Semalam di Andromeda (Cinta yang salah part 4)

Apa kamu percaya, dengan cinta pada pandangan pertama?

Dulunya aku tidak percaya sama sekali. Bagaimana mungkin kita bisa merasa tertarik pada seseorang hanya melalui sebuah tatapan?

Namun semenjak bertemu Damar, aku mulai mempercayai hal tersebut.

Siapa Damar?

Dan bagaimana akhirnya kami bisa bertemu?

Kali ini saya akan menceritakannya disini.

Kumpulan cerpen sang penuai mimpi

 

Cerita yang selama ini hanya aku pendam sendiri. Cerita yang hanya menjadi rahasia dalam hidupku.

Dan beginilah ceritanya.

Namaku Abe. Begitu biasa orang-orang memanggilku.

Mungkin masih ada yang ingat tentang kisahku sebelumnya.

Kisahku yang telah jatuh cinta kepada orang yang salah berkali-kali.

Mulai dari jatuh cinta kepada seorang pemuda desa, yang merupakan sahabatku sendiri, hingga akhirnya ia pun menikah, yang membuatku harus pergi meninggalkan kampung halamanku.

Lalu kemudian aku jatuh cinta pada mandor tempat aku bekerja, yang saat itu sudah berstatus suami orang. Meski akhirnya kami bisa dekat, namun cintaku tetap bertepuk sebelah tangan, yang membuatku patah untuk yang kedua kalinya.

Sampai akhirnya aku bertemu Zai, seorang rekan kerjaku, sebagai sesama tukang panen sawit di sebuah kebun perusahaan. Aku kembali merasakan jatuh cinta pada Zai, setelah hampir setahun kami tinggal bersama.

Meski aku berhasil memiliki Zai, tapi pada akhirnya hatiku kembali hancur, karena Zai memilih untuk pergi meninggalkanku, yang sudah terlanjur bahagia bersamanya.

Dua tahun kebersamaanku dengan Zai, namun semua memang harus berakhir dengan sangat menyakitkan bagiku.

Dan setahun kemudian, disinilah aku sekarang. Di kampung halamanku.

Yah,aku memutuskan untuk kembali ke kampung, dan berencana memulai hidup baru.

Aku memang kembali bertemu, dengan pemuda kampung yang merupakan cinta pertamaku itu. Tapi semua rasa cintaku padanya, kini hanya menjadi sepenggal cerita yang telah ku kubur rapi di dalam hatiku.

Aku mulai menata hidupku lagi, menata hatiku kembali.

Aku berharap, aku bisa berubah. Aku tidak ingin jatuh cinta lagi kepada orang yang salah. Aku tidak ingin jatuh cinta lagi, kepada orang yang tidak akan pernah bisa aku miliki.

Namun yang terjadi, terkadang tidak selalu berjalan seperti yang kita rencanakan.

Aku sekarang bekerja di sebuah perusahaan kebun sawit, sebagai seorang mandor. Seorang abang iparku, yang sudah bekerja bertahun-tahun di perusahaan tersebut, merekomendasikan ku untuk bisa bekerja disana, meski hanya bermodal ijazah SMP.

Karena sudah punya pekerjaan tetap, aku juga jadi punya penghasilan yang tetap.

Sebagai seseorang yang masih hidup melajang, gaji yang aku terima sudah lebih dari pada cukup.

"jadi kapan kamu akan memutuskan untuk menikah?" kakakku kembali mempertanyakan hal itu padaku, pada suatu hari.

Keluargaku sekarang, memang sangat berharap aku segera menikah.

"kamu udah 30 tahun lebih loh, Be. Kamu mau selamanya hidup melajang?" lanjut kakakku lagi.

Aku selalu terdiam, setiap kali pihak keluargaku mempertanyakan hal tersebut.

Aku bukannya tidak mau menikah. Aku juga ingin merasakan kehidupan yang normal. Jadi seorang suami, punya keturunan. Tapi apa mungkin, aku bisa membuat istriku bahagia nantinya, jika aku tidak bisa benar-benar mencintainya.

Aku takut, pernikahanku nantinya, hanyalah sebuah kepalsuan.

Namun biar bagaimana pun, aku memang harus mulai memikirkan hal tersebut.

Sebagai orang yang tinggal di kampung, menikah adalah sesuatu yang sudah lebih dari sebuah kewajiban.

Laki-laki yang sudah berkepala tiga, namun masih melajang, akan menjadi bahan gunjingan yang empuk bagi para warga. Mungkin karena itu juga, keluargaku sangat bersikeras, untuk aku segera menikah.

Apa lagi, secara fisik, sebenarnya aku cukup menarik, menurut orang-orang terdekat ku, sih. Dan kehidupanku secara ekonomi juga sudah lumayan mapan.

Tapi ya, itu tadi, aku tidak bisa menemukan wanita, yang bisa membuatku jatuh cinta padanya.

*****

Hari-hari kembali berlalu, tanpa bisa dicegah atau pun dipacu.

Sampai suatu saat, aku pergi berjalan-jalan sendirian. Aku berniat untuk menghilangkan segala kejenuhanku setelah bekerja selama berbulan-bulan.

Kebetulan saat itu, masih dalam suasana libur lebaran. Kami para pekerja, mendapat jatah libur beberapa hari.

Aku memutuskan untuk menaiki sebuah travel, menuju sebuah daerah yang baru-baru ini cukup viral dibicarakan orang-orang. Sebuah pulau kecil di tengah lautan, yang katanya mempunyai pemandangan alam yang indah.

Meski daerah tersebut, cukup jauh dari desa tempat aku tinggal, setidaknya aku harus menempuh perjalanan hampir setengah hari naik travel untuk bisa sampai kesana.

Sesampai disana, aku harus naik sebuah kapal kecil untuk menuju pulau tersebut.

Memang sebuah pulau yang amat indah. Dan juga di kunjungi oleh banyak orang.

Pulau Andromeda, begitu masyarakat disekitar menyebut nama pulau nan eksotik tersebut.

Aku menaiki sebuah kapal kecil bersama beberapa orang pengunjung lainnya.

Sesampai di pulau tersebut, kami diturunkan di sebuah pelabuhan kecil, dan disambut oleh beberapa orang pemandu.

Para pemandu yang rata-rata laki-laki itu, mencoba menawarkan jasanya kepada setiap pengunjung yang datang. Meski terlihat banyak dari para pengunjung, untuk memilih menjelajahi pulau kecil itu tanpa pemandu.

Aku yang memang sendirian, dan baru pertama kali ke Andromeda, mencoba menerima tawaran dari seorang pemandu.

Selain memang tidak mengetahui daerah tersebut, aku juga butuh teman bercerita.

"aku Damar, bang.." begitu pemuda tersebut namanya, setelah kami melakukan tawar menawar mengenai harga yang telah ditetapkan.

"Abe..." jawabku singkat.

Damar tersenyum ramah. Senyum yang membuat degupan di jantungku menjadi tak karuan.

Damar memiliki sebuah belahan tipis di dagunya, yang membuat ia terlihat manis, terutama saat ia tersenyum.

Pemuda berbadan gelap nan eksotik itu, memiliki tubuh yang atletis dan berotot.

Perutnya terlihat ramping, ketika hembusan angin di pantai tersebut, meniup-niup baju kaos oblong hijau yang dipakainya siang itu.

Damar memakai sebuah celana jeans pendek, dengan sedikit seboken di bagian paha kirinya. Kakinya dipenuhi bulu-bulu yang hampir tak kelihatan karena hampir menyerupai warna kulitnya, meski sebenarnya bulu-bulu itu sangat lebat, hingga ke bagian pahanya.

Rambut Damar sedikit ikal, namun terlihat lembut tertiup hembusan angin. Matanya memancarkan sejuta keindahan. Bibirnya tipis, dengan hidung yang terlihat mungil.

Rahang kokohnya memperlihatkan tonjolan di lehernya, menjadi terlihat seksi.

Secara keseluruhan, Damar memang tidaklah terlalu tampan, tapi ia punya pesona tersendiri, yang membuatku menjadi tidak bosan menatapnya.

Dan aku sepertinya tiba-tiba saja, merasa sangat tertarik pada Damar.

Sehingga sebuah kalimat yang selama ini hanya mitos bagiku, kini justru terjadi padaku.

'Cinta pada pandangan pertama' desisku dalam hati.

Damar membantuku membawa beberapa barangku, menuju tempat peristirahatanku.

Di pulau ini, memang menyediakan sebuah tempat penginapan, untuk para pengunjung beristirahat atau bahkan untuk menginap beberapa malam disini.

Tempat penginapan itu, hanyalah seperti sebuah pondok kecil yang terbuat dari kayu, namun dibangun dengan karakteristik yang indah. Terlihat kokoh dan terkesan mewah,

Pondok-pondok kecil itu tersusun rapi, hampir di sepanjang pantai pulau tersebut. Ada puluhan banyaknya.

Untuk bisa menyewa tempat tersebut, kita harus memesannya dari awal, karena jika sudah menjelang sore, pondok-pondok itu, akan habis tersewa oleh para pengunjung.

Meski dengan harga yang sedikit mahal, tapi pondok itu cukup nyaman dan luas.

"pondok ini, memang dibuat untuk menampung sebuah keluarga, bang. Jadi, ya memang harus luas.." Damar mencoba menjelaskannya padaku, ketika kami telah berada di dalam salah satu pondok, yang sudah aku sewa tadi.

"jadi bang Abe sendirian?" tanya Damar lagi.

Aku hanya mengangguk kecil, karena aku tahu, pertanyaan tersebut hanyalah sebuah pertanyaan basa-basi.

Damar memang ramah dan terlihat sopan.

"sudah berapa lama kerja disini?" tanyaku, ketika akhirnya kami pun berjalan-jalan menyelusuri pantai tersebut.

"udah hampir dua tahun, bang.." jawab pemuda yang ternyata baru berusia 21 tahun tersebut.

Aku memang berencana untuk menginap satu malam di pulau tersebut. Namun karena masih sore, Damar menawarkanku untuk berkeliling sebentar, sambil kami mengobrol tentunya.

Ada banyak pengunjung disana, dan juga berbagai jenis jualan ada disana. Mulai dari berbagai jenis makanan dan minuman, berbagai aksesoris, serta beberapa cenderamata yang unik.

Sebuah pulau yang sangat menarik, namun dibalik itu semua, ada Damar yang telah mampu mengetuk hatiku, bahkan sejak pertama kali aku melihatnya.

Berjalan berdua bersama Damar, aku seperti merasakan keindahan pantai itu, menjadi dua kali bahkan tiga kali lipat lebih indah.

Damar cukup jangkung, aku terkadang harus tengadah untuk bisa menatap wajah teduhnya.

Kami ngobrol banyak hal, bahkan aku tanpa sengaja, juga menceritakan beberapa bagian dari kisah hidupku. Tapi tentu saja, bukan tentang aku yang seorang gay.

"bang Abe, mau berapa malam menginap disini?" tanya Damar, di sela-sela obrolan kami.

"hanya satu malam, Mar.." jawabku, mulai merasa akrab.

Senja pun akhirnya tiba. Orang-orang terlihat sedang asyik menikmati tenggelamnya sang mentari, sebuah momen yang menjadi pesona tersendiri di pulau itu.

Aku menatapi tenggelamnya sang mentari yang menghilang perlahan.

Terlihat indah. Terasa begitu indah. Apa lagi, dengan adanya Damar disisiku. Keindahan itu terasa lengkap.

Setelah mulai gelap, kami pun berjalan kembali ke pondok sewaanku.

Sebelum pamit, Damar menawarkan untuk menemaniku malam itu.

"kalau bang Abe masih butuh teman ngobrol, sih.." ucapnya lembut.

Aku tentu saja dengan senang hati menerima tawaran tersebut. Bukan saja, karena aku yang memang butuh teman, tapi juga rasanya terlalu berat harus berpisah dari Damar.

*******

Malam pun datang. Sehabis mandi di kamar mandi yang memang tersedia di dalam pondok berukuran kurang lebih 4x4 itu, aku pun memesan makan malam, melalui salah seorang kurir pengantar makanan.

Beberapa saat setelah aku menghabiskan makan malamku, Damar pun muncul kembali di pondok itu.

Kali ini ia memakai sebuah baju kemeja lengan pendek, bercorak garis-garis putih. Dengan celana jeans panjang, yang membuat ia terlihat lebih maskulin.

Sementara aku hanya memakai baju kaos oblong dengan celana pendek, sejenis celana olahraga, yang biasa aku pakai jika aku hendak tertidur.

Aku memang tidak berniat kemana-mana malam itu. Aku hanya ingin beristirahat di pondok itu.

"jadi kita kemana malam ini?" tanya Damar, ketika ia sudah berada di dalam pondok.

Di dalam pondok, terdapat sebuah ranjang besar dan sebuah lemari pakaian.

"aku sedang tidak ingin kemana-mana, Mar. Kita ngobrol disini aja, ya.." balasku pada Damar.

"sayang loh, bang. Udah di pulau ini, tapi bang Abe justru hanya diam di pondok. Kita bisa keliling, bang. Ada banyak kegiatan di pulau ini, kalau malam hari, salah satunya ada api unggun.." Damar berucap lagi, sambil ia duduk di sampingku di sisi ranjang.

"aku capek, Mar. Aku hanya pengen istirahat.." ucapku, sambil sedikit melirik Damar.

"jadi aku ganggu nih, bang? kalau gitu aku pamit, ya.." ucap Damar, mencoba untuk bangkit.

Aku repleks menahan Damar.

"bukan itu maksudku, Mar. Aku justru pengen kamu nemani aku disini..." ucapku cepat, takut Damar benar-benar pergi.

Damar kembali manatapku dengan senyum manisnya.

"aku pengen kamu tidur disini, bisa?" tanyaku hati-hati.

"tenang aja, nanti aku kasih doble tip-nya.." lanjutku, takut Damar salah paham.

"oke, bang." jawab Damar mantap. "selama itu bisa membuat bang Abe senang.." lanjutnya.

"sebelumnya kamu pernah menemani pengunjung tidur gak..?" tanyaku, mencoba mencari tahu, seperti apa Damar sebenarnya.

"pernah, bang. Tapi biasanya cewek, kalau ia datang sendiri, dan merasa takut tidur sendirian.." jawab Damar, terlihat terbuka.

"cowok belum pernah ya?" tanyaku meyakinkan.

Damar hanya menggeleng.

"biasanya cuma menemani tidur aja?" tanyaku lagi, benar-benar ingin tahu.

Damar menyunggingkan senyum tipis. Ia menatapku penuh tanya, mungkin ia tak menyangka aku akan mempertanyakan hal tersebut.

"yaa... tergantung sih, bang. Tergantung yang ngajak. Ada yang cuma menemani tidur, tapi jujur, ada juga yang minta dilayani.." jawab Damar akhirnya, yang membuatku punya kesimpulan tersendiri tentang Damar.

Damar bisa dibayar. Itu kesimpulanku. Ada secercah harapan, pikirku.

"itu bayarnya lebih, ya?" tanyaku terus berusaha memancing.

"biasanya iya, bang. Apa lagi kalau cewek tajir, dan sedang bermasalah. Ia pasti bayar aku mahal.." Damar semakin terbuka. Seperti peluangku yang juga terbuka untuk bisa mendapatkannya malam itu.

Damar memang mengakui kalau ia belum pernah menemani seorang cowok tidur, tapi bukan berarti dia tidak mau.

Aku yang sudah terlanjur jatuh cinta pada Damar, akan sangat bersedia membayar berapa aja, asal Damar mau melakukannya denganku. Hanya saja, aku merasa bingung harus bagaimana mengatakannya pada Damar.

Biar bagaimana pun, aku tetap merasa takut, kalau Damar akan menolak.

"kalau aku yang bayar kamu, untuk tidur denganku, kamu mau gak?" tanyaku akhirnya dengan suara yang tertahan.

Damar menatapku tajam, dahinya berkerut.

"maksud bang Abe?' tanya Damar dengan suara pelan.

"maksud ... maksud saya... kamu mau gak saya bayar untuk melayani saya.." jawabku meski dengan sedikit terbata.

"bang Abe homo?" Damar bertanya kembali, ia meluruskan duduknya.

Aku tidak segera menjawab, aku tidak harus menjawab. Aku biarkan Damar menyimpulkannya sendiri.

Damar berdiri tiba-tiba.

"maaf, aku gak bisa, bang..." ucapnya pelan.

"aku bukannya gak mau, bang. Tapi itu sesuatu yang berat. Aku belum pernah melakukannya. Membayangkannya saja, aku sudah merasa mual. Maaf, bang. Tapi begitulah kenyataannya." lanjut Damar lagi, masih dalam keadaan berdiri.

Aku segera bangkit dari rebahanku. Aku tahu, ini sulit bagi Damar. Karena itu, aku harus berusaha lebih keras lagi, untuk membujuknya.

"aku akan bayar kamu dua kali lipat dari biasanya." ucapku, kali ini aku duduk di sisi ranjang.

Damar duduk kembali, ia terlihat sedang berpikir keras.

"bang Abe serius?" tanya Damar, sambil ia melirikku.

Aku mengangguk berat.

Nafsu sudah menguasaiku saat itu. Aku bahkan tidak peduli, jika uang dalam tabunganku harus terkuras, untuk bisa menikmati Damar.

"tapi aku geli loh, bang, dipegang-pegang sama cowok.." Damar berucap lagi, ia menyilangkan kedua tangannya di dadanya.

"kamu pejam mata aja, Mar.." saranku.

Damar kembali terdiam. Aku masih terus berusaha meyakinnya. Meski Damar masih terlihat ragu-ragu.

Aku yakin, uang yang aku tawarkan, sangat banyak bagi Damar. Ia bahkan butuh waktu berbulan-bulan untuk mengumpulkan uang sebanyak itu.

Dan hal itu yang akhirnya membuat Damar akhirnya menyerah.

"tapi aku ingin semua lampu dimatikan ya, bang.." pinta Damar dalam kepasrahannya.

"aku juga ingin melakukannya, sambil nonton video dewasa.." lanjutnya lagi.

Aku memenuhi semua permintaan Damar. Apa pun caranya, yang penting aku bisa menikmatinya malam itu.

Keadaan dalam ruangan itu menjadi gelap, setelah Damar mematikan semua lampu. Ia kemudian memutar sebuah video dewasa melalui ponselnya.

Aku pun mulai beraksi. Tanganku menyentuh bagian-bagian sensitif tubuh Damar.

Aku merasakan Damar mencoba sekuat mungkin menahan rasa gelinya.

Namun aku lebih berusaha lagi, untuk membangkitkan gairahnya.

Dengan bantuan video dewasa normal yang ia tonton, akhirnya aku berhasil membuat Damar mulai menikmati hal tersebut.

Perlahan namun pasti, Damar mulai menikmati setiap permainanku. Ia bahkan tidak lagi menonton video tersebut.

Dalam kegelapan itu, aku dan Damar akhirnya memulai sebuah pelayaran.

Sebuah pelayaran yang kurasakan sangat indah. Aku sudah sangat lama tidak merasakan hal tersebut, benar-benar terlena dan terbuai dengan sebuah sensasi yang berbeda.

Biar bagaimanapun, itu adalah pengalaman pertamaku melakukan hal tersebut dengan seorang cowok normal.

Dan terlebih, aku melakukannya dengan orang yang aku cintai.

Aku berhasil merasakan tubuh kekar Damar malam itu. Meski aku tahu, Damar melakukannya bukan dari hati. Tapi karena ia berusaha menumpahkan hasratnya yang sudah terlanjur bangkit, karena menonton video dewasa tersebut.

Dan juga tentu saja, karena ia mendapatkan upah dari hal tersebut.

Sebuah pelayaran yang sangat panjang. Damar benar-benar tangguh. Ia seakan berpacu dengan lautan penuh ombak, yang membuat ia semakin berkeringat.

Aku berusaha mengikuti setiap ayunan gelombang keindahan yang Damar berikan. Aku tidak ingin melewati hal itu, walau sedetik pun.

Aku ingin menikmati, setiap hentakan dayung kemesraan yang Damar lakukan.

Aku merasakan keindahan itu. Tubuhku terguncang, dalam setiap hempasan alunan yang penuh cinta itu.

Debaran di jantungku berdetak semakin tak beraturan. Berkali-kali aku memejamkan mata. Berharap semua itu bukanlah sebuah mimpi. Berharap semua itu, tidak akan pernah berakhir.

Aku ingin sepanjang malam itu merasakan keindahan tersebut.

Suara deburan ombak di tepi pantai itu, terdengar begitu riuh dari luar. Mereka seperti mengimbangi permainan yang sedang kami lakukan.

Sampai akhirnya tubuhku pun terhempas. Aku dan Damar sama-sama berlabuh di sebuah dermaga penuh warna.

Damar ikut menghempaskan tubuh kekarnya, setelah ia sempat mengejang sesaat.

Aku tahu, Damar sangat menikmati permainan kami tadi.

Dan aku merasa sangat puas. Tak sia-sia rasanya, segala perjuanganku untuk bisa mendapatkan Damar malam itu.

Karena sama-sama merasa kelelahan, kami pun akhirnya sama-sama tertidur.

Namun menjelang subuh, aku terbangun.

Aku pun mencoba memancing Damar lagi.

Damar tak berniat untuk menolak. Ia terlihat pasrah. Aku tak ingin menghabiskan sisa malam itu, dengan sia-sia.

Aku harus bisa benar-benar menikmatinya.

Hingga untuk yang kedua kalinya malam itu, kami pun kembali berlayar bersama.

Mengayuh biduk cinta dalam lautan kemesraan. Sampai kami pun kembali berlabuh di tepian kebahagiaan.

Aku kembali memejamkan mata. Tertidur dengan perasaan penuh kelegaan.

******

Pagi itu, setelah mandi dan sarapan, aku pun pamit kepada Damar. Berat rasanya harus berpisah dari Damar. Setelah semua keindahan yang kami lalui bersama.

"kapan kesini lagi, bang?" tanya Damar melepaskan kepergianku.

Aku hanya menggeleng. Karena aku memang tidak tahu, kapan aku akan bisa kesini lagi. Butuh biaya besar untuk bisa kembali ke pulau nan indah ini.

Tapi, aku pasti kembali. Aku pasti akan menemui Damar lagi. Aku terlanjur jatuh cinta padanya.

Rasa rindu pasti akan menghantuiku sepanjang waktu. Dan aku takut, aku tak mampu menahannya.

Cinta pada pandangan pertama, memang terasa berbeda. Apa lagi kesan yang Damar berikan padaku, sangat indah.

Kutatap wajah Damar untuk yang terakhir kalinya. Aku tak tahu, entah kapan aku akan bisa menatapnya lagi.

Damar kembali memamerkan senyum manisnya dengan belahan dagunya yang terlihat indah.

Sepanjang perjalanan pulang, pikiranku kembali memutar memori kenangan indahku bersama Damar.

Meski hanya satu malam, semua itu terasa sangat berkesan dan begitu membekas dalam benakku.

Damar sebenarnya tidak menerima semua uang yang aku berikan padanya. Ia hanya mengambil sebagiannya.

"segini udah lebih dari cukup, bang.." ucap Damar, sambil mengembalikan sebagian uang lagi padaku.

Aku tersenyum sendiri, mengingat semua itu. Aku tahu, Damar pasti sangat terkesan dengan apa yang aku lakukan padanya. Ia mungkin telah menemukan sesuatu yang berbeda, yang membuat ia tidak tega menerima semua uang yang aku berikan padanya.

****

Hari-hari kembali berlalu. Aku kembali bekerja seperti biasa. Hanya saja bedanya, aku seperti menemukan sebuah semangat baru dalam hidupku.

Kenangan indah satu malam bersama Damar, benar-benar membuatku terlena.

Hingga sebulan kemudian, aku memutuskan untuk datang lagi ke pulau andomeda.

Aku ingin bertemu Damar lagi. Aku ingin mengulangnya lagi bersama Damar.

Tapi ternyata, kenyataan tak seindah yang aku harapkan.

"Damar udah pindah, mas. Ia sudah gak kerja disini lagi.." jawab salah seorang pemandu, ketika aku bertanya tentang Damar padanya.

"kenapa?" tanyaku terdengar lemah. Jauh-jauh aku datang kesini untuk menemuinya, tapi aku justru harus menelan kepahitan.

"gak tahu juga, mas. Katanya ia mau pulang kampung." jawab laki-laki itu lagi.

Aku terhempas kecewa.

Sebulan aku coba menahan rindu pada Damar. Saat aku sudah punya kesempatan untuk menemuinya, namun yang aku dapatkan hanyalah sebuah kehampaan.

Aku kecawa. Benar-benar kecewa. Pulau yang tadinya terlihat begitu indah bagiku, sekarang terlihat begitu suram.

Aku yang tadinya berencana untuk menginap di pulau itu, akhirnya memutuskan untuk kembali pulang.

Hidupku yang tadinya sangat bergairah, tiba-tiba terasa hampa. Kosong.

Aku kehilangan semangat. Aku kehilangan pegangan. Aku benar-benar tidak punya harapan lagi untuk bisa bertemu dengan Damar.

Sekali lagi, aku harus menelan pahitnya sebuah perpisahan.

Meski kisahku dengan Damar hanya terjadi satu malam. Namun luka yang ditorehkannya terasa begitu dalam.

Aku tahu, Damar tidak mencintaiku, seperti aku yang sangat mencintainya.

Tapi mengapa Damar harus pergi?

Mengapa ia harus pergi disaat aku sangat ingin bertemu dengannya?

Oh, Damar!

Meski hanya satu malam bersamamu, namun seluruh jiwaku telah mampu engkau renggut.

Tapi aku tidak mungkin menyalahkan Damar.

Jika pun harus ada yang dipersalahkan, mungkin hatiku yang terlalu cepat jatuh cinta.

Kini hatiku kembali terasa hambar dan datar. Tiada siapa-siapa yang menghuninya.

Dalam kehampaan jiwaku itu, aku akhirnya memenuhi permintaan keluargaku.

Yah, aku akhirnya menerima perjodohanku dengan seorang gadis pilihan keluargaku.

Aku memang harus menikah. Aku memang harus menjalankan kodratku sebagai seorang laki-laki.

Tak peduli aku menginginkannya atau tidak.

Tak peduli aku menyukainya atau tidak.

Namun yang pasti, semua cerita yang terjadi di sepanjang perjalanan hidupku. Akan menjadi butiran-butiran kenangan, yang akan selalu kusimpan rapi di dasar hatiku.

Semua kisah itu akan menjadi rahasia dalam perjalanan hidupku.

******

Part 5

(Sebuah cinta dari masa lalu...)

Setelah menikah dan akhirnya memiliki keturunan. Ku pikir petualanganku di dunia gay telah berakhir.

Namun ternyata, sepenggal cerita di masa lalu, yang telah aku kubur dalam-dalam, tiba-tiba mencuat kembali ke permukaan.

Masa lalu itu kembali menjelma.

Ya, setelah bertahun-tahun berpisah dan tidak pernah bertemu lagi dengan Am.

Kini tiba-tiba ia muncul.

"bertahun-tahun aku coba mencari tahu keberadaan bang Abe.." ucap Am, saat ia akhirnya aku persilahkan masuk ke dalam rumah kami.

Am tiba-tiba muncul di ambang pintu rumahku sore itu, saat aku baru saja selesai mandi sepulang kerja.

Iya, Am. Masih ingatkan?

Cowok yang memiliki senyum paling manis, yang merupakan mandor-ku, ketika aku bekerja di pabrik dulu.

Am sudah menikah waktu itu, meski belum mempunyai anak.

Aku sempat menolongnya saat sebuah kecelakaan menimpanya. Aku bahkan sempat menyumbangkan darahku padanya waktu itu.

Aku jatuh cinta padanya. Walau akhirnya kami bisa menjadi begitu dekat, dan menjalin persahabatan. Tapi pada akhirnya, aku memutuskan untuk pergi dari kehidupan Am secara diam-diam.

Aku tak sanggup menahan perasaanku padanya waktu itu. Jika aku terus bersamanya, aku takut, aku tidak kuat lagi memendam rasa cintaku padanya.

Karena itu, aku memutuskan untuk pergi, tanpa mengucapkan sepatah kata pun pada Am.

Dan setelah sekian tahun berlalu, bahkan aku sudah hampir melupakannya, tiba-tiba ia muncul.

"aku takut terjadi apa-apa sama bang Abe waktu itu, karena bang Abe pergi tanpa ada penjelasan sama sekali.." Am melanjutkan kalimatnya.

Kami duduk di kursi ruang tamu rumahku. Aku sudah meminta istriku untuk menyediakan minuman dan beberapa makanan ringan untuk kami.

"maaf, Am.." aku berucap juga akhirnya.

"aku... aku ... waktu itu, perginya juga dadakan, jadi aku gak sempat pamit sama kamu.." lanjutku terbata, karena harus sedikit berbohong.

"tapi setidaknya abang kan bisa nelpon aku." balas Am cepat.

"ini malah nomor abang gak aktif lagi. Aku kan khawatir, bang. Takutnya terjadi apa-apa.." lanjutnya lagi.

Aku terdiam sesaat. Aku mengerti kekhawatiran Am padaku waktu itu. Biar bagaimana pun, kami memang sudah sangat dekat. Jadi rasanya wajar, kalau Am mengkhawatirkanku.

Tapi waktu itu, aku hanya pergi. Itu satu-satunya cara, agar aku bisa menghapus semua rasa cintaku pada Am. Karena aku sadar cintaku pada Am tidak akan pernah berbalas.

"jadi gimana kamu bisa sampai sini?" tanyaku akhirnya, setelah untuk beberapa saat kami saling terdiam.

Setelah berpisah sekian tahun, ternyata mampu membuat keakraban kami selama ini, jadi ikut memudar.

Sudah sangat banyak peristiwa yang terjadi, selepas aku pergi dari Am.

Bahkan aku tidak ingat lagi, sudah berapa lama sebenarnya kami tak bertemu.

Mengingat jarak tempat tinggal Am dengan kampungku sangatlah jauh, aku yakin Am kesini pasti penuh perjuangan.

Meski ia kesini naik mobilnya, tapi ia menyetir sendirian.

Aku benar-benar tidak menyangka Am akan mencariku sampai kesini.

"beberapa tahun lalu, aku juga sampai kesini, bang." ucap Am, seperti mengabaikan pertanyaanku barusan.

"tapi kata orang-orang abang belum kembali kesini. Justru itu membuatku semakin merasa khawatir."

"Tapi aku yakin, abang pasti baik-baik saja, karena menurut cerita teman yang satu tempat kost dengan bang Abe waktu itu, ia melihat abang pergi dengan membawa koper, yang artinya abang memang sengaja pergi dari kota."

"Hanya saja aku tidak pernah tahu, kemana abang pergi selama ini."

"aku terus berusaha mencari tahu, kemana sebenarnya abang pergi, dan kenapa abang harus pergi?" Am terus melanjutkan penjelasannya.

Aku menatap Am berkali-kali. Perlahan rasa bersalah mulai menghantuiku.

Aku tak menyangka, Am akan sebegitu pedulinya padaku.

"sampai akhirnya aku mendapat kabar kalau abang sudah kembali ke kampung. Aku tahu, abang sudah di kampung lebih dari setahun. Dan sebenarnya sudah sejak lama aku ingin kesini."

"namun karena kesibukan kerja, aku hampir tidak punya waktu untuk datang kesini, karena kan jauh bang. Tapi setidaknya aku sudah tahu, kalau abang baik-baik saja," Am menghentikan kalimatnya, sambil menarik napas ringan.

"dan sekarang lah aku punya kesempatan untuk datang kesini.." lanjut Am lagi.

Aku kembali terdiam.

Entah penjelasan Am tersebut bisa aku mengerti atau tidak, aku mencoba mengangguk. Berpura-pura memahaminya.

"apa yang membuat kamu merasa, kalau aku bisa saja tidak baik-baik saja?" tanyaku tiba-tiba. Entah dari mana dorongan pertanyaan itu muncul.

"karena aku tahu siapa abang. Aku tahu, bagaimana perasaan abang padaku.." jawab Am lugas.

"maksud kamu?' tanyaku benar-benar penasaran.

"kita tidak bisa ngomong soal itu disini, bang.." balas Am, "bagaimana kalau abang ikut saya ke kota?" lanjutnya menawarkan.

"sekarang?' tanyaku, dengan sedikit mengerutkan dahi.

"iya.." jawab Am tegas.

"tapi aku besok kerja, Am.." timpalku kemudian.

"aku kenal dengan atasan tempat abang kerja, ia temanku. Aku bisa minta ia memberi izin untuk abang selama beberapa hari. Abang tenang aja.." balas Am, penuh percaya diri.

*******

Setelah berpamitan dengan istri dan anakku, aku akhirnya pergi bersama Am ke kota.

Aku tidak tahu, apa maksud Am membawaku ke kota bersamanya.

Namun karena penasaran, aku pun ikut bersamanya.

Sepanjang perjalanan, Am bercerita banyak padaku. Ia bercerita kejadian-kejadian yang ia alami, semenjak aku pergi dari kehidupannya.

"karena tak kunjung punya keturunan, aku akhirnya bercerai dengan istriku, sekitar tiga tahun yang lalu.." cerita Am padaku.

"sekarang aku hidup sendirian. Pernah terpikir untuk menikah lagi, tapi aku takut. Aku takut, justru sebenarnya aku ini mandul.." lanjut Am sangat terbuka.

Sepanjanga perjalanan itu, aku lebih banyak diam. Aku lebih fokus mendengarkan cerita Am perihal kepedihan hidupnya.

Meski secara ekonomi, kehidupan Am sudah sangat mapan. Namun sebenarnya ia tidak bahagia.

Perjalanan yang kami tempuh hampir enam itu, akhirnya sampai ke tujuan.

Pikiranku kembali memutar memori kenangan ku di kota tersebut. Hampir dua tahun aku tinggal di kota itu, banyak hal telah terjadi, terutama kenanganku dengan Am.

Meski hubungan kami hanya sebatas persahabatan, tapi aku merasa sangat bahagia waktu itu.

Menjadi dekat dan akrab dengan Am, adalah sebuah anugerah bagiku. Meski akhirnya aku lebih memilih untuk pergi dari semua keindahan itu.

Kini Am kembali. Ia dengan susah payah berusaha untuk bisa bertemu lagi denganku.

Aku tahu, Am masih merasa berhutang budi padaku. Mungkin karena itu juga, ia sangat ingin bertemu denganku kembali.

Am mengajakku masuk ke rumahnya yang besar dan mewah. Setelah bertahun-tahun ternyata tidak banyak perubahan di rumah itu, meski sekarang tidak ada lagi sentuhan wanita disana.

Am punya dua orang pembantu di rumah itu, sepasang suami istri, yang Am tugaskan juga sebagai penjaga rumahnya, saat Am tidak sedang di rumah.

Kedua orang itu, sudah seperti keluarga bagi Am. Mereka memang sudah bertahuh-tahun bekerja disana.

"mama papa udah meninggal beberapa tahun lalu, bang.." ucap Am, ketika ia akhirnya mengajakku masuk ke kamarnya.

Sebenarnya aku merasa canggung berada di dalam kamar itu. Namun karena Am yang terlihat santai dan begitu akrab, aku mencoba bersikap biasa saja.

Sejujurnya, aku merasa bahagia bisa bertemu Am kembali setelah sekian tahun aku tak lagi melihat senyum manis itu.

Getar-getar indah itu masih aku rasakan, saat melihat Am tersenyum.

Sejak menikah dan memiliki anak, aku sudah jarang bahkan hampir tak pernah lagi memikirkan seorang cowok. Meski aku juga sebenarnya belum benar-benar jatuh cinta pada istriku.

Tapi aku selalu mencoba menjadi suami dan ayah yang baik. Kehidupan rumah tanggaku juga sebenarnya baik-baik saja.

Istriku mampu membuatku terasa menjadi seorang laki-laki seutuhnya. Aku juga sudah bertekad, untuk melupakan semua tentang masa laluku. Aku berusaha menjalani kehidupanku, sebagai mana layaknya seorang laki-laki.

Namun kehadiran Am kembali, mampu membuatku mengais-ngais sebagian dari kisah masa laluku.

Aku berusaha sekuat mungkin untuk menepis semua pesona Am. Aku tak ingin terlena oleh sisa-sisa perasaanku pada Am. Aku harus bisa menganggap Am hanyalah seorang sahabat dari masa laluku.

Malam itu, setelah mandi dan makan malam, Am kembali mengajakku mengobrol di kamarnya.

"bang Abe tidur disini aja, ya.." ucap Am menawarkan.

Aku pun menyetujuinya.

"sebenarnya aku masih penasaran, dengan ucapan kamu ketika di rumahku kemarin, Am..." aku berucap, ketika kami sudah sama-sama berbaring diatas ranjang mewah milik Am.

"ucapan yang mana?" tanya Am, entah ia berpura-pura tidak ingat atau karena ia memang tidak ingin membahas hal tersebut.

"kamu bilang kalau kamu tahu tentang perasaanku padamu..." ucapku mencoba mengingatkan Am.

Am memutar kepalanya untuk menatapku. Kulihat ia tersenyum.

"apa yang bang Abe lakukan padaku di masa lalu, sudah cukup membuktikan, bang. Kalau bang Abe sebenarnya mencintaiku, kan?" ucap Am kemudian.

Aku terkesiap. Aku benar-benar tidak menyangka Am akan berucap demikian.

Entah bagaimana caranya, Am bisa menyimpulkan seperti itu.

Am tidak salah, ia benar tentang hal itu. Karena aku memang jatuh cinta pada Am, waktu itu.

"kenapa kamu bisa menyimpulkan seperti itu?" tanyaku akhirnya setelah untuk sesaat aku hanya terdiam.

"kita tidak saling kenal waktu itu, bang. Dan abang rela melakukan apa saja, untuk bisa menyelamatkan nyawaku. Hanya kekuatan cinta yang bisa melakukan hal itu, bang."

"dan aku juga tidak terlalu bodoh, untuk percaya, jika waktu itu abang bilang, itu semua hanyalah sebuah bentuk kemanusiaan."

"gak ada orang yang bisa melakukan itu, bang. Kecuali untuk orang yang ia cintai.." Am melontarkan kalimatnya dengan lancar, yang membuatku kembali terdiam.

"aku sudah tahu abang mencintaiku, karena itu aku berusaha menjadi sahabat yang baik buat bang Abe." Am melanjutkan.

"sebenarnya aku juga tertarik pada bang Abe waktu itu. Tapi karena status-ku yang sudah menikah, membuatku untuk memilih tetap memendam perasaanku.."

"aku ingin kita tetap dekat, bang. Sampai aku punya keberanian untuk jujur pada bang Abe. Namun tiba-tiba bang Abe menghilang." Am kembali melanjutkan kalimatnya.

Kali ini, Am memiringkan tubuhnya sambil terus menatapku.

"terus terang aku kecewa, karena harus kehilangan bang Abe waktu itu. Aku jadi sering murung dan marah-marah gak jelas." Am berucap lagi.

"dan karena perubahan itu juga akhirnya, istriku memilih untuk pergi." lanjut Am.

"aku terpuruk cukup lama. Aku merasa hidupku sia-sia, karena orang yang aku cintai telah pergi meninggalkanku tanpa penjelasan."

"sampai akhirnya kematian mama dan papa menyadarkanku, bahwa hidupku masih harus tetap berlanjut. Aku mulai menata hatiku kembali. Mencoba memulai hidupku yang baru."

"tapi bayangan bang Abe selalu menghantuiku setiap saat, yang membuatku terus berusaha untuk mencari tahu keberadaan bang Abe. "

"saat aku tahu, kalau bang Abe sudah kembali ke kampung, aku merasa senang mendengar kabar itu. Tapi kemudian aku mendapat kabar, kalau bang Abe akan menikah, yang membuatku kembali patah."

"aku yang semula berniat untuk menemui bang Abe, kembali mengurungkan niatku, karena aku pasti tidak sanggup melihat bang Abe menikah."

Am menarik napas cukup dalam.

"aku sudah mencoba untuk melupakan bang Abe, tapi hatiku justru semakin sakit karenanya." Am masih terus melanjutkan kalimatnya.

Aku berkali-kali menatap wajah Am. Aku mencoba untuk tidak percaya, tapi Am terlihat jujur.

"sampai akhirnya aku nekat, bang. Untuk menemui abang dan mengajak abang kesini.." kali ini Am mengakhiri kalimatnya dengan sebuah hembusan napas berat.

Aku duduk tiba-tiba.

Entah apa yang aku rasakan saat itu. Pikirianku tiba-tiba kacau tak menentu.

Bukan ini yang aku harapkan.

Aku memang pernah jatuh cinta pada Am. Tapi itu dulu, jauh sebelum aku bertemu Zai dan Damar. Jauh sebelum aku memutuskan untuk menikah dengan istriku saat ini.

Kalau sekarang Am mengakui semua itu, rasanya sudah sangat terlambat.

Aku tak bisa lagi sekarang.

Aku seorang suami dan juga seorang ayah. Aku tak mungkin meninggalkan keluargaku.

"jadi sekarang kamu mau nya gimana?" tanyaku kemudian.

"aku yakin bang Abe masih mencintaiku. Cinta bang Abe terlalu tulus. Apa yang telah bang Abe perbuat padaku di masa lalu, sudah membuktikan semua itu. Tidak ada cinta setulus itu, bang."

"orang yang rela mengorbankan apa saja untuk orang yang ia cintai, adalah cinta yang sangat pantas untuk diperjuangkan, bang." Am menjawab dengan penuh perasaan.

Mungkin Am benar. Aku terlalu mencintainya.

Tapi semua itu bagiku telah berlalu. Rasa itu tak lagi seindah dulu. Sudah banyak yang mengisi hatiku setelah Am.

"kenapa baru sekarang, Am?" tanyaku pelan.

"karena bang Abe pergi terlalu cepat, bang. Dan aku tak bisa mencegahnya." balas Am.

"kini semua terserah abang. Aku tahu, ini berat bagi bang Abe, karena abang sudah berkeluarga. Tapi aku tidak akan menuntut apapun dari abang. Aku hanya ingin bang Abe tahu, tentang perasaanku selama ini."

"aku hanya ingin abang tahu, kalau bukan hanya abang yang memendam rasa, tapi aku juga.." lanjut Am lagi.

Aku menarik napas panjang dan kemudian menghempaskannya perlahan.

Bingung. Itu yang aku rasakan saat itu.

Haruskah aku menjalin hubungan dengan Am?

Yang artinya, aku akan kembali terjerumus dalam dunia gay, yang telah berusaha aku hindari.

Atau ku bunuh saja rasa ini, dan biarkan semuanya tidak pernah sampai.

Yang berarti aku akan kehilangan kesempatan untuk memiliki pria yang pernah sangat aku cintai.

Aku masih mengagumi sosok Am. Aku masih menginginkannya.

Jika di masa lalu, aku tak sempat memilikinya sebagai kekasih. Namun sekarang aku punya kesempatan untuk itu.

Aku punya kesempatan untuk memiliki pria yang mempunyai senyum yang sangat manis itu.

Am perlahan mendekatiku.

"aku sangat merindukan bang Abe.." bisiknya pelan.

Tangannya merangkul tubuhku. Dan aku hanya pasrah.

Berada dalam dekapan hangat seorang Am, sungguh membuatku terlena.

Rasanya begitu indah. Sangat indah.

Aku bahkan hampir meneteskan air mata, menikmati keindahan itu.

Rasanya sungguh bahagia, bisa mendekap orang yang kita cintai.

"aku sangat menyayangi bang Abe..." Am terus berbisik tanpa berniat melepaskan dekapannya.

"izinkan aku bersamamu, bang. Kan ku buktikan, bahwa aku pasti bisa membuat bang Abe bahagia." lanjut Am lagi.

"kamu tidak perlu membuktikan apa-apa, Am. Aku juga sangat menginginkanmu.." balasku ikut berbisik.

"tapi kamu sendiri tahu, sekarang aku sudah punya istri dan anak, Am. Apa kamu mau, menjalin hubungan dengan orang yang sudah menikah?" lanjutku kemudian.

"aku gak peduli status abang saat ini. Selama abang masih punya waktu untukku, aku akan menjalaninya, bang." balas Am lembut.

"jarak diantara kita terlalu jauh, Am. Pasti kita akan sangat jarang bertemu." aku berucap lagi, berusaha menyadarkan Am, akan keadaan kami saat ini.

"itu tidaklah akan menjadi masalah, bang. Kita bisa bertemu seminggu sekali. Aku akan datang ke tempat abang setiap libur kerja.." ucap Am mencoba meyakinkanku.

"entahlah Am, aku bingung. Aku takut kamu kecewa karena-ku." aku berucap lagi.

"kita jalani aja dulu, bang. Dan biarkan waktu yang akan menjawab semuanya.." Am berucap, sambil ia mulai melepaskan dekapannya perlahan.

Am memegang dagu seketika. Tubuhku tiba-tiba bergetar.

Sudah sangat lama, aku tidak disentuh oleh seorang laki-laki.

Tapi Am seperti tak mempedulikan reaksi-ku. Ia terus saja mendekatkan wajahnya.

Malam itu, untuk pertama kalinya, setelah aku menikah, aku kembali merasakan kehangatan dari seorang laki-laki.

Am, yang dulunya hanya ada dalam khayalanku, kini menjelma menjadi sebuah kenyataan.

Aku terlarut dalam kenanagan perasaanku pada Am.

Aku terbuai dalam kerinduan Am yang memuncak.

Perlahan, kami pun akhirnya memulai sebuah pendakian.

Aku tidak tahu, entah bagian mana yang paling indah yang aku rasakan malam itu.

Entah karena aku akhirnya tahu, kalau selama ini, Am juga mencintaiku.

Atau entah karena aku akhirnya bisa merasakan kehangatan tubuh kekar Am.

Aku mencoba menikmati pria dari masa laluku itu. Memanjakannya dengan penuh perasaan.

Raga kami menyatu dalam lautan penuh keindahan.

Malam itu benar-benar luar biasa bagiku.

Kami seakan enggan untuk saling mengakhiri.

Tapi sejauh apa pun sebuah pelayaran, pada akhirnya harus tetap berlabuh.

Kami berlabuh di tepian dermaga dengan sebuah rasa yang tak terkira.

Malam itu, kami pun tertidur dengan pulas.

*****

Sejak malam itu, aku dan Am pun sepakat untuk menjalin sebuah hubungan asmara.

Jarak tidak menjadi penghalang diantara kami. Am selalu punya kesempatan untuk mendatangiku.

Aku bahagia dengan semua itu.

Meski dalam keseharianku, aku harus tetap memerankan peranku sebagai seorang suami dan juga seorang ayah.

Namun bersama Am, aku bak musafir cinta yang haus sentuhan kasih sayang.

Bersama Am akhirnya menyadarkanku, bahwa setiap pengorbanan pada akhirnya akan membuahkan sebuah hasil.

Bahwa sejauh apapun kamu berlari, pada akhirnya cinta itu akan menemukanmu.

Aku yang sudah tidak punya harapan apa-apa lagi terhadap Am, kini akhirnya bisa merasakan kebahagiaan yang utuh.

Kisahku bersama Am, akan terus terjalin. Karena aku sudah lelah berpetualang.

Am adalah pelabuhan terakhirku.

***

Cinta sang psikopat ...

Aku seorang suami, dan juga seorang ayah.

Aku menikah 13 tahun yang lalu, saat aku masih berusia 25 tahun.

Aku bekerja di sebuah perusahaan perangkat lunak yang cukup terkenal, sudah hampir 14 tahun.

Istriku sendiri seorang wanita biasa, ia hanya seorang ibu rumah tangga.

Anakku satu-satunya, namanya Adam, sekarang sudah berusia 12 tahun, dan baru saja masuk SMP.

Secara ekonomi kehidupan rumah tanggaku baik-baik saja. Hubunganku dengan istriku, Hanna, juga tidak pernah ada masalah yang berarti.

Secara keseluruhan, kehidupan rumah tangga kami, boleh dibilang cukup bahagia.

Kumpulan cerpan sang penuai mimpi

 

Sampai akhirnya, aku  mengetahui, kalau istriku ternyata diam-diam menjalin hubungan gelap dengan mantan kekasihnya, yang juga sudah menikah.

Hal itu aku ketahui, sejak istriku mulai sering keluar rumah, tanpa alasan yang jelas. Aku mulai mencurigainya, sampai akhirnya aku benar-benar memergoki mereka berdua.

Aku tidak ingin ada keributan, untuk itu, aku menceraikan istriku secara baik-baik.

Anakku, memilih untuk ikut tetap tinggal bersamaku, di rumah kami. Sementara istriku, dengan terpaksa pindah ke rumah orangtuanya.

Aku tidak tahu pasti, seperti apa hubungan istriku dan selingkuhannya selanjutnya, karena aku memang sudah tidak peduli lagi.

Hari-hari selanjutnya, tentu saja, semuanya berbeda. Terus terang aku merasa kehilangan, sosok seorang istri dan juga seorang ibu di rumah kami.

Tapi aku berusaha menjalani itu semua, setidaknya demi anakku.

Hari-hari berlalu, tanpa bisa dicegah atau pun dipacu.

Sampai suatu saat, aku bertemu dan berkenalan, dengan seorang pemuda tetangga baruku.

"aku Sandi, bang. Aku tinggal di sebelah rumah, bersama paman Yanto..." begitu jelas pemuda tersebut, ketika suatu sore kami tak sengaja bertemu di warung dekat rumah kami.

Yang aku tahu, pak Yanto, paman yang dimaksud Sandi barusan, adalah seorang duda tua, yang ditinggal mati oleh istrinya, beberapa tahun lalu.

Pak Yanto memang tinggal sendirian di rumah itu, karena anak-anaknya sudah berkeluarga semua.

"bukan paman kandung sih, bang. Cuma kami memang punya hubungan keluarga. Dan kebetulan tahun ini, aku baru mulai kuliah di kota ini. Jadi, paman Yanto meminta aku untuk tinggal bersamanya.." Sandi terus menjelaskan, sambil kami berjalan pulang.

Secara fisik, Sandi memiliki tubuh yang jangkung dan terlihat kekar. Aku hampir tak percaya, kalau ia baru berusia 19 tahun.

"kelihatan tua ya, bang.." ucap Sandi, suatu sore, saat aku mempertanyakan hal tersebut.

"gak, kok. Hanya saja, kamu kelihatan lebih dewasa.." balasku kemudian.

Sandi tersenyum. Beberapa hari belakangan ini, Sandi memang jadi rajin datang ke rumahku, setidaknya kami duduk di teras rumahku.

Sandi juga sudah kelihatan dekat dengan anakku, Adam.

Sandi terlihat pintar dan berwawasan luas, untuk itu aku memintanya memberi les tambahan untuk Adam.

"wah... aku ... takutnya gak bisa nih, bang.." ucap Sandi, mencoba menolak tawaranku.

"kamu pasti bisa kok, San. Nanti aku akan beri kamu upah." aku berujar dengan nada penuh harap.

Jadilah Sandi sejak saat itu, mengajar les tambahan untuk Adam. Hampir setiap malam, Sandi datang ke rumah, untuk melaksanakan tugas barunya tersebut.

Suatu saat, pak Yanto, paman Sandi tersebut, ikut bersama salah seorang anaknya, ke kota lain. Hingga Sandi harus tinggal sendirian di rumah tersebut.

"berapa lama, pak Yanto akan pergi?" tanyaku, saat Sandi datang lagi ke rumah.

"satu atau dua minggu, bang. Gak pasti juga, karena ia harus menunggu anaknya lahiran.." jawab Sandi santai.

"jadi besok, Adam ke tempat ibunya?" tanya Sandi melanjutkan.

"iya. Kasihan ibunya, sudah beberapa bulan tidak bertemu Adam.." balasku ringan.

"mumpung sekolahnya libur beberapa hari.." lanjutku lagi.

Malam itu, aku sendirian di rumah. Aku mencoba tidur lebih awal dari biasanya.

Saat tiba-tiba ponselku berdering.

"Sandi? Ada apa?" tanyaku di telpon.

"maaf bang, ganggu malam-malam. Ini kebetulan komputer saya mati gak jelas nih, bang. Kira-kira bang Ronal, bisa gak memperbaikinya?" jawab Sandi di seberang.

"matinya kenapa?" tanyaku lagi.

"gak tahu nih, bang. Tiba-tiba mati aja.." jelas Sandi.

"oke, abang ke situ ya..." ucapku akhirnya.

Beberapa menit kemudian, aku pun sampai ke rumah Sandi. Karena memang jarak rumah kami hanya beberapa langkah.

Aku mencoba memperbaiki komputer tersebut. Sementara itu, Sandi menghidangkan beberapa makanan ringan dan juga minuman dingin.

Saat komputer itu, akhirnya bisa aku perbaiki. Kami pun mengobrol di ruang tamu rumah Sandi.

"jadi bang Ronal, sudah berapa lama pisah dari istrinya?" tanya Sandi, di sela-sela obrolan kami.

"ya... sudah hampir enam bulanan..." jawabku terdengar lemah. Tiba-tiba aku teringat anakku, yang sedang bersama istriku.

"bang Ronal gak kesepian?" tanya Sandi selanjutnya.

"kesepian pasti lah, kan aku juga laki-laki normal, pasti butuh hal-hal tersebut. Apa lagi aku sudah terbiasa tidur di dampingi seorang istri.." jawabku terbuka.

Kulihat Sandi tersenyum, ia menatapku lama. Kemudian tiba-tiba ia berpindah duduk di sampingku.

Aku membiarkannya, meski Sandi duduk hampir berdempetan denganku.

Sandi saat itu, hanya memakai baju singlet berwarna hitam, yang membuat tubuh kekarnya semakin terlihat jelas. Ia juga hanya memakai celana pendek kaos.

Entah mengapa, aku tiba-tiba merasa gugup, saat Sandi berada di sampingku.

Sandi sepertinya mampu menguasai keadaan, ia mulai berbicara tentang sesuatu yang lebih sensitif dan mengarah pada konteks dewasa.

Aku mengikuti obrolannya. Dan tanpa sadar, aku mulai membayangkan hal-hal yang diucapkan Sandi, dengan bahasanya yang vulgar.

Aku yang memang sudah sangat lama merasa kesepian, tiba-tiba merasa bergairah.

Sandi begitu pandai membuatku terlena dengan cerita-ceritanya.

Ia seperti sudah sangat berpengalaman dalam melakukan hal tersebut.

Tapi kemudian, karena merasa mulai tidak nyaman, aku memutuskan untuk pamit pulang.

"kenapa buru-buru, bang?" tanya Sandi.

"udah larut, San.." jawabku, sambil mulai berdiri.

"tidur sini aja ya, bang.." ucap Sandi meminta.

Aku menatap Sandi sekilas. Ada perasaan tak karuan menghantuiku tiba-tiba, melihat perlakuan Sandi padaku malam itu.

"kamu gay?" tanyaku akhirnya, sekedar meyakinkan diriku sendiri.

Sandi tersenyum kembali.

"iya, bang. Dan sepertinya, aku suka sama bang Ronal..." balas Sandi jujur.

Aku terkesiap. Meski aku sudah bisa menduga hal tersebut, namun tetap saja, aku merasa kaget mendengar pengakuan jujur Sandi barusan.

Sandi kemudian ikut berdiri dihadapanku. Kami berdiri sangat berdekatan.

Sandi mencoba mendekatkan wajahnya. Aku mendorong tubuh Sandi, kemudian dengan terburu berjalan menuju pintu keluar rumah tersebut.

Sesampai di rumah, napasku terasa sesak. Selain karena kelelahan, juga karena ada sesuatu yang aku tahan.

Jujur, kesepianku selama ini memang sering membuatku gelisah. Hasratku yang tidak tersalurkan, membuatku sering berpikir aneh-aneh.

Dan saat bersama Sandi tadi, entah mengapa, aku merasa tubuhku bergetar.

Perlahan, bayangan tubuh kekar Sandi, merasuki pikiranku.

Aku menepisnya segera, tapi bayangan itu justru semakin jelas terlihat. Sepertinya Sandi mampu menghipnotisku dengan pesonanya.

Akhirnya aku pun tertidur, dengan perasaanku yang masih campur aduk.

*****

"aku minta maaf, bang. Soal kejadian semalam.." suara Sandi lemah, saat ia akhirnya datang ke rumah pagi itu.

"gak ada yang perlu di maafkan, San. Karena memang tidak terjadi apa-apa..." balasku datar.

"tapi aku sudah membuat bang Ronal merasa ketakutan.." ucap Sandi lagi.

Aku terdiam. Aku bukannya takut, hanya saja rasanya aku belum siap masuk ke dunia seperti itu saat ini. Ada begitu banyak hal yang harus aku pertimbangkan, terutama anakku.

Sebagai laki-laki yang kesepian, aku memang butuh belaian. Tapi selama ini, hanya Sandi yang mau mendekatiku.

Dan kehadiran Sandi, mampu memberi warna tersendiri dalam hidupku.

Perlahan hatiku pun mulai terbuka, setidaknya aku mencoba sesuatu yang baru, sesuatu yang belum pernah aku lakukan sebelumnya.

Malam berikutnya, aku pun mencoba mendatangi Sandi.

"aku mau mencobanya." ucapku pelan, yang membuat Sandi tersenyum senang.

Sandi mulai melakukan aksinya. Aku merasa geli awalnya, tapi Sandi memang sudah berpengalaman dalam hal tersebut.

Dia mampu membuaiku dengan geloranya yang membara. Segala hasratku yang terpendam selama ini, terasa menemukan tempat untuk disalurkan.

Hatiku yang mulai membeku, kini perlahan mulai mencair kembali.

Kubiarkan semua itu terjadi. Berawal dari rasa penasaranku.

Aku bak seorang pendekar, yang menunggangi kuda menuju medan perang.

Aku ingin memenangi pertarungan itu. Ternyata dibalik penampilan Sandi yang terkesan atletis, tersimpan sisi kelembutannya, yang membuatku terlena.

Ada sensasi berbeda yang aku rasakan. Sesuatu yang tidak bisa aku lukiskan dengan kata-kata. Rasanya terlalu indah. Aku terbuai dalam lautan penuh ketenangan.

Di sisi lain, kulihat Sandi tersenyum penuh kemenangan.

Hingga akhirnya, aku benar-benar merasa lega. Sangat lega. Aku seperti menemukan setetes air dalam kegersangan hatiku.

Dan aku terhempas. Tubuhku terasa lemas, setelah menyelesaikan pertarungan tersebut. Aku pun tertidur pulas, dengan perasaan penuh kelegaan.

*****

Aku terbangun di pagi itu,, dengan sebuah perasaan bersalah.

Aku buru-buru memakai pakaianku kembali, dan berniat untuk segera pulang.

Saat tiba-tiba Sandi datang.

"bang Ronal mau kemana?" tanya Sandi ringan.

"aku mau pulang, San. Maaf soal semalam ya. Seharusnya hal itu tidak terjadi.." ucapku, sambil menatap Sandi sendu.

"abang gak perlu minta maaf. Aku sangat menikmatinya, bang. Itu sesuatu yang luar biasa. Itu adalah cinta, bang..." Sandi berujar, sambil ia mulai melangkah mendekat.

Aku mundur beberapa langkah.

"tidak, San. Itu bukan cinta. Itu adalah sebuah kesalahan. Seharusnya aku lebih bisa menahan diri. Aku lebih dewasa disini, dan seharusnya aku tidak melakukannya padamu..." ucapanku mulai terbata.

"itu cinta, bang. Aku melihatnya di mata abang.." balas Sandi, ia menghentikan langkahnya, melihat aku yang melangkah mundur.

"tidak, San. Itu kesalahan. Dan itu tidak boleh terjadi lagi.." aku berucap lagi.

"jadi maksud bang Ronal, yang terjadi tadi malam adalah sebuah kesalahan? Bang Ronal tidak mencintaiku?" suara Sandi tiba-tiba meninggi.

"aku tidak mungkin mencintai kamu, San. Aku laki-laki beristri dan juga seorang ayah.." balasku sedikit tajam.

"istri yang berselingkuh?" Sandi membalas lebih tajam.

"kurasa itu bukan urusan kamu. Dan aku ingin, kita melupakan kejadian semalam.." aku berucap, sambil mulai melangkah menuju pintu untuk segera keluar dari kamar itu.

Sandi coba menahanku, namun aku dengan sedikit kasar menepis tangannya.

"aku sangat mencintai kamu, bang Ronal..." Sandi berucap dengan nada lirih, "dan aku tidak akan pernah melepaskan bang Ronal!" Sandi melanjutkan dengan sedikit berteriak, karena saat itu aku sudah berada di luar.

******

Aku menghempaskan tubuhku ke ranjang. Kejadian malam tadi bersama Sandi, kembali melintas di pikiranku. Aku tak menyangka, kalau aku akan bisa melakukan hal tersebut.

Bagaimana mungkin aku bisa menikmati hal tersebut? tanyaku membathin.

Tapi semua sudah terjadi. Aku hanya berharap, semoga saja Sandi tidak lagi berusaha menggodaku.

Siang itu, anakku kembali ke rumah, ia bersama Ibunya.

"apa kabar, mas?" tanya Hanna, berbasa-basi.

"baik.." jawabku sedikit cuek. Biar bagaimana pun, rasa sakit yang ditorehkan Hanna di hatiku, masih belum benar-benar kering.

Hanna mencoba tersenyum.

"aku kangen rumah ini.." ucap Hanna lagi, saat anakku sudah masuk ke dalam kamarnya.

Aku menoleh sesaat, menatap Hanna yang hanya berdiri di ruang tamu tersebut. Hanna memang perempuan yang cantik dan lembut, dan karena itu aku jatuh cinta padanya dulu.

Kalau boleh jujur, sampai saat ini, aku masih mencintainya. Hanya saja perbuatannya padaku, benar-benar membuatku kecewa dan sakit.

"andai saja aku masih punya kesempatan untuk kembali lagi kesini?" Hanna berucap, seolah-olah ia sedang berbicara dengan dirinya sendiri.

Aku tahu, Hanna sudah menyesali perbuatannya. Ia sudah teramat sering meminta maaf padaku. Tapi tidak mudah bagiku, untuk memberinya kesempatan kedua. Aku takut.

Tak lama berselang, Hanna pun pamit. Aku melepas kepergiannya dengan perasaan yang tak karuan.

Aku melihat Sandi menatap kami di balik jendela rumahnya. Tatapannya tajam. Aku semakin merasa tak karuan.

Hari-hari selanjutnya, Hanna jadi semakin sering datang ke rumah. Terutama saat aku libur kerja. Ia sering membawakan makanan untuk aku dan Adam.

Aku berusaha sebiasa mungkin, menyambut kedatangan Hanna. Aku tidak melarangnya, untuk datang. Biar bagaimana pun, Adam adalah darah dagingnya. Dan sepertinya Adam sudah bisa  memaafkan ibunya.

Dan seiring berjalannya sang waktu jua, akhirnya menyadarkanku, kalau aku sebenarnya sangat membutuhkan kehadiran Hanna di rumah kami.

Tapi tak mudah bagiku, untuk melupakan apa yang telah dilakukan Hanna.

Sebenarnya aku dan Hanna bisa kembali kapan saja. Karena, secara hukum aku belum benar-benar menceraikan Hanna. Aku baru menjatuhkan satu talak padanya.

Tapi ...

"jadi sekarang, bang Ronal, sibuk sama istri bang Ronal yang tukang selingkuh itu?" suara Sandi mengagetkanku, ketika sore itu aku duduk di teras rumah.

Aku tidak menyadari kehadiran Sandi, karena untuk beberapa saat pikiranku melayang.

Aku menatap Sandi yang terus melangkah mendekat dan akhirnya duduk di sampingku.

"aku sekarang sudah tidak ada artinya bagi bang Ronal?!" Sandi berucap lagi, ia menatap lurus ke depan, tatapannya terlihat sendu.

Kadang aku merasa prihatin melihat Sandi. Ia mungkin memang sangat mencintaiku. Tapi aku tidak ingin terjebak dalam cinta sesama jenis.

Meski jujur, kadang ada rasa ingin mengulang kembali kejadian malam itu bersama Sandi.

"aku kan udah ngomong, San. Diantara kita tidak ada apa-apa. Kita harus bisa melupakan kejadian tersebut.." ucapku akhirnya.

"mudah bagi bang Ronal, berucap demikian. Tapi aku tidak semudah itu untuk bisa melupakan bang Ronal. Aku masih berharap, bang Ronal mau memberikanku kesempatan.." Sandi membalas ucapanku dengan nada terdengar sedikit lirih.

"kamu tahu itu salah, San. Dan kita tidak mungkin melanjutkan sesuatu yang sudah jelas salah dari awal." aku berusaha berucap selembut mungkin. Aku tidak ingin Sandi tersinggung.

Tiba-tiba Sandi berdiri, kemudian berucap.

"ini belum berakhir, bang. Aku akan tetap berjuang." suara itu terdengar tegas ditelingaku.

Setelah berucap demikian, Sandi pun melangkah pergi meninggalkanku, dengan perasaan yang masih penuh tanda tanya.

*****

Dua hari kemudian, aku menerima sebuah video di pesan whatsapp-ku. Itu dari Sandi.

Aku mencoba membuka video tersebut. Ternyata itu sebuah video rekaman kemesraanku bersama Sandi malam itu.

Aku terkaget melihatnya. Aku tak pernah menyangka, kalau Sandi akan merekam semua itu.

Selanjutnya, sebuah pesan baru muncul. Masih dari Sandi.

"aku akan sebarkan video ini, jika bang Ronal masih tidak mau memberiku kesempatan..."

Sekali lagi aku merasa kaget. Itu seperti Sandi yang aku kenal.

"kamu jangan macam-macam ya, San." aku membalas pesan itu.

"aku tidak akan macam-macam, bang. Kalau bang Ronal mau menuruti permintaanku." Sandi membalas.

"sekarang mau kamu apa?" balasku lagi.

"aku ingin kita mengulanginya lagi. Dan aku ingin kita menjalin hubungan yang lebih serius." balas Sandi.

Aku tak menanggapi lagi pesan itu. Aku mulai merasa semakin bingung.

Bagaimana jika Sandi memang benar-benar nekat menyebarkan video tersebut? tanya hatiku.

Apa yang harus aku lakukan sekarang?

*****

Sekarang yang harus aku pikirkan adalah, bagaimana caranya agar Sandi tidak menyebarkan video tersebut.

Atau setidaknya, aku harus bisa mengambil file video tersebut dari Sandi dan menghapusnya.

Tapi Sandi pasti sudah menyimpannya dengan baik.

Oh, mengapa Sandi justru jadi ancaman bagiku sekarang?

Aku tidak ingin hidupku hancur. Aku sudah mulai mencoba untuk memberi kesempatan kedua untuk Hanna. Aku ingin memulainya lagi.

Tapi sekarang itu jadi tidak mudah, karena Sandi.

Aku mencoba mendatangi rumah Sandi. Aku ingin membicarakannya dengan cara baik-baik bersama Sandi.

"pilihannya hanya dua, bang. Video itu menyebar atau bang Ronal turuti semua keinginanku." begitu ucap Sandi dengan sangat tegas, ketika aku coba memohon padanya.

Aku seolah tak mengenal Sandi lagi. Dia benar-benar tidak seperti Sandi yang ku kenal dari awal.

Atau sebenarnya, inilah watak Sandi yang sesungguhnya.

"oke. saya beri waktu bang Ronal untuk berpikir. Dua hari." Sandi melanjutkan.

"aku butuh sepuluh hari." tawarku.

"seminggu.." ucap Sandi singkat, namun sangat tegas.

Aku dengan sangat terpaksa menyetujuinya. Aku berharap, dalam waktu seminggu aku bisa menerobos masuk ke kamar Sandi diam-diam, dan menemukan file video tersebut.

Satu pertanyaan muncul dibenakku tiba-tiba.

Kemana pak Yanto? Bukankah waktu itu Sandi bilang, kalau pak Yanto hanya akan pergi paling lama dua minggu. Tapi ini sudah hampir dua bulan, pak Yanto belum juga kembali.

Aku ingin mempertanyakan hal tersebut. Namun aku mengurungkan niatku. Bisa saja pak Yanto memang sedang di rumah anaknya.

Lagi pula itu bukan fokusku saat ini. Aku hanya lebih fokus, pada video tersebut.

*****

Malam itu, diam-diam, aku mencoba memasuki rumah Sandi. Aku tahu, Sandi tidak sedang berada di rumah. Aku melihatnya tadi sore keluar, dan belum pulang sampai saat ini.

Aku melangkah pelan menuju arah dapur. Aku berharap, pintu dapur akan lebih dibuka.

Setelah dengan sedikit susah payah, akhirnya aku bisa menjebol pintu dapur tersebut.

Aku sedikit berlari, menuju kamar Sandi. Tepat seperti dugaanku, kamar itu memang terkunci.

Aku mencoba mendobraknya dengan hati-hati. Aku takut, para tetangga mendengarnya.

Setelah beberapa kali hantaman, pintu itu akhirnya terbuka.

Saat itulah, aku mendengar suara mobil parkir diluar rumah.

Aku buru-buru menghidupkan komputer, untuk mencari file video tersebut.

Namun, sebelum aku sempat menemukan video tersebut, sebuah langkah berat ku dengar dibelakangku.

Aku menoleh cepat, dan melihat sesosok pria berdiri sambil menatapku penuh tanya.

"mas Ronal? ngapain disini?" tanya laki-laki itu.

Aku gelagapan seketika. Tidak tahu harus menjelaskan apa pada laki-laki tersebut.

"aku... aku sedang mencari flashdisk-ku yang kemarin ketinggalan di kamar Sandi.." ucapku terbata, sambil mulai melangkah mendekati laki-laki tersebut.

"Sandi? Siapa Sandi?" tanya laki-laki itu lagi, keningnya berkerut.

"mas Akbar, tidak kenal Sandi?" aku balik bertanya, dengan kening yang ikut berkerut.

"aku kesini mau melihat keadaan ayahku. Sudah hampir dua bulan, ia tidak memberi kabar kepada kami. Ponselnya dan juga telepon rumah tidak bisa dihubungi." Laki-laki itu menjelaskan.

Aku tahu Akbar. Dia putra sulung dari pak Yanto, orang yang diakui oleh Sandi sebagai pamannya, dan tinggal di rumahnya.

Aku pernah beberapa kali bertemu Akbar, setiap kali ia kesini mengunjungi ayahnya.

"tapi Sandi bilang, kalau pak Yanto, bukannya ke rumah mas Akbar? Katanya istri mas Akbar melahirkan.." aku mencoba menjelaskan.

Begitu banyak pertanyaan yang muncul tiba-tiba dibenakku.

Siapa sebenarnya Sandi?

Apa yang telah ia lakukan?

Dan kemana Pak Yanto sebenarnya?

********

"pertama. Saya tidak tahu, siapa itu Sandi. Kedua ayah saya tidak pernah datang ke rumah kami, setidaknya dua bulan terakhir ini. Istri saya memang melahirkan sebulan yang lalu. Tapi saya tidak pernah meminta ayah saya untuk datang." Akbar memulai ceritanya, saat kami akhirnya duduk di ruang tamu.

"karena tidak bisa dihubungi, saya mulai khawatir dengan ayah. Saya juga sudah menghubungi adik-adik saya, tapi mereka sepertinya sama khawatirnya dengan saya." Akbar melanjutkan.

"karena khawatir, makanya saya kesini malam-malam. Kebetulan saya selalu menyimpan kunci rumah ayah. Jadi tadi saya langsung masuk, dan tiba-tiba saya melihat mas Ronal di dalam kamar.." ucap Akbar lagi, yang membuat saya kian bingung.

"jadi mas Akbar, benar-benar tidak tahu siapa Sandi? Dia bilang kalau pak Yanto adalah pamannya. Seharusnya mas Akbar pasti tahu.." ucapku kemudian, sekedar meyakinkan diriku sendiri, kalau Sandi sudah berbohong selama ini.

"tidak ada seorang pun dari keluarga kami yang bernama Sandi. Lagi pula ayah juga sudah tidak punya saudara di kampung." Akbar berucap dengan yakin.

Aku kemudian memperlihatkan poto Sandi yang ada di ponselku. Namun Akbar tetap yakin, kalau ia tidak mengenali orang tersebut.

Saat kami sedang ngobrol tersebut, tiba-tiba sebuah mobil parkir di depan rumah. Aku yakin itu Sandi. aku menoleh dari balik jendela.

Sandi keluar dari mobil, dan melihat ada mobil lain parkir di depan rumahnya, Sandi buru-buru masuk ke dalam rumah.

Sandi masuk, dan dengan sedikit kaget melihat kami berdua.

"siapa orang ini? Dan bagaimana kalian bisa masuk?" Sandi melontarkan pertanyaan, sambil ia menatapku. Seolah-olah pertanyaan itu adalah untukku.

"saya yang seharusnya bertanya, siapa kamu? Dan dimana ayahku?" Akbar balas bertanya, sambil bangkit dari duduknya, dan melangkah mendekati Sandi.

"oh, jadi anda putra dari pak Yanto yang malang itu.." diluar dugaan, Sandi justru terlihat tersenyum sinis.

"apa yang telah kamu lakukan pada ayahku?" Akbar terlihat panik, ia mencoba mencengkeram leher baju Sandi.

Saat itulah, tiba-tiba Sandi mengeluarkan sebuah pistol, dari punggungnya yang tertutup jaket tersebut.

Aku terkesiap, benar-benar tak menyangka kalau Sandi memiliki sebuah pistol.

Akbar mundur beberapa langkah melihat hal tersebut, mukanya tiba-tiba pucat.

Aku yakin, Akbar seperti itu, bukan saja karena merasa takut, tapi juga karena ia yakin, sesuatu yang buruk telah terjadi pada ayahnya. Seperti keyakinanku juga.

Melihat Sandi sekarang, aku yakin, Sandi telah berbuat sesuatu yang jahat terhadap pak Yanto.

Sandi tersenyum sinis lagi, sambil ia terus mengacungkan pistol ke arah kami.

"ayah busukmu itu, sudah ku kubur dibelakang sana." suara Sandi lantang.

Malam memang sudah mulai larut, mungkin para tetangga juga sudah mulai tertidur. Dan lagi pula, suara raungan mobil di jalan raya, cukup untuk membuat suara keributan kami tidak terdengar siapa-siapa.

"saya membunuhnya, karena ia mencoba membeberkan rahasia saya." Sandi melanjutkan, kali ini lebih sedikit pelan.

"rahasia apa?" tiba-tiba Akbar mengeluarkan suara.

"rahasia, kalau saya adalah seorang gay, dan juga seorang pembunuh. Saya sudah pernah membunuh sebelumnya, jadi membunuh ayah anda yang tua renta itu, adalah hal mudah. Dan malam ini adalah giliran anda..." diluar dugaan, Sandi menjawab.

Ia terus mengarahkan pistol tersebut kepada Akbar, yang terlihat bergidik, mendengat ucapan Sandi barusan.

Aku masih duduk terdiam. Tidak tahu harus berbuat apa saat itu. Melihat Sandi yang memegang senjata, dan mengetahui kalau ia seorang pembunuh, membuatku jadi semakin merasa takut.

"lalu sekarang apa yang kamu inginkan?" tanya Akbar dengan cukup berani.

"anda tidak sedang berada dalam kondisi tawar menawar. Pilihannya hanya satu. Anda mati!" setelah berucap demikina, Sandi pun menarik pelatuk pistol tersebut dengan telunjuknya yang sudah bersiap dari tadi.

Sebuah peluru melayang menuju Akbar.

Akbar terlihat kaget, namun ia tidak bisa berbuat apa-apa. Peluru tersebut, dengan cepat mengenai dada kirinya. Terlihat kalau Sandi memang sudah berpengalaman menggunakan pistol tersebut.

Akbar terjerembab ke lantai, darah mengalir deras dari dadanya.

Ia mengerang menahan sakit, dengan mata yang sedikit melotot.

Spontan aku bangkit dan berlari mendekati Akbar. Namun Akbar sudah sekarat. Peluru itu mungkin mengenai jantungnya.

Aku mencoba menahan aliran darah tersebut, tapi Akbar sudah tidak bernyawa lagi. Tubuhnya pun terkulai dalam pangkuanku.

Sandi masih mengacungkan pistolnya ke arah kami, tatapannya sinis.

Aku menoleh kearahnya. Tubuhku bergetar. Aku belum pernah barada dalam situasi seperti itu.

Sandi menyimpan pistolnya kembali, ia melangkah mendekatiku.

"sekarang bang Ronal bantu saya untuk menguburkan mayat ini.." ucap Sandi terdengar sangat santai.

"aku gak mau.." suaraku bergetar.

"sederhana saja, bang Ronal. Jika bang Ronal tidak mau menuruti perintah saya, pilihannya hanya dua. Pertama, saya bisa saja menyebarkan video kita, saat ini juga. Dan pilihan kedua, bang Ronal bisa saja menjadi sasaran peluru berikutnya.." Sandi berucap, sambil ia kembali memegang pistolnya.

Aku kembali bergetar. Tubuhku merinding. Rasa takut semakin menyelimutiku.

Dengan sangat terpaksa, aku pun memopong tubuh Akbar yang sudah tidak bernyawa tersebut.

Kami melangkah menuju pekarangan belakang rumah tersebut.

Rumah pak Yanto, memang memiliki pekarangan belakang yang cukup luas. Ia suka menanam beberapa tanaman bumbu dapur disana.

Sebuah gundukan tanah terlihat masih basah. Aku yakin itu kuburan pak Yanto. Aku kembali bergidik, menyadari hal tersebut.

Sandi menggali tanah disamping gundukan tersebut dengan sebuah sekop. Saat itulah aku seperti punya kesempatan untuk melarikan diri.

Namun kaki ku terasa kaku. Lututku terasa nyeri. Aku membayangkan, kalau aku lari saat itu, bisa saja Sandi menembakiku. Hingga akhirnya aku hanya berdiri terpaku, melihat Sandi mendorong mayat Akbar ke dalam lobang yang telah selesai ia gali. Kemudian menimbunnya dengan buru-buru.

*****

Malam itu, Sandi menahanku di dalam kamarnya. Beruntunglah anakku, Adam, sedang bersama Ibunya. Setidaknya ia tidak akan kehilanganku, saat terbangun di pagi harinya.

Sandi terlihat gelisah. Ia mondar mandir di dalam kamar tersebut, sambil tetap memegang pistolnya.

"kita harus segera pergi dari sini.." ucapnya tiba-tiba.

"kita harus pergi, sebelum pihak keluarga Akbar menyadari, kalau Akbar tidak pernah kembali.." lanjutnya lagi.

"Sandi. Aku mohon, kamu pergi saja dari sini, dan lepaskan aku." aku berucap penuh harap.

"aku janji, aku tidak akan menceritakan semua ini, pada siapa pun.." lanjutku lagi.

Sandi menatapku tajam.

"satu-satunya alasanku melakukan semua ini, adalah karena aku ingin memiliki bang Ronal. Jadi bagaimana mungkin aku akan melepaskan bang Ronal begitu saja.." ucap Sandi tajam.

Aku terdiam kembali. Aku mulai memikirkan bagaimana caranya, agar bisa melepaskan diri dari Sandi.

Tapi pikiranku terasa buntu. Akbar dibunuh di depanku, dan itu jelas menumbuhkan rasa takut tersendiri dalam diriku. Dan itu pertama kalinya aku melihat seseorang dibunuh di depan mataku.

Lagi pula, aku tidak mungkin melawan Sandi yang saat ini memegang kendali. Ia punya senjata, dan ia seorang pembunuh. Membayangkan itu semua aku semakin bergidik.

Tak pernah aku sangka, jika aku ternyata telah bercinta dengan seorang psikopat kejam. Padahal Sandi terlihat lembut, dan ia mempu membuatku terbuai.

Sandi tiba-tiba menarik tanganku. Ia mendorongku keluar kamar, sambil ia menodongkan pistol di pinggangku, di balik jaketnya. Sebelah tangannya memegang sebuah tas, yang berisi beberapa pakaian dan sebuah laptop, yang aku yakin, di dalam laptop itulah ia menyimpan video tersebut.

Karena saat aku memeriksanya tadi di komputernya, sesaat sebelum Akbar datang, aku tidak menemukan apa-apa.

Meski aku juga yakin, jika ia pasti juga menyimpannya di dalam ponselnya.

Sandi menggiringku masuk ke dalam mobilnya, setelah ia mengunci pintu, dan membiarkan mobil Akbar terparkir disana.

Sandi meminta aku yang menyetir mobilnya, sambil ia terus menodongkan pistolnya di pinggangku.

Jalanan mulai sepi. Sandi memintaku untuk memasuki areal sebuah hotel.

Sesampai disana, Sandi terus menggiringku untuk memasuki sebuah kamar hotel, yang mungkin sudah ia booking sebelum ia kembali ke rumah tadi.

Seolah-olah Sandi telah mempersiapkan segala sesuatunya.

"tadinya aku ingin pakai kamar ini, saat bang Ronal menyetujui permintaanku untuk ikut bersamaku." ucap Sandi, sambil melepas jaketnya.

"tapi sekarang, aku tidak perlu tunggu apa-apa lagi. Bang Ronal harus mau ikut denganku.." lanjutnya lagi, yang membuatku merinding.

*****

Sandi meraba pahaku tiba-tiba, saat aku terduduk di atas ranjang. Ia mencoba membujukku, untuk mau melakukannya lagi malam itu dengannya.

Aku berusaha menolak, tapi Sandi mengancam akan menyebarkan video tersebut, yang membuatku menjadi sedikit pasrah.

Aku berusaha mencari cara, agar bisa menghindari Sandi.

"aku mau mandi dulu, badanku terasa gerah semua.." ucapku akhirnya. Setidaknya di dalam kamar mandi, aku bisa memikirkan bagaimana caranya mengakhiri ini semua.

"kalau begitu kita mandi berdua.." ucap Sandi, yang membuatku kembali merasa lemas.

Aku tak bisa menolak, apa yang dilakukan Sandi padaku. Bukan karena aku tak mampu melawan. Tapi faktanya, Sandi punya video sebagai senjatanya mengancamku, selain pistol nya juga.

Kami mandi bersama. Sandi kembali mencoba melakukan aksinya padaku.

Aku akhirnya benar-benar pasrah. Sandi membawaku berlayar, dengan caranya. Ia yang mengendalikanku. Aku merasa merinding.

Sekali lagi, aku harus bercinta dengan seorang psikopat, seorang pembunuh.

Tubuhku terasa begitu lemas tak berdaya. Sandi terus memaksaku berlayar dengannya, yang membuatku kian terlena.

Sentuhan-sentuhan yang diberikan Sandi, membuatku kian bergejolak.

Aku lupa siapa Sandi, aku lupa tentang apa yang telah diperbuatnya. Yang aku rasakan hanyalah keindahan penuh sensasi.

Sandi terus membawaku berlayar, sampai aku akhirnya mencapai pelabuhan terakhir tersebut dengan sempurna.

Sehabis mandi dan berlayar bersama, Sandi memberiku pakaiannya. Aku juga tidak mau memakai pakaianku yang tadi, karena bercak darah Akbar masih membekas disana.

Aku mencoba memejamkan mata, melepaskan segala kelelahanku.

Tubuhku terasa begitu capek, dan pikiranku terasa begitu berat.

Sandi masih terus mengawasiku. Ia menawarkanku makan, tapi aku menolaknya.

Dan aku pun akhirnya terlelap dalam lelahku.

*****

Sebuah ketukan terdengar di pintu kamar hotel tersebut.

Aku tersentak, namun Sandi terlebih dulu bangun. Dia segera menuju pintu.

Aku bersiap-siap, aku berharap orang yang datang tersebut, bisa membantuku keluar dari situ.

Tapi yang datang hanya seorang pelayan hotel, yang menawarkan sarapan.

Aku memejamkan mata kembali, mencoba untuk tertidur lagi.

Seharian, Sandi mengurungku dalam kamar tersebut bersamanya. Aku sempat makan siang, karena perutku terasa begitu lapar. Sandi sengaja memesannya secara online.

"kita disini dulu seharian." ucap Sandi.

"nanti malam, aku akan bawa abang dari sini. Perjalanan malam, akan lebih aman." lanjutnya.

Aku tidak terlalu menyimak kata-katanya. Aku juga tidak peduli, apa pun rencananya. Aku hanya harus bisa melarikan diri secepatnya.

Seharian, aku terus berpikir, bagaimana caranya untuk mengakhiri itu semua.

Tapi aku tidak bisa melakukan apa-apa. Ponselku sengaja ditahan Sandi.

"nanti sore, istriku akan mengantarkan Adam ke rumah." ucapku pelan.

"ia pasti akan merasa aneh, karena aku tidak berada di rumah. Dan mungkin saja, ia akan melaporkan hal tersebut pada polisi.." lanjutku mencoba memberi peringatan kecil pada Sandi.

"aku sudah kirimkan pesan singkat pada mantan istri bang Ronal itu, pake ponsel bang Ronal.." balas Sandi, ia terlihat begitu cuek.

"aku sudah kirim pesan, bahwa bang Ronal untuk beberapa hari ke depan, akan keluar kota, jadi Adam untuk sementara tinggal bersamanya.." Sandi melanjutkan, yang membuatku merasa semakin tak berdaya.

Harapanku untuk terbebas dari Sandi kian menipis. Sekarang aku hanya bisa mengandalkan diriku sendiri.

"bagaimana dengan keluarga Akbar?" tanyaku tiba-tiba dalam keputusasaan.

"aku sudah kirim pesan pada istrinya, kalau Akbar akan lama di rumah ayahnya. Jadi aku masih bisa menunda, sampai kejadian ini sampai ke pihak berwajib. Dan saat polisi sudah menyadari hal tersebut, kita sudah berada di tempat yang jauh. Dimana tidak ada seorangpun yang tahu siapa kita disana." jawaban Sandi membuatku harus mengakui kejeniusannya dalam hal itu.

"kamu mengambil ponsel Akbar juga?" tanyaku dengan nada lemas.

Sandi tidak menjawab, namun aku sudah tahu pasti jawabannya.

Sandi ternyata benar-benar kejam dan licik.

Entah apa yang telah kuperbuat, sampai aku harus bertemu orang seperti Sandi.

"aku ingin buang air.." ucapku, sambil mulai bangkit berdiri dan lalu melangkah pelan ke dalam kamar mandi.

Aku sebenarnya tidak sedang ingin buang air. Aku hanya sedang berpikir, dan berharap di dalam kamar mandi tersebut, ada celah untukku bisa melarikan diri.

Sebenarnya aku sudah tidak peduli lagi tentang video tersebut. Yang aku pikirkan saat ini, hanyalah pergi dari situ secepatnya.

Sampai akhirnya aku melihat tutup kloset dalam kamar mandi itu yang seperti terlepas dari gagangnya.

Aku coba mengangkatnya, dan memang terlepas.

Aku seakan menemukan sebuah ide.

Aku memanggil Sandi dan mengajaknya masuk ke dalam kamar mandi tersebut.

Aku berpura-pura sedang merasa ingin bercinta dengannya.

"aku suka, ketika kita melakukannya di dalam ini.." ucapku dengan nada mesum.

Sandi tersenyum menatapku. Ia tanpa curiga masuk dan mengunci pintu kamar mandi tersebut.

Ia melangkah mendekat dan mulai hendak menciumiku. Tapi kali ini aku yang pegang kendali.

Aku mulai meraba-raba dada bidang Sandi. Membuka kancing baju kemeja satu persatu secara perlahan.

Aku mendorong tubuh Sandi ke dinding, sambil terus memainkan tanganku di dadanya.

Aku putar tubuh Sandi hingga membelakangiku. Aku tahu, Sandi sangat menyukai posisi seperti itu.

Aku mulai mnyentuh bagian-bagian sensitifnya, yang membuat Sandi mulai terlena.

Ia terlihat memejamkan mata menikmati setiap sentuhanku.

Saat itulah, aku dengan cekatan meraih tutup kloset tadi, yang telah sengaja aku letakkan di tempat yang mudah kugapai.

Secepat kilat aku mengayunkan benda keras tersebut, hingga mengenai bagian tengkorak belakang kepala Sandi. Dahinya pun terbentur dengan keras ke dinding.

Sandi berteriak tertahan, lalu kemudian ia tersungkur. Darah mulai mengalir deras di kepalanya.

Aku bergegas keluar dari kamar mandi tersebut.

Aku mengambil tas berisi laptop dan juga ponsel Sandi serta ponselku sendiri.

Aku berjalan santai keluar hotel, aku tidak ingin para petugas hotel curiga.

Aku tidak yakin, apa yang akan terjadi dengan Sandi. Entah ia akan selamat, atau justru akan mengalami kematian.

Tapi menurutku, jika ia tidak segera mendapat pertolongan, ia akan tewas karena kehabisan darah.

Dengan menaiki sebuah taksi, aku kembali ke rumahku. Disana aku menghapus semua file video tersebut, lalu menghancurkan laptop dan ponsel milik Sandi.

Aku mengemasi beberapa pakaian dan perlengkapan kerjaku.

Aku berniat untuk pindah sementara ke tempat istriku. Aku tidak mungkin tinggal disini, sampai keadaan benar-benar membaik.

Sandi bisa saja masih hidup, dan dia pasti akan mencariku.

Aku bahkan berniat menjual rumah tersebut, dan pindah ke tempat yang jauh dari situ.

Tapi itu semua masih berada dalam pikiranku, yang pasti saat ini, aku harus segera menemui istri dan anakku.

"ada apa, mas?" tanya istriku, saat aku sampai disana dengan membawa beberapa buah koper, seperti orang yang hendak pindah.

"aku belum bisa cerita sekarang." balasku, "yang pasti sekarang kita tidak bisa kembali ke rumah dulu. Dan aku merasa sangat capek, aku butuh istirahat.." lanjutku sambil melangkah masuk, mencoba mengabaikan tatapan penuh tanya dari kedua mertuaku.

"katanya mas keluar kota beberapa hari.." istriku berucap lagi, ketika aku sudah terbaring di kamarnya.

"tapi kok tiba-tiba pulang kesini.." lanjutnya.

"panjang ceritanya, Han. Dan tolong jangan wawancarai aku sekarang. Aku harus istirahat.." balasku dengan sedikit memohon.

Malam mulai menjelma. Tubuhku terasa remuk. Bayangan semburan darah yang keluar dari kepala Sandi terus membayangiku.

Namun karena aku yang sudah terlalu lelah, akhirnya benar-benar tertidur.

******

Pagi itu, Adam membangunkanku. Ia mempertontonkan sebuah video siaran langsung dari ponselnya.

"ini bang Sandi kan, Yah.." ucapnya sambil memperlihatkan video tersebut.

Aku terkesiap sesaat.

Dalam video tersebut, terlihat Sandi yang sudah dikabarkan tewas. Pihak polisi sudah mengidentifikasinya.

Ternyata Sandi adalah seorang residivis, yang sudah diburu sejak lama oleh pihak polisi, karena berbagai kasus pembunuhan yang dilakukannya.

Pihak polisi tidak lagi akan mengusut atas kematiannya. Karen Sandi sebenarnya memang akan dihukum mati.

Pihak polisi juga mengatakan, kalau Sandi adalah pria dewasa yang sudah berumur 27 tahun.

Pantas saja aku tidak mempercayainya, saat ia mengaku baru kuliah dan baru berusia 19 tahun.

Entah apa yang aku rasakan saat itu.

Entah merasa lega, atau justru merasa takut.

Lega, karena akhirnya aku terbebas dari ancaman pria homo tersebut.

Takut, karena bisa saja ada yang mengetahui, kalau kematian Sandi ada hubungannya denganku.

Aku tidak meceritakan tentang kejadian yang menimpa Akbar dan Ayahnya, biar kan polisi yang mengungkapnya.

Setidaknya itu salah satu cara agar aku tetap aman.

Aku akhirnya memutuskan untuk kembali kepada istriku.

Aku merasa, setidaknya jika aku hidup bersama istriku, tidak akan ada lagi laki-laki homo yang menggodaku.

Semoga.

Sekian ..

Mengenal istilah TOP, BOT dan VERS.

 Kali ini, mimin tidak akan menceritakan sebuah kisah.

Tapi, mimin akan mencoba mengupas, beberapa istilah dalam dunia gay.

Apa-apa saja istilah tersebut? Simak tulisan ini sampai tuntas.

Seperti kita ketahui bersama, bahwa dalam dunia gay, kita mengenal dan mendengar berbagai istilah-istilah, yang hanya kaum gay itu sendiri yang mengerti dengan istilah tersebut.

Dari sekian banyak istilah-istilah tersebut, ada tiga istilah yang paling sering kita dengar.

Yaitu istilah, TOP, BOT dan VERS.

Apa sebenarnya makna dari istilah TOP, BOT dan VERS tersebut?

Berikut ulasannya.

Mungkin teman-teman disini, juga banyak yang sudah mengetahui, istilah-istilah tersebut.

Tapi tidak ada salahnya juga, untuk menyimak tulisan ini sampai selesai.

Siapa tahu, ada hal-hal baru, yang teman-teman akan temukan disini.

Atau bisa bantu mimin, dengan meninggalkan komentar di kolom komentar dibawah ini.

Dari pada semakin penasaran, mari langsung kita simak saja.

Istilah yang pertama, yakni, TOP.

TOP adalah istilah untuk kaum gay, yang memposisikan dirinya sebagai “laki-laki”. Artinya, kaum Top dalam berhubungan badan dengan kaum gay lainnya, adalah berperan sebagai si laki-laki. Untuk lebih jelasnya, Para Top ini adalah yang suka “nusuk” tapi tak suka “ditusuk”.
Para Top ini, biasanya terlihat lebih jantan, kekar dan berotot. Dalam kehidupan sehari-hari para Top akan terlihat sangat normal seperti kebanyakan pria-pria lainnya.
Para Top akan mencari pasangan gay-nya yang Bot atau pun Vers.

Sesuai dengan namanya, yang berarti diatas, pria gay yang berperan sebagai seorang TOP, memang akan terlihat lebih dominan, dalam sebuah hubungan. Baik itu hubungan fisik, maupun hubungan perasaan.

Secara umum, pria TOP ini, sangat sulit ditemui.

Karena, selain selalu terlihat maskulin, pria TOP, juga sebenarnya, sangat jarang.

Kebanyakan TOP adalah pria macho dan maskulin. Meski tidak semua pria gay yang terlihat maskulin adalah TOP. Tapi biasanya, pria TOP, memang terlihat seperti laki-laki normal.

Selanjutnya, ada istilah, BOT.

BOT adalah istilah untuk para kaum gay, yang memposisikan dirinya sebagai “perempuan”. Artinya, para Bot dalam berhubungan badan dengan kaum gay lainnya, adalah berperan sebagai si Perempuan. Atau lebih jelasnya, Para Bot lebih suka “ditusuk” dan tidak suka “nusuk”.
Para Bot biasanya lebih mudah diketahui, karena kebanyakan para Bot pada umumnya lebih feminim dan melambai. Meski ada beberapa Bot yang tetap terlihat jantan, namun kebanyakan para Bot memang sedikit kemayu.
Dan para Bot ini akan mencari pasangan gay-nya yang Top atau Vers.
 
BOT adalah kebalikan dari TOP. Meski tidak semua pria feminim adalah BOT, dan tidak semua BOT itu feminim. Namun faktanya, pria BOT memang sering terlihat kemayu.
 
Selanjutnya ada istilah, Vers.
Adalah posisi yang memiliki peran ganda. Para Vers bisa memerankan kedua posisi lainnya (Top ataupun Bot). Vers akan berperan sesuai dengan pasangannya. Jika pasangannya Top, maka ia akan berperan menjadi Bot. Begitu juga sebaliknya, jika pasangannya Bot, maka ia bisa diandalkan menjadi Top. Artinya lagi, dalam berhubungan badan dengan kaun gay lainnya, Vers suka “nusuk” dan juga suka “ditusuk”.
Vers ini terbagi menjadi dua jenis, yakni :
Vers Top, dan Vers Bot.
Vers Top ialah para Vers yang lebih suka menjadi Top dan lebih suka “nusuk”, namun pada kondisi tertentu Vers Top juga bisa menjadi Bot. Namun biasanya, Vers Top lebih sering menjadi Top. Dan lebih suka mencari pasangannya yang berperan sebagai Bot.
Vers Bot adalah kebalikan dari Vers Top. Vers Bot lebih sering dan lebih suka berperan sebagai Bot. Namun pada saat-saat tertentu, ia juga bisa diandalkan untuk menjadi Top. Dan biasanya Vers Bot lebih menyukai dan mencari pasangannya yang berperan sebagai Top.
 
Dari ketiga istilah diatas, sebenarnya yang paling diuntungkan ialah para Vers, karena bisa merasakan dua hal yang berbeda.
Dan dari ketiga jenis kaum gay tersebut, berdasarkan pengalaman saya pribadi, terutama di Indonesia, sebenarnya kebanyakan kaum gay lebih banyak yang berperan sebagai Bot. Karena para Bot lebih mudah ditemui. Sedangkan para Top agak jarang dan sedikit susah dijumpai.
Sementara Vers sendiri sangat sulit diketahui, karena perannya sendiri yang ganda, dan memang sedikit susah ditebak.
 
Istilah TOP, BOT dan VERS, biasanya lebih sering digunakan oleh kaum gay, ketika melakukan hubungan.
 
Jika Bot bertemu BOT, maka mereka jarang saling tertarik.
Begitu juga, saat Top bertemu Top, mereka biasanya tidak akan melakukan apa-apa.
Namun jika keduanya bertemu pria Vers, maka Vers akan segera menyesuaikan diri.
 
Demikianlah pembahasan tentang istilah TOP, BOT dan Vers, dalam dunia gay.
Semoga penjabaran sederhana ini, bisa bermanfaat untuk menambah pengetahuan kita tentang dunia gay. Terutama bagi mereka yang baru masuk dan mengenal dunia gay.
 
Lebih dan kurangnya, mimin mohon maaf.
Terima kasih sudah membaca sampai selesai.
Salam hangat untuk kalian semua.
Sampai jumpa lagi, dengan pembahasan lainnya. 
 
*****

Cari Blog Ini

Layanan

Translate