Gara-gara bos ku

Namanya pak Anton. Dia adalah bos ku di kantor tempat aku bekerja menjadi seorang sekretaris.

Aku menjadi seorang sekretaris baru sekitar enam bulan yang lalu, menggantikan sekretaris lama pak Anton. Menurut ceritanya,sekretaris lama pak Anton sudah mengundurkan diri, karena sedang hamil besar.

Ini adalah pengalaman pertama ku bekerja menjadi seorang sekretaris. Kebetulan aku juga baru lulus kuliah.

Pak Anton sudah menikah dan juga sudah punya dua orang anak yang masih kecil-kecil. Kalau ku perkirakan usia pak Anton saat ini sudah 37 tahun.

Meski pun sudah paroh baya, pak Anton masih terlihat gagah dan tampan.

Awal-awal aku bekerja bersama pak Anton, semuanya berjalan dengan wajar dan normal. Hubungan ku dengan pak Anton hanya sebatas hubungan antara atasan dan bawahan.

Namun sebulan belakangan ini, perlakuan pak Anton pada ku, tiba-tiba saja berubah. Ia menjadi semakin baik padaku. Ia juga jadi sering memuji penampilanku.

Mulanya aku menganggap semua itu biasa saja, mungkin pak Anton hanya sekedar memberi aku motivasi agar lebih semangat bekerja.

Pak Anton juga jadi sering mengajak aku makan siang bersama. Bahkan pak Anton juga pernah mengajak aku malam berdua.

Sebagai bawahannya, aku memang tidak pernah bisa menolak setiap ajakan pak Anton tersebut.

Dan lama kelamaan kami pun semakin dekat. Pak Anton juga jadi semakin sering mengajak aku makan malam berdua.

Kedekatan kami, ternyata mampu menumbuhkan sebuah rasa di hati ku diam-diam. Aku mulai menyukai sosok pak Anton. Bukan saja karena memang pak Anton sangat tampan dan gagah, tapi juga ia sangat baik dan penuh perhatian padaku.

Pak Anton juga sering memberi aku hadiah, padahal aku tidak pernah memintanya.

Rasa suka ku pada pak Anton, semakin lama semakin berkembang. Aku semakin mengagumi sosoknya yang penuh perhatian.

Aku jadi sering memikirkan pak Anton. Aku jadi sering melamunkannya dalam imajinasi indahku.

Sebagai seorang perempuan yang masih single, dan hidup sendiri di kota ini, kehadiran pak Anton menemani hari-hari ku cukup membuat aku merasa nyaman.

Sampai kemudian, pak Anton dengan terang-terangan mengungkapkan perasaannya padaku.

"Aku sebenarnya suka sama kamu Tyas. Aku jatuh cinta sama kamu. Maukah kamu menjadi pacarku?" ucap pak Anton penuh perasaan.

"tapi pak Anton kan udah punya istri dan anak." balasku pelan.

"apa kamu keberatan akan hal itu?" tanya pak Anton.

Aku yang sudah terlanjur jatuh cinta pada pak Anton, tentu saja merasa sangat bahagia dengan semua itu. Karena itu aku pun menerima cinta pak Anton dengan tulus.

Meski pun aku tahu, terlalu besar resikonya bagiku, jika aku menjalin hubungan dengan pak Anton. Tapi aku tidak peduli. Aku benar-benar telah tergila-gila pada lelaki tampan itu.

Aku dan pak Anton pun akhirnya menjalin hubungan asmara secara diam-diam. Jika di kantor, kami mencoba bersikap biasa saja. Namun jika kami bertemu di luar jam kerja, kami pun memanfaatkan kesempatan tersebut, untuk menikmati kebersamaan kami.

Hingga pada suatu kesempatan, pak Anton mengajak ku untuk bertemu di sebuah hotel. Awalnya aku ragu untuk datang. Aku mencoba untuk menolak. Tapi pak Anton, terus membujuk ku.

Dengan perasaan masih penuh keraguan, aku pun mencoba memenuhi ajakan pak Anton untuk bertemu di sebuah hotel.

"aku belum pernah masuk kamar hotel dengan seorang laki-laki, pak." ucapku, ketika akhirnya kami benar-benar sudah berada di dalam kamar hotel.

"kalau kita lagi berdua begini jangan panggil pak lah, panggil mas Anton aja." balas pak Anton, sengaja mengabaikan ucapan ku barusan.

"iya mas." jawabku sedikit tersipu.

"lalu kita ngapain di sini mas?" tanya ku melanjutkan.

"kamu benar-benar masih polos ya Tyas. Dan hal itu yang membuat aku semakin mencintai kamu." ucap pak Anton lembut.

"aku memang belum pernah pacaran mas. Apa lagi sampai berduaan dengan laki-laki dalam kamar hotel." balas ku jujur.

"tapi kamu mau kan, melakukannya dengan ku?" tanya pak Anton.

"melakukan apa?" tanya ku polos.

"ya melakukan hal yang seharusnya di lakukan oleh dua orang yang saling mencintai." balas pak Anton.

"tapi aku takut mas. Resikonya terlalu besar." ucapku lagi.

"kamu gak usah takut. Aku pasti melakukannya dengan pelan-pelan." balas pak Anton.

"bukan itu maksud ku mas. Jika kita melakukannya sekarang, aku takut karena kita belum menikah." ucapku.

"kamu jangan takut, nanti pasti aku akan menikahi kamu kok." balas pak Anton.

"kamu mencintai aku kan Tyas?" lanjut pak Anton bertanya.

"iya mas, aku sangat mencintai mas Anton." balas ku jujur.

"kalau kamu memang benar-benar mencintaiku, kamu gak perlu takut dong." ucap pak Anton lagi.

Untuk sesaat aku hanya terdiam. Aku memang sangat mencintai pak Anton. Dan sebenarnya aku juga mau melakukan hal tersebut bersamanya. Bahkan hampir setiap malam aku selalu memikirkan hal tersebut.

Dalam keterdiaman ku itu, tiba-tiba pak Anton pun mulai melakukan aksinya pdaku.

Aku hanya bisa membiarkannya, aku tak berusaha untuk menolak.

Pelan namun pasti pak Anton pun berhasil memancing keinginan ku yang selama ini hanya bisa aku pendam. Kami pun mulai terlarut dalam suasana romantis itu.

"ini terlalu besar mas. Aku jadi takut." ucapku tanpa sadar.

"kamu gak perlu takut Tyas. Ini gak sengeri yang kamu bayangkan kok." balas pak Anton.

"resikonya terlalu besar mas. Aku takut mas Anton hanya memanfaatkan aku." ucapku lagi.

"aku benar-benar mencintai kamu Tyas. Aku tak akan pernah meninggalkan kamu." balas pak Anton berusaha meyakinkan ku.

Akhirnya aku hanya bisa psrah. Dan membiarkan pak Anton mernggut sesuatu yang paling berharga dalam hidupku. Aku biarkan pak Anton mendpatkan semuanya.

Semuanya terasa indah bagiku. Semua anganku tntang pak Anton selama ini, mlam itu pun mnjadi nyata. Sungguh mlam yang teramat indah dan pnuh kesan.

*****

Sejak kejadian inddah malam itu, aku dan pak Anton semakin sering bertemu di hotel. Kami semakin sring mlakukan hal tersebut. Kami bnar-benar terlena dengan cinta trlarang kami.

Sampai setelah lebih dari lima bulan hubungan kami terjalin, aku pun menyadari kalau aku sudah lama tidak dtang bulan. Aku pun memeriksakan diri ke dokter, dan dokter itu pun menyatakan kalau aku sedang hamil, sudah tiga bulan lebih.

Aku merasa terpukul menyadari semua itu. Aku segera menemui pak Anton dan menceritakan tentang kehamilan ku.

Di luar dugaanku, pak Anton justru memarahi ku.

"kenapa kamu bisa ceroboh sih?" tanya nya dengan nada marah.

"maaf mas. Tapi kita terlalu sering melakukannya." balasku dengan suara parau.

"kamu harus menggugurkannya Tyas." ucap pak Anton kasar.

"aku gak mau mas. Ini anak kita. Buah dari cinta kita." balasku sengit.

"apa? Cinta? Kamu pikir aku melakukannya karena cinta?" suara pak Anton makin kasar.

"maksud mas apa?" tanya ku tak mengerti.

"aku tak pernah mencintai kamu Tyas. Aku udah punya istri dan anak." balas pak Anton, yang membuatku semakin tercekat.

"tapi kenapa dulu mas Anton bilang, kalau mas mencintai ku dan akan menikahi ku?" tanya ku pilu.

"kamu memang benar-benar polos ya Tyas. Tentu saja aku mengatakan itu, agar kamu mau melakukan hal tersebut dengan ku." balas pak Anton sinis.

Oh aku terhenyak menyadari itu semua. Betapa aku merasa sangat bodoh.

"lalu sekarang bagaimana dengan kandungan ku mas?" tanyaku dengan suara lemah.

"kamu gugurkan saja." balas pak Anton tegas.

"aku gak mau." ucapku ikut tegas.

"kalau begitu kamu urus aja sendiri kandungan mu itu." balas pak Anton.

"tapi ini anakmu mas." ucapku lirih.

"siapa bilang? Bisa saja itu anak laki-laki lain kan?" balas pak Anton kasar.

"aku tidak pernah melakukannya dengan laki-laki lain mas." ucapku sedikit tersinggung.

"siapa tahu? Dan aku juga gak peduli. Yang pasti, kalau kamu gak mau menggugurkannya, kamu saya pecat dan hubungan kita juga berakhir." balas pak Anton masih dengan nada kasarnya.

"tega kamu mas." suara ku tercekat.

"kamu yang bodoh." balas pak Anton.

Setelah berkata demikian, pak Anton pun pergi meninggalkan aku sendirian.

Air mataku pun akhirnya tumpah. Aku menangis histeris. Menyesali semua yang telah terjadi.

Aku menyesali kebodohanku, yang begitu mudah terlena dengan rayuan lelaki bejat itu.

Kini aku harus menanggung akibat dari semuanya.

Ternyata resikonya jauh lebih besar dari yang aku takutkan. Dan aku merasa sangat menyesal.

****

Waktu pun terus berputar, dan aku sudah memutuskan untuk berhenti bekerja. Aku pun memutuskan untuk kembali ke kampung halaman ku, dan menceritakan semuanya pada orangtua ku.

Mereka tentu saja marah besar padaku. Tapi sebagai orangtua mereka berusaha untuk memaklumi semuanya, dan memaafkan ku. Tentu saja, setelah aku memohon dan bersujud kepada mereka.

Kemudian, untuk menutupi aib keluarga, aku pun dinikahkan dengan seorang pemuda kampung. Namanya Juna. Dia teman SMA ku dulu. Sekarang ia hanya menjadi petani biasa di kampung.

Aku tahu, sejak dulu, Juna sudah menyukai ku. Karena itulah ia mau menikah denganku, meski pun ia tahu, kalau aku sedang mengandung anak orang lain.

Aku pun berusaha menerima kenyataan tersebut. Biar bagaimana pun, Juna sudah mau menerima keadaan ku. Dan aku harus belajar untuk mencintainya.

Aku mungkin kehilangan kesempatan untuk mengejar karir ku di kota. Tapi aku masih punya kesempatan untuk memperbaiki hidup ku. Aku akan memulai lagi semuanya dari awal. Aku akan membangun sebuah rumah tangga yang bahagia, bersama Juna, yang sekarang sudah menjadi suami ku tersebut.

Begitulah kisah kehidupan yang harus aku lalui. Hanya karena aku terlalu mengikuti keinginan ku, aku pun jadi seperti ini. Semua gara-gara bos ku.

****

Sekian

Aku cemburu

Aku cemburu. Ya, aku cemburu dan aku berhak untuk cemburu. Karena dia adalah tunangan ku.Semua orang kampung juga tahu, kalau kami sudah bertunangan.

Tapi mengapa semua itu bisa terjadi?

Aku melihatnya. Aku melihatnya dengan mata kepala ku sendiri. Tadi itu jelas sekali. Dan aku tak tahan melihatnya. Aku ingin marah. Aku ingin melabrak mereka. Tapi...

Aku baru saja pulang dari kantor Camat, yang berjarak 15 kilometer dari desa kami, bersama pak Kades. Ada rapat. Dan aku di minta untuk mendampingi pak Kades ikut rapat. Karena aku adalah sekdes di desa kami.

Kami berangkat pagi tadi, pakai mobilnya pak kades, Terios, merk mobil itu. Siang, rapat itu baru usai. Dan aku serta pak Ali, kepala desa yang baru diangkat satu setengah tahun lalu itu, makan dulu di sebuah rumah makan di Kecamatan.

Kami pulang sekitar jam 2 siang. Pak Ali meminta aku untuk menyetir mobil, katanya dia capek. Dan  itu tadi, jalan menuju rumah pak Ali harus melewati rumah tunangan ku, Novi.

Aku dengan jelas melihat, Novi berdiri di depan pintu rumahnya. Di sampingnya berdiri seorang cowok, tapi lebih tepat dipanggil bapak, karena ku lihat orang itu sudah cukup tua, mungkin seusia pak Ali. Aku sengaja memelan mobil. Cowok itu, atau bapak itu, mencium kening Novi dengan mesra. Setidaknya begitulah yang aku lihat.

Dan anehnya lagi, Novi malah tersenyum di cium oleh cowok itu. Seakan sengaja memanasi ku.

Aku kaget. Mobil hampir saja masuk parit yang ada di kiri jalan. Untuk saja aku cepat menginjak rem. Sehingga mobil terhenti sesaat.

"ada apa, Jo?" pak kades yang lagi ketiduran itu menanyaiku. Karena, mungkin saja, ia kaget sebab mobil berhenti mendadak.

"mm... ah... gak apa-apa, pak." jawabku gugup. Kemudian aku langsung menginjak pedal gas. Mobil pun melaju menuju rumah pak Ali. Sekilas ku lihat di spion, Novi menatap kepergian mobil kami dengan bengong.

****

Malam ini aku belum bisa tidur. Rasanya mata sulit sekali di pejamkan. Padahal sudah hampir tengah malam. Setiap kali aku coba untuk memejamkan mata, aku selalu melihat dengan jelas kejadian sore tadi. Bapak itu mencium dahi Novi dengan mesra. Siapa dia? tanyaku membathin.

Selama ini aku belum pernah melihatnya. Bahkan yang aku tahu, Novi tak punya saudara yang berada di luar desa ini. Sedangkan yang berada di desa ini, aku kenal semua.

Apa mungkin dia itu keluarganya Novi yang dari jauh? Atau malah orang itu ingin merebut Novi dari ku? Bisa saja, kan? Dengan kekayaannya orang itu membujuk orangtua Novi, agar mau menerimanya menjadi menantu.

Tapi Novi kan tunangan ku.

Aku ingat pertama kali kami jadian.

"apa bang Jo serius dengan perkataan bang Jo?" tanya Novi waktu itu, waktu aku mengungkapkan perasaanku sama Novi.

"apa abang kelihatan seperti orang yang gak serius?" aku balik bertanya.

"tapi bang Jo kan sekdes di desa ini. Apa bang Jo tak malu punya calon istri seperti aku, yang cuma anak seorang tukang kebun?" tanya Novi lemah.

"loh, kenapa abang mesti malu? Kamu kan cantik. Udah gitu baik lagi. Harusnya abang bangga, dong." aku berbicara sedikit tegas, sambil menatap mata Novi. Mata yang bening itu, menghindari tatapanku.

"justru sebaliknya, kmau yang harusnya malu punya calon suami kayak abang." ucapku memancing.

"kenapa aku harus malu?" tanya Novi cukup heran.

"ya.. karena usia abang kan udah cukup tua, sedangkan Novi masih muda.." jawabku jujur. Karena memang usia kami terpaut cukup jauh, setidaknya enam atau tujuh tahunan lah.

"ini bukan masalah umur, bang. Tapi masalah hati." ungkap Novi tegas.

Aku sudah kenal Novi sejak lama. Sejak kecil malah. Kami tinggal dalam satu desa. Rumah kami juga tidak terlalu jauh.

Tapi sejak aku menamatkan SMP yang ada di desa kami, aku pindah ke kota. Tinggal bersama kakak ku yang jadi guru di kota. Di sana aku sekolah, sambil membantu abang iparku menjaga toko. Abang iparku punya toko disana. Toko elektronik.

Sekali-kali aku pulang ke kampung. Di rumah abangku yang cuma seorang nelayan. Karena sejak kecil kedua orangtua ku uddah meninggal. Aku anak bungsu dari kami tiga bersaudara.

Tamat SMA, aku kuliah. Setelah itu aku pulang ke kampung dan di angkat menjadi sekdes. Sudah hampir empat tahun menjadi sekdes aku belum juga punya istri.

Sekarang kades nya udah ganti, tapi aku tetap di pakai untuk menjadi sekdes.

Aku dan Novi akhirnya bertunangan, setelah hampir tiga bulan dari masa pacaran kami. Aku memang berniat serius, karena aku memang sudah saatnya untuk menikah, dan Novi adalah pilihanku.

*****

Tok! Tok! Tok!

Ku dengar pintu kamar ku di ketuk. Lamunanku buyar. Sehabis sholat subuh tadi, aku rebahan kembali. Mengingat-ingat apa yang terjadi kemarin.

"siapa?" tanyaku, sambil berusaha duduk dari rebahan ku.

"saya, om. Imah." jawab suara itu dari luar.

"oh. Ada apa, Imah?" tanya ku lagi pada pona'an ku itu. Imah anak abang ku yang paling bontot, kelas 2 SMP.

"ada yang cari." jawabnya.

"siapa?" aku bertanya, sambil membukakan pintu kamarku.

"tuh!" kata Imah, sambil memonyongkan bibirnya ke arah ruang tamu.

Aku melihat Novi duduk di sofa.

Mau apa dia? bathinku. Dengan terpaksa aku pun menemuinya. Aku masih marah. Dan amarah ku masih belum sempat aku lampiaskan. Tapi aku tak boleh gegabah. Aku harus tahu siapa lelaki yang bersamanya kemarin.

"ada apa kesini?" tanyaku sedikit ketus, setelah aku duduk di hadapannya dan meminta Imah untuk membuatkan dua gelas minuman.

"aku mau ngomong." jawabnya ragu.

"ngomong aja." ucapku sedikit acuh.

"aku... hmmm... kata Ria, bang Jo marah padaku. Apa benar?" Novi berucap sambil menunduk.

"yah." jawabku singkat.

Aku ingat, aku sempat bertemu Ria sore kemarin. Sepulang dari rumah pak kades. Karena tak bisa menahan emosi ku, aku terpaksa ngomong sama Ria tentang kejadian itu. Karena aku tahu, Ria itu sahabatnya Novi.

Ternyata Ria menceritakannya pada Novi. Dan Novi datang pagi-pagi kesini, ingin tahu. Apa dia tak merasa bersalah? tanyaku membathin.

"kenapa, bang? Apa aku berbuat salah?" kali ini Novi menatapku penuh selidik.

Ah, aku bingung. Aku tak ingin menunjukkan kecemburuan ku. Tapi...

"siapa lelaki kemarin?" akhirnya aku bertanya sambil menahan napas.

"lelaki yang mana, bang?" Novi balik bertanya.

"kamu tidak tahu, atau pura-pura tidak tahu?" tanyaku lagi, sedikit emosi.

"maksud, bang Jo..?" wajah Novi agak kelihatan bingung.

"siapa lelaki yang datang ke rumah mu kemarin?" tanya ku lagi.

Sesaat Novi mengerutkan kening. Kemudian perlahan bibirnya mengulaskan senyum. Senyum lebar malah.

"kenapa senyum? Apanya yang lucu?" tanyaku antara marah dan heran.

"oh, jadi bang Jo marah karena itu?" ucap Novi pelan, kemudian ia pindah duduk di sampingku. Aku tetap memasang tampang masam. kemudian ku dengar Novi berucap,

"dulu, setelah tamat SD, aku tidak melanjutkan sekolah di sini, tapi aku sekolah di kota. Di kota aku tinggal bersama seorang juragan. Juragan itu adalah pemilik kebun tempat ayah ku bekerja. Orangnya baik, dia juga yang membiayai aku sekolah." Novi berhenti sesaat, kemudian melanjutkan,

"adik-adik ku juga butuh biaya untuk sekolah, ayahku tak sanggup membiayai kami semua. Dan juragan itu bersedia membantu ayah untuk membiayai sekolah ku dan adik-adik." ku lihat Novi menarik napas dan melirik ku.

"juragan itu cuma punya satu orang anak, yaitu bang David. Waktu itu ia masih kuliah. Ia udah menganggap ku seperti adik sendiri, demikian juga juragan itu, ia juga sudah menganggap sebagai anaknya sendiri." Novi berhenti sejenak.

Aku mulai mengerti ceritanya. Setidaknya aku mencoba mencerna kata-kata yang di ucapkan Novi.

"dan kemarin itu ia datang, karena sudah lama sekali kami tak bertemu. Sejak tamat SMA, aku jarang sekali kesana. Dan sejak menikah bang Davit sibuk dengan bisnisnya. Kebetulan kemarin itu dia lagi libur, jadi dia datang ke rumah sendirian, karena istrinya sedang ada kerjaan yang harus diselesaikan." ucap Novi panjang lebar.

Aku mengangguk dan menatap Novi. Ku lihat ketulusan dan kejujuran di matanya. Aku salah telah mencemburuinya.

"aku minta maaf..." ucapku spontan, "aku telah menuduhmu yang bukan-bukan. Tapi itu semua terjadi, karena aku begitu menyayangi mu dan aku sangat takut kehilangan kamu, Novi." ucapku penuh perasaan, sambil kuraih tangan lembut Novi.

"aku belum selesai cerita," ucap Novi tanpa menghiraukan pernyataan ku, "sampai sekarang bang David belum juga mendapatkan keturunan, itulah sebabnya ia sangat menyayangi ku dan juga adik-adikku." lanjutnya lagi.

Aku keliru. Bathinku.

Novi adalah gadis terbaik yang pernah ku kenal da naku tak akan menyia-nyiakannya. Aku janji.

****

Karyawan mini market

Namaku Hardi. Aku sudah menikah dan sudah punya dua orang anak.

Aku bekerja di sebuah perusahaan swasta sebagai seorang asisten manager. Kehidupan ku dan keluarga ku secara ekonomi memang sudah lebih dari cukup. Apa lagi istri ku juga membuka usaha jualan peralatan rumah tangga secara online.

Pernikahan ku sebenarnya baik-baik saja, tidak pernah ada masalah yang berarti dalam rumah tangga ku selama ini.

Namun perjalanan hidup adalah sebuah misteri. Kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi ke depannya.

Berawal dari perkenalan ku dengan seorang gadis, sebut saja namanya Sari.

Sari adalah seorang kasir di sebuah mini market. Kami berkenalan karena aku memang sering berbelanja di mini market tempat sari bekerja.

Dari perkenalan singkat, saling tukar nomor handphone, lalu jadi sering chatingan.

Sari gadis yang cantik, ia masih cukup muda. Setidaknya usianya masih 22 tahun, seperti yang pernah ia katakan padaku.

Entah mengapa, setiap obrolan kami selalu nyambung satu sama lain. Sari juga sangat pengertian.

Dan soal status, Sari memang masih single. Aku juga sudah jujur padanya, kalau aku sudah menikah.

Tapi kami justru semakin dekat. Kami bahkan jadi sering jalan bareng, sekedar makan siang misalnya.

Sari ternyata seorang gadis perantau. Ia tinggal sendiri di kota ini, tepatnya di sebuah kamar kost.

Orangtua dan semua keluarganya berada di kampung yang cukup jauh dari kota. Sari merupakan anak sulung dari empat bersaudara.

Menurut cerita Sari, ia memang harus bekerja keras, karena penghasilan orangtua nya di kampung, tidaklah pernah mencukupi kehidupan mereka. Apa lagi ketiga adik Sari masih bersekolah. Tentu saja mereka butuh biaya yang cukup banyak.

Setiap bulan Sari harus mengirim sebagian besar dari gajinya ke kampung untuk membantu keuangan orangtuanya.

Sari memang selalu terbuka padaku, ia jadi semakin sering curhat padaku. Aku juga merasa senang menjadi orang yang bisa di percaya oleh sari untuk berbagi cerita hidupnya.

Sampai lama kelamaan, kami pun benar-benar dekat. Dan harus aku akui, kalau aku mulai merasa nyaman saat bersama Sari.

Perlahan namun pasti perasaan di antara kami pun kian berkembang, hingga akhirnya hubungan kami bukan lagi hanya sekedar teman cerita.

"aku sudah punya istri loh, Sar." ucapku berusaha mengingatkan Sari akan status ku.

"tapi aku sudah terlanjur suka sama bang Hardi." balas Sari.

"aku juga cinta sama kamu Sari." ucapku tulus.

Dan hari-hari selanjutnya, kami pun menjalin hubungan asmara secara diam-diam. Kami sering bertemu di waktu-waktu tertentu. Kami semakin sering menghabiskan waktu berdua.

Hingga pada suatu kesempatan, saat itu kami bertemu di kamar kost Sari. Entah siapa yang memulainya, kami pun melakukan hal yang tidak seharusnya kami lakukan. Hubungan kami sudah melampaui batas.

Semuanya terjadi begitu saja. Kami sama-sama menginginkannya. Sari juga mengikhlaskan hal itu terjadi. Dia dengan begitu rela, mempersembahkan mahkota nya yang paling berharga padaku. Dan aku menyambutnya dengan perasaan penuh kebahagiaan.

****

Setelah kejadian indah yang baru pertama kali kami lakukan tersebut, bukannya merasa menyesal, tapi justru kami semakin sering melakukannya. Kami benar-benar terbuai dengan cinta terlarang kami.

Mulanya semua berjalan dengan begitu lancar. Kami merasakan keindahan dalam hubungan cinta kami.

Namun pada akhirnya, kami pun harus menghadapi kenyataan pahit, saat Sari menyadari kalau ia telah hamil.

Menghadapi kenyataan itu, aku merasa mulai panik. Aku tidak tahu harus berbuat apa. Sementara Sari terus menuntut aku untuk bertanggungjawab.

Aku coba membujuk Sari untuk menggugurkan kandungannya. Tapi Sari dengan tegas menolak.

Kami pun akhirnya jadi sering bertengkar. Karena Sari meminta ku untuk segera menikahinya, meski pun hanya sekedar nikah sirih. Karena ia tidak ingin anaknya lahir tanpa seorang ayah.

Tapi aku tidak mungkin menikahinya saat ini, karena aku tidak ingin merusak rumah tangga ku dengan istri dan anak-anak ku. Biar bagaimana pun keluarga ku rasanya jauh lebih penting untuk di pertahankan.

Dalam kebingungan ku, aku pun akhirnya meninggalkan Sari sendirian. Aku sengaja menghilang. Aku blokir nomor Sari dari ponsel ku, aku blokir semua nomor baru yang masuk ke handphone ku.

Aku tidak ingin bertanggungjawab atas perbuatan ku pada Sari, meski pun itu semua terjadi bukan karena kesalahan ku sendiri. Sari juga menginginkan hal tersebut.

Tapi aku tidak mungkin menikahinya walau dengan cara dan alasan apa pun.

Hampir sebulan aku tak pernah lagi bertemu dengan Sari. Aku benar-benar pergi darinya. Beruntunglah selama kami berhubungan, Sari tidak pernah tahu dimana alamat rumah atau pun kantor tempat aku bekerja.

Namun setelah sebulan, sebuah kabar pahit pun datang padaku. Di sebuah berita di sebutkan bahwa seorang karyawan mini market di temukan tewas bunuh diri di kamar kost nya. Dan orang itu ternyata adalah Sari.

Aku merasa terpukul mendengar kabar itu. Tak pernah aku sangka kalau Sari akan nekat melakukan hal tersebut.

Pihak berwajib pun kemudian melakukan penyelidikan atas kematian Sari. Dan ternyata sebelum melakukan tindakan nekat itu, Sari sudah menulis pesan di kamar kost nya. Pesannya itu ditujukan padaku.

Berdasarkan pesan tersebutlah, pihak berwajib pun berhasil menangkap ku.

Aku akhirnya harus menanggung akibat dari perbuatanku. Kini istri ku juga sudah tahu semua kisah ku bersama Sari. Karena untuk meringankan hukuman ku, aku memang harus menceritakan secara jujur tentang apa yang terjadi antara aku dan Sari.

Setelah melalui beberapa kali persidangan, aku pun akhirnya harus masuk bui. Aku memang harus menerima akibat dari perbuatanku. Aku yang tadinya tidak mau bertanggungjawab, saat ini aku tidak bisa lagi lari dari semua itu.

Mungkin memang lebih baik seperti ini. Karena memang pada akhirnya, sesuatu yang salah pasti akan mendapatkan pembalasannya.

Semoga hukuman yang aku terima ini, bisa memberikan pelajaran berharga bagiku, agar aku lebih berhati-hati lagi dalam melangkah. Dan semoga aku bisa menjadi orang yang lebih baik lagi ke depannya.

Ya semoga saja!

****

Janda cantik tetangga baru ku

Aku seorang suami dari seorang istri bernama Lena. Kami juga sudah punya seorang putri kecil yang baru berusia enam tahun.

Kehidupan kami memang terbilang sangat sederhana. Aku hanya seorang satpam di sebuah mall, sedangkan istri ku juga ikut bekerja, dengan berjualan kue keliling.

Setiap pagi biasanya istri ku selalu keliling komplek untuk menjajakan kue nya, sambil ia mengantar anak kami ke sekolah, dan biasanya siang baru ia kembali ke rumah, sambil sekalian menjemput kami di sekolah.

Aku sendiri bekerja secara shift, kadang aku harus masuk kerja malam dan pulang pagi. Kadang juga masuk siang dan pulangnya malam.

Kami tinggal di sebuah rumah petak kontrakan. Rumah petak itu berderetan sebanyak lima pintu.

Empat dari lima rumah tersebut sudah berpenghuni, kecuali rumah paling ujung yang berdampingan dengan rumah kami itu masih kosong. Karena baru beberapa minggu yang lalu penghuninya pindah.

Sampai pada suatu ketika, seseorang pindah ke rumah kontrakan kosong tersebut.

Penghuni baru itu, seorang janda dengan dua orang anak, namanya Maya.

Menurut cerita Maya, suaminya baru saja meninggal sekitar dua bulan yang lalu. Ia pindah ke kontrakan ini, karena sudah tidak sanggup lagi membayar sewa rumah lamanya.

Mendiang suaminya adalah seorang karyawan di sebuah perusahaan swasta. Setelah suaminya meninggal, Maya mendapatkan pesangon dan juga uang santunan.

Namun karena Maya tidak bekerja, uang itu juga mulai menipis. Karena itu Maya berinisiatif untuk pindah ke kontrakan yang lebih murah.

Maya juga berencana untuk membuka usaha menjahit di tempat barunya itu, sesuai dengan keahlian yang dia miliki.

Singkat cerita, aku dan Maya pun saling kenal, karena kebetulan rumah kami bersebelahan. Dan sebenarnya perkenalan kami di mulai, saat pertama kali Maya pindah ke sini. Saya ikut membantunya, mengangkut barang-barangnya ke dalam rumah.

Maya dan istri ku juga sudah saling kenal, apa lagi anak pertama Maya juga harus pindah ke sekolah baru, yang kebetulan satu sekolahan dengan anak ku.

Sementara anak ke dua Maya sudah mulai masuk TK, yang berada tidak terlalu jauh dari rumah kontrakan kami.

Jadi biasanya, setelah mengantar anak-anaknya ke sekolah, Maya pun mulai sibuk melakukan pekerjaan barunya, yakni menjahit pakaian.

****

Suatu pagi, aku pulang dari kerja, seperti biasa jika masuk malam, maka aku akan pulang sekitar jam delapan pagi.

Saat itu, istriku sudah tidak ada di rumah, karena memang ia harus pergi menjajakan kue dagangannya.

Aku mencoba mencari kunci rumah, yang biasanya istriku taruh di bawah pot bunga di samping pintu. Tapi setelah mencari beberapa saat aku tidak bisa menemukannya.

Saat itu, Maya sedang menyapu di teras rumahnya.

"lagi cari apa, Jun?" tanya Maya, saat ia melihat aku yang sedang kebingungan.

"anu, mbak. Kunci rumah. Apa tadi istri ku ada titip sama mbak Maya?" tanya ku sedikit gelagapan.

Maya saat itu hanya memakai baju daster tipis, yang sedikit transparan. Rambutnya dibiarkannya tergerai, sedikit basah.

Maya memang berwajah cukup cantik, body nya juga lumyan seksi.

"gak ada tuh, Jun. Mungkin ia lupa meninggalkannya." ucap Maya menjawab.

"tu lah, mbak. Padahal biasanya ia taruh di situ." ucapku sambil menunjuk ke arah pot di samping pintu.

Maya memang berusia dua tahun lebih tua dari ku, sekitar 33 tahun usianya. Sementara aku masih 31 tahun. Karena itu aku biasa memanggilnya mbak.

"padahal aku sudah ngantuk banget, mbak. Semalam gak tidur, karena tugas." lanjutku berucap lagi.

"ya udah, kamu istirahat di rumah mbak aja." tawar Maya.

"gak usah, mbak. Saya nunggu istri saya aja." balas ku.

"tapi istri kamu kan masih lama pulangnya, Jun. Biasanya kan ia pulang siang. Sekarang masih jam delapan loh, Jun." ucap Maya lagi.

"tapi aku gak enak, mbak. Masuk ke rumah mbak Maya." balasku sungkan.

"udah, gak apa-apa, Jun. Kan cuma numpang tidur doang." ucap Maya meyakinkan.

Aku berpikir sejenak. Sebenarnya aku merasa sungkan untuk masuk ke rumah Maya. Tapi aku juga sudah tidak bisa menahan kantuk ku.

Aku pun akhirnya menerima tawaran Maya, untuk beristirahat di rumahnya.

Aku melangkah dengan sedikit ragu memasuki rumah tersebut. Maya ikut masuk bersama ku.

Ia kemudian memberikan aku sebuah bantal, untuk aku berguling di ruang tengah rumahnya.

Ruangan itu memang agak sempit, karena semua peralatan menjahit Maya berada di ruangan itu.

Aku jadi sedikit kesusahan untuk sekedar berbaring.

Maya sepertinya juga menyadari hal tersebut.

"kamu tidurnya di kamar aku aja, Jun." tawar Maya.

"tapi aku gak enak loh, mbak." balas ku berusaha menolak.

"tapi kamu gak mungkin bisa tidur di situ, Jun. Jadi lebih nyaman kalau kamu tidurnya di kamar aja." ucap Maya sedikit bersikeras.

Karena merasa tidak enak hati menolak kebaikan Maya, dan juga karena memang di ruangan itu aku tidak bisa tidur dengan nyaman, aku pun menerima tawaran dari Maya.

Aku segera bangkit dan berjalan menuju kamar Maya.

Sesampai di dalam, aku pun segera merebahkan tubuh ku di atas ranjang dalam kamar tersebut. Saat itulah aku menyadari, kalau dari tadi Maya selalu memperhatikan ku.

"mbak kok lihatnya gitu?" tanya ku bergetar.

"kamu tampan dan gagah sekali, Jun. Aku suka lihat kamu." ucap Maya cukup berani.

"ah, mbak Maya bisa aja." balas ku salah tingkah.

"kamu kan tahu sendiri, Jun. Aku ini sudah hampir setengah tahun menjanda. Aku selalu merasa kesepian. Dan jujur saja, aku sering memikirkan kamu malam-malam, untuk sekedar mengisi kesepian ku." ucap Maya lagi, sambil ia mulai melangkah mendekati ku.

Aku terpaku menyadari itu semua. Sungguh tak pernah terpikir oleh ku, kalau Maya akan berucap demikian.

Aku memang mengagumi kecantikan Maya. Namun selama ini, aku tidak berani untuk menunjukkannya. Apa lagi status ku yang merupakan suami orang.

Tapi karena Maya sendiri sudah berterus terang tentang perasaannya, aku pun jadi lebih berani.

"aku.. aku... juga suka sama mbak Maya. Tapi aku ini suami orang loh, mbak. Apa mbak Maya gak nyesal nantinya?" ucapku akhirnya.

"kalau untuk mendapatkan laki-laki segagah kamu, aku gak bakal nyesal, Jun. Lagi pula, kita melakukannya atas dasar suka sama suka. Dan kita juga tidak harus terikat kan?" balas Maya kemudian.

"kalau mbak Maya, mau nya seperti itu, aku juga siap, mbak. Menjalin hubungan rahasia bersama mbak Maya. Asalkan mbak Maya tidak menuntut apa-apa dari ku." ucap ku membalas.

"aku tidak akan menuntut apa pun dari kamu, Jun. Asalkan kamu punya waktu untuk ku, kapan pun aku menginginkannya." ucap Maya yakin.

Dan setelah memperoleh kata sepakat, pagi itu, aku dan Maya pun melakukan sebuah pergelaran.

Sebuah pergelaran yang indah. Maya memang terlihat sekali sudah berpengalaman. Apa lagi ia sudah lama hidup sendiri. Ia pasti sangat kesepian selama ini. Hal itu dapat aku rasakan dari perlakuannya pada ku pagi itu.

Aku hampir kewalahan di buatnya. Sangat terlihat sekali, kalau Maya memang sedang merasa haus.

Aku pun berusaha untuk memberikan yang terbaik untuk Maya. Aku juga ingin membuktikan diri ku padany, kalau aku ini adalah laki-laki yang tepat untuknya saat ini.

Dan pagi itu pun berlalu dengan sempurna. Meninggalkan kesan yang mendalam di antara kami berdua.

****

Sejak kejadian indah pagi itu, aku dan Maya pun mulai terlibat hubungan terlarang.

Kami selalu berupaya untuk mencari waktu yang tepat untuk kami bisa bertemu dan berduaan.

Berbulan-bulan hal itu terus terjadi.

Sampai akhirnya, istri ku pun mulai mencurigai ku. Istri ku sering mempertanyakan tentang kedekatan ku dengan Maya.

Karena takut istri ku mengetahui hubungan kami, aku pun segera meminta Maya untuk tidak lagi bertemu dengan ku.

Maya berusaha menolak awalnya, tapi aku berusaha meyakinkannya. Aku tak ingin rumah tangga ku hancur, karena hubungan ku dengan Maya.

Maya tetap tak terima, dia bahkan semakin berani untuk terus mendekati ku.

Sampai akhirnya istri ku pun terpaksa turun tangan. Istri ku menghasut beberapa warga yang ada di sana untuk segera mengusir Maya dari situ.

Beberapa warga pun mulai terhasut. Apa lagi status Maya yang seorang janda. Para-para ibu-iu di gang itu, merasa khawtir kalau suami mereka juga di goda oleh Maya.

Setelah campur tangan pak RT, Maya pun akhirnya di paksa pindah dari situ. Aku tak bisa berbuat apa-apa, karena aku juga tidak ingin rahasia hubungan ku dengan Maya terbongkar.

Aku juga turut serta menyetujui pengusiran Maya dari tempat itu, agar istri ku yakin, kalau aku tidak punya hubungan apa-apa dengan Maya.

Maya pun pindah, dan aku juga sedikit merasa bersalah. Tapi aku memang tidak mungkin melanjutkan hubungan ku dengan Maya.

Biar bagaimana pun, aku sudah punya istri dan anak yang sangat aku sayangi. Dan hubungan ku dengan Maya adalah sebuah kesalahan.

Meski pun resikonya, Maya terpaksa pindah dari situ. Tapi aku merasa sedikit lega, karena dengan begitu, aku tak perlu lagi merasa khawatir.

Aku pun menyadari kesalahan ku tersebut. Aku yang begitu mudah tergoda oleh janda cantik itu.

Namun aku berjanji dalam hatiku, untuk tidak lagi melakukan kesalahan yang sama di kemudian hari.

Semoga saja.

****

Selesai..

Pembantu baru ku yang cantik (bagian 1)

Aku seorang pria yang berusia 32 tahun saat ini, aku memiliki istri yang berusia 28 tahun. Kami menikah sekitar 6 tahun yang lalu, waktu itu usia ku masih 26 tahun, sedangkan istri ku masih 22 tahun. Kami menikah setelah hampir 3 tahun pacaran.

Dari hasil pernikahan kami, kami sudah mempunyai seorang anak laki-laki berusia 4 tahun lebih. Saat ini, istriku sedang hamil anak kedua kami, sudah 8 bulan.

Aku seorang pengusaha muda yang cukup sukses. Usaha properti ku terbilang cukup maju. Sehingga secara ekonomi, kehidupan kami memang serba berkecukupan.

Istriku sendiri hanya seorang Ibu rumah tangga, meski ia memiliki pendidikan sampai sarjana. Namun karena sudah menikah dengan ku, aku tidak memperbolehkan ia bekerja. Aku ingin ia menjadi Ibu rumah tangga yang baik. Mengurusi anak dan melaksanakan tugasnya sebagai seorang istri.

Meski terbilang masih muda, tapi kami sudah mempunyai rumah sendiri. Rumah yang aku beli dari hasil kerja keras ku selama ini. Rumah yang cukup mewah.

Dirumah kami, kami juga memperkerjakan beberapa orang pembantu.

Yang pertama ada Bi Ijah, yang bertugas mengurusi segala tetek bengek makanan di dapur dan juga mencuci pakaian. Sedangkan suami bi Ijah, pak Parno, bertugas membersihkan kebun dan pekarangan rumah. Kemudian ada Santo, yang bertugas menjaga keamanan rumah.

Dan Sidik, yang menjadi sopir pribadi istri ku. Serta ada Marni, yang bertugas membersihkan rumah dan kamar.

Mereka tinggal satu rumah dengan kami, Bi Ijah dan suaminya tidur di kamar paling belakang dekat dapur. Santo dan Sidik tidur satu kamar, karena mereka masih lajang, dan kamar mereka berada tidak jauh dari kamar Bi Ijah. Sementara Marni, tidur di salah satu kamar yang ada diruang tengah.

Marni adalah pembantu baru dirumah kami, ia baru bekerja dengan kami selama 4 bulan. Ia berasal dari kampung. Masih muda dan memiliki wajah yang lumayan cantik, meski tanpa make up.

Marni gadis yang lugu, usia nya masih 20 tahun. Ia hanya tamatan SD, karena memang ia berasal dari keluarga yang kurang mampu. Ia bekerja ke kota, untuk membiayai sekolah adik-adiknya di kampung. Begitu ceritanya, ketika ia pertama kali bekerja dengan kami. Bi Ijah yang memperkenalkan kami dengan Marni

Sebenarnya rumah tangga kami sangat bahagia, kami menikah atas dasar saling cinta. Apa lagi sejak anak pertama kami lahir, kebahagiaan kami semakin lengkap.

Istri ku seorang wanita yang sangat baik. Kami jarang sekali terlibat pertengkaran.

Namun beberapa bulan terakhir ini, sejak ia hamil anak kedua kami, istri ku sering sakit-sakitan dan sering sekali harus dirawat dirumah sakit.

Menurut keterangan dokter, itu merupakan bawaan dari kandungannya.

Sebenarnya tidak ada masalah yang perlu di kwatirkan, karena kondisi bayi dalam kandungan istriku masih dalam keadaan baik-baik saja.

Namun tentu saja, untuk urusan ranjang, istri ku tidak lagi bisa melayani ku seperti biasa.

Aku mencoba memahaminya, karena kadang aku merasa sangat kasihan melihat kondisi istri ku saat ini. Dia harus rutin pergi ke dokter kandungan hampir setiap minggu.

Dirumah pun ia tidak di perbolehkan bekerja terlalu berat.

Untung lah anak kami yang pertama, sudah cukup besar. Jadi ia tidak terlalu merepotkan istri ku, lagi pula di rumah ada pembantu yang mengurusinya.

Suatu pagi, aku bangun sedikit telat dari biasanya, karena tadi malam harus pulang larut. Ada pekerjaan kantor yang harus diselesaikan.

Saat aku bangun, aku sudah tidak melihat istriku di tempat tidurnya. Aku langsung mandi dan hendak berganti pakaian. Ketika tiba-tiba aku mendengar ketukan di pintu kamar. Dengan hanya memakai handuk yang terlilit di pinggangku dan bertelanjang dada, aku membukakan pintu kamar.

Di depan pintu kamar, sudah berdiri Marni dengan membawa nampan berisi sarapan dan segelas susu.

Aku sedikit heran, karena biasanya istriku yang melakukannya. Aku memang biasa sarapan di kamar, apa lagi kalau aku sedikit terlambat bangun pagi. Karena dengan begitu aku tak harus buang-buang waktu pergi ke dapur untuk sarapan.

Marni tersenyum tipis, sambil berkata, "ini sarapannya tuan.."

"Ibu mana?" tanya ku, tanpa memperdulikan ucapannya.

"Ibu sudah berangkat pagi tadi, katanya ia mau ke dokter." jawab Marni, "Ia berangkat diantar mas Sidik. Ia menyuruh saya untuk mengantarkan sarapan tuan ke kamar..." lanjutnya menjawab keheranan ku.

"oh.." desahku, "ya, udah! kamu taruh aja di atas meja itu!" lanjutku, sambil menunjuk sebuah meja yang memang disediakan untuk tempat aku sarapan di dalam kamar.

Dengan sedikit sungkan Marni masuk ke kamar dan menaruh nampan berisi sarapan tersebut di atas meja dengan sedikit menunduk.

Aku masih berdiri di dekap pintu sambil melihat ke arah Marni. Saat Marni menunduk, aku melihat belahan rok yang di pakai Marni sedikit tersingkap keatas. Marni hanya memakai rok mini ketat, yang memperlihatkan lekukan pinggulnya. Rok mini itu memiliki belahan di belakangnya, belahan yang cukup panjang, sehingga ketika Marni menunduk, kakinya akan kelihatan sampai ke atas.

Seketika dada ku berdegup kencang. Sebagai laki-laki normal, dan sebagai seorang suami yang sudah lima bulan lebih tidak mendapatkan jatah dari istri, karena sakit, tentu saja hal tersebut membuat hsrat ku tiba-tiba muncul.

Perasaan ku tiba-tiba saja menginginkan hal tersebut. Refleks aku menutup pintu kamar dan menguncinya dari dalam.

Marni kaget, mendengar suara pintu menutup, ia pun segera berbalik dan mulai melangkah menuju pintu untuk keluar.

Tapi dengan sedikit gemetaran aku mencoba menahan langkahnya.

"ada yang bisa saya bantu lagi, tuan...?" tanya nya dengan nada bergetar.

Aku tidak menjawab pertanyaannya, tapi justru semakin mendekat. Aku menrik tngan Marni dan menyretnya ke rnjang.

Marni berusaha mernta dan ingin bertriak. Namun secepatnya aku menbkap mulutnya dengan tngan ku.

"aku mengingnkn kamu pagi ini. Dan kamu tidak perlu melwan." bisik ku di telinganya dengan nada mengncam. "aku akan beri kmu uang yang banyak, jika kmu mau.." lanjutku. 

Cukup lama Marni terdiam dalam dekpanku, ia masih berusaha melpaskan diri, namun tenaga nya tidak cukup kuat. Ia akhirnya hanya psrah, ketika aku berhsil mendrong tbuh mngilnya ke atas rnjang. Ia menutup wjahnya dengan kedua tngannya sambil sedikit terisak.

Aku benar-benar sudah tidak bisa lagi menahan diri. Aku tak pedulikan isak Marni, aku hanya harus menylurkan keinginan ku yang sudah sangat lama terpndam.

"kamu tenang saja, aku pasti kasih kamu uang yang banyak.." ucapku, mencoba membuat Marni tenang.

Tapi Marni berusaha trus melwan. Aku hrus berusaha lebih keras agar bisa menaklukannya.

Hingga akhirnya Marni tidak berani mealwan lagi. Dan aku pun semkin leluasa mlakukn aksi ku.

Pagi itu, aku pun brhsil mrnggut keprwanan Marni. Aku kmbali mersakan sesuatu yg sdah beberapa bulan ini tdak aku rasakan. Marni menjdi tmpat penyluran segala keinginan ku yang slama ini trpndam.

Dan setelah perjuangn yang cukup pnjang, aku pun terhmpas di rnjang. Marni segera bngkit dan ia pun menngis tersdu-sedu di lantai. Aku pun berusaha membujuknya, aku takut bi Ijah mendngarnya.

Segera ku ambil sejumlah uang dalam laci dan ku berikan kepada Marni.

"kamu jangan sampai menceritakan kejadian ini kepada siapa pun, apa lagi kepada istriku.." ucapku sedikit mengncam. Marni berusaha menhan tangisnya, ia dengan sedikit berat mengmbil uang yang aku berikn. Ia pun berdiri dngan sedikit meringis, menahan skit.

Aku menyuruhnya untuk segera turun. Aku tak ingin bi Ijah curiga, karena Marni sudah cukup lama berada di lantai atas rumah kami.

"kamu harus berusaha bersikap biasa saja.." kataku, ketika Marni sudah berada di ambang pintu kamar. Dan ia pun melangkah keluar dan turun ke bawah.

Tiba-tiba saja, rasa bersalah merasuk ke dalam hatiku. Aku telah mengkhianati istriku yang begitu baik dan setia. Aku telah menodai pernikahan yang begitu bahagia.

Tapi jujur saja, aku tak bisa lagi membendungnya. Keinginan untuk melampiaskan hal tersebut, yang lama terpendam, tak bisa ku cegah lagi. Dan sebnarnya aku bgitu menikamti hal tersebut.

Meski aku tahu, apa yang lakukan barusan adalah sebuah kesalahan. Dan aku juga tahu, kelakuan ku barusan sudah sangat melampaui batas. Semua itu jelas akan ada resikonya. Akan ada balasan dari perbuatanku tersebut. 

*****

Beberapa hari kemudian, istriku memintaku untuk mengantarnya ke rumah orang tuanya yang berada cukup jauh dari kota.

"untuk sementara, sampai anak kita lahir, aku ingin tinggal bersama Ibu saja.." ucapnya. "dengan kondisiku seperti saat ini, rasanya aku akan jauh lebih aman, jika tinggal bersama Ibu.."lanjutnya.

Aku pun menyetujuinya. Dulu waktu anak pertama kami lahir, istriku juga tinggal bersama Ibunya.

Ibunya memang seorang bidan kampung, ia sudah terbiasa menangani orang yang melahirkan.

Aku pun mengantarkan istriku kerumah Ibunya, tapi aku tidak bisa menginap disana, karena aku harus bekerja. Istri ku mengerti dan membiarkan aku kembali ke rumah.

Aku berjanji untuk menjenguknya dua kali seminggu, sampai anak kami lahir nanti.

Malam itu, aku tidur sendirian di kamar. Anak pertama ku juga ikut Ibunya di kampung. Aku gelisah.

Tiba-tiba aku teringat kejadian pagi itu dengan Marni. Keinginan ku tiba-tiba datang lagi.

Keinginan untuk melakukan hal itu lagi datang begitu saja.

Aku akhirnya turun ke lantai bawah. Jam sudah menunjukkan pukul 1 dini hari. Aku berdiri di depan pintu kamar Marni, yang memang terletak disamping tangga turun. Aku melihat lampu dalam kamar Marni masih menyala, pertanda Marni belum tidur.

Pelan ku ketuk pintu kamar itu. Tak lama kemudian aku mendengar langkah kaki menuju pintu dan pintu itu pun terbuka pelan. Marni dengan wajah sedikit kaget menatapku.

"ada apa, tuan...?"tanyanya sedikit tertunduk.

Aku tidak menjawab pertanyaannya. Aku justru mendrong pintu itu sehingga terbuka lebar. Lalu aku msuk ke dalam kmar itu dan segera menutup dan menguncinya.

Marni hanya berdiri di samping pintu, aku mendekatinya.

"aku ingin melkukannya lagi dnganmu malam ini.." bisikku di telinga Marni.

Marni mundur selangkah dan berusaha mendrong tubuhku.

"aku akan memberimu uang lagi..." lanjutku.

Setelah terdiam cukup lama, Marni pun berucap, "aku memang lagi butuh uang yang sangat banyak..." katanya. "aku akan brsedia mnuruti keinginn tuan kapan pun tuan mau..." lanjutnya. "asal tuan mau memberi saya uang saat ini sebanyak seratus juta rupiah..." katanya lagi.

Aku tercenung sesaat, memikirkan tawaran Marni.

"untuk apa uang sebanyak itu?" tanyaku akhirnya.

"Ibu ku sakit di kampung, ia harus segera di operasi..." jelasnya singkat.

Aku hanya manggut-manggut mendengarnya. 

"oke...!" kataku, "besok aku akan transfer uang itu ke rekening kamu..." lanjutku.

"dengan syarat kamu bersedia mmenuhi keinginn saya, sampai istri saya kembali lagi ke rumah ini. Dan kamu jangan pernah menceritakan hal ini kepada siapa pun..." aku berucap lagi, sambil mulai mendkati Marni.

Marni hanya diam dan sedikit mengangguk tanda ia setuju.

Pelan ku trik tbuh mungil Marni ke rnjang. Marni pun menrutiku.

Kami dduk di sisi rnjang, dan aku mulai kemabli melakukan aksi ku.

Hanya saja kali ini, tdak ada lagi penolakan dari Marni. Ia brusaha mngikuti semua keinginn ku. Bhkan Marni jga berusaha utk mmbuat aku trkesan. 

Dan stelah prgulatn yang ckup pnjang dan pnuh kesan, segera aku bngkit dan memkai pkaianku lagi, lalu keluar dan lngsung naik ke atas ke kamarku untuk segera tidur. Hari sudah jam 3 pagi.

Esoknya aku pun mentransfer uang seratus juta ke rekening Marni. Sesuai perjanjian.

*****

Malam-malam berikutnya, aku mulai rutin msuk ke kmar Marni untuk mendpatkan 'jatah' darinya dan Marni pun membri kan hal itu dengan baik.

Marni benar-benar mmpu menggntikan 'posisi' istri ku untuk sementara, ia mmpu menggntikan 'tugas' istri ku, selama istriku tidak berada di rumah.

Dan aku benar-benar merasa terksan dengan Marni.  Aku juga tak segan-segan memberinya sejumlah uang, setiap kli aku selsai menunaikan 'tugas' ku pdanya.

Malam-malam menjdi berbeda bagi ku saat ini, aku merasa menemukan tmpat yang tepat utk mncurahkn sgala kesepian dan juga kekosangn malam-mlam ku.

Aku pun rutin menjenguk istri ku dua kali seminggu di rumah Ibunya, meski tak pernah menginap di sana.

*****

Sebulan kemudian, istriku pun melahirkan anak kedua kami secara normal. Seorang anak laki-laki lagi. Anak kami lahir dengan selamat dan sehat. Begitu juga istriku, ia kelihatan sangat sehat.

Seminggu kemudian kami pun kembali lagi kerumah kami.

Kami mulai menjalani kehidupan kami lagi seperti biasa.

Sekarang aku tak lagi bisa msuk ke kmar Marni, karena istri ku sudah berada di rumah. Meski terkadang keinginan itu ada. Tapi aku berusaha menhan keinginanku.

Marni pun bersikap biasa saja, ia mungkin mengerti, karena perjanjiannya memang seperti itu dari awal.

Dan sang waktu pun terus berlalu. Sudah dua bulan usia anak kedua ku sekarang.

Sampai tiba-tiba Marni menghampiri ku, dan mengatakan kalau ia sudah telat tiga bulan. Dan ia pun mengatakan kalau ia sudah melakukan tes menggunakan alat tes kesehatan yang ia beli di apotik.

Dan hasilnya ia positif hamil.

Aku hanya terpaku mendengar cerita Marni. Pikiran ku tiba-tiba kacau. Kepala ku terasa begitu sakit. Pandangan ku berkunang.

Marni pergi berlalu. Ia meminta aku untuk segera mengambil keputusan, sebelum perutnya semakin membesar.

Aku semakin trenyuh. Dan tidak tahu harus berbuat apa saat ini.

Tapi Marni benar. Aku harus segera bertindak. Karena semakin lama, perut Marni akan mulai membesar.

Apa pun resikonya nanti, aku harus bisa menyelesaikannya.

**** 

Bersambung ...

Pembantu baru ku yang seksi part 2

Cari Blog Ini

Layanan

Translate