Pembantu ku yang cantik (kisah nyata)

Namanya Bi Ijah, dan dia sudah berusia 45 tahun lebih. Bi Ijah juga sudah menikah dan juga sudah punya dua orang anak. Tapi suami dan anak-anaknya tinggal di kampung. Bi Ijah hanya pulang ke kampungnya, dua kali dalam setahun. Yakni saat lebaran dan juga tahun baru.

Bi Ijah sudah lebih dari sepuluh tahun bekerja menjadi pembantu di rumah kami. Saat itu, aku masih berusia sembilan tahun. Dan sekarang aku sudah berusia sembilan belas tahun, dan juga sudah kuliah.

Aku dan bi Ijah cukup dekat, karena sejak kecil, aku sudah sering tinggal bersamanya di rumah kami. Papa dan mama ku adalah dua orang yang super sibuk. Bahkan mereka hanya punya satu orang anak, yaitu aku, sebagai anak semata wayang mereka.

Secara ekonomi, kehidupan kami memang terbilang sangat mapan. Bahkan aku sendiri, juga sangat di manja. Segala keinginan ku selalu terpenuhi oelh kedua orangtua ku.

Namun begitu, sebagai seorang anak, aku selalu merasa kesepian. Karena mama dan papa jarang berada di rumah. Mereka lebih banyak menghabiskan waktu di tempat kerja. Mungkin karena itu juga, aku jadi sangat dekat dengan bi Ijah.

Aku lebih sering ngobrol bersama bi Ijah, dan menceritakan segala keluh kesah ku kepadanya. Bi Ijah juga sangat perhatian padaku. Beliau sudah menganggap ku seperti anak sendiri. Apa lagi bi Ijah juga berada jauh dari keluarganya.

Mulanya kedekatan ku dengan bi Ijah, hanya terkesan biasa saja. Hanya antara seorang pembantu dan anak majikannya. Atau hanya sekedar antara anak dan ibu nya.

Namun belakangan ini, terutama sejak aku mulai kuliah, entah mengapa, aku jadi sering memikirkan bi Ijah. Segala kasih sayang dan perhatiannya selama ini padaku, telah mampu membuat aku jadi mulai menyukainya.

Aku memang menyayangi bi Ijah, sebagai sosok seorang ibu dalam hidup ku. Namun sekarang, rasa itu tidak lagi sama. Aku mulai sering mengkhayalkan hal yang aneh-aneh tentang bi Ijah. Terutama saat malam menjelang aku tertidur.

Secara fisik, bi Ijah memang masih cantik dan juga masih terlihat seksi. Meski pun ia sudah berusia lebih 45 tahun. Tapi bi Ijah masih cukup menarik. Apa lagi bi Ijah, juga cukup pandai merawat diri.

****

Aku berusaha menepis segala rasa suka ku pada bi Ijah. Aku tidak ingin terlarut dalam perasaan tersebut. Karena aku tahu, itu adalah sebuah kesalahan. Lagi pula, bi Ijah juga gak mungkin bakal suka pada ku. Mengingat aku ini masih terlalu muda, dan juga karena aku adalah anak majikannya.

Tapi justru karena itu, aku jadi semakin penasaran dengan bi Ijah. Apa lagi, seumur hidup, aku belum pernah pacaran sama sekali. Tidak ada seorang cewek pun yang mau menjadi pacar ku, meski aku sudah sering berusaha mendekati para cewek-cewek.

Sejujurnya, meski pun aku tergolong anak orang berada, tapi aku kurang beruntung untuk urusan cinta. Karena secara fisik, aku meman kurang menarik. Aku tidak tampan, tidak gagah, dan tidak juga termasuk anak yang pintar.

Selain kehidupan yang mewah, aku tidak punya daya tarik lain, yang membuat cewek-cewek jadi menyukai ku. Bahkan aku juga tidak suka olahraga. Aku juga tidak tergolong seorang kutu buku. Aku benar-benar laki-laki biasa, yang hampir tidak punya daya tarik.

Pernah sih, ada cewek yang mau aku dekati, tapi pada akhirnya aku tahu, kalau dia hanya sekedar memanfaatkan ku saja. Hanya untuk menguras uang saku ku. Dan aku pun memilih untuk meninggalkannya.

Sadar akan segala kekurangan ku, aku pun jadi sering menutup diri. Aku lebih sering menghabiskan waktu di rumah. Aku lebih sering menghabiskan waktu, untuk sekedar mengobrol bersama bi Ijah di rumah.

Dan karena terlalu sering menghabiskan waktu bersama. Perlahan rasa suka itu pun tumbuh di hati ku untuk bi Ijah. Aku bahkan mungkin telah jatuh cinta padanya. Namun aku masih berusaha, untuk bersikap biasa saja, terutama di depan bi Ijah.

Hingga pada suatu pagi. Saat itu, mama dan papa, seperti biasa, sudah berangkat kerja. Di rumah hanya tinggal aku dan bi Ijah. Aku sengaja bangun agak telat pagi itu. Aku merasa lagi malas untuk berangkat kuliah.

Karena aku yang tak kunjung bangun dan keluar dari kamar, tiba-tiba bi Ijah mengetuk pintu kamar ku. Ia mengetuk beberapa kali, sambil terus memanggil dan membangunkan ku.

Aku yang sudah berniat untuk tidak kuliah pagi itu, terpaksa bangun dan segera membuka pintu, karena bi Ijah masih terus berusaha memanggil ku.

"ada apa sih, bik?" tanyaku dengan nada malas.

Saat itu, aku hanya memakai selimut yang aku lilitkan di pinggang ku.

"bangun, Den. Sudah siang.. nanti aden telat loh, kuliahnya.." balas bi Ijah, dengan sedikit tertunduk, karena melihat aku yang tanpa baju.

"saya lagi malas kuliah, bik. Jadi jangan ganggu ya.. saya mau tidur seharian..." ucap ku kemudian, masih dengan nada malas.

"tapi... nanti kalau mama aden nelpon dan nanya, saya harus jawab apa?" balas bi Ijah, dengan sedikit bertanya.

"bilang aja, kalau saya udah berangkat kuliah.." balas ku.

"tapi, den..." bi Ijah berusaha berucap lagi.

"sudahlah, bik... sekali-kali.. gak masuk kuliah gak apa-apa, kan.." balas ku cepat, memotong ucapan bi Ijah.

"ya udah.. terserah aden aja... kalau begtiu saya ke bawah dulu.. Permisi, den.." akhrinya bi Ijah pun segera meninggalkan kamar ku.

Sementara aku, tiba-tiba saja, mulai memikirkan bi Ijah kembali. Aku membayangkan, jika bi Ijah mau aku ajak masuk ke kamar ku, dan .....

Ah.. sudahlah... rasanya hal itu sangat tidak pantas.

Tapi... bukankah saat ini, hanya kami berdua di rumah. Jadi apa salahnya aku mencobanya? Siapa tahu, bi Ijah juga mau. Dan lagi pula, kalau ia menolak, aku kan bisa memaksanya. Aku kan anak majikannya. Mau tidak mau, bi Ijah memang harus mau menuruti keinginan ku.

*****

Akhirnya dengan hanya memakai celana pendek, aku pun segera turun ke bawah, untuk menemui bi Ijah yang sedang berada di dapur. Ia sedang mencuci piring saat itu.

Gejolak jiwa muda ku tengah bergelora saat itu. Setan telah menguasai pikiran ku. Aku tidak lagi berpikir panjang. Aku harus bisa menyalurkan keinginan ku terhadap bi Ijah.

"ada apa, den? Aden mau sarapan?" tanya bi Ijah setengah kaget akan kedatangan ku. Apa lagi aku hanya memakai celana pendek, tanpa baju.

"saya mau bi Ijah.." balasku dengan suara parau.

"maksud den Bima apa?" bi Ijah berucap, sambil menghentikan kegiatannya mencuci piring tersebut.

"bi Ijah sangat cantik sekali. Saya suka sama bi Ijah. Dan saya menginginkan bi Ijah pagi ini.." ucapku, suara ku makin parau.

"den Bima ngomong apa, sih? Saya jadi takut loh, den." balas bi Ijah, dengan sedikit melangkah mundur.

"saya jelek banget ya, bik? Sampai bi Ijah setakut itu sama saya?" tanyaku gusar.

"bukan... bukan itu maksud saya, den. Tapi... saya... saya sudah menganggap den Bima itu seperti anak bibik sendiri.. jadi aden jangan salah paham.." jelas bi Ijah, suaranya terdengar sedikit bergetar.

"saya suka sama bi Ijah. Saya ingin kita menjalin hubungan yang lebih..." ucapku mulai tak karuan.

"den Bima jangan macam-macam. Saya..." ucapan bi Ijah terputus.

"bi Ijah berani menolak saya? Bi Ijah gak mau menuruti keinginan saya?" balasku memotong ucapan bi Ijah barusan.

"tapi, den... ini.. ini gak boleh terjadi. Den Bima jangan memaksa saya.." suara bi Ijah semakin bergetar.

"kalau bi Ijah gak mau, saya akan bilang sama mama, untuk memecat bi Ijah dari sini.." ancam ku akhirnya, setelah tak tahu lagi harus berkata apa. Setan benar-benar telah menguasai ku saat itu.

Apa lagi bi Ijah juga sudah tahu perasaan ku padanya, jadi.. aku harus bisa mendapatkannya, apa pun caranya.

"kenapa harus bibik sih, den. Bibik ini sudah tua.. masih banyak gadis-gadis cantik di luar sana.." ucap bi Ijah kemudian, dalam usahanya menghindari ku.

"aku sudah terlanjur jatuh cinta sama bi Ijah.. aku gak butuh gadis-gadis lain, aku hanya menginginkan bi Ijah... jadi bi Ijah, jangan coba-coba menolak permintaan ku.." aku berucap dengan setengah berteriak. Aku benci penolakan, apapun alasannya.

"tapi.. den... bibik gak bisa... bibik sudah punya suami dan juga sudah punya anak... Saya mohon, den. Jangan paksa saya, ya..." kali ini, suara bi Ijah cukup menghiba.

Tapi aku sudah tidak peduli dengan semua itu. Aku harus mendapatkannya. Aku harus mendapatkan bi Ijah. Aku sudah tidak bisa menahan diri ku lagi.

"pokoknya bi Ijah harus mau menuruti keinginan saya. Kalau tidak, saya jamin besok bi Ijah akan di pecat, dan saya juga akan katakan, kalau bi Ijah sudah mencuri di rumah ini.. Saya yakin, mama pasti lebih percaya sama saya.." ucapku dengan nada kasar.

Kali ini bi Ijah mulai terdiam. Ia terlihat sedang berpikir keras. Aku yakin, ancarman ku cukup membuat ia merasa takut. Karena bi Ijah, pasti sangat membutuhkan pekerjaan ini. Apa lagi saat ini, anak-anaknya sedang butuh biaya banyak, untuk sekolah mereka.

"kalau bi Ijah mau, saya akan berikan uang saku saya buat bi Ijah setiap harinya.." aku berucap lagi, dalam upaya ku untuk mendapatkan apa yang aku inginkan.

"baiklah, den. Kalau den Bima memaksa. Saya juga gak mau kehilangan pekerjaan ini. Dan jika den Bima mau memberi saya uang, saya akan turuti semua keinginan den Bima.." bi Ijah berucap juga akhirnya, setelah cukup lama ia terdiam.

"ya udah... saya tunggu bi Ijah di kamar saya sekarang..." ucapku kemudian, sambil mulai melangkah untuk menuju lantai atas. Menuju kamar ku.

Dan tak lama kemudian, bi Ijah pun datang menyusul dari belakang. Aku sedikit memaksa bi Ijah untuk masuk ke kamar ku. Aku yang sudah di kuasia oleh n4fs* ku, sudah tidak bisa menahan diri lagi. Aku pun segera menarik bi Ijah ke atas r4nj**g.

****

Begitulah awalnya. Dan sejak saat itu, aku selalu memanfaatkan setiap kesempatan yang ada, untuk bisa bersama bi Ijah. Aku juga selalu memberi bi Ijah uang, setiap kali kamu selesai melakukan hal tersebut.

Semakin hari, aku justru semakin sayang sama bi Ijah. Aku semakin mencintainya. Aku semakin tidak ingin melepaskannya. Meski pun bi Ijah, selalu mengingatkan ku, agar segera mengakhiri hal tersebut.

Tapi aku sudah terlanjur terlena dengan semua itu. Aku merasa hidup ku semakin indah dan penuh warna. Aku jadi punya semangat untuk melanjutkan hidup ku lagi.

Namun.. tidak ada yang sempurna di dunia ini. Tidak ada yang abadi dalam hidup ini. Sesuatu yang indah pun, pada saatnya pasti akan berakhir. Dan demikina dengan semua keindahan yang aku rasa. Semuanya harus berakhir.

Ternyata diam-diam, setelah lebih dari enam bulan, mama dan papa sudah mengetahui hubungan terl4r*ng ku bersama bi Ijah. Mereka pun kemudian, meminta bi Ijah untuk berhenti bekerja di rumah kami. Mereka juga meminta aku untuk pindah kuliah ke luar negeri.

Karena merasa takut akan hukuman yang lebih berat, aku pun terpaksa menuruti keingian kedua orangtua ku. Aku terpaksa pindah kuliah ke luar negeri. Sementara bi Ijah, harus rela kehilangan pekerjaannya, dan kembali ke kampung halamannya.

Terus terang, aku merasa bersalah pada bi Ijah. Biar bagaimana pun, dalam hal ini, bi Ijah tidak bersalah. Aku yang memaksanya.

Aku mencoba menjelaskan hal tersebut pada mama dan papa. Tapi mereka sudah tidak peduli, dengan penjelasan apa pun dari ku. Bagi mereka, kami berdua sama-sama bersalah, dan sama-sama harus mendapatkan ganjarannya.

Aku merasa menyesal. Tapi bukan karena hubungan ku dengan bi Ijah. Aku menyesal, karena telah memaksakan kehendak ku pada bi Ijah. Karena perbuatan ku tersebut, bi Ijah jadi ikut menanggung akibatnya.

Namun semua sudah terjadi. Aku tidak mungkin bisa memutar waktu lagi. Kini aku harus menanggung akibat dari semua perbuatan ku. Meski pun hukuman yang aku terima dari mama dan papa, tidaklah terlalu berat. Tapi tetap saja, aku terus di hantui rasa bersalah pada bi Ijah.

Berada di luar negeri sendirian, tanpa siapa-siapa, merupakan hal yang cukup berat bagiku. Apa lagi, uang yang mama papa kirimkan padaku, sangat terbatas. Hingga aku merasa, kalau aku hampir tidak punya orangtua lagi.

Kini, aku hanya bisa menyesali semuanya. Kejadian tersebut, menjadi pelajaran yang sangat berharga bagi ku. Semoga saja, aku bisa memperbaiki diri. Dan semoga aku tidak lagi mengulangi kesalahan yang sama..

Yah.... semoga saja..

****

Kisah lainnya :

Bersama Kakak ipar ku

Bersama mama mertua ku

Kakak Ipar ku (kisah nyata)

Aku seorang suami dari seorang istri, dan seorang ayah dari seorang putri cantik yang merupakan anak pertama kami. Pernikahan kami sudah berlansgsung selama lebih kurang empat tahun.

Istri ku adalah seorang wanita karir, yang saat ini masih bekerja di sebuah perusahaan elite di kota tempat kami tinggal. Sementara aku sendiri hanyalah seorang dosen di sebuah kampus swasta.

Karena sama-sama sibuk bekerja, kami pun sepakat untuk memperkerjakan seorang pembantu di rumah kami, dan juga seorang pengasuh anak.

Istri ku berangkat kerja sebelum jam tujuh pagi, dan selalu pulang lewat jam lima sore. Sementara aku sendiri, biasanya selalu pulang lebih awal. Sekitar jam dua siang, aku sudah kembali ke rumah.

Jadi aku lebih banyak menghabiskan waktu bersama putri kami, ketimbang istri ku. Tapi hal itu tidak pernah jadi masalah diantara kami.

Satu-satunya hal yang masih selalu mengganggu pikiran ku adalah, tentang pendapatan istri ku yang tentunya jauh lebih besar dari pendapatan ku sendiri. Meski istri ku tidak pernah sama mempermasalahkan hal tersebut, bahkan ia juga tidak pernah mau membahas hal tersebut.

Terlepas dari itu semua, sejujurnya aku merasa bahagia dengan hidup yang aku jalani saat ini, terutama sejak kehadiran putri kecil kami. Hari-hari yang aku lalui jadi lebih berwarna.

Istri ku sendiri, juga sering di tugaskan ke luar kota oleh pihak perusahaan. Terkadang ia harus bermalam di luar kota selama beberapa hari. Kadang ia sengaja membawa putri kami bersama pengasuhnya untuk ikut dengannya ke luar kota.

Saat-saat seperti itulah, yang kadang membuat aku sering merasa kesepian, karena hanya sendirian di rumah.

Hingga pada suatu saat...

*****

Yola, kakak iparku, yang usianya hanya terpaut tiga tahun lebih tua dari istri ku. Tiba-tiba datang ke rumah kami. Katanya ia sedang bermasalah dengan suaminya.

Istri ku tentu saja menerima kehadiran kakaknya tersebut di rumah kami, dengan senang hati. Untuk tinggal sementara bersama kami.

Kak Yola memang sudah menikah lebih dari enam tahun yang lalu. Tapi ia dan suaminya belum memiliki anak. Aku tak tahu pasti penyebabnya. Namun yang pasti, saat ini, pernikahan mereka sedang dalam masalah.

Istri ku dan kak Yola memang cukup dekat. Sejak kecil mereka selalu bersama-sama. Kedua orangtua mereka saat ini, masih tinggal di kampung halamannya.

Kak Yola memang sengaja tidak pulang ke rumah orangtua nya di kampung, karena tidak ingin orangtuanya tahu tentang masalah rumah tangganya. Karena itulah ia memilih untuk tinggal bersama kami sementara waktu. Setidaknya menjelang masalahnya bersama suaminya terselesaikan.

Aku dan kak Yola juga lumayan dekat. Kami sudah sering ngobrol bersama.

Berbeda dengan istriku, kak Yola, bukanlah wanita karir. Ia hanya seorang ibu rumah tangga biasa. Sejak menikah, ia memutuskan untuk berhenti bekerja, adn berupaya menjadi istri yang baik bagi suaminya.

Sejak kak Yola tinggal bersama kami, aku jadi punya teman ngobrol. Terutama saat istri ku belum pulang kerja. Atau bahkan saat istri ku, mendapat tugas ke luar kota.

"suami ku selalu memojokkan ku dan selalu menyalahkan ku karena kami belum juga punya keturunan.." cerita kak Yola, suatu sore.

Saat itu hanya kami berdua di rumah. Istri dan anak ku, juga pengasuhnya sedang berada di luar kota. Pembantu kami satu-satunya juga sedang pulang kampung.

"apa kalian sudah pernah periksa ke dokter?" tanya ku bersimpati.

"suami ku gak mau, kalau harus memeriksakan diri ke dokter. Katanya hanya buang-buang waktu saja. Ia tetap bersikeras, kalau penyebab ketidakhamilan ku adalah diriku sendiri, bukan dia.." jelas kak Yola.

"lalu kak Yola, apa pernah memeriksakan diri ke dokter?" tanya ku lagi.

"pernah.. dan kata dokter, semuanya baik-baik saja. Justru aku jadi curiga, jangan-jangan suami ku yang tidak sehat.." balas kak Yola.

"lalu apa rencana kak Yola sekarang?" aku bertanya lagi.

"gak tahu, Jef.. Aku juga lagi bingung. Aku sebenarnya tidak ingin bercerai dari suami ku. Tapi jika aku memaksakan diri untuk tetap bertahan, aku justru semakin tersiksa karenanya. Seandainya saja, aku bisa memberikan suami ku keturunan, rumah tangga kami pasti akan baik-baik saja.." ucap kak Yola, terdengar sedikit lirih.

"lalu apa kalian gak pengen coba angkat anak misalnya?" tanya ku selanjutnya.

"suami ku gak mau, Jef. Dia ingin punya anak dari kandungan ku sendiri. Sementara dia sendiri, gak mau berusaha untuk berobat atau sekedar mendatangi dokter.. Itu yang membuat aku semakin bingung.." terang kak Yola lagi.

Untuk beberapa saat kami pun hanya saling terdiam. Terus terang aku merasa prihatin melihat kak Yola saat ini. Aku tahu, betapa bingungnya ia saat ini.

"kita main tiktok yuk, Jef.." tiba-tiba kak Yola berucap demikian. Wajahnya yang tadi terlihat murung, kini tiba-tiba ceria kembali.

"aku gak pernah main tiktok, kak.." balasku jujur.

"ayolah.. sekali ini aja... aku tuh butuh hiburan, Jef. Dan biasanya pelarian ku ya hanya main tiktok.." ucap kak Yola, sedikit memohon.

"ya udah.. terserah kak Yola aja.. Saya ikut aja..." balasku akhirnya, tak tega melihat wajah memohon kak Yola.

Lalu sore itu, kami pun bermain tiktok bersama. Tak ku sangka hal itu cukup menyenangkan. Apa lagi kak Yola terlihat sudah mahir bermain tiktok. Ia terlihat sudah jago melakukan goyangan-goyangan yang ada di aplikasi tersebut.

Aku coba mengikutinya, walau pun masih terlihat kaku. Kak Yola, beberapa kali terlihat tertawa melihat goyangan ku yang masih sering salah.

Tapi.. harus aku akui, kalau kak Yola memang jago bergoyang.

****

Malam itu, sehabis bermain tiktok dan mandi, kami pun makan malam berdua. Selama berada di rumah kami, kak Yola memang rajin memasak. Dan harus aku akui, kalau masakannaya juga enak.

"Jef... aku mau ngomong sesuatu... tapi kamu jangan tersinggung.. ya..." tiba-tiba kak Yola berucapa, saat kami baru aja selesai makan.

"kak Yola ngomong aja.. ada apa?" tanya ku jadi penasaran.

"kamu .... kamu mau gak... kalau... aku minta tolong sama kamu..." suara kak Yola sedikit terbata.

"kak Yola mau minta tolong apa?" tanyaku semakin penasaran.

"saya ingin menyelamatkan rumah tangga saya. Karena saya sangat mencintai suami saya. Saya gak ingin kehilangan dia. Tapi... satu-satunya cara, agar saya bisa membuat suami saya bahagia, hanyalah dengan kehamilan saya..." jelas kak Yola, masih sedikit terbata.

"lalu apa yang bisa saya lakukan untuk kak Yola.?" tanya ku lagi.

"saya ingin kamu mengh4mili saya.." balas kak Yola dengan suara lemah.

"apa?" kening ku berkerut dua kali lipat dari biasanya.

"saya tahu ini salah, Jef. Saya tahu ini terdengar bodoh.. tapi... kalau saya bisa hamil, rumah tangga kami pasti akan baik-baik kembali... dan ... saya tidak ingin melakukannya dengan orang lain, karena resiko nya terlalu besar.. karena itu lah saya minta tolong sama kamu..." kak Yola berucap kembali dengan suara terdengar mulai serak.

"tapi... saya ini... suami adik mu loh, kak Yola..." suara ku sedikit bergetar.

"iya.. saya tahu.. justru itu.. saya ingin kamu yang melakukannya... setidaknya saya tidak akan terlalu merasa bersalah..." balas kak Yola.

"tapi.. justru saya yang akan merasa bersalah, Kak. Terutama pada istri ku.." ucapku kemudian.

"aku mohon, Jef... aku... aku gak tahu lagi, bagaimana caranya untuk bisa menyelamatkan rumah tangga ku... hanya kamu satu-satunya harapan ku, Jef... jadi... aku mohon sama kamu..." suara kak Yola semakin menghiba, air matanya pun perlahan mulai berjatuhan, dan aku gak tega melihatnya.

"apa kak Yola yakin, dengan semua ini?" tanya ku akhirnya.

"saya sangat yakin, Jef..." balas kak Yola, masih terdengar terisak.

"baiklah... tapi kalau sendainya hal ini tidak berhasil, aku harap kak Yola tidak akan pernah menyesalinya.." ucapku kemudian.

"apa pun resikonya, Jef. Aku akan siap menanggung semuannya. Dan aku harap, ini hanya akan menjadi rahasia diantara kita berdua.." balas kak Yola, terdengar mulai sedikit tenang.

Dan begitulah, malam itu, aku berusaha untuk memenuhi keinginan kak Yola. Aku tahu ini salah, tapi aku juga tidak tega melihat kak Yola memohon seperti itu.

****

Beberapa kali kami melakukan hal tersebut, terutama saat hanya kami berdua di rumah. Kak Yola juga sudah kembali ke rumahnya. Ia kembali bersama suaminya. Aku tahu, hal itu ia lakukan, hanya agar suaminya tidak curiga. Hanya sewaktu-waktu kak Yola datang ke rumah, untuk melakukan rutinitas kami.

Dan setelah sekian bulan berlalu, akhirnya keinginan kak Yola pun terwujud. Ia pun hamil. Dan kabar itu, membuat perubahan yang sangat besar bagi rumah tangga kak Yola dan suaminya.

Bahkan sejak hamil, kak Yola hampir tidak pernah lagi datang ke rumah kami. Hubungan kami pun terputus begitu saja. Tapi aku tidak mempermasalahkan hal tersebut. Selama kak Yola bahagia, aku turut bahagia.

Dan kisah itu, hanya menjadi rahasia diantara kami berdua. Kami berusaha bersikap sewajarnya, terutama saat kami harus bertemu kembali. Sejak kehamilan kak Yola, istri ku jadi sering mengajak ku mengunjunginya.

Begitulah kisah ku yang terjadi antara aku dan kakak iparku. Sebuah kisah yang akan tetap aku simpan rapi di dalam lubuk hati ku.

Semoga saja, rahasia itu, tetap terpendam selamanya. Tanpa siapa pun yang akan tahu, kecuali hanya kami berdua.

Yah.... semoga saja...

****

Kisah lainnya :

Bersama mama mertua ku

Mama mertua ku (kisah nyata)

Sebenarnya kisah ini terjadi sudah terjadi beberapa tahun yang lalu. Tepatnya saat aku masih berusia 25 tahun waktu itu. Saat itu aku baru saja menikah.

Istri ku memang masih sangat muda waktu itu, masih 20 tahun usianya. Kami terpaksa menikah karena suatu kesalahan yang kami perbuat. Yang mengakibatkan istri ku, 'telat tiga bulan' waktu  itu.

Dengan acara pernikahan yang sangat sederhana. Hanya dihadiri oleh keluarga dekat kami, dari kedua keluarga.

Istri ku merupakan anak tertua dari tiga bersaudara. Adik-adiknya juga masih kecil-kecil 

Aku sendiri merupakan anak bungsu dari kami empat bersaudara. Ketiga kakak-kakak ku sudah menikah semuanya.

Pada saat awal aku menikah tersebut, aku bahkan belum punya pekerjaan tetap. Meski sebenarnya aku sudah lulus kuliah. Namun belum ada satu pun lamaran pekerjaan ku yang diterima. Sementara istri ku tetap melanjutkan kuliahnya, atas permintaan kedua mertua ku.

Mama mertua ku sendiri sebenarnya masih cukup muda. Ia masih berusia 40 tahun waktu itu. Karena memang mama mertua ku juga menikah muda. Ia menikah pada saat usianya masih 19 tahun. Dan itu terjadi juga karena sebuah kesalahan mereka waktu muda. Telat tiga bulan. Dan itu sepertinya juga menurun kepada Diana, anak gadisnya, istri ku tersebut.

Karena belum punya pekerjaan tetap, aku dan istri ku masih tinggal satu atap dengan keluarga mertua ku. Beruntunglah rumah mertua ku cukup besar. Karena memang papa mertua ku adalah seorang pedagang yang cukup sukses.

Sebagai seorang pedagang yang suka bekerja keras, papa mertua ku memanng jarang berada di rumah. Ia lebih banyak menghabiskan waktu di tempat kerjanya. Bahkan ia sering pulang larut malam.

Mama mertua ku hanya seorang ibu rumah tangga biasa. Ia hanya menghabiskan waktu di rumah. Memasak, mencuci pakaian, membereskan rumah dan mengurusi anak-anaknya.

Hingga pada suatu pagi. Istri ku sudah berangkat kuliah. Adik-adik iparku juga sudah berangkatke sekolah. Sementara papa mertua ku juga sudah pergi bekerja seperti biasa.

Di rumah hanya ada aku dan mama mertua ku. Kebetulan hari itu, aku sedang tidak ada pekerjaan. Biasanya, aku sering bekerja jadi kuli bangunan, atau pekerjaan freelance lainnya. Karena aku belum juga mendapatkan pekerjaan tetap.

Papa mertua ku pernah menawarkan untuk aku ikut bekerja dengannya. Tapi aku masih ragu untuk bekerja dengannya. Karena selain aku memang tidak suka berdagang, aku juga masih merasa gengsi kalau harus bekerja dengan papa mertua ku.

Hari itu, karena tidak punya rencana apa-apa, aku sengaja berbaring malas-malasan di atas dalam kamar ku. Aku masih belum mandi dan bahkan belum sarapan apa-apa. Aku hanya sibuk memainkan handphone ku.

Tiba-tiba aku mendengar suara ketukan di pintu kamar ku. Dengan hanya masih memakai celana pendek tanpa baju, aku segera membuka pintu kamar. Saat itu mama mertua ku telah berdiri di ambang pintu. Ia menatap ku cukup lama.

"ada apa, Ma?" tanya ku merasa sedikit sungkan. Biar bagaimana pun, aku hanya memakai celana pendek waktu itu.

Ku lihat mama mertua kua jadi sedikit salah tingkah. Matanya masih terus menatap ku dengan pandangan yang tidak bisa aku mengerti.

"kamu udah sarapan?" tanyanya akhirnya.

"belum, Ma.." jawabku singkat.

"kamu mau mama bikinin sarapan apa?" mama mertua ku bertanya lagi.

Aku merasa sedikit heran. Belum pernah sebelumnya mama mertua ku mempertanyakan hal tersebut. Bahkan selama ini, ia terkesan sangat cuek padaku.

"terserah mama aja.." jawabku akhirnya, masih dengan perasaan penuh keheranan.

Mengapa mama mertua ku tiba-tiba jadi perhatian padaku? tanyaku membathin.

"ya udah.. mama bikinin kami nasi goreng aja ya... Kamu mandi dulu... ada yang mau mama omongin sama kamu.." ucap mama mertua ku kemudian.

"iya, Ma.." balasku singkat. Perasaan ku jadi merasa tidak enak. Tumben, mama mertua ku mau ngomong sama aku. Dan sepertinya cukup penting.

Tak lama kemudian, mama mertua ku pun berlalu dari situ. Aku segera menutup pintu kembali, dengan perasaan yang masih penuh tanda tanya.

Kemudian aku pun memutuskan untuk segera mandi. Aku jadi penasaran dengan apa yang ingin diomongkan mama mertua ku padaku. Tapi aku berharap, itu bukan sesuatu yang buruk.

****

 

Setelah mandi dan memakai pakaian apa adanya, baju kaos oblong dan celana training, aku pun segera keluar dari kamar dan langsung menuju dapur.

Di meja makan, mama mertua ku sudah menunggu di sana, dengan dua piring nasi goreng dan minuman dingin. Mama mertua ku terlihat tersenyum lebar menyambut kedatangan ku. Semenjak aku menikah dengan istri ku, baru kali ini aku melihat senyum mama mertua ku selebar itu.

"duduk, Fer..." ucap mama mertua ku, sambil mempersilahkan aku duduk di sampingnya.

Dengan sungkan, aku pun duduk di samping mertua ku. Hati ku tiba-tiba berdebar hebat. Belum pernah sebelumnya aku duduk sedekat ini bersama mama mertua ku, apa lagi saat ini hanya kami berdua di rumah.

"makan.." tawarnya kemudian, melihat aku yang masih kelihatan salah tingkah.

Aku pun mulai menyantap nasi goreng tersebut dengan perlahan. Mama mertua ku juga melakukan hal yang sama.

"mama tahu... selama ini mama tidak memperlakukan kamu dengan cukup baik di rumah ini.." mama mertua ku mulai berbicara lagi.

"sebenarnya mama hanya takut, kalau Diana akan mengalami hal yang sama seperti yang mama alami, karena menikah terlalu muda.." lanjutnya, sambil ia terus menyantap sarapannya.

Aku masih terdiam. Mencoba memahami maksud dari ucapannya. Mencoba mencerna kemana arah pembicaraan tersebut.

"dulu mama juga menikah muda, bahkan lebih muda dari Diana saat ini. Awalnya semua memang terasa indah. Mama dan papa merasa sangat bahagia, apa lagi setelah kelahiran Diana, istri kamu. Tapi..." sepertinya ia sengaja menggantung kalimatnya.

"setelah anak kedua kami lahir, kami jadi sering bertengkar, terutama karena kondisi ekonomi kami saat itu masih sangat kekurangan. Kami bahkan sempat hampir bercerai. Tapi mama berusaha untuk bertahan. Mama berusaha memberi dukungan penuh pada papa waktu itu." ia menarik napas sejenak.

"hingga akhirnya, dengan perlahan, usaha papa pun mulai berkembang. Kehidupan kami mulai membaik, terutama sejak anak ketiga kami lahir. kelahiran si bungsu seperti memberi berkah tersendiri untuk keluarga kami." ia kembali menarik napas, lebih dalam.

"itulah mengapa mama ingin, Diana tetap kuliah. Setidaknya nanti hal itu akan berguna di kemudian hari. Setidaknya nanti, kalian sama-sama bisa bekerja. Dengan begitu, kalian tidak akan mengalami kesulitan ekonomi seperti yang pernah kami alami dulu.." lanjutnya lagi.

Mama mertua ku meneguk minuman terakhirnya. Ia hanya memakan nasi gerongnya separoh. Sepertinya ia tidak sedang berselara untuk makan. Atau ia sedang diet.

Sementara aku terus saja menyantap makanan ku sampai habis.

"mama pikir, setelah kehidupan ekonomi kami semakin membaik, mama akan kembali merasakan bahagia. Tapi ternyata mama salah..." sekali lagi ia menggantung kalimatnya, lalu ia menarik napas cukup lama.

"setelah kami hampir punya segalanya, papa malah bertingkah. Ia jadi jarang pulang. Alasannya selalu karena banyak pekerjaan. Awalnya mama percaya, Tapi lama kelamaan sikap papa semakin berubah. Sampai akhirnya mama tahu, kalau ternyata papa sudah menikah lagi.." tiba-tiba raut kesedihan tersirat di wajah mama mertua ku.

"mama sudah tahu hal itu sejak lama, tapi mama tidak mau menceritakannya pada siapa pun. Saat mama coba membahas hal tersebut sama papa, ia justru memarahi mama, dan mengancam akan menceraikan mama.." ia melanjutkan lagi, kali ini dengan nada pilu.

"mama mencoba untuk tetap bertahan, karena mama tidak mau bercerai dari papa. Jika kami bercerai, anak-anak akan jadi korban. Dan mama tidak bisa membesarkan mereka sendirian, karena mama tidak bekerja.." lanjutnya lagi, air matanya perlahan mulai mengalir di pipinya.

"mama menceritakan ini semua sama kamu, agar kamu nantinya tidak melakukan hal yang sama seperti yang papa lakukan. Mama tidak mau Diana juga mengalami hal ini nantinya." mama mertua ku berucap lagi, kali ini ia terlihat lebih tenang.

"saat ini, mama hanya harus tetap berpura-pura semuanya baik-baik saja. Meski mama sekarang jadi sering merasa kesepian, karena papa jaran berada di rumah. Mama mencoba ikhlas, dan mama berharap anak-anak tidak ada yang tahu akan hal ini.." ia berucap lagi.

****

Entah apa yang aku rasakan saat ini, setelah aku mengetahui semua itu. Dan aku juga tidak tahu, apa tujuan sebenarnya mama mertua ku menceritakan hal itu pada ku. Padahal bahkan, anak-anaknya belum mengetahuinya.

Sejujurnya aku pun merasa iba melihat mama mertua ku, setelah aku mengetahui semua itu. Betapa beratnya hal tersebut baginya saat ini.

"sudah bertahun-tahun mama memendam semua ini sendirian. Rasanya mama sudah tidak kuat lagi.." mama mertua ku berucap kembali.

"sudah bertahun-tahun juga mama tidak lagi merasakan keh4ngatan dari seorang suami. Karena sejak mama mengetahui kalau papa sudah menikah lagi, papa tidak pernah lagi menyentuh mama. Mama sangat merasa kesepian, Fer..." tiba-tiba ia terisak kembali.

"maukah kamu mengobati kesepian mama ini?" lanjutnya kemudian, yang membuat aku merasa sangat kaget.

"ma... maksud mama apa?" tanya ku terbata.

"mama tahu ini salah, Fer.. Tapi jujur saja, sejak pertama kali melihat kamu, mama sudah tertarik sama kamu. Apa lagi sudah sangat lama, mama tidak meraskan hal tersebut.." balas mama mertua ku.

"tapi... tapi saya ini menantu mama loh..." ucapku masih terbata.

"iya.. mama tahu... tapi mama tidak bisa lagi memendam semua ini... mama benar-benar membutuhkan kamu, Fer.. untuk mengisi kesepian mama selama ini.. lagi pula istri kamu juga sedang hamil, pasti kamu juga sudah lama tidak melakukan hal tersebut bersama istri mu.." balasnya kemudian, yang membuat aku merasa tak lagi mengenali mama mertua ku.

Sungguh aku tak pernah menyangka semua itu. Mama mertua ku menyukai ku? Bahkan ia sangat menginginkan ku. Ada apa ini sebenarnya? bathin ku bergejolak penuh tanya.

"ayo lah... Fer... bantu mama.... apa mama tidak menarik di mata kamu?" ia berucap lagi.

Sejujurnya, secara fisik, mama mertua ku masih cukup menarik. Aku jadi bertanya-tanya, kenapa papa mertua ku memilih untuk menikah lagi, padahal istrinya masih terlihat cantik dan seksi.

Dan sebagai laki-laki normal, jujur saja, aku pasti tidak akan bisa menolak, jika mama mertua ku terus memaksa ku.

"tapi... saya takut, Ma. Saya takut papa tahu, apa lagi kalau sampai Diana tahu.." aku berucap juga akhirnya, setelah cukup lama terdiam. Berpikir.

"papa pasti sudah tidak peduli akan hal itu. Dan Diana tidak akan pernah tahu, karena ia lebih sibuk memikirkan kuliahnya dan juga kandungannya.." balas mama mertua ku terdengar yakin.

****

Aku bukan laki-laki baik-baik. Sebagai anak bungsu, aku memang selalu di manja. Semua keinginan ku selalu di penuhi oleh kedua orangtua ku. Meski pun sebenarnya secara ekonomi kehidupan kami tidak terlalu baik.

Aku termasuk anak yang bandel di sekolah. Merokok, cabut saat jam belajar dan berbagai kenakalan lainnya yang sering aku lakukan semasa aku sekolah.

Saat kuliah aku juga sering jadi biang kerok masalah di kampus. Bahkan aku terkenal sering gonta ganti pacar. Aku juga pernah pacaran dengan dosen, hanya untuk mendapatkan nilai yang baik dan menyelesaikan skripsi ku.

Diana bukan pacar pertama ku, itu sudah pasti. Kalau saja ia tidak terlanjur h4mil duluan, aku tidak mungkin akan menikahinya. Tapi aku tidak bisa lari dari tanggungjawab itu, karena Diana nekat mendatangi rumahku waktu itu. Dan menceritakan tentang kehamilan pada mama ku.

Dan sekarang ada mama mertua ku di depan ku, dengan segala pesonanya dan terang-terangan ia menginginkan ku. Haruskah aku mengabaikannya?

Akhirnya, meski sedikit merasa terpaksa, aku pun memenuhi keinginan mama mertua ku pagi itu. Selain karena aku merasa kasihan melihatnya, juga karena aku memang bukan laki-laki baik-baik. Sekali lagi, aku bukan laki-laki baik-baik...

Aku tahu ini salah, aku tahu resikonya sangat besar. Tapi n4fsu lebih menguasai ku saat itu. Apa lagi mama mertua ku ternyata sangat agresif, yang membuat aku tak bisa menghindarinya.

Dan satu hal lagi, mama mertua ku lebih punya pengalaman dan keahlian jika di bandingkan dengan istri ku. Dan hal itu, yang membuat aku jadi merasa sangat terkesan.

****

Dan begitulah, sejak saat itu, aku dan mama mertua ku jadi punya hubungan khusus. Hubungan rahasia yang hanya kami berdua yang tahu.

Hal itu terus terjadi selama berbulan-bulan dan bahkan hingga bertahun-tahun. Kami semakin terlena dengan hubungan tersebut.

Hingga pada suatu....

Istri ku akhirnya memeroki kami. Tentu saja hal itu telah mengubah semuanya. 

Istri ku meminta cerai dan mengusir ku dari rumah. Sementara mama mertua ku, akhirnya mengungkapkan semuanya. Ia menceritakan tentang papa mertua ku yang sudah menikah lagi kepada anak-anaknya.

Tentu saja hal itu membuat shock semua anggota keluarga, terutama anak-anak mereka. Akhirnya mama mertua ku pun juga bercerai dari suaminya.

Papa mertua ku memutuskan untuk meninggalkan keluarganya dan memilih hidup bersama istri keduanya. Sementara mama mertua ku menghilang entah kemana. Dan aku memutuskan untuk kembali ke rumah orantua ku. Mengakui semua perbuatan ku dan berjanji tidak akan mengulanginya.

Sementara istri ku memilih untuk membesarkan anaknya sendirian, bersama adik-adiknya ia berusaha kembali bangkit membangun kehidupannya yang baru.

Begitulah kisah kelam ku bersama mama mertua ku, yang terjadi beberapa tahun yang lalu. Sebuah kisah yang hanya menjadi rahasia di masa lalu. Menjadi sebuah pelajaran berharga, agar aku bisa memperbaiki diri dan menjadi pribadi yang lebih baik lagi.

Semoga saja...

****

Bersama kakak tiri ku

Sebenarnya aku tak pernah rela, papa ku menikah lagi. Padahal mama baru meninggal sekitar dua tahun yang lalu. Tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa, untuk mencegah papa menikah lagi.

Karena aku hanya anak tunggal. Aku sendirian. Dan papa tidak pernah mau mendengar ucapan ku. Apa lagi aku dan papa tidak begitu dekat.

Semenjak mama meninggal, aku dan papa memang jarang mengobrol. Aku juga jarang berada di rumah. Aku lebih banyak menghabiskan waktu di luar. Papa juga sangat sibuk bekerja.

Aku seorang mahasiswa di sebuah kampus yang cukup terkenal di kota ku. Aku masih semester tiga, masih 20 tahun usia ku.

Saat usia ku masih 18 tahun, aku sudah kehilangan sosok seorang mama dalam hidupku. Dan hal itu cukup membuat aku merasa rapuh. Aku kehilangan orang yang paling aku sayang dalam hidupku.

Papa, tidak pernah bisa memberikan kasih sayang yang aku harapkan. Ia lebih sering memarahi ku, dari pada memperhatikan ku.

Aku tahu, sebenarnya papa sangat menyayangi ku, tapi ia tidak bisa menunjukkannya dengan cara yang aku inginkan. Dan hal itu cukup membuat aku merasa kecewa.

Dan sekarang, papa memutuskan untuk menikah lagi, setelah dua tahun ia hidup sendirian, tanpa mama. Yang membuat aku semakin merasa kecewa.

Mama tiri ku seorang janda yang sudah punya anak dua. Kedua anaknya juga sudah cukup dewasa. Anak pertamanya bernama Nina, masih kuliah dan sudah 21 tahun usianya. Sedangkan anak keduanya, bernama Arini, masih kelas XII SMA.

Mama tiriku dan juga kedua anaknya ikut tinggal di rumah kami. Rumah yang dulunya terasa sepi,kini kembali terasa ramai. Tapi tetap saja, aku tidak merasa bahagia dengan semua itu.

Nina, kakak tiriku, yang satu tahun lebih tua dari ku, memang memiliki wajah yang lumayan cantik. Ia juga terlihat sedikit tomboy dan keras kepala.

Suami pertama ibu tiriku sudah lama meninggal, sejak Nina dan Arini masih sangat kecil. Selama itu, mereka di besarkan oleh mamanya sendirian. Mama tiri ku adalah seorang guru, sedangkan papa ku adalah seorang pengusaha.

Sejak aku tinggal serumah bersama mama tiri ku, Nina dan juga Arini. Akujadi sering memperhatikan tingkah laku mereka, terutama Nina. Dia terlihat seperti anak yang suka kebebasan dan agak susah diatur. Nina juga sering pulang larut malam.

Mama tiri ku sudah sering menegur kelakuan Nina tersebut, bahkan di depan aku dan papa. Tapi Nina tidak pernah berubah. Ia bahkan sering melawan ucapan mamanya.

"begitulah sosok anak yang dibesarkan tanpa sosok seorang ayah.." keluh mama tiri ku, suatu hari ketika untuk kesekian kalinya Nina membantah ucapannya.

Awalnya, aku tidak terlalu peduli dengan sikap perlawanan Nina tersebut. Bagiku hal itu bukanlah urusan ku. Karena aku punya kehidupan sendiri yang harus aku jalani.

Namun lama kelamaan, aku justru jadi penasaran dengan sikap Nina tersebut. Pasti ada penyebabnya kenapa Nina harus bersikap seperti itu, terutama kepada mamanya sendiri.

"kenapa kamu suka sekali melawan ucapan mama mu sendiri?" tanyaku pada suatu kesempatan.

"itu bukan urusan mu.." balas Nina ketus.

"sebenarnya aku juga tidak peduli. Tapi karena sekarang, kita sudah tinggal satu atap, segala yang terjadi di rumah secara otomatis juga menjadi urusan ku.." balasku tajam.

"kamu pikir saya mau tinggal disini?" mata Nina melotot menatap ku, "kamu pikir saya sudi punya papa tiri.." lanjutnya masih dengan tatapan tajamnya padaku.

Oh.. jadi karena itu.. desahku dalam hati.

"saya juga tidak mau papa saya menikah lagi.." ucapku cepat, "tapi itu bukan alasan untuk membuat saya jadi orang jahat..." lanjut ku. Kali ini Nina memalingkan wajahnya.

"saya bukan orang jahat.." balas Nina keras.

"kamu memang bukan jahat, tapi durhaka..." ucapku lebih keras.

Kali ini Nina terdiam. Raut mukanya tiba-tiba berubah sendu.

"aku juga tidak ingin seperti ini sebenarnya.." tiba-tiba Nina berucap dengan nada pelan.

"tapi semenjak mama menikah lagi, ia jadi suka mengekang ku. Ia juga jarang punya waktu untuk mengobrol dengan ku lagi.." Nina menarik napas berat, "aku melakukan semua pemberontakan itu, hanya untuk mendapatkan perhatian mama lagi.." lanjutnya lirih.

"tapi menurutku cara mu itu salah.." ucapku ikut memelankan suara. Tiba-tiba muncul rasa simpati di hatiku kepada Nina. Ia pasti belum bisa terima, kalau mamanya sudah punya suami baru.

"lalu menurutmu bagaimana cara yang benar?" balas Nina bertanya. Ia manatapku kembali, kali ini dengan tatapan sendu.

"saya juga tidak tahu. Tapi yang pasti bukan begitu caranya..." ucapku membalas. Tatapan Nina cukup membuat aku merasa salah tingkah.

"kamu sendiri gimana?" tiba-tiba Nina bertanya kembali, seakan sengaja mengalihkan pembicaraan.

"aku?" tanyaku heran.

"iya... apa kamu setuju dengan pernikahan mereka?" tanya Nina lagi cukup jelas.

"bukankah tadi sudah saya katakan, kalau saya tidak pernah ingin papa menikah lagi. Tapi, sebagai anak tunggal, saya tidak bisa berbuat apa-apa untuk mencegahnya." balasku pelan.

"dan kamu pasrah begitu aja?" tanya Nina lagi.

"setidaknya saya tidak akan menjadi anak pemberontak seperti kamu.." jawabku tajam.

"sepertinya kamu bukan hanya tidak menyukai pernikahan papa mu, tapi kamu juga tidak suka kami tinggal di sini, kan?" balas Nina menghakimi ku.

"sejujurnya, iya.. aku merasa ketenangan ku terganggu. Tapi... sebenarnya aku juga merasa kasihan melihat papa selama ini. Ia terlihat sangat kesepian. Dan kehadiran kalian sepertinya, mampu mengobati kesepian papa. Hal itu yang membuat aku harus menerima semua ini dengan ikhlas.." jelasku kemudian.

****

Dan begitulah, sejak kejadian itu, aku dan Nina menjadi dekat dan semakin sering mengobrol berdua. Ternyata Nina tidak seburuk yang aku sangkakan selama ini. Ia cukup pengertian orangnya.

Aku dan Nina jadi sering menghabiskan waktu berdua. Kami jadi sering nongkrong bareng, ngampus bareng, nonton bareng, dan melakukan banyak hal bersama.

Aku merasa bahagia dengan semua itu. Entah mengapa, aku seakan menemukan sosok yang aku impikan selama ini pada diri Nina. Perlahan rasa kagum itu pun tumbuh. Dan aku tidak bisa menolak hadirnya rasa itu.

Hingga pada suatu malam. Kami hanya tinggal berdua di rumah. Kebetulan waktu itu, papa, mama tiriku dan Arini sedang pergi ke sebuah acara pesta pernikahan keluarga papa di luar kota. Aku dan Nina sengaja tidak ikut, karena ada kegiatan di kampus.

Malam itu hujan turun sangat deras. Suara petir bergemuruh silih berganti di langit. Aku sengaja tidak keluar kamar. Sampai akhirnya aku mendengar suara ketukan di pintu kamar ku.

Dengan malas, aku membuka pintu kamarku. Nina sudah berdiri di depan pintu. Wajahnya terlihat pucat pasi. Tubuhnya menggigil, seperti orang yang ketakutan.

"Nina? Ada apa?" tanyaku dengan mimik heran.

"aku... aku takut petir.." balas Nina dengan suara bergetar.

"aku.. boleh di kamar mu sebentar. Sampai hujan ini reda.." lanjutnya kemudian.

Aku terdiam sesaat. Terpaku. Aku masih tidak percaya, kalau Nina yang tomboy tersebut, juga punya rasa takut.

"iya.. boleh.. kamu masuk aja.." ucapku akhirnya, tak tega melihat wajah Nina yang tiba-tiba memelas.

Nina pun melangkah masuk. Ia duduk di sisi ranjang tidur ku. Dengan sedikit ragu, aku pun ikut duduk di sampingnya.

"sejak kapan kamu takut petir?" tanyaku.

"sudah lama.. sejak kecil. Tapi mama tidak pernah tahu. Jika cuaca buruk, seperti sekarang ini, biasanya aku hanya akan mengurung diri di kamar, dan bersembunyi di bawah kasur." jelas Nina.

"lalu mengapa sekarang kamu tidak coba lagi sembunyi di bawah kasur?" tanyaku sedikit menggodanya.

"kamu gak mau saya berada disini?" balas Nina balik bertanya.

"bukan.. bukan itu maksud saya... tapi mengapa kamu memilih untuk menceritakan hal ini padaku?" tanyaku kemudian.

"karena aku percaya sama kamu, Raka." balas Nina terdengar jujur.

Kali ini aku terdiam. Aku dan Nina memang sudah cukup dekat. Dan jujur saja, aku juga mulai mengagumi sosok Nina. Selain ia memiliki wajah yang cantik, dengan postur tubuh yang proporsional. Nina juga anak yang pintar, penuh perhatian dan sedikit blak-blakan.

"hanya bersama kamu aku bisa menjadi diriku sendiri, Raka. Di depan kamu, aku tidak perlu berpura-pura. Dan... jujur saja... aku juga merasa nyaman bersama kamu.." Nina berucap lagi, lebih pelan.

Aku juga tidak bisa memungkiri hal tersebut. Aku juga merasa nyaman bersama Nina. Aku juga tidak harus berpura-pura di depannya. Bersamanya aku bisa menjadi diriku yang seutuhnya. Tapi...

"kita tidak seharusnya jadi sedekat ini, Nina.." aku berucap juga akhirnya, "aku rasa... ini adalah sebuah kesalahan.." lanjutku.

"iya.. aku tahu, Raka. Dari awal aku juga sudah tahu akan hal ini. Tapi... semakin aku coba untuk menghindari kamu, aku semakin ingin berada di dekat mu..." balas Nina.

"aku juga merasakan hal itu, Nina. Aku juga sangat mengagumi kamu. Aku hanya ingin selalu bersama kamu. Menghabiskan waktu berdua. Tapi... aku juga sadar, kalau hal itu adalah sebuah kesalahan.." ucapku membalas.

"aku hanya ingin kamu tahu, Raka. Kalau sebenarnya aku telah jatuh cinta padamu. Kebersamaan kita selama ini, telah mampu menumbuhkan rasa yang indah di hati ku. Dan aku juga ingin tahu, perasaan mu padaku.." Nina berucap, sambil ia melirik ku beberapa kali.

"aku.... aku juga sayang sama kamu, Nina. Aku juga telah jatuh cinta sama kamu. Tapi selama ini, aku berusaha memendam semua itu. Karena aku tahu, perasaan itu seharusnya tidak ada.." balasku apa adanya.

"haruskah kita membunuh rasa itu, Raka? Rasa yang tumbuh subur di hati kita? Rasa yang seharusnya membuat kita merasa bahagia?" tanya Nina lirih.

Tiba-tiba suasana malam itu menjadi haru diantara kami berdua. Nina bahkan berkali-kali membersit hidungnya, menahan tangis.

"pada saatnya nanti, perasaan ini hanya akan menyakiti hati kita sendiri, Nina. Bahkan mungkin akan jauh lebih menyakitkan dari pada yang kita takutkan.." balasku kemudian.

"kita hanya punya dua pilihan, yang sama-sama sulit. Pertama, kita bisa melanjutkan semua ini, dengan resiko, suatu saat nanti, papaku, mama mu, dan bahkan semua orang akan mengucilkan kita. Atau pilihan kedua, kita berhenti sampai disini, dengan menanggung semua luka, karena kita tidak bisa saling memiliki.." ucapku melanjutkan.

Entah mengapa aku merasa sakit mendengar ucapan ku sendiri. Rasanya begitu perih menyadari itu semua. Sungguh, tidak pilihan yang lebih baik untuk kami saat ini.

"lalu kamu memilih pilihan yang mana?" Nina bertanya.

Aku tak segera menjawab. Karena sejujurnya aku memang tidak bisa memilih. Aku bimbang. Aku terlalu menyayangi Nina. Menghabiskan waktu bersamanya, adalah hal terindah dalam hidup ku.

"seandainya ada pilihan yang lebih baik dari pada itu..." desahku pelan, lebih kepada diriku sendiri.

****

"Nina akan melanjutkan kuliahnya ke Malaysia. Disana ia akan tinggal bersama pamannya. Sepertinya Nina memang sudah tidak betah tinggal bersama kita sejak awal.."

Aku terkesima mendengar ucapan mama tiri ku barusan. Meski pun ucapan itu ia tujukan pada papa ku. Mama tiriku mengatakan hal tersebut di depan kami semua, saat kami makan malam.

"jika hal itu bisa membuat Nina senang.. saya setuju aja.." balas papa, sambil terus menyantap makanannya.

Aku melirik kearah Nina. Meminta jawabannya. Tapi Nina hanya tertunduk.

"sejak dulu, Nina memang ingin sekali kuliah di Malaysia, ikut pamannya di sana. Tapi selama ini aku selalu mencegahnya. Dan sekarang, aku tidak ingin lagi menghalanginya. Karena menurutku, Nina juga sudah cukup dewasa, untuk menentukan pilihan dalam hidupnya.." jelas mama tiri ku lagi.

Papa hanya manggut-manggut mendengar ucapan tersebut. Sementara aku terus menatapi Nina, dengan penuh tanda tanya. Selama ini, Nina tidak pernah cerita tentang keinginannya untuk kuliah ke Malaysia. Tapi, aku tahu pasti alasannya sekarang.

Selepas makan malam, aku menarik tangan Nina untuk mengobrol di teras depan. Aku butuh jawabannya. Aku butuh mendengar langsung hal itu dari mulut Nina.

"kenapa kamu harus pergi?" tanyaku memulai pembicaraan.

"karena aku sudah menentukan pilihanku, Raka.." balas Nina sedikit tak acuh.

"tapi mengapa kamu tidak ngomong dulu sama saya?" tanyaku lagi.

"apa itu harus? Bukankah kamu sendiri yang memberi kita pilihan? Dan menurutku ini adalah yang terbaik buat kita, Raka. Aku juga tidak mau selamanya terjebak dengan perasaan ini.." balas Nina kemudian.

Dan aku hanya bisa terdiam. Meski pun sejujurnya, aku belum siap berpisah dengan Nina. Tapi aku harus menghargai pilihannya. Karena memang itulah pilihan yang terbaik untuk kami saat ini.

Akhirnya aku hanya bisa pasrah. Membiarkan diriku terluka dengan pilihan tersebut. Melepaskan Nina dari hidupku dan juga dari hati ku. Sakit memang, tapi aku harus bisa ikhlas menerima semua itu.

****

Karena jauh dari istri

Namaku Candra. Saat ini aku sudah berusia 32 tahun lebih. Aku sudah menikah dan sudah memiliki 2 orang anak.

Anak pertama ku perempuan, sudah berusia 7 tahun. Sedangkan anak bungsu ku laki-laki, ia baru berusia 3 tahun. Saat ini istri ku sedang mengandung anak ketiga kami, usia kandungannya baru 4 bulan.

Aku memang menikah pada saat usia ku masih 24 tahun waktu itu. Sementara istri ku sendiri saat itu masih 22 tahun usianya.

Aku dan istri ku menikah atas dasar saling cinta. Kami sempat pacaran selama hampir tiga tahun.

Setamat SMA, aku tidak melanjutkan kuliah, karena kondisi ekonomi orangtua ku yang memang hanya pas-pasan. Di tambah pula ketiga orang adik-adik ku masih butuh biaya banyak waktu itu.

Sementara istri ku sendiri juga tidak kuliah, ia hanya lulusan SMA, sama seperti ku. Orang tua istri ku juga termasuk golongan orang yang tidak mampu.

Sebenarnya aku dan istri ku berasal dari kampung yang sama, karena itulah kami sudah saling kenal sejak lama. Namun setelah menikah, kami memutuskan untuk pergi merantau ke kota. Demi mendapatkan hidup yang lebih baik. Karena di kampung aku hanya bekerja sabagai buruh tani.

Pindah ke kota, ternyata tak seindah yang kami bayangkan. Bahkan kehidupan tidak kunjung membaik, meski telah berbagai usaha kami lakukan, untuk mengubah nasib kami.

Di kota aku hanya bisa menjadi seorang kuli bangunan. Tak jarang aku lebih sering menganggur, karena tidak ada proyek yang harus aku kerjakan. Beruntunglah istri ku punya usaha katering kecil-kecilan, sehingga kami masih bisa bertahan hingga saat ini.

Sebagai seorang kuli, aku memang sering tidak berada di rumah. Mengingat, kadang, tempat kerja ku cukup jauh. Sehingga mau tidak mau, aku harus sering menginap di proyek tempat aku bekerja sebagai kuli.

Tak jarang pula, aku harus menginap di tempat kerja ku, selama berminggu-minggu, agar bisa menyelesaikan proyek tersebut tepat waktu.

Sebenarnya aku, istri ku dan anak-anak ku, sudah terbiasa dengan hal tersebut. Kami sudah terbiasa terpisah beberapa hari bahkan hingga berbulan-bulan. Apa lagi jika lokasi tempat aku bekerja berada jauh di luar kota.

Berada jauh dari istri dan anak-anak ku, sudah menjadi hal yang biasa bagi ku. Meski kadang, aku harus kuat menahan kerinduan ku kepada mereka.

Beurntunglah, aku punya banyak rekan kerja, sesama kuli. dan sama-sama jauh dari keluarga. Sehingga aku tidak terlalu merasa kesepian.

Dan begitulah kehidupan yang aku jalani selama bertahun-tahun, bahkan hingga saat ini.

*****

Pada suatu waktu, aku dan rekan-rekan sesama kuli ku, mendapatkan sebuah proyek pembangunan perumahan, di daerah yang cukup jauh dari kota tempat aku tinggal. Perjalanan untuk sampai kesana bisa memakan waktu satu hari lebih, naik bis.

Karena berada cukup jauh, kami semua memang dianjurkan untuk tinggal sementara di tempat pembangunan perumahan tersebut. Ada rumah khusus tempat kami para kuli tinggal sementara di sana.

Menurut keterangan dari mandor kami waktu itu, proyek perumahan tersebut, baru akan selesai sekitar 3 atau 4 bulan ke depan. Dan selama itu, kami hanya boleh pulang sekali dalam sebulan.

Sebenarnya hal itu tidak terlalu jadi masalah bagi kami, terutama bagi ku. Karena kami sudah terbiasa berpisah berbulan-bulan dengan istri dan anak kami.

Namun sebagai laki-laki yang sudah menikah, kadang ada kerinduan tersendiri akan istri di rumah. Sebagai seorang laki-laki normal, kami juga punya kebutuhan biologis yang harus disalurkan. Namun karena sering berada jauh dari istri, kadang kami hanya bisa menyelesaikannya sendirian.

Aku sendiri sering merindukan istri ku, terutama ketika malam mulai menjelang. Aku hanya bisa membayangkan wajah istri ku, saat menjelang tidur.

Hingga pada suatu sore, setelah selesai mandi sepulang kerja, aku sengaja berjalan kaki sendirian keliling kompleks perumahan yang masih sepi tersebut.

Tepat di depan sebuah rumah, yang merupakan satu-satunya rumah yang berpenghuni waktu itu, aku sengaja memelankan langkah ku, sambil memperhatikan rumah yang terbuka tersebut.

Tiba-tiba sesosok wanita , yang masih cukup muda, keluar dari rumah tersebut. Wanita itu pun terlihat sedikit kaget, melihat kehadiran ku di depan rumahnya. Tapi buru-buru aku mengalihkan pandangan ku ke arah jalan.

"mau kemana, mas?" di luar dugaan ku, wanita itu menegur ku.

Aku memutar kepala untuk kembali melihat ke arah wanita tadi, sambil menghentikan langkah ku. Aku pun tersenyum ramah, menatap wanita itu kembali.

"hmmm... anu.. anu mbak.. saya mau keliling-keliling aja.." balasku terbata, karena ku lihat wanita itu menatapku dengan tersenyum.

"disini sepi loh, gak takut keliling-keliling sendirian?" tanya wanita itu lagi.

"mbak sendiri gak takut sendirian di rumah?" balasku balik bertanya, mencoba untuk terndengar ramah.

"saya gak sendirian kok tinggal di rumah ini, tapi sekarang suami saya memang sedang pergi ke kota, untuk berbelanja keperluan kami.. yah... mungkin pulangnya malam.." jelas wanita itu kemudian.

"oh.. gitu.." balasku sedikit membulatkan bibir, "sekarang mbak sendirian?" tanyaku melanjutkan.

"jangan panggil mbak lah, panggil aja Nurma.." ucap wanita itu, seakan mengabaikan pertanyaanku barusan.

"oh, ya.. mas siapa namanya?" tanya wanita, yang mengaku bernama Nurma itu melanjutkan, "mampir dulu sebentar gak apa-apa kok, mas.." lanjutnya lagi menawarkan.

Aku yang memang sedang merasa haus, tentu saja tidak menolak tawaran tersebut. Mumung dia juga lagi sendiri di rumah, kan.

Nurma memang masih terlihat muda, mungkin baru berusia 25 tahun. Dia juga seorang wanita yang cukup cantik, dengan postur tubuh yang ramping.

Tanpa sungkan aku pun singgah di rumah tersebut. Nurma mempersilahkan aku duduk di kuris teras depan rumahnya itu.

"namaku Candra..." ucapku, setelah aku duduk di samping Nurma, yang hanya memakai baju daster.

"mas Candra yang kerja jadi kuli di situ ya?" tanya Nurma kemudian.

"kok dek Nurma tahu?" aku balik bertanya lagi.

"yah.. kan yang tinggal di perumahan ini, baru cuma kalian para kuli loh. Selain kami juga. Tapi ngomong-ngomong, mas Candra gak tahu ya, kalau saya ini istrinya pak Imam, mandor kalian." jelas Nurma, sambil ia sedikit melirik padaku.

"oh.." sekali lagi aku membulatkan bibir, aku benar-benar tidak tahu, kalau pak Imam, mandor kami tersebut tinggal bersama istrinya di sini. Karena selama lebih kurang satu minggu kerja disini, aku gak pernah melihat Nurma sebelumnya.

"jadi gimana, mas? Rasanya jauh dari istri? Merasa kesepian gak tuh?" tiba-tiba Nurma bertanya demikian padaku.

Aku beranikan diri untuk menatap Nurma, mata kami pun saling tatap untuk beberapa saat.  Nurma tersenyum penuh arti padaku.

"yah.. pasti kesepian lah dek Nurma, namanya juga lagi jauh dari istri. Apa lagi kalau malam menjelang tidur, pasti keingat istri terus." balasku apa adanya, dan dengan niat tertentu.

"apa lagi udah lama juga gak nyetor ya?" ucap Nurma, sambil sedikit menekan suara, dengan maksud tertentu.

"yah itu masalahnya, mau nyetor jauh, ya udah... kadang terpaksa di buang-buang aja.." balasku pelan.

"mubazir loh, mas Candra. Mending nyetor nya sama saya aja.." Nurma berucap dengan senyum yang cukup menggoda.

"emang dek Nurma mau?" tanyaku penasaran.

"kalau performa mas Candra bisa lebih baik dari suami saya, saya mau aja.. itung-itung cari pengalaman baru, iya.. kan?" balas Nurma blak-blakan.

"ya udah, ayuk kita coba. Saya jamin performa saya pasti lebih baik.." ucapku dengan penuh ambisi.

"sekarang?" tanya Nurma dengan raut heran.

"iya.. sekarang... sebelum suami kamu pulang, kan?" balasku merasa tertantang.

"oke,,, ayok kita ke dalam.." ucap Nurma, sambil ia mulai berdiri perlahan.

Aku pun dengan spontan ikut berdiri dan melangkah mengikuti Nurma dari belakang, sambil menutup pintu dengan perlahan.

******

"gimana performa saya?" tanya ku setelah pertempuran kami selesai tiga ronde.

"yah... gimana ya... sangat bagus... jauh lebih baik dari performa suami saya.. " balas Nurma terlihat tersipu.

"jadi untuk selanjutnya, saya masih bisa nyetor sama kamu kan?" tanyaku ingin tahu.

"kalau suami ku gak ada di rumah boleh aja.." balas Nurma lagi.

"kalau suami mu ada di rumah, nanti kita cari tempat lain aja. Gak usah di rumah ini." ucapku membujuk.

"gak bisa. Kalau suami ku ada disini, aku mana boleh keluar.." balas Nurma pelan.

"yah..." desahku sedikit kecewa, "semoga suami kamu sering-sering ke kota ya.." lanjutku lirih.

"biasanya sekali seminggu sih, ia belanja ke kota. Tapi kadang-kadang ia juga sering ke kota untuk menemui bos nya.." ucap Nurma kemudian.

"ya udah gak apa-apa. Yang penting kamu masih mau kan?" balasku sedikit bertanya.

"kalau performa mas Candra sebagus itu, aku pasti mau lah.." ucap Nurma lagi.

"oke. Kalau gitu saya pamit dulu, takut suami mu keburu pulang.." ucapku kemudian, sambil mulai bangkit berdiri, dan memakai pakaian ku kembali.

****

Dan begitulah, selama masa aku bekerja di proyek perumahan tersebut, aku jadi tidak  merasa kesepian lagi. Setidaknya aku punya tempat untuk mencurahkan rasa kesepian ku tersebut.

Suami Nurma, pak Imam, mandor ku tersebut, memang sering pergi ke kota. Paling tidak sekali seminggu, ia pasti tidak berada di rumah. Dan aku mulai hafal akan hal tersebut. Setiap kali, pak Imam pergi ke kota, aku akan segera diam-diam menemui Nurma di rumahnya.

Hal itu terus terjadi selama berbulan-bulan, setidaknya selama aku bekerja di proyek perumahan tersebut. 

Sebenarnya ada rasa bersalah yang bersarang di hatiku, setiap kali aku bersama Nurma. Tapi aku mencoba mengabaikan hal tersebut. Aku sadar, jika apa yang aku lakukan bersama Nurma, adalah sebuah kesalahan. Aku telah mengkhianati istri dan anak-anak ku.

Kadang aku berusaha untuk menolak keinginan tersebut, tapi setiap kali aku berusaha untuk menolaknya, setiap kali pula keinginan itu terus memaksa ku untuk melakukannya lagi.

Aku hanya laki-laki biasa. Aku tak bisa melawan keinginan tersebut. Apa lagi keadaan ku saat ini, yang berada jauh dari istri ku.

Tapi aku berjanji dalam hati ku, semua ini hanya akan terjadi, selama aku bekerja di sini. Nanti jika aku sudah kembali ke rumah, aku akan mengakhiri semuanya. Ini hanya bersifat sementara.

Dan aku berharap, hal ini tidak akan pernah terjadi lagi. Semoga saja aku mampu menahan godaan tersebut, dimana pun aku akan bekerja nantinya.

Yah.. semoga saja..

*****

Kisah lainnya :

Pembantu baru ku part 2

Cari Blog Ini

Layanan

Translate