di sambut oleh istri ku. Sehingga aku tidak bisa menghindari lagi, pembicaraan tersebut.

Istri ku menatap Marni tak mengerti, kemudian ia mengalihkan tatapannya padaku, seakan meminta penjelasan ku.

"ada apa ini?" ucap istriku sedikit bergetar, "kenapa suami ku harus mengirimkan uang padamu?" lanjutnya bertanya.

Marni tidak segera menjawab, ia melirik ku beberapa saat. Dan aku hanya bisa tertunduk. Pasrah.

"karena tuan sudah berjanji akan membiayai hidup kami, sampai anaknya ini tumbuh besar." ucap Marni tegas, sambil ia menatap bayi yang di gendongnya.

"anaknya?" suara istriku tercekat. "maksud kamu?" tanyanya melanjutkan.

"saya tidak akan berlama-lama di sini, saya juga tidak punya waktu untuk menjelaskannya, jika nyonya ingin tahu, silahkan tanyakan sama suami nyonya. Saya akan pergi, dan anak ini akan saya tinggalkan disini, karena saya sudah tidak sanggup lagi membiayainya, terutama sejak tuan tidak lagi mengirimkan uang pada ku."

Setelah berkata demikian, Marni segera berdiri dan melangkah pelan menuju arah ku. Ia serahkan bayi yang ada di gendongannya itu padaku.

Dengan perasaan tak karuan dan tubuh gemetar, aku menerima bayi tersebut.

"dia anak tuan, dan dia berhak mendapatkan hidup yang layak.." ucap Marni lagi, sambil mulai melangkah mundur, lalu memutar tubuh menuju pintu keluar.

Istri ku menatap semua adegan itu, dengan tatapan penuh tanya dan tidak percaya nya. Mukanya memerah. Entah ia marah, kecewa, ata entah apa yang ia rasakan saat ini.

Kami baru saja kehilangan anak kedua kami. Rasa sedih masih menghantui hari-hari kami. Dan sekarang, tiba-tiba saja kabar ini muncul di hadapan istri ku. Hatinya pasti sangat hancur. Tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa saat ini.

Aku juga tidak bisa menyalahkan Marni dalam hal ini. seperti janjinya, jika kiriman uang dari ku tidak lancar, maka ia akan membongkar rahasia ini.

Dan disini, saat ini. Aku terjebak.

******

Selama beberapa hari ini, istri ku mengurung diri di kamar. Beberapa kali aku coba memanggilnya, dia tak pernah bergeming.

Bayi yang ditinggalkan Marni, terpaksa aku titipkan pada Bi Ijah, pembantu ku. Biar bagaimana pun, sebagai ayah dari anak tersebut, aku memang harus bertanggungjawab. Aku harus membesarkannya. Dan Bi Ijah adalah harapan ku, untuk bisa merawat bayi tersebut.

Aku membiarkan istri ku dalam kesendiriannya. Aku juga tidak tahu harus berbuat apa saat ini. Istri ku sudah tidak mau berbicara dengan ku lagi. Ia bungkam, seolah menganggap aku tak pernah ada.

"aku minta maaf.." ucapku menghiba, saat akhirnya aku punya kesempatan untuk berbicara dengan istri ku, setelah lebih dari sebulan ia mengabaikan ku.

Selama sebulan ini, aku memang jarang berada di rumah. Aku merasa sakit karena diabaikan oleh istri ku sendiri, sebab itulah aku lebih memilih untuk menghabiskan waktu di kantor ku.

Dan ternyata diam-diam, seperti yang di ceritakan bi Ijah padaku, istriku sudah mulai memperhatikan bayi yang ditinggalkan Marni tersebut. Ia juga sering memberi bayi tersebut makan, dan memandikannya. Hal itu, cukup membuat aku lega.

"aku juga minta maaf.." ucapku membalas, dengan suara lembutnya.

"mungkin sebagai istri, aku belum bisa memenuhi kebutuhan kamu seutuhnya.." lanjutnya.

"dan aku juga sudah memaafkan kamu. Kita akan mulai semuanya lagi dari awal. Aku juga sudah bertekad, untuk membesarkan anak tersebut. Mungkin anak itu, adalaha titipan Tuhan, sebagai pengganti anak kita yang telah tiada.." istri ku berucap lagi, yang membuatku tiba-tiba saja meneteskan air mata.

Entah terbuat dari apa hati istriku. Dan aku merasa beruntung bisa memilikinya.

Kurangkul pundaknya, dan aku tenggelamnya kepalanya dalam dekapan ku.

"aku janji, aku tidak akan pernah melakukan kesalahan ini lagi. Aku hanya akan mencintai kamu, selamanya..." bisik ku penuh perasaan.

Dan aku hanya berharap, semoga ke depannya, aku lebih bisa menahan diriku, dari segala godaan hidup. Semoga rumah tangga kami, tetap utuh selamanya..

Ya... semoga saja..

****

Sekian..

Pembantu baru ku yang cantik part 1

Istri pak Kades

Nama ku Juna. Aku seorang mahasiswa. Usia ku sudah 22 tahun saat ini.

Kebetulan tahun ini aku dan beberapa orang teman kampus lainnya, sedang melaksanakan kegiatan KKN di sebuah desa.

Desa tersebut berjarak kurang lebih dua jam perjalanan dari kota tempat aku kuliah. Sebut saja nama desa nya, desa Meranti. Sebuah desa yang boleh di bilang sudah cukup maju.

Desa tersebut memang sedang berkembang. Transportasi nya juga sudah lancar. Jalan menuju desa tersebut sudah aspal semuanya. Listrik juga sudah masuk. Dan jaringan internet pun sudah cukup lancar.

Sumber mata pencaharian utama masayarakat desa tersebut adalah nelayan. Karena memang desa Meranti terletak di pinggiran sebuah sungai. Sebagian lagi ada juga yang berkebun atau pun bertani. Kehidupan masyarakat di sana, secara ekonomi memang sudah sangat mapan.

Kami melaksanakan KKN di desa Meranti selama kurang lebih dua bulan.

Kami berjumlah enam belas orang, tujuh cowok dan sembilan cewek. Kami semuanya tinggal di rumah pak Kades. Kebetulan rumah pak Kades cukup luas.

Kami yang cowok tinggal satu kamar, sedangkan yang cewek tinggal di dua kamar lainnya.

Pak Kades desa Meranti memang masih cukup muda. Beliau masih berusia sekitar 35 tahun, sedangkan istrinya juga masih sangat muda, mungkin baru berusia sekitar 28 tahun. Dan ternyata mereka belum memiliki anak, meski mereka sudah menikah lebih dari tujuh tahun.

Singkat cerita, aku dan teman-teman KKN lainnya pun mulai melakukan berbagai kegiatan di desa tersebut. Tentu saja di bantu oleh pak Kades sendiri dan beberapa orang perangkat desa lainnya.

Istri pak Kades yang bernama buk Erna, juga sering terlibat dalam kegiatan yang kami lakukan.

Karena tinggal serumah dengan pak Kades dan istrinya, kami juga jadi cepat akrab dan dekat. Pak Kades dan istrinya juga memperlakukan kami dengan sangat baik. Mereka sudah menganggap kami seperti keluarga sendiri.

Buk Erna, istri pak Kades tersebut, juga sangat ramah dan penuh perhatian. Dia memperlakukan kami seperti keluarganya sendiri.

Dan bahkan, kadang aku merasa, perhatian buk Erna pada ku justru terasa berlebihan. Mulai dari memperingatkan aku sudah makan atau belum, sudah mandi atau belum, sampai kadang-kadang ia sering membuatkan aku makanan kesukaan ku.

Awalnya aku menganggap semua perhatian buk Erna padaku, adalah hal biasa. Namun lama kelamaan, aku merasa buk Erna mulai bertindak agak sedikit aneh. Dia jadi sering memuji ku, sering mengajak aku ngobrol berdua, terutama saat di rumah hanya ada kami berdua.

Perhatian dan sikap buk Erna yang berlebihan tersebut, membuat aku jadi sedikit risih.

Pernah pada suatu hari, aku merasa sedikit kurang enak badan. Karena itu aku tidak ikut dengan teman-teman untuk melakukan kegiatan kami hari itu. Aku hanya berbaring malas di dalam kamar.

Saat itu, tiba-tiba buk Erna masuk ke kamar.

"katanya kamu sakit, Jun. Kamu sudah minum obat?" tanya buk Erna berbasa-basi.

"iya, buk. Saya lagi kurang enak badan aja. Tapi tadi sudah minum obat kok.." balasku ringan.

"kamu udah makan?" tanya buk Erna lagi, sambil ia duduk di samping ku.

"udah, buk." balasku singkat.

"ya udah.. kamu istirahat aja ya.. nanti saya buatkan makanan kesukaan kamu, biar kamu cepat pulih.." ucap buk Erna kemudian.

"iya, buk. Makasih ya. Buk Erna sudah sangat baik pada ku selama ini. Saya jadi gak enak.." balasku.

"kamu gak usah merasa gak enak gitu, Jun. Saya ... saya ikhlas kok. Soalnya kamu tuh orangnya juga baik dan ramah. Kamu juga cakep, Jun. Saya jadi suka sama kamu.." ucap buk Erna sedikit blak-blakan.

"maksud buk Erna apa?" tanya ku terdengar lemah.

"maksud saya... kamu tuh keren, Jun. Saya suka sama kamu. Kamu mau gak kalau kita menjalin hubungan yang lebih?" balas buk Erna lugas.

"tapi.. kan... buk Erna sudah punya suami. Saya takut, buk. Saya gak bisa.." ucapku sedikit terbata.

"kamu gak usah takut, Jun. Ini hanya sementara, kok. Selama kamu berada disini aja. Nanti kalau kamu udah pergi, semuanya juga berakhir, kok." balas buk Erna pelan.

"tapi.. buk.." ucapku terputus.

"udah... kamu mau ya.. atau kamu gak tertarik sama saya?" balas buk Erna terdengar manja.

Untuk sesaat aku terdiam. Secara fisik buk Erna memang cukup menarik. Dia cantik dan masih seksi. Tapi ...

"maaf, buk. Saya gak bisa. Saya takut pak Kades tahu.." ucapku akhirnya.

"bapak gak bakal tahu, Jun. Kamu tenang aja.. Yang penting kamu mau.. ya.." balas buk Erna, berusaha meyakinkan ku.

"kalau kamu nolak, nanti saya bilang bapak, kalau kamu merayu saya.." lanjut buk Erna lagi.

Kali ini aku terdiam lagi. Sepertinya ambisi buk Erna untuk bisa mendapatkan saya, cukup kuat. Aku sungguh tidak menyangka sama sekali, kalau buk Erna akan senekat ini.

Akhirnya dengan sangat terpaksa, aku pun menerima tawaran buk Erna. Bukan karena aku menginginkannya, tapi karena aku takut buk Erna akan memfitnah ku, dan melaporkan hal-hal yang buruk pada pak Kades.

****

Sejak saat itu, aku dan buk Erna jadi semakin sering menghabiskan waktu berdua. Ada saja kesempatan bagi kami untuk bisa menikm4ti kebersamaan kami.

Hubung4n terlar4ng ku dengan buk Erna, istri pak Kades tersebut, terus terjalin selama aku melaksanakan KKN di desa Meranti.

Entah mengapa aku pun mulai bisa menikm4ti hubung4n tersebut. Aku terkes4n dengan semua yang dil4kukan buk Erna pada ku. Sungguh sebuah pengalaman yang sangat indah bagi ku.

Hingga akhirnya, masa KKN kami pun selesai. Dan aku harus kembali ke kota.

Sejujurnya, aku merasa berat harus berpisah dengan buk Erna. Namun seperti perjanjian kami dari awal, bahwa jika aku sudah pergi dari desa tersebut, maka hubungan kami pun berakhir.

Dan begitulah, kisah indah ku bersama buk Kades yang cantik tersebut. Meski terkesan singkat, namun hal itu tidak mudah untuk dilupakan.

Aku akan selalu mengingat semua kisah itu, sebagai kenangan yang terindah dalam perjalanan hidup ku.

Walau pun aku tahu, kalau semua itu adalah sebuah kesalahan.

Aku hanya berharap, semoga saja, hal itu tidak akan pernah terjadi lagi dalam perjalanan hidupku.

Ya... semoga saja.

****

Menantu ku cantik, menantu ku sayang

Aku seorang pria yang saat ini sudah berusia 50 tahun. Aku menikah saat aku masih berusia 24 tahun. Aku menikah dengan seorang janda, namanya Amira. Waktu itu Amira sudah berusia 30 tahun dan sudah punya sorang putra. Suami pertamanya pergi meninggalkannya saat ia sedang hamil.

Aku hanya seorang buruh pabrik waktu itu, sementara Amira adalah seorang pengusaha yang cukup sukses. Dia punya beberapa buah toko pakaian. Jujur, aku menikahi Amira waktu itu, hanya untuk merubah kehidupan ku.

Kala itu, aku hanya seorang perantau. Aku hidup sendirian di kota besar ini. Sampai akhirnya aku bertemu Amira. Dan karena aku tahu, kalau Amira adalah janda kaya, aku pun berusaha untuk mendekatinya. Hingga akhirnya kami pun menikah.

Putra Amira yang bernama Fhandi itu, saat itu masih berusia empat tahun. Aku pun berusaha menyayanginya dan menganggapnya seperti anak sendiri.

Sejak menikah dengan Amira kehidupanku pun berubah. Aku tak lagi menjadi kuli proyek. Aku di percaya oleh Amira untuk mengelola semua tokonya. Sementara Amira lebih memilih untuk menjadi ibu rumah tangga.

Pernikahan ku dengan Amira pun membuahkan dua orang anak. Satu laki-laki dan satu perempuan. Kehidupan keluarga kami pun berjalan dengan harmonis. Meski pun awalnya niat ku menikahi Amira hanya untuk merubah taraf kehidupan ku. Namun lama-kelamaan aku mulai menyayanginya, apa lagi sejak kehadiran dua orang buah hati kami.

Fhandi, yang merupakan anak tiri ku itu, juga tidak kekurang kasih sayang dari kami. Aku tidak membedakannya dengan keudua naak kandung ku. Aku berusaha bersikap adil kepada mereka bertiga. Hingga akhirnya mereka pun tumbuh menjadi anak-anak yang saling menyayangi dan saling mendukung satu sama lain.

Saat ini, Fhandi sudah berusia sekitar 30 tahun. Ia baru saja menikah sekitar setahun yang lalu. Sejak menikah, Fhandi memang tidak tinggal satu atap lagi dengan kami. Apa lagi ia juga sudah punya pekerjaan di sebuah perusahaan besar. Dia juga sudah punya rumah sendiri, dan tinggal beruda bersama istri nya.

Istrinya bernama Sella, usianya masih 24 tahun. Ia tidak bekerja. Karena Fhandi tidak memperbolehkan istrinya untuk bekerja. Karena itu, Sella lebih sering menghabiskan waktu di rumahnya sendirian. Kadang-kadang Sella juga masih sering datang ke rumah kami, sekedar berkunjung dan ngobrol bersama ibu mertua nya. Apa lagi jarak rumah mereka tidak terlalu jauh dari rumah kami. Masih satu kompleks.

Aku dan Sella juga lumayan dekat. Karena Sella memang cukup ramah orangnya. Dia juga orang yang suka ceplos-ceplos, sedikit heboh kalau lagi bercerita. Tipe wanita yang tidak suka diam. Dengan adik-adik iparnya ia juga sangat dekat.

Sudah lebih dari setahun Fhandi dan Sella menikah. Namun Sella belum juga hamil. Hal itu Sella akui sendiri kepada kami. Karena itu juga ia jadi sering merasa kesepian. Apa lagi Fhandi saat ini, juga sering mendapat tugas ke luar daerah. Sella jadi sering tinggal sendirian di rumah.

Pada suatu hari, seperti biasa Sella berkunjung ke rumah kami sendirian. Suaminya sudah dua hari tidak pulang, karena ada pekerjaan di luar daerah. Sementara saat itu aku hanya sendirian di rumah. Istri ku sedang pergi berbelanja ke pasar.

Aku memang lebih sering menghabiskan waktu di rumah saat ini, karena urusan toko-toko kami, sudah aku serahkan sepenuhnya kepada anak pertama ku. Dia yang mengelola nya sekarang. Sedangkan anak bungsu ku masih sibuk dengan kuliahnya.

"bapak sendirian? Ibu mana?" tanya Sella saat ia langsung masuk ke ruang keluarga.

"ibu pergi belanja ke pasar." jawab ku apa adanya.

"udah lama perginya?" tanya Sella lagi.

"baru beberapa menit yang lalu.." jawabku.

"berarti masih lama ya, pak. Ibu pulangnya?" Sella bertanya lagi.

"ya.. begitulah. Emangnya kamu ada perlu apa sama ibuk?" balasku sedikit bertanya.

"gak ada perlu apa-apa sih, pak. Justru aku perlu nya sama bapak..." ucap Sella, seperti biasa selalu ceplas-ceplos.

"kamu ada perlu apa sama saya?" tanyaku sedikit heran.

"kasih tips nya donk, pak. Biar aku dan mas Fhandi bisa cepat punya momongan." ucap Sella kemudian.

Sekilas aku menatap Sella dengan kening berkerut. Aku tak menyangka sama sekali, kalau Sella akan bertanya hal tersebut pada ku.

"kalian baru menikah sekitar setahun lebih loh. Jadi masih wajar kalau kalian belum punya keturunan. Kamu mungkin hanya harus lebih sabar aja.." ucapku akhirnya.

"tapi aku kesepian, pak. Kalau aku punya anak, aku pasti gak bakal kesepian lagi." balas Sella dengan suara sedikit manja.

"kamu kan masih punya kami, Sella. Rumah ini terbuka untukmu." ucapku ringan.

"iya sih, pak. Tapi sebagai seorang istri, wajar kan kalau aku pengen punya anak.." balas Sella kemudian.

"yah.... kamu harus lebih sabar lagi, Sella. Kalian masih terus berusaha kan?" ucapku.

"itu dia masalahnya, pak. Mas Fhandi kan jarang di rumah. Jadi rasanya usaha kami masih kurang maksimal." balas Sella pelan.

"bapak bisa bantu saya gak?" tanya Sella melanjutkan.

"bantu apa?" tanya ku balik.

"yah... bapak ngerti lah maksud saya.. Bapak kan masih terlihat segar... pasti masih mampu kan?" ucap Sella dengan suara yang sedikit tertahan.

Kali ini aku terdiam. Aku mulai mengerti maksud Sella. Sebagai laki-laki normal, aku memang cukup tertarik dengan tawaran Sella. Apa lagi Sella masih muda dan cantik. Apa lagi istri ku sebenarnya sudah lama tidak bisa memenuhi kebutuhan saya sebagai suami, karena usianya yang sudah cukup tua.

Saya juga bukan lak-laki baik. Dulu, saya menikah dengan istri saya, justru karena ia kaya. Sekarang Sella datang dan menawarkan sesuatu yang sangat menarik.

"gimana, pak? Bapak bersedia kan?" ucap Sella kemudian, melihat saya yang hanya terdiam.

"kamu yakin, Sel?" tanyaku.

"saya sangat yakin, pak." balas Sella mantap.

"oke, saya bersedia. Tapi... ini hanya bersifat sementara, sampai kamu bisa punya anak. Dan ini hanya akan menjadi rahasia kita berdua..." ucapku akhirnya.

Sella pun tersenyum penuh kemenangan.

*****

Dan begitulah, sejak saat itu, aku dan Sella jadi punya hubungan khusus. Kami punya jadwal tertentu untuk bisa bertemu. Mengingat Fhandi jarang berada di rumah, kami semakin punya banyak waktu untuk bisa bertemu.

Dan hal itu terus terjadi selama berbulan-bulan. Hingga akhirnya Sella pun hamil.

Kehamilan Sella tentu saja menjadi kabar paling membahagia kan di keluarga kami, terutama untuk Fhandi.

Namun hal itu tidak terlalu membuat aku bahagia, karena dengan kehamilan Sella, itu berarti aku akan kehilangan kesempatan untuk bisa bersama nya lagi.

Jujur, ada rasa kecewa di hati ku. Karena aku sudah terlanjur menyayangi Sella. Kebersamaan kami selama beberapa bulan ini, telah membuat aku jatuh cinta pada Sella.

Tapi sekarang, semua itu telah berakhir. Aku tak bisa lagi menghabiskan waktu berdua bersama Sella seperti biasa. Apa lagi Fhandi juga jadi semakin sering berada di rumah, sejak istrinya hamil. Apa lagi Sella juga seperti sengaja menghindari ku.

Pernah suatu hari, aku berusaha menemui Sella di rumahnya, saat suaminya sedang bekerja.

"seperti perjanjian kita dari awal, pak. Hubungan kita hanya bersifat sementara. Dan sekarang sudah saat nya kita mengakhiri itu semua." ucap Sella terdengar tegas.

"tapi aku sudah terlanjur sayang sama kamu, Sel. Dan kamu juga harus ingat, kalau anak dalam kandungan mu itu adalah anak ku." ucapku tajam.

"dan bapak akan menceritakan hal tersebut pada mas Fhandi? Pada istri bapak? Atau pada anak-anak bapak?" balas Sella dengan nada cukup keras.

"bukan begitu maksud saya, Sel. Saya hanya ingin kita terus berhubungan seperti biasa. Saya tidak bisa melepaskan kamu begitu saja.." ucapku membalas.

"tapi saya gak bisa lagi, pak. Saya gak mau selamanya harus membohongi mas Fhandi. Jadi saya mohon, lebih baik kita saling melepaskan. Dan bapak jangan pernah lagi coba mendekati saya." ucap Sella, kali ini suara nya cukup menghiba.

Aku akhirnya hanya bisa terdiam. Keputusan Sella untuk mengakhiri hubungan kami, sepertinya sudah sangat bulat. Aku tak mungkin memaksanya. Lagi pula, mungkin ini jauh lebih baik. Karena jika kami terus berhubungan, tentu saja hal itu akan mengundang kecurigaan Fhandi atau pun istri ku.

Karena itu akhirnya aku memutuskan untuk pergi dan melepaskan Sella. Meski hati ku merasa sakit dan kecewa. Namun biar bagaimana pun, hubungan kami memang harus berakhir. Karena jelas hal itu adalah sebuah kesalahan.

Dan sebelum semuanya semakin terlambat, kami memang harus saling melepaskan.

****

Misteri gadis yang hilang part 5

Detektif Akmal menahan napas, lalu kemudian melepaskannya dengan lega, saat akhirnya ketiga orang tersebut berlalu. Akmal belum berani untuk bertindak lebih. Dua orang pengawal tersebut juga memiliki pistol, jika Akmal mencegat mereka sekarang, pasti akan terjadi keributan, yang akan mengundang kedatangan para pengawal lainnya. Karena Akmal tetap memilih untuk bersembunyi.

Setelah merasa cukup aman, Akmal kembali menyelinap keluar dari gudang tersebut. Ia harus segera keluar dari gedung tersebut, sebelum kehadirannya diketahui oleh para pengawal yang bisa saja memergokinya. Setidaknya sekarang ia sudah tahu, kalau gadis yang ia cari memang berada di dalam gedung tersebut.

Akmal berhasil menyelinap keluar. Dia pun dengan sedikit berlari menuju tempat mobil terparkir. Di sana Piter dan Alena sedang menunggu dengan cemas.

"bagaimana?" tanya Piter ingin tahu, ia tak pedulikan Akmal yang masih berusaha mengatur napasnya.

Akmal tidak menghiraukan pertanyaan Piter barusan, ia langsung saja masuk ke dalam mobil.

"kita harus pergi dari sini sekarang, sebelum orang-orang itu mulai curiga." ucap Akmal setelah ia berada di dalam mobil.

"lalu bagaimana dengan Lila?" kali ini Alena yang bertanya.

"Lila ada di dalam, tapi kita tidak bisa menyelamatkannya sekarang, kita harus atur rencana dulu." balas Akmal, sambil mulai menjalankan mobilnya.

"apa rencananya?" tanya Piter tak sabar.

"nanti kita kembali lagi kesini, dan aku butuh teman untuk masuk ke dalam. Sekitar jam empat subuh kita masuk, karena pada jam itu biasanya keadaan akan aman." jelas Akmal.

"aku ikut.." ucap Alena, entah menawarkan diri atau bertanya.

"aku dan Piter yang akan masuk ke dalam, kamu tunggu di mobil dan bersiap-siap untuk menjalankan mobil saat kami sudah kembali nanti.." ucap Akmal kemudian.

Alena pun akhirnya hanya bisa diam. Ia sebenarnya tidak tahu, pilihan mana yang terbaik untuknya saat ini. Menunggu di mobil atau ikut masuk ke dalam, baginya sama-sama besar resikonya.

"lalu kita akan kemana menunggu jam empat?" Piter bertanya dari belakang.

"kita ke rumah ku, untuk beristirahat, dan juga mengambil beberapa perlengkapan ku di sana." balas Akmal.

Mobil itu pun melaju menuju rumah Akmal yang berjarak kurang lebih sepuluh kilometer dari situ.

****

Lila masih berusaha meronta, saat kedua pengawal tersebut membawanya ke lantai atas. Di depan sebuah kamar mereka berhenti. Salah seorang pengawal tersebut mengetuk pintu kamar tersebut. Sesaat kemudian, pintu itu pun terbuka. Seorang lelaki tua berperut buncit tersenyum menyambut mereka.

"ini pesanannya, tuan." ucap salah seorang pengawal, sambil mendorong tubuh Lila ke depan pria tua tersebut.

Pria tua tersebut semakin melebarkan senyum, "bawa masuk ke dalam.." ucapnya.

Kedua pengawal tadi, segera mendorong tubuh Lila, agar ikut masuk. Sementara Lila masih terus berusaha meronta, melepaskan diri.

Sesampai di dalam, kedua pengawal pun melepaskan pegangannya pada tubuh Lila. Lalu mereka berdua pun pamit keluar. Lila hanya berdiri menatap lelaki tua yang ada di depannya sekarang.

"anda siapa?" tanya Lila cukup berani, setelah kedua pengawal tadi meninggalkan mereka berdua. Lila sadar, kalau pun saat itu hanya ada lelaki tua tersebut, dia juga tidak bisa kabur. Pintu kamar itu sudah terkunci. Untuk itu Lila pun berusaha menjalin komunikasi dengan lelaku tua tersebut, agar ia punya banyak waktu untuk terus memikirkan cara untuk kabur.

"panggil saya om Hadi." ucap laki-laki tua itu akhirnya, "saya adalah orang yang telah membeli kamu malam ini. Dan saya membeli kamu sangat mahal, karena katanya kamu masih perawan." lanjut laki-laki itu dengan gaya angkuhnya.

Lila menelan ludah pahit mendengarkan hal tersebut. Meski ia sudah mendengarkan semua cerita tentang tempat ini dari Atika, teman satu kamarnya, ia tetap saja merasa mual mendengarkan hal tersebut.

"jadi malam ini kamu milik saya. Kamu harus mengikuti keinginan saya." laki-laki itu berucap lagi, sambil mulai melangkah mendekat.

"saya... saya.. tidak sudi melayani anda.." suara Lila bergetar.

"kamu tidak bisa menghindari ini, kamu sudah saya bayar.." balas laki-laki itu tajam.

Lila terdiam, karena om Hadi sudah memegang kedua pundaknya.

"kamu cantik sekali.." bisik om Hadi berusaha menggoda.

Lila berusaha menepis tangan om Hadi, tapi cengkeraman om Hadi justru semakin kuat. Tapi Lila tidak kehabisan akal, ia menangkat lututnya, lalu menendang bagian sensitif milik om Hadi.

"akhk.." om Hadi terjerit, tanganya pun terlepas. Lila segera memanfaatkan kesempatan tersebut. Ia berlari menuju pintu, tapi sayangnya pintu itu sudah terkunci. Dan kunci ada di atas meja di samping ranjang. Lila hendak mengambil kunci tersebut, tapi om Hadi kembali mencegatnya.

"lepaskan saya.." teriak Lila, sambil terus berusaha melepaskan diri dari dekapan om Hadi.

"kamu tidak akan bisa kemana-mana.." ucap om Hadi kasar. Ia mendorong tubuh Lila ke atas ranjang.

Lila tetap meronta. Ia tak ingin menyerah. Tangannya meraih bantal, lalu melemparkannya ke arah om Hadi. Tentu saja hal itu tidak bisa menghentikan om Hadi. Tapi setidaknya Lila jadi punya kesempatan untuk kembali berdiri. Ia berlari kembali ke arah meja untuk meraih kunci.

Om Hadi sekali lagi berhasil meraih tubuhnya, Lila kembali meronta. Sampai ia melihat di atas meja ada sebuah telepon. Tangannya berusaha meraih telepon tersebut. Dan saat ia berhasil mendapatakan telepon itu, ia pun melayangkan telepon tersebut ke arah om Hadi.

Om Hadi coba menghindar, tapi terlambat, telepon itu telah mengenai kepalanya. Sekali lagi om Hadi mengerang kesakitan. Lila pun segera meraih kunci kamar, dan berlari ke arah pintu. Dengan tangan gemetar ia berusaha membuka pintu tersebut. Sementara om Hadi masih terus berusaha mendekatinya, sambil terus memegangi kepalanya yang sakit.

Dengan susah payah akhirnya Lila berhasil membuka pintu itu. Ia segera berlari ke bawah. Namun dua orang pengawal tadi melihatnya. Mereka berusaha mengejar Lila.

Saat menuruni tangga, Lila terpeleset. Ia pun jatuh bergulingan ke bawah. Kedua pengawal segera menangkapnya. Kepala Lila terbentur ubin tangga, keningnya berdarah. Tapi Lila masih sadarkan diri, ia terus berusaha melawan. Namun kedua pengawal itu berhasil membekuknya.

Om Hadi pun tiba di sana, ia terlihat sangat marah.

"bawa perempuan brengsek ini pergi dari sini. Saya tidak membutuhkannya lagi." ucap Om Hadi dengan nada tinggi. Setelah berkata demikian, om Hadi pun segera berlalu dari sana.

Kedua pengawal tersebut pun menyeret Lila untuk kembali kamarnya. Mereka tak pedulikan kening Lila yang berdarah. Bagi kedua pengawal tersebut, itu merupakan hal biasa. Bukan sekali dua kali, seseorang berusaha lari dari kamar tamu, apa lagi bagi para perempuan yang baru pertama kali menerima tamu.

Tubuh Lila mereka lempar dengan kasar untuk memasuki kamar tempat Lila di sekap. Lila terduduk. Tubuhnya terasa sakit. Tapi ia merasa sedikit lega. Setidaknya untuk sementara ia selamat dari cengkeraman laki-laki tua hidung belang yang mengaku bernama om Hadi tadi.

"kamu gak apa-apa?" Atika, teman sekamar Lila coba membantu Lila untuk berdiri.

"saya gak apa-apa. Ini jauh lebih baik, dari pada saya harus melayani laki-laki bejat itu." balas Lila sambil berjalan menuju dipan kecilnya.

"kamu mungkin bisa bebas malam ini. Tapi kamu belum tentu bisa bebas untuk malam-malam selanjutnya." ujar Atika.

"dulu saya juga seperti itu. Tapi akhirnya saya menyerah. Karena bos tidak akan tinggal diam, jika kita terus melawan." lanjut Atika kemudian.

Lila menarik napas berat. Ia bertekad untuk bisa keluar dari tempat terkutuk tersebut. Tapi ia benar-benar tidak tahu bagaimana caranya.

"jangan berpikir untuk kabur.." suara Atika terdengar lagi, "sekali pun kamu berhasil kabur, bos tidak akan membiarkan kamu bebas begitu saja. Mereka akan mencari mu sampai ketemu, dan mereka akan membunuhmu di tempat. Sudah banyak para gadis yang mengalami hal tersebut." lanjut Atika.

"apa yang membuat kamu tetap bertahan?" tanya Lila ingin tahu.

"satu-satunya cara untuk tetap bertahan ialah dengan mengikuti keinginan mereka." balas Atika.

"tapi aku tidak ingin menghabiskan hidup ku di sini..." ucap Lila lemah.

"kita gak punya pilihan, Lila. Pilihan kita hanya satu, yakni mengikuti keinginan mereka." balas Atika.

"kita harus bisa kabur dari sini, Atika. Pasti ada caranya." ucap Lila lagi.

"saya sudah lebih empat bulan berada disini, Lila. Bangunan ini di jaga dengan ketat. Tidak ada yang bisa kabur dari sini. Sekali pun ada, seperti yang saya katakan tadi, mereka akhirnya pun di bunuh." balas Atika.

Sekali lagi Lila bergidik. Hatinya tiba-tiba ciut. Tapi ia juga tidak ingin pasrah begitu saja. Karena itu ia terus berpikir, untuk bisa kabur dari tempat itu.

*****

Jam empat menjelang subuh, sesuai rencana, Akmal, Piter dan Alena sudah berada di tempat yang mereka rencanakan. Mobil mereka parkir tak jauh dari gedung tempat Lila berada.

Segera Akmal dan Piter menyusup ke belakang gedung, mengikuti jalan yang pernah Akmal tempuh sebelumnya. Perjalanan mereka jadi lebih mudah, karena Akmal sudah pernah masuk ke dalamnya melalui jalan tersebut. Sementara Alena menunggu mereka di mobil dengan perasaan yang tak karuan.

Sesampai di dalam, Akmal dan Piter, dengan mengendap-endap menyelusuri koridor, yang di kiri kanannya tersusun kamar-kamar. Akmal sudah tahu persis kamar mana yang akan mereka tuju.

"anda yakin ini kamarnya?" tanya Piter sepelan mungkin.

Akmal mengangguk yakin, "kamu ketuk aja pelan-pelan, jangan sampai terdengar ke atas." ucapnya.

Akmal sengaja memegang pistolnya buat berjaga-jaga.

Piter mengetuk pintu itu dengan pelan, namun tidak ada reaksi apa pun dari dalam.

Piter mencobanya beberapa kali.

Sementara di dalam kamar, Lila yang belum bisa tertidur mendengar ketukan di pintu kamarnya. Ia kaget dan mulai merasa takut. Ia pikir itu adalah para pengawal yang akan memaksanya lagi.

Tapi kemudian ia sadar, jika itu adalah para pengawal, untuk apa mereka harus mengetuk pintu. Bukankah pintu kamar itu mereka kunci dari luar?

Menyadari hal tersebut, Lila segera bangkit dan berjalan menuju arah pintu dengan hati-hati.

Piter yang tidak mendengar reaksi apa pun dari dalam, mulai merasa putus asa.

"kita harus cepat, Piter. Waktu kita tidak banyak.." ucap Akmal berbisik.

"Lila....." ucap Piter berusaha memanggil orang yang berada di dalam kamar tersebut.

Saat itu Lila memang sedang berada di dekat pintu, ia pun mendengar suara panggilan tersebut.

"Piter..?" balas Lila setengah ragu. 

"iya, ini aku, Lila. Tolong buka pintunya, kami akan membawa kamu keluar dari sini.." ucap Piter sangat pelan.

Lila mencubit pipinya sendiri. Sakit! Ia merasa kalau ia sedang bermimpi atau sedang berhalusinasi.

"cepat Lila.." suara Piter terdengar lagi.

"pintu ini terkunci dari luar, Piter. Kami gak bisa membukanya dari dalam.." ucap Lila akhirnya, setelah cukup yakin, kalau hal itu nyata.

"kami?" tanya Piter ragu.

"iya, kami berdua di dalam kamar ini." jelas Lila.

"lalu bagaimana membuka pintu ini?" Piter pun bertanya pada Akmal, yang sedari tadi hanya terdiam, sambil terus memperhatikan sekeliling, untuk berjaga-jaga.

"aku juga tidak tahu, Ter.." Lila yang menjawab.

"aku gak lagi ngomong sama kamu, Lila." ucap Piter.

"lalu sama siapa?" tanya Lila penasaran.

Piter tidak menjawab, karena ia melihat Akmal mengeluarkan sebuah kunci dari dalam sakunya. Akmal terpaksa lagi menggunakan kunci serba gunanya untuk membuka pintu tersebut. Tapi ternyata kali ini lebih sulit dari yang ia pikirkan. Pintu itu tidak mudah terbuka.

Akmal akhirnya mengeluarkan sebuah obeng dari sakunya, untuk membantu agar pintu itu bisa cepat terbuka. Cukup lama Akmal berusah untuk membuka pintu tersebut, namun belum juga berhasil.

"kita dobrak aja.." tawar Piter tak sabar.

"jangan!" cegah Akmal, "suaranya akan bikin gaduh.." lanjut Akmal.

"lalu bagaimana?" tanya Piter lagi.

"kamu gak lihat saya sedang berusaha untuk membukanya, jadi kamu lebih baik diam. Omongan mu itu gak membantu sama sekali." balas Akmal terdengar kasar.

Piter pun tak berucap apa-apa lagi, ia terus memperhatikan Akmal yang terus berusaha membuka kunci pintu tersebut.

Sementara di dalam kamar, Lila menunggu dengan gelisah.

"ada apa?" tanya Atika, saat ia akhirnya terbangun melihat Lila yang berdiri di dekat pintu.

Lila tidak menjawab, ia hanya memberi isyarat kepada Atika untuk tidak bersuara. Atika bangkit dari tidurnya, dan berjalan pelan mendekati Lila.

"kamu mau kabur?" tanya Atika.

Belum sempat Lila menjawab pertanyaan Atika barusan, pintu kamar itu pun terbuka. Dua orang laki-laki berdiri di ambang pintu.

"Piter.." teriak Lila tertahan. Ia segera menghambur dalam pelukan Piter. Piter balas mendekap tubuh ramping itu. "aku sangat ketakutan, Ter. Bawa aku pergi dari sini." ucap Lila lagi.

"sudah ... gak ada waktu untuk itu sekarang, kita harus cepat pergi dari sini, sebelum semua orang terbangun." ucap Akmal tegas.

Piter segera melepaskan dekapannya, lalu meraih tangan Lila untuk membawanya keluar dari kamar tersebut.

"tunggu.." cegah Lila.

Lila melihat ke belakang, Atika berdiri terpaku di sana.

"kamu harus ikut bersama kami, Tika." ucap Lila, sambil menarik tangan Atika.

"apa kalian yakin kita akan selamat?" ucap Atika, masih tetap menahan langkahnya.

"udah... kita harus pergi secepatnya dari sini sekarang.." kali ini Akmal yang berucap, sambil ia menarik tangan Atika dengan sedikit kasar. Atika pun akhirnya mengikuti langkah mereka.

"berapa lama lagi waktu kita?" tanya Akmal entah kepada siapa.

"sekarang jam lima lewat empat lima, berarti kita hanya punya waktu kurang lebih lima belas menit lagi." Atika yang menjawab pertanyaan tersebut.

Mereka berempat terus berjalan menuju pintu keluar belakang tempat Akmal dan Piter tadi masuk.

"kenapa kamu bisa menyimpulkan seperti itu?" Piter yang bertanya.

"karena setiap jam enam pagi, para pengawal akan memeriksa setiap kamar yang ada di sini. Jadi kalau mereka tahu, kamar kami kosong, mereka pasti akan mengejar kita." jelas Atika.

"kalau begitu kita harus bergegas.." ucap Akmal menimpali.

Mereka pun berlari menuju keluar gedung tersebut. Melewati tembok dan berlari di dalam semak-semak dalam kegelapan. Tanpa sadar, kaki Lila tersandung sebatang kayu yang melintang di jalan mereka. Lila terjerembab jatuh, Ia menjerit tertahan. Ia merasakan lututnya berdarah.

Piter berusaha membantunya berdiri. Tapi Lila merasa tubuhnya lemah.

"aku gak kuat lagi, Piter.." ucap Lila lemah.

Tanpa pikir panjang, Piter pun segera memopong tubuh Lila, dan Piter kembali berlari, sambil ia terus menggendong tubuh Lila.

Sementara itu, Alena yang sedang menunggu mereka di dalam mobil, mulai merasa gelisah. Sudah hampir dua jam Akmal dan Piter berada di dalam sana. Tapi mereka belum juga kembali.

Sesuai perjanjian, jika mereka tak kembali hingga jam enam pagi, Alena harus segera pergi dari sana.

Alena melirik arloji nya, kurang tiga menit dari jam enam. Itu artinya ia harus bersiap-siap untuk segera pergi dari sana. Saat Alena berusaha menghidupkan mobil, tiba-tiba dari kaca spion ia melihat bayangan orang-orang yang sedang berlari menuju mobilnya. Alena mulai merasa cemas. Ia merasa takut.

Namun saat orang-orang tersebut, sampai di dekat mobil, Alena merasa lega. Ternyata mereka adalah Akmal dan kawan-kawan yang sampai tepat pada waktunya. Mereka segera masuk ke mobil, dan Alena pun segera memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi.

"apakah kita sudah aman?" tanya Alena, saat mobil mereka sudah cukup jauh.

"kita tidak akan pernah aman." Atika yang menjawab, "selama tempat itu masih ada, kita tidak akan pernah aman. Mereka pasti akan tetap mencari kami berdua." lanjut Atika dengan nada cemas.

"kamu tenang, Atika. Kita akan selesaikan ini secepatnya." ucap Akmal membalas.

Piter dan Alena saling bertatapan penuh tanya.

"kalian sudah saling kenal?" Piter bertanya juga akhirnya.

"Atika adalah informan saya di dalam." balas Akmal.

"maksudnya?" tanya Piter.

"kamu pikir saya bisa masuk ke sana dengan mudah itu karena apa? Karena saya beruntung?" balas Akmal. "Atika yang mengarahkan saya untuk melewati jalan tersebut. Atika juga yang memberitahu saya, kapan waktu yang tepat untuk saya bisa masuk ke dalam sana." lanjut Akmal.

"bagaimana kalian bisa saling kenal?" kali ini Alena ikut bertanya.

"kalian ingat kasus yang pernah saya ceritakan dulu? Kasus gadis yang di culik, tapi saat saya coba selamatkan dia, dia sudah kabur duluan, dan akhirnya ia pun di bunuh. Kalian ingat kan?" balas Akmal.

Piter dan Alena pun mengangguk serentak.

"untuk menyelidiki kasus tersebut, saya harus masuk ke dalam. Saya pun berpura-pura jadi tamu di sana, dan kebetulan saya melihat Atika, saya pun meminta Atika untuk menemani saya malam itu. Kami pun berkenalan, dan saya pun menceritakan tujuan saya disana kepada Atika semuanya. Atika juga menceritakan semua yang ia ketahui tentang tempat itu kepada saya. Sejak saat itu, Atika seringa memberitahu saya kabar-kabar terbaru mengenai tempat tersebut." jelas Akmal panjang lebar.

"itulah kenapa anda begitu yakin, kalau kamar yang kita ketuk tadi adalah kamar tempat Lila?" Piter masih bertanya.

"itu hanya kebetulan." balas Akmal, "sebenarnya saya tidak tahu, kalau Lila juga ada di dalam. Yang saya tahu itu adalah kamar tempat Atika selama ini, karena itu saya langusng menuju kamar tersebut, dan kebetulan ada Lila juga di sana." lanjutnya.

"jadi sebenarnya tujuan anda kesana bukan untuk menyelamatkan Lila, tapi justru ingin menyelamatkan Atika?" tanya Piter lagi.

"kamu jangan salah paham. Aku tidak tahu di mana Lila di kurung, satu-satunya orang yang aku kenal di sana ya cuma Atika, dan harusnya Atika juga tahu dimana Lila di kurung, karena itu aku ingin menemui Atika terlebih dahulu untuk bertanya dimana keberadaan Lila. Namun karena Lila sudah berada di sana, aku rasa hal itu tidak perlu di bahas lagi." jelas Akmal lagi.

"lalu apa rencana kita sekarang?" Alena memotong perdebatan itu cepat.

"kita ke rumah ku. Di sana kalian akan aman." balas Akmal.

"kita harus lapor polisi.." Lila berucap, saat mereka sudah berada di rumah Akmal.

"iya.. saya setuju..." balas Akmal yakin.

"anda setuju?" Piter bertanya heran, "bukankah dulu anda katakan bahwa tempat itu kebal hukum, percuma lapor polisi karena pasti tidak akan di tanggapi." lanjut Piter.

"iya, itu benar. Tapi sekarang kita punya dua orang saksi, kita punya korban." balas Akmal.

"ingat, tidak semua polisi dan pejabat yang terlibat di sana. Dan saya tahu, siapa polisi yang tepat untuk menangani kasus ini. Nanti siang kita akan menemuinya. Dengan adanya Atika dan Lila sebagai saksi, saya yakin, tempat itu akan segera di tutup. Dan pemiliknya akan segera di tangkap." Akmal berucap lagi.

*****

Siang itu, Akmal dan teman-temannya itu pun melaporkan hal tersebut. Dengan kesaksian langsung dari Atika dan Lila, kasus itu bisa terungkap dengan mudah. Pihak polisi pun segera bertindak. Mereka menggerebek tempat tersebut. Mengamankan para korban yang masih berada disana. Menangkap semua yang terlibat, termasuk pemilik tempat tersebut.

Lila, Atika dan beberapa orang gadis yang pernah jadi korban tempat tersebut, menjadi saksi utama dalam kasus tersebut. Si pengusaha pemilik tempat itu, akhirnya di penjara sesuai dengan hukum dan undang-undang yang berlaku. Tempat prostitusi tersebut akhirnya tutup untuk selama-lamanya. Bangunannya menjadi sitaan negara.

Lila sangat lega mengetahui semua itu. Kini tidak ada lagi yang perlu ia takutkan. Ia bisa melanjutkan hidupnya kembali.

"terima kasih, ya, Ter..." ucap Lila suatua hari di kampus.

"aku senang kamu selamat.." balas Piter.

"kamu sudah melakukan banyak hal untuk ku..." ucap Lila.

"apa pun akan aku lakukan untuk bisa menyelamatkan kamu, Lila." balas Piter.

"kenapa?" tanya Lila pelan.

"karena aku telah jatuh cinta padamu.." balas Piter.

"kenapa kamu tidak pernah mengatakannya selama ini?" tanya Lila.

"karena aku belum punya keberanian untuk mengatakannya. Dan sekarang, aku tak ingin memendamnya lagi. Aku cinta kamu, Lila. Mau kah kamu menjadi pacarku?" ucap Piter penuh perasaan.

"iya..." balas Lila sangat pelan.

"apa? Aku gak dengar loh.." ucap Piter dengan nada menggoda.

"iya, Piter. Aku mau..." balas Lila akhirnya.

Piter tersenyum senang. Butuh perjuangan yang sangat penjang, untuk bisa memiliki gadis impiannya. Dan hal itu membuat Piter yakin, kalau Lila adalah gadis yang tepat untuknya.

Lila pun menyandarkan kepalanya di bahu kekar Piter. Ia merasa sangat bahagia. Piter adalah sosok laki-laki yang sangat bertanggungjawab. Dan Lila merasa nyaman berada di sampingnya.

****

Cari Blog Ini

Layanan

Translate