"aku ingin kita putus, Wen..." suara laki-laki itu terdengar cukup tegas di telinga Weni.
Weni menatap laki-laki yang sejak tadi duduk di sampingnya dengan pandangan setengah tak percaya.
"maksud kamu apa sih, Zul? Aku gak ngerti deh..." Weni berusaha mengeluarkan suaranya, meski dengan sedikit berat.
"maksud saya cukup jelas kok, Wen. Aku ingin kita putus. Aku ingin kita menjalani hidup kita masing-masing. Kamu dengan kehidupanmu dan aku dengan kehidupanku sendiri..." jelas laki-laki itu lagi.
Sekuat mungkin Weni menahan gejolak yang tiba-tiba hadir di hatinya. Ia masih tak percaya kalimat tersebut keluar dari mulut Zul, laki-laki yang sangat ia cintai itu.
Bagaimana mungkin Zul tiba-tiba ingin mereka putus, sementara hubungan mereka selama hampir setahun ini berjalan dengan baik.
Weni masih ingat, bagaimana dulu awal pertemuannya dengan Zul. Sebuah pertemuan yang tidak pernah mereka rencanakan.
Waktu itu, Weni sedang mengikuti sebuah seminar tentang cara menjadi seorang penulis profesional. Sebuah seminar yang memang sejak lama ingin Weni ikuti. Weni memang punya hobi menulis sejak kecil. Keinginannya untuk menjadi seorang penulis semakin besar sejak ia mulai kuliah di kesusastraan.
Weni punya keinginan untuk menjadi seorang penulis besar suatu saat kelak, karena itu ia rajin mengikuti seminar-seminar yang berhubungan dengan dunia tulis.
Selepas kuliah dan meraih gelar sarjananya, Weni tak kunjung jua mendapatkan pekerjaan. Untuk itu ia pun semakin giat untuk belajar menulis, dan membuat beberapa karya tulis yang ia publikasikan di blog-nya sendiri.
Pada suatu seminar yang cukup besar, Weni mendapat kesempatan untuk hadir. Pada acara tersebut memang akan hadir para penulis-penulis senior yang akan berbagi pengalaman mereka kepada para penulis-penulis baru.
Weni merasa cukup bangga bisa hadir disana. Ia bisa bertemu dan bertatap muka langsung dengan para senior, yang beberapa diantaranya sangat Weni kagumi karyanya.
"hei..." sebuah suara lembut mengganggu lamunan Weni yang sedang fokus memperhatikan seorang senior berbicara di depan.
Weni spontan melirik kesampingnya, seorang laki-laki menatapnya sambil tersenyum.
"baru ya?" tanya laki-laki dengan senyum manis itu melanjutkan.
"maksudnya?" tanya Weni balik, setengah tak mengerti.
"maksud saya, kamu baru mau belajar menulis atau sudah punya pengalaman seperti mereka yang berada di depan sana..." jelas laki-laki itu ringan.
"owh..." Weni membulatkan bibir, Weni tahu itu hanya sebuah pertanyaan basa-basi. Namun Weni merasa kurang sopan jika tidak menjawab pertanyaan tersebut.
"gak kok. Masih baru. Saya datang kesini justru karena ingin belajar..." lanjutnya.
"tapi sudah sering nulis kan?" tanya laki-laki itu lagi, yang membuat Weni kembali menatap laki-laki tersebut.
"ada sih beberapa, tapi baru sebatas cerita pendek..." jawab Weni diplomatis. Ia berusaha membalas senyum laki-laki tersebut.
Sekilas Weni melihat, kalau laki-laki yang suka tersenyum tersebut memang cukup tampan. Hidungnya mancung dengan bibir tipis dan mata yang teduh.
"kamu sendiri gimana?" tanya Weni akhirnya, karena kebetulan di depan sedang ada jeda.
"saya? Ya, masih coba-coba aja sih. Masih harus belajar..." jawab laki-laki itu dengan suara khasnya.
"oh, ya. Saya Zulkifli. Panggil aja Zul." lanjut laki-laki itu sambil mengulurkan tangannya.
Weni segera menyambut tangan laki-laki tersebut, "saya Weni.." ucapnya lembut.
Itulah awal pertemuan mereka. Awal pertemuan yang menimbulkan rasa ketertarikan antara mereka berdua. Sepanjang seminar mereka lebih sering ngobrol berdua. Saling tular kontak dan sharing tentang pengalaman mereka tentang menulis.
Weni merasa nyaman bersama Zul. Laki-laki itu sangat ramah dan cukup terbuka.
"hobi menulis saya sempat tertunda beberapa tahun, karena orangtua saya sangat ingin saya menjadi seorang dokter. Setelah lulus kuliah di Singapur, saya sekarang bekerja menjadi dokter di salah satu rumah sakit swasta. Jadi sekarang saya lebih punya banyak waktu untuk sekedar menyalurkan hobi nulis saya..." ucap Zul menjelaskan. "saya sekarang lebih sering nulis tentang dunia kesehatan dari pada cerita-cerita fiksi.." lanjutnya.
Diam-diam Weni pun mulai mengagumi sosok Zul yang sederhana. Mereka menjadi lebih akrab dan sering jalan bareng. Karena punya hobi yang sama, mereka tidak pernah kehabisan bahan untuk ngobrol. Ada-ada saja yang mereka bahas, mulai dari penulis favorit mereka dan juga tentang hal-hal yang berhubungan dengan dunia penulis.
Karena merasa saling cocok, mereka pun akhirnya sepakat untuk menjalin hubungan yang lebih serius. Usia mereka yang boleh dibilang sudah sama-sama dewasa, membuat hubungan mereka kian serius.
Hingga suatu hari,
"aku ingin kita segera menikah, Wen. Aku ingin kamu menjadi istriku. Apa kamu bersedia?" ucap Zul dengan nada serius.
Weni sedikit kaget mendengar ucapan Zul yang cukup blak-blakan tersebut. Ia tidak menyangka Zul akan secepat itu melamarnya. Hubungan mereka baru berjalan tiga bulan.
"apa ini tidak terlalu cepat, Zul?" tanya Weni akhirnya.
"kita sudah sama-sama dewasa, Wen. Waktu tiga bulan sudah cukup buatku untuk mengenal kamu lebih dalam. Terlebih dari itu, aku juga sudah cukup yakin dengan perasaanku padamu. Orangtuaku juga sudah tidak sabar ingin melihatku segera menikah.." jelas Zul meyakinkan.
Weni tahu, hubungannya dengan Zul memang terbilang serius. Mereka sudah saling mengenalkan diri kepada kedua belah keluarga. Kedua keluarga mereka juga sangat mendukung hubungan mereka berdua. Bagi Weni sendiri, ia merasa sudah cukup mengenal Zul. Ia juga sangat menyayangi laki-laki itu. Tidak ada alasan lagi bagi Weni untuk tidak menerima lamaran Zul, meski terkesan terlalu cepat.
Untuk itu akhirnya Weni setuju. Mereka pun mengatur segala rencana untuk mempertemukan kedua keluarga mereka.
Pertemuan kedua keluarga itu pun berjalan dengan baik. Kedua keluarga, baik dari keluarga Weni maupun dari keluarga Zul akhirnya sepakat untuk segera melangsungkan acara pertunangan antara Weni dan Zul.
Meski acara pertunangan itu berlangsung dengan sangat sederhana, namun kedua belah pihak merasa sangat bahagia, terutama bagi Weni dan Zul.
Hanya jelang seminggu setelah acara pertunangan mereka. Kedua keluarga kembali sepakat untuk segera melaksanakan pernikahan.
Menjelang hari pernikahan yang sudah disepakati, Weni dan Zul sangat sibuk mempersiapkan acara resepsi pernikahan mereka. Mulai dari mencari tempat resepsi, membuat undangan dan mempersiapkan baju pengantin.
Dua hari menjelang hari pernikahan mereka, saat semua undangan sudah tersebar, segala persiapan sudah sangat matang. Tiba-tiba Weni mendapat kabar yang membuatnya syok seketika.
"Zul mengalami kecelakaan fatal, Wen. Kamu harus segera ke rumah sakit sekarang..." suara Ibu Zul terdengar terbata di telpon.
Weni menahan perih yang tiba-tiba ia rasakan.
Mengapa hal ini terjadi di saat beberapa hari menjelang pernikahan mereka? rintih hatinya pilu.
Dengan tubuh yang lemas dan pikiran yang tak karuan, Weni segera pergi ke rumah sakit tempat Zul dirawat. Disana ia disambut dengan isak tangis dari keluarga Zul yang sudah hampir satu jam berada disana.
"bang Zul masih belum sadarkan diri, ia masih koma. Dokter sedang berusaha menanganinya...." suara adik perempuan Zul menjelaskan, masih dalam isaknya.
Tanpa sadar Weni pun ikut meneteskan air matanya. Biar bagaimanapun ia sangat mencintai Zul, ia belum siap kehilangan laki-laki itu dalam hidupnya. Namun Weni berusaha untuk terlihat tegar, meski hatinya merintih perih.
Setengah jam kemudian, dokter pun keluar dan meminta kedua orangtua Zul untuk masuk ke dalam ruangannya untuk menjelaskan beberapa hal, katanya.
Weni dan keluarga lainnya hanya bisa menunggu di luar, sementara Zul sendiri masih belum sadarkan diri. Meski menurut keterangan dokter tadi, Zul sudah melewati masa kritisnya. Hanya saja ia masih butuh waktu untuk bisa siuman kembali.
"ada apa, Bu...?" tanya adik laki-laki Zul yang lain, ketika melihat Ibunya keluar dari ruangan dokter dengan masih berlinangan air mata.
"Zul mengalami patah tulang yang parah pada kedua kakinya. Jalan satu-satunya untuk menyelamatkan nyawanya hanya dengan cara mengamputasi kedua kakinya..." jelas sang Ibu dengan suara terisak.
Mendengar hal itu, Weni semakin terhenyak. Tubuhnya terasa semakin lemas tak berdaya.
"Zul akan kehilangan kedua kakinya, dan ia akan hidup diatas kursi roda sepanjang hidupnya.." sang Ayah turut menjelaskan, yang membuat seisi ruangan menjadi histeris kembali.
Weni tidak bisa membayangkan bagaimana Zul bisa menghabiskan sisa hidupnya diatas kursi roda. Pasti akan sangat berat bagi Zul untuk bisa menerima semua itu.
"kita tidak punya pilihan lain saat ini, jika tidak diamputasi, nyawa Zul bisa saja tidak terselamatkan.." lanjut sang Ayah lagi, ketika isak tangis diruangan itu mulai mereda.
Dengan persetujuan keluarga, akhirnya kedua kaki Zul diamputasi. Bagi mereka itu merupakan keputusan yang teramat sulit. Namun mereka harus berusaha untuk bisa menyelamatkan nyawa Zul, meski harus mengorbankan kedua kakinya.
Proses amputasi kaki Zul berjalan lancar, namun Zul sudah hampir dua hari tidak sadarkan diri. Tapi Zul sudah dipindahkan ke ruangan rawat inap. Keluarga dan juga Weni sudah diperbolehkan membezuk Zul secara bergantian.
Suasana histeris kembali terjadi, ketika akhirnya Zul membuka mata. Semua anggota keluarga dan juga Weni segera mendekati Zul yang masih terlihat kaku.
Tak lama kemudian Zul pun mulai sadarkan diri dan mengingat semua yang telah terjadi padanya.
Namun suasana histeris kembali terjadi, saat Zul menyadari kalau dia telah kehilangan kedua kakinya. Ia berteriak dengan keras, keluarga berusaha menenangkan Zul yang terus saja meronta. Ia tidak bisa terima harus kehilangan kedua kakinya. Namun dokter dan juga pihak keluarga berusaha menenangkan dan memberi pengertian kepada Zul.
Setelah dengan susah payah dan proses yang panjang, Zul akhirnya bisa tenang. Meski ia belum sepenuhnya bisa menerima semua itu.
Weni merasa sangat kasihan melihat kondisi Zul, tatapan mata laki-laki itu terlihat kosong. Ia seperti tidak punya gairah lagi, ia seperti seseorang yang kehilangan pegangan dan harapan.
Weni berusaha menyentuh tangan Zul dengan lembut, saat pihak keluarga membiarkan mereka berdua dalam ruangan tersebut.
"kenapa kamu masih disini?" suara Zul terdengar sinis.
"karena aku tunanganmu Zul dan aku mencintai kamu.." balas Weni dengan suara lembut. Ia tahu Zul sedang terpukul karena kehilangan kakinya. Sebagai orang yang mencintai Zul, Weni berusaha untuk memberi dukungan kepada Zul.
"bohong! Kamu pasti kasihan melihat kondisi saya seperti ini, kan..?" suara Zul masih terdengar sinis.
"kamu kok ngomong gitu sih, Zul. Berarti kamu belum mengenal aku seutuhnya. Aku mencintai kamu Zul, dan akan tetap mencintai kamu walau apapun yang akan terjadi. Kamu harus punya semangat Zul. Jangan biarkan semua kejadian ini mematahkan semangatmu...." balas Weni berusaha membuat Zul mengerti, jika ia bisa menerima dengan ikhlas kondisi Zul saat ini.
Meski Zul tidak dengan mudah menerima semua itu, atas desakan keluarga dan juga Weni, Zul pun perlahan bisa menerima kondisi dirinya. Ia mulai menjalani pengobatan dan perawatan sehingga akhirnya ia diperbolahkan pulang. Ia mulai menjalani hidupnya diatas kursi roda.
Berminggu-minggu Weni berusaha merawat dan memberi motivasi kepada Zul. Memberi Zul harapan. Mencintai Zul dengan sepenuh hatinya. Pernikahan mereka memang telah dibatalkan, namun bagi Weni, Zul tetaplah laki-laki yang ia cintai.
Weni berharap, jika nanti kondisi Zul sudah benar-benar stabil, ia akan merencanakan sebuah pernikahan lagi bersama Zul. Ia mencintai Zul, tak peduli seperti apapun kendisinya. Meski Zul harus hidup tanpa kedua kakinya. Weni bisa menerima semua itu dengan ikhlas.
Namun sekarang....
"aku gak sanggup lagi, Wen. Aku gak sanggup hidup dalam semua rasa kasihan orang lain..." ucap Zul lagi, setelah cukup lama mereka terdiam.
"aku gak ngerti apa yang ada dalam pikiranmu, Zul. Tak kusangka kamu akan sepicik ini." balas Weni dengan suara yang mulai bergetar. Biar bagaimanapun hatinya terasa sakit, ketika Zul memilih untuk mengakhiri hubungan mereka. "kita tetap bisa bersama, Zul. Tidak ada yang berubah, aku masih mencintai kamu..."
"tapi sampai kapan, Wen?" suara Zul mulai melemah, "sampai kapan kamu akan bertahan hidup dengan orang cacat seperti saya..."
Weni hampir menangis mendengar ucapan Zul barusan, namun sekuat mungkin ia menahan air matanya.
"aku mencintai kamu, Zul. Dulu, sekarang dan selama-lamanya. Aku juga tidak peduli kondisi kamu seperti apa. Karena aku mencintai kamu bukan karena fisik semata. Aku mencintai kamu, karena kamu laki-laki baik dan kuat. Aku yakin kita bisa tetap hidup bahagia..." Weni berucap lagi, matanya mulai berkaca.
"kamu wanita sempurna, Wen. Kamu cantik. Kamu baik dan juga punya masa depan yang sempurna. Untuk apa kamu menghabiskan waktu untuk orang yang tidak bisa melakukan apa-apa buat kamu. Masih banyak diluar sana, laki-laki yang lebih pantas untuk kamu. Aku harap kamu bisa mengerti dengan keputusanku ini, Wen.." kali ini suara Zul terdengar serak.
"aku hanya mencoba realistis, Wen. Aku menyadari sekali, siapa aku saat ini dan siapa kamu. Kita sekarang udah berbeda. Dan tidak ada yang bisa memungkiri hal itu. Jika pun aku tetap memaksakan diri untuk hidup bersama kamu. Aku hanya akan menjadi beban bagi kamu. Aku hanya akan menghambat cita-cita kamu untuk menjadi seorang penulis hebat..." lanjut Zul lagi. suaranya semakin serak.
Weni akhirnya mulai terisak. Air matanya sudah tidak bisa ia bendung lagi. Terlalu sakit baginya mendengar semua penuturan Zul. Ia yang dengan susah payah menerima semua kekurangan Zul, harus menelan ludah pahit, ketika Zul sendiri tidak bisa menerima kehadirannya.
"bagi saya, kamu adalah wanita sempurna, Wen. Kamu wanita hebat. Karena itu, kamu berhak untuk mendapatkan kebahagiaan yang lebih. Kamu berhak mendapatkan laki-laki yang sempurna pula. Bukan saya, Wen. Bukan laki-laki cacat ini..." Zul melanjutkan kalimatnya, matanya sendiri mulai berkaca. Tapi ia harus bisa membuat Weni mengerti. Bukan karena ia tidak mencintai Weni. Tidak. Zul sangat mencintai Weni. Wanita itu terlalu baik untuknya. Zul merasa sangat tidak pantas berdampingan dengan Weni. Untuk itu, ia berusaha membuat Weni agar meninggalkannya.
Ia sangat mencintai Weni, namun ia juga tidak ingin membuat Weni menderita. Ia tidak ingin Weni menghabiskan sisa hidupnya untuk merawat laki-laki cacat seperti dirinya.
"tapi aku bahagia bisa bersama kamu, Zul. Aku ingin selamanya berada di sampingmu..." ujar Weni akhirnya, setelah dengan susah payah ia menghapus tetesan air mata di pipinya.
"kamu gak ngerti, Wen. Cinta saja tidak cukup... Apa yang bisa kamu harapkan dari laki-laki cacat...."
"cukup, Zul!" potong Weni cepat dengan suara tinggi. "aku tak ingin mendengar kalimat itu lagi. Jika kamu memang benar mencintaiku. Kamu harusnya tahu, bahwa tidak ada alasan apapun bagiku untuk tidak mendampingi kamu. Bersama kamu adalah impian indahku, bahkan jauh lebih indah dari impianku menjadi seorang penulis besar. Maafkan aku, Zul. Aku terlanjur mencintai ketidaksempurnanmu......"
Setelah berkata demikian, Weni bangkit dari duduknya, ia melangkah tergesa meninggalkan
Zul sendirian.
Zul hanya termangu. Air matanya perlahan pun jatuh. Ia benar-benar tidak tahu lagi, bagaimana harus membuat Weni mengerti, jika ia sangat mencintainya.
Sekian...
Mentulik, 27 Agustus 2020