Menikahi istri sahabat ku

Aku punya seorang sahabat, namanya Leonardo. Aku biasa memanggilnya Leo.

Leo memang seorang keturunan bule. Papanya asli dari Argentina, sedangkan Mamanya dari Indonesia.

Perpaduan dua orang dari negara yang berbeda itu, telah menghasilkan seorang Leonardo yang sempurna.

Dia tampan dan gagah, tubuhnya jangkung. Dada dan lengannya berotot. Sungguh sosok laki-laki yang sempurna. Tidak ada seorang wanita pun yang tidak tertarik padanya.

Aku mengenal Leo, sejak kami sama-sama kuliah. Kami kuliah di kampus, fakultas dan kelas yang sama.

Duduk bersebelahan dengannya, membuat kami tiba-tiba saja menjadi dekat dan akrab.

Selama masa kuliah, Leo memang selalu jadi idola kaum hawa. Semua orang memujanya, dan aku merasa bangga bisa menjadi sahabatnya.

Leo pun tidak menyia-nyiakan kelebihannya itu. Dia sering memacari cewek-cewek yang mengejarnya. Bahkan dia juga sering berpacaran dengan beberapa cewek sekaligus dalam waktu bersamaan. Leo memang terkenal cukup playboy ketika kuliah. Namun tetap saja para cewek-cewek itu selalu mengejarnya.

Lima tahun kami bersahabat, sampai akhirnya kami sama-sama lulus kuliah. Dan pada akhirnya kami pun bekerja di perusahaan yang sama. Hal itu membuat persahabatan kami semakin erat.

Di tempat kerja kami itu, ada seorang cewek cantik yang jadi primodana di kantor tempat kami bekerja. Namanya Luna. Cantik dan menawan.

Sejak pertama melihat Luna, aku memang sudah tertarik padanya. Aku bahkan telah jatuh cinta padanya, ketika akhirnya kami pun berkenalan. Namun sepertinya Luna hanya bersikap biasa saja padaku. Dia justru lebih sering memperhatikan Leo.

Aku coba memakluminya, karena Leo memang lebih segalanya dariku. Tapi aku sudah terlanjur jatuh cinta pada Luna. Karena itu aku pun memberanikan diri, untuk mengnungkapkan perasaan ku padanya.

Luna pun menolak ku. Dan aku merasa kecewa. Namun yang paling membuat aku semakin merasa kecewa, Luna justru akhirnya berpacaran dengan Leo.

Sebenarnya mereka pasangan yang cocok. Namun tetap saja aku merasa tidak rela. Karena aku tahu persis reputasi Leo dalam dunia percintaan. Dia sering mempermainkan perasaan cewek. Dan aku tidak rela, kalau Leo juga akan mempermainkan perasaan Luna.

Aku pun memberanikan diri menceritakan tentang siapa Leo sebenarnya kepada Luna. Namun tentu saja Luna tidak percaya.

Aku pun akhirnya menyerah dan membiarkan Luna dan Leo menari indah di atas luka ku. Meski pun Leo tidak tahu, kalau aku pernah menembak Luna, sebelum mereka jadian. Aku yakin Luna juga tidak akan menceritakannya. Karena Luna juga tahu, betapa dekatnya aku dan Leo.

Namun di luar dugaanku, Leo dan Luna akhirnya pun menikah. Selain merasa kecewa, aku juga tidak menyangka kalau Leo akan sebegitu seriusnya dengan Luna. Padahal selama ini, yang aku tahu, Leo belum pernah bertahan lebih dari setahun jika berpacaran.

Tapi kali ini, Leo justru menikahi Luna, walau pun mereka belum genap satu tahun pacaran.

Aku pernah berharap, kalau hubungan Leo dan Luna akan berakhir setelah satu tahun. Tapi nyatanya, mereka justru sepakat untuk menikah.

Sekali lagi, aku harus merelakan hal tersebut. Mungkin Luna memang bukan jodohku. Mungkin Luna dan Leo memang sudah di takdirkan untuk bersama.

Aku pun mulai belajar untuk melupakan Luna.

****

Setahun Luna dan Leo menikah. Aku masih dengan kesendirian ku. Meski pun aku sudah bisa melupakan Luna.

Apa lagi Luna, setelah menikah, ia pun berhenti kerja, atas permintaan Leo.

Aku dan Leo masih tetap bersahabat. Kami masih sering menghabiskan waktu bersama. Terutama saat di kantor.

Setahun menikah, aku belum mendengar kabar, kalau Luna hamil. Entah mereka memang sengaja menunda kehamilan Luna. Atau karena memang mereka belum di beri kesempatan untuk punya keturunan.

Aku tak tahu. Aku juga tidak berani bertanya hal itu pada Leo. Lagi pula itu bukan urusan ku lagi.

Hingga pada suatu saat, aku berkunjung ke rumah Leo. Karena Leo mengabarkan hari itu dia tidak masuk kerja. Aku pikir dia sakit, untuk itu aku datang menjenguknya.

Sesampai di rumah Leo, yang ada hanya Luna. Menurut keterangan Luna, Leo tidak masuk kerja, karena harus mengurus pasport nya, untuk pulang ke Argentina.

Ternyata papa Leo yang sudah kembali ke Argentina, setelah mamanya Leo meninggal dunia beberapa tahun yang lalu, mengalami kecelakaan parah, dan kabar terakhirnya ia pun meninggal.

Sebagai putra satu-satunya, Leo memang berniat untuk mengikuti pemakaman papanya. Karena itu ia segera mengurus pasport dan juga sekalian membeli tiket pesawat, untuk ia pulang ke Argentina.

Setelah segala urusan tetek bengek surat menyuratnya itu selesai, Leo pun terbang ke Argentina malam harinya. Dia pergi sendiri. Luna tidak bisa ikut, demi menghemat biaya.

"aku ingin kamu menjaga Luna, selama aku di Argentina." begitu pesan Leo, saat aku dan Luna mengantarnya di bandara.

"kamu tenang aja, Leo. Kamu hati-hati, ya." balasku.

Dan begitulah, selama Leo berada di Argentina, aku jadi sering datang ke rumah Luna. Meski pun sebenarnya Luna merasa keberatan akan hal itu.

Tapi Luna tidak bisa menolak kehadiran ku, karena itu merupakan amanah dari Leo, suaminya.

****

Seminggu Leo pergi, aku dan Luna jadi sering menghabiskan waktu bersama. Setiap pulang kerja, aku sempatkan untuk mampir ke rumahnya. Luna juga mulai bisa menerima kehadiran ku. Kami jadi sering ngobrol, meski pun pembicaraan kami hanya bersifat hal-hal yang umum.

Sampai akhirnya sebuah kabar pilu datang kepada kami. Pesawat yang di tumpangi Leo, ketika ia akan pulang ke Indonesia, mengalami kecelakaan.

Semua penumpang dalam pesawat tersebut, di kabarkan tidak ada yang selamat seorang pun. Termasuk Leo.

Kabar itu benar-benar membuat Luna terpukul, demikian juga aku. Biar bagaimana pun, Leo adalah sahabat terbaik ku.

Kehilangan Leo membuat Luna jadi kehilangan keseimbangan. Dia menjadi begitu rapuh.

"aku sedang hamil, Bas." ucap Luna. Dan hal itulah yang ternyata membuat ia semakin terluka akan kehilangan Leo.

"dan Leo belum tahu hal ini. Aku ingin menceritakannya ketika ia pulang ke Indonesia. Karena aku juga baru tahu, kalau aku hamil. Tapi ... sekarang Leo sudah tidak ada. Dan dia belum sempat tahu, kalau dia akan jadi seorang ayah." cerita Luna dengan terisak.

Tubuhku terasa lemas tiba-tiba mengetahui hal tersebut. Aku bisa membayangkan betapa terpukulnya Luna saat ini. Dia harus kehilangan orang yang ia cintai, di saat ia benar-benar membutuhkannya.

"kamu yang sabar ya, Lun." ucapku mencoba menghibur.

"tapi... anak ku akan lahir, tanpa seorang ayah, Bas." suara Luna masih serak.

"aku akan menjadi ayahnya, Lun." ucapku tanpa sadar.

"aku tidak ingin di kasihani, Bas. Kamu gak usah sok jadi pahlawan." balas Luna.

"aku tidak sedang mengasihi kamu, Lun. Aku juga tidak ingin jadi pahlawan dalam hidupmu. Aku hanya ingin membantu Leo dan juga calon anaknya. Biar bagaimana pun Leo adalah sahabat terbaik ku. Dan kamu masih ingat, kan? Pesan terakhir Leo padaku? Dia ingin aku menjaga kamu, Luna. Dan aku siap melakukan hal itu, untuk Leo." ucap ku yakin.

Luna pun tidak berkata apa-apa lagi. Aku yakin, dia tidak akan bisa menolak tawaran ku. Karena saat ini, hanya aku satu-satunya orang yang dekat dengannya. Dan lagi pula, dia juga sudah tahu bagaimana perasaan ku padanya.

Apa lagi, tanpa sengaja, Leo sudah berpesan agar aku menjaga Luna untuknya.

****

Beberapa bulan kemudian, aku dan Luna pun menikah. Meski pun Luna sudah dalam keadaaan hamil. Aku menikahinya, bukan lagi karena aku mencintainya. Tapi karena aku tidak ingin anaknya lahir tanpa seorang ayah. Dan lagi pula, sebagai sahabat Leo, aku merasa punya tanggungjawab akan hal itu.

Meski pun kami sudah menikah, aku tidak berusaha untuk menyentuh Luna. Aku tahu, Luna tidak mencintaiku. Aku juga tahu, kalau Luna masih butuh waktu untuk bisa menerima semua kenyataan yang terjadi.

Biar bagaimana pun, Luna baru saja kehilangan suaminya, orang yang paling ia cintai. Dan aku tidak ingin memaksanya untuk bisa melupakan Leo, atau pun untuk bisa mencintai ku.

Aku ingin semua mengalir apa adanya. Aku yakin, waktu dan keadaan akan bisa mengubah perasaan Luna padaku. Apa lagi saat ini, kami sudah berstatus suami istri yang sah.

Apa lagi mengingat saat ini, kami juga tinggal serumah. Kami setiap hari selalu bertemu. Pelan namun pasti, Luna pasti akan bisa menerima kehadiran ku dalam hidupnya.

Aku tahu, tidak mudah bagiku, menggantikan posisi Leo di hidup dan di hati Luna. Namun aku juga percaya, bahwa cinta akan tumbuh dengan seringnya kami bersama.

Dan semoga saja pernikahan kami akan bertahan selamanya.

Ya, semoga saja.

*****

Pengalaman pertama

Sejak masuk ke sekolah ini aku sudah mulai mengenal Rara. Dia cewek pertama yang aku kenal di SMA ini. Setahun sudah aku mengenalnya. Rara seorang gadis yang baik, manis dan cerdas serta penuh perhatian.

Dari awal aku sudah mulai suka padanya. Aku pun sudah pernah mengungkapkan perasaanku padanya. Waktu itu, sudah hampir satu semester kami berteman.

"Rey, untuk saat ini, mungkin lebih baik kita berteman saja." ucap Rara waktu itu, "aku belum siap menjalani hubungan percintaan dengan siapa pun, karena aku ingin fokus dengan sekolah ku saat ini." lanjutnya.

"dan aku harap kamu mau mengerti. Cobalah cari gadis lain yang mungkin juga menyukai kamu." Rara melanjutkan lagi.

Aku sempat kecewa waktu itu, mendengar penolakan Rara. Namun biar bagaimana pun, harus bisa menerima kenyataan bahwa Rara tidak menyukai ku. Meski pun entah mengapa, aku selalu merasa yakin, kalau Rara sebenarnya juga menyukai ku. Hanya saja sepertinya, ada banyak hal yang ia coba sembunyikan dari ku.

Sejak saat itu, aku tidak berharap banyak lagi kepada Rara, kecuali hanya sebagai teman.

Sampai saat ini, sudah lebih dari enam bulan berlalu, sejak Rara menolak cinta ku, aku masih belum bisa menemukan gadis lain, seperti yang di sarankan Rara. Karena sebenarnya, aku masih selalu mencintai Rara. Aku tak bisa melupakannya, apa lagi mencari gadis lain.

Selama enam bulan ini, hubungan kami biasa-biasa saja. Aku pun tak pernah mengungkit lagi tentang perasaan ku pada Rara. Meski pun sejujurnya, aku masih berharap, suatu saat nanti Rara mau membuka hatinya untukku.

Sebagai seseorang yang selalu mencintai Rara, aku sering merasa cemburu saat melihat Rara dekat dengan cowok lain. Namun aku selalu berusaha untuk menekan semua rasa cemburu ku itu. Karena aku tidak ingin kehilangan Rara, meski hanya sebagai teman.

Aku tahu, sampai saat ini Rara memang belum punya pacar. Seperti yang ia katakan dulu, kalau ia ingin fokus dengan sekolahnya.

****

Hingga pada suatu saat, aku kembali nekat untuk mengungkapkan perasaan ku pada Rara. Aku sengaja datang ke rumahnya diam-diam. Saat itu malam minggu.

Meski kaget, Rara tetap mempersilahkan aku masuk ke rumahnya.

"kamu sendirian di rumah?" tanyaku memulai pembicaraan.

"berdua sama bi Asih." jawab Rara, "mama dan papa sedang menghadiri acara pesta di kantor tempat papa kerja." lanjutnya menjelaskan.

"kamu gak ikut?" tanya ku.

"aku gak suka acara pesta seperti itu." balas Rara lemah.

"oh, ya. Kamu ada apa datang ke sini malam-malam?" tanya Rara tiba-tiba, seolah mencoba mengalihkan pembicaraan.

"aku lagi suntuk aja di rumah, Ra. Jadi aku kepikiran untuk datang ke sini. Dan... sebenarnya ada yang ingin aku sampaikan sama kamu." balas ku apa adanya.

"soal apa?" tanya Rara.

"setelah enam bulan berlalu, jujur, aku masih mencintai kamu, Ra. Aku tidak bisa melupakan kamu. Aku harap kamu mau memberikan aku kesempatan." ucapku dengan suara berat.

"maaf, Rey. Kalau soal itu, sampai saat ini jawabanku masih sama." balas Rara.

"kenapa sih. Ra? Kenapa kamu tidak mau memberikan aku kesempatan?" tanya ku penuh hiba.

"karena percuma, Rey." balas Rara.

"percuma kenapa?" tanyaku heran.

"kamu gak bakal ngerti, Rey." balas Rara lagi.

"kalau kamu gak pernah cerita gimana aku mau ngerti? Kamu jangan membuat aku semakin penasaran, Ra." ucapku sedikit tertahan.

"aku gak tahu bagaimana menjelaskannya sama kamu, Rey. Namun yang pasti, aku gak bisa. Aku harap kamu ngerti." balas Rara serak.

"terserah kamu, Ra. Mungkin aku yang salah. Aku yang terlalu berharap." suaraku lemah.

Setelah berkata demikian aku pun pamit.

"aku pulang, Ra. Semoga saja kamu bisa menemukan laki-laki yang benar-benar kamu suka." ucapku sambil mulai melangkah keluar.

*****

Seminggu kemudian Rara tiba-tiba menghilang. Dia menghilang tanpa kabar. Teman-temannya di sekolah juga tidak ada yang tahu kemana Rara. Aku kehilangan jejaknya.

Karena penasaran, aku pun mencoba mendatangi rumahnya. Namun rumah itu kosong. Menurut keterangan dari salah seorang tetangganya, Rara dan keluarga sudah pindah beberapa hari yang lalu.

Namun tidak seorang yang tahu, kenapa dan kemana Rara dan keluarganya pindah.

Aku mencoba menelan kepahitan itu. Meski pun aku merawa kecewa karena penolakan Rara, namun sebagai temannya, aku tetap merasa kehilangan. Aku tak bisa melihat wajah cantik itu lagi setiap hari di sekolah. Aku tak bisa melihat senyum manis itu lagi.

Kemana Rara sebenarnya? Dan kenapa ia pergi?

Berbagai pertanyaan terus menghantui pikiran ku.

Sampai suatu malam, sebuah pesan masuk ke email ku. Aku melihat pesan itu berasal dari email milik Rara. Dengan rasa penasaran, aku pun membuka email tersebut.

Teruntuk Rey, temanku.

Maaf, kalau aku pergi tiba-tiba. Maaf, kalau aku pergi tanpa memberitahu kamu. Seperti yang aku katakan, aku sulit menjelaskannya, Rey.

Namun setelah aku pergi, aku pikir kamu berhak tahu, karena itu aku pun nekat mengirimkan email ini.

Saat ini aku sedang berada di Singapur, Rey. Aku harus menjalani pengobatan.

Aku sakit, Rey. Leukimia stadium akhir. Kanker darah ini sudah merasuki ku sejak aku masih SMP.

Mama dan papa sudah berusaha keras untuk bisa mengobatiku. Berbagai pengobatan telah aku jalani, Rey. Namun semuanya tidak ada yang berhasil.

Sampai seorang kenalan papa, merekomendasikan sebuah rumah sakit di Singapur. Karena itu kami pun pindah, untuk pengobatan ku.

Meski pun sebenarnya harapan untuk aku sembuh sangat tipis, namun papa dan mama tidak pernah putus asa. Papa bahkan rela ikut pindah kerja ke Singapur, agar aku bisa menjalani pengobatan dengan rutin.

Maafkan aku, karena tidak jujur padamu dari awal. Tapi aku memang tidak ingin siapa pun tahu tentang penyakitku. Aku tak ingin di kasihani, Rey.

Dan aku juga minta maaf, kalau aku tidak bisa menerima cintamu. Bukan karena aku tidak suka sama kamu, Rey. Tapi karena aku tidak ingin, saat aku pergi, kamu akan semakin merasa kehilangan.

Sejujurnya aku bahagia bisa mengenal kamu. Ak bahagia bisa dekat sama kamu, Rey. Dan sebenarnya, aku juga cinta sama kamu. Namun aku tidak ingin hubungan kita semakin dalam. Karena itu pada akhirnya akan menyakiti kita berdua.

Aku harap kamu bisa melupakan aku, Rey. Dan sekali lagi, maafkan aku....

Begitulah kira-kira isi email dari Rara tersebut. Dan aku tanpa sadar pun meneteskan air mata saat membacanya. Hatiku terasa perih. Kepala ku sakit.

Rasanya jauh lebih sakit, ketika Rara menolak cintaku. Dan aku semakin merasa sakit, saat tahu, kalau Rara sebenarnya juga mencintai ku.

Kami saling mencintai, tapi Rara memilih untuk tidak menyatukan cinta kami. Karena ia tahu, dia tidak akan bisa bertahan lebih lama lagi.

Dan sebulan kemudian, aku pun mendapat kabar, kalau Rara akhirnya meninggal. Pengobatan yang ia lakukan, hanyalah sebuah usaha terakhir orangtuanya, untuk menyelematkan anak mereka.

Pada akhrinya Rara benar-benar pergi. Aku merasa sangat kehilangan. Bukan saja sebagai teman dekatnya, tapi juga sebagai orang yang mencintainya.

Biar bagaimana pun Rara adalah cinta pertama ku. Dan aku tidak akan pernah melupakannya.

Itulah pengalaman pertama ku yang jatuh cinta kepada seorang gadis. Cinta yang rumit.

****

Istri tetangga ku

Istilah rumput tetangga terlihat jauh lebih hijau, itu benar-benar berlaku padaku.

Berawal dari kepindahan kami sekeluarga, istri dan dua orang anakku, ke sebuah kompleks perumahan.

Kami pindah karena kebetulan rumah tersebut di jual murah oleh pemiliknya. Selama ini, kami masih tinggal di rumah kontrakan kecil.

Aku dan istriku menguras semua tabungan kami, untuk bisa membeli rumah tersebut.

Aku hanya seorang karyawan biasa di sebuah perusahaan kecil. Gajiku tidak seberapa, meski sebenarnya masih cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga kecil ku. Apa lagi istriku juga bekerja. Ia bekerja di sebuah rumah sakit, bukan sebagai perawat atau pun dokter, tapi ia bekerja di kantin rumah sakit tersebut.

Istriku bekerja hanya pada sore hingga malam hari, dari jam dua sore sampai jam sepuluh malam. Istri ku sengaja mengambil jam kerja sore, agar ia punya waktu pada pagi dan siang hari untuk mengurus rumah dan juga mengurus anak-anak kami.

Jadi kalau sore sampai malam, giliran aku yang menjaga anak-anak.

Sejak kami pindah, kami harus mulai membiasakan diri dengan lingkungan baru kami. Mulai berkenalan dengan para tetangga.

Beruntunglah rumah baru kami itu, tidak jauh dari tempat kerja ku dan juga tempat kerja istri ku. Sekolah anak-anak kami juga, berada di dalam kompleks perumahan tersebut. Sebenarnya itu juga yang menjadi alasan utama kami, untuk membeli rumah tersebut.

Anak ku yang pertama, perempuan, sudah kelas lima SD, sedangkan anak kami yang kedua, laki-laki, sudah kelas dua SD. Aku sendiri sudah berusia 40 tahun, sedangkan istri ku sudah berusia 37 tahun.

Pernikahan kami pun sebenarnya baik-baik saja, bahkan boleh di bilang cukup bahagia, meski kami hidup pas-pasan.

****

Di tempat tinggal baru ku itu, ada sebuah keluarga yang rumahnya berdampingan dengan rumah kami. Dari yang aku ketahui, keluarga itu baru memiliki seorang anak, sekitar delapan tahun usianya.

Sang suami bernama Yopi, adalah seorang satpam di sebuah bank. Sementara sang istri hanya seorang ibu rumah tangga biasa, namanya Rani. Namun begitu Rani punya usaha jualan online, untuk membantu pendapatan suaminya.

Yopi kalau aku perkirakan mungkin baru berusia, sekitar 31 tahun. Sedangkan Rani, masih kelihatan muda, mungkin baru 28 tahun usianya.

"kami memang nikah muda, mas." jelas Rani pada suatu sore, ketika kami ngobrol di depan rumahnya. kebetulan anakku bungsu sedang bermain bersama anaknya.

Karena sering ngobrol, aku dan Rani pun menjadi dekat. Apa lagi setiap sore, aku selalu menemani anak-anak ku bermain di depan rumah. Sementara Rani juga sering duduk-duduk di teras rumahnya saat sore hari, sambil melihat anaknya bermain.

Sebagai seorang satpam, Yopi memang bekerja secara bergantian. Kadang ia masuk kerja pagi dan pulang malam, kadang ia masuk kerja malam dan pulang di pagi harinya.

Sementara aku, berangkat kerja pagi hari dan pulang sore harinya, saat istriku sudah berangkat kerja. Biasanya sebelum aku pulang kerja, anak-anak bermain di rumah Rani. Setidaknya sejak kami pindah ke perumahan tersebut.

Saat aku sudah pulang kerja, aku langsung menjemput anak-anak ku di rumah Rani, hal itu juga yang membuat aku dan Rani jadi cepat dekat dan akrab.

Kedekatan dan keakraban kami, ternyata dia,-diam mampu menumbuhkan rasa nyaman dalam hatiku.

Aku mulai mengagumi sosok Rani. Karena jujur saja, jika di bandingkan dengan istriku, Rani memang lebih cantik, dan juga masih seksi, apa lagi Rani masuh cukup muda.

Selain itu, Rani juga baik, lembut dan penuh perhatian. Dia juga memperlakukan anak-anak ku dengan baik. Hal itu membuat aku semakin menyukainya.

Aku jadi sering mengkhayalkan Rani. Aku semakin sering memikirkannya. Senyumnya yang ramah, matanya yang teduh, dan tubunya yang ramping dan indah. Semua itu benar-benar membuat aku menggilainya.

Aku tahu, apa yang aku rasakan terhadap Rani adalah sebuah kesalahan. Namun aku tidak mampu untuk menolak, hadirnya rasa tersebut.

Karena itu pada suatu malam, saat istriku belum pulang kerja, dan saat suami Rani juga masih kerja, serta saat anak-anak sudah tertidur. Aku beranikan diri untuk mendatangi rumah Rani.

"ada apa, mas?" tanya Rani heran, saat ia membukakan pintu untukku.

"anak-anak sakit?" tanya Rani lagi, melihat aku yang terbengong sesaat.

Tadinya aku memang merasa berani untuk mengatakannya, namun saat sudah berhadapan langsung dengan Rani, tiba-tiba nyali ku ciut.

Tapi aku sudah terlanjur datang ke sini. Aku juga sudah tidak bisa menahan perasaan ku lagi.

"aku... aku boleh masuk?" tanyaku akhirnya, meski dengan suara bergetar.

"maaf, mas. Tapi suami ku tidak sedang di rumah. Sebenarnya ada apa, mas?" balas Rani.

"aku... aku ... suka sama kamu, Rani. Aku ingin memiliki kamu." suaraku benar-benar bergetar mengatakannya.

Ku lihat mata Rani sedikit terbelalak mendengar kalimat ku barusan. Ia seperti tak percaya dengan apa yang barusan aku ucapkan.

"kamu jangan gila, mas. Kita sudah sama-sama punya pasangan." balas Rani akhirnya, suaranya berat.

"iya, aku tahu, Rani. Tapi aku benar-benar telah jatuh cinta sama kamu. Aku tak bisa lagi membendung semua rasa ini. Izinkan aku masuk, Ran. Dan biarkan aku bersama mu malam ini." ucapku semakin berani.

"tapi... tapi... aku... " suara Rani terbata.

Karena sudah tidak bisa menahan keinginan ku untuk bisa merasakan Rani malam itu, aku pun repleks mendorong tubuh Rani ke dalam, dan segera menutup dan mengunci pintu rumah itu dari dalam.

"mas mau apa?" suara Rani bergetar.

"aku mau kamu, Rani." balasku tegas.

"tapi aku gak bisa, mas. Aku takut suami ku tahu, dan aku juga takut, kalau istri mas juga tahu." suara Rani mulai melemah.

"kamu tenang aja, Rani. Tidak bakal ada yang tahu, kok." balasku yakin.

"mas yakin, kalau mas benar-benar menginginkan aku?" tanya Rani akhirnya, setelah ia terlihat berpikir beberapa saat.

"aku yakin, Rani. Kamu sangat cantik dan seksi sekali. Aku sudah tidak tahan lagi melihat kamu. Aku ingin memiliki kamu." suaraku bergetar, bukan karena takut, tapi karena aku benar-benar telah di kuasai oleh hasrat ku untuk bisa memiliki Rani malam itu.

"baiklah, mas. Kalau begitu mari kita ke kamar ku aja." ajak Rani akhirnya, dan aku pun tersenyum senang.

"tapi mas harus janji, kalau ini hanya akan menjadi rahasia kita berdua." ucap Rani lagi, sambil membukakan pintu kamarnya.

"aku janji, Ran." balasku lugas.

Dan begitulah, malam itu untuk pertama kalinya, aku dan Rani melakukan hal tersebut.

Rani benar-benar penuh pesona, aku dibuatnya terbuai dalam lautan keindahan penuh warna.

*****

Sejak malam itulah, aku dan Rani pun jadi punya hubungan khusus. Hubungan rahasia, yang hanya kami berdua yang tahu.

Kami selalu mencari-cari kesempatan untuk bisa menghabiskan waktu berdua. Apa lagi, istriku dan juga suami Rani, memang hampir setiap malam tidak berada di rumah. Jadi kesempatan kami untuk bersama sangat besar.

Hubungan ku dengan Rani telah mampu menumbuhkan semangat baru dalam hatiku. Aku jadi punya tujuan baru dalam hidup. Aku sangat bahagia dengan semua itu. Demikian juga Rani.

Namun kami harus mampu bersikap biasa saja, saat di depan pasangan kami masing-masing.

Dan begitulah hubungan ku dengan Rani terjalin. Hingga saat ini, kami masih terus bersama.

Aku tidak tahu, sampai kapan hubungan terlarang kami ini akan bertahan, namun selama kami masih bisa bersama, kami akan tetap bersama. Menikmati indahnya cinta kami.

****

Bersama Ibu tiri ku ...

Aku sungguh tidak rela Ayah ku menikah lagi. Meski pun ibu ku sudah meninggal lebih dari lima tahun.

Cerita-cerita tentang kejamnya ibu tiri selalu membayangi ku. Aku merasa takut. Tapi aku juga tidak mencegah ayah ku untuk menikah lagi, apa lagi kami tiga bersaudara sudah cukup besar-besar.

Aku sendiri, sebagai anak tertua sudah berusia 20 tahun lebih, dan juga sudah kuliah. Adik ku yang nomor dua, juga laki-laki, berusia 17 tahun dan sebentar lagi akan lulus SMA. Sementara adik bungsu ku yang perempuan sudah SMP.

Ayah ku memang seorang pengusaha yang cukup sukses. Kehidupan kami secara ekonomi memang serba berkecukupan. Karena itu juga, ayah ku ingin menikah lagi.

Ayah ku menikah dengan seorang perempuan yang sebenarnya masih cukup muda, sekitar 25 tahun usianya. Namanya Andini. Dia sebenarnya adalah seorang gadis desa, hanya saja dia sudah cukup lama tinggal di kota dan bekerja di perusahaan ayah ku.

Sejak menikah dengan ayahku, Andini pun berhenti bekerja, tentu saja itu atas permintaan ayah ku.

Mereka juga masih tinggal serumah dengan kami. Hal itu tentu saja, membuat kami adik beradik, mau tidak mau, harus membiasakan diri dengan kehadiran Andini di rumah kami.

Andini sebenarnya seorang perempuan yang cukup baik, lembut dan juga lumayan cantik. Mungkin itu juga alasan ayah ku menjadikan Andini sebagai istrinya.

****

Waktu pun terus berputar, tanpa bisa di cegah atau pun di pacu.

Sudah hampir lima bulan, Andini menjadi ibu tiri ku. Sebagai anak tertua, aku pun berusaha untuk bisa menerima Andini sebagai bagian dari hidup kami. Ayah ku juga selalu mengingatkan hal tersebut.

Kehadiran Andini sebenarnya cukup membantu keadaan keluarga kami. Sejak kehilang sosok seorang ibu, lima tahun yang lalu, kehidupan kami adik beradik memang cukup berantakan. Meski pun untuk urusan masak memasak, membersihkan rumah atau sekedar mencuci pakaian, sudah ada pembantu di rumah kami.

Namun untuk urusan kedisiplinan, perhatian, atau sekedar untuk membangun kami di pagi hari, tentu saja sangat sulit kami lakukan sendiri. Dan sejak kehadiran Andini, kami kembali mendapatkan hal tersebut.

Dulu aku pikir, Andini menikah dengan ayahku hanya karena ia mengharapkan harta ayah ku. Namun dari segala perhatiannya kepada kami dan juga kepada ayah, membuat aku mulai sadar, kalau Andini adalah sosok perempuan yang cocok menggantikan ibu. Meski pun usianya terpaut lebih dari 20 tahun dari ayah ku.

Lama kelamaan aku pun mulai terbiasa dengan adanya Andini di rumah kami. Aku juga sudah mulai dekat dengannya. Kami juga sudah mulai memanggilnya Ibu, padahal dulu awal-awal ayah ku menikah dengannya, kami hanya memanggilnya mbak.

Kedekatan ku dengan Andini akhir-akhir ini, tanpa aku sadari, telah mampu menumbuhkan rasa nyaman dalam diri ku. Aku pun semakin sering menghabiskan waktu di rumah, hanya untuk bisa mengobrol bersama Andini.

Andini memang cukup asyik di ajak ngobrol. Dia selalu penuh perhatian setiap kali aku bercerita dengannya.

Dan pelan namun pasti, perasaan ku pun semakin berkembang terhadap Andini. Aku mulai merasa tertarik padanya. Selain karena Andini memang cantik dan juga cukup seksi. Dia juga sangat baik, lembut dan penuh perhatian.

Hingga pada suatu pagi, saat itu hanya ada aku dan Andini di rumah. Adik-adik ku sudah berangkat sekolah, ayah ku sudah berangkat kerja, dan pembantu kami sedang pergi berbelanja ke pasar.

"kamu gak kuliah, Zul?" tanya Andini, saat aku menemuinya di dapur.

Aku hanya menggeleng ringan, sambil mengambil segelas air minum di atas meja makan.

"kenapa?" tanya Andini lagi.

"aku kurang enak badan." jawab ku, sedikit berbohong.

"mungkin masuk angin kali tuh." balas Andini.

"iya, mungkin." jawabku lemah.

"mau saya kerokin gak?" tanya Andini lugas.

Aku menatap Andini penuh tanya. Aku mencoba berpikir sewajar mungkin.

"biasanya kalau ayah kamu masuk angin, dia selalu minta dikerokin sama saya." ujar Andini lagi.

"kalau ibu gak keberatan." ucapku akhirnya.

"ya udah, kamu tunggu aja di kamar kamu, nanti saya kesana." balas Andini kemudian.

Aku pun segera melangkah ke kamar ku. Pikiran ku juga mulai berkelana entah kemana-mana. Membayangkan aku berdua bersama Andini di dalam kamar. Tiba-tiba membuat gejolak jiwa muda ku meronta.

Beberapa menit kemudian, Andini pun masuk ke kamar ku. Dia ternyata juga sudah berganti pakaian. Dia hanya memakai baju daster cukup tipis dan transparan. Untuk sesaat aku terkesima melihatnya. Aku belum pernah melihatnya memakai pakaian itu di luar kamarnya.

Imajinasi liarku semakin menjadi-jadi. Jiwa ku meronta. Aku semakin terpukau.

Dengan peralatan seadanya, Andini pun perlahan melakukan kerokan di punggung ku.

"kamu udah punya pacar?" tanya Andini di sela-sela kerokannya.

"belum." jawabku tertahan.

"sayanglah, ganteng-ganteng kok jomblo." ucap Andini.

"ya.. mau gimana lagi, gak ada yang mau sih sama saya." balasku.

Dan pembicaraan selanjutnya, pun semakin terdengar sangat akrab. Andini bahkan seperti sengaja bercerita hal-hal yang semakin memancing imajinasi ku.

Hingga tanpa sadar, entah siapa yang memulai, semua itu pun terjadi. Kami melakukan hal yang seharusnya tidak kami lakukan.

 ****

Sejak kejadian pagi itu. Kami bukannya merasa menyesal, tapi justru kami semakin sering melakukannya. Kami selalu mencari kesempatan untuk kami bisa berduaan di rumah. Bahkan kadang, Andini sengaja menyuruh pembantu kami untuk pergi berbelanja, meski pun perlengkapan dapur masih cukup, hanya untuk agar kami bisa menghabiskan waktu berdua.

Dan hal itu terus terjadi, selama berbulan-bulan. Kami semakin terlena dengan hubungan terlarang kami. Kami hanyut dalam buaian cinta buta di antara kami.

Hingga setelah hampir setahun hal itu terjadi. Tiba-tiba Andini mengakui kalau ia hamil.

Namun kehamilan Andini bukanlah sesuatu yang mencemaskan kami. Karena biar bagaimana pun, Andini adalah istri sah ayahku, jadi wajar kan kalau ia hamil?

Hanya saja sejak kehamilannya, kami jadi jarang punya waktu berdua. Mengingat ayah ku jadi semakin jarang keluar rumah. Ayah ku lebih banyak menghabiskan waktu di rumah, untuk menemani istrinya yang sedang hamil. Hal itu cukup membuat kami, tidak bisa lagi bersama.

Aku mencoba menahan keinginan ku untuk bisa bersama Andini. Aku tak ingin ayahku curiga akan kedekatan kami. Karena itu, aku jadi sering menghabiskan waktu di luar rumah. Aku juga jadi salah pergaulan.

Untuk melampiaskan kekecewaanku, karena tidak bisa bersama Andini. Aku jadi sering berkumpul dengan anak-anak gaul yang suka dugem. Aku juga jadi sering mabuk-mabukan.

Hingga pada suatu saat, aku terjebak. Aku di jebak oleh salah seorang temanku. Yang membuat aku harus berurusan dengan pihak berwajib.

Ayahku pun terpaksa turun tangan untuk membebaskan ku dari jeratan hukum. Aku tak tahu,seberapa banyak uang ayahku habis, untuk bisa membebaskanku. Namun yang pasti, aku sudah bisa kembali ke rumah lagi, setelah di tahan selama beberapa hari.

Namun sebagai hukumannya, ayahku menitipkan pada sebuah pesantren. Untuk aku di didik di sana menjadi orang yang beragama.

Sejak kecil aku dan keluarga memang terbilang cukup jauh dari agama. Kami sangat jarang sekali beribadah. Bahkan sholat saja, hanya kami lakukan setahun dua kali, yakni saat hari idul fitri dan juga hari raya idul adha.

Aku pun tak bisa menolak, keinginan ayah ku tersebut. Aku dengan sangat terpaksa, harus tinggal di pesantren.

Awalnya semua itu sungguh berat bagiku. Aku yang tidak tahu apa-apa tentang agama, dipaksa untuk melaksanakan ibadah, seperti semua orang yang ada di pesantren tersebut.

Aku tidak tahu pasti, apa alasan ayahku sebenarnya memasukkan aku ke pesantren ini. Padahal selama ini, ayahku termasuk orang yang tidak pernah beribadah. Dia juga tidak pernah mengajarkan kami hal itu. Dia hanya sibuk bekerja dan bekerja.

Hari-hari pun berlalu. Aku pun mulai merasa bosan berada di pesantren itu. Mengikuti semua peraturan yang ada disana. Harus bangun sebelum waktu subuh. Harus sholat lima waktu sehari semalam. Aku benar-benar merasa terbelenggu.

Pernah beberapa kali aku coba untuk kabur. Namun orang-orang suruhan ayahku selalu menemukanku dan memaksa ku untuk kembali ke pesantren.

"jika kamu masih mencoba kabur dari sini. Ayah akan minta pihak berwajib yang menangkap kamu dan memasukan kamu ke dalam penjara kembali. Jadi, kamu pilih tinggal di sini atau tinggal di penjara." ancam ayahku akhirnya, saat terakhir kali aku mencoba untuk kabur.

"aku hanya ingin pulang ke rumah, Yah." pinta ku memohon.

"kamu sudah tidak punya tempat lagi di rumah." balas ayah tegas.

"kenapa?" tanyaku lirih.

"karena ayah sudah tahu perbuatan kamu bersama Andini.." suara ayah terdengar berat mengucapkan kalimat tersebut.

"maksud ayah?" tanyaku ragu.

"kamu tidak usah pura-pura tidak paham, Zul. Kamu pikir, untuk apa ayah memasukan kamu ke pesantren ini? Ayah hanya ingin kamu tahu, kalau perbuatan kamu bersama Andini itu adalah sebuah kesalahan. Sebuah kesalahan yang tidak akan pernah bisa di maafkan." jelas ayah dengan suara yang bergetar.

Aku tahu, betapa marahnya ayah mengetahui hal tersebut. Dia pasti sangat membenci ku saat ini.

"lalu bagaimana dengan Andini?" tanya ku terbata.

"Andini itu istri ku, dan kamu tidak berhak tahu apa yang terjadi dengannya." balas ayah tajam.

"tapi anak yang dalam kandungannya itu adalah anak ku." ucapku berusaha tegas. Aku hanya takut terjadi sesuatu yang buruk pada Andini.

"sekali lagi ayah tegas kan, Andini itu istri ku. Dan anak yang ia kandung juga berarti adalah anakku." ucap ayah sangat tegas.

Aku terdiam kembali. Aku tidak tahu apa yang aku rasakan saat ini. Aku merasa terpukul. Kepalaku rasanya mau pecah. Aku tidak bisa berpikir lagi.

"pokoknya ayah ingin kamu belajar banyak di sini. Dan jika kamu menolak atau mencoba kabur lagi, ayah akan penjara kan kamu." ayah berucap kembali masih dengan suara tegasnya.

****

Pada akhirnya aku hanya bisa pasrah. Aku mencoba mengikuti keinginan ayahku. Meski pun aku masih merasa penasaran, dengan apa yang terjadi pada Andini, setelah ayahku mengetahui semuany. Bisa saja Andini juga di usir oleh ayah dari rumah.

Tapi aku coba mengabaikan hal tersebut. Aku coba menjalani hari-hari ku di pesantren ini. Mencoba memulai hidupku yang baru. Semakin lama kau semakin sadar, kalau apa yang aku lakukan bersama Andini, adalah sebuah kesalahan.

Hari-hari yang aku lalui di pesantren ini, yang meski pun awalnya terasa berat bagiku, justru semakin lama semakin membuat aku nyaman. Aku jadi punya teman-teman baru di sini. Aku juga di minta untuk mengajar ilmu-ilmu umum yang aku kuasai. Yang pastinya bukan ilmu agama, karena aku masih sangat awam akan hal itu.

Namun lama kelamaan, aku pun mulai memahami sedikit demi sedikit ilmu agama yang aku dapatkan di pesantren ini. Semakin aku mempelajarinya, semakin aku tertarik untuk mengetahuinya.

Hidupku yang selama terasa hampa, sekarang jadi terasa bermakna. Aku merasa jadi punya tujuan. Dan aku pun mulai bertobat. Memohon ampunan kepada Tuhan, atas dosa-dosa yang telah aku lakukan selama ini. Terutama dosa yang aku lakukan bersama Andini.

Aku mulai memperbaiki diriku, tingkah laku ku dan cara aku berpikir. Aku pun semakin tertarik untuk memperdalam ilmu agama ku.

Bertahun-tahun aku berada di pesantren tersebut. Sekali-kali ayah dan adik-adik ku datang mengunjungiku. Namun tak pernah sekali pun ada Andini di antara mereka.

Aku pun memberanikan diri untuk diam-diam bertanya pada adik laki-laki ku, tentang Andini.

"Ibu ada di rumah, ia sekarang kan lagi sibuk ngurusin adik kecil kita." begitu jelas adik ku pada ku, yang membuat ku menjadi sedikit lega.

Ternyata ayah tetap mempertahankan Andini, meski pun ia tahu Andini telah berbuat salah. Mungkin Andini memang butuh kesempatan kedua, demikian juga aku.

Karena itu, aku pun memutuskan untuk melanjutkan kuliah ku ke Mesir. Untuk lebih memperdalam ilmu agama ku. Hal itu aku sampaikan kepada ayah. Beliau pun sangat mendukung keputusan ku tersebut.

Aku tahu, ayah mendukung hal itu, karena memang ia tidak ingin aku kembali ke rumah. Aku pun juga tidak ingin lagi kembali ke rumah. Aku harus menjauh dari masa lalu ku, setidaknya sampai aku benar-benar bisa melupakan hal tersebut. Meski pun aku tak yakin, kalau aku akan begitu mudah untuk melupakannya.

Namun yang pasti untuk saat ini, aku ingin pergi sejauh-jauhnya dan belajar lebih banyak tentang Agama, dan juga tentang hidup ini.

****

Ibu Kepsek yang cantik

Bayangan itu kembali melintas, saat aku mencoba memejamkan mata untuk tertidur. Rasanya memang sulit terlepas dari ingatan tersebut.

Biar bagaimana pun itu adalah pengalaman pertama ku. Pengalaman pertama yang begitu indah dan berkesan.

Aku ini seorang guru honorer di sebuah sekolah swasta. Aku jadi guru honorer belum sampai setahun.

Karena aku juga baru lulus kuliah.

Kepala sekolah tempat aku bekerja adalah seorang perempuan. Namanya buk Ratna.

Buk Ratna sebenarnya sudah menikah, dan juga sudah punya dua orang anak. Hanya saja suaminya yang seorang pelaut, sangat jarang pulang.

Buk Ratna juga sudah cukup berumur, sudah 37 tahun usianya.

Namun buk Ratna masih kelihatan cantik dan ia juga memiliki postur tubuh yang seksi.

Sejak aku bekerja di sekolah tersebut, buk Ratna memang selalu baik padaku. Dia juga sangat perhatian.

Mulanya aku menganggap hal itu biasa saja. Karena buk Ratna memang terkenal sangat baik orangnya.

Namun lama kelamaan, sikap buk Ratna padaku, semakin berlebihan. Dia juga jadi sering menawarkan ku, untuk mampir di rumahnya.

Beberapa kali aku coba menolak. Namun pada suatu kesempatan, aku tak bisa menghindarinya lagi.

Dan saat itulah semuanya terjadi. Buk Ratna dengan terang-terangan mengajak aku tidur bersamanya.

Awalnya aku berusaha menolak. Karena biar bagaimana pun ia adalah atasan ku, dan juga karena buk Ratna juga sudah menikah dan sudah punya anak.

Namun buk Ratna dengan sedikit memohon terus meminta ku untuk bisa memenuhi keinginannya tersebut. Katanya suaminya sudah lebih dari dua bulan tidak pulang. Ia jadi merasa sangat kesepian. Karena itu ia berharap, aku mau mengisi kesepiannya itu.

Karena terus di desak dan sebenarnya buk Ratna memang juga cukup menarik secara fisik. Akhirnya aku hanya bisa pasrah dan mengikuti semua keinginan buk Ratna sore itu.

Dulu aku memang pernah beberapa kali pacaran, Ketika aku SMA dan juga ketika aku kuliah. Namun hubungan cinta ku selalu kandas. Dan selama aku berpacaran, aku tidak berani berbuat banyak pada pacarku.

Kami hanya berpacaran secara sehat. Hampir tidak ada hubungan kontak fisik yang aku lakukan dengan pacar-pacar ku dulu.

Namun yang aku dapat dari buk Ratna sekarang, sungguh sesuatu yang luar biasa. Sesuatu yang selalu menjadi impian banyak laki-laki di dunia ini.

Buk Ratna memberikannya padaku dengan penuh perasaan. Dan aku sngat menikamti hal tersebut.

Itu adalah pengalaman pertama ku melakukan hal tersebut dengan seorang perempuan. Sayangnya perempuan itu jauh lebih tua dari ku dan juga sudah punya suami dan anak.

Tapi aku sangat menyukai hal tersebut. Aku benar-benar di buat terkesan oleh buk Ratna.

****

Sejak saat itu, aku dan buk Ratna jadi sering melakukannya. Sekarang bukan hanya buk Ratna yang menginginkan hal tersebut, tapi aku juga menginginkannya.

Aku jadi tergila-gila pada buk Ratna. Biar bagaimana pun dia adalah perempuan pertama yang berhasil mendpatkn keprjakaan ku. Aku jadi tak bisa melupakannya. Bahkan aku sangat ingin memilikinya.

Aku memang telah jatuh cinta pada buk Ratna. Aku selalu memikirkannya setiap malam.

Namun setelah hampir setahun kami menjalin hubungan rahasia. Tiba-tiba buk Ratna meminta aku untuk menjauhinya. Katanya suaminya sudah mulai mencurigainya.

Aku tak menerimanya begitu saja. Biar bagaimana pun semua ini buk Ratna yang memulainya. Dan aku tak akan melepaskanya, walau dengan alasan apa pun.

"tapi aku tidak bisa lagi, Jon. Kita harus mengakhiri semua ini, sebelum semuanya jadi semakin terlambat. Aku juga tidak mau suamiku mengetahuinya. Jadi tolong, jauhi aku mulai sekarang." ucap buk Ratna tegas.

"tapi aku sudah terlanjur jatuh cinta pada buk Ratna. Aku tak ingin mengakhiri ini." balasku sengit.

"itu bukan cinta, Jon. Itu hanya kekaguman sesaat. Aku tahu, aku ini orang pertama yang melakukan hal tersebut bersama kamu. Karena itu kamu jadi sangat terkesan. Nanti kamu juga pasti bisa melupakan ku." ucap buk Ratna lagi.

"aku tak mungkin melupakan buk Ratna. Aku mohon buk, jangan tinggalkan aku seperti ini." ucapku menghiba.

"lalu kamu mau apa dengan hubungan ini?" tanya buka Ratna.

"aku ingin selamanya bersama buk Ratna. Jika perlu... aku siap menikah dengan buk Ratna." balasku sedikit terbata.

"kamu jangan bodoh, Jon. Kamu masih muda. Masih banyak gadis-gadis lain yang bisa kamu jadikan istri." timpal buk Ratna.

"tapi aku maunya hanya buk Ratna." ucapku yakin.

"pokoknya aku gak bisa lagi menjalin hubungan bersama kamu, Jon. Dan jika kamu terus memaksa, aku akan pecat kamu." tegas suara buk Ratna berucap. Sepertinya ia sangat serius dengan keinginannya mengakhiri hubungan kami.

Mendengar ucapan tegas buk Ratna tersebut, aku jadi terdiam. Aku memang sangat ingin terus bersama buk Ratna, tapi aku juga tidak ingin kehilangan pekerjaan ku.

Akhirnya aku tidak bisa berbuat apa-apa lagi, selain menerima semua keputusan buk Ratna.

Sebagaimana awalnya dulu buk Ratna sempat memaksa ku untuk melampiaskan kesepiannya padaku. Sekarang buk Ratna juga memaksa ku untuk melepaskannya kembali, padahal aku sudah terlanjur cinta padanya.

Namun aku tidak bisa berbuat apa-apa. Biar bagaimana pun, buk Ratna adalah istri orang dan juga ia adalah atasan ku.

Pada akhirnya hubungan kami pun berakhir begitu saja. Ternyata buk Ratna hanya sekedar singgah dalam hidupku. Namun kesan yang ia tinggalkan sungguh membuat aku hampir tak bisa melupakannya.

Di tempat kerja, buk Ratna juga bersikap biasa saja padaku. Ia bersikap seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa di antara kami.

Tapi bagiku bersama buk Ratna adalah pengalaman paling indah yang pernah aku alami dalam perjalanan hidupku.

****

Cari Blog Ini

Layanan

Translate