Bersama sopir truck gagah

Aku seorang janda, yang sudah punya dua orang anak. Usia ku sekarang masih 32 tahun. Dan aku baru saja bercerai dengan suami ku. Padahal pernikahan kami sudah berjalan selama kurang lebih 10 tahun.

Aku memang menikah di usia yang masih cukup muda, masih 22 tahun usia ku saat itu. Tapi aku dan mas Radit, mantan suami ku tersebut, sudah pacaran lebih dari tiga tahun, sebelum akhirnya kami memutuskan untuk menikah. Karena mas Radit sendiri, saat itu, sudah berusaia 27 tahun, dan ia juga sudah punya pekerjaan tetap.

Kami memang menikah atas dasar saling cinta. Dan pernikahan kami juga berjalan dengan sangat baik, awalnya. Semua terasa begitu indah bagi ku. Rumah tangga kami terkesan cukup bahagia. Meski pun secara ekonomi, kehidupan kami boleh dibilang cukup mapan.

Mas Radit yang memang sudah punya pekerjaan tetap sejak lama, memang punya penghasilan yang lebih dari cukup untuk kehidupan kami sehari-hari. Bahkan setelah bertahun-tahun menikah, kami juga sudah mampu membangun rumah sendiri.

Kami memang tinggal di kampung selama ini. Namun kami tetap merasa bahagia. Hari-hari yang kami lalui, terasa begitu indah dan penuh warna. Apa lagi semenjak keluarga kecil kami dilengkapi dengan kehadiran dua orang buah hati kami.

Tapi ternyata semua keindahan itu hanya mampu bertahan selama 10 tahun, karena pada akhirnya, aku pun mengetahui kalau suami ku sudah menjalin hubungan lagi dengan perempuan lain, yang jauh lebih muda dari ku.

Tentu saja, aku merasa patah hati menyadari hal tersebut. Mas Radit yang aku sangka adalah laki-laki setia selama ini, ternyata diam-diam sudah punya wanita idaman lain dalam hidupnya. Dan hal itu baru aku ketahui, setelah lebih dari dua tahun mereka menjalin hubungan dibelakang ku.

Aku kecewa, marah, depresi dan hampir gila karenanya. Aku tak sanggup menerima kenyataan tersebut. Semua itu sungguh sangat berat bagi ku. Apa lagi, kedua anak-anak ku masih cukup kecil. Anak pertama kami masih berusia 9 tahun, sedangkan si bungsu masih 4 tahun usianya.

Namun karena anak-anak ku juga, aku terpaksa harus kuat menghadapi itu semua. Suami ku lebih memilih wanita simpanannya, dari pada harus mempertahankan rumah tangga kami. Ia memilih untuk pergi bersama perempuan tersebut, serta meninggalkan aku dan anak-anak.

Kekecewaan ku begitu dalam. Aku merasa semuanya begitu menyakitkan. Apa lagi selama ini, aku memang tidak bekerja sama sekali, selain menjalankan tugas ku sebagai seorang ibu rumah tangga. Karena itu, aku menjadi sedikit linglung, ketika akhirnya mas Radit pergi.

Tapi, sekali lagi, demi anak-anak, aku memang harus tegar. Aku tidak berlarut-larut dalam kesedihan ku. Aku harus bisa bangkit kembali. Aku harus bisa menerima kenyataan tersebut. Kenyataan bahwa suami ku tidak lagi bersama ku.

Tidak mudah bagi ku untuk bisa pulih kembali. Aku masih sering menangis, bila mengingat semua itu. Namun kebersamaan ku dengan kedua buah hati ku, cukup membuat aku selalu merasa terhibur. Meski pun mereka berdua, juga merasa sangat kehilangan ayahnya.

Dengan perlahan, aku pun mencoba untuk bangkit kembali. Membasuh luka-luka ku sendiri. Melupakan semua yang pernah terjadi. Aku harus bisa pulih, setidaknya demi anak-anak ku.

Karena itu, aku pun memutuskan untuk menjual rumah kami, tanpa harus meminta persetujuan mas Radit, mantan suami ku tersebut. Aku ingin melupakan semua kenangan yang pernah terjadi di rumah tersebut. Aku ingin memulai hidup ku yang baru.

Setelah rumah itu berhasil terjual, aku pun memutuskan untuk pindah dari desa ku. Aku membeli sebidang tanah yang berada tepat di pinggir jalan lintas antar provinsi. Aku berencana untuk membuka usaha warung makan di sana. Karena hanya itu satu-satunya keahlian yang aku punya.

Beruntunglah uang hasil penjualan rumah cukup untuk aku jadikan modal untuk membuka usaha tersebut. Meski pu kedua orangtua ku dan beberapa orang keluarga ku, tidak setuju keputusan ku tersebut. Tapi aku berhasil meyakinkan mereka, kalau itu adalah jalan yang terbaik untuk aku dan anak-anak.

****

Berbulan-bulan berlalu, semenjak aku akhirnya berhasil membuka sebuah warung makan sederhana di pinggir jalan lintas antar provinsi tersebut. Semenjak aku memutuskan untuk pindah dari desa ku.

Meski pun awalnya hal itu tidak mudah bagi ku. Apa lagi kedua anak-anak ku juga harus beradaptasi lagi dengan lingkungannya yang baru. Beruntunglah di tempat tinggal kami yang baru tersebut, terdapat sebuah sekolah yang jaraknya tidak terlalu jauh dari rumah kami.

Hal itu cukup membantu aku dalam menjalankan usaha warung makan ku. Karena aku tidak harus repot-repot mengantar dan menjemput anak-anak ku ke sekolah. Sehingga aku bisa membuka warung ku dari pagi sampai malam.

Aku juga membangun sebuah rumah kecil di belakang warung kami, untuk tempat kami tinggal. Rumah itu terhubung langsung dengan warung di depannya. Sehingga lebih mempermudah segala pekerjaan ku. Baik pekerjaan rumah dan juga usaha warung makan ku.

Awalnya memang hampir tidak ada orang yang mampir di warung kami. Karena mungkin mereka belum menyadari akan keberadaan warung tersebut. Namun setelah beberapa bulan berjalan, warung makan ku pun mulai sedikit ramai. Banyak para sopir bus dan juga para sopir truck yang akhirnya sering singgah di warung ku, untuk beristirahat dan juga untuk makan-makan.

Bukan hanya para sopir bus atau pun sopir truck yang sering singgah untuk makan di warung ku, tapi juga beberapa kendaraan pribadi. Bahkan masyarakat yang tinggal di daerah tersebut, juga banyak berbelanja di warung makan ku itu.

Dengan perlahan, warung ku pun mulai berkembang. Aku juga sudah sanggup mempekerjakan dua orang pelayan, untuk membantu ku menjalankan usaha warung makan ku tersebut. Warung makan ku itu pun sudah mulai dikenal, terutama dikalangan para sopir truck.

Aku menyadari, sebagian besar dari mereka yang suka makan di warung makan ku itu, adalah karena mereka tahu, kalau aku ini merupakan seorang janda. Hal itu cukup menjadi salah satu alasan, mengapa para sopir truck jadi rajin singgah di warung ku.

Tapi aku coba mengabaikan hal tersebut. Aku berusaha tetap bersikap biasa saja akan hal itu. Meski pun tak jarang dari beberapa orang sopir truck itu, sering menggoda ku. Sering melemparkan pujian-pujian yang kadang aku sendiri sedikit geli mendengarnya.

"hei dek Mar yang cantik.. abang pesan seperti biasa yaa..." celetuk mereka. Atau..

"aduh... dek Mar ini semakin hari semakin cantik aja ya..." ucap mereka.

Kalimat-kalimat seperti memang hampir setiap hari aku dengar dari para sopir truck tersebut.

Aku tahu, kalau sebagian besar dari para sopir truck yang sering mampir di warung makan ku tersebut, mereka sudah menikah dan sudah punya anak. Karena rata-rata mereka semua sudah berusia diatas 40 tahun. Bahkan ada yang usianya sudah lebih dari 50 tahun.

Aku juga tahu, mereka semua hanya sekedar menggoda ku, karena mereka tahu kalau aku ini seorang janda. Mungkin hal itu seperti sebuah hiburan tersendiri bagi mereka. Apa lagi para sopir truck tersebut, memang sangat jarang pulang ke rumah. Mereka sangat jarang bertemu istri dan anak-anak mereka.

Aku mencoba menganggap hal tersebut, sebagai sesuatu yang biasa. Selama mereka tetap bisa menjaga sikap mereka dengan baik, tidak berusaha untuk bertindak macam-macam padaku, yah ... menurut ku apa salahnya. Toh mereka semua itu adalah pelanggan ku. Jadi aku harus tetap bersikap baik dan ramah kepada mereka semua.

****

Hari-hari berlalu, bulan pun berganti bulan, hingga hampir dua tahun, aku menjalani kehidupan seperti itu. Entahlah... entah aku bahagia dengan semua itu atau tidak. Aku tidak tahu pasti. Aku hanya mencoba untuk bertahan hidup, dan berusaha untuk memenuhi semua kebutuhan anak-anak ku.

Kedua anak-anak ku adalah prioritas bagi ku saat ini. Aku harus bisa membuat mereka hidup yang layak. Aku tidak ingin mereka merasa kekurangan apa pun, baik itu kekurang kasih sayang maupun kekurang materi. Karena hingga saat ini, mas Radit, mantan suami ku tersebut, ayah dari anak-anakku itu, tidak pernah sama sekali mengirimkan uang kepada mereka apa lagi menjenguk mereka, anak-anaknya.

Terakhir aku dengar kabar, kalau mas Radit sudah punya anak lagi bersama istri barunya. Hal itu tentu saja, membuat ia tidak lagi memikirkan kedua anak-anak ku. Meski pun sejujurnya, aku juga merasa senang akan hal tersebut. Karena dengan begitu, kedua anak-anak ku akan sepenuhnya menjadi milik ku.

Aku juga mulai merasa nyaman dengan semua ini. Aku mulai terbiasa hidup dengan kesendirian ku, tanpa seorang suami di samping ku. Hidup ku terasa lebih bebas dan tanpa beban. Aku merasa lebih baik dari kehidupan ku sebelumnya. Apa lagi sekarang kedua anak-anak ku juga sudah mulai tumbuh besar. Mereka juga terlihat sangat bahagia.

Sampai akhirnya, aku bertemu dan berkenalan dengan mas Jaka. Ia seorang sopir truck, yang baru-baru ini sering mampir di warung makan ku. Sebelumnya aku belum pernah melihat mas Jaka mampir di warung ku ini.

Ada beberapa hal yang membuat aku jadi merasa sedikit tertarik dengan kehadiran mas Jaka akhir-akhir ini di warung ku. Bukan saja karena ia memang memiliki wajah yang diatas rata-rata, apa lagi jika hanya dibandingkan dengan para sopir truck lain yang sering singgah di warung ku.

Mas Jaka memiliki raut wajah yang tampan, dengan postur tubuh yang cukup kekar serta berotot. Berbeda dengan sopir truck lainnya, yang kebanyakan berperut buncit, mas Jaka justru memiliki perut yang terlihat sixpack.

Dan bukan hanya itu, jika para sopir lain sering menggoda ku, tapi mas Jaka justru terlihat sangat pendiam. Namun ia tetap ramah dan penuh senyum. Dan senyumnya juga manis. Entah mengapa semua itu, benar-benar telah mampu menarik perhatian ku.

Meski pun aku yakin, kalau mas Jaka pasti sudah menikah, karena kalau dilihat dari tampangnya, ia mungkin sudah berusia 35 atau 37 tahun. Dan dengan semua pesonanya itu, tidak mungkin ia belum menikah, karena pasti sangat banyak perempuan yang mau dengannya.

Setidaknya begitulah penilaian ku terhadap mas Jaka, lelaki tampan si sopir truck yang baru aku kenal itu.

****

Berbulan-bulan aku mengenal mas Jaka, kami juga sudah sering ngobrol. Meski pun terlihat pendiam, mas Jaka orang yang asyik untuk diajak ngobrol. Ia sangat ramah dan penuh perhatian.

Hal itu justru membuat rasa tertarikku kini berubah menjadi rasa kagum. Aku jadi merasa sedikit penasaran dengan mas Jaka. Aku jadi ingin mengenalnya lebih dekat lagi.

"jadi.. mas Jaka memang sudah menikah ya?" tanya ku pada suatu malam, dalam usaha ku untuk lebih mengenal mas Jaka.

"hmmm... lebih tepatnya sih pernah menikah..." balas mas Jaka.

"maksudnya, mas?" tanya ku lagi.

"yah... sama seperti kamu, aku memang pernah menikah, tapi sekarang sudah tidak lagi..." balas mas Jaka, terdengar santai.

"jadi mas Jaka ini duda toh?" ucapku menegaskan.

"begitulah kira-kira... " balas mas Jaka.

"sudah berapa lama?" tanya ku sekedar ingin tahu.

"belum lama sih.. baru beberapa bulan... dan aku juga sudah punya satu orang anak..." jelas mas Jaka, seakan memberi aku peringatan akan statusnya saat ini.

"oh.." aku hanya bisa membulatkan bibir mendengar hal tersebut.

Dan entah mengapa, aku merasa senang mendengar hal tersebut. Setidaknya, kalau mas Jaka seorang duda, itu artinya aku tidak perlu harus merasa bersalah, jika aku ingin lebih dekat dengan mas Jaka. Karena kami sama-sama sudah tidak punya pasangan lagi.

Dan sejak itu pula, aku dan mas Jaka pun semakin akrab dan dekat. Mas Jaka juga semakin sering mampir di warung ku. Kami juga jadi semakin sering ngobrol. Dan entah mengapa juga, aku merasa bahagia akan hal tersebut.

Dari yang tadinya hanya rasa tertarik, kemudian berubah menjadi rasa kagum, dan kini rasa itu kembali berkembang menjadi rasa suka. Bahkan mungkin sudah menjadi rasa cinta, dan juga rasa sayang.

Yah.. suka tidak suka, sadar tidak sadar, aku memang telah jatuh cinta kepada mas Jaka. Segala perhatiannya, sikapnya yang ramah dan lembut, benar-benar telah membuat aku merasa terlena. Aku terbuai dalam gelora asmara. Aku dilanda kasmaran. Untuk yang kedua kalinya dalam hidup ku.

Meski pun aku belum tahu pasti, apa yang dirasakan oleh mas Jaka terhadap ku saat ini. Ia memang selalu baik padaku, bahkan juga kepada anak-anak ku. Ia selalu perhatian padaku. Ia juga sering membantu aku berjualan. Meski hal itu, membuat para sopir lain terlihat cemburu. Tapi mereka juga cukup sadar diri, mas Jaka bukan saingan yang sebanding bagi mereka.

***

"aku mau ngomong sesuatu sama kamu, Mar..." ucap mas Jaka pada suatu malam. Saat itu warung memang sudah tutup, dan kami mengobrol di ruang tamu rumahku. Anak-anak juga sudah pada tidur.

"mau ngomong apa sih, mas? Serius amat..." balas ku dengan nada sedikit menggoda.

"sebenarnya... aku suka sama kamu, Mar... Aku jatuh cinta sama kamu, sudah sejak lama... Maukah kamu menjadi pacarku?" ucap mas Jaka terkesan sangat blak-blakan.

Aku yang memang juga telah jatuh cinta pada mas Jaka, tentu saja merasa sangat bahagia mendengar hal tersebut. Karena itu, aku pun tersenyum sambil menatap wajah tampan milik mas Jaka.

"kok senyum gitu sih? Jawab dong..." mas Jaka berucap lagi.

"iya.. aku mau, mas. Karena aku juga cinta sama mas Jaka..." ucapku akhirnya.

Dan mas Jaka pun ikut tersenyum mendengar hal tersebut.

"kamu serius?" tanyanya, seperti berusaha meyakinkan dirinya sendiri, kalau ia tidak salah dengar.

"iya, aku serius.." balasku pelan.

"jadi mulai malam ini, kita pacaran?" tanya mas Jaka lagi.

"iya, mas.. kan sudah cukup jelas, kalau kita memang saling cinta... gak perlu jadi seperti anak ABG lagi dong..." balasku lembut.

"kalau gitu, aku boleh... cyum kamu?" mas Jaka berucap kembali.

"hmmm... gimana ya? Boleh gak ya..." aku sengaja menjawab dengan suara sedikit manja.

"ayolah... kita kita sudah resmi pacaran..." ucap mas Jaka kemudian.

"iya boleh..." balasku lagi, masih dengan suara manja.

Dan tanpa menunggu lama, mas Jaka pun mulai mendekatkan wajahnya. Pelan namun pasti, semua itu pun akhirnya terjadi.

Mungkin karena kami sama-sama sudah lama tidak merasakan hal tersebut, sehingga kami lebih mudah terbawa suasana. Dan dengan perlahan, kami mulai terhanyut dalam buaian keindahan sebuah cinta.

Hingga akhirnya malam itu, untuk pertama kalinya, setelah dua tahun aku bercerai dari mantan suami ku, aku pun bisa merasakan hal itu lagi. Aku bisa merasakan keindahan itu kembali, setelah sekian lama.

Aku merasa bahagia. Mas Jaka sangat berpengalaman. Dan aku juga ingin membuat mas Jaka tahu, kalau aku juga sudah berpengalaman dalam hal tersebut. Hingga kami sama-sama berusaha, untuk saling memberi dan menerima.

Sampai akhirnya setelah pendakian yang cukup panjang, kami pun sama-sama terhempas dalam lautan penuh cinta. Lalu kami sama-sama tersenyum penuh arti.

****

Sejak malam itu, aku dan mas Jaka memang telah resmi berpacaran. Kami jadi semakin dekat. Mas Jaka juga jadi semakin sering mampir di warung ku. Bahkan ia juga ikut membantu ku berjualan.

Mas Jaka juga cukup pandai mengambil hati anak-anak ku. Ia bisa menjadi akrab bersama anak-anak ku dengan mudah. Kedua anak ku juga terlihat sangat menyukai mas Jaka. Aku semakin merasa bahagia dengan semua itu.

Aku juga semakin merasa yakin, kalau mas Jaka adalah laki-laki yang tepat untuk ku saat ini.

Hingga berbulan-bulan berlalu. Hubungan kami juga terjalin dengan indah. Cinta ku kepada mas Jaka juga tumbuh semakin besar, dari hari ke hari. Rasanya aku tidak ingin melepaskan laki-laki itu lagi.

"jadi kapan mas Jaka akan melamar ku?" tanyaku pada suatu malam, seperti biasa.

"kamu sabar ya... aku masih butuh waktu... kita juga belum lama pacaran kan... jadi yah... kita tunggu aja beberapa bulan lagi..." balas mas Jaka.

"emangnya mau menunggu apa lagi sih, mas? Kan kita sudah sama-sama single. Kita juga bukan anak remaja lagi. Jadi...  aku rasa kita memang harus cepat-cepat nikah, mas. Sebelum orang-orang semakin curiga dengan hubungan kita..." ucapku kemudian.

"iya.. kita pasti akan nikah, kok. Tapi... gak harus sekarang... kamu sabar aja dulu..." balas mas Jaka, sedikit kurang yakin dengan ucapannya sendiri.

"oke... aku akan sabar.... tapi... aku juga tidak bisa menunggu lebih lama lagi... Aku butuh kepastian, mas." ucapku akhirnya.

****

Dan sang waktu pun terus berputar, tanpa bisa dicegah atau pun di pacu. Sudah lebih dari setahun aku dan mas Jaka berpacaran. Tapi mas Jaka belum juga berencana untuk melamar ku. Meski sudah berkali-kali aku mempertanyakan hal tersebut. Tapi jawabannya selalu sama. Dia selalu meminta aku untuk sabar.

Awalnya aku mencoba untuk sabar. Aku mencoba untuk terus mengerti. Walau pun aku tidak tahu pasti alasan apa sebenarnya, yang membuat mas Jaka belum mau menikah dengan ku.

Sampai pada suatu saat, aku akhirnya tahu, kalau mas Jaka ternyata sudah kembali lagi bersama mantan istrinya. Hal itu aku ketahui, dari cerita seorang teman sopir mas Jaka, yang cukup kenal dan dekat dengan mas Jaka.

Mulanya aku tidak percaya, tapi lelaki itu mampu meyakinkan ku, kalau apa yang ia ceritakan adalah benar adanya. Ia juga tidak mungkin berbohong.

Karena itu, aku pun memberanikan diri untuk mempertanyakan hal tersebut kepada mas Jaka.

"apa benar, kalau mas Jaka sudah rujuk lagi sama istri mas Jaka?" tanyaku ketus.

"kamu tahu hal itu dari mana?" mas Jaka justru balik bertanya.

"tidak penting aku tahu nya dari mana. Yang penting mas jawab aja pertanyaan ku, benar atau tidak.." ucapku lagi, masih terdengar ketus.

"oke... sejujurnya, iya.... aku memang sudah kembali lagi bersama istri ku, karena orangtuaku dan juga demi anak ku..." balas mas Jaka akhirnya.

Untuk sesaat aku terdiam. Meski pun aku sudah tahu pasti hal tersebut, namun tetap saja hal itu terasa menyakitkan, ketika aku harus mendengarnya langsung dari mulut mas Jaka.

"Tapi... aku sudah tidak mencintai istri ku lagi.. Aku hanya mencintai kamu, Mar.." tiba-tiba mas Jaka berucap kembali.

"gak penting kamu masih mencintainya atau tidak, mas. Tapi yang pasti saat ini, status kamu adalah suami orang. Dan aku tidak ingin menjalin hubungan apa pun dengan suami orang. Aku tidak ingin menjadi orang ketiga dalam pernikahan kalian, mas.." ucapku membalas.

"jadi lebih baik sekarang.. kita akhiri saja semua ini. Mulai sekarang, lebih baik mas Jaka jangan pernah menemui ku lagi.." aku melanjutkan.

"kamu tidak mencintai ku, Mar?" mas Jaka bertanya demikian, entah untuk tujuan apa.

"aku sangat mencintai kamu, mas. Tapi aku tidak ingin berpacaran dengan orang yang sudah menikah. Aku tidak ingin menyakiti hati istri kamu, mas. Biar bagaimana pun, aku pernah berada di posisi tersebut. Aku pernah merasakan betapa sakitnya, ketika aku tahu, kalau suami ku punya wanita lain di luar sana.." balas ku tajam.

"aku sangat mencintai kamu, Mar. Aku tak ingin kita pisah. Tapi .. aku juga tidak mungkin menceraikan istri ku lagi... Jadi.. aku mohon, Mar. jangan minta aku pergi dari hidup mu..." suara mas Jaka sedikit menghiba.

"yah... gak bisa gitu dong, mas. Itu egois namanya. Mas harus tetap memilih. Dan selama mas belum bisa menentukan pilihan, lebih baik kita jangan pernah bertemu lagi..." balasku berusaha tegas.

****

Dan sejak malam itu, mas Jaka tidak pernah lagi singgah di warung ku. Ia benar-benar pergi. Dan entah mengapa, aku merasa kecewa. Untuk kedua kalinya dalam hidupku, aku harus dikecewakan oleh orang yang aku cintai. Dan hal itu terasa sangat menyakitkan.

Padahal aku sudah terlanjur mencintai mas Jaka. Aku sudah terlanjur berharap banyak padanya. Aku terlanjur sudah menyerahkan segalanya untuknya. Tapi... pada akhirnya, mas Jaka lebih memilih untuk kembali bersama istrinya lagi.

Aku kecewa, aku merasa terluka. Aku merasa, mas Jaka hanya sekedar memanfaatkan ku selama ini. Aku hanya dijadikannya sebagai pelarian, untuk mengisi kekosongannya. Dan saat ia sudah tidak membutuhkan ku lagi, aku pun dicampakkannya.

Kini, aku kembali dengan kesendirian ku. Aku kembali dengan semua rasa sepi ku.

Namun, mungkin memang lebih baik seperti ini. Mungkin memang lebih baik, aku hidup sendiri. Tanpa ada seorang laki-laki pun dalam hidupku. Karena kehadiran mereka, hanya akan membuat luka di dalam hatiku. Aku tidak ingin lagi mengenal laki-laki mana pun.

Semoga saja, aku mampu menjalani semua ini. Semoga saja, tidak ada laki-laki yang berusaha untuk mendekati dan memanfaatkan kesendirian ku.

Yah... semoga saja...

******

Ternyata suami ku punya pria idaman lain

Ini adalah kisah ku. Kisah nyata yang aku alami dalam perjalanan hidup ku. Sebuah kisah hidup yang sebenarnya enggan untuk aku ceritakan kepada siapa pun. Tapi, aku juga butuh tempat untuk mencurahkan ini semua. Dan disinilah tempat aku menceritakannya.

Nama ku Ayu. Sebut aja begitu.

Aku berasal dari kampung. Aku anak sulung dari lima bersaudara. Orangtua ku hanyalah petani biasa di kampung. Hidup kami secara ekonomi memang cukup pas-pasan. Karena itu, aku hanya bisa sekolah sampai lulus SMA.

Setelah lulus SMA, aku pun meminta izin kepada orangtua ku, pergi merantau ke kota untuk mencari pekerjaan. Dan dengan berat hati, orangtua ku pun memberi aku izin. Karena biar bagaimana pun, mereka tidak punya alasan, membiarkan aku tetap berada di kampung.

Singkat cerita, aku pun akhirnya pergi merantau ke kota, saat usia ku masih 19 tahun waktu itu. Aku memang punya kenalan di kota, namanya tante Dewi. Dia masih ada hubungan keluarga dengan ibu ku.

Tante Dewi sudah menikah dan juga sudah punya dua orang anak. Suaminya seorang karyawan di sebuah bank swasta. Hidup mereka cukup mapan. Karena itu tante Dewi mengizinkan aku untuk tinggal sementara di rumahnya, setidaknya sampai aku mendapatkan pekerjaan.

Hingga dua bulan kemudian, aku pun diterima bekerja di sebuah mini market. Aku bekerja sebagai kasir di mini market tersebut, dengan sistem kerja di bagi secara shift. Kadang aku masuk kerja pagi, pulang sore, atau masuk kerja sore pulang malam.

Dan karena sudah bekerja, aku pun memutuskan untuk pindah dari rumah tante Dewi. Aku tinggal di sebuah kost yang berada tidak terlalu jauh dari mini market tempat aku bekerja. Setidaknya bisa aku tempuh dengan hanya berjalan kaki.

****

Bertahun-tahun aku bekerja di mini market tersebut. Semua berjalan dengan sangat baik. Aku bisa mengirimkan sebagian gaji ku kepada orangtua ku di kampung, untuk membantu biaya sekolah adik-adik ku, dan juga untuk biaya hidup mereka sehari-hari.

Kehidupan ku berjalan dengan rutinitas yang sama hampir setiap harinya. Aku mencoba menikmati itu semua. Aku berusaha bekerja sebaik-baiknya, agar aku bisa bertahan hidup di kota besar ini.

Sampai pada suatu kesempatan, aku bertemu dan berkenalan dengan seorang laki-laki. Namanya mas Danang. Kami bertemu dan berkenalan, karena mas Danang sering berbelanja di minimarket tempat aku bekerja.

Mas Danang seorang laki-laki yang usianya terpaut cukup jauh dari ku. Saat itu aku masih berusia 23 tahun, sedangkan mas Danang sudah berusia 30 tahun lebih.

Awalnya, aku mengenal mas Danang hanya sebagai pelanggan biasa. Namun lama kelamaan, kami menjadi akrab dan dekat. Mas Danang sangat baik padaku. Ia penuh perhatian.

Semakin lama mengenal mas Danang, aku semakin merasa suka padanya. Aku merasa nyaman saat bersamanya. Apa lagi secara fisik, mas Danang memang cukup menarik. Wajahnya lumayan tampan, dengan postur tubuh yang gagah dan terlihat kekar.

Sampai akhirnya, mas Danang pun mengungkapkan perasaannya padaku. Ia mengaku kalau ia telah jatuh cinta padaku, dan ingin menjalin hubungan yang serius dengan ku.

Dengan perasaan bahagia, aku pun menerima cinta mas Danang waktu itu. Aku menerimanya, karena aku juga mencintainya. Dan kami pun akhirnya berpacaran.

Tak sampai tiga bulan pacaran, mas Danang pun memutuskan untuk segera melamarku. Meski pun sebenarnya, aku belum begitu siap akan hal tersebut, namun mengingat mas usia mas Danang sendiri sudah lebih dari 30 tahun waktu itu, dan karena aku juga sangat mencintai mas Danang, aku pun menyetujui permintaannya tersebut.

Aku mengajak mas Danang untuk menemui orangtua ku di kampung, dan menyampaikan keinginan kami kepada mereka. Tentu saja orangtua ku sangat setuju akan hal tersebut. Biar bagaimana pun, selama ini, mereka cukup khawatir, melepaskan aku hidup sendirian di kota.

Dengan menerima lamaran mas Danang, dan menikah dengannya, akan membuat kekhawatiran orangtua ku jadi sedikit berkurang, karena aku sudah suami yang akan selalu menjaga ku. Setidaknya begitulah alasan orangtua ku, untuk menerima lamaran mas Danang.

Dan dengan acara yang cukup sederhana, aku dan mas Danang akhirnya menikah. Aku menikah di kampung halaman ku, seperti yang diingingkan orangtua ku.

Mas Danang sendiri adalah seorang yatim piatu, kedua orangtuanya sudah lama meninggal. Satu-satunya keluarga yang ia punya ialah kakak perempuannya, yang juga sudah menikah dan punya dua orang anak.

Mas Danang bekerja sebagai seorang asisten manger di sebuah perusahaan swasta. Secara ekonomi kehidupan mas Danang memang sudah sangat mapan. Itu juga yang menjadi salah satu alasan, mengapa mas Danang ingin segera menikah.

Setelah menikah, aku dan mas Danang pun tinggal serumah. Sebuah rumah yang mas Danang beli sendiri, dari hasil kerja kerasnya selama ini. Sebuah rumah yang cukup megah, dengan perabot yang lengkap dan mewah.

Meski pun sudah menikah, mas Danang tetap memperbolehkan aku untuk bekerja, seperti biasa. Ia ingin aku tetap punya kesibukan, dari pada hanya berdiam diri di rumah. Karena mas Danang sendiri, juga sibuk bekerja, dan jarang berada di rumah, terutama saat siang hari.

Hingga setahun kami menikah, kami pun di karuniai seorang anak laki-laki. Kebahagiaan kami kian terasa lengkap. Hari-hari kami menjadi lebih bermakna dan penuh warna.

Karena masih tetap bekerja, kami pun memperkerjakan seorang babysitter, untuk menjaga anak kami, saat kami sedang bekerja.

Dan begitulah kehidupan yang kami jalani, selama bertahun-tahun. Aku merasa bahagia dengan semua itu. Aku juga masih bisa terus mengirimkan uang kepada orangtua ku di kampung, dan mas Danang sangat mendukung hal tersebut.

****

Lima tahun berlalu, lima tahun usia pernikahan kami. Semuanya berjalan dengan baik-baik saja. Anak kami sekarang pun sudah mulai tumbuh besar, sudah empat tahun usianya saat ini.

Namun akhir-akhir ini, aku merasakan ada yang tiba-tiba berubah. Mas Danang yang aku kenal, tidak lagi seperti dulu. Ia jadi jarang pulang. Kalau pun pulang, ia hanya sekedar menengok anaknya, tapi selalu mengabaikan ku.

Akhir-akhir ini, mas Danang jadi sering pulang larut malam, bahkan tidak pulang sama sekali. Hal tersebut membuat aku mulai merasa curiga dengannya. Ia tiba-tiba saja berubah, tanpa alasan yang jelas. Padahal selama ini, kami bahkan hampir tidak pernah bertengkar sama sekali. Tapi entah mengapa, mas Danang tiba-tiba saja berubah. 

Bukan saja jadi jarang pulang, mas Danang bahkan sudah lebih dari lima bulan belakangan ini tidak pernah lagi menyentuh ku. Ia tidak lagi memberikan aku kebutuhan bathin. Ia tidak lagi menjalankan tugasnya sebagai seorang suami.

Aku pernah mempertanyakan hal tersebut, tapi mas Danang hanya menjawab, kalau ia lagi banyak pekerjaan dan selalu merasa capek, hingga butuh waktu untuk istirahat.

Aku mencoba mengerti akan hal tersebut. Aku mencoba untuk memahaminya. Namun hal itu tetap terus terjadi. Mas Danang semakin tidak peduli dengan ku. Ia seperti sengaja mengabaikan ku. Dan aku merasa tidak dianggap sama sekali.

Aku semakin curiga dengan mas Danang. Ia jadi jarang pulang, tidak pernah lagi memenuhi kebutuhan bathin ku, sebagai seorang istri. Aku mulai berpikir macam-macam tentangnya.

Jangan-jangan mas Danang memang sudah punya perempuan lain di luar sana. Jangan-jangan mas Danang sudah punya simpanan. Karena itu ia jadi jarang pulang.

Sebagai seorang istri, aku pun kembali mempertanyakan hal tersebut kepada mas Danang. Tapi sekali lagi, mas Danang seperti enggan untuk membahas hal tersebut. Ia selalu menghindar, setiap kali aku membicarakan tentang perubahannya itu.

Aku jadi semakin penasaran. Aku benar-benar ingin tahu, apa yang terjadi sebenarnya? Apa yang membuat mas Danang tiba-tiba berubah?

*****

Karena merasa penasaran dan selalu dihantui perasaan curiga, aku pun memutuskan untuk mulai mencari tahu akan hal tersebut.

Hingga pada suatu malam, saat itu malam minggu. seperti biasa mas Danang pergi dari rumah tanpa berpamitan padaku. Karena itu, aku coba menguntitnya malam itu. Aku ingin tahu, apa yang dilakukan mas Danang di luar rumah, terutama saat malam minggu seperti ini.

Dengan menaiki sebuah taksi, aku mengikuti mobil mas Danang. Aku mengikutinya, dengan tetap menjaga jarak. Karena aku tidak ingin mas Danang tahu. Dan itu pasti akan membuatnya marah.

Aku melihat mas Danang berhenti di depan sebuah gedung apartemen, tapi ia tidak keluar dari mobilnya. Sampai seorang laki-laki mudah menghampiri mobilnya, dan langusng masuk ke dalam mobil mas Danang.

Oh, ternyata aku yang terlalu berprasangka. Itu hanya seorang laki-laki, dan mungkin saja hanya teman kerjanya.

Tak lama kemudian, mobil mas Danang kembali meluncur di jalanan. Aku kembali meminta sopir taksi untuk mengikuti mobil tersebut.

Setelah beberapa saat, mobil mas Danang kembali menepi. Kali ini ia parkir di depan sebuah restoran mewah. Mas Danang turun hampir bersamaan dengan laki-laki temannya tadi. Kemudian mereka pun melangkah masuk ke dalam restoran.

Mungkin mereka sedang membicarakan tentang pekerjaan mereka di restoran ini. Pikir ku membathin.

Aku mencoba menunggu di dalam taksi. Aku masih penasaran, mengapa mereka hanya makan malam berdua? Apa gak ada teman kerjanya yang lain, yang ikut makan bersama mereka?

Aku memperhatikan dari kejauhan. Aku dapat melihat dengan sayup-sayup, mereka berdua duduk saling berhadapan, sambil menikmati makanan mereka. Dan aku juga bisa melihat, kalau mereka mengobrol terlihat sangat akrab.

Setelah lebih dari satu jam menunggu, akhirnya mereka berdua keluar juga dari restoran tersebut. Mereka langsung menuju mobil, dan masuk ke dalamnya. Mobil itu kembali berjalan menuju arah yang berlawanan dari arah mereka datang tadi.

Aku kembali meminta pak sopir untuk mengikutinya lagi. Hingga tak lama berselang, mobil mas Danang kembali berhenti. Kali ini justru di depan gedung sebuah hotel mewah. Yang membuat ku semakin merasa curiga.

Tapi bukankah mas Danang hanya bersama seorang laki-laki? Mungkin saja mereka masih melanjutkan pembicaraan mereka tentang pekerjaan mereka, yang mungkin belum selesai saat di restoran tadi.

Tapi mengapa harus di hotel? Dan ini malam minggu. Sedikit aneh sih, menurut ku.

Mas Danang dan teman lelakinya itu, terlihat turun dengan santai dari mobil. Mereka berjalan beriringan menuju lobi hotel. Aku mencoba turun dari taksi, dan mulai mengikuti mereka dengan pelan. Sambil tetap menjaga jarak, agar tidak terlihat.

Setelah berbicara beberapa saat dengan resepsionis hotel, mereka berdua segera menuju lift hotel tersebut, dan langung masuk ke dalamnya.

Aku pun segera menuju resepsionis tadi. Mencoba mencari tahu, di kamar mana mereka menuju. Meski pun awalnya resepsionis tersebut, enggan memberikan informasi apa pun padaku, tapi setelah aku beri ia sedikit uang, ia pun mengatakan nomor kamar tempat mas Danang dan lelaki itu berada.

Aku menaiki lift dan menuju lantai tempat kamar yang disebutkan resepsionis tadi. Aku segera berada di depan kamar tersebut, yang pintunya sudah tertutup rapi.

Sampai disitu aku ragu, antara ingin mengetuk pintu kamar tersebut atau tidak. Kalau aku mengetuk, pasti mas Danang akan marah padaku, karena sudah menguntitnya sampai kesini. Tapi kalau tidak, aku tidak mendapatkan jawaban apa-apa.

Akhirnya aku nekat.

Aku ketuk pintu kamar itu dengan pelan. Cukup lama.

Hingga pintu itu pun terbuka sedikit. Seraut wajah muncul di pintu yang terbuka. Seraut wajah laki-laki muda, yang terlihat tampan dan manis.

"iya.. ada apa, mbak?" tanya laki-laki itu ramah.

"hmmm... saya... saya.. mau bertemu mas Danang..." suara ku sedikit tercekat, apa lagi aku lihat laki-laki itu hanya memakai handuk, tanpa baju.

"mas Danang?" raut wajah laki-laki itu sedikit bingung, "maaf.. mbak ini siapa?" tanyanya ragu.

"saya istrinya.." aku berusaha berkata dengan tegas.

Wajah lelaki itu berubah seratus delapan puluh derajat. Wajahnya berubah pucat pasi. Ia terlihat sangat kaget.

"oh... tunggu sebentar..." ucapnya akhirnya, sambil kembali menutup pintu.

Aku mendengar suara berbisik samar-sama dari dalam. Entah apa yang mereka bicarakan. Aku tidak bisa mendengarnya dengan jelas.

Tak lama kemudian, pintu kembali terbuka. Mas Danang muncul dari dalam, dengan masih atau telah kembali berpakaian rapi.

"kamu ngapain kesini?" tanya mas Danang kasar, terlihat sekali kalau ia merasa terganggu dengan kehadiran ku di situ.

"kamu menguntit saya?" tanya mas Danang lagi, masih kasar, sambil ia melangkah keluar dan menutup pintu.

"saya... saya..." aku terbata, tak tahu harus mengatakan apa.

"kamu bikin malu saya aja... ayok pulang.." ucap mas Danang kemudian, mengabaikan keterbataan ku.

Mas Danang sedikit menarik tangan ku untuk segera berlalu dari depan kamar tersebut.

"kamu ... kamu ngapain disini malam-malam begini, mas?" tanya ku akhirnya, sambil mencoba mengikuti langkah kaki mas Danang menuju lift.

"sudah aku katakan, aku lagi banyak pekerjaan, dan itu tadi teman kerja ku. Kami sedang membicarakan bisnis. Kamu datang-datang bikin ribut aja..." balas mas Danang, suaranya masih terdengar sangat kesal.

"kalau memang tentang pekerjaan, mengapa harus di hotel? Malam-malam lagi.. Dan kenapa kamu gak lanjut aja? Kenapa harus pulang?" aku meluahkan semua pertanyaan yang ada di pikiran ku saat itu.

"udahlah, kamu gak bakal ngerti.." balas mas Danang tajam, "lagi pula, bagaimana kami melanjutkan urusan kami, kalau kamu tiba-tiba datang mengganggu. Perasaan teman saya jadi tidak enak.. Jadi lebih baik kita pulang sekarang..." lanjut mas Danang masih kasar.

Kami sampai ke luar hotel, lalu kemudian mas Danang terus melangkah menuju tempat parkir.

"saya pulang naik taksi aja.." kali ini suara ku sedikit ketus, karena merasa kecewa dengan sikap mas Danang barusan. Lagi pula, aku jadi malas satu mobil sama mas Danang saat ini. Sikapnya benar-benar aneh. Semua alasannya tidak masuk akal sama sekali.

****

Sejak kejadian malam itu, hubungan ku dengan mas Danang kian berantakan. Kami bahkan sudah tidak lagi saling tegur sapa. Mas Danang juga semakin jarang berada di rumah. Ia semakin mengabaikan ku.

Hingga pada suatu saat, aku terpaksa harus pulang kampung, karena aku mendapat kabar, kalau ibu ku sedang di rawat di rumah sakit. Aku terpaksa pergi malam-malam, karena kondisi ibu yang kian parah.

Aku sempat mengajak mas Danang untuk ikut, tapi ia beralasan kalau ia sedang banyak kerjaan. Aku terpaksa pergi sendiri bersama anak ku. Aku berpamitan kepada mas Danang, karena ia harus tinggal sendiri di rumah.

Di tengah perjalanan aku baru sadar, mungkin karena aku perginya buru-buru, hingga tas ku ketinggalan di dalam kamar. Padahal semua uang dan kartu-kartu ku ada di dalamnya. Aku memang pergi dengan membawa mobil sendiri, sehingga aku terpaksa harus putar arah untuk kembali lagi ke rumah.

Sesampai di rumah aku langsung masuk menuju kamar ku. Aku memang sengaja tak mengetuk pintu, karena aku yakin mas Danang pasti udah tertidur.

Dan sungguh di luar dugaan ku, kalau akan melihat sebuah pemandangan yang membuat hati ku terasa hancur.

Di dalam kamar itu, aku menyaksikan dengan mata kepala ku sendiri, kalau mas Danang sedang bermesraan dengan seorang laki-laki. Laki-laki muda yang aku temui di hotel waktu itu.

Aku benar-benar bagai melihat hantu di siang bolong, rasanya aku hampir tak percaya. Rasanya aku mau pingsan saat itu juga. Aku benar-benar shock melihat itu semua.

Kalau saja, aku melihat mas Danang bersama perempuan lain, mungkin rasa sakit yang aku rasakan tidak akan sepedih ini. Tapi... ini dengan seorang laki-laki... Sungguh tak pernah aku sangka sama sekali. Rasanya begitu sakit dan pedih. Dan aku pun hanya bisa menangis.

Mas Danang tentu saja kaget melihat kedatangan ku yang tiba-tiba. Ia segera berusaha untuk mendekati ku, tapi aku dengan spontan langsung menutup dan menghempaskan pintu kamar itu dengan kasar. Aku segera berlari kembali ke mobil.

Aku masih mendengar suara mas Danang berteriak memanggil nama ku berkali-kali. Tapi aku mengabaikannya. Aku segera masuk ke mobil dan langsung tancap gas, karena memang mesin mobil sengaja tidak aku matikan tadi.

Aku masih bisa melihat lewat kaca spion, kalau mas Danang masih berusaha mengejar ku sampai ke pintu pagar rumah kami. Tapi aku terus saja menancap gas mobil sekencang-kencangnya, meninggalkan mas Danang yang pasti sedang merasa bersalah tersebut. Beruntunglah anak ku sudah tertidur sejak tadi di jok belakang.

****

Sejak kejadian malam itu, aku tidak pernah lagi kembali ke rumah itu. Aku merasa jijik. Perbuatan suami ku benar-benar tidak bisa dimaafkan lagi. Aku sangat membencinya saat ini.

Aku meminta adik-adik ku untuk mengambil semua barang-barang ku yang berada di rumah tersebut, dan juga semua barang-barang anak ku. Aku tak sudi kembali ke rumah itu. Walau dengan alasan apa pun.

Bertahun-tahun aku hidup bersama mas Danang, bertahun-tahun aku menjadi istrinya. Aku tidak menyangka sama sekali, kalau ia adalah seorang homo.

Kalau saja, ia melakukan semua itu dengan seorang perempuan, mungkin aku masih bisa memakluminya. Dan aku akan dengan rela hati, untuk bersaing dengan perempuan tersebut, untuk mendapatkan kembali cinta mas Danang.

Tapi.. jika aku harus bersaing dengan seorang laki-laki, rasanya hal itu sangat tidak mungkin aku lakukan. Aku tidak ingin punya suami yang punya pria idaman lain. Aku jijik membayangkan hal tersebut. Aku benci mereka berdua.

Aku akan meminta cerai dari mas Danang, dan aku akan pindah ke kampung halaman ku bersama anak ku. Tidak akan aku izinkan sedetik pun mas Danang untuk menemui anak ku. Aku tidak sudi anak ku punya seorang ayah seperti mas Danang. Tidak akan!

Cukup kisah ini menjadi pelajaran berharga bagi ku. Aku tidak akan menceritakan hal tersebut kepada siapa pun. Aku juga tidak akan membongkar rahasia mas Danang. Aku hanya ingin bercerai darinya, dan tidak ingin lagi melanjutkan hidup bersamanya.

Semoga aku kuat menjalani semua ini. Semoga aku menemukan jalan yang terbaik dalam hidupku. Dan semoga aku mampu membesarkan anak ku, meski tanpa seorang suami.

Yah.. semoga saja...

****

Sopir pribadi ku

Nama ku Elsa. Usia ku sudah 35 tahun saat ini, dan aku sudah menikah. Aku juga sudah punya dua orang anak saat ini.

Suami ku namanya mas Ryan, usianya sudah hampir 40 tahun sekarang. Mas Ryan adalah seorang pengusaha yang sangat sukses.

Aku menikah dengan mas Ryan, pada saat usia ku masih 24 tahun, dan mas Ryan sudah berusia 29 tahun saat itu. Kami menikah atas dasar saling cinta dan suka sama suka. Kami bahkan sempat pacaran selama kurang lebih 2 tahun, sebelum akhirnya kami memutuskan untuk menikah.

Mas Ryan memang sudah kaya sejak dulunya. Ia anak tunggal dari seorang pengusaha kaya. Saat ini pun mas Ryan sebenarnya, sedang melanjutkan usaha keluarganya tersebut.

Sedangkan aku saat itu, hanyalah seorang gadis desa yang merantau ke kota, dan berusaha berjuang untuk bisa mendapatkan hidup yang layak.

Aku memang sempat kuliah dan berhasil lulus dengan hasil yang terbaik. Hingga aku bisa mendapatkan pekerjaan di sebuah perusahaan, sebagai karyawan biasa, dengan gaji yang masih pas-pasan.

Sampai akhirnya aku bertemu mas Ryan. Kami saling tertarik dan akhirnya saling jatuh cinta.

Hubungan kami awalnya, tentu saja ditentang oleh kedua orangtua mas Ryan. Tapi pada akhirnya mas Ryan berhasil meyakinkan mereka, kalau aku adalah wanita yang cocok untuk mendampingi hidupnya.

Kami pun akhirnya menikah, dengan sebuah pesta yang sangat meriah. Di hadiri oleh para tamu dari kalangan atas. Tapi tidak ada satu pun dari keluarga ku di kampung yang diperbolehkan hadir, kecuali kedua orangtua ku.

Dengan semua drama 'si miskin dan si kaya' tersebut, aku mencoba untuk bisa menerima semua perlakuan tidak adil itu. Apa lagi, mas Ryan selalu berhasil untuk membuat ku tetap bertahan.

Setelah menikah, kami pun pindah ke rumah kami sendiri, yang mas Ryan beli sebagai hadiah pernikahan kami. Walau sebenarnya aku yang meminta mas Ryan agar segera pindah rumah setelah kami menikah. Karena aku pasti sangat tidak tahan, hidup bersama mertua yang tidak terlalu menyukai ku.

Namun apa pun itu, aku bahagia bisa menikah dengan mas Ryan. Bukan karena ia punya kehidupan yang mewah, tapi karena memang aku sangat mencintainya, dan aku juga tahu kalau mas Ryan juga mencintai ku.

Aku dan mas Ryan memulai hidup baru, di sebuah rumah mewah dengan segala perlengkapannya yang mewah pula. Bahkan kami punya beberapa orang pembantu di rumah tersebut, beserta seorang sopir pribadi keluarga kami.

Mas Ryan memang tak pernah memberi aku kepercayaan penuh untuk membawa mobil sendiri, jika aku harus keluar rumah. Karena itu, ia memberi ku seorang sopir pribadi, untuk bisa mengantarkan aku kemana pun aku ingin pergi.

****

Bertahun-tahun pernikahan ku dengan mas Ryan berjalan dengan sangat lancar. Aku merasa bahagia dengan semua itu. Hidup yang aku jalani saat itu, adalah impian bagi hampir setiap wanita di dunia ini.

Punya suami tajir dan tampan, memiliki dua orang anak yang lucu dan pintar. Apa pun yang aku inginkan selalu tersedia. Aku bahkan tidak diperbolehkan untuk bekerja. Semua urusan dapur dan beres-beres rumah, sudah ada pembantu yang menyelesaikannya.

Untuk urusan anak-anak ku, sudah ada babysitter yang mengurusnya. Aku merasa hidup bagai seorang ratu, yang hampir sudah punya segalanya.

Namun setelah hampir delapan tahun menikah, dan anak pertama ku sudah berusia 7 tahun sedangkan anak bungsu ku sudah berusia 4 tahun, aku mulai merasa ada yang kurang dalam hidup ku.

Sesuatu yang sebenarnya sudah aku rasakan sejak lama, bahkan sejak di tahun awal-awal kami menikah. Sesuatu yang aku sebut 'kesepian'.

Yah... meski pun hidup ku bergelimang harta, tapi aku sering merasa kesepian. Aku sering merasa sendiri dan hampa. Karena jujur saja, sejak awal menikah, suami ku lebih sering menghabiskan waktu di luar rumah. Di tempat kerjanya.

Mas Ryan, memang lebih sering tidak berada di rumah, karena terlalu sibuk dengan pekerjaannya. Bahkan ia juga sering, tidak pulang selama beberapa hari, karena harus bekerja di luar kota dan juga luar negeri.

Awalnya aku coba mengerti, karena semua yang mas Ryan lakukan adalah untuk ku dan anak-anak. Namun bukan hanya materi yang aku butuhkan dari mas Ryan. Sebagai seorang istri, aku juga butuh perhatian dan kasih sayangnya.

Aku tahu, kalau mas Ryan sebenarnya sangat mencintai ku. Namun caranya mencintai ku, tidak seperti yang aku harapkan. Aku ingin mas Ryan lebih punya banyak waktu untuk ku dan anak-anak. Aku ingin mas Ryan, lebih sering berada di rumah.

Kadang aku iri melihat pasangan suami istri yang sering jalan-jalan berdua. Sering liburan bersama keluarga.

Namun mas Ryan berbeda, ia bahkan hampir tidak pernah mengajak aku dan anak-anak liburan. Kalau pun harus liburan, biasanya aku hanya bersama anak-anak dan pembantu. Mas Ryan lebih menunjukan rasa cintanya, dengan memberi aku materi yang berlimpah.

Aku jadi sering merasa kesepian, terutama di malam hari. Aku sering menangis sendiri, mengingat itu semua. Aku merasa istri yang terabaikan.

Aku pernah menyampaikan hal tersebut kepada mas Ryan, namun ia justru memarahi ku, dan menganggap aku tidak mendukung atas semua usahanya tersebut. Hingga pada akhirnya, aku tidak bisa berbuat apa-apa lagi, selain mencoba menjalani semuanya dengan lapang dada.

Aku nikmati sepi ini, dengan tetap berusaha berpikir positif. Aku coba menguatkan diri ku sendiri. Setidaknya aku masih punya anak-anak, dan kehidupan yang mewah.

Tapi biar bagaimana pun, aku ini hanyalah seorang wanita biasa. Aku juga butuh kasih sayang dan perhatian, terutama dari seorang laki-laki. Setidaknya dari suami ku sendiri. Meski hal itu sangat sulit untuk aku dapatkan.

****

Kesepian ku semakin lama semakin terasa menyiksa bagi ku. Apa lagi akhir-akhir ini mas Ryan semakin jarang pulang ke rumah. Sekali pun ia pulang, itu pun hanya untuk beristirahat sejenak, lalu pergi lagi. Aku baginya hanyalah sebuah hiasan, yang hanya ia pandang, tanpa ada keinginannya untuk menyentuh.

Aku mulai merasa terabaikan. Kesepian ku kian memuncak dan kelam.

Hingga akhirnya semua itu terjadi....

Yah... entah dari mana semua itu berawal. Namun yang pasti, aku akhirnya sebuah kesalahan. Kesalahan yang sangat besar dan fatal.

Namanya David. Dia sopir baru keluarga kami. Usianya baru sekitar 28 tahun. David sudah bekerja selama kurang lebih setahun bersama kami, semenjak sopir lama kami mengundurkan diri, karena sudah cukup tua.

David seorang pemuda yang berwajah lumayan tampan, dengan postur tubuhnya yang kekar dan terlihat sangat proporsional. Seorang laki-laki ramah dan murah senyum.

Awalnya, aku tidak begitu memperhatikan David. Bagiku ia hanyalah seorang sopir. Dan kebetulan juga, mas Ryan lah yang memperkerjakan David bersama kami, karena masih ada hubungan keluarga katanya.

Namun semakin sering menghabiskan waktu bersama David, diam-diam aku mulai memperhatikannya. Entah mengapa, aku merasa tertarik, untuk mengenal David lebih jauh lagi. Apa lagi selama ini, aku memang jarang dekat dengan seorang laki-laki.

Mas Ryan adalah pacar pertama ku, setelah menikah dengannya, aku tak pernah lagi mengenal dekat seorang laki-laki dalam hidup ku. Dan kehadiran David mampu membuatku merasa tergugah, untuk lebih dekat dengannya.

Aku menyadari, semua itu terjadi, karena mas Ryan yang sangat jarang berada di rumah. Apa lagi mas Ryan juga sangat jarang memuji ku apa lagi memanjakan ku, seperti awal-awal pernikahan kami dulu.

Aku tahu, itu bukan alasan, tapi rasa sepi ku benar-benar sudah tidak bisa aku bendung lagi. Dan kehadiran David yang masih muda, penuh perhatian dan ramah, membuat aku tak bisa menolak kehadirannya dalam pikiran ku yang sepi.

Apa lagi, aku juga sering menghabiskan waktu bersama David. Saat ia mengantarku berbelanja, saat ia mengantarku pergi arisan, atau pun saat ia mengantar dan menjemput anak-anak ke sekolah bersama ku.

David juga tinggal serumah dengan kami. Hal itu semakin membuat aku punya banyak kesempatan, untuk sekedar mengobrol dengannya.

David mampu menghiburku. Ia mampu mengusir rasa sepi ku. Tawa ku yang sempat hilang, karena selalu merasa kosong, tiba-tiba terdengar renyah kembali, dengan segala keluguan dan kelucuan yang David ciptakan untuk sekedar menghibur ku.

Aku terlena dengan semua itu. Aku mulai terhanyut dengan perasaan ku terhadap David. Pelan-pelan aku mulai mengaguminya. Ada perasaan suka menyelinap masuk ke relung hati ku yang sepi.

Rasa itu, kian lama kian berkembang. Aku tak bisa lagi membendungnya. Aku tak bisa berhenti untuk tidak memikirkan David, terutama saat malam menjelang tidur.

Wajah tampan dan tubuhnya yang gagah, selalu menghiasi fantasi liar ku. Aku terjebak dalam rasa suka yang tidak bisa aku kendalikan. Aku merasa nyaman saat bersama David. Hidupku jadi lebih berwarna karena kehadirannya.

Lalu salahkah aku, bila aku katakan aku telah jatuh cinta padanya? Salahkah aku jika pada akhirnya, ada rasa ingin memilikinya tumbuh begitu besar di hati ku? Salahkah aku jika aku ingin selalu bersamanya?

Karena hanya bersamanya aku merasa tenang dan damai. Hanya bersama aku bisa menjadi diri ku sendiri. Hanya bersamanya, aku bisa merasakan keindahan hidup.

****

Pada akhirnya, aku tidak bisa lagi memendam semua itu. Aku tidak ingin menutupinya lagi. Aku ingin David tahu, kalau aku mencintainya. Aku ingin David tahu, kalau aku menginginkannya.

Hingga akhirnya, aku pun memberanikan diri, untuk mengungkapkan semuanya kepada David secara blak-blakan. Aku ungkapkan semuanya kepada David. Dan dengan sedikit memohon, aku berharap David bisa menerima ku.

Dan sungguh di luar dugaan ku, tidak penolakan sedikit pun dari David. Dia menyambutkan dengan penuh kehangatan. Dia memberikan semua yang aku butuhkan darinya. Kasih sayang, perhatian dan cinta.

Aku yang selama ini, seperti bunga yang layu, karena tak pernah disirami, kini seakan mekar kembali. Aku yang selama ini, ibarat sumur yang kering, kini telah kembali basah, dengan air yang melimpah.

Aku tumpahkan semua kesepian ku kepada David. Aku berikan semuanya. Aku buka hatiku lebar-lebar, untuk menyambut kehadiran David yang begitu indah. Dan aku merasa sangat lega.

Segala kesepian seakan sirna seketika. Segala kehampaan ku seakan lebur menjadi satu dalam sebuah keindahan cinta yang aku persembahkan hanya untuk David.

Aku biarkan David membawa ku berlayar dalam kidung cinta yang indah. Aku menjadi sedikit liar bersama David. Mengingat sudah sangat lama, aku tak pernah lagi merasakan hal tersebut.

Dan aku terlena, terpukau dan sangat terkesan. Karena apa yang David berikan, jauh lebih indah dari apa yang pernah aku rasakan bersama mas Ryan. David benar-benar memanjakan ku dengan cara yang sangat indah.

****

Aku dan David menjalin hubungan secara diam-diam. Kami pacaran, dan sama-sama dilanda asmara. Cinta kami menyatu. Hati kami saling mengikat. Dan aku menemukan kebahagiaan lain bersama David.

Berbulan-bulan hubungan ku bersama David terjalin dengan indah. Berbulan-bulan aku merasakan semua keindahan tersebut. Dan aku merasa sangat terlena dengan semua itu.

Hingga aku merasa, seolah-olah aku bukan lagi istri dari seorang suami. Cinta ku kepada David benar-benar membuat aku lupa, akan status ku saat ini. Aku tak peduli lagi, sekali pun mas Ryan hanya pulang sekali sebulan. Aku tak peduli.

Semakin mas Ryan tidak ada di rumah, aku semakin merasa aman. Aku semakin punya banyak kesempatan untuk bisa menghabiskan waktu berdua bersama David.

Namun, tidak ada kesalahan yang akan lepas dari yang namanya hukuman. Tidak ada kesalahan yang tidak akan mendapatkan imbalannya. Semua pasti ada resikonya. Sepandai apa pun aku menyimpan bangkai, pasti akan tercium juga.

Ketika pada suatu malam, mas Ryan pulang ke rumah tanpa mengabari ku. Ia akhirnya memergoki ku bersama David di dalam kamar, yang pintunya hampir selalu lupa aku kunci. Mas Ryan dapat melihat dengan jelas apa yang sedang kami lakukan.

Aku kaget, David juga. Kami sama-sama panik dan segera saling menjauh. Namun mas Ryan sudah terlanjur melihat perbuatan kami. Ia terlihat sangat marah.

Dengan spontan mas Ryan berlari mengejar David. Sebuah pukulan mendarat di wajah David yang sudah pucat pasi tersebut. Tak berhenti hanya sampai disitu, belum sempat David memutar kepala kembali, pukulan kedua pun mengenai dagu nya, dilanjutkan dengan pukulan selanjutnya.

Saat David akhirnya terjerembab ke bawah, mas Ryan mulai menggunakan kakinya, untuk memberikan tendangan keras ke bagian perut David. David terjerit beberapa kali. Aku juga. Aku turut histeris melihat itu semua.

Tapi mas Ryan tak berniat untuk berhenti. Setelah merasa puas melampiaskan kemarahannya kepada David, ia berpindah mendekati ku. Sebuah tamparan tajam mengenani pipi ku yang sudah basah oleh air mata sejak tadi.

Aku terjerit lagi. Tapi mas Ryan tak peduli, ia kembali melayangkan tangannya padaku. Beberapa kali. Sambil terus mengucapkan segala sumpah serapahnya kepada kami berdua. Dan kami tidak bisa berbuat apa-apa, kecuali hanya saling menjerit.

Hingga akhirnya, seorang pembantu masuk dan mencoba menenangkan mas Ryan. Meski tak mudah, pembantu itu pun berhasil membawa mas Ryan untuk keluar dari kamar tersebut, yang memberi kami kesempatan untuk segara keluar dari sana.

Kejadian malam itu, begitu cepat dan begitu menyakitkan. Aku tidak pernah menduganya sama sekali. Mas Ryan memang layak untuk marah. Dan kami juga sangat layak untuk di perlakukan demikian. Bahkan lebih dari itu.

****

Akhirnya, mas Ryan mengusir aku dan David dari rumah tersebut. Ia tak pedulikan permohonan maaf kami berdua. Dan aku menyadari, kalau kami memang tidak pantas untuk mendapatkan maafnya.

Dengan sangat terpaksa aku dan David pun harus pergi dari rumah tersebut, sebelum mas Ryan berubah pikiran dan memperpanjang persoalan itu. Kami memang harus pergi.

Aku menyadari kalau kesalahan ku sangatlah fatal. Dan aku harus menerima semua hukumannya. Aku harus meninggalkan semua kehidupan mewah yang telah aku jalani selama bertahun-tahun. Dan lebih parah lagi, aku juga harus kehilangan anak-anak ku.

Mas Ryan tidak memperpanjang persoalan tersebut, dia hanya ingin kami pergi untuk selamanya, dan tidak pernah kembali lagi. Dan dia juga tidak akan mengizinkan aku untuk bertemu anak-anak ku lagi.

Aku memutuskan untuk kembali ke rumah orangtua ku di kampung, tanpa berani menceritakan apa yang telah terjadi. Aku hanya terdiam seribu bahasa, saat ibu dan ayahku mencoba mewancarai ku. Aku belum siap untuk bercerita kepada mereka, atas kesalahan ku tersebut.

Sementara, aku tak tahu lagi, bagaimana kabar David saat ini. Aku memutuskan untuk tidak lagi bertemu dengan David. Aku memutuskan untuk mengakhiri semuanya.

Kini aku hanya hidup dalam penyesalan yang tak berujung. Aku telah kehilangan semuanya. Kehidupan ku dan juga anak-anak ku. Hanya karena aku tidak bisa menahan diri, dari pahitnya rasa sepi.

Mungkin aku memang salah, karena lebih memilih mencari cara lain untuk menghilangkan kesepian ku selama ini. Seharusnya aku tidak melakukan hal tersebut. Seharusnya, aku lebih memilih, untuk membicarakannya lebih dalam bersama mas Ryan.

Tapi semua sudah terjadi. Aku tak bisa berbuat apa-apa lagi. Aku hanya bisa pasrah. Ini adalah hukuman yang pantas aku terima atas semua kesalahan ku.

Apa lagi tak lama kemudian, mas Ryan pun melayangkan surat cerai padaku. Dan dengan kekuasaannya, ia berhasil membuat hak asuh kedua anak-anak kami, jatuh sepenuhnya ke tangannya. Yang berarti aku tidak bisa lagi bertemu dengan anak-anak ku, apa pun caranya.

Aku tak bisa melawan hal tersebut. Aku tak punya kuasa akan hal itu. Aku hanya seorang wanita desa, yang mencoba mencari kebahagiaan dengan cara yang salah. Dan apa pun cerita ku, di mata orang-orang aku sudah pasti menjadi orang yang paling bersalah.

Aku juga tidak berniat untuk membenarkan diri. Mengingat hal itu memang sudah tidak penting lagi sekarang. Seperti apa pun aku berusaha untuk membenarkan tindakan ku, aku tetap berada di posisi yang dipersalahkan dalam hal ini.

Aku hanya berharap, semoga aku bisa melupakan semuanya. Aku hanya berharap, semoga aku bisa memperbaiki diri, dan menjadi orang yang lebih baik lagi. Semoga semua kejadian ini, mampu memberi pelajaran yang berharga dalam hidup ku.

Yah... semoga saja...

****

Simak kisah menarik lainnya :

Saat suami di penjara 

Bersama mama teman ku

Mama Muda (part 2)

Mama Muda (part 1)

Akibat kawin kontrak

Saat suami ku di penjara

Nama ku Hannah. Panggil aja begitu. Meski itu bukan namaku yang sebenarnya.

Aku seorang perempuan yang sudah menikah saat ini. Aku juga sudah punya seorang anak perempuan dari hasil pernikahan ku dengan mas Derry.

Mas Derry adalah suami ku, yang berusia hanya lebih tua satu tahun dari ku.

Kami menikah sekitar 15 tahun yang lalu. Atas dasar saling cinta tentunya.

Perjalanan hidupku amatlah rumit. Dan aku membenci itu semua kadang-kadang. Bukan karena aku tidak mensyukuri hidup ini. Namun hampir tidak ada satu pun hal yang terjadi dalam hidupku, yang bisa membuat aku merasa beruntung terlahir ke dunia ini.

Istilah 'perempuan baik-baik untuk laki-laki baik-baik' sangatlah melekat dalam kisah ku ini. Tapi justru yang terjadi padaku justru sebaliknya. Karena aku bukanlah 'perempuan baik-baik', maka laki-laki yang datang padaku juga bukan 'laki-laki baik-baik'.

Aku seorang yatim piatu. Ayahku meninggal pada saat aku masih berusia 5 tahun. Sedangkan ibu ku, meninggal saat aku sudah berusia 12 tahun. Masih cukup kecil sebenarnya, untuk mengerti arti sebuah kehilangan.

Namun yang pasti, sejak kedua orangtua ku meninggal, aku mulai hidup terlunta-lunta. Tanpa arah. AKu tumbuh tanpa kedua orangtua ku. Dan hal itu cukup membuat aku jadi anak yang hampir tidak punya aturan dalam hidup.

Aku punya seorang kakak cowok. Usianya lima tahun lebih tua dari ku. Tapi, kakak ku juga bukan laki-laki baik-baik. Kehilangan orangtua memang membuat kami berdua, juga kehilangan arah. Kehilangan pegangan, dan juga kehilangan semangat hidup.

Beruntunglah kedua orangtua kami masih meninggalkan sebuah rumah kecil untuk tempat kami tinggal, sehingga kami tidak perlu menjadi gelandangan. Meski pun untuk makan kami sehari-hari, terkadang kami harus mengemis.

Tumbuh tanpa orangtua yang lengkap, membuat kami menjadi salah jalan. Kakak ku hanya bisa sekolah sampai lulus SMP, sedangkan aku, hanya lulus SD. Sehingga, untuk mencari pekerjaan pun, bagi kami sangatlah sulit.

Tiga tahun setelah ibu ku meninggal, kakak harus masuk penjara, karena tertangkap maling di sebuah rumah orang kaya. Dan sejak saat itu pula, aku terpaksa menjani hidup ini sendirian.

Aku pernah mencoba bekerja menjadi pembantu di rumah seorang juragan kaya. Namun aku hanya mampu bertahan beberapa bulan. Karena sang juragan, sering melecehkan ku. Dan akhirnya aku pun kabur dari rumah tersebut.

Bertahun-tahun aku hidup di jalanan, terlunta-lunta tak tentu arah. Mengemis, mengamen dan berbagai pekerjaan memalukan lainnya yang aku lakukan, demi untuk bisa bertahan hidup.

Sampai akhirnya aku bertemu mas Derry. Seorang laki-laki yang ternyata mampu membuat aku merasa nyaman. Kami saling jatuh cinta.

Mas Derry bukan orang kaya, dia sama jahatnya dengan ku. Orang-orangnya menyebutnya seorang preman. Tapi aku gak peduli waktu itu. Karena dari sekian banyak orang yang aku kenal, hanya mas Derry yang benar-benar perhatian padaku. Sebuah perhatian yang sudah sangat lama tidak aku rasakan.

Kami memutuskan untuk menikah. Dan kami sama-sama berjanji untuk berubah. Meski pun pada waktu itu, usia ku masih 20 tahun, dan mas Derry sendiri juga masih 21 tahun. Tapi ia berjanji, akan membuat aku bahagia.

Aku tahu, mas Derry bukanlah laki-laki baik-baik. Dia suka mabuk-mabukan dan judi. Tapi aku yakin, jika sudah menikah, dia akan berubah. Dan lagi pula, aku juga bukan perempuan baik-baik. Jadi, setuju tidak setuju, kami adalah pasangan yang cocok waktu itu.

Setelah menikah, kami tinggal di rumah peninggalan orangtua ku, dan memulai hidup baru. Mas Derry sudah tidak mabuk-mabukan lagi, apa lagi judi. Ia benar-benar menepati janjinya untuk berubah. Aku juga mulai memperbaiki diri. Mencoba menjadi istri yang baik.

Dengan modal seadanya dan juga nekat, kami pun membuka usaha jualan ayam geprek di depan rumah. Meski pun awalnya hal itu tidak mudah, namun kami tidak pernah mau menyerah. Kehidupan keras yang pernah sama-sama kami lalui, membuat kami cukup kuat menghadapi itu semua.

Sampai akhirnya anak pertama kami lahir. Kami beri ia nama Amelia Putri. Kami berharap ia bisa menjadi keburuntungan dalam hidup kami kelak.

****

Lima tahun usia anak kami, Amel. Begitu kami memanggilnya. Sudah hampir enam tahun pula, usia pernikahan kami. Dan selama itu, semuanya baik-baik saja, meski secara ekonomi, hidup kami masih sering kekurangan.

Aku mencoba menikmati kebahagiaan sederhana tersebut. Mencoba menata hidup kami pelan-pelan. Hingga akhirnya, usaha ayam geprek kami pun mulai berkembang. Penghasilan kami pun mulai meningkat. Bahkan kami sudah mampu membayar seorang pekerja, untuk membantu kami berjualan.

Aku mulai bersyukur dengan keadaan tersebut. Aku mulai merasa makna hidup yang sebenarnya. Punya suami yang penyayang, punya anak yang lucu dan cantik, serta punya usaha cukup menghasilkan. Maka, nikmat mana lagi yang akan aku dustakan.

Namun hidup tidak semudah itu. Tidak. Hidup seperti itu terlalu gampang. Seperti sebuah kalimat populer mengatakan, bahwa tidak ada yang abadi di dunia ini. Semua pasti ada akhirnya.

Dan kebahagiaan singkat ku tersebut pun berakhir, saat aku mulai merasakan, ada perubahan besar yang terjadi dengan suami ku, mas Derry.

Dia berubah. Mungkin karena kehidupan kami sudah mulai membaik. Dan kebiasaan lamanya terulang kembali. Mas Derry jadi sering keluyuran malam. Ia jadi sering pulang dalam keadaan mabuk.

Aku berusaha menegurnya. Namun setiap kali aku menegurnya, setiap kali pula pertengkaran diantara kami mencuat. Rumah kami jadi tidak harmonis lagi. Aku jadi kehilangan kepercayaan pada mas Derry.

Dia berubah. Bahkan uang hasil penjualan ayam geprek kami, ia habiskan semuanya. Untuk minum-minum dan juga untuk berjudi.

Setiap kali aku berusaha mencegahnya, setiap kali pula, tangan kasarnya mendarat di pipi ku. Kami jadi semakin sering bertengkar. Rumah tangga kami kacau. Hatiku hancur. Aku masih tak percaya kalau mas Derry akan berubah sedrastis itu.

Aku jadi tidak tahan sendiri, melihat semua tingkah mas Derry. Dia bukan hanya menghabiskan uang hasil usaha kami. Dia juga sering memukul ku. Dan lebih parah lagi, sekarang mas Derry sudah berani terang-terangan mengajak teman-temannya ke rumah, untuk mabuk bersama.

Dia sudah tidak menghargai ku lagi. Dia tidak pernah memikirkan perasaan anaknya yang mulai tumbuh besar. Mas Derry sudah tidak bisa di beri toleransi lagi. Dan aku tidak akan tinggal diam. Aku tidak tahan hidup bersama suami yang pemabuk dan suka bertindak semena-mena terhadapku.

Aku pun mulai mengambil tindakan. Aku melaporkan semua perbuatannya pada pihak berwajib. Mulai dari ia yang sering memukuli ku, sering mabuk-mabukan di rumah dan juga sering menghabiskan uang hasil usaha kami.

Laporan ku di terima, karena aku punya bukti yang kuat. Bekas-bekas tamparan mas Derry cukup membuat pihak berwajib, untuk segera bisa bertindak. Hingga akhirnya, mas Derry benar-benar ditangkap. Bukan hanya karena tindakan kasarnya padaku, tapi juga karena ia sering mabuk-mabukan dan berjudi.

Semua kesalahannya, mampu membuat ia bertahan di penjara selama bertahun-tahun. Dan, entah mengapa, aku merasa sedikit lega.

Meski jujur saja, ada rasa penyesalan akan hal tersebut. Biar bagaimana pun, mas Derry adalah suami ku, ayah dari anak ku. Sebagai seorang wanita, aku masih merasa membutuhkannya. Mas Derry juga pernah menjadi laki-laki terbaik dalam hidupku.

Namun semua memang harus terjadi. Mas Derry mungkin butuh pengajaran yang lebih, agar ia bisa berubah kembali. Tapi, aku tidak lagi mengharapkan itu semua. Mau mas Derry akan berubah atau tidak, aku sudah tidak peduli. Aku merasa lebih aman, jika tidak lagi bersamanya.

****

Aku mencoba menjalani kehidupan ku sendiri, bersama anak ku satu-satunya. Meski pun aku dapat merasakan, bahwa betapa terpukulnya Amel, saat ia tahu, kalau sekarang ayahnya sudah di dalam penjara. Ia pun jadi di kucilkan oleh teman-temanya, karena hal tersebut.

Tapi aku yakin, Amel anak yang kuat. Ia pasti bisa melewati itu semua. Seperti halnya aku dulu, yang tumbuh tanpa seorang ayah.

Karena kasus suamiku, kini usaha ku pun jadi turut merosot. Orang-orang sudah tidak mau lagi berbelanja di tempat ku. Usaha ku pun jadi kembang kempis. Hal itu membuat aku jadi sedikit linglung. Sementara aku semakin butuh biaya banyak. Apa lagi Amel sekarang sudah mulai masuk sekolah.

Hidupku kembali terasa kacau. Semuanya kembali berantakan. Aku kembali menemukan diriku yang dulu. Hilang arah. Hilang pegangan. Dan aku hancur. Berantakan.

Aku mencoba bertahan, meski keadaan tak pernah benar-benar berpihak padaku. Tapi aku harus tetap berjuang, setidaknya demi anak ku, Amel. Hanya dia satu-satunya, yang membuat aku tetap kuat. Hanya dia yang membuat aku jadi merasa sedikit punya tujuan.

Aku terus berjuang, meraih kembali kepercayaan orang-orang. Mengharapkan belas kasihan mereka, karena aku adalah istri yang teraniaya. Dan aku butuh dukungan, untuk bisa pulih kembali.

Meski tak mudah, orang-orang mulai bersimpati lagi padaku. Apa lagi setelah melihat aku berusaha membesarkan anak ku sendirian. Usaha ayam geprek ku, mulai laris kembali. Penghasilan ku pun mulai bertambah. Hidup mulai membaik.

Aku berusaha untuk memberikan kasih sayang yang utuh untuk Amel. Memberikannya sekolah yang layak. Mendidiknya sebaik mungkin. Meski pun aku tahu, terkadang Amel sangat merindukan ayahnya. Tapi tak pernah sekali pun, aku coba mengjenguk mas Derry di penjara. Aku tidak ingin bertemu dengannya lagi, begitu pun aku tak ingin ia bertemu dengan Amel.

Aku bahagia dengan semua itu. Meski pun menjalani kehidupan tanpa suami, bukanlah hal yang mudah. Apa lagi di usia ku yang masih cukup muda saat itu. Tapi setidaknya, kehidupanku sudah cukup membaik. Dan hal itu sudah cukup untuk membuat aku merasa bahagia.

Namun, sekali lagi, hidup tak pernah sesimple itu. Hidup tak pernah semudah itu. Selalu saja ada kejadian, yang membuat aku jadi salah langkah.

Berawal dari perkenalan ku dengan seorang berondong manis di media sosial. Seorang laki-laki muda, namanya Angga. Usianya masih 22 tahun.

Saat itu, sudah sudah hampir sepuluh tahun, aku menjalani hidup sendiri tanpa suami. Mas Derry tak pernah lagi ku dengar kabar tentangnya. Terakhir yang aku tahu, ia kembali masuk penjara karena ulahnya ikut merampok di sebuah rumah mewah. Padahal waktu itu, ia baru keluar dari penjara.

Aku memang sudah tidak peduli lagi dengan mas Derry. Bagi ku ia hanyalah sepenggal cerita di masa lalu ku. Apa lagi setelah aku tahu, kalau penjara ternyata pun tidak mampu mengubahnya.

Mas Derry pernah beberapa kali mencoba untuk menemui ku, saat ia sudah keluar penjara, sebelum akhirnya ia masuk lagi. Tapi aku selalu menolak kedatangannya, dan berusaha agar ia tidak bisa bertemu dengan Amel.

Setelah aku tahu, kalau mas Derry kembali masuk bui. Aku pun mulai merasa sedikit lega. Setidaknya ia tidak lagi punya kesempatan untuk bisa merebut Amel dari ku. Hanya itu yang ingin aku pertahankan.

Aku pun mulai berpikir untuk menikah lagi. Setidaknya untuk mencegah, agar mas Derry tidak akan lagi mengusik kehidupan ku, jika nanti suatu saat ia keluar dari penjara. Selain itu, aku juga masih 35 tahun saat ini. Masih cukup muda. Dan aku masih butuh belaian seorang laki-laki.

Karena itu, aku pun mulai bermain media sosial. Selain untuk mempromosikan dagangan ku, aku juga sekalian mencari kenalan. Siapa tahu, ada yang cocok untuk aku jadikan suami. Setidaknya begitulah harapan ku saat ini.

Dan dari situlah aku berkenalan dengan Angga. Laki-laki muda yang aku ceritakan tadi. Seorang berondong, yang masih berusia 22 tahun.

Angga yang memulai sebenarnya. Ia yang mengirim pesan padaku duluan, ia juga yang akhirnya mengajak aku berkenalan. Meski pun aku tahu, kalau Angga, masih sangat muda. Tapi aku tetap membuka peluang untuk sekedar berkenalan dengannya.

Sampai akhirnya kami pun ketemuan, itu pun Angga juga yang meminta.

Semakin lama, kami pun semakin akrab dan dekat. Angga bahkan dengan terang-terangan, memperlihatkan ketertarikannya padaku. Aku berusaha memberi pengertian pada Angga, tentang status ku dan juga tentang jarak usia kami yang cukup jauh.

Tapi sepertinya, Angga sudah tidak peduli akan hal tersebut. Ia terus berusaha untuk membuat aku bisa menerima kehadirannya. Sampai akhirnya, aku benar-benar luluh.

Jujur saja, meski pun masih cukup muda. Angga sudah cukup dewasa dalam berpikir. Ia juga sosok laki-laki yang baik, penuh perhatian dan yang pasti secara fisik ia sangat menarik. Selain berwajah tampan, Angga juga memiliki postur tubuh yang proporsional. Gagah dan kekar.

Sebagai seorang wanita yang sudah lama hidup sendiri, aku tidak bisa memungkiri rasa ketertarikan ku pada Angga. Aku merasa nyaman bersamanya. Aku mulai menemukan kembali, kebahagiaan yang sudah lama hilang dalam hidupku. Apa lagi, Angga juga memberikan aku peluang yang besar untuk bisa bersamanya.

Akhirnya kami pun pacaran. Meski dengan perasaan ku yang masih ragu. Mungkinkah Angga akan sudi hidup bersama ku selamanya? Sementara ia tahu, kalau aku tidak lagi berusia muda.

Namun apa pun itu, Angga benar-benar memperlihatkan keseriusannya. Ia benar-benar ingin hidup bersama ku selamanya. Bahkan ia bersedia, jika aku mengizinkannya untuk menikahi ku.

Aku tahu, Angga masih muda. Dan ia belum punya pekerjaan tetap. Tapi, jika kami memang akan menikah, setidaknya aku juga sudah punya usaha sendiri. Dan aku yakin, Angga pasti bisa menjadi partner yang baik bagiku, untuk mengembangkan usaha ku tersebut.

****

Dan pada akhirnya, aku pun menyerah. Aku terima lamaran Angga untuk menikahi ku. Meski begitu banyak ocehan dan makian orang akan keputusan ku tersebut. Tapi aku tidak peduli, yang penting aku merasa bahagia.

Amel, anakku, sebenarnya tidak setuju. Tapi ia tidak bisa berbuat apa-apa. Meski pun saat ini, Amel sudah berusia 15 tahun. Namun ia tidak pernah berani membantah apa yang sudah menjadi keputusan ku.

Aku dan Angga pun menikah. Kami saling mencintai. Setidaknya begitulah yang aku ketahui.

Seperti harapan ku, setelah menikah, Angga pun mulai membantu usaha ayam geprek ku. Kami bekerja sama. Meski pun usia Angga jauh lebih muda dariku, tapi aku berusaha memperlakukannya sebagai seorang suami, seorang pemimpin.

Kehidupan kami berjalan lancar akhirnya. Aku bahagia. Aku nikmati keindahan hidup tersebut, dengan perasaan suka dan damai. Aku akan berusaha menjadi istri yang baik untuk Angga. Dan semoga pernikahan kami bisa bertahan selamanya.

Namun, sekali lagi, untuk kesekian kalinya, hidup tak pernah semudah itu, terutama bagi ku. Kebahagiaanku tak pernah utuh. Kebahagiaan ku tak pernah mampu bertahan lama dalam hidupku. Selalu saja ada hal yang membuat aku kembali terluka.

Yah... setahun pernikahan dengan Angga. Meski pun awalnya semuanya baik-baik saja. Namun pada akhirnya semua kembali menjadi berantakan.

Ketika pada akhirnya, aku tahu, kalau ternyata diam-diam, Angga dan Amel menjalin hubungan di belakang ku. Dan hal itu, membuat aku kembali hancur untuk yang kesekian kalinya.

Hubungan Angga dan Amel, aku ketahui, saat tak sengaja aku memergoki mereka berdua di dalam kamar, sedang melakukan hal yang tak semestinya mereka lakukan.

Aku marah. Kesal, kecewa, dan berbagai perasaan berkecamuk di pikiran ku saat itu. Sungguh itu semua di luar dugaan ku. Aku sama sekali tidak menyangka, kalau Angga akan tega berbuat seperti itu.

Mungkin luka ku tidak akan begitu parah, kalau seandainya Angga mengkhianati ku perempuan lain. Tapi kenyataannya, ia melakukan hal tersebut dengan Amel, anak ku sendiri. Sungguh aku tak percaya, kalau Angga adalah seorang laki-laki biadab, yang tidak punya perasaan sama sekali.

Pada akhirnya aku mengusir mereka berdua dari rumah. Meski aku tidak tahu, siapa sebenarnya yang bersalah diantara mereka. Mungkinkah ini semua salah Amel, yang masih lugu dan polos, yang ia sendiri tahu pasti, kalau Angga adalah suami ku, ayah tiri nya?

Ataukah ini sebenarnya salah Angga, yang mampu memanfaatkan keluguan Amel, yang ia sendiri tahu, kalau Amel adalah anak ku, anak tirinya?

Atau mungkin sebenarnya ini adalah salah ku, yang menikahi seorang laki-laki muda, yang lebih pantas menjadi menantu ku.

Namun apa pun itu, seperti yang aku katakan dari awal, bahwa aku bukanlah perempuan baik-baik, dan tentunya juga akan bertemu dengan laki-laki yang tidak baik. Dan bahkan kedua laki-laki yang datang dalam hidupku, tidak ada satu pun yang mencerminkan seorang laki-laki baik-baik.

Kini, aku hanya bisa menyesali semua itu.

Meski aku sendiri tidak tahu, bagian mana dalam perjalanan hidupku yang paling aku sesali.

Entah bagian karena aku pernah menikah dengan mas Derry, dan melahirkan seorang anak seperti Amel?

Entah bagian karena aku membiarkan seorang Angga masuk ke dalam hidupku?

Entah bagian karena aku yang tidak bisa mendidik anak ku dengan baik?

Atau aku menyesali semua bagian dari hidup ku. Semuanya. Dan aku membenci hidup ini, dengan cara ku.

Aku membenci setiap kejadian yang pernah terjadi dalam hidup ku.

Aku membenci, ketika ayah ku pergi di saat aku masih belum mengerti arti diri ku bagi ku.

Aku membenci, ketika ibu ku pergi di saat aku masih sangat membutuhkannya.

Aku membenci, kakak ku, yang memilih untuk hidup berantakan, tanpa memperhatikan aku sedikit pun.

Aku membenci diri ku, yang hanyut dalam semua kekecewaan tersebut.

Kini... semuanya sudah tidak ada arti lagi bagi ku. Aku juga tidak tahu, harus melakukan apa saat ini.

Aku telah kehilangan semuanya. Bahkan aku juga telah kehilangan anak ku sendiri. Anak yang aku besarkan dengan susah payah. Anak yang aku didik dengan sebaik-baiknya. Namun tetap saja, buah memang tidak akan pernah jatuh jauh dari pohonnya.

Lalu siapa sebenarnya yang salah dalam hal ini? Siapa?

Dan aku hanya terpuruk disini. Sendiri.

Tanpa pernah bisa aku temukan jawabannya.

****

Bersama mama teman ku

Aku seorang lelaki yang sudah berusia 22 tahun saat ini. Aku bekerja jadi seorang tukang parkir di sebuah mini market. Aku menjadi seorang tukang parkir sudah hampir empat tahun lamanya, setidaknya sejak aku lulus SMA.

Aku tidak kuliah, karena memang aku berasal dari keluarga yang kurang mampu. Apa lagi sejak aku lulus SMA, ayah ku sudah meninggal dunia, karena penyakit jantung yang ia derita. Sedangkan ibu ku yang sudah menua, juga mulai sering sakit-sakitan.

Sejak saat itu, aku otomatis menjadi tulang punggung keluarga ku. Aku harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup kami, dan juga untuk biaya sekolah adik-adik ku yang masih kecil-kecil. Dua adik ku masih bersekolah, dan masih butuh biaya banyak.

Menjadi tukang parkir adalah satu-satunya keahlian ku saat ini, dan juga merupakan satu-satunya sumber pendapatan ku. Meski pun sebenarnya, pendapatan ku sebagai seorang tukang parkir tidaklah pernah cukup untuk biaya hidup kami. Tapi setidaknya, aku masih punya penghasilan dan tidak harus jadi seorang pengemis.

Bertahun-tahun menjadi tukang parkir, membuat aku harus terbiasa hidup dalam kekurangan. Aku harus bisa berhemat, demi biaya hidup keluarga ku dan juga demi biaya sekolah adik-adik ku. Aku harus bisa menahan segala keinginan ku, terutama untuk hal-hal yang bersifat kemewahan.

Aku juga jadi jarang nongkrong, aku jadi hampir tidak punya teman. Dan bahkan aku belum pernah pacaran sama sekali, meski pun aku sudah sering merasa jatuh cinta pada gadis-gadis yang pernah aku kenal. Namun aku merasa cukup sadar diri, dan tidak pernah berani untuk mengungkapkan hal tersebut. Aku hanya bisa memendamnya.

Sampai pada suatu saat....

"kamu Bara kan?" suara lembut seorang wanita bertanya padaku, saat aku sedang beristirahat di teras ruko mini market tersebut.

Aku mencoba menatap wanita tersebut dengan seksama. Mencoba mengenalinya. Tapi aku tidak berhasil mengingat wanita tersebut. Apa lagi menurut ku wanita itu, sudah cukup berumur. Mungkin sudah hampir 40 tahun usianya.

"iiya... tante... saya Bara... Tapi.. maaf... tante siapa ya?" balasku akhirnya walau dengan sedikit terbata.

"oh.. kamu sudah gak ingat sama tante ya? Saya tante Caca, mama nya Derry, teman SMA kamu dulu." balas wanita tersebut, sedikit bersemangat.

Sepintas pikiran ku pun melayang ke masa-masa SMA dulu. Aku dulu memang pernah punya beberapa orang teman dekat, ketika SMA. Salah satunya ya Derry, teman ku yang paling dekat. Dulu Derry sering mengajak aku main ke rumahnya, bahkan kadang aku juga sampai menginap di rumahnya.

"oh.. iya.. tante.. sekarang saya ingat..." balasku pelan.

"kamu jadi tukang parkir sekarang?" tanya tante Caca dengan suara datar, yang membuat ku jadi tidak bisa untuk tersinggung.

"iya.. tante..." balasku masih pelan.

"kamu gak kuliah?" tante Caca bertanya kembali.

Aku hanya menggeleng menjawab pertanyaan tersebut.

"Derry gimana tante? Kuliah dimana ia sekarang?" aku mencoba bertanya untuk mengalihkan pembicaraan.

"oh.. Derry sekarang sedang kuliah di luar negeri, ikut papa nya disana.." balas tante Caca, sedikit lemah.

"sekarang tante hanya tinggal sendirian di rumah, sejak Derry dan papanya harus pindah ke luar negeri.." tiba-tiba tante Caca melanjutkan ucapannya.

"kenapa tante gak ikut kesana?" tanya blak-blakan.

Ku lihat tante Caca sedikit menghembuskan napas berat..

"panjang ceritanya, Bara..." balasnya terdengar sangat lemah.

****

Sejak saat itu, tante Caca semakin sering berbelanja di mini market tempat aku menjadi tukang parkir tersebut. Aku tidak tahu alasan apa sebenarnya yang membuat tante Caca jadi sering datang ke tempat aku bekerja. Tapi yang pasti, setiap kali ia datang, ia selalu berusaha untuk mengajak aku mengobrol. 

Dan bahkan ia juga jadi sering mengajak aku makan siang berdua dengannya. Kebetulan di samping mini market tersebut memang ada sebuah rumah makan, sehingga aku jadi tidak punya alasan untuk menolak ajakannya tersebut.

Dan semakin hari kami semakin akrab dan dekat. Tante Caca jadi sangat baik padaku. Ia jadi penuh perhatian padaku. Ia pun akhirnya dengan blak-blakan menceritakan semua kisah rumah tangganya padaku.

Tante Caca cerita, kalau dulu ia memang menikah dengan seorang bule yang berasal dari negeri Jerman. Pernikahan mereka pun menghasilkan seorang anak, yaitu Derry. Namun pernikahan mereka harus kandas, karena sang suami harus kembali ke Jerman.

Tante Caca sendiri tidak ingin ikut suaminya ke Jerman, karena ia punya bisnis sendiri yang harus ia kelola. Sementara anak mereka, Derry, setelah tamat SMA, harus kuliah di Jerman demi memenuhi keinginan papanya.

Sejak saat itu, tante Caca jadi hidup seorang diri di sebuah rumah mewah, di kawasan perumahan elit, yang berada tidak terlalu jauh dari mini market tempat aku bekerja.

Setidaknya begitulah cerita tante Caca padaku, perihal perjalanan hidup dan rumah tangganya.

"kadang... saya juga sering merasa kesepian, karena hanya tinggal sendirian di rumah..." ucap tante Caca suatu saat padaku.

"kenapa tante gak menikah lagi?" tanyaku membalas.

"tante pernah coba menjalin hubungan yang serius dengan seorang laki-laki, tapi tidak berhasil. Karena pada akhirnya tante tahu, kalau laki-laki itu hanya mengejar harta tante. Ia hanya sekedar memanfaatkan tante, bukan untuk hubungan yang serius.."

"sejak saat itu, tante jadi lebih berhati-hati dalam menjalin hubungan dengan laki-laki mana pun. Karena tante tidak ingin merasakan kekecewaan lagi. Tante memilih hidup sendiri, dari pada harus bersama laki-laki yang salah.." cerita tante Caca lagi.

"kamu sendiri gimana, Bar? Kamu udah punya pacar?" tiba-tiba tante Caca bertanya demikian, setelah suasana hening tercipta sesaat di antara kami.

"saya mana sempat mikiran soal pacar tante. Saya bisa makan dari hari ke hari saja udah syukur.." balasku pilu.

Sebenarnya, aku juga sudah cerita kepada tante Caca tentang kehidupan yang aku jalani. Tentang ibu ku yang sering sakit-sakitan, tentang ayahku yang sudah lama meninggal, dan tentang aku yang harus menjadi tulang punggung keluarga, dengan menjadi seorang tukang parkir.

"sayang loh, Bar. Kamu tu tampan, gagah.. dan punya daya tarik yang kuat. Jangan cuma karena kamu merasa kurang secara ekonomi, membuat kamu jadi kehilangan percaya diri. Padahal tante yakin, pasti banyak gadis-gadis yang suka sama kamu.." balas tante Caca.

"saya tidak bisa menjanjikan apa-apa untuk siapa pun, tante. Yang pasti saat ini, saya hanya ingin bekerja untuk membiayai hidup keluarga saya. Saya harus bisa menyekolahkan adik-adik saya, hingga mereka bisa menjadi orang sukses.." ucapku lagi, dengan nada cukup lemah.

"tante bisa bantu kamu, Bara.. Kalau kamu mau.." ucap tante Caca kemudian.

"saya jadi gak enak, tante... Tante sudah sangat baik padaku selama ini...." balasku.

"udah.. kamu santai aja... saya bisa bantu kamu untuk memenuhi semua kebutuhan hidup kamu dan juga untuk biaya sekolah adik-adik kamu. Atau bahkan kalau kamu mau, kamu gak usah jadi tukang parkir lagi, kamu kerja sama tante aja..." ucap tante Caca selanjutnya.

"tapi... saya .. cuma lulusan SMA, tante. Saya juga gak punya keahlian apa-apa.." balasku pelan.

"kamu tenang aja... kalau kamu mau bekerja sama tante, nanti akan ada yang bimbing kamu sampai kamu bisa. Dan semua biaya hidup kamu, juga biaya sekolah adik-adik kamu, bahkan biaya berobat ibu kamu juga, tante yang tanggung.. tapi.. ada syaratnya..." ucap tante Caca lagi.

"apa syaratnya, tante?" tanyaku jadi penasaran.

"nanti kamu juga pasti tahu.. sekarang, kamu bisa ikut tante dulu.." balas tante Caca sedikit misterius.

"ikut... ikut kemana?" tanya ku lagi sedikit polos.

"kita ke rumah tante dulu sekarang... setelah itu kita baru ke kantor tante, untuk bahas masalah pekerjaan baru kamu... gimana?" balas tante Caca sedikit bertanya.

"ya udah.. terserah tante aja.. saya ikut aja.." balasku akhirnya pasrah.

****

Lima belas menit kemudian, kami pun sampai ke sebuah rumah mewah milik tante Caca. Dengan perasaan sungkan, aku pun mencoba mengikuti langkah kaki tante Caca untuk memasuki rumah tersebut.

Tante Caca mempersilahkan aku duduk di ruang tamu rumahnya yang sangat mewah tersebut. Sementara ia sendiri pergi ke dapur untuk mengambil minum katanya.

Tak lama kemudian, tante Caca kembali dengan membawa dua botol air minum di tangannya. Ia pun menyerahkan sebotol minuman dingin tersebut padaku.

"jadi tante tinggal sendiri di rumah semewah ini?" tanyaku memulai pembicaraan lagi.

"iya..." balas tante Caca ringan.

"gak ada pembantu?" tanyaku lagi.

"ada sih.. tapi mereka hanya datang, jika aku membutuhkan mereka. Kalau aku tidak butuh, mereka gak bakal ada di rumah ini..." balas tante Caca lagi.

"oh. ..gitu.." ucapku sambil manggut-manggut.

"jadi gimana? Kamu bersedia kerja sama tante? Dan bersedia juga memenuhi syarat dari tante?" tanya tante Caca kemudian.

"saya bersedia tante.. tapi.. apa syaratnya?" balasku bertanya.

"syaratnya... hmmm... kamu harus mau jadi pacar tante..." suara tante Caca cukup berat.

"hah.. pacar?!" suaraku tercekat, kaget. Hampir tak percaya juga, kalau tante Caca akan berkata demikian.

"iya.. kamu mau kan jadi pacar tante? Dan jika kamu mau, selain kamu dapat pekerjaan yang layak, kamu juga akan dapatkan semua kemewahan ini.." ucap tante Caca lagi.

"tapi.. saya... saya..." suara ku masih tercekat.

"udahlah, Bara. Tante tahu, kamu pasti sudah bosan hidup menjadi orang miskin. Sekarang kamu punya kesempatan untuk merubah hidup kamu. Hanya dengan menjadi pacar tante, hidup kamu pun berubah jadi lebih baik.." ucap tante Caca lagi, yang membuat aku kian tercekat.

Aku terdiam. Sejujurnya tante Caca benar. Aku memang sudah bosan hidup dalam kemiskinan. Tapi.. apa aku harus mengorbankan harga diri ku, hanya untuk bisa hidup mewah, seperti yang aku impikan selama ini? Bathin ku meragu.

"semua terserah padamu, Bara. Tante tidak akan memaksa kamu. Pilihan ada di tangan mu. Tapi.. kalau menurut tante, tidak ada salahnya kan kalau kamu mencobanya? Toh.. semua juga demi kebaikan kamu. Kamu juga gak mungkin selamanya jadi tukang parkir, kan?" tante Caca berucap lagi.

****

Aku kembali ke rumah dengan perasaan penuh dilema. Tawaran tante Caca benar-benar mengganggu pikiran ku. Meski pun jujur saja, secara fisik, tante Caca masih cukup menarik. Tapi biar bagaimana pun, usia kami terpaut sangat jauh. Apa lagi, tante Caca juga merupakan Mama dari teman ku sendiri.

Bagaimana kalau orang-orang tahu? Bagaimana kalau ibu ku juga tahu?

Bukankah, jika aku menerima tawaran tersebut, itu berarti aku hanya memanfaatkan tante Caca. Bukan karena aku menyukainya apa lagi mencintainya?

Namun jika aku menolak, kapan lagi aku punya kesempatan untuk bisa merasakan hidup mewah seperti yang aku impikan selama ini? Aku juga tidak ingin selamanya jadi tukang parkir.

Dengan bekerja bersama tante Caca, aku jadi punya penghasilan yang besar, dan aku jadi bisa mengumpulkan uang, untuk aku jadikan modal nantinya. Setelah aku punya modal, aku akan buka usaha ku sendiri, dan setelah itu, aku akan meninggalkan tante Caca.

Setidaknya begitulah rencana ku untuk saat ini. Hanya saja, yang aku takutkan, bagaimana aku harus menjalani hari-hari ku dengan menjadi pacar tante Caca? Pasti akan sangat berat bagi ku.

Apa lagi tante Caca adalah seorang janda. Tentu saja hubungan kami bukan hanya hubungan pacaran yang biasa. Tentu saja, tante Caca, pasti akan menuntut lebih padaku. Dan sejujurnya aku belum siap untuk hal itu. Mengingat aku bahkan belum pernah pacaran sama sekali selama ini.

"justru karena kamu belum pernah pacaran, hal ini akan menjadi sangat menarik, Bara. Kamu pasti tidak akan pernah menyesalinya.." suara tante Caca sedikit mengagetkan ku, saat akhirnya, keesokan harinya, aku datang juga ke rumah tante Caca lagi.

Aku memang sudah membuat keputusan. Tapi aku juga ingin mengajukan syarat pada tante Caca.

"aku mau jadi pacar tante, tapi aku juga punya syarat.." ucapku akhirnya.

"syarat apa?" tanya tante Caca tegas.

"aku ingin hubungan kita hanya menjadi rahasia di antara kita berdua. Aku tidak ingin orang-orang tahu, kalau kita pacaran.." balasku berusaha tegas.

"oke... tante juga setuju.. Tante juga tidak ingin orang-orang tahu, kalau tante pacaran sama brondong.. Tapi yang pasti, kamu harus selalu ada kapan pun saya membutuhkan kamu.." ucap tante Caca membalas.

"saya siap untuk itu, tante.." balasku pelan.

****

Dan begitulah, sejak saat itu, aku dan tante Caca pun berpacaran. Meski pun itu semua hanya menjadi rahasia kami berdua.

Tante Caca pun memberi aku sebuah pekerjaan di kantornya. Dan aku sudah tidak lagi menjadi seorang tukang parkir. Aku juga di beri sebuah motor, agar bisa aku gunakan untuk aku berangkat kerja.

Hanya saja, hampir setiap malam, tante Caca selalu meminta aku untuk datang ke rumahnya. Bahkan kadang kala, ia juga meminta aku untuk menginap. Aku tidak bisa menolak hal tersebut. Biar bagaimana pun, itu adalah bagian dari perjanjian kami.

Aku pun mencoba menjalani itu semua. Aku mencoba memberikan yang terbaik untuk tante Caca. Aku ingin ia merasa terkesan dengan ku. Aku ingin ia yakin, kalau aku bersungguh-sungguh dengan hubungan tersebut. Sambil aku tetap menjalankan semua rencana ku dari awal.

Aku mungkin telah kehilangan harga diri ku sebagai seorang laki-laki. Tapi setidaknya, aku jadi punya kesempatan untuk bisa merubah hidupku, jadi lebih baik. Suatu saat nanti, semua ini pasti akan berlalu, dan aku pasti bisa terbebas dari tante Caca.

"kenapa harus aku?" tanya ku pada tante Caca, suatu malam, saat untuk kesekian kalinya, aku kembali berada di rumahnya.

"karena kamu sangat tampan dan gagah sekali, Bara. Sudah lama aku tidak bertemu laki-laki sesempurna kamu. Karena itu, aku rela melakukan apa saja, untuk bisa memiliki kamu.." balas tante Caca terdengar apa adanya.

Aku merasa tersanjung. Tapi tetap saja, hal itu tidak membuat aku jadi jatuh hati pada tante Caca. Aku masih merasa terpaksa melakukan itu semua. Namun aku berusaha bersikap, kalau aku juga menyukainya, terutama di depan tante Caca.

Aku hanya berharap, semua itu cepat berlalu. Aku hanya berharap, semoga aku bisa secepatnya mengumpulkan uang, agar aku bisa membuka usaha ku sendiri, dan tidak lagi bergantung pada tante Caca. Semoga saja aku mampu melewati ini semua.

Yah... semoga saja...

****

Cari Blog Ini

Layanan

Translate