Bersama kakak tiri ku

Sebenarnya aku tak pernah rela, papa ku menikah lagi. Padahal mama baru meninggal sekitar dua tahun yang lalu. Tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa, untuk mencegah papa menikah lagi.

Karena aku hanya anak tunggal. Aku sendirian. Dan papa tidak pernah mau mendengar ucapan ku. Apa lagi aku dan papa tidak begitu dekat.

Semenjak mama meninggal, aku dan papa memang jarang mengobrol. Aku juga jarang berada di rumah. Aku lebih banyak menghabiskan waktu di luar. Papa juga sangat sibuk bekerja.

Aku seorang mahasiswa di sebuah kampus yang cukup terkenal di kota ku. Aku masih semester tiga, masih 20 tahun usia ku.

Saat usia ku masih 18 tahun, aku sudah kehilangan sosok seorang mama dalam hidupku. Dan hal itu cukup membuat aku merasa rapuh. Aku kehilangan orang yang paling aku sayang dalam hidupku.

Papa, tidak pernah bisa memberikan kasih sayang yang aku harapkan. Ia lebih sering memarahi ku, dari pada memperhatikan ku.

Aku tahu, sebenarnya papa sangat menyayangi ku, tapi ia tidak bisa menunjukkannya dengan cara yang aku inginkan. Dan hal itu cukup membuat aku merasa kecewa.

Dan sekarang, papa memutuskan untuk menikah lagi, setelah dua tahun ia hidup sendirian, tanpa mama. Yang membuat aku semakin merasa kecewa.

Mama tiri ku seorang janda yang sudah punya anak dua. Kedua anaknya juga sudah cukup dewasa. Anak pertamanya bernama Nina, masih kuliah dan sudah 21 tahun usianya. Sedangkan anak keduanya, bernama Arini, masih kelas XII SMA.

Mama tiriku dan juga kedua anaknya ikut tinggal di rumah kami. Rumah yang dulunya terasa sepi,kini kembali terasa ramai. Tapi tetap saja, aku tidak merasa bahagia dengan semua itu.

Nina, kakak tiriku, yang satu tahun lebih tua dari ku, memang memiliki wajah yang lumayan cantik. Ia juga terlihat sedikit tomboy dan keras kepala.

Suami pertama ibu tiriku sudah lama meninggal, sejak Nina dan Arini masih sangat kecil. Selama itu, mereka di besarkan oleh mamanya sendirian. Mama tiri ku adalah seorang guru, sedangkan papa ku adalah seorang pengusaha.

Sejak aku tinggal serumah bersama mama tiri ku, Nina dan juga Arini. Akujadi sering memperhatikan tingkah laku mereka, terutama Nina. Dia terlihat seperti anak yang suka kebebasan dan agak susah diatur. Nina juga sering pulang larut malam.

Mama tiri ku sudah sering menegur kelakuan Nina tersebut, bahkan di depan aku dan papa. Tapi Nina tidak pernah berubah. Ia bahkan sering melawan ucapan mamanya.

"begitulah sosok anak yang dibesarkan tanpa sosok seorang ayah.." keluh mama tiri ku, suatu hari ketika untuk kesekian kalinya Nina membantah ucapannya.

Awalnya, aku tidak terlalu peduli dengan sikap perlawanan Nina tersebut. Bagiku hal itu bukanlah urusan ku. Karena aku punya kehidupan sendiri yang harus aku jalani.

Namun lama kelamaan, aku justru jadi penasaran dengan sikap Nina tersebut. Pasti ada penyebabnya kenapa Nina harus bersikap seperti itu, terutama kepada mamanya sendiri.

"kenapa kamu suka sekali melawan ucapan mama mu sendiri?" tanyaku pada suatu kesempatan.

"itu bukan urusan mu.." balas Nina ketus.

"sebenarnya aku juga tidak peduli. Tapi karena sekarang, kita sudah tinggal satu atap, segala yang terjadi di rumah secara otomatis juga menjadi urusan ku.." balasku tajam.

"kamu pikir saya mau tinggal disini?" mata Nina melotot menatap ku, "kamu pikir saya sudi punya papa tiri.." lanjutnya masih dengan tatapan tajamnya padaku.

Oh.. jadi karena itu.. desahku dalam hati.

"saya juga tidak mau papa saya menikah lagi.." ucapku cepat, "tapi itu bukan alasan untuk membuat saya jadi orang jahat..." lanjut ku. Kali ini Nina memalingkan wajahnya.

"saya bukan orang jahat.." balas Nina keras.

"kamu memang bukan jahat, tapi durhaka..." ucapku lebih keras.

Kali ini Nina terdiam. Raut mukanya tiba-tiba berubah sendu.

"aku juga tidak ingin seperti ini sebenarnya.." tiba-tiba Nina berucap dengan nada pelan.

"tapi semenjak mama menikah lagi, ia jadi suka mengekang ku. Ia juga jarang punya waktu untuk mengobrol dengan ku lagi.." Nina menarik napas berat, "aku melakukan semua pemberontakan itu, hanya untuk mendapatkan perhatian mama lagi.." lanjutnya lirih.

"tapi menurutku cara mu itu salah.." ucapku ikut memelankan suara. Tiba-tiba muncul rasa simpati di hatiku kepada Nina. Ia pasti belum bisa terima, kalau mamanya sudah punya suami baru.

"lalu menurutmu bagaimana cara yang benar?" balas Nina bertanya. Ia manatapku kembali, kali ini dengan tatapan sendu.

"saya juga tidak tahu. Tapi yang pasti bukan begitu caranya..." ucapku membalas. Tatapan Nina cukup membuat aku merasa salah tingkah.

"kamu sendiri gimana?" tiba-tiba Nina bertanya kembali, seakan sengaja mengalihkan pembicaraan.

"aku?" tanyaku heran.

"iya... apa kamu setuju dengan pernikahan mereka?" tanya Nina lagi cukup jelas.

"bukankah tadi sudah saya katakan, kalau saya tidak pernah ingin papa menikah lagi. Tapi, sebagai anak tunggal, saya tidak bisa berbuat apa-apa untuk mencegahnya." balasku pelan.

"dan kamu pasrah begitu aja?" tanya Nina lagi.

"setidaknya saya tidak akan menjadi anak pemberontak seperti kamu.." jawabku tajam.

"sepertinya kamu bukan hanya tidak menyukai pernikahan papa mu, tapi kamu juga tidak suka kami tinggal di sini, kan?" balas Nina menghakimi ku.

"sejujurnya, iya.. aku merasa ketenangan ku terganggu. Tapi... sebenarnya aku juga merasa kasihan melihat papa selama ini. Ia terlihat sangat kesepian. Dan kehadiran kalian sepertinya, mampu mengobati kesepian papa. Hal itu yang membuat aku harus menerima semua ini dengan ikhlas.." jelasku kemudian.

****

Dan begitulah, sejak kejadian itu, aku dan Nina menjadi dekat dan semakin sering mengobrol berdua. Ternyata Nina tidak seburuk yang aku sangkakan selama ini. Ia cukup pengertian orangnya.

Aku dan Nina jadi sering menghabiskan waktu berdua. Kami jadi sering nongkrong bareng, ngampus bareng, nonton bareng, dan melakukan banyak hal bersama.

Aku merasa bahagia dengan semua itu. Entah mengapa, aku seakan menemukan sosok yang aku impikan selama ini pada diri Nina. Perlahan rasa kagum itu pun tumbuh. Dan aku tidak bisa menolak hadirnya rasa itu.

Hingga pada suatu malam. Kami hanya tinggal berdua di rumah. Kebetulan waktu itu, papa, mama tiriku dan Arini sedang pergi ke sebuah acara pesta pernikahan keluarga papa di luar kota. Aku dan Nina sengaja tidak ikut, karena ada kegiatan di kampus.

Malam itu hujan turun sangat deras. Suara petir bergemuruh silih berganti di langit. Aku sengaja tidak keluar kamar. Sampai akhirnya aku mendengar suara ketukan di pintu kamar ku.

Dengan malas, aku membuka pintu kamarku. Nina sudah berdiri di depan pintu. Wajahnya terlihat pucat pasi. Tubuhnya menggigil, seperti orang yang ketakutan.

"Nina? Ada apa?" tanyaku dengan mimik heran.

"aku... aku takut petir.." balas Nina dengan suara bergetar.

"aku.. boleh di kamar mu sebentar. Sampai hujan ini reda.." lanjutnya kemudian.

Aku terdiam sesaat. Terpaku. Aku masih tidak percaya, kalau Nina yang tomboy tersebut, juga punya rasa takut.

"iya.. boleh.. kamu masuk aja.." ucapku akhirnya, tak tega melihat wajah Nina yang tiba-tiba memelas.

Nina pun melangkah masuk. Ia duduk di sisi ranjang tidur ku. Dengan sedikit ragu, aku pun ikut duduk di sampingnya.

"sejak kapan kamu takut petir?" tanyaku.

"sudah lama.. sejak kecil. Tapi mama tidak pernah tahu. Jika cuaca buruk, seperti sekarang ini, biasanya aku hanya akan mengurung diri di kamar, dan bersembunyi di bawah kasur." jelas Nina.

"lalu mengapa sekarang kamu tidak coba lagi sembunyi di bawah kasur?" tanyaku sedikit menggodanya.

"kamu gak mau saya berada disini?" balas Nina balik bertanya.

"bukan.. bukan itu maksud saya... tapi mengapa kamu memilih untuk menceritakan hal ini padaku?" tanyaku kemudian.

"karena aku percaya sama kamu, Raka." balas Nina terdengar jujur.

Kali ini aku terdiam. Aku dan Nina memang sudah cukup dekat. Dan jujur saja, aku juga mulai mengagumi sosok Nina. Selain ia memiliki wajah yang cantik, dengan postur tubuh yang proporsional. Nina juga anak yang pintar, penuh perhatian dan sedikit blak-blakan.

"hanya bersama kamu aku bisa menjadi diriku sendiri, Raka. Di depan kamu, aku tidak perlu berpura-pura. Dan... jujur saja... aku juga merasa nyaman bersama kamu.." Nina berucap lagi, lebih pelan.

Aku juga tidak bisa memungkiri hal tersebut. Aku juga merasa nyaman bersama Nina. Aku juga tidak harus berpura-pura di depannya. Bersamanya aku bisa menjadi diriku yang seutuhnya. Tapi...

"kita tidak seharusnya jadi sedekat ini, Nina.." aku berucap juga akhirnya, "aku rasa... ini adalah sebuah kesalahan.." lanjutku.

"iya.. aku tahu, Raka. Dari awal aku juga sudah tahu akan hal ini. Tapi... semakin aku coba untuk menghindari kamu, aku semakin ingin berada di dekat mu..." balas Nina.

"aku juga merasakan hal itu, Nina. Aku juga sangat mengagumi kamu. Aku hanya ingin selalu bersama kamu. Menghabiskan waktu berdua. Tapi... aku juga sadar, kalau hal itu adalah sebuah kesalahan.." ucapku membalas.

"aku hanya ingin kamu tahu, Raka. Kalau sebenarnya aku telah jatuh cinta padamu. Kebersamaan kita selama ini, telah mampu menumbuhkan rasa yang indah di hati ku. Dan aku juga ingin tahu, perasaan mu padaku.." Nina berucap, sambil ia melirik ku beberapa kali.

"aku.... aku juga sayang sama kamu, Nina. Aku juga telah jatuh cinta sama kamu. Tapi selama ini, aku berusaha memendam semua itu. Karena aku tahu, perasaan itu seharusnya tidak ada.." balasku apa adanya.

"haruskah kita membunuh rasa itu, Raka? Rasa yang tumbuh subur di hati kita? Rasa yang seharusnya membuat kita merasa bahagia?" tanya Nina lirih.

Tiba-tiba suasana malam itu menjadi haru diantara kami berdua. Nina bahkan berkali-kali membersit hidungnya, menahan tangis.

"pada saatnya nanti, perasaan ini hanya akan menyakiti hati kita sendiri, Nina. Bahkan mungkin akan jauh lebih menyakitkan dari pada yang kita takutkan.." balasku kemudian.

"kita hanya punya dua pilihan, yang sama-sama sulit. Pertama, kita bisa melanjutkan semua ini, dengan resiko, suatu saat nanti, papaku, mama mu, dan bahkan semua orang akan mengucilkan kita. Atau pilihan kedua, kita berhenti sampai disini, dengan menanggung semua luka, karena kita tidak bisa saling memiliki.." ucapku melanjutkan.

Entah mengapa aku merasa sakit mendengar ucapan ku sendiri. Rasanya begitu perih menyadari itu semua. Sungguh, tidak pilihan yang lebih baik untuk kami saat ini.

"lalu kamu memilih pilihan yang mana?" Nina bertanya.

Aku tak segera menjawab. Karena sejujurnya aku memang tidak bisa memilih. Aku bimbang. Aku terlalu menyayangi Nina. Menghabiskan waktu bersamanya, adalah hal terindah dalam hidup ku.

"seandainya ada pilihan yang lebih baik dari pada itu..." desahku pelan, lebih kepada diriku sendiri.

****

"Nina akan melanjutkan kuliahnya ke Malaysia. Disana ia akan tinggal bersama pamannya. Sepertinya Nina memang sudah tidak betah tinggal bersama kita sejak awal.."

Aku terkesima mendengar ucapan mama tiri ku barusan. Meski pun ucapan itu ia tujukan pada papa ku. Mama tiriku mengatakan hal tersebut di depan kami semua, saat kami makan malam.

"jika hal itu bisa membuat Nina senang.. saya setuju aja.." balas papa, sambil terus menyantap makanannya.

Aku melirik kearah Nina. Meminta jawabannya. Tapi Nina hanya tertunduk.

"sejak dulu, Nina memang ingin sekali kuliah di Malaysia, ikut pamannya di sana. Tapi selama ini aku selalu mencegahnya. Dan sekarang, aku tidak ingin lagi menghalanginya. Karena menurutku, Nina juga sudah cukup dewasa, untuk menentukan pilihan dalam hidupnya.." jelas mama tiri ku lagi.

Papa hanya manggut-manggut mendengar ucapan tersebut. Sementara aku terus menatapi Nina, dengan penuh tanda tanya. Selama ini, Nina tidak pernah cerita tentang keinginannya untuk kuliah ke Malaysia. Tapi, aku tahu pasti alasannya sekarang.

Selepas makan malam, aku menarik tangan Nina untuk mengobrol di teras depan. Aku butuh jawabannya. Aku butuh mendengar langsung hal itu dari mulut Nina.

"kenapa kamu harus pergi?" tanyaku memulai pembicaraan.

"karena aku sudah menentukan pilihanku, Raka.." balas Nina sedikit tak acuh.

"tapi mengapa kamu tidak ngomong dulu sama saya?" tanyaku lagi.

"apa itu harus? Bukankah kamu sendiri yang memberi kita pilihan? Dan menurutku ini adalah yang terbaik buat kita, Raka. Aku juga tidak mau selamanya terjebak dengan perasaan ini.." balas Nina kemudian.

Dan aku hanya bisa terdiam. Meski pun sejujurnya, aku belum siap berpisah dengan Nina. Tapi aku harus menghargai pilihannya. Karena memang itulah pilihan yang terbaik untuk kami saat ini.

Akhirnya aku hanya bisa pasrah. Membiarkan diriku terluka dengan pilihan tersebut. Melepaskan Nina dari hidupku dan juga dari hati ku. Sakit memang, tapi aku harus bisa ikhlas menerima semua itu.

****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini

Layanan

Translate