Mama mertua ku (kisah nyata)

Sebenarnya kisah ini terjadi sudah terjadi beberapa tahun yang lalu. Tepatnya saat aku masih berusia 25 tahun waktu itu. Saat itu aku baru saja menikah.

Istri ku memang masih sangat muda waktu itu, masih 20 tahun usianya. Kami terpaksa menikah karena suatu kesalahan yang kami perbuat. Yang mengakibatkan istri ku, 'telat tiga bulan' waktu  itu.

Dengan acara pernikahan yang sangat sederhana. Hanya dihadiri oleh keluarga dekat kami, dari kedua keluarga.

Istri ku merupakan anak tertua dari tiga bersaudara. Adik-adiknya juga masih kecil-kecil 

Aku sendiri merupakan anak bungsu dari kami empat bersaudara. Ketiga kakak-kakak ku sudah menikah semuanya.

Pada saat awal aku menikah tersebut, aku bahkan belum punya pekerjaan tetap. Meski sebenarnya aku sudah lulus kuliah. Namun belum ada satu pun lamaran pekerjaan ku yang diterima. Sementara istri ku tetap melanjutkan kuliahnya, atas permintaan kedua mertua ku.

Mama mertua ku sendiri sebenarnya masih cukup muda. Ia masih berusia 40 tahun waktu itu. Karena memang mama mertua ku juga menikah muda. Ia menikah pada saat usianya masih 19 tahun. Dan itu terjadi juga karena sebuah kesalahan mereka waktu muda. Telat tiga bulan. Dan itu sepertinya juga menurun kepada Diana, anak gadisnya, istri ku tersebut.

Karena belum punya pekerjaan tetap, aku dan istri ku masih tinggal satu atap dengan keluarga mertua ku. Beruntunglah rumah mertua ku cukup besar. Karena memang papa mertua ku adalah seorang pedagang yang cukup sukses.

Sebagai seorang pedagang yang suka bekerja keras, papa mertua ku memanng jarang berada di rumah. Ia lebih banyak menghabiskan waktu di tempat kerjanya. Bahkan ia sering pulang larut malam.

Mama mertua ku hanya seorang ibu rumah tangga biasa. Ia hanya menghabiskan waktu di rumah. Memasak, mencuci pakaian, membereskan rumah dan mengurusi anak-anaknya.

Hingga pada suatu pagi. Istri ku sudah berangkat kuliah. Adik-adik iparku juga sudah berangkatke sekolah. Sementara papa mertua ku juga sudah pergi bekerja seperti biasa.

Di rumah hanya ada aku dan mama mertua ku. Kebetulan hari itu, aku sedang tidak ada pekerjaan. Biasanya, aku sering bekerja jadi kuli bangunan, atau pekerjaan freelance lainnya. Karena aku belum juga mendapatkan pekerjaan tetap.

Papa mertua ku pernah menawarkan untuk aku ikut bekerja dengannya. Tapi aku masih ragu untuk bekerja dengannya. Karena selain aku memang tidak suka berdagang, aku juga masih merasa gengsi kalau harus bekerja dengan papa mertua ku.

Hari itu, karena tidak punya rencana apa-apa, aku sengaja berbaring malas-malasan di atas dalam kamar ku. Aku masih belum mandi dan bahkan belum sarapan apa-apa. Aku hanya sibuk memainkan handphone ku.

Tiba-tiba aku mendengar suara ketukan di pintu kamar ku. Dengan hanya masih memakai celana pendek tanpa baju, aku segera membuka pintu kamar. Saat itu mama mertua ku telah berdiri di ambang pintu. Ia menatap ku cukup lama.

"ada apa, Ma?" tanya ku merasa sedikit sungkan. Biar bagaimana pun, aku hanya memakai celana pendek waktu itu.

Ku lihat mama mertua kua jadi sedikit salah tingkah. Matanya masih terus menatap ku dengan pandangan yang tidak bisa aku mengerti.

"kamu udah sarapan?" tanyanya akhirnya.

"belum, Ma.." jawabku singkat.

"kamu mau mama bikinin sarapan apa?" mama mertua ku bertanya lagi.

Aku merasa sedikit heran. Belum pernah sebelumnya mama mertua ku mempertanyakan hal tersebut. Bahkan selama ini, ia terkesan sangat cuek padaku.

"terserah mama aja.." jawabku akhirnya, masih dengan perasaan penuh keheranan.

Mengapa mama mertua ku tiba-tiba jadi perhatian padaku? tanyaku membathin.

"ya udah.. mama bikinin kami nasi goreng aja ya... Kamu mandi dulu... ada yang mau mama omongin sama kamu.." ucap mama mertua ku kemudian.

"iya, Ma.." balasku singkat. Perasaan ku jadi merasa tidak enak. Tumben, mama mertua ku mau ngomong sama aku. Dan sepertinya cukup penting.

Tak lama kemudian, mama mertua ku pun berlalu dari situ. Aku segera menutup pintu kembali, dengan perasaan yang masih penuh tanda tanya.

Kemudian aku pun memutuskan untuk segera mandi. Aku jadi penasaran dengan apa yang ingin diomongkan mama mertua ku padaku. Tapi aku berharap, itu bukan sesuatu yang buruk.

****

 

Setelah mandi dan memakai pakaian apa adanya, baju kaos oblong dan celana training, aku pun segera keluar dari kamar dan langsung menuju dapur.

Di meja makan, mama mertua ku sudah menunggu di sana, dengan dua piring nasi goreng dan minuman dingin. Mama mertua ku terlihat tersenyum lebar menyambut kedatangan ku. Semenjak aku menikah dengan istri ku, baru kali ini aku melihat senyum mama mertua ku selebar itu.

"duduk, Fer..." ucap mama mertua ku, sambil mempersilahkan aku duduk di sampingnya.

Dengan sungkan, aku pun duduk di samping mertua ku. Hati ku tiba-tiba berdebar hebat. Belum pernah sebelumnya aku duduk sedekat ini bersama mama mertua ku, apa lagi saat ini hanya kami berdua di rumah.

"makan.." tawarnya kemudian, melihat aku yang masih kelihatan salah tingkah.

Aku pun mulai menyantap nasi goreng tersebut dengan perlahan. Mama mertua ku juga melakukan hal yang sama.

"mama tahu... selama ini mama tidak memperlakukan kamu dengan cukup baik di rumah ini.." mama mertua ku mulai berbicara lagi.

"sebenarnya mama hanya takut, kalau Diana akan mengalami hal yang sama seperti yang mama alami, karena menikah terlalu muda.." lanjutnya, sambil ia terus menyantap sarapannya.

Aku masih terdiam. Mencoba memahami maksud dari ucapannya. Mencoba mencerna kemana arah pembicaraan tersebut.

"dulu mama juga menikah muda, bahkan lebih muda dari Diana saat ini. Awalnya semua memang terasa indah. Mama dan papa merasa sangat bahagia, apa lagi setelah kelahiran Diana, istri kamu. Tapi..." sepertinya ia sengaja menggantung kalimatnya.

"setelah anak kedua kami lahir, kami jadi sering bertengkar, terutama karena kondisi ekonomi kami saat itu masih sangat kekurangan. Kami bahkan sempat hampir bercerai. Tapi mama berusaha untuk bertahan. Mama berusaha memberi dukungan penuh pada papa waktu itu." ia menarik napas sejenak.

"hingga akhirnya, dengan perlahan, usaha papa pun mulai berkembang. Kehidupan kami mulai membaik, terutama sejak anak ketiga kami lahir. kelahiran si bungsu seperti memberi berkah tersendiri untuk keluarga kami." ia kembali menarik napas, lebih dalam.

"itulah mengapa mama ingin, Diana tetap kuliah. Setidaknya nanti hal itu akan berguna di kemudian hari. Setidaknya nanti, kalian sama-sama bisa bekerja. Dengan begitu, kalian tidak akan mengalami kesulitan ekonomi seperti yang pernah kami alami dulu.." lanjutnya lagi.

Mama mertua ku meneguk minuman terakhirnya. Ia hanya memakan nasi gerongnya separoh. Sepertinya ia tidak sedang berselara untuk makan. Atau ia sedang diet.

Sementara aku terus saja menyantap makanan ku sampai habis.

"mama pikir, setelah kehidupan ekonomi kami semakin membaik, mama akan kembali merasakan bahagia. Tapi ternyata mama salah..." sekali lagi ia menggantung kalimatnya, lalu ia menarik napas cukup lama.

"setelah kami hampir punya segalanya, papa malah bertingkah. Ia jadi jarang pulang. Alasannya selalu karena banyak pekerjaan. Awalnya mama percaya, Tapi lama kelamaan sikap papa semakin berubah. Sampai akhirnya mama tahu, kalau ternyata papa sudah menikah lagi.." tiba-tiba raut kesedihan tersirat di wajah mama mertua ku.

"mama sudah tahu hal itu sejak lama, tapi mama tidak mau menceritakannya pada siapa pun. Saat mama coba membahas hal tersebut sama papa, ia justru memarahi mama, dan mengancam akan menceraikan mama.." ia melanjutkan lagi, kali ini dengan nada pilu.

"mama mencoba untuk tetap bertahan, karena mama tidak mau bercerai dari papa. Jika kami bercerai, anak-anak akan jadi korban. Dan mama tidak bisa membesarkan mereka sendirian, karena mama tidak bekerja.." lanjutnya lagi, air matanya perlahan mulai mengalir di pipinya.

"mama menceritakan ini semua sama kamu, agar kamu nantinya tidak melakukan hal yang sama seperti yang papa lakukan. Mama tidak mau Diana juga mengalami hal ini nantinya." mama mertua ku berucap lagi, kali ini ia terlihat lebih tenang.

"saat ini, mama hanya harus tetap berpura-pura semuanya baik-baik saja. Meski mama sekarang jadi sering merasa kesepian, karena papa jaran berada di rumah. Mama mencoba ikhlas, dan mama berharap anak-anak tidak ada yang tahu akan hal ini.." ia berucap lagi.

****

Entah apa yang aku rasakan saat ini, setelah aku mengetahui semua itu. Dan aku juga tidak tahu, apa tujuan sebenarnya mama mertua ku menceritakan hal itu pada ku. Padahal bahkan, anak-anaknya belum mengetahuinya.

Sejujurnya aku pun merasa iba melihat mama mertua ku, setelah aku mengetahui semua itu. Betapa beratnya hal tersebut baginya saat ini.

"sudah bertahun-tahun mama memendam semua ini sendirian. Rasanya mama sudah tidak kuat lagi.." mama mertua ku berucap kembali.

"sudah bertahun-tahun juga mama tidak lagi merasakan keh4ngatan dari seorang suami. Karena sejak mama mengetahui kalau papa sudah menikah lagi, papa tidak pernah lagi menyentuh mama. Mama sangat merasa kesepian, Fer..." tiba-tiba ia terisak kembali.

"maukah kamu mengobati kesepian mama ini?" lanjutnya kemudian, yang membuat aku merasa sangat kaget.

"ma... maksud mama apa?" tanya ku terbata.

"mama tahu ini salah, Fer.. Tapi jujur saja, sejak pertama kali melihat kamu, mama sudah tertarik sama kamu. Apa lagi sudah sangat lama, mama tidak meraskan hal tersebut.." balas mama mertua ku.

"tapi... tapi saya ini menantu mama loh..." ucapku masih terbata.

"iya.. mama tahu... tapi mama tidak bisa lagi memendam semua ini... mama benar-benar membutuhkan kamu, Fer.. untuk mengisi kesepian mama selama ini.. lagi pula istri kamu juga sedang hamil, pasti kamu juga sudah lama tidak melakukan hal tersebut bersama istri mu.." balasnya kemudian, yang membuat aku merasa tak lagi mengenali mama mertua ku.

Sungguh aku tak pernah menyangka semua itu. Mama mertua ku menyukai ku? Bahkan ia sangat menginginkan ku. Ada apa ini sebenarnya? bathin ku bergejolak penuh tanya.

"ayo lah... Fer... bantu mama.... apa mama tidak menarik di mata kamu?" ia berucap lagi.

Sejujurnya, secara fisik, mama mertua ku masih cukup menarik. Aku jadi bertanya-tanya, kenapa papa mertua ku memilih untuk menikah lagi, padahal istrinya masih terlihat cantik dan seksi.

Dan sebagai laki-laki normal, jujur saja, aku pasti tidak akan bisa menolak, jika mama mertua ku terus memaksa ku.

"tapi... saya takut, Ma. Saya takut papa tahu, apa lagi kalau sampai Diana tahu.." aku berucap juga akhirnya, setelah cukup lama terdiam. Berpikir.

"papa pasti sudah tidak peduli akan hal itu. Dan Diana tidak akan pernah tahu, karena ia lebih sibuk memikirkan kuliahnya dan juga kandungannya.." balas mama mertua ku terdengar yakin.

****

Aku bukan laki-laki baik-baik. Sebagai anak bungsu, aku memang selalu di manja. Semua keinginan ku selalu di penuhi oleh kedua orangtua ku. Meski pun sebenarnya secara ekonomi kehidupan kami tidak terlalu baik.

Aku termasuk anak yang bandel di sekolah. Merokok, cabut saat jam belajar dan berbagai kenakalan lainnya yang sering aku lakukan semasa aku sekolah.

Saat kuliah aku juga sering jadi biang kerok masalah di kampus. Bahkan aku terkenal sering gonta ganti pacar. Aku juga pernah pacaran dengan dosen, hanya untuk mendapatkan nilai yang baik dan menyelesaikan skripsi ku.

Diana bukan pacar pertama ku, itu sudah pasti. Kalau saja ia tidak terlanjur h4mil duluan, aku tidak mungkin akan menikahinya. Tapi aku tidak bisa lari dari tanggungjawab itu, karena Diana nekat mendatangi rumahku waktu itu. Dan menceritakan tentang kehamilan pada mama ku.

Dan sekarang ada mama mertua ku di depan ku, dengan segala pesonanya dan terang-terangan ia menginginkan ku. Haruskah aku mengabaikannya?

Akhirnya, meski sedikit merasa terpaksa, aku pun memenuhi keinginan mama mertua ku pagi itu. Selain karena aku merasa kasihan melihatnya, juga karena aku memang bukan laki-laki baik-baik. Sekali lagi, aku bukan laki-laki baik-baik...

Aku tahu ini salah, aku tahu resikonya sangat besar. Tapi n4fsu lebih menguasai ku saat itu. Apa lagi mama mertua ku ternyata sangat agresif, yang membuat aku tak bisa menghindarinya.

Dan satu hal lagi, mama mertua ku lebih punya pengalaman dan keahlian jika di bandingkan dengan istri ku. Dan hal itu, yang membuat aku jadi merasa sangat terkesan.

****

Dan begitulah, sejak saat itu, aku dan mama mertua ku jadi punya hubungan khusus. Hubungan rahasia yang hanya kami berdua yang tahu.

Hal itu terus terjadi selama berbulan-bulan dan bahkan hingga bertahun-tahun. Kami semakin terlena dengan hubungan tersebut.

Hingga pada suatu....

Istri ku akhirnya memeroki kami. Tentu saja hal itu telah mengubah semuanya. 

Istri ku meminta cerai dan mengusir ku dari rumah. Sementara mama mertua ku, akhirnya mengungkapkan semuanya. Ia menceritakan tentang papa mertua ku yang sudah menikah lagi kepada anak-anaknya.

Tentu saja hal itu membuat shock semua anggota keluarga, terutama anak-anak mereka. Akhirnya mama mertua ku pun juga bercerai dari suaminya.

Papa mertua ku memutuskan untuk meninggalkan keluarganya dan memilih hidup bersama istri keduanya. Sementara mama mertua ku menghilang entah kemana. Dan aku memutuskan untuk kembali ke rumah orantua ku. Mengakui semua perbuatan ku dan berjanji tidak akan mengulanginya.

Sementara istri ku memilih untuk membesarkan anaknya sendirian, bersama adik-adiknya ia berusaha kembali bangkit membangun kehidupannya yang baru.

Begitulah kisah kelam ku bersama mama mertua ku, yang terjadi beberapa tahun yang lalu. Sebuah kisah yang hanya menjadi rahasia di masa lalu. Menjadi sebuah pelajaran berharga, agar aku bisa memperbaiki diri dan menjadi pribadi yang lebih baik lagi.

Semoga saja...

****

Bersama kakak tiri ku

Sebenarnya aku tak pernah rela, papa ku menikah lagi. Padahal mama baru meninggal sekitar dua tahun yang lalu. Tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa, untuk mencegah papa menikah lagi.

Karena aku hanya anak tunggal. Aku sendirian. Dan papa tidak pernah mau mendengar ucapan ku. Apa lagi aku dan papa tidak begitu dekat.

Semenjak mama meninggal, aku dan papa memang jarang mengobrol. Aku juga jarang berada di rumah. Aku lebih banyak menghabiskan waktu di luar. Papa juga sangat sibuk bekerja.

Aku seorang mahasiswa di sebuah kampus yang cukup terkenal di kota ku. Aku masih semester tiga, masih 20 tahun usia ku.

Saat usia ku masih 18 tahun, aku sudah kehilangan sosok seorang mama dalam hidupku. Dan hal itu cukup membuat aku merasa rapuh. Aku kehilangan orang yang paling aku sayang dalam hidupku.

Papa, tidak pernah bisa memberikan kasih sayang yang aku harapkan. Ia lebih sering memarahi ku, dari pada memperhatikan ku.

Aku tahu, sebenarnya papa sangat menyayangi ku, tapi ia tidak bisa menunjukkannya dengan cara yang aku inginkan. Dan hal itu cukup membuat aku merasa kecewa.

Dan sekarang, papa memutuskan untuk menikah lagi, setelah dua tahun ia hidup sendirian, tanpa mama. Yang membuat aku semakin merasa kecewa.

Mama tiri ku seorang janda yang sudah punya anak dua. Kedua anaknya juga sudah cukup dewasa. Anak pertamanya bernama Nina, masih kuliah dan sudah 21 tahun usianya. Sedangkan anak keduanya, bernama Arini, masih kelas XII SMA.

Mama tiriku dan juga kedua anaknya ikut tinggal di rumah kami. Rumah yang dulunya terasa sepi,kini kembali terasa ramai. Tapi tetap saja, aku tidak merasa bahagia dengan semua itu.

Nina, kakak tiriku, yang satu tahun lebih tua dari ku, memang memiliki wajah yang lumayan cantik. Ia juga terlihat sedikit tomboy dan keras kepala.

Suami pertama ibu tiriku sudah lama meninggal, sejak Nina dan Arini masih sangat kecil. Selama itu, mereka di besarkan oleh mamanya sendirian. Mama tiri ku adalah seorang guru, sedangkan papa ku adalah seorang pengusaha.

Sejak aku tinggal serumah bersama mama tiri ku, Nina dan juga Arini. Akujadi sering memperhatikan tingkah laku mereka, terutama Nina. Dia terlihat seperti anak yang suka kebebasan dan agak susah diatur. Nina juga sering pulang larut malam.

Mama tiri ku sudah sering menegur kelakuan Nina tersebut, bahkan di depan aku dan papa. Tapi Nina tidak pernah berubah. Ia bahkan sering melawan ucapan mamanya.

"begitulah sosok anak yang dibesarkan tanpa sosok seorang ayah.." keluh mama tiri ku, suatu hari ketika untuk kesekian kalinya Nina membantah ucapannya.

Awalnya, aku tidak terlalu peduli dengan sikap perlawanan Nina tersebut. Bagiku hal itu bukanlah urusan ku. Karena aku punya kehidupan sendiri yang harus aku jalani.

Namun lama kelamaan, aku justru jadi penasaran dengan sikap Nina tersebut. Pasti ada penyebabnya kenapa Nina harus bersikap seperti itu, terutama kepada mamanya sendiri.

"kenapa kamu suka sekali melawan ucapan mama mu sendiri?" tanyaku pada suatu kesempatan.

"itu bukan urusan mu.." balas Nina ketus.

"sebenarnya aku juga tidak peduli. Tapi karena sekarang, kita sudah tinggal satu atap, segala yang terjadi di rumah secara otomatis juga menjadi urusan ku.." balasku tajam.

"kamu pikir saya mau tinggal disini?" mata Nina melotot menatap ku, "kamu pikir saya sudi punya papa tiri.." lanjutnya masih dengan tatapan tajamnya padaku.

Oh.. jadi karena itu.. desahku dalam hati.

"saya juga tidak mau papa saya menikah lagi.." ucapku cepat, "tapi itu bukan alasan untuk membuat saya jadi orang jahat..." lanjut ku. Kali ini Nina memalingkan wajahnya.

"saya bukan orang jahat.." balas Nina keras.

"kamu memang bukan jahat, tapi durhaka..." ucapku lebih keras.

Kali ini Nina terdiam. Raut mukanya tiba-tiba berubah sendu.

"aku juga tidak ingin seperti ini sebenarnya.." tiba-tiba Nina berucap dengan nada pelan.

"tapi semenjak mama menikah lagi, ia jadi suka mengekang ku. Ia juga jarang punya waktu untuk mengobrol dengan ku lagi.." Nina menarik napas berat, "aku melakukan semua pemberontakan itu, hanya untuk mendapatkan perhatian mama lagi.." lanjutnya lirih.

"tapi menurutku cara mu itu salah.." ucapku ikut memelankan suara. Tiba-tiba muncul rasa simpati di hatiku kepada Nina. Ia pasti belum bisa terima, kalau mamanya sudah punya suami baru.

"lalu menurutmu bagaimana cara yang benar?" balas Nina bertanya. Ia manatapku kembali, kali ini dengan tatapan sendu.

"saya juga tidak tahu. Tapi yang pasti bukan begitu caranya..." ucapku membalas. Tatapan Nina cukup membuat aku merasa salah tingkah.

"kamu sendiri gimana?" tiba-tiba Nina bertanya kembali, seakan sengaja mengalihkan pembicaraan.

"aku?" tanyaku heran.

"iya... apa kamu setuju dengan pernikahan mereka?" tanya Nina lagi cukup jelas.

"bukankah tadi sudah saya katakan, kalau saya tidak pernah ingin papa menikah lagi. Tapi, sebagai anak tunggal, saya tidak bisa berbuat apa-apa untuk mencegahnya." balasku pelan.

"dan kamu pasrah begitu aja?" tanya Nina lagi.

"setidaknya saya tidak akan menjadi anak pemberontak seperti kamu.." jawabku tajam.

"sepertinya kamu bukan hanya tidak menyukai pernikahan papa mu, tapi kamu juga tidak suka kami tinggal di sini, kan?" balas Nina menghakimi ku.

"sejujurnya, iya.. aku merasa ketenangan ku terganggu. Tapi... sebenarnya aku juga merasa kasihan melihat papa selama ini. Ia terlihat sangat kesepian. Dan kehadiran kalian sepertinya, mampu mengobati kesepian papa. Hal itu yang membuat aku harus menerima semua ini dengan ikhlas.." jelasku kemudian.

****

Dan begitulah, sejak kejadian itu, aku dan Nina menjadi dekat dan semakin sering mengobrol berdua. Ternyata Nina tidak seburuk yang aku sangkakan selama ini. Ia cukup pengertian orangnya.

Aku dan Nina jadi sering menghabiskan waktu berdua. Kami jadi sering nongkrong bareng, ngampus bareng, nonton bareng, dan melakukan banyak hal bersama.

Aku merasa bahagia dengan semua itu. Entah mengapa, aku seakan menemukan sosok yang aku impikan selama ini pada diri Nina. Perlahan rasa kagum itu pun tumbuh. Dan aku tidak bisa menolak hadirnya rasa itu.

Hingga pada suatu malam. Kami hanya tinggal berdua di rumah. Kebetulan waktu itu, papa, mama tiriku dan Arini sedang pergi ke sebuah acara pesta pernikahan keluarga papa di luar kota. Aku dan Nina sengaja tidak ikut, karena ada kegiatan di kampus.

Malam itu hujan turun sangat deras. Suara petir bergemuruh silih berganti di langit. Aku sengaja tidak keluar kamar. Sampai akhirnya aku mendengar suara ketukan di pintu kamar ku.

Dengan malas, aku membuka pintu kamarku. Nina sudah berdiri di depan pintu. Wajahnya terlihat pucat pasi. Tubuhnya menggigil, seperti orang yang ketakutan.

"Nina? Ada apa?" tanyaku dengan mimik heran.

"aku... aku takut petir.." balas Nina dengan suara bergetar.

"aku.. boleh di kamar mu sebentar. Sampai hujan ini reda.." lanjutnya kemudian.

Aku terdiam sesaat. Terpaku. Aku masih tidak percaya, kalau Nina yang tomboy tersebut, juga punya rasa takut.

"iya.. boleh.. kamu masuk aja.." ucapku akhirnya, tak tega melihat wajah Nina yang tiba-tiba memelas.

Nina pun melangkah masuk. Ia duduk di sisi ranjang tidur ku. Dengan sedikit ragu, aku pun ikut duduk di sampingnya.

"sejak kapan kamu takut petir?" tanyaku.

"sudah lama.. sejak kecil. Tapi mama tidak pernah tahu. Jika cuaca buruk, seperti sekarang ini, biasanya aku hanya akan mengurung diri di kamar, dan bersembunyi di bawah kasur." jelas Nina.

"lalu mengapa sekarang kamu tidak coba lagi sembunyi di bawah kasur?" tanyaku sedikit menggodanya.

"kamu gak mau saya berada disini?" balas Nina balik bertanya.

"bukan.. bukan itu maksud saya... tapi mengapa kamu memilih untuk menceritakan hal ini padaku?" tanyaku kemudian.

"karena aku percaya sama kamu, Raka." balas Nina terdengar jujur.

Kali ini aku terdiam. Aku dan Nina memang sudah cukup dekat. Dan jujur saja, aku juga mulai mengagumi sosok Nina. Selain ia memiliki wajah yang cantik, dengan postur tubuh yang proporsional. Nina juga anak yang pintar, penuh perhatian dan sedikit blak-blakan.

"hanya bersama kamu aku bisa menjadi diriku sendiri, Raka. Di depan kamu, aku tidak perlu berpura-pura. Dan... jujur saja... aku juga merasa nyaman bersama kamu.." Nina berucap lagi, lebih pelan.

Aku juga tidak bisa memungkiri hal tersebut. Aku juga merasa nyaman bersama Nina. Aku juga tidak harus berpura-pura di depannya. Bersamanya aku bisa menjadi diriku yang seutuhnya. Tapi...

"kita tidak seharusnya jadi sedekat ini, Nina.." aku berucap juga akhirnya, "aku rasa... ini adalah sebuah kesalahan.." lanjutku.

"iya.. aku tahu, Raka. Dari awal aku juga sudah tahu akan hal ini. Tapi... semakin aku coba untuk menghindari kamu, aku semakin ingin berada di dekat mu..." balas Nina.

"aku juga merasakan hal itu, Nina. Aku juga sangat mengagumi kamu. Aku hanya ingin selalu bersama kamu. Menghabiskan waktu berdua. Tapi... aku juga sadar, kalau hal itu adalah sebuah kesalahan.." ucapku membalas.

"aku hanya ingin kamu tahu, Raka. Kalau sebenarnya aku telah jatuh cinta padamu. Kebersamaan kita selama ini, telah mampu menumbuhkan rasa yang indah di hati ku. Dan aku juga ingin tahu, perasaan mu padaku.." Nina berucap, sambil ia melirik ku beberapa kali.

"aku.... aku juga sayang sama kamu, Nina. Aku juga telah jatuh cinta sama kamu. Tapi selama ini, aku berusaha memendam semua itu. Karena aku tahu, perasaan itu seharusnya tidak ada.." balasku apa adanya.

"haruskah kita membunuh rasa itu, Raka? Rasa yang tumbuh subur di hati kita? Rasa yang seharusnya membuat kita merasa bahagia?" tanya Nina lirih.

Tiba-tiba suasana malam itu menjadi haru diantara kami berdua. Nina bahkan berkali-kali membersit hidungnya, menahan tangis.

"pada saatnya nanti, perasaan ini hanya akan menyakiti hati kita sendiri, Nina. Bahkan mungkin akan jauh lebih menyakitkan dari pada yang kita takutkan.." balasku kemudian.

"kita hanya punya dua pilihan, yang sama-sama sulit. Pertama, kita bisa melanjutkan semua ini, dengan resiko, suatu saat nanti, papaku, mama mu, dan bahkan semua orang akan mengucilkan kita. Atau pilihan kedua, kita berhenti sampai disini, dengan menanggung semua luka, karena kita tidak bisa saling memiliki.." ucapku melanjutkan.

Entah mengapa aku merasa sakit mendengar ucapan ku sendiri. Rasanya begitu perih menyadari itu semua. Sungguh, tidak pilihan yang lebih baik untuk kami saat ini.

"lalu kamu memilih pilihan yang mana?" Nina bertanya.

Aku tak segera menjawab. Karena sejujurnya aku memang tidak bisa memilih. Aku bimbang. Aku terlalu menyayangi Nina. Menghabiskan waktu bersamanya, adalah hal terindah dalam hidup ku.

"seandainya ada pilihan yang lebih baik dari pada itu..." desahku pelan, lebih kepada diriku sendiri.

****

"Nina akan melanjutkan kuliahnya ke Malaysia. Disana ia akan tinggal bersama pamannya. Sepertinya Nina memang sudah tidak betah tinggal bersama kita sejak awal.."

Aku terkesima mendengar ucapan mama tiri ku barusan. Meski pun ucapan itu ia tujukan pada papa ku. Mama tiriku mengatakan hal tersebut di depan kami semua, saat kami makan malam.

"jika hal itu bisa membuat Nina senang.. saya setuju aja.." balas papa, sambil terus menyantap makanannya.

Aku melirik kearah Nina. Meminta jawabannya. Tapi Nina hanya tertunduk.

"sejak dulu, Nina memang ingin sekali kuliah di Malaysia, ikut pamannya di sana. Tapi selama ini aku selalu mencegahnya. Dan sekarang, aku tidak ingin lagi menghalanginya. Karena menurutku, Nina juga sudah cukup dewasa, untuk menentukan pilihan dalam hidupnya.." jelas mama tiri ku lagi.

Papa hanya manggut-manggut mendengar ucapan tersebut. Sementara aku terus menatapi Nina, dengan penuh tanda tanya. Selama ini, Nina tidak pernah cerita tentang keinginannya untuk kuliah ke Malaysia. Tapi, aku tahu pasti alasannya sekarang.

Selepas makan malam, aku menarik tangan Nina untuk mengobrol di teras depan. Aku butuh jawabannya. Aku butuh mendengar langsung hal itu dari mulut Nina.

"kenapa kamu harus pergi?" tanyaku memulai pembicaraan.

"karena aku sudah menentukan pilihanku, Raka.." balas Nina sedikit tak acuh.

"tapi mengapa kamu tidak ngomong dulu sama saya?" tanyaku lagi.

"apa itu harus? Bukankah kamu sendiri yang memberi kita pilihan? Dan menurutku ini adalah yang terbaik buat kita, Raka. Aku juga tidak mau selamanya terjebak dengan perasaan ini.." balas Nina kemudian.

Dan aku hanya bisa terdiam. Meski pun sejujurnya, aku belum siap berpisah dengan Nina. Tapi aku harus menghargai pilihannya. Karena memang itulah pilihan yang terbaik untuk kami saat ini.

Akhirnya aku hanya bisa pasrah. Membiarkan diriku terluka dengan pilihan tersebut. Melepaskan Nina dari hidupku dan juga dari hati ku. Sakit memang, tapi aku harus bisa ikhlas menerima semua itu.

****

Karena jauh dari istri

Namaku Candra. Saat ini aku sudah berusia 32 tahun lebih. Aku sudah menikah dan sudah memiliki 2 orang anak.

Anak pertama ku perempuan, sudah berusia 7 tahun. Sedangkan anak bungsu ku laki-laki, ia baru berusia 3 tahun. Saat ini istri ku sedang mengandung anak ketiga kami, usia kandungannya baru 4 bulan.

Aku memang menikah pada saat usia ku masih 24 tahun waktu itu. Sementara istri ku sendiri saat itu masih 22 tahun usianya.

Aku dan istri ku menikah atas dasar saling cinta. Kami sempat pacaran selama hampir tiga tahun.

Setamat SMA, aku tidak melanjutkan kuliah, karena kondisi ekonomi orangtua ku yang memang hanya pas-pasan. Di tambah pula ketiga orang adik-adik ku masih butuh biaya banyak waktu itu.

Sementara istri ku sendiri juga tidak kuliah, ia hanya lulusan SMA, sama seperti ku. Orang tua istri ku juga termasuk golongan orang yang tidak mampu.

Sebenarnya aku dan istri ku berasal dari kampung yang sama, karena itulah kami sudah saling kenal sejak lama. Namun setelah menikah, kami memutuskan untuk pergi merantau ke kota. Demi mendapatkan hidup yang lebih baik. Karena di kampung aku hanya bekerja sabagai buruh tani.

Pindah ke kota, ternyata tak seindah yang kami bayangkan. Bahkan kehidupan tidak kunjung membaik, meski telah berbagai usaha kami lakukan, untuk mengubah nasib kami.

Di kota aku hanya bisa menjadi seorang kuli bangunan. Tak jarang aku lebih sering menganggur, karena tidak ada proyek yang harus aku kerjakan. Beruntunglah istri ku punya usaha katering kecil-kecilan, sehingga kami masih bisa bertahan hingga saat ini.

Sebagai seorang kuli, aku memang sering tidak berada di rumah. Mengingat, kadang, tempat kerja ku cukup jauh. Sehingga mau tidak mau, aku harus sering menginap di proyek tempat aku bekerja sebagai kuli.

Tak jarang pula, aku harus menginap di tempat kerja ku, selama berminggu-minggu, agar bisa menyelesaikan proyek tersebut tepat waktu.

Sebenarnya aku, istri ku dan anak-anak ku, sudah terbiasa dengan hal tersebut. Kami sudah terbiasa terpisah beberapa hari bahkan hingga berbulan-bulan. Apa lagi jika lokasi tempat aku bekerja berada jauh di luar kota.

Berada jauh dari istri dan anak-anak ku, sudah menjadi hal yang biasa bagi ku. Meski kadang, aku harus kuat menahan kerinduan ku kepada mereka.

Beurntunglah, aku punya banyak rekan kerja, sesama kuli. dan sama-sama jauh dari keluarga. Sehingga aku tidak terlalu merasa kesepian.

Dan begitulah kehidupan yang aku jalani selama bertahun-tahun, bahkan hingga saat ini.

*****

Pada suatu waktu, aku dan rekan-rekan sesama kuli ku, mendapatkan sebuah proyek pembangunan perumahan, di daerah yang cukup jauh dari kota tempat aku tinggal. Perjalanan untuk sampai kesana bisa memakan waktu satu hari lebih, naik bis.

Karena berada cukup jauh, kami semua memang dianjurkan untuk tinggal sementara di tempat pembangunan perumahan tersebut. Ada rumah khusus tempat kami para kuli tinggal sementara di sana.

Menurut keterangan dari mandor kami waktu itu, proyek perumahan tersebut, baru akan selesai sekitar 3 atau 4 bulan ke depan. Dan selama itu, kami hanya boleh pulang sekali dalam sebulan.

Sebenarnya hal itu tidak terlalu jadi masalah bagi kami, terutama bagi ku. Karena kami sudah terbiasa berpisah berbulan-bulan dengan istri dan anak kami.

Namun sebagai laki-laki yang sudah menikah, kadang ada kerinduan tersendiri akan istri di rumah. Sebagai seorang laki-laki normal, kami juga punya kebutuhan biologis yang harus disalurkan. Namun karena sering berada jauh dari istri, kadang kami hanya bisa menyelesaikannya sendirian.

Aku sendiri sering merindukan istri ku, terutama ketika malam mulai menjelang. Aku hanya bisa membayangkan wajah istri ku, saat menjelang tidur.

Hingga pada suatu sore, setelah selesai mandi sepulang kerja, aku sengaja berjalan kaki sendirian keliling kompleks perumahan yang masih sepi tersebut.

Tepat di depan sebuah rumah, yang merupakan satu-satunya rumah yang berpenghuni waktu itu, aku sengaja memelankan langkah ku, sambil memperhatikan rumah yang terbuka tersebut.

Tiba-tiba sesosok wanita , yang masih cukup muda, keluar dari rumah tersebut. Wanita itu pun terlihat sedikit kaget, melihat kehadiran ku di depan rumahnya. Tapi buru-buru aku mengalihkan pandangan ku ke arah jalan.

"mau kemana, mas?" di luar dugaan ku, wanita itu menegur ku.

Aku memutar kepala untuk kembali melihat ke arah wanita tadi, sambil menghentikan langkah ku. Aku pun tersenyum ramah, menatap wanita itu kembali.

"hmmm... anu.. anu mbak.. saya mau keliling-keliling aja.." balasku terbata, karena ku lihat wanita itu menatapku dengan tersenyum.

"disini sepi loh, gak takut keliling-keliling sendirian?" tanya wanita itu lagi.

"mbak sendiri gak takut sendirian di rumah?" balasku balik bertanya, mencoba untuk terndengar ramah.

"saya gak sendirian kok tinggal di rumah ini, tapi sekarang suami saya memang sedang pergi ke kota, untuk berbelanja keperluan kami.. yah... mungkin pulangnya malam.." jelas wanita itu kemudian.

"oh.. gitu.." balasku sedikit membulatkan bibir, "sekarang mbak sendirian?" tanyaku melanjutkan.

"jangan panggil mbak lah, panggil aja Nurma.." ucap wanita itu, seakan mengabaikan pertanyaanku barusan.

"oh, ya.. mas siapa namanya?" tanya wanita, yang mengaku bernama Nurma itu melanjutkan, "mampir dulu sebentar gak apa-apa kok, mas.." lanjutnya lagi menawarkan.

Aku yang memang sedang merasa haus, tentu saja tidak menolak tawaran tersebut. Mumung dia juga lagi sendiri di rumah, kan.

Nurma memang masih terlihat muda, mungkin baru berusia 25 tahun. Dia juga seorang wanita yang cukup cantik, dengan postur tubuh yang ramping.

Tanpa sungkan aku pun singgah di rumah tersebut. Nurma mempersilahkan aku duduk di kuris teras depan rumahnya itu.

"namaku Candra..." ucapku, setelah aku duduk di samping Nurma, yang hanya memakai baju daster.

"mas Candra yang kerja jadi kuli di situ ya?" tanya Nurma kemudian.

"kok dek Nurma tahu?" aku balik bertanya lagi.

"yah.. kan yang tinggal di perumahan ini, baru cuma kalian para kuli loh. Selain kami juga. Tapi ngomong-ngomong, mas Candra gak tahu ya, kalau saya ini istrinya pak Imam, mandor kalian." jelas Nurma, sambil ia sedikit melirik padaku.

"oh.." sekali lagi aku membulatkan bibir, aku benar-benar tidak tahu, kalau pak Imam, mandor kami tersebut tinggal bersama istrinya di sini. Karena selama lebih kurang satu minggu kerja disini, aku gak pernah melihat Nurma sebelumnya.

"jadi gimana, mas? Rasanya jauh dari istri? Merasa kesepian gak tuh?" tiba-tiba Nurma bertanya demikian padaku.

Aku beranikan diri untuk menatap Nurma, mata kami pun saling tatap untuk beberapa saat.  Nurma tersenyum penuh arti padaku.

"yah.. pasti kesepian lah dek Nurma, namanya juga lagi jauh dari istri. Apa lagi kalau malam menjelang tidur, pasti keingat istri terus." balasku apa adanya, dan dengan niat tertentu.

"apa lagi udah lama juga gak nyetor ya?" ucap Nurma, sambil sedikit menekan suara, dengan maksud tertentu.

"yah itu masalahnya, mau nyetor jauh, ya udah... kadang terpaksa di buang-buang aja.." balasku pelan.

"mubazir loh, mas Candra. Mending nyetor nya sama saya aja.." Nurma berucap dengan senyum yang cukup menggoda.

"emang dek Nurma mau?" tanyaku penasaran.

"kalau performa mas Candra bisa lebih baik dari suami saya, saya mau aja.. itung-itung cari pengalaman baru, iya.. kan?" balas Nurma blak-blakan.

"ya udah, ayuk kita coba. Saya jamin performa saya pasti lebih baik.." ucapku dengan penuh ambisi.

"sekarang?" tanya Nurma dengan raut heran.

"iya.. sekarang... sebelum suami kamu pulang, kan?" balasku merasa tertantang.

"oke,,, ayok kita ke dalam.." ucap Nurma, sambil ia mulai berdiri perlahan.

Aku pun dengan spontan ikut berdiri dan melangkah mengikuti Nurma dari belakang, sambil menutup pintu dengan perlahan.

******

"gimana performa saya?" tanya ku setelah pertempuran kami selesai tiga ronde.

"yah... gimana ya... sangat bagus... jauh lebih baik dari performa suami saya.. " balas Nurma terlihat tersipu.

"jadi untuk selanjutnya, saya masih bisa nyetor sama kamu kan?" tanyaku ingin tahu.

"kalau suami ku gak ada di rumah boleh aja.." balas Nurma lagi.

"kalau suami mu ada di rumah, nanti kita cari tempat lain aja. Gak usah di rumah ini." ucapku membujuk.

"gak bisa. Kalau suami ku ada disini, aku mana boleh keluar.." balas Nurma pelan.

"yah..." desahku sedikit kecewa, "semoga suami kamu sering-sering ke kota ya.." lanjutku lirih.

"biasanya sekali seminggu sih, ia belanja ke kota. Tapi kadang-kadang ia juga sering ke kota untuk menemui bos nya.." ucap Nurma kemudian.

"ya udah gak apa-apa. Yang penting kamu masih mau kan?" balasku sedikit bertanya.

"kalau performa mas Candra sebagus itu, aku pasti mau lah.." ucap Nurma lagi.

"oke. Kalau gitu saya pamit dulu, takut suami mu keburu pulang.." ucapku kemudian, sambil mulai bangkit berdiri, dan memakai pakaian ku kembali.

****

Dan begitulah, selama masa aku bekerja di proyek perumahan tersebut, aku jadi tidak  merasa kesepian lagi. Setidaknya aku punya tempat untuk mencurahkan rasa kesepian ku tersebut.

Suami Nurma, pak Imam, mandor ku tersebut, memang sering pergi ke kota. Paling tidak sekali seminggu, ia pasti tidak berada di rumah. Dan aku mulai hafal akan hal tersebut. Setiap kali, pak Imam pergi ke kota, aku akan segera diam-diam menemui Nurma di rumahnya.

Hal itu terus terjadi selama berbulan-bulan, setidaknya selama aku bekerja di proyek perumahan tersebut. 

Sebenarnya ada rasa bersalah yang bersarang di hatiku, setiap kali aku bersama Nurma. Tapi aku mencoba mengabaikan hal tersebut. Aku sadar, jika apa yang aku lakukan bersama Nurma, adalah sebuah kesalahan. Aku telah mengkhianati istri dan anak-anak ku.

Kadang aku berusaha untuk menolak keinginan tersebut, tapi setiap kali aku berusaha untuk menolaknya, setiap kali pula keinginan itu terus memaksa ku untuk melakukannya lagi.

Aku hanya laki-laki biasa. Aku tak bisa melawan keinginan tersebut. Apa lagi keadaan ku saat ini, yang berada jauh dari istri ku.

Tapi aku berjanji dalam hati ku, semua ini hanya akan terjadi, selama aku bekerja di sini. Nanti jika aku sudah kembali ke rumah, aku akan mengakhiri semuanya. Ini hanya bersifat sementara.

Dan aku berharap, hal ini tidak akan pernah terjadi lagi. Semoga saja aku mampu menahan godaan tersebut, dimana pun aku akan bekerja nantinya.

Yah.. semoga saja..

*****

Kisah lainnya :

Pembantu baru ku part 2

Pembantu baru ku yang cantik (bagian 2)

 Marni masih tertunduk. Ia seperti enggan memperlihatkan raut wajahnya padaku.

Aku memang sengaja mengajak Marni bertemu di sebuah kafe, hanya berdua. Untuk membicarakan persoalan yang sedang kami hadapi saat ini. Untuk membicarakan tentang apa yang harus kami lakukan ke depannya, terutama untuk mengatasi masalah kehamilan Marni.

"saya ingin, kamu menggugurkannya, Marni.." ucapku sedikit tegas.

Marni mendongakan kepalanya sejenak, untuk menatap ku, kemudian tertunduk lagi.

"saya akan carikan dokter terbaik, untuk melakukannya.." ucapku lagi.

"saya... saya akan tetap melahirkan anak ini, tuan. Saya tidak akan menggugurkannya.." meski sedikit terbata, Marni berucap cukup tegas.

"kamu ingin menghancurkan hidup saya?" tanya ku sedikit kasar.

"ingat, Marni! Kamu saya bayar. Jadi kehamilan kamu tidak sepenuhnya tanggungjawab saya.." lanjutku lagi.

"saya tidak berniat untuk menghancurkan hidup tuan. Saya juga tidak meminta tuan untuk menikahi saya." kali ini Marni berucap, sambil ia menatapku.

"lalu mau kamu apa?" tanyaku sedikit mengerutkan kening.

"saya akan pulang kampung. Saya akan membesarkan anak ini sendirian. Saya hanya minta agar tuan, mau membiayai hidup kami. Saya ingin tuan mengirimkan uang kepada saya di kampung, sampai anak ini tumbuh dewasa.." jelas Marni panjang lebar.

"lalu apa yang akan kamu katakan sama orangtua kamu? Tentang kehamilan mu ini?" tanya ku sedikit melunak.

"saya tidak akan mengatakan apa pun kepada mereka. Kalau pun mereka mempertanyakan hal ini, saya bisa mengarang cerita.." balas Marni cukup yakin.

"lalu bagaimana dengan masa depan kamu sendiri? Bagaimana dengan hidupmu sendiri? Apa kamu tidak ingin menikah?" tanyaku bertubi.

"tuan tidak perlu memikirkan hal itu. Selama kiriman uang dari tuan lancar, maka rahasia ini akan tersimpan selamanya. Dan tentang kehidupan ku ke depannya, mungkin aku akan menikah, tapi tidak dalam waktu dekat ini." jelas Marni lagi.

"oke.. saya setuju.." ucapku akhirnya.

Aku tidak tahu, apa ini adalah keputusan terbaik atau tidak. Apa ini pilihan terbaik atau tidak. Tapi yang pasti untuk saat ini, aku merasa sedikit lega. Meski pun Marni tidak mau menggugurkan kandungannya, tapi setidaknya tuntutannya padaku tidak terlalu memberatkan ku. Setidaknya untuk saat ini, kehidupan rumah tangga ku terselamatkan.

****

Marni akhirnya pulang ke kampung halamannya, dalam keadaan hamil. Aku gak tahu, bagaimana tanggapan orangtua Marni akan kehamilannya. Aku gak tahu, karangan cerita apa yang Marni sampaikan kepada orangtuanya.

Namun aku berusaha menepati janji ku pada Marni, untuk selalu mengirimkan uang padanya. Dan untuk sementara posisi ku masih aman.

Aku mencoba menikmati kebahagiaanku bersama keluarga kecilku. Bersama istri dan dua anak ku. Kehidupan rumah tangga ku kembali berjalan normal. Hari-hari kembali terasa indah bagi ku. Aku bahagia. Dan aku tetap mengirimkan uang kepada Marni, setiap bulannya.

Tapi ternyata hidup gak semudah itu. Tidak ada kesalahan yang tanpa resiko. Tidak ada kejahatan tanpa balasan. Kalau boleh dibilang mungkin ini adalah karma untuk ku.

Berawal dari anak kedua ku yang sering sakit-sakitan. Sering masuk rumah sakit. Sampai akhirnya anak ku pun menghembuskan napas terakhirnya, di usianya yang belum genap satu tahun. Aku benar-benar merasa kehilangan. Hatiku hancur. Begitu juga istri ku.

Kehidupan keluarga kami kembali bermuram durja. Rasa kehilangan telah membuatku merasa rapuh. Aku terlarut dalam kesedihan ku, hingga untuk beberapa bulan aku lupa mengirimkan uang kepada Marni.

Aku baru menyadarinya, saat akhirnya Marni tiba-tiba datang ke rumah dengan membawa anaknya yang baru berusia beberapa bulan.

"sudah hampir tiga bulan, tuan tidak mengirimkan uang padaku, karena itu saya datang kesini.." ucap Marni memulai pembicaraan di ruang tamu rumah ku, di depan istri ku.

Marni datang beberapa menit yang lalu, dan dia di sambut oleh istri ku. Sehingga aku tidak bisa menghindari lagi, pembicaraan tersebut.

Istri ku menatap Marni tak mengerti, kemudian ia mengalihkan tatapannya padaku, seakan meminta penjelasan ku.

"ada apa ini?" ucap istriku sedikit bergetar, "kenapa suami ku harus mengirimkan uang padamu?" lanjutnya bertanya.

Marni tidak segera menjawab, ia melirik ku beberapa saat. Dan aku hanya bisa tertunduk. Pasrah.

"karena tuan sudah berjanji akan membiayai hidup kami, sampai anaknya ini tumbuh besar." ucap Marni tegas, sambil ia menatap bayi yang di gendongnya.

"anaknya?" suara istriku tercekat. "maksud kamu?" tanyanya melanjutkan.

"saya tidak akan berlama-lama di sini, saya juga tidak punya waktu untuk menjelaskannya, jika nyonya ingin tahu, silahkan tanyakan sama suami nyonya. Saya akan pergi, dan anak ini akan saya tinggalkan disini, karena saya sudah tidak sanggup lagi membiayainya, terutama sejak tuan tidak lagi mengirimkan uang pada ku."

Setelah berkata demikian, Marni segera berdiri dan melangkah pelan menuju arah ku. Ia serahkan bayi yang ada di gendongannya itu padaku.

Dengan perasaan tak karuan dan tubuh gemetar, aku menerima bayi tersebut.

"dia anak tuan, dan dia berhak mendapatkan hidup yang layak.." ucap Marni lagi, sambil mulai melangkah mundur, lalu memutar tubuh menuju pintu keluar.

Istri ku menatap semua adegan itu, dengan tatapan penuh tanya dan tidak percaya nya. Mukanya memerah. Entah ia marah, kecewa, ata entah apa yang ia rasakan saat ini.

Kami baru saja kehilangan anak kedua kami. Rasa sedih masih menghantui hari-hari kami. Dan sekarang, tiba-tiba saja kabar ini muncul di hadapan istri ku. Hatinya pasti sangat hancur. Tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa saat ini.

Aku juga tidak bisa menyalahkan Marni dalam hal ini. seperti janjinya, jika kiriman uang dari ku tidak lancar, maka ia akan membongkar rahasia ini.

Dan disini, saat ini. Aku terjebak.

******

Selama beberapa hari ini, istri ku mengurung diri di kamar. Beberapa kali aku coba memanggilnya, dia tak pernah bergeming.

Bayi yang ditinggalkan Marni, terpaksa aku titipkan pada Bi Ijah, pembantu ku. Biar bagaimana pun, sebagai ayah dari anak tersebut, aku memang harus bertanggungjawab. Aku harus membesarkannya. Dan Bi Ijah adalah harapan ku, untuk bisa merawat bayi tersebut.

Aku membiarkan istri ku dalam kesendiriannya. Aku juga tidak tahu harus berbuat apa saat ini. Istri ku sudah tidak mau berbicara dengan ku lagi. Ia bungkam, seolah menganggap aku tak pernah ada.

"aku minta maaf.." ucapku menghiba, saat akhirnya aku punya kesempatan untuk berbicara dengan istri ku, setelah lebih dari sebulan ia mengabaikan ku.

Selama sebulan ini, aku memang jarang berada di rumah. Aku merasa sakit karena diabaikan oleh istri ku sendiri, sebab itulah aku lebih memilih untuk menghabiskan waktu di kantor ku.

Dan ternyata diam-diam, seperti yang di ceritakan bi Ijah padaku, istriku sudah mulai memperhatikan bayi yang ditinggalkan Marni tersebut. Ia juga sering memberi bayi tersebut makan, dan memandikannya. Hal itu, cukup membuat aku lega.

"aku juga minta maaf.." ucapku membalas, dengan suara lembutnya.

"mungkin sebagai istri, aku belum bisa memenuhi kebutuhan kamu seutuhnya.." lanjutnya.

"dan aku juga sudah memaafkan kamu. Kita akan mulai semuanya lagi dari awal. Aku juga sudah bertekad, untuk membesarkan anak tersebut. Mungkin anak itu, adalaha titipan Tuhan, sebagai pengganti anak kita yang telah tiada.." istri ku berucap lagi, yang membuatku tiba-tiba saja meneteskan air mata.

Entah terbuat dari apa hati istriku. Dan aku merasa beruntung bisa memilikinya.

Kurangkul pundaknya, dan aku tenggelamnya kepalanya dalam dekapan ku.

"aku janji, aku tidak akan pernah melakukan kesalahan ini lagi. Aku hanya akan mencintai kamu, selamanya..." bisik ku penuh perasaan.

Dan aku hanya berharap, semoga ke depannya, aku lebih bisa menahan diriku, dari segala godaan hidup. Semoga rumah tangga kami, tetap utuh selamanya..

Ya... semoga saja..

****

Sekian..

Pembantu baru ku yang cantik part 1

Istri pak Kades

Nama ku Juna. Aku seorang mahasiswa. Usia ku sudah 22 tahun saat ini.

Kebetulan tahun ini aku dan beberapa orang teman kampus lainnya, sedang melaksanakan kegiatan KKN di sebuah desa.

Desa tersebut berjarak kurang lebih dua jam perjalanan dari kota tempat aku kuliah. Sebut saja nama desa nya, desa Meranti. Sebuah desa yang boleh di bilang sudah cukup maju.

Desa tersebut memang sedang berkembang. Transportasi nya juga sudah lancar. Jalan menuju desa tersebut sudah aspal semuanya. Listrik juga sudah masuk. Dan jaringan internet pun sudah cukup lancar.

Sumber mata pencaharian utama masayarakat desa tersebut adalah nelayan. Karena memang desa Meranti terletak di pinggiran sebuah sungai. Sebagian lagi ada juga yang berkebun atau pun bertani. Kehidupan masyarakat di sana, secara ekonomi memang sudah sangat mapan.

Kami melaksanakan KKN di desa Meranti selama kurang lebih dua bulan.

Kami berjumlah enam belas orang, tujuh cowok dan sembilan cewek. Kami semuanya tinggal di rumah pak Kades. Kebetulan rumah pak Kades cukup luas.

Kami yang cowok tinggal satu kamar, sedangkan yang cewek tinggal di dua kamar lainnya.

Pak Kades desa Meranti memang masih cukup muda. Beliau masih berusia sekitar 35 tahun, sedangkan istrinya juga masih sangat muda, mungkin baru berusia sekitar 28 tahun. Dan ternyata mereka belum memiliki anak, meski mereka sudah menikah lebih dari tujuh tahun.

Singkat cerita, aku dan teman-teman KKN lainnya pun mulai melakukan berbagai kegiatan di desa tersebut. Tentu saja di bantu oleh pak Kades sendiri dan beberapa orang perangkat desa lainnya.

Istri pak Kades yang bernama buk Erna, juga sering terlibat dalam kegiatan yang kami lakukan.

Karena tinggal serumah dengan pak Kades dan istrinya, kami juga jadi cepat akrab dan dekat. Pak Kades dan istrinya juga memperlakukan kami dengan sangat baik. Mereka sudah menganggap kami seperti keluarga sendiri.

Buk Erna, istri pak Kades tersebut, juga sangat ramah dan penuh perhatian. Dia memperlakukan kami seperti keluarganya sendiri.

Dan bahkan, kadang aku merasa, perhatian buk Erna pada ku justru terasa berlebihan. Mulai dari memperingatkan aku sudah makan atau belum, sudah mandi atau belum, sampai kadang-kadang ia sering membuatkan aku makanan kesukaan ku.

Awalnya aku menganggap semua perhatian buk Erna padaku, adalah hal biasa. Namun lama kelamaan, aku merasa buk Erna mulai bertindak agak sedikit aneh. Dia jadi sering memuji ku, sering mengajak aku ngobrol berdua, terutama saat di rumah hanya ada kami berdua.

Perhatian dan sikap buk Erna yang berlebihan tersebut, membuat aku jadi sedikit risih.

Pernah pada suatu hari, aku merasa sedikit kurang enak badan. Karena itu aku tidak ikut dengan teman-teman untuk melakukan kegiatan kami hari itu. Aku hanya berbaring malas di dalam kamar.

Saat itu, tiba-tiba buk Erna masuk ke kamar.

"katanya kamu sakit, Jun. Kamu sudah minum obat?" tanya buk Erna berbasa-basi.

"iya, buk. Saya lagi kurang enak badan aja. Tapi tadi sudah minum obat kok.." balasku ringan.

"kamu udah makan?" tanya buk Erna lagi, sambil ia duduk di samping ku.

"udah, buk." balasku singkat.

"ya udah.. kamu istirahat aja ya.. nanti saya buatkan makanan kesukaan kamu, biar kamu cepat pulih.." ucap buk Erna kemudian.

"iya, buk. Makasih ya. Buk Erna sudah sangat baik pada ku selama ini. Saya jadi gak enak.." balasku.

"kamu gak usah merasa gak enak gitu, Jun. Saya ... saya ikhlas kok. Soalnya kamu tuh orangnya juga baik dan ramah. Kamu juga cakep, Jun. Saya jadi suka sama kamu.." ucap buk Erna sedikit blak-blakan.

"maksud buk Erna apa?" tanya ku terdengar lemah.

"maksud saya... kamu tuh keren, Jun. Saya suka sama kamu. Kamu mau gak kalau kita menjalin hubungan yang lebih?" balas buk Erna lugas.

"tapi.. kan... buk Erna sudah punya suami. Saya takut, buk. Saya gak bisa.." ucapku sedikit terbata.

"kamu gak usah takut, Jun. Ini hanya sementara, kok. Selama kamu berada disini aja. Nanti kalau kamu udah pergi, semuanya juga berakhir, kok." balas buk Erna pelan.

"tapi.. buk.." ucapku terputus.

"udah... kamu mau ya.. atau kamu gak tertarik sama saya?" balas buk Erna terdengar manja.

Untuk sesaat aku terdiam. Secara fisik buk Erna memang cukup menarik. Dia cantik dan masih seksi. Tapi ...

"maaf, buk. Saya gak bisa. Saya takut pak Kades tahu.." ucapku akhirnya.

"bapak gak bakal tahu, Jun. Kamu tenang aja.. Yang penting kamu mau.. ya.." balas buk Erna, berusaha meyakinkan ku.

"kalau kamu nolak, nanti saya bilang bapak, kalau kamu merayu saya.." lanjut buk Erna lagi.

Kali ini aku terdiam lagi. Sepertinya ambisi buk Erna untuk bisa mendapatkan saya, cukup kuat. Aku sungguh tidak menyangka sama sekali, kalau buk Erna akan senekat ini.

Akhirnya dengan sangat terpaksa, aku pun menerima tawaran buk Erna. Bukan karena aku menginginkannya, tapi karena aku takut buk Erna akan memfitnah ku, dan melaporkan hal-hal yang buruk pada pak Kades.

****

Sejak saat itu, aku dan buk Erna jadi semakin sering menghabiskan waktu berdua. Ada saja kesempatan bagi kami untuk bisa menikm4ti kebersamaan kami.

Hubung4n terlar4ng ku dengan buk Erna, istri pak Kades tersebut, terus terjalin selama aku melaksanakan KKN di desa Meranti.

Entah mengapa aku pun mulai bisa menikm4ti hubung4n tersebut. Aku terkes4n dengan semua yang dil4kukan buk Erna pada ku. Sungguh sebuah pengalaman yang sangat indah bagi ku.

Hingga akhirnya, masa KKN kami pun selesai. Dan aku harus kembali ke kota.

Sejujurnya, aku merasa berat harus berpisah dengan buk Erna. Namun seperti perjanjian kami dari awal, bahwa jika aku sudah pergi dari desa tersebut, maka hubungan kami pun berakhir.

Dan begitulah, kisah indah ku bersama buk Kades yang cantik tersebut. Meski terkesan singkat, namun hal itu tidak mudah untuk dilupakan.

Aku akan selalu mengingat semua kisah itu, sebagai kenangan yang terindah dalam perjalanan hidup ku.

Walau pun aku tahu, kalau semua itu adalah sebuah kesalahan.

Aku hanya berharap, semoga saja, hal itu tidak akan pernah terjadi lagi dalam perjalanan hidupku.

Ya... semoga saja.

****

Cari Blog Ini

Layanan

Translate