Hidup serumah dengan janda kaya

Aku melangkah gontai dalam kegelapan malam. Pikiran ku kacau. Aku benar-benar tidak tahu lagi harus kemana. Aku kehilangan arah. Aku hampir kehilangan semuanya.

Berawal dari aku yang di pecat dari pekerjaan ku sebagai seorang karyawan di sebuah perusahaan swasta. Aku bekerja di sana sebenarnya baru sekitar satu tahun. Namun karena pendemi yang sedang melanda, perusahaan tempat aku bekerja harus melakukan pengurangan karyawan. Dan aku salah satu korbannya.

Dulu aku merantau ke kota, karena sudah mendapatkan pekerjaan yang layak. Tapi sekarang aku sudah tidak punya pekerjaan lagi. Semua uang tabungan ku pun sudah terkuras, karena sudah hampir empat bulan aku menganggur.

Aku sudah berusaha mencari pekerjaan lain, namun tidak satu pun pekerjaan yang aku dapatkan.

Terpikir untuk pulang ke kampung halaman ku, namun di kampung aku sudah tidak punya siapa-siapa. Selain kak Hana, kakak ku satu-satunya. Kehidupan kak Hana juga sangat sulit di kampung, karena itu aku tak ingin menambah bebannya.

Sekarang ini, aku bahkan sudah tidak punya tempat tinggal. Ibu kost sudah mengusir ku dari tempat kost, karena sudah lebih dari dua bulan aku tidak membayar uang kost. Aku terpaksa pergi dari sana, walau sebenarnya aku tidak punya tujuan yang jelas.

****

Aku duduk di depan sebuah ruko yang tertutup, untuk beristirahat. Tubuhku terasa lelah.

Saat itulah seorang wanita paroh baya keluar dari ruko tersebut. Wanita itu menatap ku sesaat, kemudian melangkah mendekat.

"kamu siapa?" tegurnya lembut.

Aku tak berniat untuk menjawab pertanyaan itu, karena aku memang tidak tahu harus menjawab apa.

Aku justru berusaha untuk berdiri, aku berniat untuk pergi dari tempat itu.

"kamu jangan pergi dulu." cegah wanita itu, "saya bisa minta tolong?" lanjutnya bertanya.

"minta tolong apa?" tanya ku akhirnya, sambil tetap berdiri.

"keran air di dapur ku sepertinya tersumbat, tadinya aku berniat untuk memanggil tukang. Tapi karena melihat kamu tadi, aku jadi berubah pikiran. Mungkin kamu bisa membantu ku memperbaikinya, sepertinya kerusakannya hanya sedikit." jelas wanita itu panjang lebar.

"baiklah.." ucapku setuju.

Wanita itu tersenyum. Kemudian ia segera mengajak aku masuk ke dalam rukonya.

Ruko itu ternyata adalah sebuah toko pakaian khusus perempuan. Di bagian tengah ruko, terdapat banyak berbagai jenis pakaian wanita dewasa.

"mbak tinggal sendiri?" tanyaku sekedar ingin tahu.

"namaku Nita, panggil aja mbak Nita." balas wanita itu, seperti mengabaikan pertanyaan ku.

"aku sudah bertahun-tahun membuka usaha toko pakaian di sini, dan sudah bertahun-tahun juga, aku tinggal sendiri, sejak aku bercerai dari suamiku." cerita mbak Nita terdengar sangat terbuka.

Aku hanya manggut-manggut ringan mendengar penjelasannya tersebut. Hingga kemudian kami pun sampai di dapur, setelah melewati sebuah kamar, yang aku yakin di kamar itulah mbak Nita tinggal.

Aku pun segera memeriksa keran air yang tersumbat tersebut. Dan setelah dengan cukup susah payah, aku pun berhasil memperbaikinya. Ada plastik yang menyumbat bagian ujung keran tersebut.

"seperti sudah lancar kembali." ucapku, dengan tangan ku yang basah kuyup.

Mbak Nita segera memberiku sebuah handuk kecil.

"keringkan dulu tangannya." ucap mbak Nita.

Aku mengambil handuk kecil tersebut, lalu segera mengeringkan tangan ku.

"sebagai ucapan terima kasih, bagaimana kalau kita makan malam dulu. Kebetulan tadi aku masak cukup banyak." ucap mbak Nita menawarkan.

Saat itu mungkin sudah hampir jam sepuluh malam. Perut ku memang sudah terasa lapar sejak tadi. Dan mendengar tawaran mbak Nita, aku pun jadi tergiur.

"baiklah, mbak. Kalau mbak Nita memaksa." ucapku akhirnya.

Mbak Nita pun tersenyum kembali, sambil ia mengajak ku melangkah menuju meja makan yang berada tidak terlalu jauh dari situ.

"ini sudah jam sepuluh, mbak Nita belum makan malam?" tanya ku berbasa-basi.

"maklumlah, karena hidup sendiri, makan kadang juga gak teratur." balas mbak Nita, sambil mempersilahkan aku duduk.

"oh, ya. Dari tadi kita ngobrol, aku belum tahu nama kamu, loh." ucap mbak Nita lagi, saat kami sudah mulai makan.

"namaku Taufik Riza, tapi orang-orang biasa memanggil ku Fikri." balas ku ringan.

"nama yang cukup keren, sama seperti orangnya." ucap mbak Nita lugas

Aku tersenyum tersipu mendengar pujian tersebut.

"jadi sebenarnya kamu mau kemana?" tanya mbak Nita kemudian, setelah untuk beberapa saat kami sibuk mengunyah makanan kami masing-masing.

"aku gak tahu harus kemana, mbak. Aku baru saja kehilangan tempat tinggal." jelasku apa adanya.

"loh, kenapa emangnya?" tanya mbak Nita sedikit heran.

Aku pun dengan sedikit berat menceritakan secara singkat tentang kejadian yang menimpa ku akhir-akhir ini, terutama tentang aku yang kehilangan pekerjaan.

****

"bagaimana kalau untuk sementara, kamu bantu-bantu aku kerja di sini dulu. Kebetulan aku baru saja kehilangan seorang karyawan yang biasa membantu ku, karena dia harus pulang kampung. Dan jika kamu mau, kamu juga bisa tinggal di sini. Di atas ada kamar kosong." tawar mbak Nita, setelah ia mendengarkan cerita ku dengan seksama.

"apa itu gak terlalu berlebihan, mbak. Kita baru saja saling kenal loh. Mbak gak merasa takut?" balasku pelan.

"aku percaya kamu orang baik, Fik. Lagi pula aku juga merasa kesepian tinggal sendirian di sini." balas mbak Nita.

"aku bukannya gak mau, mbak. Tapi aku takut jadi omongan orang-orang, kalau kita tinggal berdua." ucapku lagi.

"udah, kamu tenanga aja. Kita ini tinggal di kota besar. Hal seperti itu, sudah menjadi hal yang biasa. Orang-orang juga gak bakal peduli. Lagi pula, kalau ada yang bertanya, katakan saja kalau kamu itu saudara ku dari kampung." balas mbak Nita terdengar yakin.

Aku pun tak punya alasan untuk menolak tawaran mbak Nita. Selain karena aku memang butuh pekerjaan dan tempat tinggal, mbak Nita juga kelihatannya orang yang baik.

*****

Sejak saat itulah, aku dan mbak Nita tinggal satu atap. Aku juga bekerja dengannya. Membantunya melayani pelanggan yang datang ke toko nya untuk berbelanja pakaian.

Rata-rata yang datang ke toko pakaian mbak Nita semuanya perempuan. Hal itu ternyata cukup membantu penjualan mbak Nita. Karena semenjak kerja di sana, semakin banyak pembeli yang datang ke toko mbak Nita.

"makasih ya, Fik. Karena kamu udah bantu aku kerja, pelanggan ku jadi semakin banyak. Penjualan ku pun semakin meningkat." ucap mbak Nita, suatu malam, saat kami makam malam bersama.

"aku yang makasih, mbak. Aku sudah di terima kerja di sini. Aku juga di terima tinggal di sini." balasku ringan.

"iya, Fik. Semoga kamu betah tinggal di sini, ya." ucap mbak Nita kemudian.

Dan seperti biasa, sehabis makan malam, aku pun segera naik ke lantai atas untuk tertidur. Selama hampir dua bulan ini, aku memang tidur lebih awal. Aku ingin bangun pagi-pagi, dan membantu mbak Nita membuka toko.

Saat aku sudah berada di dalam kamar, dan sudah merebahkan tubuhku di ranjang kecil itu, tiba-tiba aku mendengar suara ketukan di pintu kamar.

Aku segera bangkit dan membuka pintu. Aku melihat mbak Nita sudah berdiri di ambang pintu dengan senyum mengembang. Ia hanya memakai pakaian tidur yang cukup transparan.

Aku terkesima melihatnya, karena biasanya aku melihat mbak Nita selalu berpakaian tertutup.

Meski pun mbak Nita sudah berusia hampir 40 tahun, namun ia masih terlihat cantik. Tubuhnya cukup seksi. Kulitnya bersih terawat. Terus terang secara fisik, mbak Nita memang masih cukup menarik.

"ada apa, mbak?" tanya ku sedikit tergagap.

"saya boleh masuk?" tanya mbak, mengabaikan pertanyaan ku.

"iya, boleh, mbak. Ini kan memang rumah mbak Nita." balas ku pelan.

Mbak Nita pun melangkah masuk ke kamar, aku mengikutinya dari belakang. Mbak Nita kemudian duduk di tepian ranjang kecil tersebut. Aku berdiri sedikit jauh darinya.

"kamu jangan berdiri di situ. Kamu duduk saja dekat saya." ucap mbak Nita.

Dengan sedikit sungkan, aku pun melangkah mendekat dan duduk di samping mbak Nita.

"ada apa ya, mbak?" tanyaku cukup heran.

Tak biasanya mbak Nita masuk ke kamar ku. Meski pun aku sudah tinggal dengannya lebih dari dua bulan. Meski pun kami sebenarnya sudah cukup dekat, karena memang hampir setiap hari kami bersama.

"aku sudah bercerai dari suami ku lebih dari lima tahun. Kami bercerai, karena suami ku lebih memilih hidup dengan selingkuhannya. Kami memang sudah menikah lebih dari sepuluh tahun, tapi kami belum punya keturunan."

"karena itulah, suami ku mencari wanita lain di luar sana, dan ternyata wanita selingkuhannya itu hamil. Jadi suami ku memilih untuk menikahinya dan meninggal aku sendirian."

"beruntunglah aku sudah punya usaha ini sejak lama, jadi aku punya kesibukan untuk melupakan semua kejadian pahit itu. Tapi sebagai seorang wanita normal, kadang aku juga merasa kesepian."

"banyak sih, laki-laki yang coba mendekati ku selama lima tahun belakangan ini. Tapi tidak satu pun dari mereka yang membuat aku merasa tertarik. Lagi pula aku juga masih merasa trauma untuk dekat dengan laki-laki mana pun."

"namun entah mengapa, sejak pertama kali melihat kamu, aku merasa tertarik sama kamu. Karena itulah, aku nekat untuk menawarkan kamu pekerjaan, dan juga untuk tinggal di sini bersama ku. Aku berharap, kita bisa bertemu setiap hari."

"dan semakin hari perasaan ku sama kamu kian berkembang, Fik. Aku mungkin telah jatuh cinta sama kamu. Keinginan ku untuk bisa memiliki kamu, tidak bisa aku pendam lagi. Aku benar-benar menyayangi kamu, Fik. Sudikah kau menjalin hubungan yang lebih serius dengan ku?"

Cerita mbak Nita yang panjang lebar itu, cukup membuat aku terkesima. Sungguh tidak aku sangka sama sekali, kalau mbak Nita akan berkata demikian.

"tapi aku... aku sudah menganggap mbak Nita seperti kakak ku sendiri." ucapku akhirnya terbata.

"aku tahu, ini gak mudah bagi kamu, Fik. Apa lagi jarak usia kita yang cukup jauh. Tapi aku harap kamu bisa memikirkan hal ini lebih dalam lagi. Karena aku benar-benar menginginkan kamu. Dan jika kamu bersedia, kita bisa menikah, Fik." mbak Nita berucap, sambil mulai berdiri.

"kamu pikirkan aja dulu, kamu gak harus jawab sekarang." ucapnya lagi.

Dan sesaat kemudian, mbak Nita pun melangkah keluar kamar meninggalkan aku dalam kebingungan.

****

Terus terang. aku jadi merasa dilema.

Di satu sisi, aku memang bisa menerima ungkapan cinta mbak Nita. Bukan karena dia tak menarik, tapi karena jarak usia kamu cukup jauh, hampir lima belas tahun.

Namun di sisi lain, aku juga gak mungkin menolaknya. Selain mbak Nita memang masih cantik dan seksi, dia juga selama sangat baik padaku. Jika aku menolak, itu berarti aku harus siap kehilangan kehidupan ku yang sekarang. Dan aku tidak mau hidup di jalanan.

Setelah berpikir cukup panjang dan penuh pertimbangan, aku pun membuat sebuah keputusan.

Sebuah keputusan yang sangat penting dalam hidup ku.

Mbak Nita adalah sosok wanita yang baik, lembut dan yang pasti dia adalah wanita yang sukses. Hidup ku akan baik-baik saja, jika aku tetap tinggal bersamanya. Apa lagi kalau sampai aku menikah dengannya.

Karena itu, aku pun menerima tawaran mbak Nita.

Kami pun akhirnya menikah, dan hidup satu rumah sebagai pasangan suami istri yang sah.

Begitulah kisah ku, yang akhirnya memilih untuk menikah dengan wanita yang usia nya jauh lebih tua dari ku.

Dan sejujurnya aku cukup merasa bahagia dengan semua itu. Apa lagi mbak Nita sangat berpengalaman, yang membuat ku kian terkesan dengannya.

****

Selesai..

Gejolak istri ke dua

Namaku Edo. Aku sudah menikah, meski pun usia ku masih 26 tahun sebenarnya.

Aku menikah bukan atas keinginan ku sendiri, melainkan karena aku di jodohkan oleh orangtua ku.

Aku di jodohkan dengan seorang gadis yang bernama Aida. Seorang gadis cantik yang merupakan seorang muslim yang taat. Aida memang lulusan sebuah pesantren. Usianya masih 20 tahun sebenarnya. Namun Aida juga di paksa menikah oleh kedua orangtua nya dengan ku.

Intinya pernikahan kami adalah keinginan kedua orangtua kami, bukan keinginan kami berdua.

Kami ternyata telah di jodohkan sejak kecil. Papa ku dan ayah Aida sudah bersahabat sejak lama, sejak mereka masih muda. Persahabatan mereka cukup erat, sehingga mereka punya kesepakatan untuk menikahkan anak-anak mereka.

Aida memang masih sedang kuliah, sedangkan aku baru lulus sekitar dua tahun yang lalu. Aku sudah bekerja di perusahaan papa ku. Sebagai anak tunggal, aku memang di persiapkan untuk mewarisi perusahaan papa ku.

Aida merupakan anak pertama, dia masih mempunyai dua orang adik yang masih kecil-kecil. Keluarga Aida memang termasuk keluarga yang taat beragama. Bertolak belakang dengan keluarga ku, yang boleh di bilang cukup modern.

Sejak menikah, aku dan Aida memang tinggal di rumah sendiri. Rumah yang sebenarnya memang sudah di persiapkan untuk kami, sebagai hadiah pernikahan kami.

Ayah Aida adalah seorang ulama yang cukup tepandang di kota kami. Sementara papa ku adalah seorang pengusaha sukses.

Secara fisik sebenarnya cukup menarik, selain itu ia juga wanita yang baik, sopan dan taat beragama. Sedangkan aku seseorang yang cukup jauh dari agama. Salah satu tujuan papa ku menjodohkan aku dengan Aida, ialah agar aku bisa belajar agama dari Aida.

Namun aku tidak bisa menerima pernikahan itu begitu saja. Meski pun aku tetap menikahi Aida, karena desakan dari papa ku, namun aku tidak benar-benar bahagia dengan semua itu. Aku merasa telah kehilangan masa depan ku.

Menikah muda bukanlah impian ku, apa lagi aku harus menikah dengan gadis yang tidak aku cintai. Karena itu, aku tidak benar-benar menjalankan kewajiban ku sebagai seorang suami. Aku lebih sering menghabiskan waktu di luar rumah.

Aku masih terus menjalani kehidupan ku sebagai mana saat aku belum menikah dulu. Berhura-hura, berpesta, dan kadang mabuk-mabukan. Pulang selalu tengah malam, dan bahkan aku juga sering tidak pulang ke rumah.

Aida juga tidak pernah menghiraukan hal tersebut. Namun ia tetap berusaha menjalankan tugasnya sebagai seorang istri. Memasak makanan untuk ku, meski pun hampir tak pernah aku makan. Mengurusi rumah dengan baik, juga mempersiapkan segala keperluan ku setiap hari.

Selama menikah, kami hampir tidak berbicara sama sekali. Aida hanya diam dan tak pernah menegur ku, saat aku pulang dalam keadaan mabuk. Atau saat aku tidak pulang sama sekali.

Saat berkunjung ke rumah orangtua ku atau ke rumah orangtua Aida, kami selalu berusaha untuk bersikap kalau semuanya baik-baik saja. Kami bersikap, kalau rumah tangga kami berjalan dengan baik, seperti yang di harapkan oleh orangtua kami.

****

Berbulan-bulan, bahkan hingga hampir setahun pernikahan ku dengan Aida berjalan. Aku bahkan belum pernah menyentuhnya.

Namun orangtua ku, terutama mama, sudah mulai mempertanyakan tentang kehamilan Aida.

"sudah setahun kalian menikah, tapi Aida belum juga hamil." ucap mama suatu saat aku berkunjung sendirian ke rumahnya.

"Mungkin belum saatnya, Ma. Aida juga masih cukup muda." balasku beralasan.

"tapi mama sudah pengen gendong cucu loh, Do." ucap mama lagi.

"Edo juga pengen punya keturunan, Ma. Tapi kalau sampai saat ini Aida belum hamil, kita bisa apa?" balas ku berusaha membuat mama percaya dengan ucapan ku tersebut.

"kamu yakin, sudah memenuhi kewajiban kamu sebagai seorang suami dengan baik?" ucap mama lagi.

Kali ini aku tidak menjawab. Aku merasa tidak harus menjawabnya. Meski pun aku tahu maksud dari pertanyaan mama barusan. Biar bagaimana pu, mama cukup tahu, kalau aku tidak mencintai Aida. Jadi wajar, kalau mama mencurigai ku.

"pernikahan itu sesuatu yang sakral loh, Do. Kamu jangan berniat untuk mempermainkannya." ucap mama kemudian, melihat keterdiaman ku.

"iya, Ma. Edo ngerti. Tapi mama jangan menuntut Edo terus dong. Mama harusnya lebih sabar." balasku akhirnya.

Untuk selanjutnya mama tidak berucap apa-apa lagi. Beberapa saat kemudian, aku pun pamit untuk pulang. Aku juga tak berniat untuk melanjutkan pembicaraan tersebut.

Namun jujur saja, permintaan mama tersebut, cukup mengganggu pikiran ku. Aku juga ingin melihat mama bahagia. Tapi rasanya saat ini, aku belum bisa memenuhi hal tersebut. Aku belum bisa melakukan kewajiban ku sebagai suami terhadap Aida.

Apa lagi sepertinya Aida juga tidak menginginkan hal tersebut.

****

Kehidupan ku di luar rumah memang cukup bebas. Apa lagi pergaulan ku yang tidak terbatas. Aku punya banyak teman, terutama teman cewek, yang sering aku ajak berhura-hura dan berpesta bersama.

Pernah pada suatu malam, seorang teman ku memperkenalkan ku dengan seorang gadis. Namanya Nadya. Dia gadis yang cantik dan juga sangat seksi. Apa lagi Nadya sangat suka berpakain minim dan cukup ketat.

Saat berkenalan dengan Nadya, aku tidak mengaku kalau aku sudah menikah. Semua teman-teman ku pun mengetahui hal itu. Tapi mereka memang tidak peduli. Karena mereka juga tahu, kalau aku menikah bukan karena cinta.

Nadya pun percaya kalau aku belum menikah. Kami pun kemudian menjadi dekat. Kami saling bertukar nomor handphone. Dan hal itu cukup membuat kami jadi sering berkomunikasi.

Aku pun mulai merasakan benih-benih cinta tumbuh di hati ku untuk Nadya. Karena itu, aku pun nekat mengajak Nadya berkencan dan mengungkapkan perasaan ku padanya.

Gayung pun bersambut, Nadya dengan sangat terbuka pun menerima cintaku. Dan sejak malam itu, kami pun resmi berpacaran.

Nadya cukup agresif orangnya. Dia sangat terbuka dengan perasaannya padaku. Hubungan kami pun bahkan sudah melampaui batas. Aku sudah melakukan hal yang seharusnya aku lakukan dengan istri ku. tapi aku justru memilih untuk melakukannya dengan Nadya, pacar ku.

Hal itu terus terjadi. Berkali-kali. Bahkan sudah teramat sering. Sementara hubunganku dengan Aida, istriku, justru semakin renggang dan kian berjarak.

Sampai akhirnya Nadya mengabarkan padaku, kalau ia hamil.

"kenapa bisa sih, Nad?" tanya ku setengah tak percaya.

"ya, bisalah, Do. kenapa gak? Kan kita sudah terlalu sering melakukan hal tersebut." balas Nadya setengah marah.

"iya. Maksud ku, kenapa kamu gak hati-hati, sih?" ucapku lagi.

"ya mau gimana lagi, Do. Kita kan pernah melakuk4nnya tanpa peng4man." balas Nadya.

"lalu sekarang gimana?" tanya ku tiba-tiba merasa linglung.

"ya kamu nikahi aku lah." balas Nadya lugas.

"aku mungkin bisa menikahi kamu, Nad." ucapku tegas.

"kenapa?" suara Nadya berat, keningnya mengerut, "bukankah selama ini kita memang saling cinta. Dan ini adalah buah dari cinta kita, Do." lanjut Nadya, sambil sedikit menunjuk ke arah perutnya.

"kamu jangan lari dari tanggungjawab gitu, dong." Nadya berucap lagi.

"aku bukannya mau lari dari tanggungjawab, Nad. Tapi untuk saat ini, aku benar-benar tidak bisa." suara ku mulai serak.

"kenapa?" tanya Nadya lagi, matanya melotot menatap ku.

"aku... aku ... sebenarnya... aku sudah punya istri, Nad." ucapku terbata.

"maksud kamu?" tanya Nadya dengan nada tak percaya.

"sebelum kita kenal, sebenarnya aku sudah menikah. Namun aku menikah bukan karena cinta, tapi karena di jodohkan. Karena itu, aku tak pernah mau mengakui pernikahan tersebut." ucapku menjelaskan.

"ya udah, kamu ceraikan saja istri mu itu." balas Nadya terdengar santai.

"gak semudah itu lah, Nad." ucapku pelan.

"kenapa gak, kata mu kamu tidak mencintainya." balas Nadya tajam.

"aku memang tidak mencintai istri ku, tapi seperti yang aku katakan, kami di jodohkan oleh orangtua kami. Jika aku menceraikan istri ku sekarang, orangtua ku pasti akan marah besar padaku." jelasku parau.

"lalu sekarang gimana?" kali ini Nadya yang bertanya.

"bagaimana kalau kita gugur kan saja." tawarku yakin.

"kamu jangan gila, Do. Kamu pikir hal itu gampang. Resikonya terlalu besar. Aku takut." balas Nadya.

"lalu kamu mau nya gimana?" tanya ku.

"aku maunya kita menikah. Gak apa-apa aku jadi istri kedua. Yang penting anak ini lahir ada ayahnya." ucap Nadya serak.

"kamu mau menikah diam-diam? Menikah bawah tangan? Tanpa di ketahui keluarga kita?" tanya ku bertubi.

"apa pun caranya, Do. Yang penting kamu harus bertanggungjawab." tegas suara Nadya membalas.

****

Dan aku pun menikah dengan Nadya secara diam-diam. Nikah bawah tangan. Hanya di hadiri dua orang saksi dan seorang wali.

Karena Nadya memang seorang yatim piatu. Dia tinggal sendirian di kota ini. Semua keluarganya ada di kampung. Sementara kedua orangtua nya sudah lama meninggal.

Nadya sebenarnya bekerja di sebuah perusahaan, sebagai karyawan biasa. Dan dia tinggal sendirian di sebuah kamar kost.

Setelah menikah, aku pun mencari rumah kontrakan untuk tempat kami tinggal. Dan aku juga meminta Nadya untuk berhenti kerja. Aku tidak mau, kalau teman-teman kerjanya tahu, kalau Nadya sudah menikah dan sedang hamil.

Sejak saat itu, aku pun mulai menjalani kehidupan yang tidak wajar. Aku sudah mempunyai dua orang istri sekarang. Dan aku harus bisa membagi waktu dengan baik. Apa lagi sekarang, hubungan ku dengan Aida justru kian membaik.

Bukan karena aku mulai jatuh cinta padanya, tapi karena tuntutan dari kedua keluarga kami, agar kami segera punya keturunan. Dan karena, sebenarnya aku merasa bersalah terhadap Aida. Aku merasa telah mengkhiantainya.

Sebagai penebus rasa bersalah ku, aku pun mulai menjalankan kewajiban ku sebagai seorang suami terhadap Aida. Aku pun memberikan kesempatan untuk Aida, untuk menjadi seorang istri yang sesungguhnya. Yang membuat Aida akhirnya pun hamil.

Kehamilan Aida membuat bahagia kedua keluarga kami, namun tidak dengan ku. Kehamilan Aida justru membuat aku semakin sulit untuk membagi waktu ku.

Karena sama-sama hamil, kedua istri ku pun sangat membutuhkan kehadiran ku.

Namun biar bagaimana pun, aku harus tetap menjalani kehidupan ku seperti saat sekarang ini. Meski pun sebenarnya aku merasa terjebak. Aku terjebak oleh perbuatan ku sendiri.

Di satu sisi, Aida adalah istri ku yang sah, yang di restui oleh keluarga ku. Namun di sisi lain, Nadya adalah gadis yang aku cintai, meski pernikahan kami hanyalah sbeuah rahasia. Dan Nadya bisa menerima semua itu dengan lapang dada.

Entah sampai kapan semua ini akan terus berlanjut. Entah semua ini akan bertahan selamanya, atau justru semua akan berakhir dan aku harus kehilangan kedua istri ku.

Aku tidak tahu, dan aku enggan untuk memikirkannya. Yang pasti saat ini, aku berusaha untuk menjalankannya.

Mempunyai dua istri bukanlah impian ku, namun keadaan lah yang memaksa aku untuk melakukannya.

Meski pun aku tidak bisa menyalahkan siapa-siapa dalam hal ini. Tidak juga takdir.

Tapi begitulah kehidupan yang aku jalani hingga saat ini. Aku hanya berharap, semoga semuanya berjalan dengan baik-baik saja dan seperti yang aku inginkan.

Ya, semoga saja.

*****

Bersambung...

Awal mula menjadi tukang pijat

Namaku Hadi. Dan aku adalah seorang tukang pijat atau biasa disebut terapis.

Aku menjalani profesi seorang tukang pijat sudah hampir dua tahun. Berawal dari ketika aku harus berhenti bekerja di sebuah supermarket, karena saat itu pandemi sedang melanda, sehingga supermarket tempat aku bekerja harus gulung tikar alias bangkrut.

Karena hidup sendiri di rantau orang, aku harus tetap bekerja agar aku bisa bertahan hidup. Dan satu-satunya keahlian yang aku punya ya hanya memijat orang. Keahlian itu aku dapat dari ayah ku yang memang telah menjadi tukang pijat di kampung sejak lama.

Saat sudah berhenti bekerja, aku pun mulai membuka praktek pijat. Aku mulai mempromosikannya di media sosial. Meski pun awalnya tidak mudah bagiku untuk mendapatkan pelanggan. Namun aku tidak pernah patah semangat. Aku terus mempromosikannya, hingga akhirnya satu persatu aku pun mendapatkan pelanggan pijat.

Aku tinggal di sebuah kamar kost. Dan di sana lah aku membuka praktek pijat ku. Selain itu, aku juga siap sedia untuk di panggil ke rumah-rumah pelanggan, atau pun ke tempat kost mau pun hotel.

Dengan tarif yang relatif murah, aku terus menjalani profesi tersebut, agar aku tetap punya penghasilan.

Meski pun upah yang aku dapat dari memijat, tidaklah selalu cukup. Namun setidaknya aku tidak harus menjadi pengemis, hanya untuk sekedar bisa makan.

Sebagai tukang pijat, tentu saja aku sudah punya pelanggan.

Pelanggan-pelanggan ku tersebut berasal dari berbagai golongan dan juga berbagai karakter. Ada perempuan ada laki-laki, ada yang tua ada yang muda. Ada dari golongan orang kaya dan ada juga yang dari golongan orang menengah ke bawah.

Awalnya aku menjalani profesi itu, benar-benar hanya sebatas memijat. Namun pada suatu kesempatan, aku mendapat seorang pelanggan wanita paroh baya. Usianya mungkin sudah mencapai 40 tahun. Namun wanita itu masih kelihatan cantik dan seksi.

Namanya Wanda. Aku memanggilnya mbak Wanda. Dari pengakuannya ia adalah istri salah seorang pejabat. Waktu itu mbak Wanda meminta aku untuk datang ke sebuah hotel yang cukup mewah.

Mbak Wanda awalnya meminta aku untuk memijatnya seperti para pelanggan-pelanggan ku sebelumnya. Hanya pijat.

Namun setelah hampir separoh aku memijatnya, tiba-tiba mbak Wanda menawarkan aku sesuatu.

Sesuatu yang tidak pernah terpikirkan oleh ku sebelumnya. Sesuatu yang di luar dugaan ku.

"kamu mau aku bayar lebih banyak gak?" tanya mbak Wanda waktu itu.

"bayar sesuai tarif aja, mbak." jawab ku polos.

"tapi aku bersedia membayar kamu mahal. Asal kamu bisa memenuhi keinginan ku malam ini." ucap mbak Wanda lagi.

"keinginan apa, mbak?" tanya ku masih terdengar polos.

"emangnya selama ini, kamu hanya sekedar memijat? Tidak ada lay4nan plus nya?" tanya mbak Wanda kemudian.

"oh, gak, mbak. Saya hanya menerima jasa pijat, tidak lebih dari itu." balas ku apa adanya.

"ya rugilah kamu. Padahal kamu punya tampang yang sangat tampan, kamu juga terlihat kekar dan gagah. Kenapa gak sekalian aja memberi pelay4nan plus kepada pelanggan kamu? Kan lumayan hasilnya, jauh lebih banyak dari pada kamu hanya sekedar memijat." ucap mbak Wanda lagi.

"tapi itu kan artinya sama saja saya ju4l diri, mbak. Saya gak mau." balas ku pelan.

"kamu gak usah sok jual mahal. Kamu jadi tukang pijat kan karena memang kamu butuh uang. Jadi kalau ada cara yang lebih gampang, kenapa kamu harus capek-capek mijat orang tapi hasilnya hanya sedikit. Lagi pula dengan memberi pelay4nan plus, kamu dapat dua keuntungan sekaligus. Kamu dapat uangnya, juga dapat en4knya kan?" ucap mbak Wanda terdengar lugas.

"iya, sih, mbak. Tapi bagi saya resikonya terlalu besar. Dan lagi pula tidak semua pelanggan saya mau menerima hal tersebut. Kebanyakan dari mereka, memang hanya sekedar pijat biasa." balasku.

"ya, kamu gak harus menawarkannya kepada semua pelanggan kamu. Kamu bisa memberikan pelay4nan plus nya kepada siapa yang mau aja. Tapi aku yakin, kalau kamu memberi kesempatan tersebut, pasti banyak pelanggan kamu yang mau. Soalnya kamu memang menarik secara fisik. Dan aku bisa jadi pelanggan pertama kamu. Bahkan mungkin aku akan menjadi pelanggan tetap kamu." ucap mbak Wanda selanjutnya.

"dan sebagai pelanggan pertama kamu yang mendapatkan pelay4nan plus nya, aku akan memberi kamu bonus yang banyak." lanjut mbak Wanda lagi, melihat aku yang hanya terdiam.

Dan aku masih terus terdiam. Berpikir.

Jika aku ingat-ingat, hasil yang aku dapat dari memijat orang memang tidak seberapa. Apa lagi aku juga tidak setiap hari mendapatkan pelanggan. Padahal saat itu, hanya memijat orang lah satu-satunya sumber pendapatan ku.

Aku mulai berpikir untuk menerima tawaran mbak Wanda. Jika hal itu bisa menghasilkan uang yang lebih banyak, kenapa tidak? Pikirku.

Lagi pula aku juga bukan laki-laki baik-baik. Aku bukan laki-laki suci. Meski pun selama ini, aku selalu berusaha mencari uang dengan cara yang baik. Tapi mendengar penjelasan dan penawaran mbak Wanda tadi, aku jadi ingin mencobanya. Lagi pula, bukan aku yang menginginkan hal tersebut, tapi justru mbak Wanda sendiri yang menginginkannya.

Setelah berpikir tidak terlalu matang, dan juga tidak terlalu panjang. Aku pun menerima tawaran dari mbak Wanda.

Mbak Wanda tentu saja merasa senang mendengar hal tersebut. Dan dia pun akhirnya menjadi pelanggan pertama ku yang aku beri kesempatan untuk mendapatkan pelay4nan plus dari ku.

Aku yang belum punya pengalaman apa-apa dalam hal tersebut, tentu saja merasa sedikit kesulitan menghadapi tingkah liy4r mbak Wanda.

Mbak Wanda memberi aku pelajaran dan pengalaman yang belum pernah aku rasakan sebelumnya. Dia berhasil menaklukan ku dengan baik. Dan aku merasa semua itu terlalu indah untuk tidak aku nikm4ti.

Aku pun mulai terbiasa. Aku pun mulai terh4nyut dengan perm4inan indah mbak Wanda. Perlahan namun pasti, aku semakin m4hir melakukannya.

Hingga aku benar-benar terlen4 dan terbu4i dalam perm4inan mbak Wanda yang memang sudah sangat berpengalaman dalam hal tersebut.

Dan setelah aku selesai menjalankan tugas ku tersebut, seperti janjinya, mbak Wanda pun memberi aku sejumlah uang. Uang yang di berikan mbak Wanda lebih banyak dari yang aku harapkan.

"kenapa sebanyak ini, mbak?" tanya ku heran.

"udah kamu terima aja. Uang bukan masalah bagi ku. Dan hal yang kamu lakukan tadi, sungguh luar biasa bagi ku. Meski pun kamu baru pertama kali melakukannya, tapi kamu cukup hebat dalam mengimbangi ku. Jadi wajar kalau aku memberi bayaran yang lebih." balas mbak Wanda.

"kalau begitu terima kasih banyak, mbak. Semoga ini bukan yang terakhir." ucapku berharap.

"kamu tenang aja. Nanti aku pasti akan menghubungi kamu lagi." balas mbak Wanda yakin.

Setelah mandi dan membersihkan diri, aku pun segera pamit untuk pulang.

Mbak Wanda melepaskan ku dengan senyum penuh kelegaan. Sepertinya ia benar-benar terkesan dengan ku. Dan begitu juga sebaliknya, aku juga merasa terkesan dengan mbak Wanda. Biar bagaimana pun itu adalah pengalaman pertama ku.

Dan seperti yang mbak katakan, aku memang mendapatkan dua keuntungan sekaligus. Uang dan keindahan.

*****

Sejak saat itulah, aku jadi punya dua profesi pada satu kesempatan. Meski pun tidak semua pelanggan pijat ku yang mau menerima tawaran pelay4nan plus dari ku. Namun kebanyakan dari mereka, justru merasa senang dengan tawaran ku tersebut.

Hasil yang aku dapatkan pun jauh lebih banyak dari biasanya. Bahkan jumlah pelanggan ku semakin meningkat. Terkadang ada beberapa orang dari mereka, tidak ingin aku pijat, tapi justru hanya sekedar meminta pelay4nan plus dari ku.

Dan hal itu terus terjadi, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun. Aku mulai terlena dengan semua itu. Aku mulai lupa diri. Yang aku pikirkan hanyalah uang dan uang. Semakin besar bayaran yang aku terima, semakin aku memberikan pelay4nan yang terbaik.

Namun ternyata semua itu tidak selamanya berjalan lancar. Praktek pijat ku tersebut, mulai di curigai. Hingga akhirnya ada yang melaporkannya ke pihak berwajib.

Dan pada suatu kesempatan, aku dan salah seorang pelanggan ku di grebek di sebuah kamar hotel. Aku tak bisa menghindari hal tersebut. Karena aku memang bersalah.

Akhirnya pihak berwajib membawa aku ke kantornya, untuk di proses secara hukum.

Setelah melalui berbagai pemeriksaan dan penyelidikan, aku pun harus mendekam di penjara selama lebih kurang empat tahun.

Aku mencoba menerima hukuman tersebut dengan lapang dada. Karena aku merasa pantas untuk menerimanya.

Selama di penjara, aku berusaha bersikap baik dan mulai memperbaiki diri. Hal itu membuat hukuman ku pun di kurangi. Aku tak harus menjalani hukuman selama empat tahun tersebut. Aku hanya berada di penjara selama dua tahun lebih. Lalu selama setahun, aku harus menjalani wajib lapor atau tahanan luar.

Setelah masa hukuman ku itu pun berakhir, aku pun memutuskan untuk kembali ke kampung halaman ku. Aku ingin memulai hidupku yang baru, dan melupakan semua kejadian di masa lalu ku.

Kesalahan-kesalahan yang aku lakukan di masa lalu, akan aku jadikan pelajaran untuk melangkah ke depannya. Aku tak ingin melakukan kesalahan yang sama di masa yang akan datang.

Semoga saja, aku benar-benar bisa menjadi pribadi yang lebih baik lagi.

Setiap orang pernah berbuat salah, setiap orang pernah melakukan kesalahan. Dan setiap orang juga berhak untuk mendapatkan kesempatan kedua.

Semoga saja aku bisa memanfaatkan kesempatan kedua ku ini dengan sebaik-baiknya.

Ya, semoga saja.

****

Bersama pelanggan ojek ku

Aku seorang driver ojek online. Sudah lebih dari dua tahun aku menjalani profesi tersebut. Ada begitu banyak pengalaman yang aku dapatkan selama aku menjadi seorang driver ojek online. Suka duka telah aku alami dan aku tempuh dengan penuh kesabaran dan rasa syukur.

Pengalaman-pengalaman itu aku jadikan pelajaran dalm hidupku.

Menjadi seorang driver ojek online, sebenarnya adalah pilihan terakhir yang aku punya, sejak aku di PHK dari pekerjaan lama ku, sebagai karyawan di sebuah perusahaan.

Sebagai seseorang yang sudah menikah dan sudah punya dua orang anak, aku memang harus tetap bekerja. Dan pekerjaan apa pun akan aku jalani, demi membiayai keluarga kecil ku.

Kami sekeluarga masih hidup dan tinggal di rumah kontrakan kecil, demi untuk menghemat biaya. Anak ku yang pertama sudah kelas enam SD, sedangkan anak ku yang kedua sudah kelas dua SD. Jadi aku memang harus kerja keras, untuk bisa membiayai sekolah anak-anak ku dan juga untuk biaya hidup kami sehari-hari.

Penghasilan ku sebagai ojek online memang tidak seberapa, karena itu kami sekeluarga harus bisa hidup sehemat mungkin.

Terlepas dari seberapa berat beban kehidupan yang harus aku jalani, aku selalu berusaha untuk tidak mengecewakan para pelanggan ojek ku. Aku selalu berusaha untuk memberikan pelayanan terbaik, kepada siapa pun yang memakai jasa ojek ku.

Pernah pada suatu kesempatan, aku mendapatkan sebuah orderan dari salah seorang pelanggan. Dia memesan makanan secara online, dan kebetulan aku mendapatkan orderan untuk mengantar makanan tersebut ke rumahnya.

Melalui aplikasi ojek online tersebut, aku mengetahui kalau orang yang memesan makanan tersebut adalah seorang perempuan. Namanya Tina. Sebut saja begitu.

Perempuan yang aku ketahui bernama Tina itu, ternyata tinggal di  sebuah apartemen mewah. Saat aku sampai ke sana, aku pun coba menghubunginya. Dan orang itu meminta aku mengantarnya langsung ke atas, tepatnya ke lantai tiga, di mana apartemennya berada.

Aku pun segera menuju lantai atas, saat sudah berapa tepat di depan pintu apartemennya tersebut, aku pun mengetuk pintu. Sesaat kemudian, seorang wanita paroh baya muncul dari ambang pintu.

Wanita itu sedikit berwajah masam. Ia kemudian berucap,

"kenapa lama kali, sih?" katanya cukup kasar.

"ini sudah sesuai jadwal loh, mbak." balas ku membela diri.

"tapi aku pesannya sudah satu jam yang lalu, masa' baru datang sekarang?" sela wanita itu lagi.

"berarti restorannya yang telat masaknya, mbak." ucap ku masih berusaha membela diri.

"kamu jangan banyak alasan ya. Pokoknya kalau telat ya telat. Aku gak mau bayar." suara wanita itu sedikit mengeras.

"tapi, mbak. Aku sudah capek-capek loh, mbak. Datang ke sini. Lagi pula ini kan bukan salah saya." suara ku sedikit memelas.

"ya udah, kalau kamu mau aku mengambil pesanan ini dan membayarnya. Kamu masuk dulu ke dalam." ucap wanita itu, sedikit melunak.

"baiklah, mbak. Jika itu yang mbak ingin kan, asalkan pesanannya tidak di batalkan." balasku pasrah.

Wanita itu pun membuka pintu apartemen lebih lebar, agar aku bisa masuk. Saat aku sudah berada di dalam, wanita itu pun mengunci pintu apartemennya dari dalam.

"kenapa pintunya di kunci, mbak?" tanya ku heran.

"kamu mau aku bayar kan?" wanita itu bertanya balik.

"iya." jawabku lemah.

"ya udah, kamu turuti aja semua keinginan ku, bahkan aku akan bayar kamu sepuluh kali lipat dari harga pesanan makanan yang kamu bawa itu, jika kamu bersedia memberi pelayanan lebih padaku." ucap wanita itu, suaranya mulai melunak.

"maksud mbak apa?" tanya ku polos.

"kamu pasti ngerti maksud saya apa. Jika kamu mau, kamu gak perlu capek-capek keliling cari pelanggan di luaran sana. Cukup kamu menemani saya t!dur sore ini, hanya satu jam kok paling lama. Kamu bisa dapat uang yang banyak dari saya. Bahkan melebihi penghasilan kamu selama satu hari ini." jelas wanita itu blak-blakan.

Aku pun terdiam. Aku memang sudah mengerti maksud dari wanita tersebut. Namun aku terus berpikir, jika aku menerima ajakan mbak Tina, itu artinya aku telah mengkhianati istri ku, dan juga itu artinya, aku telah kehilangan harga diri ku sebagai seorang laki-laki, karena rela menju4l dir! demi mendapatkan sejumlah uang.

"maaf, mbak. Aku gak bisa. Aku sudah punya istri dan anak." ucapku akhirnya.

"kalau kamu gak mau, aku akan cancel pesanan ini dan memberi penilaian buruk atas kinerja kamu sebagai seorang driver." balas mbak Tina tajam.

"dan lagi pula dalam hal ini, kamu gak di rugikan apa-apa loh.  Kamu justru dapat dua keuntungan sekaligus. Kamu dapat uangnya dan juga enaknya. Kamu jangan suka menolak rejeki seperti itu, dong. Apa aku ini tidak menarik di mata kamu." lanjut mbak Tina lagi, dalam upayanya untuk membujuk ku.

Sebenarnya secara fisik, mbak Tina memang cukup menarik. Meski pun tidak terlalu cantik, namun postur tubuhnya cukup seksi. Apa lagi saat itu, mbak Tina hanya memakasi baju tidur tip!s yang sedkit tr4nspar4n.

Jujur, aku pun mulai tergod4 sebenarnya, apa lagi uang yang di tawarkan mbak Tina juga cukup banyak. Seperti yang ia katakan, aku dapat dua keuntungan sekaligus.

Dengan pertimbangan yang singkat, aku pun akhirnya menerima tawaran mbak Tina sore itu. Aku tak perlu berpikir panjang lagi untuk membuat keputusan. Kapan lagi coba? Dapat kesempatan istimewa seperti ini?

"oke. Aku mau. Tapi aku harap mbak Tina menepati janji mbak, untuk membayar saya mahal." ucapku akhirnya.

"uang bukan masalah bagi saya. Dan keputusan mu itu sangat tepat." balas mbak Tina dengan senyum mengembang.

Lalu kemudian terjadi lah hal tersebut. Hal yang tidak bisa aku hindari. Dan sebenarnya memang tidak ingin aku hindari.

Mbak Tina memang cukup agres!f. Terlihat sekali kalau ia memang sudah sangat berpengalaman dalam hal tersebut. Dan sepertinya aku bukanlah korban pertamanya dalam hal tersebut.

Aku pun mencoba mengimbanginya. Sebagai laki-laki aku memang tidak mau kalah. Aku juga ingin membuktikan diri, kalau aku pantas untuk di bayar mahal.

*****

Begitulah salah satu kisah yang pernah aku alami sebagai seorang driver ojek online. Sebuah kisah yang membuat aku menjadi seorang pengkhianat. Namun kisah itu hanya aku pendam sendiri.

Aku memang mendapatkan sejumlah uang dari mbak Tina, bahkan jumlah uang yang aku terima melebihi dari yang aku harapkan.

Namun rasa bersalah selalu menghantui ku sepanjang perjalanan hidupku. Aku merasa telah mengkhianati istri dan anak-anak ku.

Sebagai seorang kepala rumah tangga, aku memang punya tanggungjawab terhadap keluarga ku. Tapi bukan berarti aku harus menghalalkan segala cara untuk mendapatkan sejumlah uang.

Namun apa pun itu, semua telah terjadi. Dan penyesalan selalu datang belakangan.

Hanya saja kejadian tersebut, akan aku jadikan pelajaran untuk ku ke depannya. Agar aku lebih berhati-hati lagi dalam melangkah.

Aku tidak ingin terjebak lagi dalam godaan h4srat sesaat, yang membuat aku hanya akan terus di hantui rasa bersalah.

Semoga saja ke depannya aku bisa menjadi lebih baik lagi.

Ya, semoga saja.

****

Kisah ku bersama sepasang suami istri

Nama ku Erwin. Dan ini adalah kisah ku.

Sebagai seorang laki-laki aku memang terlahir cukup sempurna. Selain memiliki wajah yang tampan, aku juga di karuniai postur tubuh yang kekar dan atletis. Dan aku merasa bangga memiliki itu semua.

Untuk urusan percintaan, aku juga suka tidak sembarangan memilih pacar. Gadis yang bisa menjadi pacarku, haruslah seseorang yang sebanding dengan ku. Kalau gak cantik ya tajir.

Aku juga gak sembarangan memilih teman. Yang bisa berteman dengan ku, kalau gak tajir ya harus bisa aku suruh-suruh.

Sombong kan aku? Ya, aku memang sombong, angkuh atau apalah istilahnya untuk orang seperti ku ini.

Aku punya karakter seperti itu, karena aku memang terlahir dari keluarga yang serba berkecukupan, bahkan boleh di bilang sangat mewah.

Papa ku memang seorang pejabat pemerintah yang sangat berpengaruh. Hampir semua orang di kota ini mengenalnya. Dan mama ku adalah seorang wanita yang suka pamer akan kekayaan suaminya. Tipe-tipe istri pejabat lah pokoknya.

Suka berpesta, shoping atau berhura-hura tanpa alasan. Dan seperti itu lah karakter ku di bentuk. Aku sudah di ajarkan untuk bersikap sedikit angkuh sejak kecil. Karena ya.. kehidupan kami memang sangat mewah. Apa lagi aku ini adalah anak tunggal.

Kadang aku gak habis pikir, kenapa orang kebanyakan dari orang kaya, lebih memilih untuk tidak memiliki banyak anak. Sedangkan orang-orang yang hidupnya pas-pasan, sebagian besar memiliki banyak anak.

Padahal seharusnya, orang kaya lah yang harus punya banyak anak, karena sudah pasti mereka sanggup membiayainya. Namun jika orang miskin yang punya banyak anak, mereka akan kesulitan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.

Dan itu hanya sebatas pendapat ku saja. Gak perlu diambil pusing. Karena kalau kita menilai sesuatu dari berbagai sudut pandang, maka segala kemungkinan bisa saja terjadi.

Oke, kembali ke saya. Seorang cowok angkuh yang merasa terlahir sempurna. Yang merasa hidup ini terlalu mudah.

Namun semua kenyaman dan kemewahan hidup yang aku jalani tersebut, pada akhirnya harus berakhir.

Hal itu terjadi saat aku baru saja lulus SMA. Ketika akhirnya papa ku yang seorang pejabat penting itu, terjerat kasus korupsi yang sangat besar. Mungkin demi hidup yang lebih mewah, papa melakukannya.

Akibatnya papa harus mendekam di bui untuk waktu yang sangat lama. Bertahun-tahun. Entah berapa tahun. Aku juga gak peduli. Bagiku sejak papa terlibat kasus korupsi itu, aku tak pernah menganggapnya lagi. Aku tak peduli lagi.

Mama yang terlanjur terbiasa hidup mewah, tidak bisa menerima kenyataan. Ketika semua kekayaan papa di sita. Mama memilih mengakhiri hidupnya, karena tak ingin hidup menderita dan tak sanggup menahan malu.

Mama memilih meninggalkan aku sendirian, menjalani kehidupan yang berat ini. Dan karena itu aku jadi membencinya. Aku membenci kedua orangtua ku.

Aku sendirian sekarang. Orang-orang yang dulu selalu memuja ku, kini memandang ku hina. Teman-teman yang dulu selalu ada kapan pun aku membutuhkan mereka, kini memandang ku dengan pandangan kebencian.

Entah mereka merasa jijik melihat ku yang terlahir dari keluarga seorang koruptor, entah karena mereka merasa dendam terhadapku, karena selama ini aku selalu merendahkan mereka.

Namun apa pun, yang pasti saat ini, aku benar-benar sendiri. Aku sebatang kara. Semua keangkuhan ku memudar. Tidak ada lagi yang bisa aku sombongkan.

Wajah tampan yang dulu aku bangga-banggakan, kini kusam tanpa warna. Tubuh atletis yang dulu suka aku pamerkan, kini mulai menyusut dan kurus. Harta benda yang dulu selalu aku jadikan senjata untuk melecehkan orang-orang, kini tidak aku miliki lagi.

Aku benar-benar kehilangan semuanya, orangtua, kekayaan, teman-teman dan bahkan harga diri.

Aku menjadi gelandangan. Tidur di jalanan. Makan makanan sisa. Minum air comberan. Baju yang lusuh tidak pernah terkena air. Kulit ku menghitam. Kotor. Aku tak lebih dari seonggok sampah busuk yang selalu di hindari orang-orang.

Aku menjadi hina di mata siapa saja. Setiap orang yang melihat ku, selalu memandangku rendah dan tak berharga.

****

Akhirnya aku memutuskan untuk meninggalkan kota kelahiran ku. Kota yang penuh dengan kenangan. Tapi aku memang harus pergi. Aku harus pergi ke tempat dimana tidak seorang pun yang mengenalku.

Aku harus memulai hidupku yang baru, dan meninggalkan semua kenangan yang pernah terjadi di kota ini. Aku tak mungkin terus berada disini, sementara orang-orang terus mencibirku.

Aku berjalan tanpa tujuan. Melangkah tanpa harapan. Aku hanya ingin pergi dari sini. Meski aku tidak tahu harus kemana.

Siang malam aku berjalan dengan tertatih. Tidur di pinggiran jalan saat malam tiba. Merintih menahan dinginnya angin yang menembus setiap sobekan di bajuku. Memungut apa pun yang aku temukan di jalan, untuk bisa aku makan.

Panas dan hujan tak pernah lagi aku hiraukan. Aku tak pedulikan perihnya telapak kaki ku menahan tajamnya kerikil-kerikil yang aku injak tanpa alas apa pun. Aku hanya terus melangkah.

Sampai pada suatu daerah. Aku tak tahu dimana sebenarnya aku berada. Aku hanya merasa telah berjalan sangat jauh. Berhari-hari. Bermalam-malam. Mungkin sudah hampir sebulan.

Aku sedang beristirahat duduk di pinggiran jalan, ketika seorang laki-laki menghampiri ku.

"kamu mau kemana?" tanya laki-laki itu, ia mengeluarkan kepalanya dari jendela mobil mewahnya.

Aku diam tak menjawab. Karena aku memang tidak tahu mau kemana saat ini.

"kemana tujuan mu?" laki-laki itu mengulang pertanyaannya, kepalanya masih di luar jendela mobil.

Kali ini aku menggeleng.

Laki-laki itu memasukan kepalanya kembali. Aku pikir ia akan pergi. Tapi justru ia semakin memarkir mobilnya ke pinggir jalan. Beberapa saat kemudian ia pun turun dari mobil mewah itu.

Di luar dugaan ku, laki-laki tersebut ikut duduk di samping ku.

"sebenarnya kemana tujuan mu?" tanya laki-laki itu pelan.

"aku tidak punya tujuan." balasku serak.

"apa kamu lapar?" laki-laki itu bertanya lagi, ia seakan mengabaikan jawabanku.

Sebelum aku sempat menjawab, laki-laki tiba-tiba berdiri. Ia berjalan menuju mobilnya, lalu membuka pintu. Memasukan badannya separoh, kemudian ia keluar lagi. Sepertinya ia sedang mengambil sesuatu di dalam mobil tersebut.

Sesaat kemudian, laki-laki itu sudah berjalan lagi menuju ke arah ku. Di tangannya ia membawa sesuatu di dalam kresek biru yang trasparan.

Laki-laki itu duduk lagi di dekatku.

"ini ada beberapa potong roti dan juga air mineral. Kalau kamu lapar, kamu boleh mengambilnya." ucap laki-laki itu pelan.

Aku melirik laki-laki itu sekilas, ia terlihat sangat tulus. Aku segera meraih kantong plastik biru transparan itu. Membukanya, lalu kemudian mengambil sepotong roti, lalu memakannya dengan lahap.

"kamu kelihatan sangat lapar. Sebenarnya kamu dari mana?" tanya laki-laki itu.

"aku seorang gelandangan." jawabku lemah. Aku pun mengambil sebotol air mineral dari dalam kantong itu lagi. Lalu meneguknya sampai hampir habis. Sudah lama sekali aku tidak minum air senikmat itu.

"kamu mau ikut dengan ku?" laki-laki itu bertanya lagi.

"kemana?" tanya ku sedikit heran.

"ke rumah ku. Kamu bisa tinggal di rumahku. Dan bahkan kamu juga bisa bekerja di sana. Kalau kamu mau." jelas laki-laki itu terdengar serius.

"apa abang gak takut sama saya?" tanya ku ingin tahu.

"kamu belum gila, hanya stress. Jadi aku gak perlu takut." jawab laki-laki itu lugas.

"tapi aku kotor dan kumuh." ucapku.

"kotor dan kumuh masih bisa di bersihkan, yang penting kamu mau ikut dengan ku." balas laki-laki itu.

"kenapa abang begitu baik padaku, padahal kita tidak saling kenal." ucapku lagi.

"namaku Radit. Panggil aja bang Radit. Dan kenapa aku baik sama kamu. Ya, karena menurut ku kamu terlihat seperti orang baik. Orang baik yang sedang tersesat. Atau orang baik yang sedang mencari jati dirinya."

"dan sebenarnya juga, aku sudah memperhatikan kamu sejak tadi pagi. Aku melihat kamu sudah berjalan sepanjang hari ini di daerah ini. Aku memang selalu berlalu lalang di jalan ini. Jadi aku sudah hafal betul setiap orang yang lewat disini."

"ketika aku melihat kamu tadi, awalnya aku coba mengabaikannya. Namun saat aku melihat kamu termenung sendirian di sini, aku pun berinisiatif untuk mendekati kamu. Karena belum pernah sebelumnya ada orang yang berjalan seperti kamu di daerah sini. Dan setelah aku perhatikan kamu sepertinya orang baik." jelas laki-laki itu panjang lebar.

Meski pun sebenarnya aku tidak terlalu mengerti dengan semua penjelasan laki-laki yang mengaku bernama Radit itu, tapi aku pun akhirnya menerima tawarannya untuk ikut dengannya.

Daerah itu memang cukup sunyi sebenarnya. Itu seperti daerah di jalan lintas antar kota yang berpenduduk sangat sedikit. Hanya ada beberapa rumah di daerah tersebut, selebihnya masih banyak hutan dan kebun-kebun sawit atau pun kebun karet.

Karena itu juga sebenarnya, aku memutuskan untuk menerima tawaran dari bang Radit. Lagi pula gak ada salahnya menurutku untuk ikut dengannya. Kalau pun bang Radit berniat jahat padaku. Apa sih yang ia harapkan dariku.

****

Mobil mewah itu pun memasuki sebuah pekarangang rumah yang cukup luas dan mewah. Rumah itu berada di pinggiran jalan raya sebenarnya. Hanya saja di sekeliling rumah itu terdapat kebun sawit yang sangat luas.

Sepanjang perjalanan tadi, bang Radit terus bertanya padaku. Setidaknya ia ingin tahu siapa aku sebenarnya. Aku pun sedikit mengarang cerita padanya. Aku mengatakan kalau aku adalah seorang anak yatim piatu dan sudah tidak punya keluarga lagi. Aku sudah menjadi gelandangan sejak lama.

Aku mengatakan demikian, karena menurutku aku tidak mungkin menceritakan secara keseluruhan tentang siapa aku sebenarnya. Aku juga tidak ingin bang Radit tahu, kalau aku adalah anak seorang koruptor. Karena bisa saja bang Radit justru akan mengusir ku, jika ia tahu semua itu.

Setelah memarkir mobil di garasi, bang Radit segera mengajak aku turun dari mobil tersebut. Lalu kemudian, ia mengajak aku masuk ke dalam rumah mewah itu.

Di dalam rumah kami disambut oleh seorang wanita cantik yang terlihat masih sangat muda.

"ini istri ku." ucap bang Radit.

Wanita yang di sebut istrinya oleh bang Radit itu menatapku penuh tanya. Lalu ia pun mengulurkan tangannya.

"Sinta." ucapnya lembut, sambil kami berjabat tangan.

"Erwin." balasku ringan.

"untuk sementara Erwin akan tinggal di sini bersama kita." ucap bang Radit.

Istri bang Radit, segera memanggil nama seseorang. Sesaat kemudian, seorang wanita tua muncul dari arah dapur.

"tolong bi Asih antar Erwin ke kamar belakang." kali ini bang Radir yang berucap lagi.

"baik, tuan." balas wanita tua itu sopan.

"kamu boleh mandi dulu, kemudian istirahat di kamar. Nanti kita bicara lagi." ucap bang Radit padaku.

Aku pun mengikuti langkah bi Asih menuju dapur. Di sana ada sebuah kamar yang masih kosong. Kamar itu cukup luas, ada kamar mandi juga di dalamnya.

Setelah bi Asih pergi, aku pun segera menutup pintu kamar itu. Aku pun segera mandi, untuk membersihkan tubuhku yang sudah lebih dari sebulan tidak mandi. Setelah itu aku pun beristirahat dan tidur.

*****

Malam itu aku pun terbangun, saat bi Asih mengetuk pintu kamar ku.

"kamu di tunggu tuan di ruang makan." ucap bi Asih.

Aku pun segera melangkah menuju ruang makan, yang memang berada tidak terlalu jauh dari kamar tersebut.

Di meja makan bang Radit dan istrinya telah menunggu ku.

"silahkan duduk, Erwin. Kita makan malam dulu." ucap bang Radit sopan.

Dengan perasaan sungkan aku pun menuruti ucapan bang Radit. Aku duduk berhadapan dengan mereka berdua. Lalu kemudian sekali lagi, bang Radit pun mempersilahkan aku untuk menyantap hidangan yang ada di atas meja makan tersebut.

Sambil makan bang Radit pun bercerita kalau ia dan istrinya sudah menikah hampir sepuluh tahun. Mereka juga sudah mempunyai dua orang anak. Anak pertama mereka perempuan, berusia 8 tahun. Anak kedua mereka laki-laki berusia empat tahun.

Bang Radit sendiri ternyata sudah berusia 38 tahun, meski pun tadi aku sempat menerkanya kalau ia masih berusia sekitar 30 tahun. Karena wajah bang Radit masih terlihat muda. Mungkin karena wajah bang Radit memang imut. Sementara istri bang Radit, Sinta, sudah berusia 33 tahun. Padahal ia masih kelihatan seperti baru 25 tahun.

Mbak Sinta memang terlihat cantik. Ia juga masih sangat seksi. Meski pun ia sudah melahirkan dua orang anak. Sepertinya mbak Sinta memang rajin merawat dirinya. Apa lagi melihat kemewahan yang di berikan suaminya.

Kehidupan bang Radit memang sangat mewah. Ternyata semua kebun sawit yang mengelilingi rumahnya itu, adalah miliknya. Kebun itu sangat luas. Hasilnya juga sangat banyak. Selain itu, bang Radit juga punya kebun sawit di tempat lain, yang tak kalah luasnya.

Bang Radit ternyata adalah seorang pengusaha kebun sawit yang sangat sukses. Dia juga punya banyak pekerja di setiap kebunnya.

Karena itu juga, bang Radit pun menawarkan aku untuk bekerja dengannya di kebun sawitnya.

"kebetulan kami memang sedang membutuhkan pekerja baru." ucap bang Radit.

"tapi aku gak ngerti soal sawit, bang." balas ku jujur.

"udah kamu tenang aja. Nanti kamu akan di bimbing oleh pak Sapri, dia itu orang kepercayaan saya untuk mengurus semua kebun yang ada di sekeliling rumah ini. Rumah pak Sapri ada di belakang, besok kita bisa menemuinya. Lagi pula ada banyak pekerja di sini, hanya saja mereka semuanya tinggal di belakang. Ada rumah khusus tempat mereka tinggal disana."

"begitu juga dengan kebun-kebun sawit saya di tempat lain, semua sudah ada yang mengurusnya, saya hanya menerima laporan dari mereka. Tapi kadang saya harus mengunjungi setiap kebun saya, untuk melihat perkembangannya." jelas bang Radit panjang lebar.

Aku merasa lega tiba-tiba. Setidaknya ke depannya aku sudah punya pekerjaan. Meski pun pekerjaan berat. Tapi aku tidak perlu kelaparan lagi. Aku tidak perlu tidur di jalanan lagi. Aku tidak lagi harus jadi gelandangan.

*****

Keesokan harinya, aku pun di perkenalkan oleh bang Radit kepada pak Sapri dan juga para pekerja lainnya. Ternyata ada banyak pekerja yang tinggal di perkebunan tersebut. Mereka tinggal di rumah-rumah yang sangaja di buat di dalam kebun sawit tersebut. Mereka juga berasal dari berbagai daerah.

Pak Sapri pun mulai menjelaskan beberapa hal padaku, tentang apa yang akan lakukan di perkebunan tersebut. Bang Radit memang sengaja meninggalkan aku di sana, karena ia harus pergi ke kebun sawitnya yang lain.

Hari itu aku mulai belajar banyak dari pak Sapri dan juga dari para pekerja lainnya. Mulai dari perawatan, pemupukan juga cara penen sawit tersebut.

Pak Sapri pun menempatkan ku di bagian pemupukan, karena bagian itulah yang paling mudah. Katanya sebagai anak baru, aku harus mulai dari yang termudah.

****

Hari-hari pun berlalu. Aku pun mulai memahami pekerjaan ku. Aku mulai merasa betah bekerja di sana. Karena selain saat ini aku memang tidak punya pilihan lain, juga karena semua pekerja di sana sangat baik dan ramah. Aku seakan menemukan keluarga baru di sana.

Aku juga masih tinggal di rumah bang Radit, atas permintaan bang Radit sendiri. Karena kebetulan semua rumah yang ada di dalam kebun tersebut sudah terisi.

Di rumah bang Radit, selain bi Asih ada beberapa orang pembantu lain yang tinggal di rumah tersebut. Mereka punya tugas dan peran masing-masing. Ada yang jadi pengasuh anak-anak bang Radit, ada yang memasak, mencuci pakaian atau pun membersihkan rumah. Ada juga yang bertugas merawat dan membersihkan pekarang rumah. Ada sopir pribadi dan ada juga penjaga keamanan.

Semua pembantu yang bekerja di rumah bang Radit juga sangat baik padaku. Mungkin karena yang mereka tahu aku adalah seorang yatim piatu dan hidup sebatang kara. Mungkin mereka merasa kasihan melihatku. Namun apa pun itu, aku benar-benar menemukan hidup baru di sini. Sebuah kehidupan yang tidak pernah aku bayangkan sebelumnya.

Dulu aku selalu memperlakukan pembantu di rumahku dengan sangat kasar. Aku selalu memarahi mereka, setiap kali mereka melakukan kesalahan, sekecil apa pun itu. Aku benar-benar bak seorang pangeran yang berusaha menguasai siapa pun.

Namun sekarang aku hidup dan berkumpul bersama para pembantu. Menjadi bagian dari kehidupan mereka. Hal itu membuat aku semakin menyesali segala keangkuhan ku di masa lalu. Pelan namun pasti, aku pun mulai berubah.

Aku belajar banyak dari orang-orang garis bawah tersebut. Aku belajar bagaimana caranya menghargai orang lain. Aku belajar, menjadi orang yang rendah hati. Tidak sombong dan bersikap apa adanya.

Semua kehidupan yang aku jalani saat ini, benar-benar telah memberi aku banyak pelajaran berharga. Aku menemukan makna baru dalam hidupku. Menjadi seorang manusia seutuhnya.

****

Hari-hari pun masih terus berlalu. Aku sudah terbiasa dengan semua rutinitas ku.

Sampai pada suatu malam. Saat aku hendak tertidur di kamar ku. Aku mendengar suara ketukan ringan di pintu kamarku. Aku pun segera bangkit untuk membukakan pintu.

"mbak Sinta? Ada apa?" tanya ku setengah kaget, saat melihat mbak Sinta sudah berdiri di ambang pintu kamar ku.

Mbak Sinta tidak menjawab. Dia justru mendorong pintu kamar itu agar lebih melebar. Kemudian mbak Sinta pun menyelinap masuk ke dalam kamar.

"tutup pintunya, Erwin." perintah mbak Sinta, saat ia sudah berada di dalam.

"tapi, mbak..." ucapku ragu.

"kamu tutup aja pintunya, Erwin. Gak usah banyak tanya." suara mbak Sinta tegas.

Karena merasa takut, meski pun sedikit ragu, aku pun segera menutup pintu kamar tersebut. 

"ada apa, mbak?" tanya ku, setelah pintu kamar tertutup.

"aku butuh kamu malam ini, Erwin." balas mbak Sinta.

"butuh untuk apa?" tanyaku heran.

"aku butuh kamu untuk mengisi kesepian ku malam ini." balas mbak Sinta parau.

"maksud mbak apa?" tanyaku lagi masih merasa heran.

"kamu gak usah pura-pura gak ngerti, Erwin." balas mbak Sinta lagi.

"tapi aku benar-benar gak ngerti, mbak." ucapku polos.

"aku pengen tidur sama kamu malam ini, Erwin. Aku merasa sangat kesepian. Dan kamu terlalu menarik. Aku suka sama kamu." ucap mbak Sinta ceplas-ceplos.

"tapi, mbak. Nanti bang Radit marah padaku." balasku tak karuan.

"bang Radit tidak pulang malam ini. Dia memang jarang pulang. Karena itu aku merasa kesepian. Jadi aku butuh kamu, Erwin. Aku akan bayar kamu berapa aja, asal kamu mau tidur dengan ku malam ini." ucap mbak Sinta lagi.

"tapi aku takut, mbak." balasku ringkih.

"kamu gak usah takut, bang Radit tidak akan pernah tahu. Tidak ada siapa pun yang akan tahu. Selama kamu bisa jaga rahasia, semuanya pasti baik-baik saja." ucap mbak Sinta lugas.

Ah, tiba-tiba saja aku merasa bingung. Kenapa mbak Sinta jadi seperti ini padaku? Padahal selama ini dia terlihat acuh saja padaku.

Dan bagaimana pula aku bisa menolaknya?

"kalau kamu gak mau, aku akan minta bang Radit untuk memecat kamu. Dan kamu akan kembali menjadi gelandangan." ancam mbak Sinta, melihat keterdiaman ku.

Dan dengan sangat terpaksa, aku pun akhirnya harus memenuhi keinginan mbak Sinta malam itu. Meski pun aku merasa sangat takut.

Bagaimana kalau bang Radit mengetahuinya? Pasti ia akan sangat marah padaku. Padahal selama ini, ia sangat baik padaku. Bang Radit telah menyelamatkan hidupku. Tapi apa yang aku lakukan dengan mbak Sinta, istrinya, benar-benar sebuah kesalahan yang sangat fatal.

Namun aku tak kuasa menolaknya. Mbak Sinta mengancam ku. Selain itu, ia juga menawarkan sejumlah uang padaku. Karena itu, aku pun berusaha untuk memberikan yang terbaik untuknya.

Aku yang seumur hidup baru pertama kali merasakan hal tersebut, tentu saja merasa sangat terkesan dengan semua itu. Apa lagi mbak Sinta benar-benar penuh ambisi. Ia begitu pandai membuat aku terbuai dengan semua pengalaman yang sudah ia miliki.

Pada akhirnya aku pun terlena, dan mencoba mengikuti segala permainan mbak Sinta malam itu. Aku merasa hal itu sungguh sangat luar biasa. Kesan yang mbak Sinta berikan padaku malam itu, membuat aku kian terhanyut dalam buaian keindahan penuh warna.

****

Hari-hari selanjutnya jadi terasa berbeda bagiku. Mbak Sinta jadi sering menyelinap ke kamar ku malam-malam, terutama kalau bang Radit tidak sedang di rumah.

Aku selalu tak pernah kuasa untuk menolaknya. Selain karena aku memang ketagiahan akan hal tersebut, juga karena mbak Sinta selalu memberi aku sejumlah uang, setiap kali kami selesai melakukan hal tersebut.

Meski pun sejujurnya, aku selalu merasa bersalah pada bang Radit. Aku merasa telah mengkhiantinya. Dia begitu baik padaku. Namun apa yang bisa aku lakukan? Jika mbak Sinta sendiri yang terus memaksa ku.

Sementara itu, bang Radit juga tetap baik padaku. Aku di perlakukan seperti keluarganya sendiri. Hal itu justru semakin membuat aku merasa bersalah.

Sampai pada suatu hari, bang Radit mengajak aku untuk ikut dengannya. Ia meminta aku untuk menemaninya melihat salah satu kebun sawitnya di daerah lain. Kebun sawit itu memang barada cukup jauh dari rumah bang Radit, setidaknya butuh waktu setengah hari untuk bisa sampai ke sana.

Bang Radit membawa mobilnya sendiri, meski pun di rumahnya ada sopir yang siap mengantarnya kemana saja. Namun kali ini, ia memilih untuk menyetir sendiri. Aku duduk di sampingnya dengan perasaan tak karuan.

Belum pernah sebelumnya bang Radit mengajak aku ikut dengannya seperti ini. Pikiran ku tiba-tiba saja menjadi kacau. Aku takut, kalau-kalau bang Radit sudah mengetahui tentang perbuatanku bersama istrinya. Apa lagi sepanjang perjalanan, bang Radit tidak banyak bicara. Ia lebih sering diam dan hanya fokus menyetir.

Setelah perjalanan yang cukup panjang, sambil beberapa kali kami istirahat di jalan, kami pun sampai ke tujuan. Bang Radit memarkir mobilnya di depan sebuah rumah kecil di dalam kebun sawit tersebut.

Rumah itu ternyata kosong. Tidak ada siapa pun yang tinggal di sana.

"semua pekerja yang bekerja di kebun ini semuanya tinggal di belakang. Rumah ini khusus saya buat untuk saya beristirahat, jika saya berkunjung ke kebun ini. Jadi gak ada siapa pun di sini." jelas bang Radit melihat kebingungan ku.

"rumah para pekerja gak jauh kok dari sini, jadi biasanya aku jalan kaki aja ke sana. Kalau malam aku gak pulang, ya aku tidurnya di sini, sendirian." lanjutnya lagi.

Lalu kemudian bang Radit pun mengajak aku masuk ke dalam rumah tersebut. Rumah itu hanya ada satu kamar tidur, kamar mandi di belakang dan sebuah dapur kecil. Ruangan tengah bang Radit jadikan tempat untuk ia bekerja. Ada meja kerja dan sebuah komputer di ruangan itu. Dan juga sebuah lemari tempat arsip.

"karena sudah sore, kita istirahat aja dulu di sini. Besok pagi kita baru ke sana, ke tempat para pekerja." ucap bang Radit, saat kami sudah di dalam rumah.

Selesai mandi, kami pun makan malam bersama. Bang Radit memang menyempatkan membeli makan malam tadi di jalan.

Setelah itu, bang Radit pun mengajak aku masuk ke kamarnya. Dengan sedikit sungkan aku pun ikut masuk.

"di rumah ini hanya ada satu kamar tidur, jadi kamu tidur bersama ku aja." ucap bang Radit.

"tapi.. aku gak apa-apa kok, bang. Tidur di luar." balasku terbata.

"aku meminta kamu untuk tidur bersama ku di kamar, Erwin. Jadi kamu jangan membantah lagi." tegas bang Radit membalas.

Aku pun tak bisa berbuat apa-apa lagi, selain mengikuti langkah bang Radit untuk masuk ke dalam kamar tersebut.

Di dalam kamar itu, terdapat sebuah ranjang dan juga sebuah lemari pakaian. Bang Radit pun mengajak aku untuk duduk di tepian ranjang.

"sebelum kita tidur, ada yang ingin aku sampaikan sama kamu, Erwin." ucap bang Radit, saat ia sudah duduk di sampingku.

Hatiku pun berdebar hebat. Pikiranku mulai kacau kembali. Jangan-jangan bang Radit ingin membahas tentang hubungan ku dengan istrinya. Pikirku cemas.

"kamu gak pernah bertanya kenapa aku begitu baik padamu." ucap bang Radit ringan.

"sebenarnya sudah lama ingin mempertanyakan hal itu, bang. Tapi aku takut menyinggung perasaan bang Radit." balas ku pelan.

"iya, aku ngerti. Tapi apa kamu tidak ingin tahu alasannya?" tanya bang Radit.

"kalau bang Radit gak keberatan, aku memang ingin tahu, bang." balasku.

"aku melakukan semua itu, karena ... karena aku suka sama kamu, Erwin." suara bang Radit serak.

Namun pernyataannya itu benar-benar di luar dugaan ku. Dan aku masih tak percaya kalau bang Radit akan berucap demikian.

"maksud... maksud.. bang Radit apa?" tanyaku tak yakin.

"maksud ku... aku suka sama kamu, Erwin. Aku jatuh cinta sama kamu." balas bang Radit, suaranya masih serak.

"maksudnya bang Radit ini gay?" tanyaku.

"kurang lebih seperti itu, Erwin. Tapi aku tetap suka perempuan kok. Buktinya aku sudah menikah dan bahkan sudah punya dua orang anak. Namun aku juga tidak bisa membendung keinginan ku untuk bersama seorang laki-laki."

"sebenarnya sudah sangat lama aku tidak melakukan hal tersebut denga seorang laki-laki. Setidaknya sejak anak kedua ku lahir. Namun sejak pertama kali melihat kamu, entah mengapa aku jadi tertarik sama kamu. Tiba-tiba saja keinginan itu datang kembali."

"karena itu aku nekat untuk membawa kamu ke rumah ku waktu itu. Aku hanya berharap kamu bisa mengerti, dan aku berharap dengan membantu kamu, bisa membuat kamu membuka hatimu untukku." cerita bang Radit panjang lebar.

"jadi sekarang apa yang bang Radit inginkan dari ku?" tanya ku akhirnya, setelah aku berpikir beberapa saat.

"aku... aku menginginkan kamu malam ini, Erwin. Sudah sangat lama aku tidak melakukan hal tersebut dengan seorang laki-laki. Sekarang aku tidak bisa lagi menahan diriku. Aku sudah coba memendamnya selama beberapa minggu ini, tapi selalu saja wajah tampan mu itu hadir di setiap angan liar ku." balas bang Radit.

Aku terdiam. Berpikir lagi. Jujur, aku tidak ingin kehilangan kehidupan yang aku jalani saat ini. Meski sebenarnya ini bukanlah kehidupan yang aku inginkan. Namun aku benar-benar tidak mau hidup terlunta-lunta di jalanan lagi.

Jika memang bang Radit menginginkan ku, gak ada salahnya juga bagi ku untuk memenuhi keinginannya itu. Pada dasarnya aku ini bukan laki-laki baik-baik. Sejak awal aku memang bukan laki-laki baik. Apa lagi aku juga sudah menjadi selingkuhan istri bang Radit. Dan saat ini justru bang Radit juga menginginkan ku.

Memang susah terlahir menjadi laki-laki yang berwajah tampan dan berpostur tubuh gagah. Terlalu banyak godaannya. Dan aku selalu tidak bisa menghindari setiap godaan itu.

"jika kamu mau menjalin hubungan dengan ku, aku akan memberi kamu uang yang banyak, Erwin. Kamu tidak perlu bekerja keras lagi di kebun. Kamu cukup menemani ku kapan pun aku membutuhkan kamu." ucap bang Radit menawarkan lagi.

"tapi aku ini bukan gay, bang. Tidak mudah bagiku untuk bisa menjalin hubungan dengan bang Radit, apa lagi sampai melakukan hal tersebut." ucapku berlagak jual mahal.

"iya, aku tahu. Tapi aku benar-benar menginginkan kamu, Erwin. Aku akan lakukan apa saja, untuk bisa mendapatkan kamu." tegas ucapan bang Radit.

"aku memang tidak akan bisa menolak keinginan bang Radit. Apa pun itu. Karena bang Radit sudah sangat baik padaku. Tapi aku ingin bang Radit tahu, kalau aku melakukan semua ini, bukan karena aku benar-benar menginginkannya. Tapi karena aku hanya ingin membalas setiap kebaikan bang Radit padaku selama ini." ucapku kemudian.

"aku tak peduli apa pun alasan kamu, Erwin. Yang penting aku bisa mendapatkan kamu. Aku bisa memiliki kamu, seperti yang selalu aku khayalkan akhir-akhir ini." balas bang Radit.

"baiklah, bang. Jika itu yang abang inginkan. Aku bersedia. Tapi aku harap, ini hanya menjadi rahasia kita berdua. Dan satu hal lagi, aku ingin tetap bekerja seperti biasa. Aku tidak ingin orang-orang curiga akan kedekatan kita. Terutama istri bang Radit." ucapku ringan.

"jika itu yang menjadi permintaan mu. Bagi ku tidak masalah. Selama kamu bersedia, kapan pun aku menginginkan kamu untuk bersama ku." balas bang Radit.

Dan malam itu, dengan perasaan berat, aku pun terpaksa memenuhi keinginan bang Radit. Bukan karena aku benar-benar menginginkannya, tapi terlebih karena aku ingin membalas semua kebaikan bang Radit padaku. Dan juga karena aku tidak ingin kehilangang kehidupan ku yang sekarang.

*****

Sejak saat itu, aku dan bang Radit mulai menjalin hubungan rahasia. Bang Radit semakin sering mengajak aku untuk ikut dengannya.

Sementara hubungan ku dengan mbak Sinta, istri bang Radit, masih terus berjalan. Ada malam-malam tertentu, mbak Sinta, selalu menyempatkan waktu untuk menyelinap ke kamarku.

Aku harus menjalankan dua peran dalam hidupku. Meski sulit, namun aku sangat menikmati hal tersebut. Apa lagi aku juga mendapatkan sejumlah uang, setiap kali aku selesai melakukan hal tersebut, baik bersama mbak Sinta atau pun bersama bang Radit.

Sebenarnya ini bukanlah kehidupan yang aku impikan, namun sekali lagi, aku ini bukanlah laki-laki baik-baik, yang harus mempertimbangkan banyak hal sebelum melakukan sesuatu.

Aku sadar akan resiko, atas semua yang aku lakukan saat ini. Tapi bukankah hal itu bukan keinginan ku sendiri. Mbak Sinta dan bang Radit sendiri yang menginginkan aku. Dan aku tidak bisa menghindari mereka. Terlebih aku memang tidak ingin menghindarinya.

Lagi pula hal itu terlalu indah untuk aku hindari. Terutama saat aku bersama mbak Sinta. Aku terlena dengan segala perlakuan mbak Sinta padaku. Dia begitu pandai membuat aku tidak bisa melupakannya. Dia selalu bisa membuat aku selalu menginginkannya.

Menjalani dua hubungan yang berbeda, sedikit membuat aku kesulitan, karena aku harus bisa mengatur waktu dengan baik. Aku tidak ingin salah satu dari mereka curiga. Aku harus bisa menjaga rahasia itu dengan baik. Agar kehidupan ku tetap aman.

****

Hari-hari pun terus berlalu. Aku masih tetap menjalankan kedua peran ku dengan baik. Bahkan sudah lebih dari setahun hal itu terus terjadi. Aku juga sangat menikmati hal tersebut. Aku merasa kehidupan yang aku jalani sungguh luar biasa.

Aku juga selalu menyimpan setiap uang, hasil pemberian dari mbak Sinta atau pun dari bang Radit. Uang hasil kerja ku di kebun juga aku tabung. Karena aku yakin, pada saatnya nanti semua ini pasti akan berakhir. Untuk itu aku butuh persiapan untuk hidupku ke depannya, jika aku tidak lagi di butuhkan oleh mbak Sinta mau pun oleh bang Radit.

Dan setelah lebih dari setahun, ketakutan ku pun terjadi. Bang Radit, pada akhirnya mengetahui kalau aku punya hubungan dengan istrinya. Hal itu ia saksikan sendiri, ketika suatu malam ia memergoki kami sedang bersama di kamar ku.

Bang Radit tentu saja marah besar. Ia pun mengusir ku dari rumahnya. Aku pun terpaksa pergi dari rumah itu. Sementara aku tidak tahu, apa yang dilakukan bang Radit terhadap istrinya. Dan aku juga sebenarnya juga tidak peduli lagi.

Tapi aku yakin, bang Radit tidak akan berani bertindak macam-macam padaku. Karena biar bagaimana pun, dia juga punya hubungan dengan ku. Dan itu merupakan rahasia besar dalam hidupnya. Aku yakin bang Radit tidak akan mau menanggung resiko rahasianya terbongkar, jika ia berbuat macam-macam padaku. Dan aku sudah memperhitungkan hal itu sejak lama.

Aku pun pergi dengan perasaan campur aduk. Aku benar-benar tidak tahu apa yang aku rasakan saat ini. Entah marah, kecewa, atau bahkan mungkin lega. Lega karena aku tidak lagi harus terikat dengan sepasang suami istri yang punya kelainan itu.

Aku memang sudah mempersiapkan kepergian ku. Uang yang aku simpan, rasanya sudah cukup untuk aku memulai kehidupan ku yang baru. Hanya saja aku memang harus pergi sejauh-jauhnya dari kehidupan bang Radit. Aku harus memulai hidupku di tempat yang baru dan jauh.

Aku pun menaiki sebuah bis antar provinsi, untuk pergi dari daerah tersebut. Aku ingin meninggalkan kehidupan ku bersama sepasang suami istri itu. Meski pun aku belum benar-benar tahu, kemana sebenarnya tujuan ku. Namun yang pasti aku memang harus pergi.

Dan setelah perjalanan kurang lebih tiga hari tiga malam naik bis, aku pun sampai ke sebuah kota yang belum pernah aku datangi sebelumnya. Aku berharap, di kota ini, aku bisa memulai hidupku yang baru.

Hal pertama yang aku lakukan adalah mencari tempat tinggal. Aku pun mencari tempat kost murah, untuk aku tinggal sementara waktu. Aku juga terus berpikir, usaha apa yang bisa aku lakukan di kota ini, dengan modal yang sangat terbatas.

Sampai akhirnya setelah seminggu aku tinggal di kota baru itu, aku pun memutuskan untuk membuka usaha jualan pakaian jadi. Aku menyewa sebuah ruko kecil, untuk tempat aku berjualan. Aku menguras semua uang tabungan ku, untuk modal usaha ku tersebut.

Awalnya hal itu tidak mudah bagiku. Namun aku selalu percaya, bahwa setiap usaha pasti akan membuahkan hasil. Untuk itu, aku pun tak pernah menyerah. Aku juga membuka toko ku secara online. Hal itu cukup membantu penjualan ku. Hingga pelan namun pasti, usaha ku pun mulai berkembang. Orang-orang sudah mulai mengenal toko pakaian ku, baik online mau pun offline.

Dan setelah bertahun-tahun, usaha ku pun akhirnya membuahkan hasil. Aku bahkan sudah punya beberapa orang karyawan. Aku juga sudah menyewa ruko yang lebih besar. Meski sebenarnya, aku haru mengalami jatuh bangun beberapa kali, namun aku tidak pernah menyerah. Hingga akhirnya usaha ku bisa terus berkembang.

Setelah merasa hidupku mulai mapan, aku pun memutuskan untuk menikah. Aku menikah dengan seorang gadis cantik, yang merupakan salah seorang karyawanku.

Setelah menikah, kehidupan ku semakin membaik. Aku pun telah melupakan segala kepahitan hidup yang pernah aku lalui di masa lalu. Aku telah mengubur semua masa lalu ku. Karena bagiku, masa lalu hanyalah kenangan yang telah berlalu. Dan masa depan dan hal yang layak untuk di perjuangkan.

Dan satu hal lagi, aku bukan lagi seorang yang angkuh dan sombong. Kepahitan-kepahitan hidup yang aku lalui di masa-masa sulit ku, telah mengajarkan aku banyak hal. Kejadian demi kejadian yang aku alami, telah mampu mengubah sifat ku. Aku belajar banyak dari setiap peristiwa yang aku alami.

Kini aku benar-benar telah berubah. Aku yang dulu begitu angkuh dan sombong. Kini menjadi orang selalu berusaha memperbaiki diri. Apa lagi istriku juga seorang perempuan yang baik, lembut dan penuh perhatian.

Hanya saja sampai saat ini, aku belum mendapat kabar apa pun tentang papa ku. Aku yakin ia masih menjalani masa hukumannya. Hanya saja, terkadang terpikir olehku untuk menjenguknya. Namun selain sangat jauh, aku juga tidak ingin kembali ke kota asal ku. Karena itu, aku belum berani untuk menjenguk papa.

Aku hanya berharap, papa bisa menyadari kesalahannya dan semoga beliau bisa berubah menjadi lebih baik selama di penjara. Dan semoga juga beliau selalu dalam keadaan baik-baik saja.

Mungkin suatu waktu aku akan mengunjunginya. Namun yang pasti bukan sekarang, karena aku merasa belum siap untuk bertemu dia kembali.

Dan begitulah kisah hidup yang harus aku jalani. Mungkin ada banyak kesalahan yang aku lakukan dalam hidup ini. Mungkin aku bukanlah manusia yang baik. Namun apa pun itu, sebagai manusia aku berhak untuk mendapatkan kesempatan kedua. Sebagai manusia, aku berhak mendapatkan kesempatan untuk berubah.

Mungkin kisah ini bukan lah kisah yang sarat makna. Namun aku percaya, selalu ada pelajaran berharga pada setiap kisah yang terjadi.

Terima kasih sudah menyimak kisah ini dari awal sampai akhir, semoga terhibur dan semoga ada hikmah yang bisa di petik dari kisah sederhana ini.

Salam sayang selalu buat kalian semua. Muaach.

****

Cari Blog Ini

Layanan

Translate