Kisah cinta yang tak sempurna ....

"aku ingin kita putus, Wen..." suara laki-laki itu terdengar cukup tegas di telinga Weni.
Weni menatap laki-laki yang sejak tadi duduk di sampingnya dengan pandangan setengah tak percaya.
"maksud kamu apa sih, Zul? Aku gak ngerti deh..." Weni berusaha mengeluarkan suaranya, meski dengan sedikit berat.
"maksud saya cukup jelas kok, Wen. Aku ingin kita putus. Aku ingin kita menjalani hidup kita masing-masing. Kamu dengan kehidupanmu dan aku dengan kehidupanku sendiri..." jelas laki-laki itu lagi.
Sekuat mungkin Weni menahan gejolak yang tiba-tiba hadir di hatinya. Ia masih tak percaya kalimat tersebut keluar dari mulut Zul, laki-laki yang sangat ia cintai itu.
Bagaimana mungkin Zul tiba-tiba ingin mereka putus, sementara hubungan mereka selama hampir setahun ini berjalan dengan baik.

Weni masih ingat, bagaimana dulu awal pertemuannya dengan Zul. Sebuah pertemuan yang tidak pernah mereka rencanakan.
Waktu itu, Weni sedang mengikuti sebuah seminar tentang cara menjadi seorang penulis profesional. Sebuah seminar yang memang sejak lama ingin Weni ikuti. Weni memang punya hobi menulis sejak kecil. Keinginannya untuk menjadi seorang penulis semakin besar sejak ia mulai kuliah di kesusastraan.
Weni punya keinginan untuk menjadi seorang penulis besar suatu saat kelak, karena itu ia rajin mengikuti seminar-seminar yang berhubungan dengan dunia tulis.
Selepas kuliah dan meraih gelar sarjananya, Weni tak kunjung jua mendapatkan pekerjaan. Untuk itu ia pun semakin giat untuk belajar menulis, dan membuat beberapa karya tulis yang ia publikasikan di blog-nya sendiri.

Pada suatu seminar yang cukup besar, Weni mendapat kesempatan untuk hadir. Pada acara tersebut memang akan hadir para penulis-penulis senior yang akan berbagi pengalaman mereka kepada para penulis-penulis baru.
Weni merasa cukup bangga bisa hadir disana. Ia bisa bertemu dan bertatap muka langsung dengan para senior, yang beberapa diantaranya sangat Weni kagumi karyanya.
"hei..." sebuah suara lembut mengganggu lamunan Weni yang sedang fokus memperhatikan seorang senior berbicara di depan.
Weni spontan melirik kesampingnya, seorang laki-laki menatapnya sambil tersenyum.
"baru ya?" tanya laki-laki dengan senyum manis itu melanjutkan.
"maksudnya?" tanya Weni balik, setengah tak mengerti.
"maksud saya, kamu baru mau belajar menulis atau sudah punya pengalaman seperti mereka yang berada di depan sana..." jelas laki-laki itu ringan.
"owh..." Weni membulatkan bibir, Weni tahu itu hanya sebuah pertanyaan basa-basi. Namun Weni merasa kurang sopan jika tidak menjawab pertanyaan tersebut.

"gak kok. Masih baru. Saya datang kesini justru karena ingin belajar..." lanjutnya.
"tapi sudah sering nulis kan?" tanya laki-laki itu lagi, yang membuat Weni kembali menatap laki-laki tersebut.
"ada sih beberapa, tapi baru sebatas cerita pendek..." jawab Weni diplomatis. Ia berusaha membalas senyum laki-laki tersebut.
Sekilas Weni melihat, kalau laki-laki yang suka tersenyum tersebut memang cukup tampan. Hidungnya mancung dengan bibir tipis dan mata yang teduh.
"kamu sendiri gimana?" tanya Weni akhirnya, karena kebetulan di depan sedang ada jeda.
"saya? Ya, masih coba-coba aja sih. Masih harus belajar..." jawab laki-laki itu dengan suara khasnya.
"oh, ya. Saya Zulkifli. Panggil aja Zul." lanjut laki-laki itu sambil mengulurkan tangannya.
Weni segera menyambut tangan laki-laki tersebut, "saya Weni.." ucapnya lembut.

Itulah awal pertemuan mereka. Awal pertemuan yang menimbulkan rasa ketertarikan antara mereka berdua. Sepanjang seminar mereka lebih sering ngobrol berdua. Saling tular kontak dan sharing tentang pengalaman mereka tentang menulis.
Weni merasa nyaman bersama Zul. Laki-laki itu sangat ramah dan cukup terbuka.
"hobi menulis saya sempat tertunda beberapa tahun, karena orangtua saya sangat ingin saya menjadi seorang dokter. Setelah lulus kuliah di Singapur, saya sekarang bekerja menjadi dokter di salah satu rumah sakit swasta. Jadi sekarang saya lebih punya banyak waktu untuk sekedar menyalurkan hobi nulis saya..." ucap Zul menjelaskan. "saya sekarang lebih sering nulis tentang dunia kesehatan dari pada cerita-cerita fiksi.." lanjutnya.
Diam-diam Weni pun mulai mengagumi sosok Zul yang sederhana. Mereka menjadi lebih akrab dan sering jalan bareng. Karena punya hobi yang sama, mereka tidak pernah kehabisan bahan untuk ngobrol. Ada-ada saja yang mereka bahas, mulai dari penulis favorit mereka dan juga tentang hal-hal yang berhubungan dengan dunia penulis.

Karena merasa saling cocok, mereka pun akhirnya sepakat untuk menjalin hubungan yang lebih serius. Usia mereka yang boleh dibilang sudah sama-sama dewasa, membuat hubungan mereka kian serius.
Hingga suatu hari,
"aku ingin kita segera menikah, Wen. Aku ingin kamu menjadi istriku. Apa kamu bersedia?" ucap Zul dengan nada serius.
Weni sedikit kaget mendengar ucapan Zul yang cukup blak-blakan tersebut. Ia tidak menyangka Zul akan secepat itu melamarnya. Hubungan mereka baru berjalan tiga bulan.
"apa ini tidak terlalu cepat, Zul?" tanya Weni akhirnya.
"kita sudah sama-sama dewasa, Wen. Waktu tiga bulan sudah cukup buatku untuk mengenal kamu lebih dalam. Terlebih dari itu, aku juga sudah cukup yakin dengan perasaanku padamu. Orangtuaku juga sudah tidak sabar ingin melihatku segera menikah.." jelas Zul meyakinkan.

Weni tahu, hubungannya dengan Zul memang terbilang serius. Mereka sudah saling mengenalkan diri kepada kedua belah keluarga. Kedua keluarga mereka juga sangat mendukung hubungan mereka berdua. Bagi Weni sendiri, ia merasa sudah cukup mengenal Zul. Ia juga sangat menyayangi laki-laki itu. Tidak ada alasan lagi bagi Weni untuk tidak menerima lamaran Zul, meski terkesan terlalu cepat.
Untuk itu akhirnya Weni setuju. Mereka pun mengatur segala rencana untuk mempertemukan kedua keluarga mereka.

Pertemuan kedua keluarga itu pun berjalan dengan baik. Kedua keluarga, baik dari keluarga Weni maupun dari keluarga Zul akhirnya sepakat untuk segera melangsungkan acara pertunangan antara Weni dan Zul.
Meski acara pertunangan itu berlangsung dengan sangat sederhana, namun kedua belah pihak merasa sangat bahagia, terutama bagi Weni dan Zul.
Hanya jelang seminggu setelah acara pertunangan mereka. Kedua keluarga kembali sepakat untuk segera melaksanakan pernikahan.

Menjelang hari pernikahan yang sudah disepakati, Weni dan Zul sangat sibuk mempersiapkan acara resepsi pernikahan mereka. Mulai dari mencari tempat resepsi, membuat undangan dan mempersiapkan baju pengantin.
Dua hari menjelang hari pernikahan mereka, saat semua undangan sudah tersebar, segala persiapan sudah sangat matang. Tiba-tiba Weni mendapat kabar yang membuatnya syok seketika.
"Zul mengalami kecelakaan fatal, Wen. Kamu harus segera ke rumah sakit sekarang..." suara Ibu Zul terdengar terbata di telpon.
Weni menahan perih yang tiba-tiba ia rasakan.
Mengapa hal ini terjadi di saat beberapa hari menjelang pernikahan mereka? rintih hatinya pilu.

Dengan tubuh yang lemas dan pikiran yang tak karuan, Weni segera pergi ke rumah sakit tempat Zul dirawat. Disana ia disambut dengan isak tangis dari keluarga Zul yang sudah hampir satu jam berada disana.
"bang Zul masih belum sadarkan diri, ia masih koma. Dokter sedang berusaha menanganinya...." suara adik perempuan Zul menjelaskan, masih dalam isaknya.
Tanpa sadar Weni pun ikut meneteskan air matanya. Biar bagaimanapun ia sangat mencintai Zul, ia belum siap kehilangan laki-laki itu dalam hidupnya. Namun Weni berusaha untuk terlihat tegar, meski hatinya merintih perih.

Setengah jam kemudian, dokter pun keluar dan meminta kedua orangtua Zul untuk masuk ke dalam ruangannya untuk menjelaskan beberapa hal, katanya.
Weni dan keluarga lainnya hanya bisa menunggu di luar, sementara Zul sendiri masih belum sadarkan diri. Meski menurut keterangan dokter tadi, Zul sudah melewati masa kritisnya. Hanya saja ia masih butuh waktu untuk bisa siuman kembali.
"ada apa, Bu...?" tanya adik laki-laki Zul yang lain, ketika melihat Ibunya keluar dari ruangan dokter dengan masih berlinangan air mata.
"Zul mengalami patah tulang yang parah pada kedua kakinya. Jalan satu-satunya untuk menyelamatkan nyawanya hanya dengan cara mengamputasi kedua kakinya..." jelas sang Ibu dengan suara terisak.

Mendengar hal itu, Weni semakin terhenyak. Tubuhnya terasa semakin lemas tak berdaya.
"Zul akan kehilangan kedua kakinya, dan ia akan hidup diatas kursi roda sepanjang hidupnya.." sang Ayah turut menjelaskan, yang membuat seisi ruangan menjadi histeris kembali.
Weni tidak bisa membayangkan bagaimana Zul bisa menghabiskan sisa hidupnya diatas kursi roda. Pasti akan sangat berat bagi Zul untuk bisa menerima semua itu.
"kita tidak punya pilihan lain saat ini, jika tidak diamputasi, nyawa Zul bisa saja tidak terselamatkan.." lanjut sang Ayah lagi, ketika isak tangis diruangan itu mulai mereda.

Dengan persetujuan keluarga, akhirnya kedua kaki Zul diamputasi. Bagi mereka itu merupakan keputusan yang teramat sulit. Namun mereka harus berusaha untuk bisa menyelamatkan nyawa Zul, meski harus mengorbankan kedua kakinya.
Proses amputasi kaki Zul berjalan lancar, namun Zul sudah hampir dua hari tidak sadarkan diri. Tapi Zul sudah dipindahkan ke ruangan rawat inap. Keluarga dan juga Weni sudah diperbolehkan membezuk Zul secara bergantian.
Suasana histeris kembali terjadi, ketika akhirnya Zul membuka mata. Semua anggota keluarga dan juga Weni segera mendekati Zul yang masih terlihat kaku.

Tak lama kemudian Zul pun mulai sadarkan diri dan mengingat semua yang telah terjadi padanya.
Namun suasana histeris kembali terjadi, saat Zul menyadari kalau dia telah kehilangan kedua kakinya. Ia berteriak dengan keras, keluarga berusaha menenangkan Zul yang terus saja meronta. Ia tidak bisa terima harus kehilangan kedua kakinya. Namun dokter dan juga pihak keluarga berusaha menenangkan dan memberi pengertian kepada Zul.
Setelah dengan susah payah dan proses yang panjang, Zul akhirnya bisa tenang. Meski ia belum sepenuhnya bisa menerima semua itu.

Weni merasa sangat kasihan melihat kondisi Zul, tatapan mata laki-laki itu terlihat kosong. Ia seperti tidak punya gairah lagi, ia seperti seseorang yang kehilangan pegangan dan harapan.
Weni berusaha menyentuh tangan Zul dengan lembut, saat pihak keluarga membiarkan mereka berdua dalam ruangan tersebut.
"kenapa kamu masih disini?" suara Zul terdengar sinis.
"karena aku tunanganmu Zul dan aku mencintai kamu.." balas Weni dengan suara lembut. Ia tahu Zul sedang terpukul karena kehilangan kakinya. Sebagai orang yang mencintai Zul, Weni berusaha untuk memberi dukungan kepada Zul.
"bohong! Kamu pasti kasihan melihat kondisi saya seperti ini, kan..?" suara Zul masih terdengar sinis.
"kamu kok ngomong gitu sih, Zul. Berarti kamu belum mengenal aku seutuhnya. Aku mencintai kamu Zul, dan akan tetap mencintai kamu walau apapun yang akan terjadi. Kamu harus punya semangat Zul. Jangan biarkan semua kejadian ini mematahkan semangatmu...." balas Weni berusaha membuat Zul mengerti, jika ia bisa menerima dengan ikhlas kondisi Zul saat ini.

Meski Zul tidak dengan mudah menerima semua itu, atas desakan keluarga dan juga Weni, Zul pun perlahan bisa menerima kondisi dirinya. Ia mulai menjalani pengobatan dan perawatan sehingga akhirnya ia diperbolahkan pulang. Ia mulai menjalani hidupnya diatas kursi roda.
Berminggu-minggu Weni berusaha merawat dan memberi motivasi kepada Zul. Memberi Zul harapan. Mencintai Zul dengan sepenuh hatinya. Pernikahan mereka memang telah dibatalkan, namun bagi Weni, Zul tetaplah laki-laki yang ia cintai.
Weni berharap, jika nanti kondisi Zul sudah benar-benar stabil, ia akan merencanakan sebuah pernikahan lagi bersama Zul. Ia mencintai Zul, tak peduli seperti apapun kendisinya. Meski Zul harus hidup tanpa kedua kakinya. Weni bisa menerima semua itu dengan ikhlas.

Namun sekarang....

"aku gak sanggup lagi, Wen. Aku gak sanggup hidup dalam semua rasa kasihan orang lain..." ucap Zul lagi, setelah cukup lama mereka terdiam.
"aku gak ngerti apa yang ada dalam pikiranmu, Zul. Tak kusangka kamu akan sepicik ini." balas Weni dengan suara yang mulai bergetar. Biar bagaimanapun hatinya terasa sakit, ketika Zul memilih untuk mengakhiri hubungan mereka. "kita tetap bisa bersama, Zul. Tidak ada yang berubah, aku masih mencintai kamu..."
"tapi sampai kapan, Wen?" suara Zul mulai melemah, "sampai kapan kamu akan bertahan hidup dengan orang cacat seperti saya..."
Weni hampir menangis mendengar ucapan Zul barusan, namun sekuat mungkin ia menahan air matanya.
"aku mencintai kamu, Zul. Dulu, sekarang dan selama-lamanya. Aku juga tidak peduli kondisi kamu seperti apa. Karena aku mencintai kamu bukan karena fisik semata. Aku mencintai kamu, karena kamu laki-laki baik dan kuat. Aku yakin kita bisa tetap hidup bahagia..." Weni berucap lagi, matanya mulai berkaca.
"kamu wanita sempurna, Wen. Kamu cantik. Kamu baik dan juga punya masa depan yang sempurna. Untuk apa kamu menghabiskan waktu untuk orang yang tidak bisa melakukan apa-apa buat kamu. Masih banyak diluar sana, laki-laki yang lebih pantas untuk kamu. Aku harap kamu bisa mengerti dengan keputusanku ini, Wen.." kali ini suara Zul terdengar serak.
"aku hanya mencoba realistis, Wen. Aku menyadari sekali, siapa aku saat ini dan siapa kamu. Kita sekarang udah berbeda. Dan tidak ada yang bisa memungkiri hal itu. Jika pun aku tetap memaksakan diri untuk hidup bersama kamu. Aku hanya akan menjadi beban bagi kamu. Aku hanya akan menghambat cita-cita kamu untuk menjadi seorang penulis hebat..." lanjut Zul lagi. suaranya semakin serak.

Weni akhirnya mulai terisak. Air matanya sudah tidak bisa ia bendung lagi. Terlalu sakit baginya mendengar semua penuturan Zul. Ia yang dengan susah payah menerima semua kekurangan Zul, harus menelan ludah pahit, ketika Zul sendiri tidak bisa menerima kehadirannya.
"bagi saya, kamu adalah wanita sempurna, Wen. Kamu wanita hebat. Karena itu, kamu berhak untuk mendapatkan kebahagiaan yang lebih. Kamu berhak mendapatkan laki-laki yang sempurna pula. Bukan saya, Wen. Bukan laki-laki cacat ini..." Zul melanjutkan kalimatnya, matanya sendiri mulai berkaca. Tapi ia harus bisa membuat Weni mengerti. Bukan karena ia tidak mencintai Weni. Tidak. Zul sangat mencintai Weni. Wanita itu terlalu baik untuknya. Zul merasa sangat tidak pantas berdampingan dengan Weni. Untuk itu, ia berusaha membuat Weni agar meninggalkannya.
Ia sangat mencintai Weni, namun ia juga tidak ingin membuat Weni menderita. Ia tidak ingin Weni menghabiskan sisa hidupnya untuk merawat laki-laki cacat seperti dirinya.

"tapi aku bahagia bisa bersama kamu, Zul. Aku ingin selamanya berada di sampingmu..." ujar Weni akhirnya, setelah dengan susah payah ia menghapus tetesan air mata di pipinya.
"kamu gak ngerti, Wen. Cinta saja tidak cukup... Apa yang bisa kamu harapkan dari laki-laki cacat...."
"cukup, Zul!" potong Weni cepat dengan suara tinggi. "aku tak ingin mendengar kalimat itu lagi. Jika kamu memang benar mencintaiku. Kamu harusnya tahu, bahwa tidak ada alasan apapun bagiku untuk tidak mendampingi kamu. Bersama kamu adalah impian indahku, bahkan jauh lebih indah dari impianku menjadi seorang penulis besar. Maafkan aku, Zul. Aku terlanjur mencintai ketidaksempurnanmu......"
Setelah berkata demikian, Weni bangkit dari duduknya, ia melangkah tergesa meninggalkan
Zul sendirian.

Zul hanya termangu. Air matanya perlahan pun jatuh. Ia benar-benar tidak tahu lagi, bagaimana harus membuat Weni mengerti, jika ia sangat mencintainya.

Sekian...

Mentulik, 27 Agustus 2020

Ku jual ginjalku demi Ibu ...

Bau keringat menyengat hidungku. Aku tidak begitu mempedulikan hal tersebut saat ini. Aku terus saja melangkahkan kakiku menuju terminal. Sudah lebih dari sekilo aku berjalan. Rutinitas biasa yang aku lakukan hampir setiap hari.
Dengan mendorong gerobak daganganku, aku terus saja berjalan, meski kakiku kian lelah. Di dalam gerobak yang aku dorong, terdapat beberapa peralatan masak dan juga bahan-bahan gorengan yang sudah siap Ibuku olah dirumah.

"rok biruku sudah sobek,mas. Kayaknya harus ganti baru deh..." terngiang kembali ucapan lembut adik perempuanku yang sudah duduk di kelas 3 SMP itu.
"kan masih bisa dijahit, Tini." timpal Ibuku yang sedang mengupas pisang, untuk aku bawa berjualan.
"udah gak bisa dijahit lagi, Bu. Sobekannya udah bekas jahitan yang kemarin.." ucap Tini lagi dengan mulut sedikit manyun.
"ya udah, nanti kalau udah dapat uangnya, mas beli yang baru..." aku akhirnya membuka suara.
"saya juga mas Diko, celana olahraga saya juga udah bolong di bagian lututnya..." tiba-tiba adik laki-lakiku, Andi, yang sedang membantu Ibu memasukan pisang yang sudah dikupas ke dalam baskom, ikut menimpali.
Andi masih duduk di kelas lima SD, namun ia harus ikut bekerja membantu kami menyiapkan barang dagangan. Aku memang menjual gorengan di sekitaran terminal yang berada tidak begitu jauh dari rumah tempat kami tinggal. Aku jualan gorengan setiap sore, setelah pulang kuliah.

Aku terenyuh mendengar permintaan adik-adikku. Hatiku merasa iba melihat mereka. Namun aku tidak bisa berbuat banyak saat ini. Kehidupan ekonomi keluarga kami memang sedang tidak baik. Sejak Ayahku meninggal dua tahun yang lalu, secara otomatis aku menjadi tulang punggung bagi keluargaku. Ibuku yang sudah mulai menua dan sering sakit-sakitan, tidak bisa bekerja terlalu berat.
Setiap sore aku berjualan gorengan di terminal. Meski hasilnya tidak begitu banyak, namun setidaknya selama dua tahun ini, aku masih mampu membiayai hidup kami sekeluarga, membiayai sekolah adik-adikku serta juga untuk biaya kuliahku sendiri. Walau aku dan adik-adikku harus sering menahan diri, untuk tidak berbelanja barang yang tidak begitu kami butuhkan. Walau terkadang Ibuku harus berhutang beras di warung depan rumah kami.
Untuk kuliahku sendiri, aku memang mendapatkan beasiswa. Karena itulah aku memilih untuk tetap kuliah, meski sebenarnya secara ekonomi aku tidak mampu.

"kamu jangan menyia-nyiakan kesempatan ini, Diko..." suara lembut Ibuku suatu hari, ketika aku baru saja menyelesaikan masa SMA-ku. "kamu harus ambil beasiswa itu, kamu harus bisa kuliah..." lanjut Ibuku lagi.
Saat itu aku memang mendapatkan nilai terbaik di sekolah bahkan se-Kabupaten. Karena itulah pemerintah memberikan aku kesempatan untuk aku kuliah dengan memberiku beasiswa penuh.
"tapi bagaimana dengan adik-adik, Bu? Mereka masih butuh biaya. Dan aku harus bekerja keras untuk mendapatkan uang..." balasku mencoba memberi pengertian kepada Ibu.
"kamu gak perlu khawatir, Ibu masih bisa jualan gorengan, kok.." jawab Ibu.
Karena permintaan Ibu dan juga dorongan dari adik-adikku, akhirnya aku memutuskan untuk menerima beasiswa tersebut dan memilih untuk kuliah ke universitas terdekat dengan tempat tinggalku. Setidaknya aku bisa menghemat ongkos, karena aku bisa berjalan kaki ke kampus.

Namun belum genap dua bulan aku kuliah, Ibuku jatuh sakit dan harus dirawat beberapa hari di rumah sakit.
"Ibu kamu harus banyak istirahat, dan tidak boleh kerja terlalu berat..." ucap Dokter yang merawat Ibu waktu itu.
Aku merasa kasihan melihat Ibu. Beliau harus bekerja keras sendirian untuk menghidupi dan membiayai kami. Karena itu aku pun berpikir untuk mencari pekerjaan paroh waktu, setidaknya jangan sampai mengganggu jam kuliahku. Namun sudah beberapa minggu, aku belum juga mendapatkan pekerjaan tersebut.
Hingga pada akhirnya aku memutuskan untuk mengambil alih pekerjaan Ibuku, untuk berjualan gorengan di terminal. Jika biasanya Ibuku berjualan dari pagi hingga siang hari, aku memilih untuk berjualan dari sore hingga malam hari. Tentu saja karena aku harus kuliah di pagi harinya.

Semua bahan-bahan untuk membuat berbagai gorengan sudah Ibu siapkan dari rumah. Sesampainya di terminal aku hanya tinggal menggoreng bahan-bahan tersebut. Dan terkadang adikku, Tini, juga ikut membantu aku berjualan di terminal.
Dari hasil jualan gorengan tersebut-lah aku membiayai hidup kami dan juga sekolah adik-adikku. Namun tentu saja semua itu tidak selalu cukup. Kami harus benar-benar hemat dan sering menahan selera.
"semua teman-temanku sudah punya handphone, mas.." ucap Tini suatu hari, di tempat kami berjualan.
"Tin, kita harusnya tetap bersyukur, karena masih bisa makan dan sekolah..." jawabku ringan, "kita sama-sama berdo'a saja, semoga ke depannya hidup kita bisa membaik..." lanjutku.
Tini hanya terdiam, setiap kali aku berbicara demikian. Aku tahu Tini belum begitu kuat menjalani kehidupan seperti ini. Usianya masih terlalu muda untuk bisa menerima semuanya. Biar bagaimanapun teman-teman seusianya saat ini sedang asyik-asyiknya bermain dan nongkrong. Sementara Tini sudah harus membantuku bekerja. Namun aku yakin, Tini adalah gadis yang baik. Perlahan dia pasti akan bisa menerima semuanya.

"tidak semua yang kita inginkan itu harus dapat kita peroleh. Ada hal-hal yang harus kita ikhlaskan dalam hidup ini.." aku berujar lagi, sambil menyentuh lembut pundak Tini.
"yah, Tini paham, mas. Tini hanya sekedar bercerita, kok. Mas jangan kepikiran, ya..." balas Tini dengan menyunggingkan senyum tipisnya.

*********

"Ibu sakit, mas.." ucap adikku, Andi, ketika aku baru saja pulang dari kuliah.
Aku segera menuju kamar Ibu. Kulihat Ibu terbaring lemah di atas dipan, tangannya memegang perutnya sendiri. Ia terdengar merintih menahan sakit. Wajahnya pucat pasi.
"Ibu kenapa?" tanyaku sambil melangkah mendekat. Aku memegangi perut Ibu.
"Ibu gak apa-apa......, Hanya ... sakit perut.." jawab Ibu terbata, karena menahan sakit.
"kita ke rumah sakit ya, Bu.." tawarku, tak tega melihat Ibu yang masih saja terus merintih.
"gak.... gak usah... Diko.... Ibu gak apa-apa..." balas Ibu sambil terus menekan perutnya.
Tak lama kemudian, tiba-tiba mata Ibu terpejam, ia tak sadarkan diri seketika. Aku mulai panik dan sedikit berteriak memanggil Ibu. Saat itu, adikku, Tini baru saja pulang dari sekolah. Aku segara menyuruh Tini untuk memanggil tukang becak yang memang berada tidak terlalu jauh dari rumah kami.

Dengan menaiki becak, aku membawa Ibu ke rumah sakit terdekat. Sesampai di rumah sakit, Ibu belum juga sadarkan diri. Aku mulai cemas, pikiranku tak karuan. Para suster segera membawa Ibu ke ruang ICU. Aku dan adik-adikku hanya bisa menunggu di luar ruangan, sambil terus berdo'a.
Adik-adikku terisak. Aku sendiri sebenarnya juga ingin menangis. Namun sekuat mungkin aku menahan air mataku. Aku harus terlihat kuat, terutama di depan adik-adikku. Mataku memerah, hatiku terhiris pilu. Tak kuat rasanya mengahadapi ini semua.
Baru saja pagi tadi aku mendengar kabar kurang baik di kampus. Pak Jaya, dosen yang selama ini mengurus masalah beasiswa-ku, menyampaikan, bahwa mulai semester besok beasiswa-ku akan dihentikan.

"pemerintah mulai menghentikan beberapa beasiswa, karena kondisi perekonomian pemerintah, terutama pemerintah daerah kita mulai memburuk. Salah satu beasiswa yang dihentikan itu, termasuk nama kamu, Diko. Bapak minta maaf, tidak bisa membantu terlalu banyak." ucap pak Jaya dengan nada penuh iba.
Aku terhenyak mendengar itu semua. Jika beasiswa ku dihentikan, itu artinya, mulai semester depan aku harus membayar uang kuliah sendiri. Bagaimana mungkin aku bisa membayar uang kuliah, sementara selama ini, pendapatan kami selalu saja kurang.
Aku berjalan lesuh meninggalkan ruangan pak Jaya. Pikiranku menerawang tak menentu.
Dan sekarang?

Sekarang Ibu terbaring di rumah sakit. Aku bahkan tidak punya uang untuk biaya berobat Ibu. Apa lagi jika Ibu sampai dirawat. Kemana aku harus mencari uang?
Aku benar-benar terpukul dengan semua kejadian yang menimpaku hari ini. Rasanya dunia berhenti berputar. Rasanya aku sudah tidak sanggup lagi menahan kepedihan yang aku rasakan saat ini.
"Ibumu terkena usus buntu. Beliau harus segera dioperasi. Jika tidak, ususnya akan terus membengkak dan pecah. Jika hal itu terjadi, nyawa beliau kemungkinan tidak bisa terselamatkan.." penjelasn dokter Cahyo, membuat napasku terasa terhenti. Tubuhku terasa lemas tak berdaya. Kali ini, dunia benar-benar runtuh bagiku.

Dari mana aku akan mendapatkan uang untuk biaya operasi Ibu? Dan aku juga tidak tega melihat Ibu yang terbaring lemah di ranjang rumah sakit.
"saya tahu kesulitan nak Diko," ucap dokter Cahyo lagi, "tapi pihak rumah sakit tidak bisa berbuat banyak. Operasi adalah jalan satu-satunya untuk kesembuhan Ibumu." lanjutnya.
Aku hanya terdiam membisu. Tidak tahu harus mengatakan apa saat itu.
Dokter Cahyo kembali menatapku lembut, "mungkin untuk sementara, kami akan memberikan obat antibiotik untuk Ibumu. Menjelang kamu bisa mendapatkan uang untuk biaya operasi Ibu..." beliau berujar lagi dengan suara lembut.
Kami berbicara di ruangan dokter Cahyo, sementara adik-adikku sudah bersama Ibu. Beliau baru saja sadarkan diri setelah dokter memasang infus pada tangan beliau. Para suster segera memindahkan Ibu ke kamar inap. Untuk sementara Ibu memang harus dirawat di rumah sakit, karena kondisinya yang masih sangat lemah dan juga beliau masih butuh perawatan yang intensif.

Malam itu, aku meminta adik-adikku untuk menjaga Ibu di rumah sakit, dengan meninggalkan sedikit uang untuk sekedar makan malam mereka.
Sementara aku harus pulang ke rumah dan mulai berpikir bagaimana caranya aku bisa mendapatkan uang untuk biaya operasi Ibu.
Rumah yang kami tempati adalah sebuah rumah bulatan kecil yang dibangun oleh ayahku ketika beliau masih hidup. Rumah kecil dan tanah ini memang milik kami, tapi rumah dan tanah ini tidak punya surat-surat lengkap untuk bisa aku gadaikan. Tanah ini dibeli oleh ayah dari seorang teman, yang katanya, merupakan tanah warisan yang belum mempunyai surat.


Dan jika aku menjual rumah ini untuk biaya operasi Ibu, lalu kami akan tingal dimana?
Sungguh aku telah kehabisan cara untuk bisa mendapatkan uang dengan cepat. Pikiranku semakin kacau. Aku tidak punya tempat mengadu saat ini. Ayah dan Ibu tidak punya keluarga lain, mereka sama-sama merantau ke kota ini. Dan setahuku, Ayah atau Ibu sudah tidak punya saudara lagi di kampung.

****

Bersambung ...

Ku jual ginjalku demi Ibu.... (part 2)

Aku melangkah sendirian dalam cahaya remang malam. Aku melangkah menuju rumah sakit. Aku memutuskan untuk kembali ke rumah sakit, karena mataku enggan terpejam. Pikiranku merasa sangat tidak tenang.
Sesampai di rumah sakit, aku melihat Ibu sudah tertidur di ranjang. Sementara kedua adikku terbaring di lantai, mereka terlihat lelah. Aku semakin terenyuh melihat itu semua. Sungguh hatiku terasa terhiris-hiris. Begitu pedih....
Aku duduk di ruang tunggu rumah sakit yang mulai sepi, sambil terus berpikir apa yang harus aku lakukan saat ini. Sampai sebuah suara lembut mengagetkanku,

"siapa yang sakit?" suara itu berasal dari seorang wanita yang kuperkirakan sudah berumur tiga puluhan, ia duduk tak jauh di sampingku. Wanita itu memakai pakaian yang cukup elegan dengan dandanan wajah yang sedikit mencolok, menurutku.
"Ibuku..." jawabku lemas, dengan sedikit menyunggingkan senyum.
"oh.." wanita itu membulatkan bibirnya. "sakit apa?" tanya wanita itu selanjutnya.
Aku menceritakan tentang penyakit Ibuku kepada wanita yang baru pertama kali aku lihat itu. Aku mungkin memang butuh teman untuk bercerita, sekedar mengurangi sedikit beban yang tiba-tiba terasa begitu berat aku rasakan.
Wanita itu terlihat ramah dan perhatian. Meski tentu saja, aku tidak menceritakan tentang kesulitan uang yang sedang aku alami. Rasanya hal itu tidak harus aku ceritakan, terutama kepada orang yang belum aku kenal.

"namaku Maya...." wanita itu memperkenalkan diri, seakan berusaha untuk terlihat akrab.
"namaku Diko, tante.." balasku sedikit sungkan. Aku hanya berusaha menghargai tante Maya yang seakan butuh teman untuk sekedar bercerita.
"jangan panggil tante lah, apa saya terlihat sebegitu tuanya ya..?" balas tante Maya membuatku sedikit tersipu. "kamu umur berapa?" tanya tante Maya melanjutkan.
"dua puluh tahun, tan..." jawabku jujur.
"oh, masih muda, ya. Tapi gak usah panggil tante, panggil mbak aja gak apa-apa.." ucap tante eh mbak Maya dengan sedikit mengulum senyum.
Secara fisik mbak Maya memang terlihat masih cantik, meski dandanannya sedikit mencolok. Badannya juga masih bagus dan masih terlihat ramping, walau pun, menurut saya, mbak Maya pasti sudah bersuami dan punya anak.

"mbak Maya nungguin siapa disini?" tanyaku setelah kami terdiam beberapa saat.
"suami saya. Dia mengalami gagal ginjal dan harus melakukan transplantasi ginjal. Saya sudah lebih seminggu disini. Kami sedang berusaha mencari pendonor ginjal yang cocok buat suami saya..." jelas mbak Maya dengan suara getir.
Aku tergugu mendengar cerita mbak Maya barusan. Untuk sesaat saya hanya terdiam.
"kasihan suami saya, dia harus melakukan cuci darah dua minggu sekali. Sementara anak kami masih kecil, dia baru berusia empat tahun. Rasanya dia belum siap kehilangan seorang ayah. Untuk itulah kami dan keluarga sedang berusaha mencari orang yang mau mendonorkan ginjalnya, agar suami saya bisa pulih kembali dan tak perlu lagi melakukan cuci darah..." mbak Maya melanjutkan ceritanya dengan sesekali tersenyum pahit. Wajahnya yang tadi terlihat ceria, tiba-tiba menjadi kian murung.
"maafkan saya, mbak..." ucap saya pelan, dengan perasaan bersalah tiba-tiba.
"kenapa kamu harus minta maaf?" tanya mbak Maya dengan kening berkerut.
"karena telah membuat mbak Maya menjadi sedih..."
Mbak Maya tertawa kecil, setetes air mata tergenang dimatanya. Perlahan mbak Maya mengusap pipinya sendiri. Ia menarik napas cukup dalam.

"Ibumu kapan akan dioperasi?" tanya mbak Maya mencoba mengalihkan pembicaraan.
Aku terdiam lagi, kali ini cukup lama. Ada rasa perih menggores hatiku kembali, mengingat kondisi Ibu saat ini. Terlebih karena saya merasa tidak bisa berbuat apa-apa untuk menyelamatkan Ibu.
"saya belum punya biaya untuk operasi Ibu, mbak..." jawabku akhirnya dengan suara tertekan.
Kulihat mbak Maya memalingkan wajahnya menatapku. Aku tiba-tiba tertunduk lesuh.
"saya sudah tidak punya siapa-siapa lagi selain Ibu. Ayah sudah lama meninggal. Adik-adik saya masih kecil-kecil. Saya tidak punya sanak saudara di kota ini. Saya tidak tahu lagi harus melakukan apa, agar bisa mendapatkan uang dengan cepat untuk biaya operasi Ibu...." suaraku terdengar lirih. Aku merasakan mataku mulai berkaca. Kutarik napasku perlahan, sekedar menenangkan hatiku.

Tiba-tiba suasana terasa begitu sunyi. Kulirik jam di dinding ruang tunggu, sudah hampir jam dua belas malam. Aku melirik mbak Maya yang terlihat sedang berpikir keras. Beberapa orang masih terlihat sibuk lalu lalang di teras luar rumah sakit.
"saya mau menawarkan sesuatu sama kamu..." tiba-tiba mbak Maya membuka suara.
Aku hanya melirik beberapa saat, kemudian mengalihkan pandanganku ke depan.
"tawaran apa?" tanyaku sedikit penasaran.
Mbak Maya menatapku sesaat, kemudian menarik napas lagi.
"saya akan bantu kamu untuk mendapatkan biaya operasi Ibu kamu. Dan bahkan jika kamu bersedia, kamu bisa dapatkan uang dengan jumlah yang besar. Bisa buat operasi Ibumu dan juga sisanya bisa buat kamu buka usaha..." ucap mbak Maya terdengar bersungguh-sungguh. "tapi tentu saja ada syaratnya.."
"syarat? syarat apa?" tanyaku lagi semakin penasaran.
"tapi ini jika kamu mau ya. Saya gak bakal maksa, kok. Tapi kamu harus pikirkan Ibumu, Diko." mbak Maya berbicara lagi, kali ini ia memutar tubuhnya menghadapku.

"saya akan bantu biaya operasi Ibu kamu, dan bahkan saya akan kasih kamu uang lebih banyak lagi. Jika kamu bersedia menjadi pendonor ginjal bagi suami saya...." pelan suara mbak Maya berucap, namun ucapannya itu, yang lebih terdengar sedikit memohon, membuat saya cukup terkesima. Sungguh tak pernah terpikir olehku, jika mbak Maya yang baru saja aku kenal, bisa berpikiran demikian dan bahkan menawarkan hal tersebut kepadaku.
Tiba-tiba saja aku menjadi bimbang. Hatiku cukup tersentuh untuk mempertimbangkan tawaran tersebut. Biar bagaimanapun aku memang sedang membutuhkan banyak uang, terutama untuk operasi Ibu. Tapi apa harus dengan menjual ginjalku? tanyaku membathin.
"sebenarnya kita saling bantu, Diko. Saya bantu kamu untuk biaya operasi Ibumu, kamu bantu saya untuk mendonorkan ginjal buat suami saya..." mbak Maya berucap lagi berusaha meyakinkan.

Bagi saya, apa pun istilahnya, tetap saja itu artinya saya harus menjual ginjal saya untuk mendapatkan sejumlah uang. Saya pernah dengar tentang seseorang yang rela menjual organ tubuhnya untuk mendapatkan uang. Namun saya tidak pernah terpikir, jika hal itu akan terjadi dalam kehidupan saya.
"kamu bisa pikirkan lagi hal ini, Diko. Dan jika kamu sudah punya keputusan, kamu tahu harus mencari saya dimana..." setelah berucap demikian, mbak Maya pun berdiri, lalu melangkah dengan pelan meninggalkan saya sendirian.

**********

Malam itu mataku semakin enggan terpejam. Semua kisah perjalanan hidupku seakan melintas jelas dipikiranku. Kembali aku teringat tentang beasiswa-ku yang akan segera dihentikan, tentang Ibu yang terbaring lemas yang harus segera dioperasi. Dan tentang tawaran dari mbak Maya.
Aku melangkahkan kakiku mencari warnet yang masih buka malam itu. Aku berniat mencari informasi tentang donor ginjal. Aku ingin mencari tahu, hal apa yang akan menimpaku jika aku harus mendonorkan salah satu ginjalku.
Perlahan aku pun mengetik beberapa kalimat di menu pencarian google pada layar komputer warnet. Sebuah website pertama yang muncul ialah tentang larangan agama mengenai menjual ginjal. Saya membuka website itu beberapa saat. Dari awal saya tahu, jika hal itu memang salah, terlepas dari apapun alasannya.

Tapi saat ini, dalam pikiranku, hanya itu satu-satunya jalan keluar dari persoalan yang sedang aku hadapi. Terlepas dari hal itu diperbolehkan atau tidak.
Aku mencari-cari lagi tentang donor ginjal di komputer tersebut. Ada banyak resiko yang bisa saja terjadi padaku, jika tetap melakukan donor ginjal. Diantaranya mungkin, menurunnya stamina saya secara signifikan.
Tapi bukannya mbak Maya menjanjikan saya sejumlah uang yang banyak. Dengan uang itu, selain bisa saya gunakan untuk operasi Ibu, tentu saja sisanya bisa saya gunakan untuk membuka usaha. Dengan begitu saya juga tidak harus bekerja terlalu keras lagi.

Berdasarkan hal tersebut, saya pun akhirnya menemui mbak Maya pada malam berikutnya. Bagi saya semakin cepat Ibu dioperasi, tentunya akan semakin baik untuk kesehatannya.
"saya bersedia, mbak.." ucapku dengan nada penuh keyakinan. "tapi saya ingin melakukan pendonoran, setelah Ibu saya selesai dioperasi.." lanjutku lagi.

"oke! saya setuju.." balas mbak Maya dengan senyum mengembang, "saya akan sampaikan hal ini pada pihak keluarga." lanjutnya. "tapi dalam hal ini, kamu harus mengaku kepada pihak rumah sakit, bahwa kamu adalah salah satu anggota keluarga dari suami saya..."
"yap!" saya mengangguk setuju, "tapi saya minta hal ini dirahasiakan, terutama kepada Ibu dan adik-adik saya.." saya melanjutkan dengan suara pelan.
Mbak Maya pun menjabat tanganku erat. Aku hanya tersenyum getir. Aku sadar betul, apa yang aku lakukan adalah sebuah kesalahan dan sangat beresiko. Namun semua ini hanya demi Ibu dan adik-adikku. Apa pun akan aku lakukan untuk mereka. Meski pun nyawa taruhannya.

******
Setelah semua kesepakatanku dengan mbak Maya, dan dengan rencana yang diatur sekian rupa. Ibu akhirnya menjalani operasi. Aku tahu Ibu pasti bertanya-tanya, dari mana aku mendapatkan uang untuk operasinya. Tapi aku berusaha meyakinkan Ibu bahwa hal itu tidak harus ia pikirkan.
Operasi Ibu berjalan dengan lancar. Setelah beberapa hari, Ibu pun sudah diperbolehkan pulang. Aku tersenyum bahagia melihat Ibu sudah pulih kembali. Meski tetap saja, kata dokter, Ibu tidak boleh bekerja terlalu keras lagi.
Sesuai perjanjian, setelah beberapa hari Ibu dirumah, aku pun melakukan transplantasi ginjal untuk suami mbak Maya. Butuh beberapa hari sih, makanya aku beralasan sama Ibu, kalau aku sedang ada tugas kuliah keluar daerah selama beberapa hari.

Pendonoran ginjalku dengan suami mbak Maya berjalan lancar. Suami mbak Maya mulai membaik. Aku pun merasa cukup baik, meski awal-awalnya aku merasa selalu lemas dan mudah merasa lelah. Namun semakin hari, aku semakin terbiasa dengan kondisi tubuhku yang baru.
Mbak Maya menepati janjinya. Ia memberiku sejumlah uang, yang menurutku sangat banyak. Dengan uang itu, aku mulai membuka usaha di rumah. Aku menambah besar bagian depan rumahku, untuk tempat usaha baruku. Aku mencoba membuka usaha warung bakso dengan mempekerjakan beberapa orang pekerja. Biar bagaimana pun aku dan Ibu sudah tidak bisa melakukan pekerjaan yang berat.

Dan Ibu, tentu saja beliau tidak tahu apa yang terjadi sebenarnya.
"saya dapat proyek besar bareng teman. Dan keuntungannya bisa buat biaya operasi Ibu dan juga buat buka usaha ini...." ucapku beralasan pada Ibu, ketika beliau akhirnya mempertanyakan hal tersebut.
Ibu hanya tersenyum simpul. Aku tahu Ibu tidak sepenuhnya percaya. Namun aku juga tidak mungkin mengatakan yang sebenarnya. Biar bagaimanapun Ibu tidak boleh tahu...

Kecuali, kelak suatu saat aku harus menerima semua efek samping dari kesalahanku tersebut......

Sekian...

Ketika sang Mentari Terbenam di Ufuk (part 3)

"apa itu benar?" tanya Nico dengan nada datar.
Arini hanya terdiam. Dia tidak tahu bagaimana harus menjelaskannya kepada Nico.
"jawab saya, Arini. Apa benar kalau kamu mendekati saya, karena permintaan Keyla?" Nico bertanya lagi, kali ini suaranya sedikit tinggi. "apa benar kamu mendekati saya hanya untuk membuat saya jatuh cinta, lalu kemudian akan kamu tinggalkan?" lanjutnya lagi.
Arini membersit hidungnya, badannya masih terasa kurang sehat. Namun Nico memaksanya untuk bertemu. Mereka bertemu di sebuah taman yang berada di kompleks perrumahan tersebut.
Arini sudah menduga, jika Keyla pasti akan menceritakan hal tersebut kepada Nico. Tapi ia tak menyangka, Keyla akan mengarang cerita yang membuatnya terpojok.
"apa yang dikatakan Keyla itu benar?" Nico mengulang pertanyaannya. Ia menatap Arini tajam.
Arini menarik napas, ia mengangguk pelan.

"tapi tidak semuanya, Nic. Ada bagian yang ditambah-tambahkan oleh Keyla..." ucap Arini cepat. Ia tidak ingin Nico salah paham. Biar bagaimana pun ia merasa cukup nyaman selama beberapa bulan jalan bareng Nico.
"saya ingin tahu, bagian mana dari cerita Keyla yang ia karang?" tanya Nico, setelah beberapa saat ia terdiam. Nico mencoba menahan hatinya yang bergejolak. Ia hanya ingin tahu, apa sebenarnya yang telah terjadi.


Arini menarik napas lagi kemudian tertunduk. Perlahan ia pun menceritakan tentang apa yang ia sepakati dengan Keyla. Tentang bagaimana ia akhirnya terjebak karena permintaan Keyla.
"dan kamu menerimanya begitu saja?" tanya Nico, setelah mendengar penjelasan Arini.
"saya sudah berusaha menolak, Nic. Tapi kamu kan tahu sendiri, bagaimana watak Keyla..." balas Arini terdengar lemah. "kamu marah sama saya, Nic?" lanjutnya bertanya, sekedar meyakinkan dirinya sendiri kalau Nico bisa menerima semua penjelasannya.
Sesaat Nico terdiam, kemudian menggeleng ringan.
"gak. Saya gak bisa marah sama kamu. Saya terlanjur suka sama kamu, Rin. Saya sudah sayang banget sama kamu. Lagi pula, jika ceritamu benar, dalam hal ini kamu gak salah apa-apa.." ucapnya.
Arini menarik napas lega. Kemudian ia menyunggingkan senyum tipis.


"jadi apa sekarang kamu sudah punya jawabannya?" tanya Nico akhirnya setelah mereka terdiam beberapa saat.
"jawaban apa?" tanya balik Arini spontan.
"jawaban tentang...... apa kamu mau jadi pacar saya?" balas Nico dengan suara tertahan.
Arini menarik napas lagi, kali ini lebih panjang.
"kamu terlalu sempurna buatku, Nic..." jawab Arini dengan suara yang sangat pelan, "kamu cowok baik, kaya dan populer di sekolah. Rasanya sangat tidak pantas jika kamu memilih saya untuk jadi pacarmu..." lanjutnya.
"apa itu artinya kamu gak suka sama saya?" tanya Nico lagi, matanya menatap lembut wajah gadis cantik yang duduk di depannya.

"saya suka sama kamu, Nic. Sejak dulu malah. Tapi seperti yang saya bilang, kamu itu terlalu sempurna buat saya. Saya takut nantinya akan membuat kamu kecewa, karena saya hanya cewek miskin...."
"bisa gak, kamu gak ngomong seperti itu." Nico memotong cepat, "dimata saya, kamu itu sempurna, Rin. Saya juga tidak peduli tentang status kamu. Yang saya tahu, saya jatuh cinta dengan semua kesederhanaanmu itu..."
"tapi apa kamu gak malu, punya pacar yang cuma anak seorang pembantu?"
"untuk apa saya harus malu? justru saya merasa sangat bahagia, jika bisa bersama kamu.."
"kamu bisa ngomong gitu, Nic. Tapi bagaimana dengan teman-teman kamu? dengan keluarga kamu? Apa mereka bisa menerima saya, seperti halnya kamu?"
"kamu gak usah pikirkan mereka, Rin. Jika kamu mau menerima saya, mereka juga harus bisa menerima kamu. Lagian saya juga tidak peduli dengan semua itu. Saya benar-benar mencintai kamu, Rin. Tak peduli orang-orang menyukainya atau tidak. Saya hanya ingin bersama kamu, Rin..."

Arini termangu. Sejujurnya ia merasa sangat bahagia mendengar semua yang Nico ucapkan. Namun tetap saja ia merasa semua itu terlalu berat untuk ia jalani. Bukan karena ia tidak mencintai Nico. Tapi justru karena ia terlalu sayang sama Nico, ia tidak ingin Nico akan menjadi bahan olok-olokan bagi teman-temannya. Karena biar bagaimana pun, Arini tahu, selama ini hampir seisi sekolah selalu memandang dirinya rendah.
"tapi tetap saja, saya merasa tidak pantas, Nic.." ucap Arini menahan napas.
"kamu kenapa sih, Rin? Kenapa kamu harus merendahkan dirimu sendiri seperti itu? Seolah-olah kamu wanita hina yang tidak pantas untuk dicintai. Padahal kamu adalah wanita yang istimewa. Kamu punya sesuatu yang tidak banyak dimiliki cewek lain. Kamu punya hati yang begitu lembut, kamu pintar, dan kamu juga cantik..." ucap Nico, mencoba memberi keyakinan kepada Arini.

Arini semakin bingung. Disatu sisi ia merasa bahagia karena Nico mencintainya. Namun di sisi lain, ia merasa taku. Ia takut, Keyla dan teman-temannya akan menyiksanya lagi. Ia takut, Keyla dan semua cewek-cewek yang menginginkan Nico akan memusuhinya. Ia takut, jika suatu saat keluarga Nico tahu tentang hubungannya dengan Nico, mereka tentunya tidak akan begitu saja menerimanya.
"akan begitu banyak rintangan yang harus kita hadapi, Nic. Jika saya tetap nekat untuk bersama kamu." Arini berujar lagi, setelah cukup lama mereka terdiam.
"saya hanya mencoba realistis, Nic. Kamu itu siapa, dan saya ini siapa. Kita tidak bisa begitu saja mengabaikan hal itu..."
"tapi saya mencintai kamu, Rin. Dan jika kamu juga mencintai saya, kita akan menghadapinya bersama-sama. Kita akan buktikan kepada orang-orang bahwa kita bisa bahagia, meski dimata mereka kita ini berbeda..."
"kenyataannya kita memang beda, Nic. Kamu jangan pernah mentiadakan hal itu. Kamu harusnya lebih membuka mata. Tidak semua hal itu harus selalu tentang kita. Kita juga harus memikirkan orang lain, terutama keluarga kamu." Arini berkata sambil sesekali memainkan jemarinya sendiri. Hatinya terasa perih. Ada beban berat yang tiba-tiba saja ia rasakan di pundaknya.

Arini masih ingat, pembicaraannya dengan Ibunya beberapa hari yang lalu.
"kamu pacaran sama Nico?" tanya Ibunya yang sedang berbaring di sampingnya.
Arini menatap wajah tua Ibunya sekilas, lalu ia menggeleng ringan.
"emang kanapa, Bu? kalau saya pacaran sama Nico?" tanya Arini penasaran.
"bukan kenapa-kenapa. Ibu hanya takut, kalau kamu pacaran sama orang kaya, kamu pasti akan direndahkan oleh keluarganya. Gak ada orang kaya yang bisa menerima orang miskin seperti kita, masuk di dalam keluarganya. Kita memang miskin, Rin. Tapi kita jangan sampai kehilangan harga diri.." jawab Ibunya sambil sesekali mengusap rambut panjang Arini.

"Ibu ingin kamu menjaga jarak dengan Nico, Rin." ucap Ibunya lagi.
"kenapa, Bu?" Arini mengerutkan kening.
"karena Ibu gak mau kamu mengalami apa yang pernah Ibu alami, Rin." ujar Ibunya terdengar lemah, matanya menerawang.
"maksud Ibu apa?" Arini semakin penasaran.
"mungkin sudah saatnya kamu tahu, Rin." ucap Ibunya, sambil ia berusaha duduk.
"dulu Ibu pernah pacaran dengan anak juragan kaya di desa. Namanya Mas Seno. Kami saling mencintai, dan berjanji akan tetap bersama, walau apa pun yang akan terajdi." sang Ibu menghela napas, "namun semuanya tak berjalan seindah yang Ibu harapkan. Ketika akhirnya keluarga mas Seno tahu tentang hubungan kami, dengan serta mereka pun datang ke rumah dan meminta Ibu untuk meninggalkan mas Seno."

"Ibu pun mencoba menuruti keinginan keluarga mas Seno. Namun mas Seno tidak bisa menerimanya. Ia terus saja berusaha meyakinkan Ibu, jika ia akan membujuk keluarganya." Ibu menarik napas lagi, matanya terlihat berkaca.
"Tapi yang terjadi selanjutnya, justru orangtua mas Seno mengusir Ibu dari kampung. Mereka menghina dan mencaci maki Ibu, di depan keluarga Ibu. Mereka menganggap kalau Ibu hanya mengharapkan harta mas Seno, padahal Ibu sangat mencintai mas Seno. Orangtua Ibu tidak bisa berbuat apa-apa, biar bagaimana pun keluarga mas Seno adalah orang yang sangat berpengaruh di kampung." Ibu mengusap wajahnya sendiri, mencoba menguatkan hatinya.
"akhirnya dengan sangat terpaksa Ibu harus pergi dari kampung sendirian. Tanpa tujuan, tanpa uang..." kali ini sebulir air mata jatuh di pipi sang Ibu.

"Ibu tidak tahu harus pergi kemana. Ibu hanya terus melangkah tanpa tujuan, sampai akhirnya Ibu sampai di kota ini. Namun sesampai di kota, Ibu justru jadi korban......" bulir-bulir air mata Ibu semakin banyak. Arini mendekati Ibunya, lalu mendekapnya dari samping.
"Ibu.... ibu.... diperkosa oleh segerombolan preman.... kemudian mereka meninggalkan Ibu begitu saja. Ibu merasa sangat terpukul... hingga Ibu akhirnya tidak sadarkan diri..." sang Ibu mengusap lagi air matanya. Ia membersitkan hidung beberapa kali. Bertahun-tahu ia mencoba melupakan hal tersebut. Mencoba menguburnya sedalam-dalamnya. Ia tak ingin lagi mengingat semua itu. Namun malam itu, semua bayangan pahit di masa lalu melintas kembali.

"saat Ibu sadar, Ibu sudah berada di rumah ini. Yah, ternyata pak Abdul, papanya pak Baskoro, menemukan saya tergeletak di pinggir jalan. Karena merasa kasihan beliau membawa Ibu pulang ke rumahnya. Setelah berhari-hari Ibu pun menceritakan semuanya kepada pak Abdul. Beliau sangat perihatin melihat Ibu, lalu kemudian beliau pun mempekerjakan Ibu di rumahnya. Sejak saat itu Ibu mulai bekerja dengan pak Abdul dan Istrinya. Namun setelah tiga bulan, Ibu baru tahu, kalau Ibu telah hamil akibat perkosaan tersebut." sang Ibu menghembuskan napas berat,
"Ibu semakin terpukul, dan sempat hendak menggugurkan kandungan Ibu. Tapi pak Abdul dan istrinya segera mencegah Ibu. Beliau ingin Ibu tetap menjaga kandungan Ibu dan melahirkannya. Dan beberapa bulan kemudian kamu pun lahir, Rin....." tangis sang Ibu pun pecah saat mengakhiri ceritanya.

Arini hanya terpaku. Ia tidak ingin percaya dengan semua yang barusan ia dengar. Ia mendekap Ibunya semakin erat. Air matanya pun ikut tumpah.

"kita harus mencobanya, Rin..." suara lantang Nico membuyarkan lamunan Arini tiba-tiba.
"gak! saya gak bisa, Nic. Maaf! Tapi saya benar-benar tidak bisa..." suara Arini terbata, matanya tiba-tiba berkaca.
Nico terbengong. Dahinya berkerut. Namun sebelum ia sempat mengeluarkan suara, Arini sudah berdiri dan berjalan tergesa meninggalkannya.
"saya pulang, Nic. Dan mungkin ini terakhir kalinya kita bertemu..." ucap Arini sambil terus melangkah.
Nico yang masih sangat heran melihat tingkah Arini, spontan berdiri. Ia hendak mengejar Arini, saat ia tiba-tiba melihat Ibu Arini berdiri tak jauh dari tempat mereka mengobrol. Tatapan mata sang Ibu begitu tajam, membuat Nico merasa jengah.

Nico menghembuskan napasnya. Ia tatap langit sore itu. Sang mentari masih terlihat, meski cahayanya mulai meredup. Nico tahu, sesaat lagi sang Mentari akan meninggalkan senja. Ia pergi bersama kegelapan. Namun Nico yakin, sang mentari dan senja akan kembali bertemu. Walau dengan suasana yang berbeda.

*****

Sekian...

Ketika sang Mentari Terbenam di Ufuk (part 2)

"saya mau ngomong sesuatu sama kamu, Nic.." ucap Arini perlahan, pada suatu hari. Seperti biasa mereka pulang bareng dengan menaiki mobil mewah milik Nico.
"saya juga mau ngomong sesuatu sama kamu, Rin." balas Nico cepat. "tapi bukan di sini.." lanjutnya.
Tak lama kemudian, Nico pun membelokkan mobilnya menuju arah sebuah kafe yang berada tak jauh dari jalan yang biasa mereka lewati.
"kita ngobrolnya di dalam saja ya, Rin..." Nico berujar lagi, sambil tangannya ia arahkan ke dalam kafe.
Dengan sedikit enggan, Arini pun mengikuti langkah Nico menuju kafe tersebut. Arini merasa tidak enak, namun ia harus berbicara dengan Nico tentang Keyla.

"kamu mau ngomong apa, Rin?" tanya Nico setelah mereka mengambil tempat duduk dan memesan dua minuman.
"kamu ngomong duluan aja, Nic..." balas Arini dengan nada lemah. Sebenarnya ia tidak benar-benar yakin tentang apa yang ingin ia sampaikan kepada Nico.
Nico mengangguk setuju.
"saya... saya sebenarnya suka sama kamu, Rin. Bahkan sudah sejak lama..." ucap Nico dengan mimik serius, matanya menghujam ke arah Arini yang tiba-tiba tertunduk mendengarkannya.
Arini semakin terpaku. Ia tidak pernah menyangka jika Nico akan mengucapkan hal tersebut. Semua itu sungguh di luar dugaannya.

Arini memberanikan diri menatap kembali mata Nico. Ia masih tidak percaya dengan apa yang barusan ia dengar. Namun dari tatapan mata itu, ia melihat jika Nico bersungguh-sungguh dengan ucapannya.
Arini kembali tertunduk, tidak berani menatap lebih lama mata sendu milik Nico.
"kenapa saya?" tanya Arini akhirnya, setelah cukup lama ia terdiam.
"karena kamu beda, Rin." jawab Nico tanpa melepaskan tatapannya. "kamu tidak seperti cewek-cewek lainnya yang ada di sekolah kita, yang kebanyakan suka pamer, sok cantik dan juga suka tebar pesona. Kamu cantik dengan caramu sendiri, Rin. Kamu cewek sederhana dan juga pintar. Hal itu yang membuat saya jatuh cinta sama kamu..." lanjutnya dengan penuh perasaan.

Arini makin tertunduk mendengar semua itu. Ia memang menyukai sosok Nico, namun untuk berharap bisa bersama Nico, adalah sesuatu yang mustahil bagi Arini. Dan sekarang, Nico dengan terang-terangan mengungkapkan perasaannya. Hal itu justru membuat Arini merasa semakin serba salah.
"saya hanya cewek miskin, Nic. Saya hanya anak seorang pembantu..." suara Arini perlahan.
"saya gak peduli hal itu, Rin. Sebenarnya kita sama. Apa yang saya punyai saat ini, bukanlah seutuhnya milik saya. Itu semua adalah milik orangtua saya. Kita saat ini sama-sama tidak punya apa-apa." balas Nico ringan, "jika kamu bersedia, kita akan berjuang bersama menggapai apa yang menjadi impian kita..." lanjut Nico lagi, yang membuat Arini kian tersentuh.

Sungguh ia tak pernah menyangka, jika seorang Nico punya jalan pikiran yang sebijak itu. Hal itu justru membuat rasa kagum Arini semakin besar kepada Nico.
Tapi...
"maaf, Nic. Saya gak bisa jawab sekarang...." hanya itu yang keluar dari bibir Arini yang kering.
"yah, saya tahu. Kamu gak harus jawab sekarang, kok. Saya hanya ingin kamu tahu, kalau saya mencintai kamu..." balas Nico.

*******

"waktu sebulanmu sudah habis, Rin!" suara Keyla kasar, "jangankan mendekat, justru Nico semakin jauh dari saya! Kamu harus terima akibatnya sekarang!" lanjut Keyla, suaranya semakin meninggi.
"maafkan saya, Key. Saya...."
"cukup! Kamu gak usah ngomong lagi!" potong Keyla cepat, yang membuat Arini tertunduk.
"sekarang kamu ikut kami!" ucap Keyla lagi, kali ini ia menyuruh ketiga temannya yang lewat untuk menarik tangan Arini dengan kasar.
"kalian mau bawa saya kemana?" tanya Arini dengan nada menghiba.
"udah diam! Kamu ikut saja!" salah seorang yang memegang tangan kanan Arini mengeluarkan suara.
Dengan langkah terseret, mereka berhasil membawa Arini sampai ke toilet sekolah. Sesampai di dalam toilet, Keyla dan ketiga temannya mengunci pintu dari dalam.
"maafkan saya, Key..." suara Arini masih menghiba.

Tapi Keyla tidak memperdulikan ucapan Arini. Ia meminta ketiga temannya untuk memegang kembali kedua tangan Arini. Dengan tenaga lemas Arini mencoba meronta. Namun semuanya sia-sia. Keyla mengambil air dengan sebuah gayung, lalu menyiramkan air tersebut ke tubuh Arini. Keyla melakukan hal itu berkali-kali, hingga seluruh tubuh dan pakaian Arini basah kuyub. Arini terus saja meronta, namun pegangan di kedua tangannya sangat kuat. Arini hanya bisa menangis tersedu.
"ini pelajaran pertama buat kamu!" ucap Keyla, "setiap kali Nico mengabaikan saya, maka setiap kali pula kamu akan mendapatkan hukuman yang sama atau bahkan lebih parah lagi.." lanjutnya.
Setelah berkata demikian, Keyla dan ketiga temannya melangkah keluar meninggalkan Arini sendirian. Arini menangis tersedu-tersedu sendirian di dalam toilet. Ia menangisi nasibnya. Ia tidak bisa melawan Keyla dan teman-temannya. Ia tahu siapa Keyla. Seorang gadis manja anak seorang juragan kaya yang sangat berpengaruh. Percuma saja Arini melawan. Ia hanya bisa pasrah. Keyla akan melakukan apa saja untuk membuat Arini menderita.

Dengan langkah gontai, Arini keluar dari toilet. Ia menyelusuri tembok sekolah menuju pintu keluar. Ia hanya ingin pulang, tubuhnya terasa dingin karena basah kuyub.
"kamu kenapa, Rin?" sebuah suara menghentikan langkah Arini tiba-tiba.
Arini menoleh kearah suara itu. Nico sudah berdiri di dekatnya.
"gak... gak kenapa-kenapa." suaranya terbata, sekuat mungkin ia menahan air matanya. "saya terpeleset di toilet..." lanjutnya.
"terpeleset di toilet? Kamu jangan bohong, Rin! Kalau cuma kepeleset, gak mungkin kamu basah kuyub seperti ini...." ucap Nico tak percaya.
"saya gak bohong, Nico! Saya kepeleset, kemudian embernya tumpah..." jelas Arini berusaha meyakinkan Nico.
"saya gak percaya, Rin! Siapa yang melakukan ini sama kamu?" tanya Nico sambil memegang pundak Arini.

Arini menepis tangan Nico, "saya gak apa-apa, Nic..." ucapnya, kemudian dengan tergesa melangkah meninggalkan Nico.
"Arini! Tunggu!" Nico sedikit berteriak, mengejar langkah Arini yang sudah berada di luar pagar.
Tapi Arini semakin melebarkan langkahnya, air matanya tumpah kembali. Sebuah angkot melintas di dekatnya, segera Arini menghentikannya, kemudian dengan terburu ia menaiki angkot tersebut.
Nico tidak bisa berbuat apa-apa lagi, ia hanya berdiri terpaku melihat kepergian Arini.

********

"Keyla!" sebuah suara memaku langkah Keyla yang hendak menuju kelasnya.
"eh..Nico..." jawab Keyla dengan suara manja. "ada apa?" lanjut Keyla menatap Nico dengan senyum centilnya.
"kamu apa kan Arini?" tanya Nico dengan nada kasar.
"Arini? Kenapa Arini?" Keyla balik nanya masih dengan nada manjanya.
"kamu gak usah pura-pura gak tahu, Key. Arini sakit..."
"oh, Arini sakit? terus apa hubungannya dengan saya?" Keyla masih dengan suara manjanya.
"kemarin saya lihat Arini pulang dengan keadaan basah kuyub. Pasti kamu kan, yang mengerjai Arini?" Nico menatap tajam kearah Keyla.

Kali ini Keyla tertunduk.
"saya gak tahu, Nic.." ia berkata sedikit sengit. "lagian sebegitu pedulinya kamu sama Arini.."
"Arini gadis baik. Ia pantas mendapatkan perlakuan yang baik pula..." balas Nico tak kalah sengitnya.
"atau karena kamu sebenarnya mencintai dia..?"
"ya. Saya memang mencintai Arini! Kenapa? Kamu ada masalah?"
Keyla terdiam lagi. Ia tidak percaya jika Nico akan berkata demikian.

"kamu bodoh, Nico!" ujar Keyla akhirnya, "kenapa kamu justru suka sama Arini? Apa sih hebatnya Arini? Sampai kamu mengabaikan cewek seperti saya?" suara Keyla makin lantang. Beberapa pasang mata menatap mereka dari kejauhan.
"kamu mau tahu kenapa?" Nico ikut mengeraskan suara, "karena Arini tidak suka pamer kayak kamu. Arini tak pernah sok cantik kayak kamu!" setelah berkata demikian, Nico membalikkan badan dan segera melangkah meninggalkan Keyla.
"kamu bodoh, Nico! Arini tidak pernah menyukai kamu! Ia mendekati kamu, karena saya yang memintanya. Saya yang meminta Arini untuk mendekati kamu, agar kamu jatuh cinta pada Arini. Dan saat kamu jatuh cinta padanya, ia akan mencampakkan kamu, Nico..!!" Keyla berkata dengan sedikit berteriak.

Nico menghentikan langkahnya.
"kamu bohong, Keyla. Saya tidak percaya sama ucapanmu!"
"kamu boleh gak percaya sama saya! Tapi kamu bisa tanya langsung sama Arini..." balas Keyla, ia kemudian melangkah pergi.
Nico masih terpaku. Ia mencoba untuk tidak percaya dengan yang Keyla ucapkan barusan. Perlahan ia pun melangkah menuju kelasnya, tak pedulikan beberapa pasang mata menatapnya penuh tanya.

*****

Bersambung ...

Cari Blog Ini

Layanan

Translate